PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME Esai ini ditulis untuk memenuhi tugas sebagai salah satu syarat kelulusan Pendidikan Kewarganegaraan jurusan Elektronika dan Instrumentasi
FADHLIA ANNISA 10/300288/PA/13198
ELEKTRONIKA DAN INSTRUMENTAS
UNIVERSITAS GADJAH MADA
I. Pengertian Pluralisme dan Multikulturalisme Akar kata pluralisme adalah plural yang berari jamak atau lebih dari satu. Secara etimologis pluralisme terdiri dari kata plural yang berarti jamak atau lebih dari saru dan –isme yang berarti aliran atau kepercayaan. Jadi pengertian pluralisme secara sederhana yaitu banyak kepercayaan, pluralisme menganut banyak kepercayaan. Sedangkan pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk baik yang bersangkutan dengan sistem sosial ataupun sistem politiknya. Secara etimologis multikulturalisme terdiri dari kata multi yang berarti plural, kultural yang berati kebudayaan dan isme yang berarti aliran atau kepercayaan. Jadi multikulturalisme secara sederhana adalah paham atau aliran tentang budaya yang plural. Dalam pengertian yang lebih mendalam istilah multikulturalisme bukan hanya sekedar pengakuan terhadap budaya (kultur) yang beragam melainkan pengakuan yang memiliki implikasi-implikasi politis, sosial, ekonomi dan lainnya. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia multikulturalisme adalah gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan. II. Aturan-Aturan Hukum Pluralisme dan Multikulturalisme Pasal 28 C ayat 1 UUD 1945 1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologo, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia Pasal 28 E ayat 1 dan 2 UUD 1945 1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. 2. setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Pasal 28 I ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945 1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan jati nurani, hak beragama hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas hukum yang berlaku surutadalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. 2. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadapa perlakuan yang bersifat diskriminatif itu, 3. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu. Pasal 32 ayat 1 dan 2 UUD 1945 1. Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. 2. Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Pasal 4 UU No. 20 tahun 2003 1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. 2. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. 3. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. 4. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. 5. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. 6. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. III.Pendapat Tokoh Mengenai Pluralisme dan Multikulturalisme 1. Syaykh Abdussalam Panji Gumilang Syaykh Abdussalam Panji Gumilang, Pemimpin Ma’had Al-Zaytun ini adalah seorang beriman pembawa damai dan toleransi. Di pondok pesantren modern ini, dia telah mengembangkan budaya toleransi dan perdamaian. Bukan hanya dalam teori, wacana atau slogan, tetapi dalam aplikasi dan keteladanan. Sebagai pemangku pendidikan pesantren, dia selalu menunjukkan keteladanan dalam membimbing santrinya untuk membina persaudaraan dengan siapa pun tanpa membedakan asal-usul dan agamanya. Syaykh Panji Gumilang yang memulai (berinisyatif) menyebar damai dan persaudaraan dalam persahabatan mereka. Manakala, dia mengirim kartu ucapan Selamat Natal kepada sejumlah pendeta dan pimpinan gereja. Kartu Natal yang menjadi awal berkembangnya damai dan toleransi sehingga kedua umat beriman itu saling mengunjungi dan saling memahami.
Syaykh Panji Gumilang mengambil inisyatif damai, toleransi, persaudaraan dan persahabatan. Persahabatan yang kental juga telah lebih awal dijalin oleh Syaykh dengan komunitas Taiwan di Indonesia. Ditandai kunjungan Kepala Kantor Perwakilan Dagang dan Ekonomi Taiwan di Indonesia sejak dipimpin oleh Mr. Sui Chi Lin hingga pejabat yang baru Mr. David Y.L. Lin. Kantor itu, merupakan kantor perwakilan negara Taiwan, setingkat dengan kantor duta besar, di Indonesia. Oleh karena masih terdapat perbedaan sikap pandang politik antara RRC dan Taiwan (yang dulu disebut China Taipei) hal itu membuat pemerintah Indonesia yang menjalin hubungan diplomatik dengan keduanya berada pada posisi sulit. Begitu pula persahabatan dengan John Rath, Second Secretary Kedutaan Besar AS yang juga sebagai Atase Politik AS, bersama rombongan berkunjung dan berdoa di Ma’had Al-Zaytun. John Rath, Atase Politik negara adi daya, itu ketika berkunjung ke Ma’had Al-Zaytun bertutur, masyarakat Amerika tetap ingin bersahabat dengan Indonesia. Bahkan John Rath berdoa di dalam bangunan Masjid Rahmatan Lil ‘Alamin agar persahabatan Indonesia dan Amerika selalu abadi. “Kami berdoa untuk kejayaan sekolah ini serta orang-orang yang bersama sekolah ini, hari ini dan di masa yang akan datang,” kata John Rath. Memang, dalam pandangan Syaykh Panji Gumilang, persahabatan sejati akan selalu menghasilkan manfaat bagi siapa saja, terutama bagi para pelakunya. Apalagi jika persahabatan dikelola dengan cerdas, tulus dan bersahaja. Menurut Doktor HC dari IPMA London ini, persahabatan adalah pintu masuk terbaik untuk menuju perdamaian di muka bumi. Dengan persahabatan, katanya, tak hanya perdamaian yang diperoleh, melainkan pintu kesejahteraan pun menjadi terbuka lebar. Bagi dia dan Ma’had Al-Zaytun, persahabatan bukan hanya sekadar kata manis yang enak didengar. Tetapi, segenap civitas akademika Ma’had Al-Zaytun telah membuktikan dalam pergaulan kesehariannya. Hal mana ma’had ini senantiasa menjalin persahabatan dengan siapa pun yang mau tanpa memandang perbedaan agama, kultur atau afiliasi politik. Menurutnya, toleransi adalah akidah dalam beragama. “Pengakuan adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, yaitu Tuhan Allah/God/Yahweh/Elohim, yang disertai ketundukan itu, merupakan fitrah/naluri yang dimiliki oleh setiap manusia. Kendati demikian, manusia tetap memerlukan adanya pemberi peringatan agar tidak menyeleweng dari fitrahnya, mereka adalah para nabi dan rasul,” ujarnya. Dia menjelaskan, perasaan tunduk kepada Yang Maha Tinggi, yang disebut iman, atau i’tikad, yang kemudian berdampak pada adanya rasa suka (rughbah), takut (ruhbah), hormat (ta’dzim) dan lain lain, itulah unsur dasar al-din (agama). Al-din (agama) adalah aturan-aturan atau tata-cara hidup manusia yang dipercayainya bersumber dari Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Berbagai agama telah lahir di dunia ini dan membentuk suatu syareat (aturan) yang mengatur kehidupan manusia, yang termaktub di dalam kitab-kitab suci, baik agama samawi (yang bersumber dari wahyu Ilahi) maupun yang terdapat dalam agama ardli (budaya) yang bersumber dari pemikiran manusia. Semua agama-agama, baik samawi maupun ardli, memiliki fungsi dalam kehidupan manusia. Berbagai fungsi tersebut adalah: (i) menunjuki manusia kepada kebenaran sejati; (ii) menunjuki manusia kepada kebahagiaan hakiki; dan (iii) mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bersama.
2. M. Syafi’i Anwar Wacana pluralisme kini kembali memperoleh relevansinya dengan terjadinya berbagai peristiwa yang mengganggu hubungan antarpenganut agama-agama di Indonesia. Namun, pluralisme sering dipahami secara salah dengan menganggap menyamakan semua pandangan agama-agama yang berbeda. Menurut M syafi’i Anwar, itu salah besar. Pluralisme itu mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju. Selain itu, yang terpenting, bukan sekadar menjadi toleran, melainkan menghormati ajaran agama orang lain. Dan sadar betul bahwa keberagamaan orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan inheren dengan hak asasi manusia, kata M Syafi'i Anwar (52),. Syafi'i Anwar, seorang intelektual Muslim yang sejak lama bergelut dengan pluralism, mengkhawatirkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan pluralisme bisa ditafsirkan lain di masyarakat bawah. Hal ini pada gilirannya akan mengganggu hubungan antarpenganut agama-agama. Konsep pluralisme yang tidak sekadar toleransi, tetapi lebih menuju kepada penghormatan (respect) kepada yang lain (the others), diakui Syafi'i misalnya dikemukakan Klaus-Jurgen Hedrich, salah seorang tokoh Partai CDU (Christian Democratic Union) Jerman Barat yang juga mantan Wakil Menteri Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan. Pendapat Klaus ini saya setujui sepenuhnya. Namun, Islam sendiri sebetulnya juga mengajarkan pluralisme, ujar pria kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 27 Desember 1953, itu. Akan tetapi, kegiatan untuk memperjuangkan pluralisme tersebut bukannya tanpa hambatan. Ketika memimpin jurnal Ulumul Quran darah saya pernah dihalalkan oleh sekelompok radikal yang meminta mencabut tulisan Cak Nur (Nurcholish Madjid), tuturnya kepada Kompas pekan ini. Adayan kelompok islam puritanisme-konservatif yang muncul karena cara berpikir yang literal, contohnya anggapan bahwa pemeluk yahudi dan Kristen tidak akan berhenti sebelum masuk keagama mereka, membuat terciptanya kelompok garis keras. Selain itu, adanya masyarakat tanpa hukum dikarenakan krisis perekonomian, ketidak pastian politik sehingga muculnya pemikiran untuk memunculkan hukum dengan garis keras. Untuk menjembatani kelompok tersebut munculah kelompok progresif-liberalis seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) karena tidak setuju atas aksi-aksi keras tersebut. Namun terjadi public shock karena JIL mendekonstruksikan hampir semua syariat islam. Syafi'i Anwar percaya, untuk mengubah pola pikir masyarakat tentang keragaman keberagamaan, solusinya adalah pendidikan pluralisme dan multikulturalisme di sekolahsekolah. Terlebih lagi ide tersebut sejalan dengan Deklarasi Bali tentang Membangun Kerukunan Antar-agama dalam Komunitas Internasional dari 174 tokoh Asia-Eropa yang mengikuti dialog antar-agama 21 Juli 2005. Dalam deklarasi itu diusulkan antara lain membuat kurikulum di sekolah lanjutan mengenai studi antar-agama, yang dimaksudkan
untuk menumbuhkan pemahaman dan saling menghormati antarpemeluk agama yang berbeda-beda. Karena melalui pendidikanlah mindset seseorang dapat diubah.
3. Franz Magnis Suseno Menurut dosen Sekolah Tinggi Filsafa Driyarkara ini, Indonesia merupakan bangsa yang pluralistik secara budaya, etnik dan kesukuan, dan juga dalam dimensi agama. Jelaslah peran agama di Indonesia sangat menentukan masa depannya. Pastor kelahiran Jerman, 26 Mei 1936 ini dalam makalahnya pada Seminar Agama-Agama XV: Theologia religionum, mengatakan agama dengan sendirinya dihubungkan dengan yang suci, baik hati, berbelas kasih, bebas pamrih, berdamai. Tetapi, dalam kenyataan, kita mengamati bahwa dalam banyak tindak kekerasan, terorisme dan konflik bersenjata, agama-agama dalam salah satu bentuk terlibat. Terutama kita mengobservasikan suatu kecenderungan ke arah primordialisme, baik etnik maupun agama, dan begitu pula fundamentalisme agama - suatu paham yang cukup kabur dan untuk sementara dibiarkan saja - kelihatan bertambah terus dalam berbagai bentuk. Dalam konteks tersebut, beliau tidak akan menjadi peramal dan menjawab pernyataan tersebut. Yang ingin beliau kemukakan adalah beberapa gagasan untuk kita dapat memahami apa yang kita alami. Hal ini memberikan tantangan untuk agama-agama terutama di Indonesia untuk mengatasi masalah-masalah yang mungkin terjadi. Beliau mengajukan sebuah hipotesa. Bahwa kita, di Indonesia sedang terlibat dalam proses perubahan paradigma tentang manusia, yaitu perubahan yang sedang berlangsung di seluruh dunia (antara lain, karena didukung oleh komunikasi global), yaitu dari paradigma "orang kita-orang asing" ke paradigma "martabat manusia universal". Beliau ingin memperlihatkan bahwa manusia universal sebenarnya sudah didasarkan dalam agama-agama besar, namun semula tidak dapat menjadi operatif. Bawa peubahan perubahan yang besar menginisiasikan proses modernisasi berbarengan dengan perubahan paradigma itu; Bahwa paradigma manusia universal selama abad-abad terakhir di perjuangkan bukan oleh agama-agama, melainkan oleh pelbagai ideologi sekularistik; Bahwa pada akhir abad ke-20 ini ideologi-ideologi kelihatan sudah kehabisan nafasnya; Bahwa karena itu yang sekarang ditantang adalah agama-agama, dan sangat akan tergantung apakah agama-agama mau menerima dan memperjuangkan paradigma manusia universal. Kekosongan yang ditinggalkan oleh ideologi-ideologi besar menempatkan agamaagama di pusat tanggung jawab. Agama-agama selalu berfungsi untuk menyediakan makna kepada manusia. Ideologi-ideologi keselamatan sekularistik tidak lebih dari substitusi dan sekarang habis. Mau tak mau, agama-agama -yang sering belum siapberhadapan dengan situasi yang ditandai perubahan sosial dan kultural yang cepat, disertai perubahan paradigma tentang manusia. dapat dikata dengan menempatkan agama pada situasi sepertini menempatkan agama-agama di hadapan historis. Dengan melayunya ideologi-ideologi keselamatan sekularistik besar abad yang lalu agama-agama ditempatkan ke dalam tantangan yang dapat disebut historis: Apakah mereka siap dan bersedia untuk menjadi pendukung utama etika kemanusiaan universal,
warisan ideologi-ideologi besar yang sebenarnya warisan agama-agama sendiri? Ataukah mereka menjadi egosentrik dan sempit dan gagal menyambut panggilan historis itu? Dapat juga dirumuskan begini: Apakah agama-agama berani merealisasikan universalisme positif yang dititipkan Sang Pencipta ke dalam mereka. Peran agama-agama di masa mendatang, dalam dunia global modern, menurut saya, akan ditentukan dari sikap yang diambil agama-agama dalam situasi historis ini. Kalau agama-agama bereaksi tertutup, jadi kalau terjadi sebuah reprimordialisasi, agamaagama dapat menjadi ancaman bagi kesatuan dan persatuan serta bagi masa depan bangsa. Sebaliknya, apabila agama-agama itu berani memperjuangkan manusia, dan masyarakat manusiawi, sesuai dengan bagaimana Sang Pencipta menghendaki hubungan antarmanusia, agama-agama justru menjadi pembela manusia-manusia, berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik dan ekonomis yang mendehumanisasikan masyarakat. Kiranya, medan konflik ideologis dalam dasawarsa-dasawarsa mendatang tidak lagi ditentukan oleh pertentangan oleh ideologi-ideologi besar, tidak juga antara agama dengan ideologi itu (karena alasan sama), tetapi juga tidak oleh pertentangan antara agama-agama sendiri (sekarang saja di mana masih banyak terdapat gesekan, salah paham, saling curiga antara agama, kita menyaksikan suatu tekad yang membesarkan hati: sebenarnya agama-agama besar bersedia untuk saling menerima - tanpa menjadi relativistik). IV. Kondisi Pluralisme dan Multikulturalisme saat ini Indonesia merupakan negara yang terbentuk dari beribu-ribu pulau, tentu saja memiliki beraneka ragam suku dan kebudayaan yang berbeda. Antara budaya yang satu dengan budaya yang lain pasti memiliki perbedaan meskipun perbedaan tersebut sangat tipis. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari bahasa, kebiasaan, cara berbicara, dan keyakinan. Kebudayaan masyarakat Indonesia saat ini sangat plural. Hal ini dapat dilihat dari adanya kebersamaan yang terdapat pada setiap masyarakat dimana masyarakat tersebut berasal dari latar belakang kebudayaan yang berbeda. Kebanyakan dari masyarakat Indonesia dapat hidup berdampingan tanpa mempermasalahkan adanya perbedaan perbedaan. Di kota-kota besar, di mana masyarakatnya sangat heterogen, perbedaan-perbedaan meskipun mencolok tetap diabaikan. Hampir setiap orang dapat bergaul dan bekerja sama dengan orang dari budaya lain dalam memenuhi kebutuhannya seperti kebutuhan untuk memenuhi sandang, pangan dan papan yang tentu saja diperlukan kerja sama untuk seminimalnya dengan teman sepekerja. Dalam kebutuhan memperoleh pendidikan baik di sekolah atau pun di bangku perkuliahan. Setiap siswa dapat bekerja sama dalam mengerjakan tugas mereka. Adanya penggabungan dua kebudayaan atau lebih, seperti asimilasi melalui perkawinan yang berasal dari kebudayaan yang berbeda yang kemudian saling menggabungkan kebudayaan tanpa menghilangkan kebudayaan asalnya dan akulturasi penggabungan dua kebudayaan yang menciptakan kebudayaan yang baru. Adanya penggabungan kebudayaan ini dapat menciptakan ikatan yang bahkan lebih kuat dari pada ikatan sesama daerah. Adanya toleransi terhadap sesame umat yang berbeda agama, misalnya ada masjid yang bersebelahan dengan gereja. Masing-masing umat beragama menjalankan ibadah sesuai dengan apa yang diyakini tanpa memandang apa yang dianut oleh orang lain Contoh konkretnya adalah mahasiswa di Universitas Gajah Mada yang berasal dari berbagai daerah, baik itu dari pulau jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Irian bahkan dari luar
negeri dapat kuliah, berorganisasi, belajar dan bergaul bersama-sama tanpa adanya bentrok antar daerah. Meskipun di beberapa daerah dapat menerima perbedaan dari budaya yang berbeda, namun di daerah lainnya terdapat shock public karena ketidak sesuaian dan ketidak inginan untuk menerima budaya lain, mereka cenderung menganggap budaya dan keyakinan mereka lebih hebat dari suku lain dan tidak menerima budaya yang berbeda dari mereka tanpa melihat dan mengerti terlebih dahulu budaya orang lain seperti apa. Dan mereka tidak mau bertoleransi terhadap keyakinan yang dimiliki oleh orang lain. Ketidak sesuaian tersebut menyebabkan terjadinya bentrok antar warga dan sampai kepada tindakan yang anarkis. Misalnya kejadian yang terjadi di Poso Sulawesi yang terjadi karena perbedaan agama penduduk setempat dengan para transmigran yang tidak saling menerima perbedaan keagamaan tersebut. Kejadian ini berakhir dengan berjatuhannya korban dengan sangat mengenaskan dan tentu saja tidak sedikit. Kerugian yang dialami tentu saja sangat besar. Padahal jika mereka saling menghargai dan saling bertoleransi kejadian tersebut kerugiankerugian tersebut tidak akan terjadi. V. Upaya Meningkatkan Kualitas Kehidupan Berbangsa dalam Bingkai Pluralisme dan Multikulturalisme Pluralisme dan multikulturalisme mempunyai peran yang besar terhadap pembangunan bangsa karena Indonesia tentu saja memiliki berbagai macam kebudayaan dan keyakinan. Adanya prinsip bhineka tunggal ika yaitu berbeda-beda tapi satu jua, mencermikan kepribadian bangsa yang terdiri dari beragam budaya namun memiliki satu bangsa, satu Negara, satu tanah air, satu bahasa dan satu cita-cita. Cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum pada Pembukaan UUD 1945 harus terlaksana melalui pembangunan nasional. Pembangunan nasional tentu saja tidak dapat dilakukan oleh satu orang atau penguasa saja. Pembangunan nasional harus dilaksanakan oleh seluruh warga Negara Indonesia agar pembangunan tersebut menjadi tepat sasaran yaitu mewujudkan dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Dalam hal ini diperlukan kerja sama antar warga, termasuk kita sebagai warga Negara. Sebenarnya upaya upaya awal yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan dalam bingkai apapun adalah melalui pendidikan. Karena melalui pendidikan seseorang dapat belajar dan berkembang dari yang bisa menjadi bisa dalam konteks apapun. Dengan pendidikan, Indonesia dapat menghasilkan sumber daya yang berkualitas yang sangat berguna untuk pembangunan nasional. Namun disamping pendidikan mengenai keilmuan, dibutuhkan pendidikan tentang hubungan Negara dengan wara Negara juga hubungan warga Negara dengan sesama melalui Pendidikan Kewarganegaraan dan Pancasila. Pendidikan juga merupakan salah satu cara untuk mengatur dan membentuk pola pikir seseorang. Pendidikan Kewarganegaraan dan Pancasila yang dimulai sejak kecil akan membentuk pola pikir seseorang dan mengaturnya berpikir mengenai keyakinan keagamaan, hak dan kewajiban, HAM, demokrasi dan ekonomi. Dengan seseorang belajar Kewarganegaraan dan Pancasila maka seseorang tersebut akan diajarkan bagaimana cara bekerja sama dengan orang yang memiliki keyakinan dan kebudayaan yang berbeda melalui sikap saling menghargai dan bertoleransi terhadap sesama. Untuk menumbuhkan sikap saling menghargai dapat dimulai dari diri sendiri. Mengharhai tidak harus menghargai orang lain saja tetapi harus dapat menghargai diri sendiri,
seperti menghargai hasil karya diri sendiri dan menghargai waktu yang kita miliki. Dengan kita dapat menghargai diri kita, kita pasti dapat menghargai orang lain dengan kebudayaannya. Sikap toleransi juga sangat penting dalam membangun hubungan untuk bekerja sama. Konsepnya sama saja dengan menghargai, yaitu dengan kita bertoleransi dan memberikan kesempatan untuk orang berbeda agama dari kita untuk beribadah, orang lain juga akan memberikan toleransi kepada kita. Jika terdapat banyak perbedaan kita tidak boleh mencela atau mengolok apa yang mereka lakukan, karena bagaimanapun itu merupakan bentuk komunikasi terhadap tuhannya. Melalui Pendidikan Kewarganegaraan dan Pancasila kita akan diajarkan bagaimana kita dapat berdemokrasi dan berpolitik, mencapai tujuan dengan bekerja sama dengan orang lain sehingga apa yang menjadi tujuan suatu organisasi dapat terwujud. Jadi untuk meningkatkan kualitas kehidupan bangsa dan bernegara dapat dilakuakan melalui pendidikan baik itu pendidikan ilmu pengetahuan maupun pendidikan Kewarganegaraan dan Pancasila sehingga apa yang menjadi tujuan dan cita-cita bangsa terwujud.
DAFTAR REFERENSI http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/kbbi/index.php http://dualmode.depag.go.id/acis09/file/dokumen/GustiyanaIsya.pdf http://itjen.depdiknas.go.id/index.php? option=com_docman&task=doc_download&gid=35&Itemid=1 Setijo, Panji. 2010. Pendidikan Pancasila: Prespektif Sejarah Perjuangan. Jakarta: Kompas Gramedia. http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/abdussalam/biografi/index4.shtml http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/syafii-anwar/berita/01.shtml http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/f/franz-maginis-suseno/wawancara.shtml http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/10/pluralisme-dan-multikultural/