BAB I
PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Adanya peradilan merupakan salah satu syarat sebuah negara untuk menjadi negara hukum dan Indonesia yang konstitusinya menamakan dirinya sebagai negara hukum wajib memiliki hal ini, oleh sebab itu peran lembaga peradilan yang diperlakukan di Indonesia sangatlah penting, apakah lembaga tersebut menjalankan sistem peradilan dengan baik dan tidak memihak serta bagaimana bentuk-bentuk pengadilannya dalam menjalankan fungsi peradilan. Perkembangan lembaga peradilan di Indonesia sebenarnya sudah ada sebelum Bangsa Belanda datang ke Indonesia, kita telah memiliki berbagai macam lembaga peradilan yang dipimpin oleh raja sekalipun susunan dan jumlahnya masih terbatas bila dibandingkan dengan yang ada sekarang ini. Lembaga peradilan dari zaman ke zaman akan mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perkembangan dan perubahan masyarakat itu sendiri. Ketika Bangsa Belanda masuk ke negara kita, mereka melakukan pemisahan pengadilan untuk golongan yang berbeda dengan pengadilan untuk golongan pribumi (Bangsa Indonesia). Namun pada saat itu sudah ada pengklasifikasian jenis peradilan berdasarkan yurisdiks (kekuasaan mengadili) perkara yang mengadili. Hingga Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda di Indonesia, peradilan terus mengalami perubahan dan perkembangan sampai saat ini. Dalam makalah ini substansi yang akan dibahas adalah mengenai sejarah perkembangan peradilan Indonesia sebagai salah satu bagian yang integral dari sistem hukum Indonesia yang memainkan peranan penting dalam upaya pembangunan masyarakat guna mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara.
BAB II
PEMBAHASAN PERKEMBANGAN SINGKAT LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA A.Zaman Kerajaan Sebelum Era Penjajahan Sejarah berdirinya lembaga pengadilan di Indonesia jauh sudah ada sebelum penjajahan Belanda. Kala itu dikenal adanya berbagai pengadilan yang diselenggarakan kerajaan-kerajaan di nusantara. Jika kita melihat ke belakang, ketika negara ini masih terpisah menjadi berbagai kerajaan-kerajaan, adalah suatu kenyataan oleh karena kerajaan-kerajaan di Indonesia itu yang berdaulat adalah raja, yang berkuasa secara mutlak, dimana soal hidup dan mati rakyat ada pada tangannya, maka kekuasaan mengadili pun ada pada raja sendiri. Sebagai contoh di zaman Kerajaan Kalingga, peradilan dipimpin sendiri oleh Ratu Shima yang menghukum adiknya sendiri karena melanggar aturan yang dibuat oleh kerajaan. Meskipun pada zaman kerajaan itu, yang berkuasa adalah mutlak pada raja dan menjalankan peradilan adalah raja, tetapi tidak dapat pula disangkal bahwa di Indonesia ketika itu, tidak semua perkara diadili oleh raja sebab pada tiap-tiap kesatuan hukum memiliki kepala-kepala adat dan daerah yang sekaligus juga dapat bertindak sebagai hakim perdamaian. Hal ini terbukti dengan adanya penyelidikan sarjana Belanda yang telah berhasil menunjukkan adanya suatu garis pemisahan di antara pengadilan raja dengan pengadilan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat tertentu. Perkara-perkara yang menjadi urusan pengadilan raja disebut perkara Pradata, perkara-perkara yang tidak menjadi urusan pengadilan raja disebut perkara Padu. Ketika Islam masuk ke Indonesia, tidak saja tata hukum di Indonesia mengalami perubahan tetapi perubahan itu terjadi pula pada lembaga pengadilan. Khusus di Mataram pengaruh Islam melalui kekuasaan Raja Sultan Agung yang alim dan sangat menjunjung tinggi agamanya telah melakukan perubahan. Perubahan ini pertama-tama diwujudkan khusus dalam Pengadilan Pradata, yang dipimpin oleh raja sendiri. Pengadilan ini diubah menjadi Pengadilan Surambi. Oleh karena itu, pengadilan tidak lagi mengambil tempat di Sitinggil, melainkan di serambi mesjid agung. Dengan beralihnya pengadilan Pradata ke Pengadilan Surambi, pimpinan pengadilan meskipun di dalam prinsipnya masih berada di tangan raja, kenyataannya telah beralih ke tangan Penghulu, yang dibantu dengan beberapa alim ulama
sebagai anggota. Namun, keadaan ini berubah kembali setelah Susuhan Amangkurat ke-1 yang menggantikan Sultan Agung mengambil alih kembali tampuk pimpinan pengadilan raja karena kurang suka kepada pemuka-pemuka islam sehingga Pengadilan Pradata dihidupkan kembali. B.Era Penjajahan Kolonial Belanda Tahun 1926-1942 Sejak kompeni mendirikan pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia mereka menerapkan dualisme dalam sistem pengadilannya, hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan pemerintah Hindia Belanda. Sistem yang ditetapkan oleh Belanda ini merujuk pada pasal 131 Indische Staatsregeling disingkat I.S. Pemerintah Hindia Belanda dalam sistem dualismenya meraka membagi penduduk Indonesia dalam tiga golongan antara lain : eropa/barat, cina/timur asing dan bumi putera (pribumi), hal ini telah dinyatakan dalam pasal 163 I.S. Konsekuensi dari pembagian ini adalah perbedaan dalam lembaga-lembaga peradilan berikut hukum acaranya dengan pembagian sebagi berikut : pengadilan untuk pulau Jawa dan Madura dengan hukum acaranya Herziene Inlandscb Reglement disingkat HIR dan pengadilan untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan Madura (pulau seberang) diatur menjadi satu dengan Recbtsgelement Buitengewesen atau Rbg. Adapun susunan lembaga peradilannya adalah sebagai berikut : Orang Eropa/Barat : Untuk
Pulau Jawa
dan
Madura
:
Residentiegerecht,
Raad
van
Justitie,
Hooggerechtshof. Untuk Pulau Seberang : Residentiegerecht dan Raad van Justitie. Orang Bumi Putera : Untuk Pulau Jawa dan Madura : Districtsgerecht, Regentschapsgerecht, Landraad. Untuk Pulau Seberang : Negorijrechtbank (hanya tedapat di desa (negorij) di Ambon), Districtsgerecht, Magistraatsgerecht (merupakan pengadilan setingkat Landgerecht untuk wilayah-wilayah yang tidak terdapat Landgerecht), Landgerecht (memiliki kedudukan dan susunan kelembagaan yang sama dengan Landraad di Jawa, kecuali untuk daerah yang kekurangan sarjana hukum diketuai oleh pegawai pemerintah Belanda). Orang Cina/Timur Asing : sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku hukum Barat dengan beberapa pengecualian. Untuk Golongan ini Hukum Perdata material
yang berlaku adalah Burgerlijk Wetboek-BW (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) dan Wetboek van Kophandel-Wvk (Kitab Undang-undang Hukum Dagang). Hukum acaranya adalah Reglement Acara Perdata (Rv). Namun dalam beberapa kepentingan umum/sosial setiap golongan dapat berlaku hukum golongan lain jika dibutuhkan. Ada lembaga peradilan lain selain lembaga di atas yang diakui oleh pemerintahan Hindia Belanda, hal ini berdasarkan pasal 130 dan 134 I.S. :
Pengadilan Swapraja.
Peradilan Agama, ada 2 tingkat : untuk di pulau jawa dan madura Raad agama (Priesterraad) dan Mahkamah Tinggi Islam (Hof voo Islamietische), untuk luar pulau jawa dan madura hanya namanya yang berbeda sesuai daerahnya.
Pengadilan Militer, ada 3 macam : Krijgsraad untuk Angkatan Darat, . Zeekrijgsraad untuk Angkatan Laut, dan Hoog Militair Gerechtshof sebagai pengadilan tingkat Banding dari Krijgsraad dan Zeekrijgsraad.
C.Masa Penjajahan Jepang Tahun 1942-1945 Sebelum Pemerintahan Jepang menjalankan kekuasaannya di Indonesia badan-badan peradilan Hindia Belanda di tutup, perkara-perkara diselesaikan oleh pangreh praja, keadaan itu berlangsung sampai bulan mei 1942. Namun setelah Jepang menjalankan kekuasaannya menggantikan kedudukan penjajahan Belanda, Dualisme dalam tata peradilan dihapuskan sehingga badan-badan peradilan yang ada diperuntukkan bagi semua golongan. Hukum acaranya tetap mengacu pada HIR dan RBg, hal ini berdasarkan peraturan Osamu Sirei (UU BalaTentara Jepang) No. 1 Tahun 1942 pasal 3 menyatakan: “Segala badan pemerintahan dan kekuasannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dahulu tetap diakui sah bagi sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer.” Berdasarkan kebijakan di atas, maka badan-badan peradilan yang tinggal meliputi : 1. Hooggerechtshof sebagai pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung), dengan nama yang diganti menjadi Saikoo Hooin. 2. Raad van Justite (Pengadilan Tinggi), yang berubah nama menjadi Kooto Hooin. 3. Landraad (Pengadilan Negeri), yang berubah nama menjadi Tihoo Hooin.
4. Landgerecht (Pengadilan Kepolisian), yang berubah nama menjadi Keizai Hooin. 5. Regentschapsgerecht (Pengadilan Kabupaten), yang berubah nama menjadi Ken Hooin. 6. Districtsgerecht (Pengadilan Kewedanaan), yang berubah nama menjadi Gun Hooi. D.Masa Kemerdekaan Tahun 1945 – sekarang Untuk mencegah terjadinya kevakuman hukum, pada waktu Indonesia merdeka, diberlakukanlah Pasal 11 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan: "Segala Badan Negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang- undang Dasar ini". Pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Nomor 2 yang dalam pasal 1 menyatakan "segala badan‑badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selainya belum diadakan yang baru menurut UUD masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut". Maka demikianlah pada waktu itu, untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase tetap berlaku ketentuan HIR, RBg dan RVJ Mengenai badan peradilannya di beberapa bagian Republik Indonesia yang dikuasai Belanda sebagai pengganti peradilan zaman Jepang, diadakan landrechter untuk semua orang sebagai peradilan sehari-hari dan Appelraad sebagai peradilan dalam perkara perdata tingkat kedua. Selanjutnya pada waktu terjadinya Republik Indonesia Serikat, landrechter ini menjadi Pengadilan Ncgeri, sedangkan Appelraad menjadi Pengadilan Tinggi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di daerah-daerah yang tidak pernah dikuasai oleh Pemerintah Belanda. Ketika berlakunya Undang-undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 tanggal 14 Januari 1951, maka pada dasarnya di seluruh Indonesia hanya ada tiga macam badan peradilan yaitu Pengadilan Negeri sebagai peradilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi sebagai peradilan tingkat kedua atau banding, dan Mahkamah Agung sebagai peradilan tingkat kasasi. Namun diluar itu ternyata masih dikenal peradilan adat dan swapraja. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Negara Republik Indonesia kembali menggunakan UUD 1945 yang sampai sekarang masih berlaku, sekalipun telah mengalami amandemen. Sejak mulai berlakunya kembali UUD 1945, lembaga pengadilan telah berbeda jauh dengan lembaga pengadilan sebelumnya. Sejak itu tidak dijumpai lagi peradilan Swapraja, peradilan adat, peradilan desa, namun badan-badan peradilan telah berubah dan berkembang. Berdasarkan Pasal 10 Undang-undang No. 14 tahun 1970 menyebutkan adanya
empat lingkungan peradilan yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Kemudian sejalan jatuhnya pemerintahan Orde baru yang disertai dengan tuntutan Reformasi di segala bidang termasuk hukum dan peradilan, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 4 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dari sinilah kemudian ke empat lingkungan badan peradilan dikembalikan menjadi Yudikatif di bawah satu atap Mahkamah Agung. Undang-undang itu sendiri kemudian di cabut dengan berlakunya undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman untuk menyesuaikan dengan adanya amandemen UUD 1945. Dengan berlakunya Undang-undang No. 4 tahun 2004, kembali terjadi perubahan yang mendasar terhadap badan/lembaga peradilan di Indonesia. Perubahan ini tidak saja terjadi pada elemen lembaganya, melainkan perubahan ini terjadi pada pengorganisasiannya, baik mengenai organisasinya, administrasi, dan finansial, yakni semula berada di bawah kekuasaan kehakiman berubah menjadi berada di bawah kekuasaan mahkamah Agung. Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan organisasi, administrasi, dan finansial lembaga pengadilan bukan lagi menjadi urusan Departemen Hukum dan HAM melainkan menjadi urusan Mahkamah Agung. Sementara itu, organisasi, administrasi, dan finansial badan-badan peradilan lainnya untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing. Perubahan pada elemen kelembagaan, yakni ditandai dengan dilahirkannya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga peradilan yang bertugas membentengi penyelewengan dan penyimpangan terhadap UUD 1945. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 12 UU No. 4 tahun 2004. Demikianlah perkembangan lembaga pengadilan yang terjadi di Indonesia. Apakah akan mengalami perubahan kembali, perubahan itu pasti terjadi karena hukum selalu ada karena manusia sedangkan manusia senantiasa bergerak dan berubah dan tidak ada sesuatu yang tetap, namun apakah perubahan itu menjadi lebih baik ataukah malah menjadi semakin buruk, maka waktulah yang akan menentukan.
BAB III KESIMPULAN Dari pembahasan singkat perkembangan peradilan di Indonesia dapat kita ambil kesimpulan bahwa lembaga peradilan senantiasa berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan masyarakat. Perubahan ini tentunya ke arah penyempurnaan kelembagaan yang lebih baik yang terbebas dari pengaruh kekuasaan lainnya sebagai pilar negara hukum.
DAFTAR PUSTAKA Soetoprawiro, Koerniatmanto, PEMERINTAHAN DAN PERADILAN DI INDONESIA (ASALUSUL DAN PERKEMBANGANNYA), Cetakan I, 1994, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Dr. Rusli Muhammad,S.H.,M.H., POTRET LEMBAGA PENGADILAN INDONESIA, 2006, Jakarta : PT. Rajgrafindo Persada. Website : Moch. Yulihadi,S.H., SEJARAH LEMBAGA PERADILAN DI INDONESA, Ketua Pengadilan Negeri Sumbawa Besar. Blog : http//:Sosiologi Hukum.blogspot.com