2
SISTEM PERADILAN DI INDONESIA
(INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM DENGAN KASUS KORUP PERADILAN)
MAKALAH ESSAY
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Tata Negara
Yang diampu oleh: Dr. Martitah, M.hum
Oleh:
Desti Reka Hartiningrum
8111416167
Ilmu Hukum
Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Indonesia adalah Negara Hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yeng berbunyi: "Negara Indonesia adalah negara hukum". Disebutkan pula dalam Pasal 28 D ayat (1) bahwa "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum".
Hal tersebut memiliki makna bahwa semua masyarakat Indonesia juga memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan adil di hadapan hukum. Di sinilah peran lembaga peradilan menjadi sesuatu yang krusial. Lembaga peradilan diharapkan menjadi tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan. Menurut R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio, peradilan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara untuk menegakkan hukum dan keadilan. Namun realitanya, pengadilan hanya dianggap sebagai jalur penyelesaian bagi yang mempunyai kedudukan yang akan selalu menang.
Daniel Kaufman dalam laporan Bureaucarti Judiciary Bribery tahun 1998 menyebutkan, korupsi di peradilan Indonesia memiliki ranking paling tinggi di antara negara-negara seperti Ukraina, Venezeula, Rusia, Kolombia, Mesir, Yordania, Turki, dan seterusnya. Bahkan, hasil survei nasional tentang korupsi yang dilakukan Partnership for Governance Reform pada 2002 juga menempatkan lembaga peradilan di peringkat lembaga terkorup menurut persepsi masyarakat. Hal tersebut diperkuat dengan laporan Komisi Ombudsman Nasional (KON) tahun 2002, bahwa berdasarkan pengaduan masyarakat menyebutkan penyimpangan di lembaga peradilan menempati urutan tertinggi, yakni 45% dibandingkan lembaga lainnya. Bahkan data terakhir yang dilansir Komisi Yudisial menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40 persen dari total 6.100 hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum diwarnai judicial corruption
Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting) yang dilakukan oleh masyarakat khususnya terhadap kejahatan jalanan (street crimes) adalah bukti ketidakhormatan dan ketidakpercayaan mereka terhadap hukum .Realita sistem hukum dan peradilan di negeri ini, nampaknya tergambarkan dalam penelitian yang dilakukan oleh The Asia Foundation & AC Nielsen yang antara lain menyatakan: 49% sistem hukum tidak melindungi mereka, 38% tidak ada persamaan dimuka hukum, 57% sistem hukum masih tetap korup.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
Bagaimana sistem peradilan yang berlaku di Indonesia?
Bagaimana susunan sistem peradilan di Indonesia?
Mengapa Indonesia sebagai negara hukum terkenal dengan kasus korupsi pengadilan?
TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas maka dapat diambil tujuan dari makalah ini:
Untuk mengetahui sistem peradilan yang ada di Indonesia.
Untuk mengetahui susunan sistem peradilan yang ada di Indonesia.
Untuk mengetahui betapa lemahnya kesadaran hukum lembaga peradilan yang ada di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
SISTEM PERADILAN DI INDONESIA
Sistem peradilan di Indonesia didasarkan pada UUD 1945 yang telah diamandemen,
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945:
"kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan"
Pasal 24 ayat (2):
"kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi."
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut, yang dapat melakukan fungsi peradilan di Indonesia hanya 2, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan terhadap undang-undang, dan mempunyai kewenganan lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Sedangkan Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dimana salah satunya adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Secara prinsip, dalam memutus perkara pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi hanya dapat berperan sebagai negative legislator. Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya dapat menyatakan pasal, ayat, bagian atau seluruh norma undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, dan dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal ini bagaimana ditegaskan dalam Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Namun dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi membuat beberapa putusan yang tidak sekedar membatalkan norma, melainkan juga membuat putusan yang bersifat mengatur (positive legislature). Dalam perspektif yuridis normatif, tindakan aktivisme yudisial yang mengarah pada kedudukan positive legislature, tersebut tidak sesuai dengan ketentuan pasal di atas dan terkesan melampui batas.
Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir memiliki sususan dan kedudukan hanya satu yaitu di Ibukota Negara Republik Indonesia, sejak awal keberadaanya Mahkamah Konstitusi didesain untuk mengawal konstitusi dalam arti menjaga agar Undang-Undang konsisten, sejalan dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini, ada semacam sekat konstitusionalisme yang membatasi secara tegas Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi tidak mencampuri kekuasaan legislatif. Lain halnya dengan Mahkamah Agung yang memiliki tingkatan dalam struktur peradilan di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) Uud 1945.
Kedudukan kehakiman/peradilan merupakan kekuasaan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam kedudukannya ini, tindakan peradilan tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun dan dalam bentuk apapun, dengan demikian independensi pengadilan merupakan hal yang mutlak. Pengaturan ini merupakan perwujuda dari bentuk Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum.
SUSUNAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA
Mahkamah Agung
Mahkamah agung merupakan pengadilan Negara tertinggi dari semua lingkup peradilan yang ada yang dalammenjalankan tugasnya terbebas dari campur tangan pihak manapun termasuk pemerintah. Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia, susunan Mahkamah Agung Terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera dan sekretaris Jenderal. Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, seorang wakil ketuadan beberapa orang ketua muda. Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah Hakim Agung. Hakim Agung diangkat oleh presiden selaku kepala Negara. Mahkamah Agung memiliki tugas-tugas dan fungsi-fungsi dalam melaksanakan perannya sebagai pengadilan negara tertinggi, sebagaimana yang akan dijelaskan sebagai berikut:
Fungsi Peradilan
Sebagai pengadilan Negara tertinggi, fungsi peradilan Mahkamah Agung ialah hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-Undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi.
Fungsi Pengawasan
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan pengadilan pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman.
Fungsi Pengaturan
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum. Selain itu, Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-Undang.
Fungsi Nasehat
Mahkamah Agung dapat memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain. Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi dan rehabilitasi (Pasal 14 ayat (1) UUD RI 1945).
Fungsi Administratif
Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 13 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 secara organisatoris, administratif dan finansial saat ini berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Badan-badan peradilan yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:
Peradilan Umum
Peradilan umum adalah badan peradilan yang mengadili rakyat indonesia pada umumnya atau rakyat sipil yang terbagi kedalam dua bagian yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Pengadilan Negeri merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya, kecuali Undang-Undang menentukan lain. Sedangkan Pengadilan Tinggi merupakan pengadilan tingkat banding terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri dan merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengeketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya. Dasar hukum Peradilan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
Peradilan Agama
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu. Pengadilan agama sebagai badan peradilan tingkat pertama yang kedudukannya sama dengan peradilan negeri dan mempunyai lingkup wewenang untuk memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, dan wakaf, serta sedekah. Dasar hukum Peradilan agama terdapat pada Undang- Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Peradilan Militer
Peradilan militer merupakan badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran. Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara. Peradilan militer merupakan peradilan khusus yang berhubugan dengan yustisiabel dan yurisdiksinya. Dasar hukum Peradilan Militer terdapat pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Peradilan Tata Usaha
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peradilan Tata Usaha Negara meliputi Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Dasar hukum Peradilan agama terdapat pada Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi secara institusional baru muncul di Indonesia sejak perubahan atau amandemen ke tiga Undang –Undang Dasar 1945 tahun 2001 yakni ada pasal 24 dimana dalam ayat 2 nya disebutkan bahwah sebuah Mahkama Konstitusi telah dibentuk berdasarkan Undang Undang No 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal 2 UNdang – Undang ini dinyatakan Bahwa Mahkamah Konstitusi Merupakan salah satu lembaga Negara yang melakukan kekuasaan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Adapun wewenag Mahkamah Konstitusi yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
Menguji Undang Undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Mengutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Memutus pembubaran partai politik
Memutus peselisihan tentang hasil pemilihan umum.
INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM TERKENAL DENGAN KASUS KORUPSI PENGADILAN
Hal-hal yang dapat menunjang kegiatan korupsi pengadilan:
Peradilan yang berjenjang
Di Indonesia, struktur pengadilan berjenjang, yakni upaya hukum yang memungkinkan terdakwa yang tidak puas terhadap vonis hakim mengajukan banding. Dengan upaya hukum tersebut, keputusan yang telah ditetapkan sebelumnya bisa dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Dengan mekanisme tersebut diharapkan menghasilkan kepastian hukum dan keadilan. Yang terjadi sebaliknya, yakni ketidakpastian hukum karena keputusan hukum dapat berubah-ubah sesuai jenjang pengadilan, juga akan berujung pada simpang siurnya keputusan hukum; kepastian hukum yang didambakan masyarakat pun semakin lama didapatkan, karena harus melalui rantai peradilan yang sangat panjang. Fenomena ini akan dengan cepat disergap oleh pelaku mafia peradilan.
Pembuktian yang lemah dan tidak meyakinkan
Pembuktian haruslah bersifat pasti dan meyakinkan, agar keputusan yang dihasilkan pun pasti dan meyakinkan. Seharusnya persangkaan atau dugaan seperti dalam pembuktian kasus perdata serta keterangan ahli dalam dalam kasus pidana, dihapuskan, karena persangkaan hanya akan menghasilkan ketidakpastian dan keterangan ahli seharusnya diposisikan hanya sekedar informasi (khabar) saja.
Tidak ada persamaan di depan hukum
Persamaan di depan hukum (equality before the law) tanpa memandang status dan kedudukan merupakan sebuah keharusan. Di Indonesia ada ketentuan, bahwa jika ada pejabat negara –setingkat bupati dan anggota DPRD—tersangkut perkara pidana harus mendapatkan izin dari Presiden. Aturan ini cenderung diskriminatif dan memakan waktu serta justru menunjukkan bahwa equality before the law hanyalah isapan jempol.
Perilaku aparat
Penyebab kebobrokan yang cukup serius adalah bobroknya mental aparat penegak hukum, mulai dari polisi, panitera, jaksa hingga hakim. Bahkan data terakhir yang dilansir Komisi Yudisial menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40% dari total 6.100 hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum diwarnai judicial corruption.
Untuk mengantisipasi dan dan melakukan pengawasan terhadap aparat hukum di Indonesia dibentuklah berbagai macam komisi sebagai state auxilary bodies antara lain Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, KPKPN (sudah dibubarkan) dan KPK. Tidak cukup sampai disitu saja, tuntutan publik juga diarahkan untuk pembentukan lembaga pengawasan eksternal lembaga penegak hukum. Tuntutan inilah yang ada pada akhirnya direspon oleh pembentuk
Undang-Undang dengan mengamanatkan pembentukan komisi, misalnya Komisi Yudisial pembentukannya dimanatkan oleh konstitusi, Komisi Kepolisian diamanatkan oleh UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI mengmanatkan pembentukan Komisi Kejaksaan meskipun sifatnya tidak wajib. Sebagai tindak lanjut dari amanat pasal 38 UU Nomor 16 tahun 2004 (meskipun tidak imperatif) Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden RI No. 18 tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut, yang dapat melakukan fungsi peradilan di Indonesia hanya 2, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan terhadap undang-undang, dan mempunyai kewenganan lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Sedangkan Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Mahkamah agung merupakan pengadilan Negara tertinggi dari semua lingkup peradilan yang ada yang dalammenjalankan tugasnya terbebas dari campur tangan pihak manapun termasuk pemerintah. Mempunyai 6 fungsi, yaitu fungsi peradilan, fungsi pengawasan, fungsi pengaturan, fungsi nasehat, fungsi administratif. Dan mempunyai peradilan di bawahnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha. Sedangkan Mahkamah Konstitusi secara institusional baru muncul di Indonesia sejak perubahan atau amandemen ke tiga Undang–Undang Dasar 1945 dan merupakan salah satu lembaga Negara yang melakukan kekuasaan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
Indonesia sebagai negara hukum namun terkenal dengan kasus korupsi pengadilan. Hal ini dipicu karena 4 hal, peradilan yang berjenjang, pembuktian yang lemah dan tidak meyakinkan, tidak ada persamaan di depan hukum, perilaku aparat. Untuk mengantisipasi dan dan melakukan pengawasan terhadap aparat hukum di Indonesia dibentuklah berbagai macam komisi sebagai state auxilary bodies antara lain Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, KPKPN (sudah dibubarkan) dan KPK. Tuntutan publik juga harus diarahkan untuk pembentukan lembaga pengawasan eksternal lembaga penegak hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hadisuprapto, Hartono. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jogjakarta: Liberti Jogjakarta, 2001.
Soetami, Siti. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung : Refika Aditama, 2009.
Internet
Perpustakaan UNTAD. "Mahkamah Konstitusi: Dari Negative Legislature ke Posistive Legislature?", http://perpus.fakum.untad.ac.id/info-buku/49-mahkamah-konstitusi-dari-negative-legislature-ke-positive-legislature.html.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. "Kilas Balik Pengabdian Mahkamah Agung RI", https://www.mahkamahagung.go.id/images/LTMARI-2010.pdf.
Peraturan Perundang-Undangan
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 24 C UUD 1945 dan Pasal 10 Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Lain-Lain
Ginting, Jamin. "Sistem Peradilan di Indonesia" Law Review Vol. VII (2007).
Martitah, "Mahkamah Konstitusi : Dari Negative Legislature ke Positive Legislature", Konstitusi Press (2013).
i
Lihat Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Pasal 24 C UUD 1945 dan Pasal 10 Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Universitas Tadulako, "Mahkamah Konstitusi: Dari Negative Legislature ke Posistive Legislature?" http://perpus.fakum.untad.ac.id/info-buku/49-mahkamah-konstitusi-dari-negative-legislature-ke-positive-legislature.html (diakses 16 April 2017)
Martitah, Mahkamah Konstitusi : Dari Negative Legislature ke Positive Legislature (Jakarta,Konstitusi Press,2013), hal 174.
Jamin Ginting, Sistem Peradilan di Indonesia (Tangerang: Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan,2007) Vol. VII, hal. 73
Mahkamah Agung Republik Indonesia ", Kilas Balik Pengabdian Mahkamag Agung RI" https://www.mahkamahagung.go.id/images/LTMARI-2010.pdf ( Jakarta : Mahkamah Agung RI, 2011) , (diakses 20 April 2017).
pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Hartono Hadisuprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia (Jogjakarta: Liberti Jogjakarta, 2001), 138
Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ( Bandung : Refika Aditama, 2009), hal. 9