BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar belakang
Anak merupakan karunia Tuhan yang harus di syukuri, dimana seseorang yang sudah berkeluarga sangat berharap mempunyai seorang anak. Suatu proses hidup yang harus dilalui oleh seorang anak adalah tumbuh dan berkembang. “Lima “Lima tahun pertama kehidupan anak merupakan awal bagi proses tumbuh kembang anak, baik fisik maupun psikisnya. Anak-anak yang tidak dapat menyelesaikan tugas tumbuh kembangnya pada tahap ini akan mengalami keterlambatan pada tahap tumbuh kembang berikutnya” (Wong, 2009) Pertumbuhan dan perkembangan anak berlangsung sangat cepat pada usia 13 tahun (toddler), dimana ini menjadi usia emas/ golden period seorang anak dalam tahap tumbuh kembangnya. kembangnya. “Perkembangan psikologis pada usia toddler merupakan perubahan dari fase percaya dan tidak percaya menjadi fase otonomi dan ragu-ragu malu yang ditunjukkan dengan sikap kemandirian” (Kyle & Carman, 2015) Peningkatan kemandirian anak usia 1-3 tahun (toddler) yang diperkuat dengan kemampuan mobilitas fisik dan kognitif lebih besar, inilah waktu yang sangat tepat bagi orang tua untuk mengoptimalkan perkembangan otak si kecil dengan memberikan stimulasi. Salah satu stimulasi yang penting dilakukan orang tua adalah stimulasi terhadap kemandirian anak dalam melakukan BAB (buang air besar) dan BAK
1
(buang air kecil) karena pada fase ini anak sudah masuk ke fase anal dimana anak mulai mampu untuk mengontrol buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB). Kebiasaan mengompol pada anak di bawah usia 2 tahun masih dianggap sebagai hal yang wajar. Anak mengompol di bawah usia 2 tahun disebabkan karena anak belum mampu mengontrol kandung kemih secara sempurna Tidak jarang kebiasaan mengompol masih terbawa sampai usia 4-5 4-5 tahun. “Kasus yang ditemukan di Indonesia anak usia 6 tahun yang masih mengompol sekitar 12 %” (Asti, 2008). Hal ini disebabkan karena dalam mendidik anak dalam melakukan BAB dan BAK akan efektif efektif apabila dilakukan sejak dini. “Melatih anak sejak dini dapat membantu dalam respon terhadap kemampuan untuk buang air kecil dan buang air besar. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam mengajarkan BAB dan BAK pada anak adalah melalui toilet trainin g” (Hidayat, g” (Hidayat, 2009) “Toilet training merupakan merupakan salah satu tugas utama anak pada usia 1-3 tahun (toddler). (toddler). Toilet training merupakan sebuah pelatihan yang sangat dibutuhkan anak agar mampu mengontrol kemampuan untuk buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB)” (Hidayat, 2009) Suskesnya toilet training tergantung pada kesiapan anak seperti kesiapan fisik, psikologis, mental, dan kesiapan anak itu sendiri. Mengajarkan toilet training pada anak bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan orang tua. ”Dalam mengajarkan toilet training dibutuhkan metode atau cara yang mudah dimengerti oleh anak. Penggunaan metode yang mudah akan mempengaruhi keberhasilan dalam mengajarkan konsep toilet training pada anak” (Hutabarat, 2007 dalam Riyani, 2010). 2
Metode yang dapat dilakukan sehingga mudah dimengerti oleh anak salah satunya adalah dengan menggunakan teknik modeling. Keberhasilan teknik modeling dapat didukung oleh suatu media yang digunakan seperti media audio visual. Audio visual merupakan salah satu media yang menyajikan informasi atau pesan secara audio dan visual. Media ini memberikan stimulus pada pendengaran dan penglihatan sehingga hasil yang diharapkan lebih maksimal (Sadiman dalam Luh putu, 2015). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahmatika Ammelda, dalam jurnal penelitiannya untuk mengetahui pengaruh modeling media video dan gambaran terhadap peningkatan kemampuan toilet training pada anak toddler di TPA ALFityah, TPA TWAT ASI, TPA Harapan dan TPA FKIP UNRI Hasil penelitian yang telah dilakukan tentang pengaruh modelin g media video dan gambar terhadap peningkatan kemampuan toilet training pada anak toddler disimpulkan bahwa modeling media video dan gambar berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan toilet training pada training pada anak toddler. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Kartika, Mulidah, Girindra (2016) untuk mengetahui efektivitas teknik oral dan modeling terhadap keberhasilan toilet training pada toddler di Desa Pamijen Kecamatan Baturraden Yogyakarta. Karakteristik responden berdasarkan umur, paling banyak adalah 2,1-2,6 tahun sebesar 56,67%. Tingkat pendidikan orang tua responden paling banyak adalah SMA yaitu 40%. Keberhasilan toilet training teknik oral sebanyak 33,33%. Keberhasilan toilet training teknik modelling sebanyak 80%. Ada perbedaan yang signifikan antara teknik oral dan teknik modelling terhadap keberhasilan toilet training. Teknik 3
modelling lebih efektif dari pada teknik oral terhadap keberhasilan to ilet training pada anak usia toddler di Desa Pamijen Kecamatan Baturraden. Penelitian yang relevan selanjutnya oleh Luh Putu Karsi Ekayani (2015) mengenai Efektivitas penyuluhan dengan audio visual terhadap keberhasilan toilet training pada pada anak umur 2-3. Berdasarkan dari penelitian tersebut maka penyuluhan dengan audio visual efektif terhadap keberhasilan toilet training anak pada umur 2-3 tahun. Observasi awal yang dilakukan oleh peneliti di PAUD Muslim Kids Kota Gorontalo pada anak usia 2-3 tahun menunjukkan masih 61 % dari total keseluruhan siswa masih menggunakan popok (diapers) karena belum mampu mengontrol buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) mereka. Berdasarkan hasil observasi tersebut di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui mengetahui “Pengaruh Teknik Modeling Terhadap Penerapan Toilet Training Pada Anak Usia Toddler di PAUD Muslim Kids Kota Gorontalo. 1.2.
Identifikasi Masalah
1. Hasil observasi awal oleh peneliti di PAUD Muslim Kids kota Gorontalo menunjukkan masih 61 % dari total keseluruhan siswa masih menggunakan popok (diapers) karena belum mampu mengontrol buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) mereka.
4
1.3.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat disimpulkan rumusan masalah pada penelitian ini apakah ada pengaruh teknik t eknik modeling video terhadap penerapan penerapa n toilet training pada pada anak usia toddler d i PAUD Muslim Kids Kota Gorontalo? 1.4.
Tujuan Penelitian
1.4.1
Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya
pengaruh teknik modeling video terhadap penerapan toilet training pada pada anak usia toddler di PAUD Muslim Kids Kota Gorontalo 1.4.2
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi penerapan toilet training sebelum dilakukan teknik modeling video di PAUD Muslim Kids Kota Gorontalo 2. Mengidentifikasi penerapan toilet training sesudah dilakukan teknik modeling video di PAUD Muslim Kids Kota Gorontalo 3. Menganalisis pengaruh teknik modeling terhadap penerapan toilet training pada pada anak usia toddler di PAUD Muslim Kids kota Gorontalo Gorontalo 1.5.
Manfaat penelitian
1.5.1
Manfaat teoritis Hasil
penelitian
ini
diharapkan
mampu
mengembangkan
ilmu
pengetahuan terkait dengan penggunaan model video dalam keterampilan buang air a ir kecil dan buang air besar anak usia toddler serta dapat menjadi referensi keilmuan dalam pengembangan metode toilet training. 5
1.5.2
Manfaat praktis
1. Bagi keperawatan Hasil penelitian berupa model video diharapkan dapat digunakan dalam keperawatan sebagai upaya promosi untuk optimalisasi tumbuh kembang terutama anak usia batita pada aspek keterampilan buang air kecil dan buang air besar , sehingga perawat dapat memenuhi salah satu perannya sebagai edukator. 2. Bagi pendidikan Sebagai referensi untuk memberikan pembelajaran toilet training di sekolah dengan menggunakan audio visual dan juga sebagai informasi kepada mahasiswa dalam kegiatan proses belajar mengajar tentang penerapan toilet training pada anak usia toddler. 3. Bagi peneliti Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang penerapan toilet training pada anak usia toddler dengan metode modeling video.
6
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1
Konsep Anak
2.1.1
Definisi Anak Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan
pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun), usia toddler (13 tahun), usia pra-sekolah (3- 6 tahun), usia sekolah (6-11 tahun), hingga remaja (11-20 tahun). “Pada anak terdapat rentang perubahan pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat. Dalam proses perkembangan anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping dan perilaku sosial” (Hidayat, 2009). Anak adalah individu yang berusia antara 0 sampai 18 tahun, yang sedang dalam proses tumbuh-kembang, mempunyai kebutuhan yang spesifik (fisik, psikologis, sosial, dan spiritual ) yang berbeda dengan orang dewasa, apabila kebutuhan tersebut terpenuhi maka anak akan mampu beradaptasi dan kesehatanya terjaga, sedangkan bila anak sakit maka akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fisik, psikologis, intelektual, sosial, dan spiritual (Ramdianati, 2011). Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. “Pada anak terdapat rentang perubahan pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat. Dalam
7
proses perkembangan anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping dan perilaku social” (Hidayat, 2009). 2.1.2
Usia Bayi (0-1 tahun) Periode bayi baru lahir atau neonatal pada masa bayi didefenisikan
sebagai periode sejak lahir sampai usia 28 hari. Masa bayi didefenisikan sebagai periode sejak lahir sampai usia 12 bulan. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses berkelanjutan yang saling terkait dimasa bayi dan kanak-kanak. (Kyle & Carman, 2015). Pertumbuhan dan perkembangan yang berubah dalam satu tahun pertama kehidupan sangat banyak dan dramatis. Pertumbuhan fisik, maturasi/kematangan sistem tubuh, dan keterampilan motorik kasar dan halus berkembang secara teratur dan berurutan. Meskipun waktu dapat beragam antara satu bayi dengan bayi lain, urutan pencapaian keterampilan perkembangan terjadi secara konsisten. Bayi juga memperlihatkan jumlah pembelajaran yang sangat banyak dalam psikososial dan kognitif, bahasa dan komunikasi, serta social dan emosional (Kyle & Carman, 2015). 2.1.3
Usia Toddler (1-3 tahun) Masa bayi adalah waktu pertumbuhan dan perkembangan yang intens.
Pertumbuhan fisik dan pencapaian keterampilan motorik baru sedikit melambat selama masa toddler. Penghalusan keterampilan motorik, kelanjutan pertumbuhan kognitif, dan pencapian keterampilan bahasa yang tepat merupakan pokok penting selama masa toddler (Kyle & Carman, 2015). 8
2.1.4
Usia Anak Prasekolah (3-6 tahun) Periode prasekolah adalah periode antara usia 3 dan 6 tahun. Ini adalah
waktu kelanjutan pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan secara fisik menjadi jauh lebih lambat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelimnya. Peningkatan perkembangan kognitif, bahasa dan psikososial penting selama periode prasekolah. Banyak tugas yang dimulai selama masa toddler dikuasai dan sempurna selama usia prasekolah. Anak belajar menoleransi perpisahan dari orang tua, memiliki rentang perhatian lebih lama dan terus mempelajari keterampilan yang akan memicu keberhasilan nanti pada periode usia sekolah. Persipan untuk kesuksesan disekolah terus berlanjut selama periode prasekolah karena sebagian besar anak memasuki sekolah dasar diakhir periode prasekolah (Kyle & Carman, 2015). 2.1.5
Usia Anak Sekolah (6-11 tahun) Anak usia sekolah, antara usia 6 dan 12 tahun, mengalami waktu
pertumbuhan
fisik
yang
progresif
yang
lambat,
sedangkan
kompleksitas
pertumbuhan social dan perkembangan mengalami percepatan dan meningkat. Fokus dunia mereka berkembang dari keluarga ke guru, teman sebaya, dan pengaruh luar lainnya. Pada tahap ini anak semakin mandiri ketika berpartisipasi dalam aktivias diluar rumah (Kyle & Carman, 2015). Usia
sekolah
adalah
waktu
berlanjutnya
maturitas/kematangan
karakteristik fisik, social, dan psikologik anak. Selama saat ini anak bergerak
9
kearah abstrak dan mencari pengakuan dari teman sebaya, guru dan orang tua (Kyle & Carman, 2015). 2.1.6
Usia Remaja (11-20 tahun) Masa remaja adalah waktu cepatnya pertumbuhan dengan perubahan
dramatis dalam ukuran dan porposi tubuh. Cepat dan besarnya perubahan ini menempati urutan kedua setelah cepat dan besarnya pertumbuhan dimasa bayi. Remaja akan menunjukkan beragam tingkat pembentukan identitas (Kyle & Carman, 2015). Masa remaja memiliki rentang waktu transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang biasanya terjadi pada usai antara 11 dan 20 tahun. Terdapat beberapa tumpang tindih antara akhir usia sekolah dan masa remaja. Remaja mengalami perubahan drastis pada area fisik, kognitif, psikososial, dan psikoseksual.
Dengan
cepatnya
pertumbuhan
ini
selama
masa
remaja,
perkembangan karakteristik seksual sekunder, dan ketertarikan pada jenis kelamin yang berbeda, remaja memerlukan dukungan dan bimbingan dari orang tua dan perawat untuk memfasilitasi gaya hidup sehat dan untuk mengurangi perilaku resiko (Kyle & Carman, 2015). 2.2
Konsep Usia Toddler
2.2.1
Usia Toddler Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita atau
toddler, dimana pada periode ini pertumbuhan dan perkembangan berlangsung
10
sangat
cepat
dan
akan
mempengaruhi
perkembangan
anak
selanjutnya
(Soetjiningsih, 2014 dalam Luh Putu 2015). Periode toddler mencakup 2 tahun kedua kehidupan, sejak usia 1 sampai 3 tahun. Periode ini adalah waktu pencapaian pertumbuhan dan perkembangan anak yang signifikan. Periode ini juga dapat menjadi waktu yang sulit bagi orang tua. Perilaku khas selama masa toddler adalah memegang dan melepaskan. Setelah belajar bahwa orang tua dapat diprediksikan dan terpercaya, toddler kini belajar bahwa perilakunya memiliki efek yang dapat diprediksian dan terpercaya pada orang lain. Tantangannya adalah mendukung kemandirian dan otononomi sambil menjaga keamanan toddler yang rasa ingin tahunya tinggi (Kyle & Carman, 2015). Toddler adalah anak antara rentang usia 12 sampai 36 bulan. Toddler tersebut ditandai dengan peningkatan kemandirian yang diperkuat dengan kemampuan mobilitas fisik dan kognitif lebih besar. Perkembangan fisik, perkembangan keterampilan motorik yang cepat membolehkan anak untuk berpartisipasi dalam tindakan perawatan diri sendiri seperti makan, berpakaian, dan eliminasi (Wong, 2003 dalam Fahmid, 2015). Masa usia toddler yaitu masa dimana perkembangan otak anak berkembang secara luar biasa. Inilah waktu yang sangat tepat bagi orang tua untuk mengoptimalkan perkembangan otak si kecil dengan memberikan stimulasi maksimal. Lingkungan yang nyaman dan penuh kasih sayang akan mengenalkan anak pada rasa cinta kasih, pertumbuhan otaknya pun akan berkembang dengan baik (Musbikin, 2012). 11
2.2.2
Pertumbuhan dan perkembangan usia toddler Menurut devianti, 2013 dalam Fadhilatul (2014) pada umumnya masa
kanak-kanak adalah masa terpanjang dalam rentang kehidupan seseorang, saat individu dimana relatif tidak berdaya dan tergantung dengan orang lain. Tumbuh kembang merupakan suatu proses utama yang hakiki dan khas pada anak dan merupakan sesuatu yang terpenting pada anak tersebut. Menurut (Setiawan, 2014) Pada periode toddler anak mengalami beberapa fase perkembangan, yaitu : 1. Perkembangan psikososial (fase Autonomy vs shame) Anak mulai dapat mengatur dirinya sendiri, jika hasilnya baik anak meningkatkan control diri. Jika hasilnya tidak baik (negative) ia akan merasa malu. Pada fase ini kebutuhan tidak dipenuhi dengan baik maka akan timbul perasaan malu, ragu-ragu, keras kepala. Menentang, paranoid. 2. Perkembangan psikointelektual (fase preoperasio anal ) Ciri pada fase ini adalah sifat egosentris dan belum mampu berpikir dari sudut pandang orang lain. 3. Perkembangan psikoseksual (fase Anal) Pada fase ini, dimana anak mulai mampu untuk mengontrol buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB). Pada periode toddler (1-3 tahun) tugas perkembangan pada usia ini yaitu mampu belajar toilet training , belajar otonomi dan belajar independent (Wong, 2009).
12
Menurut Kyle & Carman, 2015 pertumbuhan dan perkembangan diusia toddler yaitu : 1. Perkembangan Psikososial Erikson mendefinisikan periode toddler sebagai waktu otonomi versus rasa malu dan
ragu.
Ini
adalah
waktu
memperlihatkan
kemandirian.
Sejak
toddler
mengembangkan sensai percaya dimasa bayi, ia siap menyerahkan kebergantungan dan menegaskan sensai control dan otonominya sendiri (Erikson, 1963 dalam Kyle & Carman 2015). Toddler berjuang untuk penguasan diri, belajar untuk melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, selama ini yang dilakukan oleh orang lain untuk mereka. Toddler sering kali mengalami ambivalensi tentang perpindahan dari kemandirian ke otonomi, dan ini menghasilkan labilitas emosional. Toddler dapat dengan cepat berubah dari rasa bahagia dan senang menjadi dan berteriak. Peggunaan kemandirian juga menghasilkan respons favorit toddler untuk mengatakan “tidak” (Kyle & Carman, 2015). 2. Perkembangan kognitif Toddler melewati dua subtahap terakhir dalam tahap pertama perkembangan kognitif, tahap sensorimotor, antara usia 12 dan 24 bulan. Toddler muda terlibat dalam reaksi sirkular tersier dan berkembang menjadi kombinasi mental. Bukan hanya mengulangi perilaku, toddler mampu bereksperimen dengan prilaku untuk melihat apa yang akan terjadi. Pada usia 2 tahun, toddler mampu menggunakan simbol untuk memungkinkan imitasi/peniruan. Dengan peningkatan kemampuan 13
kognitif, toddler kini terlimbat dalam imitasi lambat. Misalnya meraka dapat meniru tugas rumah tangga yang mereka lihat dilakukan oleh orang tua beberapa hari yang lalu (Kyle & Carman, 2015). Piaget mengidentifikasi tahap kedua perkembangan kognitif sebagai tahap praoperasional. Tahap praoperasional ini terjadi ketika anak berusia 2 dan 7 tahun. Selama tahap ini toddler mulai menjadi lebih pandai dengan pemikiran simbolik (Kyle & Carman, 2015). Menurut wong dalam fadhilatul (2014) tumbuh kembang anak yang lebih spesifik pada anak usai toddler yaitu usia 1-3 tahun mempuyai periode, yakni: 1. Anak lebih banyak bergerak 2. Mengebangkan rasa ingin tahu 3. Eksplorasi terhadap benda yang ada disekelilingnya 4. Melakukan sesuatu sendiri seperti memakai pakaian sendiri, mengosok gigi, mencuci tangan sendiri dan toilet training 5. Harus diwaspadai bahaya atau resiko terjadinya bahaya atau resiko terjadinya kecelakaan 6. Orang tua perlu mendapatkan bimbingan antisipasi terhadap kemungkinan bahaya atau ancaman kecelakaan. 2.3
Konsep Toilet Training
2.3.1
Definisi Toilet Training Toilet training adalah suatu usaha untuk melatih anak agar mampu
’
mengontrol dalam melakukan buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB). 14
Toilet training juga merupakan sebuah pelatihan yang sangat dibutuhkan anak agar mampu mengontrol kemampuan untuk buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB)”. Toilet training juga membutuhkan kesiapan mental maupun fisik dari anak. (Hidayat, 2009). Toilet training merupakan proses pengajaran untuk kontrol buang air besar dan buang air kecil secara benar dan teratur. Biasanya kontrol buang air kecil lebih dahulu dipelajari oleh anak, kemudian kontrol buang air besar (Zavier, 2008 dalam Fahmid 2015). Toilet training merupakan latihan kebersihan, dimana diperlukan kemampuan fisik untuk mengontrol sfingter ani dan urethra dan tercapai kadangkadang setelah anak bisa berjalan (Whaley & Wong, 1999). Toilet training juga dapat menanamkan suatu kebiasaan yang baik pada anak mengenai kebersihan diri. Dalam kegiatan toilet training ini, anak tidak hanya harus memiliki persipan secara fisik dan psikologis namun juga persiapan intelektual (Hidayat, 2009). Salah satu tugas mayor masa toddler adalah toilet training . Kontrol volunter sfingter anal dan uretra terkadang dicapai kira-kira setelah anak berjalan, mungkin antara usia 18 dan 24 bulan. Namun, diperlukan faktor psikofisiologis kompleks untuk kesiapan. Anak harus mampu mengenali urgensi untuk mengeluarkan dan menahan elimanasi serta mampu menggomunikasikan sensai ini kepada orang tua dengan menahan, dari pada memuaskan diri dengan mengeluarkan eliminasi (Wong, 2009). 15
Biasanya, kesiapan fisiologis dan psikologis belum lengkap sampai anak berusia 18 sampai 24 bulan. Pada saat ini, anak telah menguasai mayoritas keterampilan motorik kasar yang penting, mampu berkomunikasi dengan pintar, jarang mengalami konflik dengan negativise dan pernyataan diri, dan menyadari kemampuan untuk mengontrol tubuh dan memuaskan orang tua (Wong, 2009). Latihan defekasi biasanya selesai sebelum latihan berkemih karena latihan defekasi lebih teratur dan lebih mudah diramalkan. Sensasi defekasi lebih kuat dari pada berkemih dan dapat menarik perhatian anak. Nyatanya, latihan berkemih di malam hari belum bisa diselesaikan sampai usia 4 atau 5 tahun, dan bahkan penyelesaian latihan yang lebih dari usia tersebut masih normal (Wong, 2009). Toilet trainining juga diharapkan dapat melatih anak untuk mampu BAK dan BAB ditempat yang telah ditentukan. Selain itu, toilet training juga mengajarkan anak dapat membersihkan kotoran sendiri dan memakai celananya sendiri (Mufattah, 2008 dalam Noer, 2014). 2.3.2
Teknik Mengajarkan Toilet Training Latihan buang air kecil atau buang air besar pada anak atau dikenal
dengan nama toilet training merupakan suatu hal yang harus dilakukan pada orang tua anak, mengingat dengan latihan itu diharapkan anak mempuyai kemampuan sendiri dalam melaksanakan buang air kecil dan buang besar tanpa merasakan ketakutan atau kecemasan sehingga anak akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan sesuai usai tumbuh kembang anak (Hidayat, 2009),
16
Mengajarkan toilet training pada anak bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Dalam mengajarkan toilet training dibutuhkan metode atau cara yang tepat sehingga mudah dimengerti oleh anak. Penggunaan metode yang tepat akan mempengaruhi keberhasilan dalam mengajarkan konsep toilet training pada anak. (Hutabarat, 2007 dalam Riyani, 2010). Berikut adalah yang dapat dilakukan dalam melatih anak untuk buang air besar dan kecil pada usia toddler: 1. Teknik lisan Merupakan usaha untuk melatih anak dengan cara memberikan instruksi pada anak dengan kata-kata, yaitu sebelum dan sesudah buang air kecil dan besar. Cara ini kadang-kadang merupakan hal biasa yang dilakukan pada orang tua, akan tetapi apabila kita perhatikan bahwa lisan ini mempunyai nilai yang cukup besar, dalam memberikan ransangan untuk buang air kecil dan buang air besar dimana dengan lisan ini persiapan psikologis pada anak akan semakin matang dan akhirnya anak akan mampu dengan baik dalam melaksanakan buang air kecil dan buang air besar (Hidayat, 2009). 2. Teknik modelling Merupakan usaha untuk melatih anak dalam melakukan buang air besar dan buang air kecil dengan cara meniru untuk atau memberikan contoh. Cara ini juga dapat dilakukan dengan memberikan contoh-contoh buang air kecil dan buang air besar ataupun bisa dengan membiasakan buang air kecil dan besar secara benar (Hidayat, 2009). 17
3. Teknik pemilihan tempat duduk untuk eliminasi, misalnya : a. Tempat duduk berlubang (potty chair) dan/atau penggunaan toilet. Tempat duduk berlubang untuk eliminasi yang tidak ditopang oleh benda lain memungkinkan anak merasa aman (Stark, 1994 dalam Sri, 2012). b. Tempat duduk portable yang diletakkan di atas toilet biasa, yang memudahkan transisi dari kursi berlubang untuk eliminasi ke toilet biasa dan menempatkan bangku panjang yang kecil di bawah kaki untuk membantu menstabilkan posisi anak (Wong, 2008 dalam Sri, 2012). c. Menempatkan kursi berlubang untuk eliminasi di kamar mandi dan membiarkan anak mengamati ekskresinya ketika dibilas ke dalam toilet untuk menghubungkan aktivitas ini dengan praktik yan biasa (Wong, 2008 dalam Sri, 2012). 2.3.3
Manfaat Toilet Training Pada toilet training selain melatih buang air kecil dan buang air besar juga
dapat bermanfaat dalam pendidikan seks sebab saat anak melakukan kegiatan tersebut, anak akan mempelajari anatomi tubuhnya sendiri serta fungsinya. Dalam proses toilet training diharapkan terjadi pengaturan implus atau ransangan pada insting anak dalam melakukan buang air besar atau buang air kecil dan perlu diketahui bahwa buang air besar merupakan suatu alat pemuasan untuk melepaskan ketegangan dengan latihan ini anak diharapkan dalam melakukan usaha penundaan pemuasan (Hidayat, 2009).
18
Manfaat toilet training dapat berkaitan dengan kemandirian anak. Kebersihan tubuh itu termasuk dalam keterampilan bantu diri yang harus dimiliki anak sesuai tahap perkembanngan sosialnya selain keterampilan berpakaian ( dressing ) serta keterampilan makan (eating ). Pada usia toddler umumnya anak lebih siap untuk melakukan toilet training . Asalkan dilatih secara teratur, si anak akan terbiasa, orang tua bisa melepaskan ketergantungan pada popok (Gilbert 2012, dalam Fadhilatul 2014). 2.3.4
Pengkajian Toilet Training Menurut Hidayat, 2009 pengkajian kebutuhan terhadap toilet training
merupakan sesuatu yang harus diperhatikan sebelum anak melakukan buang air kecil dan buang air besar, mengingat anak yang melakukan bang air kecil dan buang air besar akan mengalami proses keberhasilan dan kegagalan, selama buang air kecil dan buang air besar. Proses tersebut akan dialami oleh setiap anak, untuk mencegah terjadinya suatu kegagalan maka dilakukan suatu pengkajian sebelum melakukan latihan toilet training yang meliputi : 1. Pengkajian fisik Pengkajian fisik yang harus diperhatikan pada anak yang akan melakukan buang air kecil dan besar dapat meliputi kemampuan motorik kasar seperti berjalan, duduk, meloncat dan kemampuan motorik halus seperti mampu melepas celena sendiri. Kemampuan motorik ini harus mendapat perhatian karena kemampuan buang air besar dan buang air kecil ini lancar dan tidaknya dapat ditunjang dari
19
kesiapan fisik sehingga ketika anak berkeinginan
untuk buang kecil dan besar
sudah mampu dan siap untuk melaksanakannya. 2. Pengkajian psikologis Pengkajian psikologis yang dapat dilakukan adalah gambaran psikologis pada anak ketika akan melakukan buang air kecil dan besar seperti anak tidak rewel ketika akan buang air besar, anak tidak menangis sewaktu buang air besar atau kecil, espresi wajah menunjukkan kegembiraan dan ingin melakukan secara mandiri, anak sabar dan sudah mau tetap tinggal ditoilet selama 5-10 menit tanpa rewel atau meninggalkannya. 3.
Pengkajian intelektual Pengkajian intelektual pada latihan buang air kecil dan besar anatara lain,
kemampuan anak untuk mengerti buang air kecil atau besar, kemampuan mengkomunikasikan buang air kecil dan besar, anak menyadari timbulnya buang air besar dan buang air kecil, mempuyai kemampuan kognitif untuk meniru perilaku yang tepat seperti buang air kecil dan besar pada tempatnya serta etika dalam buang air kecil dan buang air besar. 2.3.5
Faktor-faktor yang mendukung penerapan toilet training Menurut Rusmil, 2008 faktor-faktor yang mendukung toilet training pada
anak adalah sebagai berikut: 1. Kesiapan Fisik a. Usia telah mencapai 18-24 bulan b. Dapat jongkok kurang dari 2 jam 20
c. Mempunyai kemampuan motorik kasar seperti duduk dan berjalan d. Mempunyai kemampuan motorik halus seperti membuka celana dan pakaian 2. Kesiapan Mental a. Mengenal rasa ingin berkemih dan devekasi b. Komunikasi secara verbal dan nonverbal jika merasa ingin berkemih c. Keterampilan kognitif untuk mengikuti perintah dan meniru perilaku o rang lain 3. Kesiapan Psikologis a. Dapat jongkok dan berdiri ditoilet selama 5-10 menit tanpa berdiri dulu b. Mempunyai rasa ingin tahu dan penasarsan terhadap kebiasaan orang dewasa dalam BAK dan BAB c. Merasa tidak betah dengan kondisi basah dan adanya benda padat dicelana dan ingin segera diganti 4. Kesiapan Anak a. Mengenal tingkat kesiapan anak untuk berkemih dan devekasi b. Ada keinginan untuk meluangkan waktu untuk latihan berkemih dan devekasi pada anaknya c. Tidak mengalami koflik tertentu atau stress keluarga yang berarti (Perceraian)
21
2.3.6
Faktor-faktor yang memperngaruhi penerapan toilet training Menurut Notoatmodjo 2003 faktor- faktor yang dapat mempengaruhi
penerapan toilet training yaitu : a. Pendidikan ibu Tingkat pendidikan ibu turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh (Kodyat, 1996) Dari kepentingan keluarga pendidikan itu sendiri amat diperlukan seseorang lebih tanggap adanya masalah perkembangan anak salah satunya penerapan toilet training didalam keluarganya. Tingkat pendidikan berpengaruh pada pengetahuan ibu tentang penerapan toilet training, apabila pendidikan ibu rendah akan berpengaruh pada pengetahuan tentang penerapan toilet training sehingga berpengaruh pada cara melatih secara dini penerapan toilet training b. Pekerjaan Ibu Status pekerjaan ibu mempunyai hubungan yang bermakna dengan penerapan toilet training secara dini pada anak usia toddler, dimana pekerjaan ibu dapat menyita waktu ibu untuk melatih anak melakukan toilet training secara dini sehingga akan berdampak pada terlambatnya anak untuk mendiri melakukan toilet training . c. Kualitas perhatian ibu Kasih sayang dan perhatian ibu yang dimiliki mempengaruhi kualitas dalam penerapan toilet training secara dini, dimana ibu yang perhatian akan memantau perkembangan anak usia toddler, maka akan berpengaruh lebih cepat dalam 22
melatih anak usia toddler melakukan toilet training secara dini. Dengan dukungan perhatian ibu maka anak akan lebih berani ata u termotivasi untuk mencoba karena mendapatkan perhatian dan bimbingan. d. Tingkat pengetahuan Pengetahuan yang dimiliki ibu pada dasarnya dapat berpengaruh pada cepat atau lambatnya ibu melakukan penerapan toilet training , dimana ibu yang memiliki pengetahuan yang baik tentang toilet training akan berdampak pada cepatnya ibu melatih toilet training secara dini pada anak usia toddler, hal ini berdampak positif bagi ibu maupun anak usia toddler yaitu anak dapat mandiri melakukan toilet training . 2.3.7
Keberhasilan toilet training Keberhasilan
menguasai
tugas-tugas
perkembangan
(mulai
belajar
mengontrol buang air besar dan buang air kecil) pada toddler memerlukan bimbingan. Keberhasilan toilet training dapat dicapai apabila anak mampu mengenali keinginan untuk mengontrol sfinngter anal dan uretra akan dicapai pada usia anak 18-24 bulan (Whaley & Wong dalam Fahmid, 2015) Toilet training dikatakan berhasil apabila : 1. Anak mau memberi tahu bila merasa buang air kecil atau buang air besar 2. Anak mengatakan pada ibu bila buang air kecil atau buang air besar 3. Anak mampu menahan buang air kecil atau buang air besar 4. Anak tidak pernah ngompol atau buang air besar dicelana 5. Anak mampu jongkok ditoilet 23
2.4
Konsep Teknik Modeling
2.4.1
Definisi Teknik Modelig modeling merupakan usaha melatih anak dalam melakukan buang air kecil
atau buang air besar dengan memberikan contoh, seperti menampilkan video toilet training. Cara ini juga dapat dilakukan dengan memberikan contoh-contoh buang air kecil dan buang air besar secara benar. Dampak yang jelek pada tehknik ini memiliki kekurangan yakni apabila contoh yang diberikan salah sehingga akan dapat diperlihatkan pada anak akhirnya anak juga mempunyai kebiasaan yang salah. Selain cara tersebut diatas terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan seperti melakukan observasi waktu pada saat anak melakukan buang air besar dan buang air kecil, tempatkan anak di atas pispot atau ajak ke kamar mandi,berikan pispot dalam posisi aman dan nyaman, ingatkan pada anak bila akan melakukan buang air besar dan buang air kecil, dudukan anak di atas pispot atau orang tua duduk atau jongkok dihadapannya sambil mengajak bicara atau bercerita, berikan pujian jika anak berhasil jangan disalahkan dan dimarahi, biasakan akan pergi ke toilet pada jam-jam tertentu dan beri anak celana yang mudah dilepas dan dikembalikan (Hidayat, 2009). modeling adalah suatu perilaku atau tingkah laku yang dibentuk melalui model dengan mengamati dan meniru perilaku orang lain. Dan modeling lebih memanfaatkan proses belajar melalui pengamatan, dimana perilaku atau tingkah laku seseorang atau beberapa orang model berperan sebagai perangsang terhadap fikiran, sikap, atau perilaku subjek pengamat tindakan untuk ditiru (Bandura, 2005 dalam Khanif 2016). 24
Mengajarkan toilet training terhadap anak dibutuhkan metode atau cara yang tepat sehingga mudah dimengerti oleh anak salah satunya adalah dengan penyuluhan. Keberhasilan dari penyuluhan didukung oleh suatu media yang digunakan dalam penyuluhan tersebut seperti media audio visual. Media audio visual merupakan metode belajar yang mudah. Pesan yang disampaikan dalam modelling media video lebih konsisten dan dapat di ulangulang. Selain itu, media video dapat dikombinasikan dengan animasi dan pengaturan kecepatan untuk mendemonstrasikan perubahan dari waktu ke waktu. Materi yang memerlukan visualisasi seperti mendemonstrasikan hal-hal seperti gerakan motorik tertentu, ekspresi wajah, ataupun suasana lingkungan tertentu adalah paling baik disajikan melalui pemanfaatan teknologi video dibandingkan dengan media lainnya (Daryanto, 2011). Audio visual merupakan salah satu media yang menyajikan informasi atau pesan secara audio dan visual. Media ini memberikan stimulus pada pendengaran dan penglihatan sehingga hasil yang diharapkan lebih maksimal (Sadiman, 2009 dalam Luh putu, 2015). Audio visual mengandalkan pendengaran dan penglihatan dari sasaran. Penggunaan audio visual melibatkan semua alat indra pembelajaran, sehingga semakin banyak alat indra yang terlibat untuk menerima dan mengolah informasi, semakin
besar
kemungkinan
isi
informasi
tersebut
dapat
dimengerti
dan
dipertahankan dalam ingatan Menurut Pieget, sejak lahir hingga dewasa pikiran anak berkembang melalui jenjang-jenjang berperiode sesuai dengan tingkat kematangan 25
anak itu dan kepercayaan yang dimiliki anak untuk menampilkan perilaku tersebut. Kemampuan dan kepercayaan diri ini yang disebut den self-efficacy atau efikasi diri. Dengan menonton modeling video dan pengamatan yang berulang-ulang maka akan meningkatkan self-efficacy anak. Seperti yang telah disampaikan peningkatan selfefficacy ini bersumber dari penguasaan pengalaman, pengalaman tak langsung, persuasi verbal dan keadaan fisiologis. Sumber utama dari self-efficacy adalah melalui pengalaman langsung. Intervensi modeling video mendukung peningkatan kemampuan anak dengan cara meniru atau imitasi. Imitasi dan mengamati adalah awal dari belajar anak. (Bandura1997, dalam Sumarti 2012). 2.4.2
Manfaat Teknik Modeling Manfaat penggunaan
modeling adalah untuk mempermudah proses
pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh anak sehingga anak dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran (Khanif, 2016) 2.5.
Kajian Penelitian Yang Relevan
Pada penelitian terdahulu dari Luh Putu Karsi Ekayani mengenai Efektivitas Penyuluhan dengan Audio Visual terhadap Keberhasilan Toilet Training Anak Umur 2-3 Tahun di Banjar Taman Palekan Batubulan pada tahun 2015 menemukan bahwa penyuluhan toilet training dengan audio visual menunjukkan 17 anak (68%) dikategorikan cukup berhasil dalam melakukan toilet training , 5 anak (20%) dikategorikan tidak berhasil, dan 3 anak (12%) dikategorikan berhasil. Keberhasilan toilet training anak umur 2-3 tahun setelah diberikan penyuluhan dengan audio visual 26
menunjukkan 12 anak (48%) termasuk dalam kategori berhasil, 11 anak (44%) termasuk dalam kategori cukup berhasil, dan 2 anak (8%) masih dikategorikan tidak berhasil. Selain itu, berdasarkan uji beda dua sampel berpasangan untuk skala ordinal yaitu Wilcoxon Signed Rank Test , perbedaan rata-rata skor pre dan posttest ini bermakna secara statistic dimana didapatkan nilai p =0.001 yang artinya penyuluhan dengan audio visual efektif terhadap keberhasilan toilet training pada anak umur 2-3 tahun di banjar Taman Palekan Batubulan tahun 2015. Pada penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Rahmatika Ammelda mengenai pengaruh modeling video dan gambar terhadap peningkatan kemampuan toilet training pada anak toddler di Tempat penitipan Anak Pekanbaru didapatkan bahwa ada
pengaruh modeling media video dan gambar terhadap peningkatan
kemampuan toilet training pada anak toddler , didapatkan rata-rata tingkat kemampuan toilet training sebesar 9.47 sebelum pemberian intervensi pada kelompok eksperimen dan didapatkan rata-rata tingkat kemampuan toilet training sebesar 11.93 sesudah diberikan intervensi. Hasil uji paired sample t test (dependent t test ) menunjukkan nilai p sebesar 0.001 atau nilai p < (0.05), artinya modeling media video dan gambar berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan toilet training pada anak toddler.
27
2.6.
Kerangka berfikir
2.7.1
Kerangka Teori Teknik mengajarkan toilet training
Teknik lisan
pemilihan tempat
Teknik modeling
duduk
Penerapan toilet training
Gambar 2.1 (Sumber: Hidayat 2009) 2.7.2
Kerangka Konsep Pengaruh teknik modeling
Penerapan toilet training pada anak usia toddler
Keterangan gambar: : Variabel Bebas (Variabel yang diteliti) : Berpengaruh : Variabel Terikat Gambar 2.2
28
2.7.
Hipotesis
2.7.1
Hipotesis Penetlitian Ada pengaruh teknik modeling video dalam penerapan toilet training pada
anak usia toddler diPAUD Muslim Kids Kota Gorontalo 2.7.2
Hipotesis Statistik
H0
: Tidak ada pengaruh teknik modeling video dalam penerapantoilet training pada anak usia toddler diPAUD Muslim Kids Kota Gorontalo
H1
: Ada pengaruh teknik modeling video dalam penerapan toilet training pada anak usia toddler diPAUD Muslim Kids Kota Gorontalo
29
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
3.3.1
Lokasi : Penelitian ini dilakukan di PAUD Muslim Kids Kota Gorontalo
3.3.2
Waktu penelitian : Penelitian ini dilakukan pada tanggal 1 sampai 19 mei 2017
3.2
Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian Pre Experiment dengan rancangan one group pre-post-test Design without control yaitu sebuah rancangan eksperimen yang tidak menggunakan sampel kontrol. (Nursalam, 2016) 3.3
Variabel Penelitian
Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lain-lain) (Nursalam, 2016) 3.3.1
Variabel Independen (Bebas) Variabel yang mempengaruhi atau nilainya menetukan variabel lain. Suatu
kegiatan stimulus yang dimanipulasi oleh peneliti menciptakan suatu dampak pada variabel dependen (Nursalam, 2016). Variabel independen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Teknik Modeling.
30
3.3.2
Variabel Dependen (Terikat) Variabel yang dipengaruhi nilainya ditentukan oleh variabel lain. Variabel
respons akan muncul sebagai akibat dari manipulasi variabel-varibel lain. Dalam ilmu perilaku, variabel terikat adalah aspek tingkah laku yang diamati dari suatu organisme yang dikenai stimulus. Dengan kata lain, variabel terikat adalah faktor yang diamati dan diukur untuk menentukan ada tidaknya hubungan atau pengaruh dari vaiabel bebas (Nursalam, 2016). Variabel dependen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penerapan toilet training 3.4
Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel
Definisi
Alat Ukur
Cara Ukur
Skala
Kriteria
nominal
Operasional
Variabel
Menggunakan
Independ
audio visual
en:
dengan video
Teknik
yang berisi
modeling
animasi tentang
Video
toilet training yang diberikan 3 kali dalam 2 minggu Variabel
Toilet training
Lembar
Berhasil
Depende
merupakan
Observasi
jika jumlah
n:
proses
toilet
training
skor100 %
pengajaran
31
untuk kontrol buang air besar dan buang air kecil secara benar dan teratur
3.5
Populasi dan Sampel
3.5.1
Populasi Populasi adalah seluruh subjek yang akan diteliti dan memenuhi
karakteristik yang ditentukan (Riyanto, 2011) Populasi pada penelitian ini adalah anak-anak di Paud Muslim Kids kota Gorontalo yang berjumlah 18 orang 3.5.2
Sampel Sampel adalah sebagian dari populasi yang diharapkan dapat mewakili
atau representatif populasi. (Riyanto, 2011) Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak-anak yang masuk dalam kategori usia toddler di Paud Muslim Kids Kota Gorontalo pada saat penelitian dilakukan, dengan jumlah sebanyak 10 sampel. Teknik yang digunakan yakni purposive
Sampling
yaitu
teknik
pegambilan
sampel
berdasarkan
pertimbangan tertentu yang telah dibuat oleh peneliti, berdasarkan ciri atau sifatsifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Riyanto, 2011)
32
3.6
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan peneliti pada variabel independen yakni pemberian perlakuan/ intervensi dengan menggunakan audio visual. Instrumen yang digunakan pada variabel dependen yakni menggunakan lembar observasi (melihat kemandirian dalam BAK dan BAB). 3.7
Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah: 3.7.1
Data Primer Data dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi. Diminggu
pertama dihari pertama penelitian sebelum diberikan teknik modeling video dijadikan hasil pre test dan dihari kedua penelitian diberikan tampilan berupa video yang berisi animasi toilet training, dihari ketiga, empat dan lima melakukan obeservasi. Diminggu kedua hari pertama penelitian diberikan tampilan berupa video yang berisi animasi toilet training, dihari kedua dilakukan observasi, dan dihari ketiga diberikan tampilan berupa video yang berisi animasi toilet training dan dihari keempat dan kelima diobservasi kemudian dijadikan hasil post test. 3.7.2
Data Sekunder Data sekunder disebut juga data tangan kedua. Data sekunder adalah data
yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh peneliti dari subjek penelitiannya. Biasanya berupa data dokumentasi atau data laporan yang telah tersedia (Saryono, 2011) 33
3.8
Analisa Data
1. Analisa univariat Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setaip variable penelitian. Pada umumnya dalam analisi ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan presentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2012) 2. Analisa bivariat Analisa bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi. Analisis ini digunakan untuk menguji hipotesis dengan menentukan pengaruh variable bebas dan variable terikat melalui uji statistic Wilcoxon Signed (Notoatmodjo, 2012) 3.9. Etika Penelitian
Etika penelitian dalam keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian, karena dalam keperawatan penelitian yang dilakukan langsung berhubungan dengan manusia, maka dari itu etika penelitian harus diperhatikan. Menurut (Pratiwi, 2013) dalam penelitian sebelumnya mengatakan etika penelitian yang harus diperhatikan antara lain adalah sebagai berikut: 3.9.1
Informed Consent (Persetujuan) Diberikan pada responden, agar responden mengetahui maksud dan tujuan
penelitian serta dampak yang diteliti selama pengumpulan data. Jika subjek bersedia diteliti, maka harus menandatangani lembar persetujuan, jika menolak
34
tidak akan dipaksa dan tetap menghormati haknya. Lembar permohonan menjadi responden pada lampiran. 3.9.2
Anomity (Tanpa Nama) Menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak mencantumkan
nama lengkap responden pada lembar pengumpulan data, tapi cukup dengan inisial atau kode. 3.9.3
Confidentiality (Kerahasiaan) Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subjek terjamin oleh peneliti
dan tidak akan disampaikan pada pihak lain yang tidak terkait dengan peneliti.
35
36
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1.
Gambaran umum lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di PAUD Muslim Kids Kota Gorontalo pada tanggal 1 – 19 Mei 2016. PAUD Muslim Kids berdiri pada tanggal 27 Maret 2006, PAUD Muslim Kids kini berada dibawah naungan PW Muslimat NU Provinsi Gorontalo. Yang dipimpin oleh ibu Marwitan Tamayahu serta para staf dewan guru Ibu lusiana K Latif dan ibu Desnawati Rahman PAUD muslim kids memiliki jumlah siswa sebanyak 18 siswa. PAUD muslim kids berlokasi di Jl. Prof. DR. H.B Jassin No. 393 Kelurahan Dulalowo Kecamatan Kota Tengah Kota Gorontalo. 4.2.
Distribusi Berdasarkan Karakteristik Responden
4.2.1
Gambaran Umum Responden
Penelitian ini dilaksanakan pada anak usia dini di PAUD Muslim Kids Kota Gorontalo dengan cara melakukan eskperimen menggunakan teknik modeling video. data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dari 10 orang anak usia dini yang menjadi responden. 4.2.2
Distribusi Responden Berdasarkan Umur
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di PAUD Muslim Kids Kota Gorontalo diperoleh distribusi frekuensi berdasarkan umur responden dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah ini :
36
Tabel 4.1. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan umur diPAUD Muslim Kids Kota Gorontalo No Umur (n) (%) 1 2 Tahun 3 30.0 2 3 Tahun 7 70.0 10 100 Total Sumber : Data primer, 2017 Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa jumlah responden paling banyak berdasarkan karakteristik umur adalah umur 3 tahun yakni sebanyak 7 responden (70%), sedangkan umur 2 tahun sebanyak 3 responden (30%). Berdasarkan umur responden, anak dengan umur 3 tahun yang mendominasi dalam penelitian ini. 4.2.3 Distribusi responden berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di PAUD Muslim Kids Kota Gorontalo diperoleh distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin responden dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini : Tabel 4.2. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin diPAUD Muslim Kids Kota Gorontalo No Jenis Kelamin (n) (%) 1 Laki-laki 6 60.0 2 Perempuan 4 40.0 10 100 Total Sumber : Data primer, 2017 Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan anak dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak yaitu dengan jumlah 6 orang (60.0%), dan anak yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 4 orang (40.0%).
37
4.2.4
Distribusi responden berdasarkan yang pernah diajarkan toilet traing oleh orang tua
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di PAUD Muslim Kids Kota Gorontalo diperoleh distribusi frekuensi berdasarkan yang pernah diajarkan toilet traing oleh orang tua dilihat pada tabel 4.3 di bawah ini : Tabel 4.3. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan yang pernah diajarakan toilet training oleh orang tua di PAUD Muslim Kids Kota Gorontalo No Pernah diajarkan toilet (n) (%)
training 1 2
Pernah Belum
Total Sumber : Data primer, 2017
Berdasarkan
7 3 10
70 30 100
tabel 4.3 menunjukkan anak yang sebelumnya pernah
diajarkan Toilet training oleh orang tua 7 responden (70 %), dan anak yang belum pernah diajarkan Toilet training oleh orang tua yaitu 3 responden 30%). 4.3.
Analisis Univariat Variabel Penelitian
4.3.1
Variabel hasil Toilet Tr aining Sebelum dilakukan teknik modeling video
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di PAUD Muslim Kids Kota Gorontalo diperoleh distribusi frekuensi berdasarkan hasil analisis variabel toilet training sebelum dilakukan teknik modeling video pada anak usia toddler, dilihat pada tabel 4.4 di bawah ini :
38
Tabel 4.4. Distribusi frekuensi hasil toilet training sebelum dilakukan teknik modeling video diPAUD Muslim Kids Kota Gorontalo No. Kategori (n) (%) 1. Tidak Berhasil 10 100 2. Berhasil 0 0 10 100 Total Sumber : Data primer, 2017 Berdasarkan tabel 4.4 diatas menunjukkan distribusi frekuensi hasil Pre Test toilet training pada anak usia toddler dimana keseluruhan responden 10 (100%) dengan kategori tidak berhasil. 4.3.2
Variabel Hasil Toilet Training Sesudah dilakukan teknik modeling video
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di PAUD Muslim Kids Kota Gorontalo diperoleh distribusi frekuensi berdasarkan hasil analisis variabel Post test toilet training pada anak usia toddler, dilihat pada tabel 4.5 di bawah ini : Tabel 4.5. Distribusi frekuensi hasil Post Test toilet training pada anak usia toddler diPAUD Muslim Kids diPAUD Muslim Kids Kota Gorontalo No. (n) (%) 1. Tidak Berhasil 3 30 2. Berhasil 7 70 10 100 Total Sumber : Data primer, 2017 Berdasarkan tabel 4.5 diatas menunjukkan distribusi frekuensi hasil Post Test toilet training pada anak usia toddler yang berhasil 7 responden (70 %) dan yang tidak berhasil 3 responden (30 %).
39
4.4.
Analisa Bivariat
4.4.1
Pengaruh teknik modeling video terhadap penerapan toilet training pada anak usia toddler
Tabel. 4.6 pengaruh teknik modeling video terhadap penerapan toilet training pada anak usia toddler diPAUD Muslim Kids Kota Gorontalo n Mean Asym. Sig. 2(rata-rata) tailed (P Value) Penerapan toilet training sebelum 10 2.50 0,004 penyuluhan Penerapan toilet training sesudah 10 4,70 penyeluhan Sumber : Pengolahan data SPSS, 2017 Berdasarkan uji normalitas didapatkan data tidak berdistribusi normal sehingga peneliti menggunakan uji non parametrik yaitu uji Wilcoxon Signed. Berdasarkan tabel 4.6 hasil penelitian diketahui mean variabel sebelum dilakukan penyuluhan toilet training dengan teknik modeling video adalah 2.50 satuan Sedangkan mean untuk variabel sesudah dilakukan penyuluhan toilet training menggunakan teknik modeling video adalah 4.70 satuan, dari tingkat mean tersebut ditemukan bahwa nilai post test jauh lebih besar dibandingkan pre test sehingga dapat dikatakan terjadi perubahan. Kemudian didapatkan juga dari hasil uji non parametrik dengan menggunakan uji Wilcoxon didapatkan 2-tailed bernilai, karena 0,004, karena nilai 0,004 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa H1 diterima. Artinya ada perbedaan hasil penyuluhan toilet training menggunakan teknik modeling video dalam pre test dan post test. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh teknik
40
modeling video terhadap penerapan toilet training pada anak usia toddler di PAUD Muslim Kids Kota Gorontalo. 4.5
Pembahasan
4.5.1
Penerapan Toilet Tr aining Sebelum dilakukan teknik modeling video
Toilet training merupakan proses pengajaran untuk kontrol buang air besar dan buang air kecil secara benar dan teratur. Biasanya kontrol buang air kecil lebih dahulu dipelajari oleh anak, kemudian kontrol buang air besar (Zavier, 2008) Toilet training juga dapat menanamkan suatu kebiasaan yang baik pada anak mengenai kebersihan diri. Dalam kegiatan toilet training ini, anak tidak hanya harus memiliki persiapan secara fisik dan psikologis namun juga persiapan intelektual (Hidayat, 2009) Hasil penelitian berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan bahwa penerapan toilet training sebelum dilakukan penyuluhan toilet training menggunakan teknik modeling video nampak bahwa 10 respoden (100 %) yang belum berhasil melakukan toilet training. Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti pada saat sebelum dilakukan penyuluhan dengan teknik modeling. Menunjukkan bahwa keseluruhan responden belum memenuhi kriteria keberhasilan toilet training . Hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap orang tua responden, dimana terdapat 2 orang anak
yang belum pernah diajarkan
toilet training
walaupun sebagian besar anak sudah pernah diajarkan toilet training oleh orang tuanya tapi belum ada yang memenuhi kriteria keberhasilan toilet training. Hal ini
41
salah satunya dipengaruhi oleh status pekerjaan ibu, dimana sebagian besar pekerjaan orang tua responden yang memungkinkan menyita waktu ibu bersama anak dalam hal melakukan toilet training. Menurut (Notoatmodjo, 2003) status pekerjaan Ibu mempunyai hubungan yang bermakna dengan penerapan toilet training secara dini pada anak usia toddler (2-3 tahun), dimana pekerjaan ibu dapat menyita waktu ibu untuk melatih anak melakukan toilet training secara dini sehingga berdampak pada keterlambatan anak untuk mandiri melakukan toilet training . Selain itu faktor pengetahuan orang tua yang sudah memahami dan belum memahami toilet training dengan baik memiliki peranan yang penting dalam keberhasilan toilet training pada anak, dimana ibu yang memiliki pengetahuan yang baik tentang toilet training akan berdampak pada cepatnya ibu melatih anak dalam
melakukan toilet training. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anggita Kesuma Putri, 2016 menunjukkan bahwa terdapat hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang toilet training terhadap pelaksanaan toilet training dimana ibu yang mempenyuai pengetahuan yang baik cenderung melakukan pelaksaan toilet training dengan baik pada anak. 4.5.2
Penerapan Toilet Tr aining Sesudah dilakukan teknik modeling video
Teknik Modeling merupakan usaha melatih anak dalam melakukan buang air kecil atau buang air besar. Media audio visual merupakan metode belajar yang
42
mudah. Pesan yang disampaikan dalam modeling media video lebih konsisten dan dapat diulang- ulang. Selain itu media video dapat dikombinasikan dengan animasi dan pengaturan kecepatan untuk mendemonstrasikan perubahan dari waktu ke waktu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada saat penelitian didapatkan bahwa pada hari ke 6 di minggu pertama setelah dilakukan pengamatan terhadap responden, terdapat 4 orang anak (40%) yang berhasil melakukan toilet training dan 6 orang (60%) yang belum berhasil melakukan toilet training . Kemudian pada minggu kedua setelah dilakukan pengamatan kembali kepada responden, terdapat 7 orang anak (70%) yang berhasil melakukan toilet training serta 3 orang anak (30 %) yang belum berhasil dalam melakukan toilet training. Tabel 4.5 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang signifikan terhadap keberhasilan penerapan toilet training pada responden dimana sebanyak 7 orang anak atau sebanyak 70 % responden memenuhi kriteria keberhasilan toilet training melalui teknik modeling video. Menurut peneliti perubahan keberhasilan anak dalam penerapan toilet training pada saat pre test dan setelah dilakukan penyuluhan toilet training dikarenakan perhatian yang besar dari responden pada saat peneliti memberikan teknik menggunakan audio visual dan dukungan orang tua dalam melatih anak dalam melakukan toilet training sehingga keberhasilan toilet training anak meningkat karena kualitas latihan yang diberikan orang tua.
43
Menurut teori yang dikemukakan oleh Bandurah, 2005 bahwa sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selekstif dan mengingat tingkah laku orang lain. Terdapat 3 orang anak atau sebanyak 30 % responden yang belum berhasil dalam melakukan toilet training. karena anak kurang perhatian pada saat peneliti menampilkan video animasi toilet training . Serta faktor kurangnya peran orang tua dalam melatih anak dalam melakukan toilet training, karena peran orang tua berpengaruh lebih cepat dalam keberhasilan penerapan toilet training pada anak, Anak yang hanya dijaga oleh pengasuhnya mengalami keterlambatan dalam penerapan toilet training . Hal ini
akan berpengaruh pada keberhasilan toilet
training anak. Dukungan langsung yang didapat dari orang tua dapat membantu keberhasilan toilet training. Menurut (Daryanto, 2011) Media audio visual merupakan metode belajar yang mudah. Pesan yang disampaikan dalam modelling media video lebih konsisten dan dapat di ulang-ulang. Selain itu, media video dapat dikombinasikan dengan animasi dan pengaturan kecepatan untuk mendemonstrasikan perubahan dari waktu ke waktu. Menurut (Pieget, 1997) Audio visual mengandalkan pendengaran dan penglihatan dari sasaran. Penggunaan audio visual melibatkan semua alat indra pembelajaran, sehingga semakin banyak alat indra yang terlibat untuk menerima dan mengolah informasi, semakin besar kemungkinan isi informasi tersebut dapat dimengerti dan dipertahankan dalam ingatan Menurut Piaget, sejak lahir hingga dewasa pikiran anak berkembang melalui jenjang-jenjang berperiode sesuai dengan
44
tingkat kematangan anak itu dan kepercayaan yang dimiliki anak untuk menampilkan perilaku tersebut. Kemampuan dan kepercayaan diri ini yang disebut dengan self-efficacy atau efikasi diri. Dengan menonton modeling video dan pengamatan yang berulang-ulang maka akan meningkatkan self-efficacy anak. Seperti yang telah disampaikan peningkatan self-efficacy ini bersumber dari penguasaan pengalaman, pengalaman tak langsung, persuasi verbal dan keadaan fisiologis. Sumber utama dari self-efficacy adalah melalui pengalaman langsung. Modeling video dan pengamatan yang berulang-ulang maka akan meningkatkan self-efficacy anak. Hal tersebut didukung oleh Penelitian (Luh Putu, 2015) Audio visual merupakan salah satu media yang menyajikan informasi atau pesan secara audio dan visual. Media ini memberikan stimulus pada pendengaran dan penglihatan sehingga hasil yang diharapkan lebih maksimal. Modeling lebih dari sekedar peniruan atau mengulangi perilaku model tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau pengurangan tingkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus melibatkan proses kognitif. 4.5.3
Pengaruh teknik modeling video terhadap penerapan toilet training
Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Wilcoxon didapatkan 2 tailed 0,004 < α (0,05) yang menunjukkan bahwa teknik modeling video mempunyai pengaruh terhadap penerapan toilet training pada anak usia toddler yang telah dilakukan di PAUD Muslim Kids Kota Gorontalo. Berdasarkan Tabel. 4.6 dapat dilihat bahwa nilai mean didapatkan pada hasil pre test pada
45
penerapan toilet training sebesar 2.50 satuan sedangkan pada post test pada penerapan toilet training sebesar 4.70 satuan, jika dibandingkan hasil mean pre test dan post test didapat bahwa hasil mean pada post test jauh lebih besar dari nilai mean pre test sehingga terjadi perubahan. Dari penelitinaan yang menggunakan teknik modeling video dalam pemberian health education tentang toilet training antara lain : penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahmatika Ammelda melihat pengaruh modeling media video dan gambar terhadap peningkatan kemampuan toilet training pada toddler.
(Kartika,
2016)
melihat
efektivitas
penyuluhan
toilet
training
menggunakan teknik oral dan modeling terhadap keberhasilan toilet training pada toddler. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa teknik modeling lebih efektif dalam pemberian penyuluhan toilet training diusia toddler dibandingkan dengan teknik oral. (Faikoh, 2014)
melihat pengaruh modeling media video terhadap
peningkatan kemampuan toilet training pada anak retardasi mental usia 5-7 tahun di SLB N Semarang dari hasil penelitian ini menunjukkan sebelum dilakukan intervensi pemberian modeling media video didapatkan 15 anak (50%) mampu dan 15 anak (50%) tidak mampu. Sedangkan setelah dilakukan intervensi didapatkan peningkatan sebanyak 26 anak (86,6 %) mampu dan 4 anak (13,4%) tidak mampu di SLB N Semarang.
Dari beberapa penjelasan penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa penyuluhan
atau
health
education menggunakan
teknik
modeling
video
berpengaruh dalam keberhasil seorang anak dalam melakukan toilet training.
46
4.6
Keterbatasan Penelitian
1. Dalam penelitian ini peneliti mengalami kesulitan pada saat melakukan pemutaran video tentang toilet training , karena ada beberapa anak yang tidak memperhatikan. 2. Dalam penelitian ini peneliti mengalami kesulitan pada saat ingin mewawancarai orang tua karena anak sering hanya dititipkan.
47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan
1. Penerapan toilet training sebelum dilakukan tehnik modeling video di Paud Muslim Kids Kota Gorontalo sebagian besar siswa yaitu sebanyak 10 responden belum berhasil melakukan toilet training . 2. Penerapan toilet training sesudah dilakukan tehnik modeling video di Paud Muslim Kids Kota Gorontalo sebagian besar siswa di Paud Muslim Kids kota Gorontalo yaitu sebanyak 7 responden (70%) berhasil melakukan toilet training. 3. Ada pengaruh tehnik modeling video terhadap penerapan toilet training di PAUD Muslim Kids kota Gorontalo. ( P value : 0,004 (α = 0,05). 5.2
Saran
1. Bagi Keperawatan Diharapakan tehnik modeling video ini dapat digunakan dalam dunia keperawatan dalam upaya promosi kesehatan yang mengoptimalkan tumbuh kembang anak pada usia toddler pada aspek keterampilan buang air kecil dan buang air besar. 2. Bagi Pendidikan Dapat dijadikan sebagai salah satu referensi dalam memberikan pembelajaran toilet training pada anak di sekolah dan juga sebagai informasi
48
Daftar Pustaka
Ekayani, K.L.P (2015). Efektivitas penyuluhan dengan audio visual terhadap keberhasilan toilet training pada anak umur 2-3 tahun. fakultas kedokteran, jurusan keperawatn. Faikoh, E.N. (2014). Pengaruh modeling video terhadap peningkatan kemampuan toilet training pada anak retardasi mental usia 5-7 tahun Hidayat, A. A. (2009). Pengantar Ilmu keperawatan anak 1. Jakarta: Salemba Medika. Ishak, R.F (2015). Hubungan pola asuh orang tua dengan tingkat keberhasilan toilet training pada batita. Fakultas Olahraga kesehatan, jurusan keperawatan. Istiqomah, K (2016). Teknik modeling terhadap kemampuan toilet training anak cerebral palsy. Fakultas Ilmu Pendidikan, jurusan pendidikan luar biasa. Kartika, U. (2016). Efektivitas teknik oral dan modelling terhadap keberhasilan toilet training pada todler . Jurusan keperawatan Kyle, T., & Carman, S. (2015). Keperawatan pediatrik (Essential of pediatric Nursing) . Jakarta: EGC. Musbikin, Imam. 2002. Tumbuh Kembang Anak . Jogjakarta: FlashBooks. Ningsih, F.S (2012). Hubungan pengetahuan dan prilaku ibu dalam menerapkan toilet training dengan kebiasan mengompol pada anak usia sekolah. Fakulatas Kedokteran dan ilmu kesehatan, jurusan keperawatan. Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
49