15
HR. Aḥmad dalam Musnadnya, jilid 5, hlm 411
Lihat: Al-Nisā': 164 dan Ghāfir: 78
Cermati: al-Kahf:29, dan Hūd: 118
Cermati: Yūnus: 99
Cermati: Al-Hajj: 68-69, dan Al-ṣūrā: 15
Cermati: Al-Mā'idah:8.
MAKALAH
PLURALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Islam Kontemporer
pada Semester Genap Tahun 2012/2013
Dosen pembimbing :
Disususun oleh:
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN MATA KULIAH DASAR UMUM
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Ilahi Rabbi yang senantiasa melimpahkan rahmat, inayah dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penelitian ini.. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada junjunan Alam Nabi Muhammad SAW kepada keluarganya, para sahabatnya, hingga kita selaku umatnya di akhir zaman.
Tersusunnya makalah ini adalah berkat kerjasama teman-teman yang telah membantu kelancaran penyusunan dan juga atas bimbingan dari dosen pembimbing mata kuliah ini, maka dari itu kami haturkan terimakasih.
Tak lupa kami haturkan terima kasih kepada Bapak Toto Suryana, Af., M.Pd. sebagai pembimbing mata kuliah Pemikiran Islam Kontemporer, karena dengan adanya tugas ini menambah wawasan pengetahuan kami khususnya tentang pemikiran Islam yang sedang berkembang saat ini.
Atas segala kekurangan dan kesalahan dalam penulisan laporan observasi ini, kami sampaikan permohonan maaf.
Bandung, 13 Mei 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 3
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
BAB II 6
PEMBAHASAN 6
2.1. Definisi 6
2.2. Islam dan Pluralisme Agama 7
BAB III 18
PENUTUP 18
DAFTAR PUSTAKA 19
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pluralisme Agama, atau yang kini biasa disebut Pluralisme saja, merupakan istilah yang berbunga-bunga, dan penuh dengan janji. Janji tentang kehidupan damaidan rukun antar masyarakat yang berbeda –terutama agama, aliran kepercayaan ras, etnik, kelas sosial dan kelas ekonomi. Tentu saja, bagi masyarakat majemuk seperti Indonesia Pluralisme memberi janji baru, karena eksperimen lebih 50 tahun berakhir dengan krisis di segala segi kehidupan bangsa.
Gagasan ini sepintas tampak menjanjikan harapan-harapan dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, namun kajian yang lebih mendalam, objektif dan kritis terhadapa gagasan tersebut telah menunjukkan hakikat yang justru sebaliknya dan semakin menyingkap topeng yang menyembunyikan wajah aslinya yang ternyata bengis, tak ramah dan intoleran. Di sampin kontradiksi yang sangat jelas denga arti etimologis pluralisme agama, gagasan ini sebenarnya banyak mengandung problem yang sangat krusial. Sebagian diantaranya adalah problem epistimologis, dan sebagian lainnya adalah problem metodologis, dan lainnya adalah problem teologis, sehingga jika diimplementasikan di alam nyata secara apa adanya jelas justru akan menimbulkan problem-problem yang berlawanan secara diametral dengan tujuan-tujuan yang semula ingin dicapai. Sehingga yang terjadi adalah intoleran dan bukan toleran, pemaksaan dan bukan kebebasan, kezaliman dan bukan keadilan, dan sebagainya. (Toha, 2005, hal. 3)
Rumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut.
Apa definisi dari pluralisme agama?
Bagaimana konsep plurarisme dalam pandangan Islam
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi
Istilah "pluralisme agama" masih sering disalahfahami atau mengandung pengertian yang kabur, meskipun terminologi ini begitu populer dan tampak disambut begitu hangat secara universal. Namun tidak banyak, bahkan langka, yang mencoba mendefinisikan pluralisme agama itu. Seakan wacana pluralisme agama sudah disepakati secara konsensus dan final, dan untuk itu taken for granted. (Toha, 2005, hal. 11)
Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu "pluralisme" dan "agama". Dalam bahasa Arab diterjemahkan "al-ta'addudiyah al-dīniyyaħ" dan dalam bahasa Inggris "religious pluralism". Oleh karena istilah pluralisme agama ini berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti "jamak" atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang uda jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Ketiga, pengertia sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing. (Toha, 2005, hal. 11-12)
Keragaman (diversity) adalah persoalan dalam permasalahan agama, etnik, dan data demografis lainnya. Sedangkan Plurarisme (pluralism) adalah sistem nilai, sikap, institusi dan proses yang bisa menerjemahkan realitas keragaman menjadi kohesi sosial yang berkelanjutan. Dengan demikian, fenomena keragaman adalah ciri permanen masyarakat yang berbeda bentuk dan dinamika. (al-Na'īm, 2007, hal. 391)
Secara sederhana pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya menoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya. (abahzacky, 2010)
Keragaman adalah suatu yang empiris, sedangkan pluralisme adalah ideologi dan sistem yang menerima keragaman sebagai nilai positif dan terus berusaha memfaslitasi proses negosiasi dan penyesuaian diri diantara mereka, tanpa memusnahkan salah satu atau sebagian dari keragaman itu. (al-Na'īm, 2007, hal. 391)
Sementara itu definisi agama dalam wacana pemikiran barat telah mengundang perdebatan dan polemik yang tak berkesudahan, baik di bidang ilmu filsafat agama, teologi, sosiologi, antropologi, maupun bidang ilmu perbandingan agama. Sehingga sangat sulit, bahkan hampir bisa dikatakan mustahil, untuk mendapatkan definisi agama yang bisa diterima atau disepakati semua kalangan. Dan sakung sulitnya, sebagian pemikir berpendapat bahwa agama adalah kata-kata yang tidak mungkin didefinisikan. (Toha, 2005, hal. 12)
Pada saat ini, pluralisme atau khususnya pluralisme agama menjadi salah satu dari empat hal yang ditawarkan Islam Liberal selain dari emansipasi, toleransi, dan demokrasi. Akidah pluralisme ini menjadi 'rukun iman' yang paling menonjol pada Islam Liberal. Untuk mengkampanyekan pemikiran mereka, para pemikir Islam Liberal mencari dan menafsirkan kembali ayat-ayat yang bisa dijadikan dalih untuk mengesahkan apa yang menjadi keyakinan mereka tersebut. (Abdillah, 2006, hal. 17)
Islam dan Pluralisme Agama
Ada satu fakta yang tidak dapat diingkari, bahwa terminologi pluralisme atau dalam bahasa Arabnya, "al-ta'addudiyyaħ", tidaklah dikenal secara populer dan tidak banyak dipakai di kalangan Islam kecuali sejak kurang lebih dua dekade terakhir abad ke-20 yang lalu. Yaitu ketika terjadi perkembangan penting dalam kebijakan internasional barat yang baru yang memasuki sebuah fase yang dijuluki Muḥammad 'Imārah sebagai "marḥalat al-ijtiyāḥ" (fase pembinasaan). Yakni perkembangan yang prinsipnya tergurat dan tergambar jelas dalam upaya Barat yang habis-habisan guna menjajakan ideologi modernnya yang dianggap universal, seperti demokrasi, pluralisme, HAM dan pasar bebas. (Toha, 2005, hal. 180-181)
Biasanya konsep pluralisme di Islam pada awalnya memang tidak adanya konsep yang dituangkan dalam satu karya independen, namun bukan berarti tidak dibahas sama sekali. Biasanya konsep ini terdapat dalam satu bab atau sub-bab pembahasan fiqhiyyah dalam kitab-kitab fiqih, tidak dalam bahasan teologi. Hal ini, dikarenakan isu-isu pluralitas keagamaan dalam pandangan para ulama Islam lebih mengupas masalah koeksistensi dan interaksi sosial praktis antar-anak manusia yang berafiliasi kepada agama, tradisi dan kultur yang berbeda: yakni masalah yang berhubungan dengan bagaimana mengatur dan mengurus individu-individu dan/atau kelompok-kelompok yang hidup dalam sebuah tatanan masyarakat yang satu, baik yang manyangkut hak maupun kewajiban, untuk menjamin ketentraman dan perdamaian umum. Jadi, permasalahannya lebih merupakan masalah aplikatif, praktis, administratif dan historis, daripada masalah teologis, dimana wahyu telah menuntaskan secara final dan menyerahkan semuanya kepada kebebasan dan kemantapan individu untuk memilih agama atau keyakinan sesuai dengan yang mereka yakini, sebagaimana firman Allāh Swt,
Artinya :"tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat."(QS. Al-Baqarah [2]:256)
Dengan demikian terdapat perbedaan mendasar antara Islam dan teori-teori pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis tentang isu dan fenomena pluralitas agama. Islam memandangnya sebagai hakikat ontologis yang genuine yang tidak mungkin dinafikan, sementara teori-teori pluralis melihatnya sebagai keragaman yang hanya terjadi pada level maifestasi eksternal yang superfisial, sehingga tidak hakiki atau genuine. Perbedaan metodologis ini pada gilirannya menggiring pada perbedaan dalam menentukan solusi. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis –oleh karenanya lebih bersifat fiqhiyyah, sementara teori-teori pluralis memberikan solusi telogis epistemologis. (Toha, 2005, hal. 180-191)
Dasar-dasar Teoretis
Sebagaimana dijelaskan di atas, ciri-ciri perspektif Islam adalah "realistis" (wāqi'iyyaħ), yakni sesuai dengan realitas dan menempatkan serta memperlakukannya sebagaimana adanya. Oleh karena itu, keberadaan "yang lain" (existence of "other"), sebagai suatu fenomena sosial alami, tidak ada masalah dengan Islam, sebab agama ini memang diturunkan Allāh Swt sebagai sistem atau pedoman yang komprehensif untuk manusia di bumi, secara individu maupun kolektif, bahkan lebih dari itu: sebagai rahmat untuk seluruh alam semesta. Maka, tidak ada aspek apapun dari kehidupan ini yang tidak tersentuh ajaran atau aturan Islam yang jelas, atau paling kurang, dasar-dasar teoretisnya, yang jika diterapkan dengan semestinya, maka keseimbangan mekanisme kehidupan, kesejahteraan serta kedamaian yang adil dan menyeluruh akan terwujud, sehingga pada gilirannya akan memudahkan manusia melaksanakan risalah utama yang menjadi raison d'tre dari penciptaannya, yaitu beribadah kepada Allāh Swt dalam pengertian yang luas. (Toha, 2005, hal. 183-184)
Masalah kehidupan bersama antar-agama di dalam masyarakat Islam –yang merupakan masalah sosial yang sangat penting dan serius sekali- sekaligus sensitif, jelas mendapat perhatian yang bergitu besar. Untuk menjamin normalnya perputaran dan perjalanan tersebut, syariat Islam telah meletakkan ketentuan dan dasar teoretis yang tidak dilandaskan pada filsafat yang diimpor dari luar, seperti positivisme, relatifisme, dan skeptisisme, melainkan dilandaskan langsung pada dua sumbernya yaitu Al-Qur'ān dan Sunnah. Dasar-dasar teoretis ini meliputi: (i) tawḥīd, (ii) pluralitas adalah sunnatullāh, (iii) kebebasan beragama, dan (iv) pluralitas mengandaikan frame of reference. (Toha, 2005, hal. 184)
Tawḥīd
Pandangan Islam terhadap agama lain pada dasarnya berangkat dari aqidah tawḥīd, yang dituangkan dalam kalimat simpel "lā ilāha illallāh". Yan merupakan esensi dasar agama Islam dan realitas fundamental dalam aqidah Islam. (Toha, 2005, hal. 184)
Aqidah tawḥīd sebenarnya simpel, tidak kompleks dan mudah dipahami. Aqidah ini bukan ciptaan umat Islam, atau dibentuk ulang oleh umat Islam sesuai dengan kepentingan atau imajinasi mereka seperti yang dituduhkan Jacques Waardenburg dalam kesimpulan kajiannya mengenai sikap ulama Islam terhadap agama-agama lain. Aqidah ini sudah mengkristal dalam al-Qur'ān untuk dibaca seluruh manusia. Ia dapat difahami manusia sekarang dengan tingkat kefahaman yang tidak beda dengan apa yang dulu difahami bangsa Arab pada zaman Rasūlullāh saw. (Toha, 2005, hal. 185)
Sentralitas tawḥīd dalam tinjauan Islam terhadap fenomena pluralitas agama tampak secara gamblang dalam bagaimana Islam melihat hakikat tuhan, hakikat wahyu, hakikat manusia, dan hakikat masyarakat? Dari perspektif tawḥīdi, keempat hakikat ini, masing-masing berkaitan secara ontologis dengan hakikat agama-agama lain, dan oleh karenanya akan menentukan posisi agama-agama tersebut dalam Islam. (Toha, 2005, hal. 185)
Tawḥīd dan Hakikat Ketuhanan
Tawḥīd yang tertuang dalam kalimat "lā ilāha illallāh" mengimplikasikan adanya dua hakikat yang saling berbeda dan dikotomis: yaitu hakikat ketuhanan (ulūhiyyaħ) dan kehambaan (ubūdiyyaħ). Hakikat ketuhanan hanya dimiliki oleh Allāh Swt sedangkan hakikat kehambaan dimiliki oleh selain Allāh. Tawḥīd inilah yang sejatinya merupakan pokok semua agama yang diajarkan oleh semua rasul, yaitu Islam. (Toha, 2005, hal. 186)
Al-Qur'ān menegaskan hakikat ini dengan sangat gamblang, dan mengulang-ulang bersama kisah setiap rasul Allāh Swt berfirman,
Artinya : dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku".(QS. Al-Anbiyā [21]:25)
Juga Allāh berfirman:
Artinya :Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). (QS. Al-A'rāf [7]:59)
Juga Allāh berfirman dalam surat-surat lain seperti dalam surat Al-A'rāf ayat 65, 67, 85, surat Ṭāhā ayat 13-14, surat Al-Mā'idah: 72, yang pada intinya adalah inti ajaran setiap nabi pada setiap kaum adalah menyembah kepada Allāh.
Tawḥīd, dengan demikian, bermakna kesatuan ketuhanan bagi Allāh dan kesatuan kehambaan bagi selain-Nya. Maka implikasinya, semua manusia –sebagai makhluk insani yang berasala dari yang satu- adalah entitas yang satu. (Toha, 2005, hal. 188)
Dalam sebuah hadiṡ Rasulullāh saw menjelaskan
"Ingatlah, bahwa Tuhan kalian satu dan bapak kalian satu. Ingatlah, tidak ada kelebihan bagi bangsa Arab di atas bangasa lainnya, dan tidak ada kelebihan bangsa lainnya atas bangsa Arab, dan tidak ada kelebihan bagi kulit putih atas kulit hitam, dan tidak ada kelebihan bagi kulit hitam atas kulit putih kecuali dengan ketakwaan mereka."
Oleh karena itu, seluruh manusia itu sama di depan Allāh Swt. Begitu juga manusia diciptakan untuk mengimplementasikan kehendak Allāh dan hukum-hukum-Nya di muka bumi, yaitu berperan sebagai khalifah (vicegerence) Allāh di bumi. Maka mengikuti logika Qur'ani yang solid ini beserta pandangan tawḥīdi tentang hakikat tuhan ini, dapat ditegaskan bahwa kasih sayang dan keadilan ketuhanan kepada semua manusia adalah sama persis, dan bahwa satu-satunya nilai yang bisa membuat seseorang mencapai keunggulan komparatif di antara yang lainnya hanyalah taqwa dan amal saleh saja, dan bukan nilai-nilai ke-"bumi"-an seperti nasab, harta benda, jabatan, suku, ras, kabilah dan lain-lain. Sebagaimana disebut dalam hadiṡ tadi. (Toha, 2005, hal. 189)
Tawḥīd dan Hakikat Wahyu
Melalui perspektif tawḥīdi juga, dimungkinkan mengenal sebab atau faktor yang menjamin kebahagiaan, ketentraman, kesejahteraan, dan keselamatan (salvation) bagi manusia. Sarana tersebut ada yang langsung diberikan lewat wahyu (dalam arti teknis) ataupun tidak langsung lewat ilmu pengetahuan atau observasi ilmiah (wahyu dalam arti generik). Dengan demikian, wahyu langit tidak menjadi monopoli kelompok atau umat tertentu, melainkan merupakan suatu rahmat yang dihadiahkan kepada seluruh manusia. Dengan kata lain, fenomena wahyu dan kenabian adalah umum dan universal atau berlaku di seluruh masyarakat manusia. Sebab, menurut perspektif tawḥīdi, Tuhan-nya manusia tidak mungkim membiarkan suatu golongan manusia hidup dalam kesesatan, tetapi dengan rahmat-Nya yang menyeluruh Ia telah menurunkan kepada mereka, melalui para nabi atau rasul, sebuah petunjuk keimanan yang menyelamatkan mereka dari kesesatan. (Toha, 2005, hal. 189-190)
Allāh berfirman
Artinya :dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu" (QS. Al-Nahl [16]:36)
Alasan logis dibalik pengutusan seorang Rasul kepada manusia adalah agar manusia tidak lagi berargumentasi dan membantah Allāh untuk tidak beriman kepada-Nya.
Kemudian oleh karena Allāh juga tidak menyebutkan jumlah rasul yang diturunkan-Nya kepada manusia, maka perspektif tawḥīdi Islami ini telah membuka pintu pluraitas dan keragaman dengan seluas-luasnya, untuk bisa mengakomodasi seluruh risalah samawi, baik yang dikisahkan Al-Qur'an maupun tidak. (Toha, 2005, hal. 191)
Tawḥīd dan Hakikat Manusia
Secara natural dan fitrahnya, manusia adalah suci, tidak membawa dosa warisan seperti apa yang diyakini kristen. Melalui perspektif ini, Islam tidak melihat non-Muslim sebagai makhluk yang memikul dosa keturunanyang penuh kehinaan, akan tetapi Islam melihat non-Muslim sebagai manusia yang sempurna yang mempunyai potensi untuk bisa mencapai tingkat kemanusiaan yang hakiki, yaitu mengenal Allāh dan memahami kehendak (sunnah)-Nya di alam semesta ini. Maka, dengan hanya kebetulan dilahirkan sebagai manusia (by virtue of being human), sejatinya telah ada pada diri manusia suatu kesadaran umum "sensus numinis" yang dengannya mampu mencapai hakikat religiusitas yang benar, yang pada dasarnya telah ditanamkan oleh Allāh pada dirinya sejak lahir, yaitu "agama fitrah". (Toha, 2005, hal. 201)
Dengan konsep "agama fitrah" ini, Islam telah meletakkan landasan universal yang lebih kuat bagi humanisme yang sebenarnya yang memungkinkan untuk mengakomodasi seluruh manusia, dengan berbagai latar belakang keagamaan dan keyakinan. Mereka bersaudara di bawah payung kemanusiaan; sebagaimana memungkinkan untuk menarik garis demarkasi yang tegas antara "agama alami" yang dimiliki setiap manusia sejak kelahirannya. Dan Islam telah menamakan "agama fitrah" ini dengan nama agama Islam itu sendiri. (Toha, 2005, hal. 201)
Tawḥīd dan Hakikat Masyarkat
Aqidah tawḥīd mencakup seperangkat sistem, aturan, hukum, etika dan nilai yang sistematis, saling melengkapi dan kait-terkait, yang tidak mungkin dikatakan ada secara sempurna kecuali jika memang benar-benar dibumikan secara nyata di alam sosial yang nyata. Oleh karena itu, dalam perspektif tawḥīdi, masyarakat merupakan ekspresi riil sosiologis bagi teori, kepercayaan atau maḍhab. (Toha, 2005, hal. 203)
Ini semua berarti, Islam sebenarnya menginginkan agar kehidupan Islami merambah seluruh sendi-sendi dan segmen-segmen sosial –desa, kota dan masyarakat. Dan masyarakat Islami adalah masyarkat yang praktis, realistis, dan mempunyai entitas politis yang memadai dan kondusif bagi individu-individu yang bergabung di dalamnya untuk merealisasikan tugas kekalifahan. Dan pada waktu yang bersamaan juga menciptakan kebahagiaan stabilitas keamanan, ketentraman dan kedamaian bagi semua, dan bukan hanya bagi orang Islam saja. Semua orang mempunyai kewajiban dan hak yang sama sesuai prisip humanisme universal, yang membedakannya dengan orang lain hanya pilihan pribadinya saja. (Toha, 2005, hal. 204)
Masyarakat Islami telah meebarkan cakupannya untuk mengekomodasi seluruh manusia. Perbedaan agama ini tidak menghalangi mereka yang berbeda untuk bergabung dengan "umat" ini. Dan oleh karena perbedaan agama ini semata-mata karena faktor pilihan pribadi (personal choice), yang diambil berdasarkan keyakinan personal, maka tidak dibenarkan bagi siapapun memaksa meninggalkan agamanya untuk memeluk agama Islam. Tapi sebaliknya, harus dibebaskan untuk meyakini agamanya dan melakukan syariat-syariat agama yang diyakininya selama tidak mengganggu stabilitas umum, seperti dijamin dalam "Piagam Madinah". (Toha, 2005, hal. 205)
Pluralitas adalah Sunatullāh
Pluralitas adalah merupakan "hukum" ilahi dan "sunnah" ilahiyah yang abadi di semua bidang kahidupan, sehingga pluralitas itu sendiri telah menjadi karakteristik utama makhluk Allāh. Pluralitas adalah "sunnah" dan "ayat" Allāh dalam semua jenis makhluk, bahkan dalam manusia, macamnya, afiliasinya, dan tingkat prestasinya (performance)nya dalam melaksanakan kewajibannya, dan lebih dari itu, bahkan sampai pada level syariat, way of life, dan peradaban, semua bersifat plural.
Pluralitas dalam pandangan Islam adalah unik dan sangat karakteristik, dengan kemampuannya: (i) mengapresiasi secara penuh perbedaan-perbedaan penting dan mendasar antara agama-agama beserta kekhususan-kekhususan masing-masing; (ii) mengidentifikasi berbagai faktor dan sarana yang mengantarkan manusia pada kesempurnaan manusia pada kesempurnaan kemanusiaannya; dan (iii) menamakan segala sesuatu dengan namanya tanpa reduksi atau simplikasi dengan definisi-definisi baru. (Toha, 2005, hal. 210)
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Islam melihat keberagamaan sebagai masalah pilihan, kemantapan dan keyakinan, maka tidak boleh ada paksaan, apapun bentuknya. Dan toleransi merupakan salah satu unsur penting dalam agama Islam. Di samping itu, Prof. Al-Qardhāwī dalm bukunya Ghayr al-Muslimīn fi al-Mujtama' al-Islamī menyebutkan empat faktor utama yang menyebabkan toleransi yang unik selalu mendominasi perilaku umat Islam terhadap non-Muslim. (Toha, 2005, hal. 214)
Keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebanggsaan dan kesukuannya. Kemuliaan ini mengimplikasikan hak untuk dihormati. Dalam sebuah hadiṣ diriwayatkan, bahwa Rasūlullāh saw berpapasan dengan jenazah yang sedang diusung lalu beliau berdiri, seorang sahabat berkata, "Wahai Rasūlullāh, ini jenazah seorang Yahudi". Lalu beliau menjawab, "Bukankah ia seorang manusia?"
Keyakinan bahwa perebedaan manusia dalam agama dan keyakinan merupakan realitas yang dikehendaki Allāh Swt yang telah memberi mereka kebebasan untuk memilih iman atau kufur. Kehendak Allāh pasti terjadi, dan tentu menyimpan hikmah yang luar biasa. Oleh karenanya, tidak dibenarkan memaksa mereka masuk untuk Islam.
Seorang Muslim tidak dituntut untuk mengadili orang kafir, atau untuk menghukum kesesatan orang yang sesat. Allāh-lah yang akan mengadili mereka di hari perhitungan nanti. Dengan demikian, hati seorang Muslim menjadi tenang, tidak perlu mengadili konflik batin antara kewajiban berbuat adil dan baik kepada mereka, dan dalam waktu yang sama, harus berpegang teguh pada kebenaran keyakinannya sendiri.
Keyakinan bahwa Allāh Swt memerintahkan untuk berbuat adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia meskipun kepada orang musyrik. Begitu juga Allāh Swt mencela perbuatan zalim meskipun terhadap orang kafir.
Hanya saja mengakui realitas perbedaan dan hak seseorang untuk berbeda sama sekali tidak berbarti syariat dakwah mesti digugurkan,
Pluralitas Perlu Frame of Reference
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa issue pluralitas agama dalam perspektif Islam adalah pengakuan akan realitas ontologis agama-agama yang beraneka ragam dan warna-warni, atau menerima kenyataan perbedaan antara agama-agama dan mengakui hak untuk berbeda agama. Pengakuan dan penerimaan ini tentu saja memungkinkan adanya suatu sistem yang berfungsi sebagai rujukan untuk mengelola dan menyelesaikan perbedaan-perbedaan ini. Soalnya, tabiat perbedaan, dalam banyak kasus –kalau tidak malah selalu-, cenderung mengantarkan pada perselisihan, konflik, perseteruan dan akhirnya pertumpahan darah, yang pada gilirannya akan mengantarakan sebuah masyarkat pada keadaan –chaos dan kehancuran. (Toha, 2005, hal. 217)
Dalam mengukuhkan prinsip ini dan pentingnya sistem rujukan ini, Allāh Swt berfirman,
Artinya :Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. Al-Nisā [4]:59)
Rasūlullāhh Saw pendiri "masyarakat madani yang warna-warni" dengan model "pemerintahan konstitusional" yang pertama kali dikenal dalam sejarah, langsung mengejawantahkan prinsip "rujukan" (marji'iyyah) ini dalam realitas sosial begitu sampai di Yaṭrib. Fakta ini dapat dilihat secara jelas dalam sebuah teks yang "muhkam" dalam salah satu klausul dalam "Piagam Madinah". Klausul itu berbunyi:
"Apabila terjadi perselisihan di antara para penanda tangan piagam ini, ataupun pertikaian yang dikhawatirkan menimbulkan kerusakan, maka dikembalikan kepda Allāh dan Muhammad Rasūlullāh."
Berdasarkan kedua teks ini, "rujukan" atau yang mungkin disebut "kekuasaan tertinggi", adalah merupakan sesuatu yang niscaya dan fundamental dalam sebiah tatanan atau sistem yang pluralistik. Oleh karena itu, Islam tidak membiarkan siapa saja untuk berposisi sebagai "rujukan" ini, melainkan hanya terbatas pada Allāh dan Muhammad Rasūlullāh Saw. (Toha, 2005, hal. 216-217)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
abahzacky. (2010, Januaru 28). Pluralisme Agama dalam Pandangan Islam. Dipetik Desember 4, 2011, dari muslimdailiy.net: http://muslimdaily.net/artikel/home/pluralisme-agama-dalam-pandangan-islam.html
Abdillah, A. U. (2006). Terapi Kerasukan JIL. Solo: Wacana Ilmiah Press.
al-Na'īm, '. A. (2007). Islam dan Negara Sekuler : Menegosiasikan Masa Depan Syariah. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Toha, A. M. (2005). Tren Pluralisme Agama. Jakarta: Perspektif.