PENGARUH KETINGGIAN TEMPAT BERBEDA TERHADAP RESPON FISIOLOGIS, PRODUKTIVITAS DAN REPRODUKSI SAPI POTONG MATA KULIAH ILMU NUTRISI TERNAK DOSEN : Dr. MA’RUF TAFSIN, M.Si
OLEH : ULINA HUTASUHUT, S.Pt 147040009
FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM MAGISTER ILMU PETERNAKAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas makalah untuk matakuliah Bionomika Ternak dengan judul “Pengaruh Ketinggian Tempat Berbeda Terhadap Respon Fisiologis, Produktivitas dan Reproduksi Sapi Potong”. Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Peternakan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Usaha peternakan sapi potong merupakan salah satu usaha yang sudah berkembang secara pesat dan telah menyebar di wilayah Indonesia. Untuk keberhasilan usaha penggemukan sapi potong, maka yang harus diperhatikan adalah manajemen pemeliharaan yang terarah dan pengelolah yang professional. Salah satu hal yang kadang luput diperhatikan peternak adalah faktor lingkungan yang ideal untuk perkembangan sapi potong antara, suhu udara, kelembaban udara, THI, radiasi matahari, kecepatan angin, serta curah hujan. Kesemuanya itu akan mempengaruhi respon fisiologis, produktivitas dan reproduksi sapi potong. Indonesia memiliki lingkungan seperti daerah dataran rendah, berbukit dan daerah dataran tinggi dengan suhu lingkungan yang berbeda – beda. Dengan mengetahui zona nyaman (thermoneutral zone) yang sesuai dengan ternak baik sapi lokal maupun sapi persilangan akan memudahkan pengembangan (pembibitan atau pembesaran) usaha peternakan sapi potong kedepannya. Artinya, peternak sapi potong agar dapat lebih memperhatikan fakor lingkungan sebelum memelihara sapi potong apakah sesuai dengan zona nyamannya atau tidak. Jika salah menempatkan, maka akan berakibat kerugian. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan saran dan masukan yang membangun sehingga tulisan ini dapat bermanfaat dan dapat digunakan bagi semua pihak yang berkepentingan. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat buat kita semua. Amin.
DAFTAR ISI Hal KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………………..
i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………….
ii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………………………………….
iii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang ……………………………………………………………………………
1
1.2
Tujuan Penulisan …………………………………………………………………………
2
1.4
Manfaat Penulisan ………………………………………………………………………..
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
2.2
2.3
Pengertian Ketinggian Tempat (Dataran Tinggi / Dataran Rendah ) ……………….
3
2.1.1
Dataran Tinggi .........................................................................................
3
2.1.2
Dataran Rendah ......................................................................................
3
Perbedaan Suhu Lingkungan Pada Ketinggian Tempat Berbeda .........................
3
2.2.1
Suhu Udara ……........................................................................................
3
2.2.2
Kelembaban Udara ………………………..................................................
4
2.2.3
Thermal Humidity Index (THI) .....................................................................
5
2.2.4
Radiasi Matahari .......................................................................................
6
2.2.5
Kecepatan Angin .......................................................................................
6
2.2.6
Curah Hujan ..............................................................................................
7
Zona Nyaman (Thermoneutral Zone) Berdasarkan Ketinggian Tempat Berbeda Terhadap Kemampuan Adaptasi Sapi Potong …....................................................
7
2.4
Kondisi Fisiologis Normal Sapi Potong ………………………………………………….
9
2.5
Pengaruh Ketinggian Tempat Berbeda Terhadap Respon Fisiologis Sapi Potong..
10
2.5.1
Suhu Tubuh ................................................................................................
10
2.5.2
Suhu Rektal ................................................................................................
12
2.5.3
Suhu Permukaan Kulit ...............................................................................
13
2.5.4
Frekuensi Pernafasan (Respirasi) ..............................................................
14
2.5.5
Frekuensi Denyut Jantung / Denyut Nadi (Pulsus) ......................................
16
2.5.6
Heat Tolerance Coefficient (HTC) ..............................................................
16
2.6
2.7
Pengaruh Ketinggian Tempat Berbeda Terhadap Produktivitas Sapi Potong ……..
17
2.6.1
Konsumsi Ransum ………………………………………………………………
17
2.6.2
Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) ………………………………….
18
2.6.3
Feed Consumtion Ratio (FCR) …………………………………………………
18
Pengaruh Ketinggian Tempat Berbeda Terhadap Reproduksi Sapi Potong ..........
20
2.7.1
Umur Pubertas ..........................................................................................
21
2.7.2
Umur Kawin Pertama ...............................................................................
22
2.7.3
Umur Beranak Pertama ............................................................................
23
2.7.4
Calving Interval (Jarak Beranak) ..............................................................
23
2.7.5
Service Period ...........................................................................................
24
2.7.6
Service Per Conception (S/C) ...................................................................
24
2.7.7
Conception Rate .......................................................................................
26
2.7.8
Non Return Rate (NRR) ............................................................................
27
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN 3.1
Kesimpulan ………………………………………………………………………………..
28
3.2
Saran ……………………………………………………………………………………….
28
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Hal Tabel 1. Thermoneutral Zone Berdasarkan Suhu & Ketinggian Tempat Pada Beberapa Jenis Bakalan Sapi Potong ………………………………………………………..........
9
Tabel 2. Kondisi Fisiologis Normal Sapi Potong ....................…...…………………………….
9
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sapi merupakan salah satu ternak yang memberikan kontribusi besar untuk memenuhi
kebutuhan protein masyarakat Indonesia. Pengembangan peternakan sapi salah satunya harus didukung dengan peningkatan produktivitas ternak. Produktivitas merupakan gabungan dari potensi produksi dan reproduksi ternak. Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik ditentukan oleh gen – gen dan bersifat baka serta diturunkan dari tetua pada keturunannya. Faktor lingkungan merupakan faktor non genetik yang mendukung ternak dalam berproduksi sesuai dengan kemampuannya (Purwanto et al., 1991). Salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap produktivitas sapi ialah iklim. Produktivitas dan kondisi fisiologis sapi yang dipelihara pada iklim tropis berbeda dengan sapi yang dipelihara pada iklim subtropis. Menurut Badan Pusat Statistik (2013), populasi sapi potong nasional berkisar antara 13.5 juta sampai 13.8 juta ekor, dan hanya mampu memenuhi 20 % dari kebutuhan nasional, sisanya 80 % dipenuhi melalui impor. Untuk tahun 2015, Indonesia mengalami defisit daging sapi sebanyak 237.89 ribu ton atau setara dengan 1.39 juta ekor sapi hidup. Potensi produktivitas ternak pada dasarnya dipengaruhi faktor genetik, lingkungan serta interaksi antara genetik dan lingkungan (Karnaen dan Arifin, 2009; Hammack, 2009). Faktor genetik yang berpengaruh adalah bangsa ternak, sedangkan faktor lingkungan antara lain: pakan, iklim, ketinggian tempat, bobot badan, penyakit, kebuntingan, bulan laktasi dan jarak beranak, serta paritas (Epaphras et al., 2002). Lingkungan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh cukup besar terhadap penampilan produksi seekor ternak. Keunggulan genetik suatu bangsa ternak dapat ditampilkan secara optimal dalam bentuk produktivitas yang tinggi apabila mendapat kondisi lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya (Rumetor, 2003).
Perubahan iklim secara global (global warming) menyebabkan meningkatnya cekaman panas dan diprediksi dapat menjadi masalah utama dalam penggemukan sapi potong pada masa yang akan datang. Kondisi lingkungan ekstrim akibat tingginya temperatur, radiasi matahari, kelembaban dan rendahnya kecepatan angin berpengaruh terhadap kondisi fisiologis ternak yang berdampak pada peningkatan frekuensi pernafasan, denyut jantung, suhu rektal, dan penurunan konsumsi ransum, kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas ternak (Brandl et al., 2003). Indonesia beriklim tropika, yaitu tipe iklim yang daerahnya berada disekitar equator. Daerah tropika adalah wilayah dengan lokasinya berkisar antara 23.5º LU dan 23.5º LS (Handoko, 1995). Menurut Lakitan (1994), iklim tropika basah memiliki karakteristik utama dengan curah hujan, kelembaban udara, dan suhu rata – rata yang tinggi. Kelembaban di Indonesia tergolong tinggi yaitu 70 – 80 % sehingga akan mempengaruhi metabolisme tubuh ternak terutama saat mengeluarkan panas tubuh (Atabany, 2012), dengan suhu rata – rata tahunan terendah adalah 18º C. Pada kondisi demikian, maka produktivitas sapi – sapi yang berasal dari daerah beriklim sedang akan lebih rendah. Di daerah tropis pada umumnya ketinggian tempat dari permukaan laut berkaitan erat dengan iklim terutama suhu udaranya. Iklim yang ada di berbagai daerah tidak sama, selain disebabkan oleh adanya perbedaan letak lintang, bujur, distribusi tanah dan air juga disebabkan oleh perbedaan ketinggian tempat. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi performans reproduksi ternak itu adalah ketinggian tempat, yang sangat erat kaitannya dengan suhu dan kelembaban. Hasil penelitian Calderon et al (2005) menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata penampilan reproduksi ternak di daerah panas dengan di daerah dingin. Perbedaan produktivitas ini berkaitan erat dengan faktor suhu dan kelembaban udara. Oleh karena itu ketinggian tempat yang berbeda ini merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam pengaruhnya terhadap respon fisiologis, produktivitas serta performan reproduksi ternak sapi potong. Bertitik tolak dari uraian di atas penulis tertarik untuk menjadikan ini sebagai makalah yang perlu untuk dikaji lebih jauh. 1.2
Tujuan Penulisan Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh ketinggian tempat yang berbeda terhadap respon
fisiologis, produktivitas serta reproduksi pada sapi potong. 1.3
Manfaat Penulisan
Sebagai bahan informasi kepada semua pihak bahwa ketinggian tempat yang berbeda berpengaruh terhadap respon fisiologis, produktivitas dan reproduksi sapi potong, sehingga dapat dilakukan upaya yang lebih komprehensif untuk peningkatan produktivitas ternak baik di lingkungan dataran rendah maupun dataran tinggi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Ketinggian Tempat (Dataran Tinggi / Dataran Rendah) Daratan Indonesia terbentuk dari dataran tinggi, dataran rendah dan pantai. Daratan adalah
bagian dari permukaan bumi yang tidak digenangi oleh air dan berbentuk padat. Luas wilayah daratan kepulauan Indonesia sepertiga dari seluruh luas wilayah Indonesia. Dua pertiga wilayah Indonesia lainnya berupa lautan. Wilayah daratan tidaklah rata, ada pegunungan, dataran tinggi, dataran rendah, lembah, gunung, dan pantai. 2.1.1
Dataran Tinggi
Dataran tinggi (disebut juga plateau atau plato) adalah dataran yang terletak pada ketinggian di atas 700 m dpl. Dataran tinggi terbentuk sebagai hasil erosi dan sedimentasi. Beberapa dataran tinggi antara lain Dataran Tinggi Dekkan, Dataran Tinggi Gayo, Dataran Tinggi Dieng, Dataran Tinggi Malang, dan Dataran Tinggi Alas. Dataran tinggi bisa juga terjadi oleh bekas kaldera luas, yang tertimbun material dari lereng gunung sekitarnya. Dataran tinggi dari kategori terakhir ini antara lain adalah Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah (https://id.wikipedia.org/). Sementara menurut Kottek et al (2006) bahwa dataran tinggi adalah tinggi tempat antara 600 – 1500 m dpl. 2.1.2
Dataran Rendah
Dataran rendah adalah hamparan luas tanah dengan tingkat ketinggian yang di ukur dari permukaan laut adalah relatif rendah (sampai dengan 200 m dpl). Istilah ini diterapkan pada kawasan manapun dengan hamparan yang luas dan relatif datar yang berlawanan dengan dataran tinggi. Suhu udara di dataran rendah, khususnya untuk wilayah Indonesia berkisar antara 23 derajat Celsius sampai dengan 28 derajat Celsius sepanjang tahun (https://id.wikipedia.org/). Sementara menurut Kottek et al (2006) bahwa dataran rendah adalah tinggi tempat antara 0 – 600 m dpl. 2.2
Perbedaan Suhu Lingkungan Pada Ketinggian Tempat Berbeda
2.2.1
Suhu Udara
Suhu udara merupakan gambaran umum keadaan energi suatu benda. Namun, tidak semua bentuk energi yang dikandung suatu benda dapat diwakili oleh suhu udara, seperti energi kinetik. Suhu udara dikatakan sebagai derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala tertentu dengan menggunakan termometer dan merupakan unsur iklim yang sangat penting. Suhu udara ini berubah sesuai dengan tempat dan waktu (https://id.wikipedia.org/). Suhu udara akan berfluktuasi dengan nyata selama setiap periode 24 jam (variasi diurnal). Fluktuasi suhu udara berkaitan erat dengan proses pertukaran energi yang berlangsung di atmosfer. Serapan energi radiasi matahari oleh bumi akan menyebabkan suhu udara meningkat. Pada variasi diurnal, suhu maksimum tercapai beberapa saat setelah radiasi maksimum. Suhu dipermukaan dipengaruhi oleh beberapa faktor: (1) jumlah radiasi yang diterima per tahun, per hari, dan per musim; (2) pengaruh daratan atau lautan; (3) pengaruh ketinggian tempat, Braak memberikan rumusan sebagai berikut: makin tinggi suatu tempat dari permukaan laut maka suhu akan semakin rendah; (4) pengaruh angin secara tidak langsung; (5) tipe tutupan lahan, tanah yang ditutupi vegetasi yang memiliki suhu udara lebih rendah daripada tanah tanpa vegetasi; (6) pengaruh panas laten, yaitu panas yang disimpan dalam atmosfer; (7) tipe tanah, tanah yang gelap indeks suhunya lebih tinggi; (8) pengaruh sudut datang sinar matahari, sinar yang tegak lurus akan membuat suhu udara lebih panas daripada yang datangnya miring (Prawirowardoyo, 1996 dan Kartosapoetra, 2006) Menurut Kottek et al (2006) bahwa dataran tinggi memiliki suhu 17.1°C – 22°C, sementara dataran rendah memiliki suhu 22°C – 26.3°C. Hasil penelitian Widada et al (2012) yang dilaksanakan di daerah dataran rendah (2 – 8 m dpl), dan di dataran tinggi (600 – 800 m dpl) diketahui bahwa rata – rata suhu lingkungan di dataran rendah adalah 31.9 OC dan didataran tinggi adalah 27.5 OC. Dimana pada dataran rendah suhu maksimal 39.0 O
C dan suhu minimal 27.0 OC, sedangkan pada dataran tinggi suhu maksimal 31.0 OC dan suhu
minimal 24.0 OC. Suhu di daerah dataran tinggi lebih rendah dibanding dengan di daerah dataran rendah dikarenakan adanya perbedaan ketinggian tempat yang berbeda. Rendahnya suhu di daerah dataran tinggi diharapkan dapat mengoptimalkan pertumbuhan sapi Limpo betina yang dipengaruhi oleh pemberian pakan tambahan. Pada rata – rata suhu lingkungan tersebut sapi dapat berkembang baik dan hidup secara normal. Pada dataran rendah merupakan suhu yang sangat ekstrim untuk memelihara ternak sapi khususnya sapi persilangan dari Bos taurus, yang dapat menyebabkan sapi
tercekam. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan oleh Busono (2007) menyatakan bahwa bangsa sapi Eropa (taurus) dapat berproduksi baik pada temperatur 4 – 24 °C. Sedangkan, hasil penelitian Saiya (2014) di kabupaten Merauke yang berdataran rendah dan berawa dengan kemiringan 0 – 3 dan ketinggian 0 – 20 meter dpl diketahui suhu udara pada musim barat bulan April lebih tinggi yakni 29.05±2.44 °C daripada musim timur bulan Mei yakni 29.05±1.99 °C. Sedangkan hasil penelitian Aryogi et al (2005) pada dataran rendah yang mempunyai ketinggian tempat antara 0 – 50 m dpl yang dilaksanakan di kabupaten Probolinggo memiliki rata – rata temperatur udara harian sebesar 27.4 oC, mencapai kisaran maksimal antara 30 – 31 oC antara jam 10.00 – 16.00 dan kisaran minimalnya pada 24 – 26 oC antara jam 24.00 – 06.00. 2.2.2
Kelembaban Udara
Hasil penelitian Widada et al (2012) yang dilaksanakan di daerah dataran rendah (2 – 8 m dpl), dan di dataran tinggi (600 – 800 m dpl) diketahui bahwa kelembaban udara pada dataran rendah adalah 56.8 % dan dataran tinggi adalah 60.9 %. Sementara hasil penelitian Tjatur dan Ihsan (2011) bahwa rata – rata kelembaban udara pada dataran rendah adalah 83.26 ± 1.64 % dan dataran tinggi adalah 87.05 ± 1.89 %. Hasil penelitian Saiya (2014) di kabupaten Merauke yang berdataran rendah dan berawa dengan kemiringan 0 – 3 dan ketinggian 0 – 20 meter dpl memiliki kelembapan udara yang cukup tinggi, yaitu 81.2%. Dimana pada bulan April dan Mei menunjukkan bahwa nilai kelembapan relatif berbeda jauh diantara kedua bulan tersebut, pada bulan April kelembaban sebesar 78.18±9.18 % dan pada bulan Mei sebesar 73.09±9.39 %. Sedangkan hasil penelitian Nawaan (2006) yang dilaksanakan di 3 kabupaten atau kotamadya yaitu kabupaten Padang Pariaman, kota Pariaman dan kabupaten Pesisir Selatan yang merupakan daerah dataran rendah atau pesisir. Ketiga daerah ini memiliki kelembaban relatif (Relative Humidity = RH) harian berkisar rata – rata antara 90 % di pagi hari dan 83 % di siang hari. 2.2.3
Thermal Humidity Indeks (THI)
Menurut Hadi et al (2012), data suhu dan kelembaban yang diukur pada masing masing petak akan digunakan untuk menghitung Thermal Humidity Index (THI), dengan rumus sebagai berikut : THI = 0.8 Ta + (RH x Ta)/500 Atau THI (Temperature Humidity Index) = TBK + 0.36 TBB + 41,2 Ket :
Ta
= suhu atau temparatur udara (°C)
RH
= Kelembaban udara (%)
Hubungan besaran suhu dan kelembaban udara atau biasa disebut THI dapat dipergunakan untuk mengetahui tingkat kenyamanan atau cekaman yang dialami tubuh ternak (Tjatur dan Ihsan., 2011). Berdasarkan hasil penelitian Tjatur dan Ihsan (2011) bahwa rata – rata perhitungan nilai THI di dataran rendah sebesar 76.71±4.91 dan di dataran tinggi 69.61±3.82. Pengamatan di lokasi dataran tinggi dan rendah menunjukkan bahwa nilai THI di dataran tinggi masih dalam batas kenyamanan ternak yaitu di bawah 72, sedangkan nilai THI di daerah dataran rendah menunjukkan pada nilai di atas 72 yang menandakan bahwa ternak mengalami etabo atau cekaman panas. Pada malam hari, ternak mengalami kondisi kategori etabo ringan dan pada siang ternak mengalami stress dalam kategori sedang. Adanya stress panas dapat mempengaruhi produktivitas ternak. Metabolisme tubuh tidak sama dengan kondisi ternak dalam suasana lingkungan yang nyaman. Sapi akan mengaktifkan mekanisme dalam upaya untuk menghilangkan kelebihan beban panas dan menjaga suhu tubuh. Hal ini dapat menyebabkan perubahan meliputi keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air dan 11etabo, apabila keadaan berlangsung lama maka timbul reaksi berupa penurunan status fisiologis pada ternak. Hasil penelitian Saiya (2014) di kabupaten Merauke yang berdataran rendah dan berawa dengan kemiringan 0 – 3 dan ketinggian 0 – 20 meter dpl diketahui nilai THI pada bulan April dan Mei berada pada danger zone bagi ternak yang ditunjukkan dari hasil THI yang tinggi yakni 81.34±3.11 dan 81.14±2.40. Pada kondisi THI ini ternak telah mendapat cekaman panas yang tinggi. 2.2.4
Radiasi Matahari
Hasil penelitian Saiya (2014) di kabupaten Merauke yang berdataran rendah dan berawa dengan kemiringan 0 – 3 dan ketinggian 0 – 20 meter dpl diketahui penyinaran matahari rata – rata adalah 5.5 jam/hari pada bulan Juli dan yang terbesar 8.43 jam/hari pada bulan September. 2.2.5
Kecepatan Angin
Hasil penelitian Saiya (2014) di kabupaten Merauke yang berdataran rendah dan berawa dengan kemiringan 0 – 3 dan ketinggian 0 – 20 meter dpl diketahui bahwa didaerah pantai angin
bertiup cukup kencang dengan kecepatan sekitar 4 – 5 m/det dan di pedalaman berkisar 2 m/det. Dimana kecepatan angin harian pada musim Barat (bulan April) lebih rendah yakni rata – rata 1.45±0.95 m/det dibandingkan pada musim Timur (bulan Mei) yakni rata – rata 2.30±1.22 m/det. Tercatat kecepatan angin maksimum yang terjadi pada saat itu mencapai 13.2 meter/detik. Rataan kecepatan angin harian pada bulan April mencapai titik puncak pada sore hari, yaitu pukul 14.00, titik puncak pada bulan Mei biasanya terjadi pada pagi hari pukul 9.00 dan sore hari pukul 15.00. Pada bulan Mei, kondisi cuaca sangat dipengaruhi oleh perubahan cuaca di benua Australia. Rata – rata kecepatan angin tinggi pada saat suhu udara tinggi dan kelembapan rendah. Pada saat kelembapan relatif lebih rendah, maka kecepatan angin cenderung lebih tinggi, karena saat itu kandungan uap air relatif rendah. Kecepatan angin dan intensitas radiasi cahaya matahari adalah faktor yang mempengaruhi peningkatan panas atau kehilangan panas dari tubuh ternak. 2.2.6
Curah Hujan
Hasil penelitian Saiya (2014) di kabupaten Merauke yang berdataran rendah dan berawa dengan kemiringan 0 – 3 dan ketinggian 0 – 20 meter dpl diketahui curah hujan adalah 1.963 mm dan jumlah hari hujan 164 hari. Data unsur curah hujan menunjukkan perbedaan yang sangat ekstrim antara bulan April (352.9 mm) dan Mei (51.5 mm). Hal ini menunjukkan ada keterkaitan antara curah hujan dan kelembapan. Selama musim barat di bulan April, rata – rata suhu udara dan kecepatan angin rendah sedangkan kelembapan udara dan intensitas radiasi cahaya matahari tinggi jika dibandingkan musim panas bulan Mei. Sementara hasil penelitian Hidayat (2012) yang dilaksanakan di kabupaten Siak yang berdataran rendah dengan ketinggian 0 – 27 meter dpl dan beriklim sedang mengalami curah hujan rata – rata sebesar 348 – 500 mm/tahun.
2.3
Zona Nyaman (Thermoneutral Zone) Berdasarkan Ketinggian Tempat Berbeda Terhadap Kemampuan Adaptasi Sapi Potong Daerah termonetral (comfort zone) bagi hewan atau ternak merupakan kisaran suhu udara
yang paling sesuai untuk kehidupannya, dimana terjadi metabolisme basal dan hanya terjadi mekanisme pengaturan panas secara sensible dengan menggunakan energi yang paling sedikit. Kisaran suhu udara tersebut tidak menyebabkan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh (Yousef, 1985).
Sapi potong pada umumnya harus dipelihara pada kondisi lingkungan yang nyaman (comfort zone), dengan batas maksimum dan minimum temperatur dan kelembaban lingkungan berada pada thermoneutral zone agar berproduksi dengan optimal. Di luar kondisi ini sapi potong akan mengalami stress (Purwanto, 2004). Prinsip keseimbangan panas yang dilakukan oleh ternak homeoterm adalah panas yang diterima sama dengan panas yang hilang (Swenson, 1970). Tempat atau lokasi penggemukan sapi harus diperhitungkan dengan cermat. Sebab, ketinggian tempat mempunyai pengaruh terhadap suhu udara, sedangkan suhu udara itu sendiri mempengaruhi tingkat pertumbuhan sapi. Di daerah tropis seperti di Indonesia, suhu sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya daerah dari permukaan air laut. Dengan kisaran suhu tersebut, sapi – sapi yang telah diadaptasikan memiliki laju pertumbuhan yang cukup baik (Yulianto dan Saparinto., 2010). Untuk penentuan lokasi, ada baiknya memperhatikan bangsa sapi apa yang akan digemukkan (Yulianto dan Saparinto., 2010). Bibit sapi potong dengan kualitas yang baik adalah bibit sapi potong yang memenuhi persyaratan tertentu dibudidayakan untuk tujuan menghasilkan produk daging efektif dan efisien. Bibit yang berkualitas baik dapat diperoleh melalui seleksi dengan memperhatikan bentuk luar, mutu genetik yang telah diketahui atau ada catatan dari hasil penelitian dan kesehatan sapi (Anonimous., 1999). Bangsa sapi potong yang telah dikenal dan cocok untuk daerah yang memiliki temperatur 17 – 40 OC (daerah tropis) dengan rata – rata curah hujan > 150 mm per bulan dengan kelembaban > 60 % seperti Indonesia adalah Brahman atau Cebu, Ongole, Hereford, Shorthorn, Aberdeen Angus, Simental, Limousin, Charolais, Santa Gertrudis, Sapi Bali dan Sapi Madura (Anonimous., 1999). Campbell dan Lasley (1985), menyatakan bahwa kisaran suhu yang nyaman untuk Bos indicus adalah 10 – 26.67 0C dan kelembaban yang nyaman adalah 95 %, sedangkan untuk Bos Taurus suhu yang nyaman adalah 15 0C dan kelembabannya yang nyaman adalah 80%. Kusnadi et al (1992) menyatakan bahwa kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pemeliharaan sapi di Indonesia antara 18 – 28 °C. Johnson (2005) menyatakan bahwa tinggi rendahnya suhu dan kelembaban udara sangat dipengaruhi oleh perubahan musim. Pada saat cuaca panas, sinar matahari yang sampai ke bumi jumlahnya meningkat (panas) sehingga dapat menaikkan suhu lingkungan sedangkan pada cuaca hujan kondisi lingkungan akan cenderung lebih lembab. Berikut tabel Thermoneutral Zone berdasarkan suhu dan ketinggian tempat pada beberapa jenis sapi potong menurut Yulianto dan Saparinto (2010) disajikan berikut ini :
Tabel 1. Thermoneutral Zone Berdasarkan Suhu Dan Ketinggian Tempat Pada Beberapa Jenis Bakalan Sapi Potong Tabel Kondisi Yang Sesuai Untuk Beberapa Jenis Bakalan Sapi Jenis
Suhu (0C) Dan Ketinggian Tempat (m dpl) 27 – 34 0C & 24 – 29 0C & < 24 0C & >
Bakalan SO/PO/Brahman
< 25 dpl
25 – 100 dpl
100 dpl
Sangat baik
Baik
Jelek
Dought Master/Bali/Madura
Sangat Baik
Baik
Jelek
Baik
Sangat Baik
Baik
Simmental/Limousin/Brangus/Angus
2.4
Kondisi Fisiologis Normal Sapi Potong Respon fisiologis ternak adalah usaha ternak dalam rangka merespon kondisi tubuhnya dari
lingkungan berupa cekaman panas atau cekaman dingin. Performans ternak dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan yang buruk, peralatan dan fasilitas penangan ternak mengakibatkan perubahan fisiologis dan tingkah laku ternak. Kadzere et al (2002) mengemukakan bahwa penyesuaian kondisi fisiologis dapat menyebabkan produksi panas yang berlebihan. Cekaman panas menyebabkan keseimbangan energi negatif (Boonkum et al., 2011). Selanjutnya keseimbangan energi negatif dapat mengakibatkan kondisi fisiologis, begitu juga produktivitas yang negatif. Berikut tabel kondisi fisiologis normal sapi potong disajikan dibawah ini : Tabel 2. Kondisi Fisiologis Normal Sapi Potong Kondisi Fisiologis Suhu Tubuh (0C)
Sapi Potong 38.5 – 39.5 a 38.0 – 39.5 a 38.0 – 39.0 a
Sapi Pedet Sapi Muda Sapi Dewasa Frekuensi Pernafasan menit) Terendah
(per 28 b 29 b
Tertinggi Denyut Jantung Terendah
40 c 80 c
Tertinggi Sumber : a. Rosenberger (1979);Mauladi (2009) b. Saputra (2009) c. Subronto (2008) 2.5
Pengaruh Ketinggian Tempat Berbeda Terhadap Respon Fisiologis Sapi Potong 2.5.1
Suhu Tubuh
Suhu didefinisikan sebagai derajat panas tubuh. Suhu tubuh hewan dihasilkan dari keseimbangan antara produksi panas tubuh yang dihasilkan oleh metabolisme basal dan aktivitas otot tubuh dengan panas yang dikeluarkan oleh tubuh. Panas tubuh yang hilang lewat kulit kira-kira sejumlah 85%, sisanya dikeluarkan melalui respirasi dan urinasi. Regulasi dari panas tubuh terletak pada pusat termoregulator yang terletak di otak. Abnormal dari suhu ini digunakan oleh dokter hewan untuk mendiagnosis penyakit dan merupakan simtem visual yang pertama dan mudah digunakan oleh pemilik hewan untuk mengetahui hewannya sakit. Suhu tubuh yang meningkat dari normal (1°C diatas normal) disebut dengan demam sedangkan suhu dibawah normal disebut dengan hipotermia. Suhu tubuh pada hewan domestikasi selalu bervariasi tergantung atas aktivitas fisik (Dwatmadji et al., 2004), status kebuntingan, waktu saat pengukuran, kondisi tertidur (Beatty et al., 2006) dan kondisi lingkungan. Suhu tubuh dinyatakan dalam derajat celcius, tetapi di beberapa negara digunakan skala pengukuran Fahenheit. Suhu tubuh bagian dalam hewan dapat diukur dengan menggunakan thermometer, hasil yang diperoleh tidak menunjukkan jumlah total panas yang diproduksi tubuh tetapi dapat mengindikasikan keseimbangan antara produksi panas dan pengeluaran panas tubuh. Pemeriksaan suhu tubuh hewan pada umumnya dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari. Hewan yang sehat memiliki suhu tubuh pada pagi hari yang lebih rendah dibandingkan dengan suhu tubuh pada siang dan sore hari. Secara fisiologis, suhu tubuh akan meningkat hingga 1.5 ºC pada saat setelah makan, saat partus, terpapar suhu lingkungan yang tinggi, dan ketika hewan banyak beraktifitas fisik maupun psikis (Kelly, 1984). Sihombing (1999) menyatakan bahwa suhu tubuh di atas 39 0C ternak akan gagal dalam adaptasi yang mengakibatkan tubuhnya menjadi panas sehingga akan menurunkan nafsu makan ternak, pertumbuhan terganggu dan gangguan metabolisme fisiologis lainnya dalam tubuh ternak.
Nawaan (2006) menambahkan, bila ternak telah lama di tempatkan pada lingkungan suhu tinggi, suhu tubuh akan lebih tinggi meningkat dibandingkan dengan ternak yang baru menerima cekaman panas jika kedua – duanya diberi cekaman panas bersamaan. Suhu tubuh dihitung berdasarkan data suhu rektum dan suhu kulit menurut formula Brody (1945) dengan rumus: Suhu tubuh = 0,65 x suhu rektum + 0,35 x suhu kulit
Hasil penelitian Widada et al (2012) diketahui suhu tubuh sapi LIMPO betina dara di dataran rendah (2 – 8 m dpl) adalah 37.88 OC dan di dataran tinggi (600 – 800 m dpl) adalah 38.2 OC. Artinya, suhu tubuh sapi Limpo betina dara di daerah dataran tinggi lebih tinggi dibanding dengan sapi Limpo betina dara di daerah dataran rendah. Sedangkan hasil penelitian Nawaan (2006) menunjukkan bahwa pada daerah dataran rendah atau pesisir suhu tubuh sapi Peranakan Simmental, sapi Peranakan Ongole dan sapi Pesisir berturut – turut adalah 38.70 oC, 39.00 oC dan 38.53 oC. Menurut Mount (1964) bahwa perbedaan respon ternak terhadap suhu lingkungan adalah disebabkan oleh perbedaan kemampuan ternak tersebut melepaskan panas tubuh lewat pernafasan, keringat, radiasi dan turbulensi panas. Bila ternak telah lama di tempatkan pada lingkungan suhu tinggi, suhu tubuh akan lebih tinggi meningkat dibandingkan dengan ternak yang baru menerima cekaman panas jika kedua – duanya diberi cekaman panas bersamaan. Suhu tubuh di atas 39 0C ternak akan gagal dalam adaptasi yang mengakibatkan tubuhnya menjadi panas sehingga akan menurunkan nafsu makan ternak, pertumbuhan terganggu dan gangguan metabolisme fisiologis lainnya dalam tubuh ternak. Sedangkan bila suhu lingkungan diatas 41.7 0C akan berakibat fatal, karena ternak akan mengalami “panting (terengah - engah)” dengan lidah terjulur sehingga ternak tidak mau makan dan dalam waktu yang lama akan dapat mengakibatkan kematian (Sihombing, 1999). Hasil penelitian Hidayat (2012) yang dilaksanakan di Kabupaten Siak yang berdataran rendah dengan ketinggian 0 – 27 meter dpl dan beriklim sedang dengan kisaran suhu 27 – 30 ºC menunjukkan bahwa suhu tubuh sapi Brahman pada pagi hari memperoleh nilai rataan antara 38.13 – 38.26 0C sedangkan pada siang hari antara 38.18 – 38.27 0C. Hal ini menunjukan bahwa suhu tubuh sapi persilangan Brahman yang dipelihara di dataran rendah berada pada kisaran normal. Sesuai dengan pendapat Sugeng (1998), kisaran suhu tubuh rata – rata sapi persilangan Brahman adalah 38 – 39.5 0C. Mc Dowel dkk (1970) dalam Saputra (2009) menyatakan secara umum kenaikan dan
menurunnya suhu tubuh sapi tidak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang stabil, namun karena dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang ekstrim sehingga dapat menimbulkan pengaruh pada proses fisiologis ternak. 2.5.2
Suhu Rektal
Suhu rektal ternak merupakan ukuran representatif dari suhu tubuh dari hasil paparan suhu dan kelembapan lingkungan. Temperatur tubuh yang tinggi menyebabkan ternak akan meningkatkan mekanisme termoregulasi dengan cara meningkatkan frekuensi pernapasan, yaitu dengan cara mengeluarkan panas dengan meningkatkan penguapan melalui saluran pernapasan (Saiya, 2011). Suhu rektal dianggap dapat mewakili suhu tubuh dan paling sedikit dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan sehingga lebih stabil dibandingkan dengan tempat lain. Apabila terjadi radang pada rektum, maka suhu tubuh hewan juga dapat diukur dengan cara lain yaitu dengan memasukkan termometer melalui mulut, lubang telinga, dan vagina. Hasil Penelitian Saiya (2014) yang dilaksanakan di kabupaten Merauke berdataran rendah dan berawa dengan kemiringan 0 – 3 dan ketinggian 0 – 20 meter dpl, dimana unsur cuaca pada bulan April mewakili musim barat dan bulan Mei mewakili musim timur. Kedua bulan ini mewakili kondisi perubahan musim yang terjadi dan perbedaan tingkat curah hujan yang tinggi. Kondisi rata – rata suhu rektal sapi Bali betina yang terjadi pada musim timur bulan Mei adalah 38.46±0.83 OC dan sedangkan pada musim barat bulan April adalah 38.70±0.61 OC. Artinya, adanya penurunan suhu rektal sapi bali betina pada musim timur bulan Mei bila dibandingkan dengan musim barat bulan April. Musim timur bulan Mei adalah musim pancaroba, yaitu terjadi peralihan musim penghujan ke musim kemarau. Pada musim ini, kondisi cuaca dipengaruhi oleh angin Muson. Oleh sebab itu pada saat bulan Mei keadaan cuaca yang paling ekstrim adalah kecepatan angin yang tinggi. Hasil penelitian Aryogi et al (2005) pada dataran rendah yang mempunyai ketinggian tempat antara 0 – 50 m dpl yang dilaksanakan di kabupaten Probolinggo diketahui suhu rektal pada sapi PO 38.86 OC , sapi SIMPO 39.00 OC dan sapi LIMPO 38.92 OC. Artinya temperatur rektal semua sapi dalam pengamatan yang tidak berbeda nyata, bahwa upaya meningkatkan pembuangan panas dari tubuh ke lingkungan yang telah dilakukan ternak, mampu (cukup efektif) mengatasi pengaruh temperatur udara panas tersebut, sehingga tidak terjadi peningkatan berarti terhadap temperatur tubuh ternak. Philips (2001) menyatakan bahwa pengaruh udara lingkungan yang panas baru akan menyebabkan terjadinya peningkatan temperatur tubuh. Apabila sapi sudah tidak mampu
meningkatkan pembuangan panas tubuh ke lingkungan, sehingga di dalam tubuh sapi tersebut terjadi ketidakseimbangan fungsi fisiologis ternaknya. Sedangkan hasil penelitian Nawaan (2006) menunjukkan bahwa pada daerah dataran rendah atau pesisir suhu rektal sapi Peranakan Simmental, sapi Peranakan Ongole dan sapi Pesisir berturut – turut adalah 39.17 0C, 39.28 0C dan 38.84 0C. Menurut Mount (1964) bahwa perbedaan suhu rektal terjadi disebabkan adanya perbedaan kapasitas kehilangan air tubuh akibat penguapan. 2.5.3
Suhu Permukaan Kulit
Suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu lingkungan dengan meningkatnya suhu kulit secara berbanding lurus (Mount, 1964). Suhu kulit (0 C), diukur memakai termometer tubuh yang di tempatkan pada 6 sisi permukaan tubuh sapi (bagian dorsal – ventral ; bagian lateral kanan dan kiri; bagian caput – caudal). Radiasi matahari dapat menaikkan beban panas pada ternak. Banyaknya radiasi matahari yang diserap kulit tergantung dari warna kulit dan bulunya. Kira-kira setengah dari spektrum matahari dalam bentuk kelihatan sedangkan lebih kurang setengah lagi dalam bentuk tidak kelihatan yaitu sinar infra merah. Banyaknya sinar yang kelihatan diserap oleh binatang tergantung dari warna binatang di mana warna putih menyerap 20% sedangkan warna hitam menyerap 100% dari radiasi sinar yang kelihatan akan diserap semua oleh binatang apapun warna kulitnya (Williamson dan Payne, 1993). Jenis lapisan penutup kulit berkorelasi dengan suhu tubuh dan dengan produktivitas ternak di daerah tropis. Ternak yang ramping, berambut padat, dan pendek dikaitkan dengan suhu tubuh yang lebih rendah dan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi (Chytil, 2002). Lebih lanjut dijelaskan bahwa jika mantel itu pendek, putih, dan mengkilap, itu akan memantulkan 30 sampai 50% dari energi radiasi. Jika mantel adalah berbulu dan hitam, di sisi lain mungkin hanya memantulkan 10% dari yang masuk energi. Menurut McManuset et al (2011), hewan dengan kulit gelap (dark skin) akan mampu menghambat penetrasi sinar ultraviolet dan rambut putih (white hairs) akan memantulkan panas radiasi infra-merah. Hasil Penelitian Saiya (2014) yang dilaksanakan di kabupaten Merauke berdataran rendah dan berawa dengan kemiringan 0 – 3 dan ketinggian 0 – 20 meter dpl, diketahui respon suhu permukaan kulit sapi Bali betina pada musim Barat bulan April adalah 32.90±1.88 sedangkan di musim Timur bulan Mei adalah 31.47±1.54. Pengaruh waktu dan musim memberikan respons yang sangat nyata atas respons suhu kulit sapi Bali. Hal ini terjadi karena paparan sinar matahari yang langsung mengenai
kulit sapi akan memberikan respons langsung terhadap keadaan suhu kulit sapi. Sapi Bali memiliki mantel yang mengkilat dan kulit yang gelap. Sedangkan hasil penelitian Nawaan (2006) menunjukkan bahwa pada daerah dataran rendah atau pesisir suhu permukaan kulit pada sapi Peranakan Simmental, sapi Peranakan Ongole dan sapi Pesisir berturut – turut adalah 37.70 oC, 38.43 oC dan 37.92 oC. 2.5.4
Frekuensi Pernafasan (Respirasi)
Pernafasan (respirasi) adalah proses pengambilan oksigen dari udara dan pengeluaran karboksida dari jaringan lewat paru-paru. Pernafasan merupakan proses biokimiawi yang dilakukan hewan guna memperoleh energy (Aswadi, 2006). Menurut Frandson (1996) bahwa respirasi adalah struktur – struktur yang terlibat dalam pertukaran gas antara daerah dengan lingkungan atau sistem eksternal. Pertukaran gas sebagai suatu rangkaian kegiatan fisik dan kimia dalam tubuh organisme dalam lingkungan sekitarnya. Ditambahkan oleh Subronto (2008) mengatakan bahwa pernafasan proses pertukaran zat, metabolisme, dari gas zat asam atau oksigen yang diambil dari udara oleh paruparu, yang telah mengalami proses biokimiawi di dalam jaringan tubuh, dibebaskan lagi ke alam bebas dalam bentuk gas karbon dioksida. Kelembaban udara yang tinggi disertai suhu udara yang tinggi menyebabkan meningkatnya frekuensi respirasi (Hafez, 1968; dalam Housebandry, 2009). Panting adalah salah satu manisfestasi pelepasan panas dari tubuh ternak yang ditunjukkan dengan tingginya frekuensi pernapasan (Saiya, 2011). Sirkulasi darah berfungsi membantu peredaran nutrient untuk metabolisme sel tubuh, pertukaran O2 dan CO2 di paru-paru, berperan dalam proses pembuangan panas melalui radiasi dan konveksi pada permukaan tubuh dan lain sebagainya (Housebandry, 2009). Sudarmono (2008) mengatakan bahwa ternak sapi yang berada di lingkungan yang bersuhu tinggi akan menyebabkan stress, pernafasan akan mengalami lebih cepat, tidak bernafsu makan bahkan berhenti memamah. Sapi yang sehat akan bernafas dengan tenang dan teratur, akan tetapi sapi yang ketakutan, lelah akibat kerja, kondisi terlalu panas maka pernafasannya lebih cepat. Hal ini karena meningkatnya frekuensi respirasi menunjukkan meningkatnya mekanisme tubuh untuk mempertahankan keseimbangan fisiologik dalam tubuh (French 1980). Hasil penelitian Widada et al (2012) diketahui frekuensi pernafasan sapi LIMPO betina dara di dataran rendah (2 – 8 m dpl) adalah 27.4 kali/menit, dimana frekuensi tertinggi sebanyak 29 kali/menit dan terendah sebanyak 26 kali/menit. Sedangkan di dataran tinggi (600 – 800 m dpl) adalah 27.5
kali/menit, dimana frekuensi tertinggi sebanyak 30 kali/menit dan terendah sebanyak 26 kali/menit. Artinya frekuensi pernafasan sapi LIMPO betina dara di dataran rendah dan di dataran tinggi adalah sama. Hasil Penelitian Saiya (2014) yang dilaksanakan di kabupaten Merauke berdataran rendah dan berawa dengan kemiringan 0 – 3 dan ketinggian 0 – 20 meter dpl, diketahui frekuensi pernafasan sapi Bali betina pada musim Barat bulan April adalah 20.12±7.27 kali/menit sedangkan di musim Timur bulan Mei adalah 18.97±4.01 kali/menit. Artinya, frekuensi pernapasan sapi Bali betina pada kedua musim memberikan respons yang sangat nyata. Sapi Bali memiliki kemampuan termoregulator yang baik. Perbedaan cuaca antara musim Barat bulan April dan musim Timur bulan Mei menunjukkan bahwa sapi Bali mampu mempertahankan kondisi fisiologisnya selama pergantian musim Barat ke Timur. Hasil penelitian Aryogi et al (2005) pada dataran rendah yang mempunyai ketinggian tempat antara 0 – 50 m dpl yang dilaksanakan di kabupaten Probolinggo diketahui frekuensi respirasi pada sapi PO 24.15 kali/menit, sapi SIMPO 27.09 kali/menit dan sapi LIMPO 26.01 kali/menit. Artinya, frekuensi respirasi sapi PO adalah nyata terkecil dibandingkan dengan kedua sapi silangan (SIMPO dan LIMPO). Peningkatan yang nyata pada sapi silangan, terutama pada sapi SIMPO menunjukkan bahwa temperatur udara yang panas telah menyebabkan masalah dengan panas tubuhnya, sehingga sapi silangan berusaha meningkatkan pembuangan panas agar mampu menjaga daya homeostatis. Dibandingkan dengan sapi PO, secara genetik sapi silangan lebih peka terhadap peningkatan temperatur udara lingkungan. Hal ini karena sapi silangan mempunyai jumlah kelenjar keringat per luasan kulit yang lebih sedikit (Amakiri dan Mardi, 1975), kulit lebih tebal dengan luasan per kg bobot hidup yang lebih kecil (Robertshaw, 1984), rambut badan lebih panjang dan lebat serta warna tubuh lebih gelap, sehingga kemampuan membuang panas dari tubuh ke lingkungan menjadi lebih terbatas (Gebremedhin, 1984). Hasil penelitian Nawaan (2006) menunjukkan bahwa pada daerah dataran rendah atau pesisir frekuensi pernafasan sebesar 27.90 kali/menit pada sapi Peranakan Simmental, 27.28 kali/menit pada Sapi Peranakan Ongole dan 53.08 kali/menit pada Sapi Pesisir. Artinya terlihat frekuensi pernafasan sapi Pesisir jauh lebih banyak dibandingkan dengan frekuensi pernafasan pada sapi Peranakan Ongole dan sapi Peranakan Simmental. Sesuai dengan pendapat Sihombing (1999) yang menyatakan bahwa sapi di daerah tropis yang mendapat beban panas lingkungan yang lebih tinggi, frekuensi pernafasan berjalan lebih banyak disamping itu juga pada ukuran tubuh ternak yang lebih kecil akan
kehilangan panas tubuh yang lebih cepat dari ternak ukuran besar guna mengeluarkan produksi panas tubuhnya.
2.5.5
Frekuensi Denyut Jantung / Denyut Nadi (Pulsus)
Gerakan darah dari jantung terjadi oleh karena adanya detakan jantung. Detakan ini disebut denyut nadi atau pulsus (Smetzer et al., 1970; dalam Saputra, 2009). Frekuensi denyut nadi dapat dideteksi melalui denyut jantung atau pada pembuluh nadinya (Smetzer et al., 1970 dan Bone, 1982; dalam Housebandry, 2009). Subronto (2008) menambahkan frekuensi denyut jantung lebih mudah ditentukan dengan jalan auskultasi jantung. Frekuensi denyut nadi bervariasi tergantung dari jenis hewan, umur, kesehatan dan suhu lingkungan. Disebutkan pula bahwa hewan muda mempunyai denyut nadi yang lebih tinggi daripada hewan tua. Pada suhu lingkungan tinggi, denyut nadi meningkat (Smith dan Hamlin, 1970 dan Bone, 1982 dalam Housebandry, 2009). Peningkatan ini berhubungan dengan peningkatan respirasi yang menyebabkan meningkatnya aktivitas otot – otot respirasi, sehingga dibutuhkan darah lebih banyak untuk mensuplai O2 dan nutrient melalui peningkatan aliran darah dengan jalan peningkatan denyut nadi (Housebandry, 2009). Denyut nadi yang ritmenya tidak beraturan dijumpai pada keadaan anemia, kelemahan dan kelainan jantung menjelang kematian (Aswadi, 2006). Hasil penelitian Aryogi et al (2005) pada dataran rendah yang mempunyai ketinggian tempat antara 0 – 50 m dpl yang dilaksanakan di kabupaten Probolinggo diketahui denyut nadi pada sapi PO 77.10 kali/menit, sapi SIMPO 89.69 kali/menit dan sapi LIMPO 83.17 kali/menit. Artinya, frekuensi respirasi sapi PO adalah nyata terkecil dibandingkan dengan kedua sapi silangan (SIMPO dan LIMPO). Sedangkan hasil penelitian Nawaan (2006) menunjukkan bahwa pada daerah dataran rendah atau pesisir denyut jantung tertinggi sampai terendah terdapat pada Sapi Pesisir, Sapi Peranakan Simmental dan Sapi Peranakan Ongole yakni sebesar 71.56, 69.50 dan 65.72 kali per menit . Menurut Kibler (1957) bahwa perbedaan denyut jantung adalah akibat aktivitas fisik dan cekaman panas, di mana semakin tinggi suhu lingkungan maka semakin meningkat jumlah denyut jantung. 2.5.6
Heat Tolerance Coeffisient (HTC)
Putra (1994) menyatakan bahwa produksi panas metabolisme basal berkaitan erat dengan luas permukaan tubuh, yang makin besar dengan bertambah kecilnya ukuran ternak. Oleh karena itu makin kecil ukuran tubuh ternak makin besar beban panas dan cekaman panas yang diterima oleh
tubuh ternak selama berada dalam lingkungan yang panas. Selain itu faktor pakan juga mempengaruhi karena pakan yang diberikan pada ternak dengan akan menyebabkan kondisi fisiologis seperti suhu tubuh (panas tubuh), denyut nadi dan frekuensi nafas akan berbeda akibat perbedaan proses fermentasi atau metabolisme yang terjadi dalam tubuh, perbedaan tersebut akan berpengaruh terhadap respon produksi suatu ternak (Mc Dowell, 1972). Monstma (1984) menyatakan bahwa semakin besar kenaikan suhu tubuh dan frekuensi pernafasan maka Heat Tolerance Coeffisient (HTC) semakin tinggi. Ternak dengan peningkatan suhu tubuh rendah pada hari yang panas mempunyai keseimbangan panas yang terbaik dan akan memberikan produksi yang terbaik pula. Hasil penelitian Widada et al (2012) diketahui HTC sapi LIMPO betina dara di dataran rendah (2 – 8 m dpl) adalah 2.18 sedangkan di dataran tinggi (600 – 800 m dpl) adalah 2.20. 2.6
Pengaruh Ketinggian Tempat Berbeda Terhadap Produktivitas Sapi Potong Darmadja (1980) menyatakan di dalam bidang peternakan produktivitas ternak merupakan
potensi yang dapat dimanifestasikan dalam rangka meningkatkan nilai manfaatnya dan tercakup dalam dua aspek yaitu aspek reproduksi dan aspek produksi. Adapun produktivitas berkaitan dengan karakter yang dimiliki ternak. Dalam produksi ternak yang bersifat komersial, pendugaan produktivitas digunakan sebagai pedoman untuk menentukan kemajuan usaha atau atas dasar penetapan strategi usaha yang akan dijalankan. 2.6.1
Konsumsi Ransum
Hasil penelitian Aryogi et al (2005) pada dataran rendah yang mempunyai ketinggian tempat antara 0 – 50 m dpl dengan rata – rata temperatur udara harian sebesar 27.4 oC, diketahui konsumsi BK ransum sapi PO adalah nyata terkecil sebesar 3.02 kg/ekor/hr dibandingkan dengan sapi SIMPO dan LIMPO. Namun, konsumsi BK ransum antara sapi SIMPO sebesar 3.98 kg/ekor/hr dan LIMPO sebesar 4.25 kg/ekor/hr saling tidak berbeda. Untuk konsumsi TDN ransum, ternyata ketiga jenis sapi silangan tidak berbeda yakni sapi PO 1.67 kg/ekor/hr, sapi SIMPO 2.22 kg/ekor/hr serta sapi LIMPO 2.41 kg/ekor/hr. Artinya, sebagai sapi keturunan Bos Taurus, sapi SIMPO dan LIMPO akan mengalami penurunan daya tahan tubuhnya terhadap pengaruh temperatur udara panas dibandingkan dengan sapi PO. Temperatur udara di daerah penelitian yang lebih sering berada di batas maksimal, bahkan kadang di atas comfort zone sapi silangan, menyebabkan SIMPO dan LIMPO mengalami masalah dengan panas tubuhnya. Dan juga, kecenderungan terjadinya peningkatan konsumsi nutrien TDN
ransum pada sapi silangan dibanding sapi PO ini, diduga lebih disebabkan oleh perbedaan bobot hidup ternaknya. Sapi harus meningkatkan kemampuan fisiologi dan menurunkan konsumsi pakannya. Sapi yang mengalami cekaman panas lingkungan akan berusaha meningkatkan pengeluaran panas tubuh ke lingkungan sekitar (Williamson dan Payne, 1993) atau menurunkan produksi panas tubuh, yaitu antara lain melalui penurunan jumlah konsumsi nutrien sumber energi (Esmay dan Dixon, 1986). Pada penelitian Winugroho et al (1996) yang dilakukan di dataran tinggi menggunakan 10 ekor sapi dara PO (rataan 200 kg) dibagi menjadi 2 kelompok (6 ekor dikandang 23°C dan 4 ekor di kandang 33°C). Masing – masing diberi 3.6 kg BK/ekor/hari dan rumput gajah (Pennisetum purpureum) adlibitum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi rumput pada suhu 23 OC adalah 3.8 kg/ekor/hari sedangkan pada suhu 33 OC sebanyak 2.5 kg/ekor/hari. Artinya bahwa temperatur lingkungan 23° C meningkatkan konsumsi bahan kering dan kecernaan ransum sapi PO dara dibandingkan bila ternak diperlihara pada temperatur lingkungan 33°C. Walaupun terjadi penurunan efisiensi pakan, temperatur lingkungan 33°C menyebabkan induk sapi PO memiliki kinerja reproduksi yang lebih baik asalkan bobot badan ternak di atas bobot badan minimal, dalam kasus ini yaitu 300 kg, padahal bobot badan minimal sapi PO adalah 260 kg (Winugoho et al., 1994 dan Winugroho dan Teleni., 1993). Bila data tersebut benar, maka daerah hangat sebaiknya dijadikan daerah pembibitan dan daerah sejuk dijadikan daerah perbesaran atau penggemukan dan daerah sejuk 23°C masih baik bagi program pembibitan seperti village breeding center (Sabrani et al., 1994).
2.6.2
Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)
Hasil penelitian Aryogi et al (2005) pada dataran rendah yang mempunyai ketinggian tempat antara 0 – 50 m dpl dengan rata – rata temperatur udara harian sebesar 27.4 oC, menunjukkan bahwa pertambahan bobot hidup harian (PBHH) sapi PO umur 6 – 7 bulan adalah nyata yang terkecil yakni 0.524 kg dibandingkan dengan kedua sapi silangan yakni SIMPO dan LIMPO. Namun, PBBH antara sapi SIMPO dan LIMPO tidak berbeda yakni sebesar 0.636 kg dan 0.603 kg. Hal ini menunjukkan bahwa secara genetik sapi silangan mempunyai potensi pertumbuhan yang lebih cepat/besar, sehingga ketika temperatur udara panas belum banyak mempengaruhi performan pertumbuhan sapinya (karena umur sapi yang masih muda), maka fenotip sapi silangan mampu lebih mencerminkan genotipnya. Selain itu, bertambahnya umur sapi menyebabkan sapi semakin sempurna sebagai hewan homeotherm, yaitu sapi silangan semakin menghendaki temperature udara yang dingin. Namun karena
temperature udara cukup panas (di batas atas maksimal comfort zone sapi), menyebabkan sapi mengalami cekaman panas yang kemudian berdampak pada penurunan konsumsi nutrien ransum dan akhirnya mengganggu pencapaian PBHH ternak. Sebagai hasil silangan, maka sapi LIMPO mempunyai potensi genetik pertumbuhan yang lebih baik dan daya tahan terhadap temperatur panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi SIMPO. Oleh karena itu, pencapaian PBHH sapi LIMPO menjadi nyata lebih tinggi dibandingkan dengan sapi SIMPO maupun sapi PO. Namun demikian hal penting yang harus selalu menjadi pertimbangan utama, bahwa persilangan yang bertujuan menghasilkan sapi dengan komposisi darah 50% sapi sub tropis dan 50% sapi tropis, adalah akan selalu tergantung pada ketersediaan straw sapi sub tropis dan ketersediaan sapi betina lokal (Aryogi et al., 2005) Hasil penelitian Kadarsih (2004) pada dataran rendah, dataran berbukit dan dataran tinggi menunjukkan bahwa rata – rata pertambahan bobot badan per hari (PBBH) sapi Bali jantan berturut – turut adalah 0.2576 kg/hr, 0.3024 kg/hr dan 0.3021 kg/hr. Sedangkan untuk PBBH sapi Bali betina berturut – turut adalah 0.2163 kg/hr, 0.3336 kg/hr dan 0.2626 kg/hr. Artinya, secara keseluruhan bila dibandingkan antara ketiga daerah penyebaran tersebut ternyata untuk daerah dataran rendah pertambahan bobot badan per harinya paling rendah. 2.6.3
Feed Consumtion Ratio (FCR)
Data FCR sebagai hasil perhitungan dari pembagian antara rata-rata jumlah konsumsi nutrien bahan kering atau energi (TDN) ransum dengan rata-rata PBHH ternak pada periode waktu yang sama (Aryogi et al., 2005). Nilai efisiensi penggunaan pakan yang semakin tinggi menunjukkan bahwa ransum yang dikonsumsi semakin sedikit untuk menghasilkan pertambahan bobot badan. Efisiensi penggunaan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kemampuan ternak dalam mencerna bahan pakan, kecukupan zat pakan untuk hidup pokok, pertumbuhan dan fungsi tubuh serta jenis pakan yang digunakan (Sagala, 2011). Menurut Siregar (2001) efisiensi penggunaan pakan untuk sapi potong berkisar 7.52 % – 11.29 %. Beberapa faktor yang mempengaruhi efisiensi pakan antara lain umur, kualitas pakan dan bobot badan. Semakin baik kualitas pakan semakin baik pula efisiensi pembentukan energi dan produksi (Pond et al., 2005).
Hasil penelitian Aryogi et al (2005) pada dataran rendah yang mempunyai ketinggian tempat antara 0 – 50 m dpl dengan rata – rata temperatur udara harian sebesar 27.4 oC, menunjukkan bahwa FCR nutrien bahan kering maupun TDN pada sapi PO adalah yang terkecil (9.40) sedang sapi SIMPO yang terbesar (13.66). Hal ini memberikan gambaran bahwa walaupun sapi PO mempunyai performan pertumbuhan yang lebih kecil dibandingkan dengan sapi silangan, tetapi tingkat efisiensi pemanfaatan nutrient ransumnya adalah yang paling tinggi, sehingga pada kondisi kontinuitas, kuantitas dan kualitas ransum yang terbatas serta temperatur udara panas di daerah dataran rendah, tampak bahwa sapi yang lebih cocok untuk dikembangkan adalah sapi potong lokal dari pada sapi silangan. Untuk antar sapi silangan, tampak bahwa LIMPO sebagai sapi murni tipe pedaging adalah nyata lebih efisien dalam memanfaatkan nutrien ransum di dataran rendah dibandingkan dengan sapi SIMPO dengan FRC 11.28. Performan pertumbuhan sapi SIMPO dan LIMPO yang lebih cepat/besar dibandingkan dengan sapi PO, sering menjadi suatu pemahaman yang kurang tepat bagi peternak rakyat. Sebagai sapi turunan Bos Taurus yang secara genetik mempunyai volume rumen yang besar, voluntary intake yang tinggi, metabolic rate yang cepat dan kebutuhan nutrien ransum yang baik (ANONIMUS, 2002), maka sapi sapi SIMPO dan LIMPO sebenarnya membutuhkan jumlah dan kualitas ransum yang lebih baik dibandingkan dengan sapi PO. Kondisi pemeliharaan sapi silangan di peternak rakyat yang sebagian besar masih ekstensif, ditambah temperatur udara yang terlalu panas terutama di dataran rendah, menyebabkan perlu adanya informasi tentang bagaimana sebenarnya tingkat efisiensi konsumsi nutrien ransum pada sapi potong silangan pada kondisi pemeliharaan peternak rakyat (Aryogi et al., 2005).
2.7
Pengaruh Ketinggian Tempat Berbeda Terhadap Reproduksi Sapi Potong Reproduksi adalah sejumlah rangkaian proses fisiologis yang berlangsung sepanjang tahun.
Performans reproduksi ternak ruminansia pada daerah tropis umumnya ditentukan oleh empat faktor, yaitu: genetik, lingkungan fisik, nutrisi, dan manajemen (Smith dan Akinbamijo, 2000). Menurut Hardjopranjoto (1995), peningkatan populasi sapi potong akan menjadi lebih cepat jika efisiensi reproduksinya baik serta angka gangguan reproduksinya rendah. Oleh karena itu, sangat diperlukan pengelolaan reproduksi yang baik dengan tujuan utama mengurangi kasus gangguan reproduksi.
Pengamatan reproduksi dilakukan untuk mengetahui dan mendeskripsikan efisiensi reproduksi ternak. Efisiensi reproduksi yang tinggi dipengaruhi oleh manajemen reproduksi yang baik dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dibidang manajemen reproduksi di kalangan peternak (Susilawati dan Affandy, 2004).
2.7.1
Umur Pubertas
Pubertas atau dewasa kelamin adalah periode dalam kehidupan makhluk jantan dan betina dimana proses – proses reproduksi mulai terjadi, yang ditandai oleh kemampuan untuk pertama kali memproduksi benih. Umur pubertas merupakan salah satu hal yang penting untuk diketahui masyarakat peternak, karena pubertas adalah umur saat datangnya berahi pertama yang terjadi dalam hidup hewan betina, karena saat itu hewan telah sanggup memproduksi sel telur serta organ-organ reproduksi telah mulai berfungsi (Partodihardjo (1992). Pada hewan betina pubertas dicerminkan oleh terjadinya estrus dan ovulasi yang akan menentukan performan reproduksi (Iskandar, 2011). Lamanya pencapaian umur pubertas menurut Bishop and Pfeiffer (2008) menunjukkan bahwa performan reproduksi sapi tersebut jelek. Kebanyakan ternak mencapai dewasa kelamin sebelum tercapai dewasa tubuh secara sempurna. Hal ini dapat dijadikan petunjuk agar kita tidak mengawinkan ternak pada saar munculnya berahi pertama, karena jika tetap dikawinkan maka induk tersebut akan mengandung anak dalam kondisi pertumbuhan. Dengan demikian dia harus menyediakan makanan untuk pertumbuhan badan dan untuk perkembangan janin, kondisi seperti ini dapat menyebabkan anak menjadi lemah saat dilahirkan. Jadi perkawinan pertama pada hewan betina hendaknya ditangguhkan beberapa saat sehingga tubuhnya cukup dewasa untuk mengandung anak. Umur berahi pertama pada sapi dara dipengaruhi oleh praktek manajemen terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan sapi dan saat sapi dikawinkan pertama kali sesudah pubertas (Partodihardjo, 1987). Berdasarkan hasil penelitian Iskandar (2011) bahwa pencapaian umur pubertas sapi PO di dataran tinggi adalah 672.8 hari dan di dataran rendah adalah 823.5 hari. Artinya ada perbedaan umur pubertas sapi PO sebesar 150.7 hari. Perbedaan ini disebabkan oleh
ketinggian tempat dari
permukaan laut, yang menyebabkan terjadinya perbedaan suhu dan kelembaban. Suhu dan kelembaban dapat mempengaruhi kehidupan sapi khususnya pada tingkah laku makan, jika suhu lingkungan tinggi sapi cenderung lebih banyak minum dari pada merumput (makan), akibatnya kebutuhan makan khususnya zat – zat makanan seperti protein dan mineral untuk hidup pokok dan produksi jadi berkurang, tentu hal ini akan menghambat pencapaian umur pubertas sapi PO. Selain itu
juga disebabkan faktor pakan yang diberikan, dimana peternak di dataran tinggi memberikan rumput unggul dan limbah kebun, kedua jenis bahan pakan ini mengandung kandungan gizi seperti protein dan mineral yang cukup. Sementara di dataran rendah pakan yang diberikan hanya berupa rumput lapang dan juga rumput kering disaat musim kemarau, dimana kandungan gizi protein dan mineralnya rendah. Sebagaimana pernyataan Church (1977) bahwa hijauan yang berkualitas tinggi banyak mengandung fosfor. Dan rumput kering yang jelek selalu memberikan defisiensi protein dan biasanya berhubungan dengan rendahnya kadar mineral di dalam pakan terutama P (Posfor) dan Co (Cobalt) . Apabila sapi mengalami defisiensi Co dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan, pubertas terlambat dan kegagalan estrus pada sapi betina. Sedangkan defisiensi P dapat menyebabkan pubertas terlambat pada sapi dara dan pada induk terjadinya kegagalan estrus (Toelihere, 1981). 2.7.2
Umur Kawin Pertama
Umur Kawin Pertama, adalah umur sapi dara dikawinkan pertama kali saat sudah mengalami dewasa tubuh (Pane, 1986). Toelihere (1981) menyatakan bahwa dengan makanan dan manajemen yang baik seekor sapi dara dapat dikawinkan pada umur 10 sampai 15 bulan. Sapi potong dan sapi perah yang kurang baik pertumbuhannya baru dapat dikawinkan sesudah mencapai umur 18 sampai 24 bulan. Hal ini berarti bahwa sapi sudah dapat melahirkan anak pertama kali umur 27 bulan dan selambat – lambatnya pada umur 33 bulan. Berdasarkan hasil penelitian Iskandar (2011) bahwa umur kawin pertama sapi PO di dataran rendah adalah 847.9 hari dan di dataran tinggi adalah 694.1 hari. Artinya adanya perbedaan 153.8 hari yang sangat nyata. Perbedaan umur kawin pertama pada sapi PO akibat adanya perbedaan pencapaian umur pubertas, terlambatnya pubertas itu disebabkan faktor lingkungan salah satunya suhu lingkungan dan kelembaban udara. Dimana, pada dataran tinggi memiliki suhu 17.5 – 27.0 0C dan kelembaban 70.0 – 85.0 %, sedangkan di dataran rendah suhunya 22.0 – 34.0 0C dan kelembaban 30.0 – 60.0 %. Hal ini berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas hijauannya sebagai pakan sapi . Dataran tinggi disini bersuhu rendah dan memiliki intensitas curah hujan rata – rata 107.67 mm perbulan, kondisi ini yang menyebabkan hijauan dapat tumbuh dengan baik, selain itu juga kualitas hijauan pun jadi baik, akibatnya kebutuhan pakan untuk sapi PO baik secara kuantitas maupun kualitas dapat terpenuhi.
Payne (1970) mengatakan bahwa sapi – sapi dari daerah sub tropis dikawinkan pertama kali pada umur 1.5 – 2 tahun, dan sapi – sapi Indonesia pada umur 2 – 2.5 tahun. Supaya ternak dapat hidup nyaman dan proses fisiologi dapat berfungsi normal, dibutuhkan temperatur lingkungan yang sesuai (Chantalakhana dan Skunmun, 2002). Lebih dipertegas oleh Muthalib (2002), suhu lingkungan dapat mempengaruhi suhu tubuh ternak seperti kegiatan merumput (makan), selain itu ternak yang terkena suhu tinggi akan lebih banyak minum dan mengurangi makan karena untuk mengatur suhu tubuhnya, sehingga efisiensi pakan jadi menurun serta mengganggu aktifitas organ – organ tubuh. 2.7.3
Umur Beranak Pertama
Umur beranak pertama adalah umur sapi saat mengalami beranak yang pertama kalinya. Menurut Pirlo et al. (2000) umur beranak pertama adalah faktor luar yang mempengaruhi produksi susu. Sapi-sapi yang beranak pada umur tiga tahun akan menghasilkan susu lebih banyak daripada sapi yang beranak pada umur dua tahun karena sapi pada umur dua tahun masih mengalami pertumbuhan sehingga sapi umur tiga tahun lebih besar tubuhnya. Dari hasil penelitian Iskandar dan Farizal (2011) didapat umur beranak pertama di daerah dataran tinggi adalah 30 bulan dan dataran rendah adalah 28 bulan dengan rata-rata 29±0,87 bulan. Ini menunjukkan bahwa umur 18 bulan sapi telah dikawinkan untuk pertama kali. Pada saat ternak sapi telah mencapai umur dewasa kelamin. 2.7.4
Calving Interval (Jarak Beranak)
Jarak beranak adalah periode waktu antara dua kelahiran yang berurutan, dapat juga dihitung dengan menjumlahkan periode kebuntingan dengan periode days open (interval antara saat kelahiran dengan terjadinya perkawinan yang subur berikutnya) (Sutan, 1988). Produktifitas ternak sapi ditentukan antara lain oleh jarak beranak, semakin pendek jarak beranak, maka makin produktif induk sapi tersebut (Iskandar dan Farizal, 2011). Astuti et al (1983) dalam Sutan (1988) variasi jarak beranak dipengaruhi oleh : lama bunting, jenis kelamin pedet yang dilahirkan, umur penyapihan pedet, service per conception, bulan beranak, bulan terjadinya konsepsi, jarak waktu sapi pertama kali dikawinkan sesudah beranak. Untuk usaha breeding sapi potong yang efisien Puslitbangnak (2010) telah merekomendasikan jarak beranak adalah di bawah 14 bulan. Sedangkan Hardjosubroto (1995) mengatakan jarak beranak sapi – sapi di Indonesia sebesar 13.5 bulan. Sebenarnya jarak beranak yang ideal itu adalah 12 bulan, sehingga diperoleh 1 pedet setiap tahun, namun target ini masih sulit untuk dicapai karena banyak
faktor yang mempengaruhinya, apalagi manajemen reproduksi yang diterapkan sangat jelek. Hasil dari beberapa penelitian jarak beranak sapi yang dipelihara rakyat masih cukup panjang, terletak pada kisaran 14 –18 bulan. Dari hasil penelitian Iskandar dan Farizal (2011) diperoleh diperoleh jarak beranak (calving interval) induk sapi rata – rata 377,20 ± 23,80 hari. Keadaan ini diduga kondisi lingkungan yang berbeda dan status pemilikan ternak dapat memacu peternak lebih aktif untuk memperhatikan usaha ternaknya, sehingga peternak dapat memiliki ternak sendiri dalam waktu yang lebih singkat. Disamping juga dikarenakan mungkin adanya dua faktor yang sangat menentukan jarak beranak yaitu lama masa bunting dan lama masa kosong (days open) serta umur induk dan jenis kelamin anak yang dikandung. Lebih lanjut dikatakan oleh Anderson dkk (1973) bahwa lama bunting anak sapi jantan lebih lama daripada anak sapi betina. 2.7.5
Service Period
Service Period, dihitung dari saat melahirkan sampai saat kawin terakhir yang menghasilkan kebuntingan dalam hari (Rustanto, 2000). Berdasarkan hasil penelitian Iskandar (2011) dijumpai perbedaan sangat nyata service period sapi PO antara dataran rendah dan dataran tinggi. Dimana waktu service periode lebih cepat yaitu 47.8 hari di dataran tinggi dibandingkan dengan di dataran rendah, karena pengaruh suhu dan kelembaban. Di dataran tinggi memiliki suhu lingkungan 17.50 – 27.0 0C dapat membuat rasa nyaman pada sapi PO tentu aktifitas merumput (makan) tidak terganggu dan akibatnya asupan gizi untuk kebutuhan sapi dapat terpenuhi. Sebaliknya di dataran rendah waktu untuk service periode 162.4 hari lebih lama akibat dari pengaruh suhu lingkungan yang tinggi 22.00 - 34.0 0C dan kelembabannya rendah yakni 30.0 - 60.0 %, tentu hal ini menyebabkan cekaman panas (stres) pada sapi, pada kondisi seperti ini sapi lebih cenderung istirahat dan melakukan evaporasi. Faktor yang mempengaruhi service periode adalah anestrus post partum, waktu fase anestrus post partum sangat ditentukan antara lain masa menyusui, produksi susu, kondisi tubuh dan nutrisi (Peter and Balls, 1987). Kumar dan Kumar (2006) menyatakan lama anestrus post partum menentukanan jarak kelahiran anak, semakin pendek fase anestrus maka ternak akan cepat berahi kembali dan kawin, bunting, melahirkan serta laktasi. Sedangkan menurut pernyataan Syarifuddin (2005), semakin pendek fase anestrus post partum maka semakin cepat berahi kembali, kawin, bunting dan melahirkan serta laktasi.
2.7.6
Service Per Conception (S/C)
Service Per Conception adalah jumlah pelayanan IB yang dipergunakan untuk memperoleh kebuntingan atau konsepsi pada kelompok akseptor IB (Susilawati, 2011). Rasad (2009) menyatakan bahwa idealnya seekor sapi betina yang harus mengalami kebuntingan setelah melakukan IB 1 – 2 kali selama proses perkawinan. Faktor yang mempengaruhi tingginya nilai S/C diantaranya adalah faktor nutrisi dari pakan yang diberikan (Susilawati, 2011). Umiyasih dan Anggraeny (2007) menyatakan bahwa pembesaran sapi dara berhubungan erat dengan efisiensi reproduksi, yang keberhasilannya tergantung pada pola pemeliharaan yang 95% dipengaruhi oleh pakan, kesehatan dan faktor lingkungan, untuk menunjang keberhasilan reproduksi dan produksi sapi dara diharapkan berat badan saat perkawinan sekitar 250 kg – 300 kg dengan kebutuhan bahan kering 3% dari berat badan dan konsentrat yang mengandung PK 12% dan Total Digestibel Nutrient (TDN) sebanyak 60% sebagai pakan penguat pada sapi dara agar tercapai pertambahan bobot badan harian (PBBH) sebesar 0.5 kg/hari. Kecuali kebutuhan nutrisi, kemungkinan penyebab lain adalah faktor lingkungan, yang dapat diamati dari nilai rataan suhu dan kelembaban (Wibowo et al., 2014). Nilai S/C yang rendah dalam sebuah usaha pembibitan akan menunjukkan bahwa induk yang dipelihara adalah subur dan tidak mengalami gangguan reproduksi, nilai ini juga dapat digunakan sebagai alat untuk menseleksi induk-induk sapi yang perlu dipertahankan dan yang harus disingkirkan. Nilai S/C ini erat kaitannya dengan masa kosong (days open), dimana sapi yang membutuhkan perkawinan (IB) dua kali untuk menghasilkan kebuntingan telah memperpanjang masa kosongnya selama 21 hari (satu siklus berahi 21 hari), otomatis tentu memperpanjang pula jarak beranak ( calving interval) selama 21 hari. Jarak beranak yang panjang, jelas akan menurunkan nilai efisiensi reproduksi induk sapi (San et al., 2015) Berdasarkan hasil penelitian Iskandar (2011) diperoleh service per conception sapi PO yang dipelihara di dataran rendah dan di dataran tinggi masing – masing adalah 1.5 dan 1.3. Berarti untuk di dataran rendah agar sapi PO yang dikawinkan dan terjadinya kebuntingan membutuhkan service per conception 1.5, sedangkan untuk di dataran tinggi hanya membutuhkan 1.3 kali (rataan) kawin untuk terjadi kebuntingan. Rendahnya angka service per conception sapi PO yang diamati pada kedua tempat penelitian ini, menggambarkan bahwa bangsa sapi PO mampu beradaptasi pada lingkungan yang jelek seperti suhu dan kelembaban tinggi serta kualitas pakan yang rendah. Selain itu, keadaan ini mencerminkan adanya upaya perbaikan serta peningkatan penanganan saat sapi mengalami
berahi, agar kegagalan saat kawin tidak terjadi, disamping juga ketrampilan peternak dalam mendeteksi berahi pada dua lokasi penelitian ini cukup terampil, tepat dan mengetahui siklus berahi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Diwyanto et al (2009) bahwa sapi PO walaupun makanan terbatas badan terlihat sangat kurus dan anak terlambat disapih, sapi tetap dapat dikawinkan, bunting dan beranak. Hasil penelitian Iskandar dan Farizal (2011) diketahui service per conception pada sapi yang dipelihara di kedua wilayah terdapat perbedaan. Pada ternak sapi di wilayah dataran tinggi 1.47, sedangkan pada daeerah dataran rendah 1.70 dengan rata – rata 1.58. Service per conception sapi di kedua wilayah ini masih dapat dikatagorikan normal. Senada dengan penelitian San et al (2015) bahwa nilai service per conception (S/C) Sapi SIMPO menunjukkan perbedaan yang nyata antara di dataran rendah dan dataran tinggi dengan nilai tertinggi berturut – turut 3.5 kali dan 1.84 kali. Pelaksanaan IB di dataran rendah belum dikatakan berhasil dengan baik, sedangkan pada dataran tinggi sudah dapat dikatakan baik. Keadaan ini disebabkan perbedaan suhu di kedua tempat dimana di dataran rendah memiliki suhu berkisar 24 oC sedangkan di dataran tinggi suhu 17 oC. Menurut pernyataan Toelihere (1985) bahwa angka service per conception yang normal pada ternak adalah 1.6 – 2.0 dan semakin rendah nilainya maka semakin tinggi kesuburannya atau semakin tinggi angka S/C menunjukkan tidak efisien aktivitas reproduksi sapi tersebut. Kegagalan reproduksi ternak terletak pada kesalahan atau tidak bisa mengenal tanda estrus dan terlalu cepat mengawinkan kembali ternak setelah melahirkan. Menurut Bagley dan Evans (2007) bahwa untuk memperbesar keberhasilan terjadinya kebuntingan adalah ketepatan mengawinkan sapi betina yaitu sekitar 10 – 14 jam sejak tanda – tanda estrus muncul. 2.7.7
Conception Rate
Conception Rate adalah merupakan persentase sapi betina yang bunting pada inseminasi pertama (San et al., 2015). Sedangkan menurut Susilawati (2011) bahwa conception Rate / angka konsepsi adalah jumlah akseptor yang mengalami kebuntingan pada IB ke 1 dibagi jumlah semua akseptor kali 100%. Afiati dkk (2013) menyatakan bahwa angka kebuntingan didiagnosa dengan cara palpasi rektal dalam waktu 40 – 60 hari setelah dilakukan IB. Menurut Hardjopranjoto (1995) bahwa makin tinggi nilai CR makin subur sapinya dan sebaliknya. Hasil perhitungan San et al (2015) bahwa conception rate (CR) sapi SIMPO di dataran rendah dan dataran tinggi dengan nilai tertinggi berturut – turut yaitu 28.27% dan 50.23%, yang menunjukan
hasil signifikan. Perbedaan tersebut dipengaruhi beberapa faktor yaitu pakan, lingkungan, deteksi berahi yang tepat serta umur ternak dikawinkan. Kemampuan sapi betina untuk bunting pada inseminasi pertama dipengaruhi oleh variasi lingkungan diantaranya keadaan kandang dan suhu kandang (Nuryadi dan Wahyuningsih, 2011). Suhu sangat berpengaruh nampak jelas, suhu di daerah dataran tinggi lebih rendah oleh karena itu nilai CR pasti lebih tinggi dibanding dataran rendah (San et al., 2015). 2.7.8
Non Return Rate (NRR)
Non Return Rate adalah persentase betina yang tidak minta kawin kembali atau tidak mengalami berahi lagi dalam waktu 60- 90 hari pasca IB (Afiati dkk., 2013). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Susilawati (2011) bahwa NRR merupakan persentase ternak betina yang tidak mengalami berahi lagi dalam waktu 0 – 30 hari, 30 – 60 hari dan 60 – 90 hari. Banyak faktor yang menyebabkan nilai NRR kecil selain kesuburan ternak itu sendiri lingkungan (Iskandar, 2011). Semakin banyak akseptor yang kembali berahi maka NRR semakin menurun (Nuryadi dan Wahyuningsih, 2011). Hasil Penelitian San et al (2015) pada dataran rendah (30 – 700 m dpl) dengan suhu berkisar 24 – 30 oC, dan dataran tinggi (700 – 2579 m dpl) dengan suhu berkisar 17 – 25 oC diperoleh hasil Non Return Rate (NRR) pada sapi SIMPO adalah 28 - 35 hari di dataran rendah dan di dataran tinggi berturut – turut 83.33% dan 86.66%. Sedangkan ternak yang tidak kembali berahi setelah IB selama 63 – 70 hari di dataran rendah dan dataran tinggi berturut-turut yaitu 73.33% dan 90%. Hasil tersebut menunjukan bahwa nilai NRR di daerah di dataran tinggi lebih tinggi, namun hasil pengujian menggunakan uji proporsi menyatakan bahwa hasil NRR di dataran rendah dan dataran tinggi tidak berbeda, hal tersebut dimungkinkan karena hasil NRR sapi yang diamati di kedua tempat tersebut pada batas normal.
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1
Kesimpulan 1. Perbedaan ketinggian tempat antara dataran tinggi dan dataran rendah berpengaruh terhadap respon fisiologis sapi potong. Namun respon fisiologis ini akan berbeda tergantung umur, jenis dan bangsa ternaknya. Sapi lokal lebih dapat beradaptasi lingkungan yang tidak nyaman dibandingkan sapi hasil persilangan. 2. Terdapat perbedaan produktivitas pada ketinggian tempat yang berbeda. Dimana tingkat konsumsi ternak yang berada di dataran tinggi akan lebih baik dibandingkan ternak yang berada di dataran rendah dan hal ini akan berkolerasi positif terhadap pertambahan bobot badan. 3. Adanya perbedaan terhadap status reproduksi sapi berdasarkan perbedaan ketinggian tempat disebabkan perbedaan suhu dan kelembaban yang mempengaruhi kehidupan sapi khususnya pada tingkah laku makan, jika suhu lingkungan tinggi sapi cenderung lebih banyak minum dari pada merumput (makan), akibatnya kebutuhan makan khususnya zat- zat makanan seperti protein dan mineral untuk hidup pokok dan produksi jadi berkurang, tentu hal ini akan menghambat pencapaian efisiensi reproduksi.
3.2
Saran Disarankan untuk pemeliharaan ternak sapi potong baik di daerah dataran rendah, berbukit
maupun di dataran tinggi perlu perbaikan kondisi lingkungan melalui pengaturan suhu dan kelembaban udara optimal, sehingga sesuai untuk kenyamanan hidup ternak tersebut disertai adanya perbaikan manajemen pakan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2016. Diunduh dari (https://id.wikipedia.org/) tanggal 27 Desember 2015. Anonimous., 1999. Pembinaan Kelompok Tani Ternak Sapi Potong Dalam Menerapkan Zooteknik Sapta Usaha Beternak Sapi Potong. Makalah Pengabdian Pada Masyarakat “Pembinaan dan Penyuluhan Petani Ternak Sapi Potong Di Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara”. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro. Aryogi et al., 2005. Performans Sapi Silangan Peranakan Ongole Di Dataran Rendah (Studi Kasus Di Kecamatan Kota Anyar Kabupaten Probolinggo Jawa Timur). (The Performance of Ongole Grade Cross Cattle in Low Land Area (a Case Study at Kota Anyar Sub District, Probolinggo District East Java)). Loka Penelitian Sapi Potong, Grati Pasuruan dan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Aryogi et al., 2013. Pengaruh Genotip Bos Taurus Terhadap Performans Fisiologi Dan Reproduksi Sapi Silangan Simpo Dan Limpo Induk Di Dataran Rendah. (Influence of Bos taurus Genotype on Physiology and Reproductive Performance of SIMPO and LIMPO Crossing Cows in Low Land Area). Loka Penelitian Sapi Potong, Pasuruan, Jawa Timur dan Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta. Fernanda, MT et al., 2013. Keberhasilan IB menggunakan semen beku hasil sexing dengan metode sentrifugasi gradien densitas percoll (SGDP) pada sapi Peranakan Ongole (PO). Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 24 (3): 1 – 8 ISSN: 0852-3581. Hidayat, R., 2012. Frekuensi Pernafasan, Frekuensi Denyut Jantung Dan Suhu Tubuh Sapi Persilangan Brahman Di Desa Jati Baru Kecamatan Bunga Raya Kabupaten Siak. Fakultas Pertanian Dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Pekanbaru.
Iskandar., 2011. Performan Reproduksi Sapi PO pada Dataran Rendah dan Dataran Tinggi di Provinsi Jambi. Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Jambi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Mei 2011, Vol. XIV. No.1. Iskandar dan Farizal., 2011. Prestasi Reproduksi Sapi Persilangan Yang Dipelihara Di Dataran Rendah Dan Dataran Tinggi Jambi. Fakultas Peternakan, Universitas Jambi. Volume 13 Nomor 1 Hal. 25-28. ISSN 0852-8349. Karnaen dan Arifin J., 1999. Kajian Produktivitas Sapi Madura. (Study On Madura Cattle Productivity). Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran. Bandung. Khairi et al., 2012. Pengaruh Suplementasi Vitamin E, Mineral Selenium dan Zink Terhadap Konsumsi Nutrien, Produksi dan Kualitas Semen Sapi Simental. (Effect of Suplementation of Vitamin E, Selenium and Zinc Mineral Against Tonutrient Consumption, Production and Quality Cement Simental Cow).
Program Pascasarjana Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas
Diponegoro. Agripet : Vol (14) No. 1 : 6-16. Kadarsih, S., 2004. Performans Sapi Bali Berdasarkan Ketinggian Tempat Di Daerah Transmigrasi Bengkulu : I. Performans Pertumbuhan. (Performances Of Bali Cattle At Different Altitudes In Bengkulu Transmigration Area : I. Growth Performances). Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. ISSN 1411 – 0067 Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 6, No. 1, 2004, Hlm. 50 - 56 50. Madu, EY et al., 2015. Status Praesen Sapi Bali Dara. (Heiver Bali Cattle Praesen Status). Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Bali.
Indonesia Medicus Veterinus Oktober 2015
4(5): 437-444. pISSN : 2301-7848; pISSN: 2477-6637. Nawaan, S., 2006. Daya Tahan Panas Pada Sapi Peranakan Simmental, Peranakan Ongole Dan Sapi Pesisir. Fakultas Peternakan Universitas Andalas Limau Manis, Padang. Jurnal Peternakan Indonesia, 11(2):158-166, 2006. ISSN: 1907-1760. Nurdiati, K et al., 2012. Efisiensi Produksi Sapi Potong pada Musim Kemarau di Peternakan Rakyat Daerah Pertanian Lahan Kering Kabupaten Gunungkidul. Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Tropical Animal Husbandry Vol. 1 (1), Oktober 2012:52-58. ISSN 2301-9921.
San DBA et al., 2015. Evaluasi Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Sapi Simental – PO (SIMPO) Di Kecamatan Patean Dan Plantungan, Kabupaten Kendal. Jawa Tengah. (Evaluation of Artificial Insemination Simmental – PO (SIMPO) Cow in the Sub-District of Patean and Plantungan, Kendal, Central Java). Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Animal Agriculture Journal 4(1): 171-176. Siswanto, M et al., 2013. Penampilan Reproduksi Sapi Bali pada Peternakan Intensif di Instalasi Pembibitan Pulukan (Reproductive Performance of Bali Cattle under Intensive Management System in Breeding Instalation of Pulukan). BPTU Sapi Bali, Denpasar Bali dan Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2013 Vol. 1, No. 1: 11-15. Saiya, HV., 2014. Respon Fisiologis Sapi Bali Terhadap Perubahan Cuaca Di Kabupaten Merauke Papua. Jurusan Peternakan FAPERTA UNMUS. Agricola, Vol 4 (1), Maret 2014, 22-32 pISSN : 2088 - 1673., p-ISSN 2354-7731. Winugroho, M et al., 1996. Pengaruh Temperatur Lingkungan Pada Konsumsi, Kecernaan Ransum, Dan Tingkat Kebuntingan Sapi Peranakan Ongole (PO), Serta Pengaruh Pemberian Mikroba Terpilih Pada Tingkat Kebuntingan Sapi Sumba Ongole (SO). Balai Penelitian Temak, CiawiBogor dan ..Balai Pengkajian Teknologi per1anian. Naibonat, NlT. Widada et al., 2012. Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Nilai HTC (Heat Tolerance Coefficient) Pada Sapi Peranakan Limousin (LIMPO) Betina Dara Sebelum Dan Sesudah Diberi Konsentrat. (Influence Of Altitude On HTC (Heat Tolerance Coefficient) Crossbreed Cattle (LIMPO) Heifer Female Before And After Concentrate Given). Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang. Wibowo et al., 2014. Performan Reproduksi Sapi Peranakan Ongole Dan Sapi Peranakan Limousine Di Kecamatan Berbek Kabupaten Nganjuk. (Reproductive Performance Of Crossed Ongole Cattle And Crossed Limousine Cattle At Berbek Sub-District Nganjuk District). Fakultas Peternak Universitas Brawijaya, Malang.