I. Pendahuluan
1. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana
Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara pidana merupakan rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah
yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus
bertindak guna mencapai tujuan negara degan mengadakan hukum pidana.
Hukum acara pidana sebagai salah satu instrumen dalam sistem peradilan
pidana pada pokoknya memiliki fungsi utama, yaitu:
1. Mencari dan menemukan kebenaran;
2. Pengambilan keputusan oleh hakim, dan
3. Pelaksanaan daripada putusan yang telah diambil itu.
Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting adalah fungsi untuk
mencari dan menemukan kebenaran, yakni kebenaran materiil. Kebenaran
materiil merukan kebeneran yang selengkap-lengkapnya atau setidaknya
yang mendekati kebenaran dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana
telah dilakukan dan apakah orang didakwa itu dapat dipersalahkan.
Tujuan hukum acara pidana untuk mencari dan menemukan kebenaran
materiil itu hanya merupakan tujuan awal, artinya ada tujuan akhir yaitu
yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum nasional, dalam hal ini
mencapai suatu masyarakat tertib, tenteram, damai, adil, dan sejahtera.
2. Sejarah Perkembangan Hukum Acara Pidana Indonesia
Sebelum era KUHAP, mengenai hukum acara pidana berturut-turut berlaku:
a. Inlands Reglement
Inlands Reglement (IR) adalah peraturan perundang-undangan yang
berlaku pertanggal 1 Mei 1848 berdasarkan pengumuman Gubernur Jenderal
tanggal 3 Desember 1847 Stbld Nomor 57. IR berisi hukum acara pidana
sekaligus hukum acara perdata dalam satu perundang-undangan yang dalam
pelaksanaannya menemui banyak permasalahan dan sulit diterapkan.
Permasalahan yang muncul adalah di Jawa dan Madura masyarakat masih
memberlakukan hukum adat, sehingga kebijakan untuk menggantikan hukum
adat menjadi hukum Eropa yang tertulis bukanlah pilihan politis yang
bagus.
b. Herziene Inland Reglement
Semenjak diundangkan pertama kali tahun 1847, IR mengalami
banyak penyesuaian sampai akhirna, dengan Stbld 1941 Nomor 44
diumumkan kembali dengan nama Herziene Inland Reglement. Pada
prinsipnya HIR ini berlaku di Jawa dan Madura sebagaimana IR, namun
dalam praktiknya masih berlaku dualisme hukum acara di Jawa dan
Madura, yaitu di kota-kota besar menggunakan HIR, sedangkan di kota-
kota kecil masih menggunakan IR.
c. Rechtsreglement voor de Buitengewesten
Di tahun-tahun yang tidak jauh dengan diundangkannya HIR di Jawa
dan Madura, di pulau-pulau lain diberlakukan Rechtsreglement voor de
Buitengewesten (RBg) berdasarkan Stbld 1927 Nomor 227 yang berlaku
efektif per tanggal 1 Juli 1927. Jadi sebelum Indonesia merdeka
berlaku dualisme hukum acara di wilayah Hindia Belanda, yaitu HIR di
Jawa dan Madura serta RBg untuk wilayah kekuasaan Hindia Belanda di
luar Jawa dan Madura.
d. Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 (Drt) tahun 1951
HIR dan RBg masih berlaku secara bersamaan pasca Indonesia merdeka
sampai dengan berlakunya Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 (Drt) tahun
1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan
Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan –Pengadilan Sipil yang
menghapuskan undang-undang hukum acara di luar Jawa dan Madura. Dengan
demikian berdasarkan undang-undang ini, maka HIR berlaku secara
menyeluruh di wilayah Indonesia.
e. Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
HIR yang diberlakukan di Indonesia dengan prinsip konkordansi
tidak sejalan dengan kondisi bangsa Indonesia setelah merdeka,
khususnya dalam hal untuk melindungi hak asasi dari
tersangka/terdakwa/terpidana. Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara langsung mencabut
berlakunya HIR sebagai undang-undang hukum acara pidana, namun HIR
masih berlaku sebagai undang-undang hukum acara perdata.
3. Hukum Acara Pidana dan Sistem Peradilan Pidana
Perbedaannya adalah mengenai obyek kajiannya, dimana hukum acara
pidana membahas tentang rangkaian proses dalam rangka untuk mencari dan
menemukan kebenaran materiil terhadap suatu perkara pidana, sedangkan
sistem peradilan pidana membahas tentang hubungan antar komponen hukum
acara pidana dalam pendekatan sistem peradilan pidana untuk mencapai
tujuan mencari dan menemukan kebenaran materiil.
II. Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Acara Pidana
Prinsip-prinsip dasar di dalam Penjelasan Umum KUHAP yang dikategorikan
sebagai prinsip dasar hukum acara pidana adalah sebagai berikut:
a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak
mengadakan pembedaan perlakuan;
b. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan
berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh
undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan
undang-undang;
c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap;
d. Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan
megenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti
kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat
penegak hukum yang dengan sengaja atau kelalaiannya menyebabkan asas
hukum tersebut di langgar, dituntut, dipidana, dan atau dikenakan
hukuman administrasi;
e. Peradilan yang dilakukan dengan cepat, sederhana biaya ringan serta
bebas, jujur dan tidak memihak harus tetap diterapkan secara konsisten
dalam seluruh tingkat pengadilan;
f. Setiap orang yang tersangka perkara wajib diberi kesempatan,
memperoleh bantuan hukuum yang semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya;
g. Kepada seseorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau
penahanan selain wajib lapor diberitahukan dakwaan dan dasar hukum apa
yng didakwakan kepadanya, juga wajib di beritahu dakwaan dan dasar
hukum yang didakwakan, juga wajib diberitahu haknya termasuk untuk
menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum;
h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa;
i. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum;
j. Pengawasan dilakukan oleh putusan pengadilan dalam perkara pidana
pengawasan dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
1. Persamaan di Muka Hukum (Equality Before The Law)
Pasal yang menunjukkan secara konkret keberadaan prinsip ini adalah di
dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: "Pengadilan mengadili menurut hukum
dengan tidak membeda-bedakan orang"
2. Segala Aktivitas Membutuhkan Perintah Tertulis
Aplikasi konkret dari prinsip tersebut dapat dilihat dalam Pasal 18,
Pasal 21 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan (2), dan Pasal 38 ayat (1)
KUHAP. Kewajiban lain yang menyertai penegak hukum dalam melakukan upaya
paksa tersebut adalah menyusun berita acara terhadap surat perintah yang
telah diberikan dan dilaksanakan sebagaimana tercantum dalam Pasal 75
KUHAP.
Prinsip ini ditujukan untuk menghindari kesewenangan penegak hukum
dalam menjalankan kewenangannya untuk mengadakan upaya paksa kepada
seseorang maupun tersangka/terdakwa baik itu penangkapan, penahanan,
penggeledahan maupun penyitaan.
3. Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)
Makna dari prinsip ini adalah bahwa setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
tetap. Di dalam KUHAP, pasal yang menunjukkan prinsip ini adalah Pasal
158 KUHAP, yang berbunyi : "Hakim dilarang menunjukkan sikap atau
mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau
tidaknya terdakwa".
4. Ganti Kerugian dan Rehabilitasi
Ganti kerugian dan rehabilitasi diatur di dalam Pasal 95-97 KUHAP jo
Pasal 7-15 PP Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Ganti
kerugian dapat diajukan dengan syarat dan ketentuan antara lain:
a. Diajukan oleh tersangka, terdakwa, atau terpidana karena penangkapan,
penahanan, penuntutan, pemeriksaan persidangan atau karena tindakan
lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan;
b. Gamti kerugian ditentukan serendah-rendahnya Rp 5.000,- (lima ribu
rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) serta
apabila karena tindakan tersebut mengakibatkan cacat sehingga tidak
mampu melakukan pekerjaan atau meninggal dunia ganti kerugian
ditentukan setinggi-tingginya Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah)
c. Tuntutan ganti kerugikan diajukan ke pengadilan negeri yang berwenang
memeriksa perkara
5. Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Makna cepat berhubungan dengan waktu, makna sederhana berhubungan
dengan prosesnya dan makna biaya ringan berhubungan dengan biaya dalam
berperkara di pengadilan.
6. Kewajiban Memberikan Bantuan Hukum
Pasal 54 KUHAP menyebutkan: "guna kepentingan pembelaan, tersangka
atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seseorang atau lebih
penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan,
menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini"
Kemudian, kewajiban negara untuk memberikan bantuan hukum kepada
tersangka/terdakwa dapat dilihat dalam rumusan Pasal 56 KUHAP, yang
berbunyi:
1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana
lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang
diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai
penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat
bagi mereka;
2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) memberikan bantuan hukum dengan Cuma-Cuma.
7. Aqusatoir dan Inqusatoir
Di era prinsip HIR yang dipergunakan adalah prinsip Inqusatoir dimana
dapat dilihat dalam Pasal 164 HIR tentang alat bukti "pengakuan". Makna
pengakuan adalah adanya pernyataan dari terdakwa untuk mengakui atau
tidak mengakui perbuatannya dalam persidangan. Adanya bukti pengakuan
ini, bahwa terdakwa adalah sebagai objek dari pemeriksaan, terdakwa
tidak bebas dalam memberikan keterangan melainkan terbatas untuk
mengakui atau tidak mengakui perbuatannya.
Setelah KUHAP berlaku, bukti pengakuan sudah ditiadakan, dan berganti
dengan alat bukti "keterangan terdakwa" dalam Pasal 184 KUHAP. Makna
"keterangan terdakwa" menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP adalah apa yang
terdakwa nyatakan di sidang entang perbuatan yang ia lakukan atau yang
ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa itu tidak
selalu berisi pengakuan melakukan atau tidak melakukan tindak pidana
yang didakwakan.
Prinsip aqusatoir selain pasal tentang alat bukti dalam KUHAP, antara
lain:
a. Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu
pemeriksaan dimulai (Pasal 51 ayat (1) KUHAP);
b. Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya (Pasal 51
ayat (2) KUHAP);
c. Dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan dan pengadilan tersangka atau
terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik
atau hakim (Pasal 52 KUHAP);
d. Tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya
(Pasal 55 KUHAP);
e. Tersangka atau terdakwa berhak untuk menghubungi dan menerima
kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada
hubungannya dengan proses perkara maupun tidak selama masa penahanan
(Pasal 58 KUHAP);
f. Penuntut umum, penasihat hukum serta hakim dilarang untuk memberikan
pertanyan kepada terdakwa atau saksi yang bersifat menjerat, yang
artinya terdakwa maupun saksi tidak memiliki jawaban bebas atas
pertanyaan yang diberikan (Pasal 166 KUHAP);
g. Dan lain sebagainya.
Namun, terdapat Pasal dalam KUHAP yang dapat ditafsirkan menyerupai
dengan prinsip Inqusatoir yaitu Pasal 175 KUHAP, yang berbunyi:"jika
terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang
diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan
setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.
Pasal ini dapat ditafsirkan bahwa terdakwa harus menjawab pertanyaan
yang diajukan kepadanya, hal ini berarti terdakwa tidak memiliki hak
untuk memiilih menjawab atau tidak menjawab pertanyaan yang diajukan
kepadanya atau yang disebut dengan right to remain ini silence.
8. Pemeriksaan dengan Hadirnya Terdakwa
Di dalam persidangan, pemeriksaan dimulai ketika terdakwa hadir di
dalam ruang persidangan. Terdakwa dipanggil secara sah oleh Penuntut
Umum dengan cara mengirimkan surat panggilan kepada terdakwa di alamat
tempat tinggal terdakwa atau di kediaman terakhir. Apabila surat
panggilan ini tidak diterima langsung oleh terdakwa, surat panggilan
harus diserahkan melalui kepala desa di daerah tempat tinggal atau
tempat kediaman terakhir terdakwa. Penyerahan surat panggilan disertai
dengan berita acara penerimaan surat panggilan. Apabila terdakwa
ditahan, maka surat panggilan dialamatkan ke pejabat rumah tahanan
negara, dan apabila keberadaan terdakwa tidak diketahui surat panggilan
ditempelkan ada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang
mengadili perkara tersebut.
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa persidangan dapat dilaksanakan
ketika terdakwa hadir di dalam persidangan, jika terdakwa tidak hadir
maka persidangan harus ditunda sampai terdakwa hadir, dan apabila
terdakwa tidak mau hadir di persidangan harus dihadirkan secara paksa ke
pengadilan.
9. Persidangan Terbuka untuk Umum
Prinsip ini merupakan kelanjutan dari prinsip pemeriksaan dengan
hadirnya terdakwa. Setelah terdakwa hadir di persidangan, sidang dibuka
oleh hakim ketua majelis dan menyatakan terbuka untuk umum.
10. Hakim Pengawas dan Pengamat
Lembaga baru ini disebut dengan Hakim Pengawas dan Pengamat
(KIMWASMAT). Lembaga ini merupakan hakim yang memiliki tugas dan fungsi
terbatas pada pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan
perampasan kemerdekaan (pidana penjara). Di dalam KUHAP, dasar hukum
tentang tugas dang fungsi KIMWASMAT dilihat dalam Pasal 277 KUHAP, yang
berbunyi:
1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk
membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengawatan terhadap
putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.
2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim pengawas
dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk paling lama dua
tahun.
III. Para Pihak dalam Hukum Acara Pidana
1. Pihak Hukum Acara Pidana karena Kewenangannya
Para pihak hukum acara pidana karena kewenangan yang dimiliki berdasarkan
peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Penyelidik dan Penyidik
Tugas dan kewenangan masing-masing berdasarkan penafsiran otentik yang
tercantum dalam KUHAP, yakni:
- Penyelidik
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 KUHAP bahwa penyelidik adalah
pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang dibei wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Diperjelas dalam
Pasal 4 KUHAP bahwa penyelidik adalah setiap pejabat polisi Negara
Republik Indonesia.
Tugas dan wewenang penyidik berdasarkan Pasal 5 ayat (1) KUHAP,
yakni:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana;
b. Mencari keterangan dan barang bukti;
c. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
d. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab
Penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan
berupa:
a. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat penggeledaan dan
penyitaan;
b. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
c. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
d. Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.
- Penyidik
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 KUHAP bahwa penyidik adalah pejabat
polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan
Kemudian diperjelas dalam Pasal 6 KUHAP:
1) Penyidik adalah:
a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khsus oleh
undang-undang.
2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dmaksud dalam ayat (1)
akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Penyedik karena kewajibannya memiliki kewenangan (Pasal 7 KUHAP)
antara lain:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jarid dan memotret seseorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab
TABEL 1
Perbedaan penyelidik dan Penyidik
"Kriteria Pembeda"Penyelidik "Penyidik "
"Subjek "Seluruh pejabat POLRI dari"Pejabat POLRI dengan "
" "semua tingkat kepangkatan "syarat kepangkatan "
" " "tertentu "
" " "Pejabat Pegawai "
" " "Negeri Sipil dengan "
" " "syarat kepangkatan "
" " "tertentu "
"Kewenangan "Melakukan penyelidikan "Melakukan penyidikan "
"Garis koordinasi"Melaporkan hasil "Melaporkan hasil "
" "penyelidikan kepada "penyidikan kepada "
" "Penyelidik "Penuntut Umum "
b. Jaksa dan Penuntut Umum
- Jaksa
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 huruf a bahwa Jaksa adalah pejabat
yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai
penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Secara sederhana, perbedaan Jaksa dan Penuntut Umum bahwa setiap
oang yang menggunakan seragam Jaksa (dengan lambang kepangkatan di
seragam yang dikenakan) di kejaksaan adalah Jaksa, mereka akan
berubah menjadi Penuntut Umum apabila diberikan tugas oleh Kepala
Kejaksaan Negeri sebagai Penuntut Umum dalam perkara tertentu.
- Penuntut Umum
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 huruf b, Penuntut Umum adalah Jaksa
yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim..
c. Hakim
Berdasarkan Pasal 1 butir 8 KUHAP, hakim adalah pejabat
peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengadili. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur,
dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
d. Panitera
Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor:
KMA/004/SK/II/1999 tanggal 1 Februari 1999 sebagaimana diubah dengan
Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/009/SK/II/2004 tentang
Perubahan atas Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/004/SK/II/1999
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negeri, kepaniteraan memiliki tugas dan wewenang memberikan
pelayanan teknis di bidang administrasi perkara dan administrasi
peradilan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Tugas pokok panitera diantaranya yaitu melaksanakan fungsi:
1. Pelayanan administrasi perkara, koordinasi, dan sinkronisasi
pelaksanaan persidangan.
2. Pelaksanaan urusan administrasi perkara, administrasi keuangan
perkara, dan tugas administrasi lainnya yang ditetapkan berdasarkan
ketentuan undang-undang
3. Penyusunan statistik, dokumentasi, laporan serta pengarsipan perkara.
e. Advokat
Advokat memiliki kewenangan dan tugas di semua tingkatan dalam
sistem peradilan pidana, dengan satu tujuan, memberikan bantuan hukum
kepada tersangka/terdakwa. Hal ini diatur dalam Pasal 69 KUHAP bahwa
penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau
ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang
ditentukan dalam undang-undang ini. Selain itu, kewenangan advokat
untuk melakukan pembelaan dan menjaga hak-hak tersangka/terdakwa dalam
setiap tingkat pemeriksaan dalam sistem peradilan pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 70 ayat (1) KUHAP.
f. Petugas Rumah Tahanan Negara (RUTAN) dan Rumah Penyimpanan Benda
Sitaan (RUPBASAN) dan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)
- RUTAN
Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1983 sebagaimana diubah dan ditambah menjadi Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2010 bahwa RUTAN adalah tempat tersangka/terdakwa
ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan.
- RUPBASAN
Di dalam RUPBASAN ditempatkan benda yang harus disimpan untuk
keperluan barang bukti dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan,
penuntutan, dan emeriksaan di sidang pengadilan termasuk barang
yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan hakim.
Tujuan dari penyimpanan benda sitaan adalah untuk mengamankan
barang bukti serta memudahkan petugas, baik penyidik maupun
penuntut umum ketika membutuhkan untuk keperluan pemeriksaan.
- LAPAS
Berdasarkan Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Lembaga Pemasyarakatan, LAPAS adalah tempat untuk
melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
2. Pihak Hukum Acara Pidana karena Keadaannya
Apabila sisi para pihak hukum acara pidana karena kewenangannya
merupakan perwakilan korban yang diwakili oleh negara melalui penegak
hukumnya, maka sisi para pihak hukum acara pidana karena keadaannya dapat
dikatakan sisi pelaku tindak pidana.
a. Tersangka, terdakwa, terpidana, dan narapidana
- Tersangka
Berdasarkan Pasal 1 butir 14 KUHAP, tersangka adalah seorang
yang karena perbuatan atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan
patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Berdasarkan defini
tersangka tersebut, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan,
yaitu:
1. Perbuatan
Perbuatan ini merupakan perbuatan aktif maupun pasif dari
pelaku. Perbuatan aktif merupakan pelaku melakukan suatu
perbuatan yang patut diduga suatu tindak pidana. Perbuatan pasif
adalah pelaku tidak melakukan apa yang padahal dia dapat
melakukan sesuatu untuk mencegah atau menghalangi terjadinya
suatu tidak pidana.
2. Keadaan
Keadaan dapat diartikan karena kondisinya patut diduga terlibat
dengan tindak pidana.
3. Bukti permulaan
Bukti permulaan diatur di dalam Pasal 1 butir 21 Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012
tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana bahwa bukti permulaan
adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti
yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah
melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan
penangkapan.
- Terdakwa
Sesuai dengan Pasal 1 butir 15 KUHAP pengertian terdakwa adalah
seorang tersangka yag dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang
pengadilan.
- Terpidana
Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1
butir 32 KUHAP)
- Narapidana
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di LAPAS sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 1
butir 7 Undang-Undang Lembaga Pemasyarakatan.
b. Saksi
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 butir 26, saksi adalah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Tidak semua orang yang
melihat, mendengar, atau mengalami tindak pidana yang dapat menjadi
saksi. Terdapat kualifikasi orang-orang tertentu yang tidak dapat
menjadi saksi, mereka adalah:
1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai dengan derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa;
2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara
ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena
perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga
3. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-
sama sebagai terdakwa. (Pasal 168 KUHAP)
c. Ahli
Berdasarkan Pasal 1 butir 28 KUHAP bahwa keterangan ahli adalah
keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus
tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana
guna kepentingan pemeriksaan
IV. Proses Pemeriksaan Perkara di Indonesia
1. Sumber Tindakan
Sumber tindakan adalah apa yang melatarbelakangi dimulainya proses
tindakan dalam hukum acara pidana. Berdasarkan Pasal 102 ayat (1) dan (2)
KUHAP, maka penyelidikan dapat dimulai apabila terdapat beberapa hal,
yaitu:
a. Diketahui sendiri oleh petugas
Hal ini terdapat dalam Pasal 102 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi:
"penyelidikan yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan...."
yang mana apabila diterjemahkan menjadi, penyelidikan dapat dilakukan
apabila penyelidik mengetahui, menerima laporan, atau pengaduan.
b. Laporan dan pengaduan
Berdasarkan Pasal 1 butir 24 KUHAP, laporan adalah pemberitahuan
yang disampaikan oleh seseorang karena hak dan kewajiban berdasarkan
undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang
didufa akan terjadinya peristiwa tindak pidana. Kemudian berdasakan
Pasal 1 butir 25 KUHAP, pengaduan adalah pemberitahuan disertai
permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang
berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan
tindak pidana aduan yang merugikannya.
Tabel 2
Perbedaan Laporan dan Pengaduan
"Kriteria pembeda "Laporan "Pengaduan "
"Pihak yang berwenang "Setiap orang "Pihak yang "
"menyampaikan "berdasarkan hak dan "berkepentingan "
" "kewajiban " "
"Waktu peristiwa "Telah, sedang atau "Telah, terjadinya "
" "diduga akan "peristiwa yag patut "
" "terjadinya peristiwa "diduga merupakan "
" "yang patut diduga "tindak pidana "
" "merupakan tindak " "
" "pidana " "
"Jenis perbuatan "Semua peristiwa yang "Peristiwa yang patut "
" "patut diduga "diduga merupakan "
" "merupakan tindak "tindak pidana aduan "
" "pidana " "
"Waktu penyampaian "Wajib seketika dan "Paling lambat 6 bulan"
" "wajib segera dan "apabila pihak yang "
" "batas akhirnya "mengadukan ada di "
" "tergantung pada "Indonesia dan 9 bulan"
" "daluwarsa perkara "bagi pihak yang "
" " "mengadukan ada di "
" " "luar Indonesia "
"Kemampuan pencabutan "Tidak diatur di dalam"Dapat dicabut kembali"
"kembali "KUHAP dan KUHPidana "paling lambat 3 bulan"
" " "dari pengaduan "
c. Tertangkap tangan
Berdasarkan Pasal 1 butir 19 KUHAP, yang dapat dikategorikan
tertangkap tangan, apabila:
1. Sedang melakukan tindak pidana;
2. Dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan;
3. Sesaat kemudian diserukan khalayak ramai sebagai orang yang
melakukannya;
4. Sesaat kemudian pada orang tersebut ditemukan benda yang diduga keras
telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana yang menunjukkan
bahwa ia adalah pelakunya.
2. Penyelidikan
a. Pengertian
Berdasarkan Pasal 1 butir 5 KUHAP, penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini.
b. Tujuan
Tujuan utama dari penyeledikan adalah untuk menemukan apakah
suatu peristiwa dapat dilanjutkan ke tingkat penyidikan atau tidak.
Syarat untuk dapat dilanjutkan ke tingkat penyidikan adalah peristiwa
tersebut merupakan suatu tindak pidana.
c. Rangkaian Tindakan Penyelidikan
Berdasarkan Pasal 12 Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang
Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, antara lain:
1. Pengolahan tempat kejadian perkara (TKP)
2. Pengamatan (observasi)
3. Wawancara
4. Pembuntutan
5. Penyamaran
6. Pelacakan
7. Penelitian dan analisis dokumen
3. Penyidikan
a. Pengertian
Pengertian penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 2
KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari dan mengumpulkan
bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya
b. Tujuan
Tujuan dari penyidikan yaitu untuk mencari dan menemukan bukti
guna menemukan tersangkanya.
c. Rangkaian Tindakan Penyidikan
1. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP)
Laporan Hasil Penyelidikan (LHP) diserahkan oleh penyelidik
kepada penyidik yang sekurang-kurangnya berisi laporan tentang
waktu, tempat kejadian, hasil penyelidikan, hambatan, pendapat, dan
saran. Atas LHP ini penyidik akan disusun SPDP yang merupakan
kewajiban dari penyidik pada saat dimulainya penyidikan.
2. Upaya paksa
Tindakan penyidik dalam upaya paksa, yakni:
- Pemanggilan
upaya paksa yang pertama dilakukan oleh penyidik adalah
pemanggilan seseorang untuk dimintai keterangan terkait tindak
pidana yang terjadi, baik sebagai tersangka maupun sebagai
saksi/ahli.
- Penangkapan
Pengertian penangkapan berdasarkan Pasal 1 butir 20 KUHAP
adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara
waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup
bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau
peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini. Adapun syarat penangkapan adalah sebagai berikut:
1. Dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras berdasarkan bukti
permulaan melakukan tindak pidana
2. Dilakukan oleh penyidik atau penyelidik atas perintah dari penyidik
dengan menunjukkan surat tugas dan memberikan surat perintah
penangkapan.
3. Dalam hal tertangkap tangan dapat dilakukan kepada keluarga setelah
penangkapan dilakukan
4. Tembusan surat perintah penangkapan diberikan kepada keluarga setelah
penangkapan dilakukan
5. Penangkapan dilakukan paling lama satu hari
- Penahanan
Pengertian penahanan berdasarkan Pasal 1 butir 21 KUHAP
adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu
oleh penyidik, atau penuntut umum, atau hakim dengan
penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini. Adapun syarat penahanan, yakni:
1. Syarat subjektif penahanan
- Khawatir tersangka/terdakwa akan melarikan diri
- Merusak atau menghilangkan barang bukti
- Mengulangi tindak pidana
2. Syarat objektif penahanan
- Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun
atau lebih
- Tindak pidana walaupun tidak diancam pidana penjara 5 tahun
atau lebih akan tetapi menggangu dan membahayakan
ketertiban umum.
Terdapat 3 (tiga) macam jenis penahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (1) KUHAP, yaitu:
1. Rumah Tahanan Negara (RUTAN)
Penahanan dilaksanakan di RUTAN yang berada di masing-
masing kabupaten/kota.
2. Penahanan Rumah
Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau
rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan
pengawasan terhadapnya. Masa penahanan di rumah dikurangkan
sepertiga dari pidana yang dijatuhkan.
3. Penahanan Kota
Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau
kediaman tersangka/terdakwa, dengan kewajiban melapor diri
pada waktu yang ditentukan. Masa penahanan kota dikurangkan
seperlima dari pidana yang dijatuhkan.
Tabel 3
Batas Waktu Penahanan
"Pejabat yang "Waktu "Perpanjangan "jumlah "
"berwenang " " " "
" " "PU "Ketua " "
" " "
- Penggeledahan
Jenis penggeledahan, yaitu:
1. Penggeledahan rumah
Penggeladahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki
tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan
tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini. Pengertian ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 butir
17 KUHAP
2. Penggeledahan badan
Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan
pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari
benda yang diduga keras pada badannya atau dibawanya sera
untuk disita (Pasal 1 butir 18 KUHAP).
Syarat penggeledahan, adalah:
1. Izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat;
2. Surat perintah penggeledahan
3. Disaksikan dua orang saksi atau pendamping;
4. Berita acara penggeledahan yang salinannya harus diserahkan kepada
pemilik rumah/penghuni rumah tersebut
- Penyitaan
Pengertian penyitaan menurut Pasal 1 butir 16 KUHAP adaah
serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau
menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud, atau tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Benda
yang dapat disita menurut Pasal 39 KUHAP adalah:
1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian
diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak
pidana
2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak
pidana atau untuk mempersiapkannya
3. Benda yang dipergunakan untuk mengalang-halangi penyidikan tindak
pidana
4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana
5. Benda lain yang mempunyai hubungan langung dengan tindak pidana yang
dilakukan.
- Pemeriksaan Surat
Berdasarkan Pasal 187 KUHAP, dimana surat sebagai alat bukti
adalah:
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapan yang memuat
keterangan kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang
dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas
tentang keterangannya
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau
surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi
pembuktian suatu keadaan
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secasra resmi daripadanya
4. Surat lan yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya degan isi dari
alat pembuktian yang lain
3. Pemeriksaan
Pemeriksaan bertujuan untuk mendapatkan keterangan saksi, ahli,
dan tersangka yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan, guna
membuat terang perkara sehingga peran seseorang maupun barang bukti
dalam peristiwa pidana yang terjadi menjadi jelas
4. Gelar perkara
Gelar perkara dibagi atas:
1. Gelar perkara biasa
Pasal 70 ayat (2) Perkap Nomor 14 Tahun 2012, gelar perkara
biasa dilaksanakan pada tahap awal proses penyidikan;
pertengahan proses penyidikan, dan akhir proses penyidikan.
2. Gelar perkara khusus
5. Penyelesaian berkas perkara
6. Pelimpahan berkas ke Penuntut Umum
4. Penuntutan
a. Ruang Lingkup Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur danlam undang-undang ii dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang tersebut diterjemahkan
sebagai ruang lingkup penuntutan. Ruang lingkup penuntutan diatur
dalam Pasal 138-140 KUHAP, yaitu:
1. Penghentian penuntutan
Penghentian penuntutan dapat dilakukan setelah penuntut umum
menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari
penyidik, ketentuan mana masih menjadi pertanyaan hasil penyidikan.
Adapun alasan-alasan dilakukanya penghentian penuntutan, yakni:
- Alasan tidak cukup bukti
- Alasan bukan merupakan suatu tindak pidana
- Perkara ditutup demi kepentingan hukum
2. Penyusunan surat dakwaan
- Pengertian surat dakwaan
M. Yahya Harahap membuat pengertian umum tentang surat
dakwaan sebagai sebuah surat akta yang memuat rumusan tindak
pidana yang didakwakan kepada terdakwa, perumusan mana ditarik
dan disimpulkan dari pemeriksaan penyidikan dihubungkan dengan
unsur delik pasal tindak pidana yang dilanggar dan didakwakan
para terdakwa dan surat dakwaan tersebut menjadi dasar
pemeriksaan bagi hakim dalam sidang pengadilan
- Syarat surat dakwaan
a. Syarat formal
Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP menyebutkan bahwa penuntut
umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan
ditandatangani serta berisi nama lengkap, tempat lahir, umur
atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama, dan pekerjaan terdakwa. Hal ini untuk menghindari error
in persona dalam penuntutan dan pemeriksaan persidangan.
b. Syarat materiil
Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP menyebutkan bahwa surat
dakwaan harus memuat secara cermat, jelas, dan lengkap
mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan
waktu dan tempat tindak pidana tersebut dilakukan oleh
terdakwa. Surat dakwaan dianggap tidak memenuhi syarat
materiil apabila surat dakwaan tidak terang atau tidak jelas
dalam merumuskan tindak pidana atau mencampur unsur tindak
pidana (obscuur libel) dan surat dakwaan mengandung
pertentangan antara satu dengan yang lain.
- Penyusunan dan bentuk surat dakwaan
a. Penyusunan surat dakwaan
1. Penggabungan perkara
Ketentuan dalam Pasal 141 KUHAP menentukan, bahwa
penggabungan perkara dapat dilakukan dengan cara:
i. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang
yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan
halangan terhadap penggabungannya (concurcus realis,
concurcus idealis, perbuatan berlanjut)
ii. Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu
dengan yang lain (penyertaan dan pembantuan)
iii. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut satu
dengan yang lain, akan tetapi satu dengan yang lain
itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan
tersebut perlu bagi kepentingan penyidikan
2. Pemisahan perkara
Pemisahan perkara diatur dalam Pasal 142 KUHAP dimana
pemisahan perkara dapat dilakukan dengan membuat berkas
perkara baru dimana para terdakwa saling menjadi saksi,
sehingga untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik
terdakwa maupun saksi. Pemisahan perkara dilakukan
sehubungan dengan kurangnya saksi yang menguatkan dakwaan
penuntut umum, sedangkan saksi lain sulit untuk diketemukan
sehingga satu-satunya jalan adalah mengajukan sesama
terdakwa sebagai saksi untuk terdakwa lainnya.
b. Bentuk surat dakwaan
1. Surat dakwaan tunggal
Surat dakwaan tunggal disusun apabila penuntut umu
yakin dengan perbuatan terdakwa, keyakinan tersebut muncul
karena perkara yang dihadapi adalah perkara yang sederhana
dan tindak pidana yang dilakukan jelas dan sederhana
sehingga kemungkinan dakwaan tidak tepat dikenakan sangat
kecil.
2. Surat dakwaan alternatif
Dakwaan ini disusun apabila tindak pidana yang
didakwakan hanya satu tindak pidana, tetapi penuntut umum
ragu tentang tindak pidana apa yang paling tepat karena
terdakwa memiliki kemiripan unsur atau kedekatan unsur
dengan tindak pidana lain, tetapi bukanlah suatu
perbarengan tindak pidana. Ciri utama dakwaan ni diberikan
kata "atau" sebagai bentuk pilihan.
3. Surat dakwaan subsidair
Dalam surat dakwaan ini, penuntut umum ragu akan
kualifikasi dari tindak pidana yang didakwakan apakah
tindak pidana tersebut termasuk kualifikasi berat atau
ringan.
4. Surat dakwaan kumulatif
Surat dakwaan ini dibuat apabila ada beberapa tindak pidana
yang tidak ada hubungan antara tindak pidana yang satu
dengan yang lainnya (berdiri sendiri).
5. Surat dakwaan kombinasi atau campuran
Surat dakwaan kombinasi dibuat untuk memenuhi
kebutuhan dalam praktik penuntutan agar terdakwa tidak
bebas dari dakwaan yakni karena kompleksnya permasalahan
yang dihadapi oleh penuntut umum. Di dalam dakwaan
kombinasi, penuntut umum dapat menyusun surat dakwaan
dengan berbagai macam bentuk surat dakwaan dalam satu surat
dakwaan seperti: dakwaan alternatif-dakwaan subsidair-
dakwaan tunggal-dakwaan alternatif, dan lain sebagainya.
3. Pelimpahan berkas perkara ke pengadilan negeri
5. . Pemeriksaan Persidangan dan Pembuktian
a. Kewenangan Mengadili
Kompetensi adalah kewenangan untuk mengadili suatu perkara. Terdapat
2(dua) macam kewenangan mengadili, yakni:
1. Kompetensi absolut
Berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan
kompetensi absolut masing-masing lingkungan peradilan, yaitu:
- Peradilan umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan
- Peradilan agama berwenang memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku
- Peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
- Peradilan tata usaha negara berwenang memeriksa, mengadili,
memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
2. Kompetensi relatif
Menentukan kompetensi relatif dapat dilihat dalam pengaturan Pasal
84 KUHAP, bahwa pengadilan negeri berwenagn mengadili perkara
apabila:
- Tindak pidana dilakukan di dalam daerah hukum pengadilan negeri
tersebut
- Pengadilan negeri di mana terdakwa bertempat tinggal, berdiam
terakhir, di tempat dimana ia diketemukan atau ditahan, dan
tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil ke
persidangan
b. Acara Pemeriksaan di Pengadilan
1. Praperadilan
Tujuan praperadilan jelas tergambar di dalam definisi
berdasarkan Pasal 1 butir 10 KUHAP, dimana praperadilan hanya
memeriksa dan memutus perkara terkait dengan:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan penahanan
2. Sah atau tidaknya penyidikan atau penghentian penuntutan
3. Ganti kerugian dan rehalibitasi atas perkara yang tidak diajukan ke
pengadilan
2. Acara pemeriksaan biasa
Pada umumnya perkara yang diperiksa dan diadili dan diputus
dengan acara pemeriksaan biasa adalah perkara pidana yang diancam
dengan sanksi pidana penjara 5 tahun atau lebih atau perkara pidana
yang membutuhkan pembuktian yang cermat dan teliti. Garis besar
urutan tata cara pengajuan serta rangkaian pemeriksaan acara biasa
adalah sebagai berikut:
1. Penuntut umum melimpahkan perkara bersama dengan surat dakwaan
ke pengadilan negeri yang berwenang;
2. Ketua pengadilan negeri memeriksa kewenangan mengadili, lalu
menunjuk majelis hakim yang memeriksa perkara dalam hal ketua
pengadilan negeri berpendapat bahwa perkara tersebut berada
dalam kewenangannya
3. Majelis hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan penuntut
umum untuk memanggil terdakwa secara sah (panggilan secara sah
sesuai dengan Pasal 145 KUHAP);
4. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan dan
pada permulaan sidang, hakim ketua menanyakan identitas terdakwa
5. Hakim ketua sidang memerintahkan kepada penuntut umum untuk
membacakan surat dakwaan
6. Terhadap surat dakwaan tersebut, terdakwa atau penasihat
hukumnya memiliki hak untuk mengajukan keberatan atas dakwaan.
Adapun keberatan tersebut berdasarkan 3 (tiga) alasan, yaitu:
- Keberatan tentang kewenangan mengadili
- Keberatan tentang surat dakwaan tidak dapat diterima
- Keberatan tentang surat dakwaan harus dibatalkan
7. Hakim memberikan putusan sela atas keberatan yang diajukan
8. Proses pemeriksaan saksi
9. Proses pemeriksaan keterangan ahli
10. Pemeriksaan terdakwa
11. Penuntut umum menyusun surat tuntutan pidana setelah keterangan
terdakwa dinyatakan selesai
12. Penasihat hukum diberi kesempatan mengajukan pembelaan
13. Penuntut umum diberikan kesempatan untuk memberikan jawaban atas
pembelaan tersebut
14. Hakim memberikan putusan akhir, kemudian putusan tersebut
ditandatangani oleh majelis hakim dan panitera sesaat setelah
dibacakan
15. Upaya hukum bila ada
3. Acara pemeriksaan cepat
Perkara yang disidangkan dengan acara pemeriksaan cepat adalah
perkara tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu lintas.
Menentukan perkara termasuk tindak pidana ringan adalah berat dan
ringan ancaman sanksi pidana yang dijatuhkan. Termasuk di dalam
tindak pidana ringan adalah tindak pidana yang ancaman pidananya
paling lama 3 bulan penjara atau kurungan, atau denda sebanyak-
banyaknya Rp 7.500,- serta penghinaan ringan sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 315 KUHPidana. Pengaturan ini tercantum dalam Pasal 205
ayat (1) KUHAP.
4. Acara pemeriksaan singkat
Di dalam KUHAP, pengaturan mengenai acara pemeriksasn singkat
sangat kabur pengaturannya. Beberapa literatur menyebutkan bahwa
patokan menentukan perkara diperiksa adalah pidana yang akan
dijatuhkan berkisar paling tinggi 3 tahun.
5. Perkara koneksitas
Menurut Andi Hamzah, peradilan koneksitas adalah sistem
peradilan pidana peradilan terhadap tersangka pembuat delik
penyertaan antara orang sipil dan orang militer, dapat juga
dikatakan peradilan antara mereka yang tunduk kepada yurisdiksi
peradilan umum dan peradilan militer. Pendapat Menteri Pertahanan
dan Keamanan didasarkan atas kerugian tindak pidana yang
diitimbulkan, apabila kerugian yang ditimbulkan telah merugikan
kepentingan militer, maka pemeriksaan dilakukan di peradilan
militer, selama ketugian tidak menimbulkan kerugian bagi
kepentingan militer, maka perkara diperiksa di peradilan umum.
c. Teori Pembuktian
a. Conviction in time, yaitu sistem pembuktian dimana proses menentukan
salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian
keyakinan hakim. Hakim tidak terikat oleh alat bukti yang ada.
b. Conviction in raisonee, yaitu sistem pembuktian yang menekankan pada
keyakinan hakim berdasarkan alasan yang jelas. Sistem memberikan
batasan keyakinan hakim bahwa harus berdasarkan alasan yang jelas.
Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang
mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa
c. Pembuktian menurut undang-undang secara positif, yaitu pembuktian
hanya dapat disimpulkan dari alat-alat bukti yang telah ditentukan
oleh undang-undang tanpa adanya campur tangan keyakinan hakim.
d. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif, yaitu sistem
pembuktian campuran antara conviction in raisonee dengan sistem
pembuktian menurut undang-undang secara psoitif.
Oleh karena itu sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 183 KUHAP adalah pembuktian
menurut undang-undang secara negatif.
6. . Putusan Pengadilan
Apabila pemeriksaan sidang dinyatakan selesai oleh hakim ketua
sidang dan pemeriksaan dinyatakan ditutup, maka tahapan berikutnya
adalah musyawarah hakim untuk mencapai mufakat dalam menyusun putusan
pengadilan. Berdasarkan Pasal 1 butir 11 KUHAP, terdapat 3 (tiga) jenis
putusan pengadilan, yakni:
a. Putusan Bebas (vrijspraak)
Syarat untuk menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa, yaitu:
1. Kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah
M. Yahya Harahap menyatakan bahwa Pasal 191 ayat (1) KUHAP dapat
diperluas maknanya dengan syarat putusan bebas apabila dikaitkan
dengan hal menghapuskan pidana sesuai dengan KUHPidana, yakni
adanya alasan pembenar dan pemaaf yang membebaskan terdakwa dari
pemidanaan.
2. kesalahan terdakwa tidak meyakinkan
bahwa kekuatan pembuktian terletak pada dua alat bukti yang sah
dan keyakinan hakim, maka apabila hakim tidak yakin bahwa
terdakwa melakukan tindak pidana, maka hakim tidak dapat
menjatuhkan putusan pidana
b. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (onslag van revht
vervolging)
Syarat yang harus terpenuhi dalam putusan lepas dari tuntutan hukum,
yaitu:
1. Perbuatan terdakwa tidak terbukti
2. Bukan merupakan tindak pidana
c. Putusan Pemidanaan
Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah memperoleh
keyakinan,, bahwa terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan dan
ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP.
7. . Upaya Hukum Biasa
Upaya hukum biasa di dalam Bab XVII , yang dibagi atas:
1. Banding
Tujuan dari diajukannya upaya hukum banding adalah:
a. Memperbaiki kekeliruan pada tingkat pertama
b. Mencegah kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan
c. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum
Putusan yang dapat diajukan banding adalah
a. Putusan pemidanaan dalam acara biasa
b. Putusan pemidanaan dalam acara singkat
c. Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima
d. Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum
e. Putusan perampasan kemerdekaan dalam acara cepat
f. Putusan praperadilan terhadap penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan
Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak dapat diajukan banding
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 KUHAP adalah:
a. Putusan bebas
b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum
c. Putusan acara cepat
Putusan pengadilan tingi dalam perkara banding dapat berupa:
a. Menguatkan putusan pengadilan negeri baik berupa menguatkan putusan
pengadilan negeri secara murni, menguatkan putusan dengan tambahan
pertimbangan, menguatkan putusan dengan alasan pertimbangan hakim
b. Mengubah atau memperbaiki amar putusan pengadilan negeri dengan cara
perubahan atau perbaikan kualifikasi tindak pidana, perubahan atau
perbaikan mengenai barang bukti, perubahan atau perbaikan pemidanaan
c. Membatalkan putusan pengadilan negeri
2. Kasasi
Tujuan dari kasasi, yaitu:
a. Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan di bawahnya
b. Menciptakan dan membentuk hukum baru
c. Pengawasan terhadap terciptanya keseragaman penerapan hukum
Putusan yang dapat diajukan kasasi adalah:
a. Putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan kecuali putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung
b. Putusan bebas
Putusan Mahkamah Agung dalam perkara kasasi dapat berupa:
a. Menyatakan kasasi tidak dapat diterima
b. Meolak permohonan kasasi
c. Mengabulkan permohonan kasasi
8. . Upaya Hukum Luar Biasa
1. Peninjauan Kembali
Dasar dilakukannya upaya hukum peninjauan kembali adalah:
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat
b. Hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan
telah terbukti bertentangan dengan satu yang lain
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruan yang nyata
d. Perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi
tidak diikuti oleh suatu pemidanaan
2. Kasasi demi Kepentingan Hukum
Patokan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugkan pihak yang
berkepentingan, yaitu:
a. Tidak menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap putusan bebas atau lepas
dasri segala tuntutan hukum
b. Tidak memperberat pidana dari apa yang telah dijatuhkan dalam putusan
yang dikasasi demi kepentingan hukum
c. Tidak boleh mencabut hak perdata jika hal itu tidak terdapat dalam
putusan yang dikasasi.