Bab I Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Diare merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya perubahan pada frekuensi Buang Air Besar disertai perubahan konsistensi feses. Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan dari tahun 2000 sampai 2010 terlihat kecenderungan kenaikan insiden. Pada tahun 2000 diperoleh angka kesakitan diare sebesar 301 per 1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 per 1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411 per 1000 penduduk. Pada balita (usia 1-5 tahun), merupakan kelompok umur dengan prevalensi diare tertinggi. Kejadian diare pada balita berdasarkan kategori umur dari hasil survei IDHS 2007 ( Indonesian Indonesian Demographic Health Survey) Survey) diketahui bahwa ada 20,7% yang terkena diare dari 3094 anak berumur 12-23 bulan yang disurvey dan merupakan yang paling sering terkena diare.1 Berdasarkan pola penyebab kematian semua umur, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke-13 dengan proporsi 3,5%. Sedangkan berdasarkan penyakit menular, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke-3 setelah TB dan Pneumonia. Dari hasil survey riskesdas, 2007 juga didapatkan bahwa penyebab kematian bayi (usia 29 hari-11 bulan) yang terbanyak adalah diare (31,4%) (31,4%) dan pneumonia (23,8%).2 Selain penyakit diare, Penyakit campak merupakan salah satu penyebab kematian pada anak-anak di seluruh dunia yang meningkat sepanjang tahun. Indonesia adalah negara keempat terbesar penduduknya di dunia yang memiliki angka kesakitan campak sekitar 1 juta pertahun dengan 30.000 kematian, yang menyebabkan men yebabkan Indonesia menjadi salah satu dari 47 negara prioritas yang di identifikasi oleh WHO dan UNICEF untuk melaksanakan akselerasi dan menjaga kesinambungan dari reduksi campak. Untuk menangani peningkatan angka kejadian campak salah satu tindakan yang dilakukan adalah imunisasi. Imunisasi dianggap sebagai salah satu langkah efektif untuk menanggulanaginya. Pada tahun 2005 sampai 2007 lebih dari 31 juta anak usia 6 bulan sampai 12 tahun di Indonesia telah mendapat imunisasi campak kedua melaluikampanye campak yang dilaksanakan dalam 5 fase. Dari laporan kampanye campak ini didapatkan 294 1
kabupten/kota (67%) mencapai target cakupan diatas 90%, 102 kabupaten/kota (23%) mencapai cakupan 80-90% dan 442 kabupaten/kota (10%) dengan cakupan < 80%. 3 Melihat data-data nasional mengenai diare dan campak dapat dilihat bahwa diare dan campak masih menjadi masalah kesehatan. Menurut penelitian yang di lakukan oleh Takkyizatul utomo, didapatkan tidak adanya hubungan bermakna antara kejadian diare dengan status imunisasi campak. Di Puskesmas Kelurahan Grogol I belum adanya sebuah penelitian yang mengemukakan hubungan antara status imunisasi campak dengan angka kejadian diare pada balita, disertai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Diharapkan dengan adanya hasil pada penelitian ini dapat dilakukan tindakan-tindakan untuk menekan angka kejadian diare balita di puskesmas kelurahan Grogol I. 7
1.2
Rumusan Masalah
1. Angka kejadian campak pada balita di Indonesia masih tinggi sekitar 1 juta pertahun dengan 30.000 kematian, yang menyebabkan Indonesia menjadi salah satu dari 47 negara prioritas yang di identifikasi oleh WHO WHO dan UNICEF. UNICEF.
2. Angka kejadian diare pada balita di indonesia masih tinggi, yaitu sebesar 20,7% berdasarkan hasil survei IDHS 2007 dan merupakan penyebab kematian tersering pada balita di Indonesia. 3. Belum tersedianya data-data mengenai angka kejadian diare berhubungan dengan status imunisasi campak di Puskesmas Kelurahan Grogol I.
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
1) Mengetahui hubungan antara kejadian diare anak usia 10-24 bulan dengan status imunisasi campak beserta faktor-faktor yang berhubungan di Puskesmas Kelurahan Grogol I. 1.3.2 Tujuan Khusus 1) Diketahuinya angka kejadian diare pada anak usia 10-24 bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol Grogol I periode Agustus 2014. 2) Diketahuinya sebaran status imunisasi campak balita usia 10-24 bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I periode Agustus 2014. 3) Diketahuinya sebaran tingkat pengetahuan ibu mengenai penyakit diare pada balita usia 10-24 bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I periode Agustus 2014.
2
kabupten/kota (67%) mencapai target cakupan diatas 90%, 102 kabupaten/kota (23%) mencapai cakupan 80-90% dan 442 kabupaten/kota (10%) dengan cakupan < 80%. 3 Melihat data-data nasional mengenai diare dan campak dapat dilihat bahwa diare dan campak masih menjadi masalah kesehatan. Menurut penelitian yang di lakukan oleh Takkyizatul utomo, didapatkan tidak adanya hubungan bermakna antara kejadian diare dengan status imunisasi campak. Di Puskesmas Kelurahan Grogol I belum adanya sebuah penelitian yang mengemukakan hubungan antara status imunisasi campak dengan angka kejadian diare pada balita, disertai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Diharapkan dengan adanya hasil pada penelitian ini dapat dilakukan tindakan-tindakan untuk menekan angka kejadian diare balita di puskesmas kelurahan Grogol I. 7
1.2
Rumusan Masalah
1. Angka kejadian campak pada balita di Indonesia masih tinggi sekitar 1 juta pertahun dengan 30.000 kematian, yang menyebabkan Indonesia menjadi salah satu dari 47 negara prioritas yang di identifikasi oleh WHO WHO dan UNICEF. UNICEF.
2. Angka kejadian diare pada balita di indonesia masih tinggi, yaitu sebesar 20,7% berdasarkan hasil survei IDHS 2007 dan merupakan penyebab kematian tersering pada balita di Indonesia. 3. Belum tersedianya data-data mengenai angka kejadian diare berhubungan dengan status imunisasi campak di Puskesmas Kelurahan Grogol I.
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
1) Mengetahui hubungan antara kejadian diare anak usia 10-24 bulan dengan status imunisasi campak beserta faktor-faktor yang berhubungan di Puskesmas Kelurahan Grogol I. 1.3.2 Tujuan Khusus 1) Diketahuinya angka kejadian diare pada anak usia 10-24 bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol Grogol I periode Agustus 2014. 2) Diketahuinya sebaran status imunisasi campak balita usia 10-24 bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I periode Agustus 2014. 3) Diketahuinya sebaran tingkat pengetahuan ibu mengenai penyakit diare pada balita usia 10-24 bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I periode Agustus 2014.
2
4) Diketahuinya sebaran status gizi anak balita usia 10-24 bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I periode Agustus A gustus 2014. 5) Diketahuinya sebaran pola asuh ibu kepada balita usia 10-24 bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I periode Agustus A gustus 2014. 6) Diketahuinya sebaran perilaku cuci tangan pada anak balita usia 10-24 bulan dan ibu pada di Puskesmas Kelurahan Grogol I periode Agustus 2014. 7) Diketahuinya sebaran tingkat pendidikan ibu di Puskesmas Kelurahan Grogol I periode Agustus 2014. 8) Diketahuinya sebaran pekerjaan ibu yang mempunyai balita usia 10-24 bulan di Puskesmas Keluarahan Grogol I periode Agustus 2014. 9) Diketahuinya sebaran pendapatan keluarga yang mempunyai balita usia 10-24 bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I periode periode Agustus 2014. 10) Diketahuinya sebaran kesehatan lingkungan pada keluarga yang mempunyai balita usia 10-24 bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I periode Agustus 2014. 11) Diketahuinya hubungan antara status imunisasi campak pada anak balita usia 1024 bulan dengan kejadian diare di Puskesmas Kelurahan Grogol I periode Agustus 2014. 12) Diketahuinya hubungan antara tingkat pengetahuan ibu, pola asuh, status gizi anak, dan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare pada balita usia 10-24 bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I periode Agustus 2014. 13) Diketahuinya hubungan antara ada tidaknya air bersih, jamban sehat, dan pembuangan sampah pada keluarga yang mempunyai anak usia 10-24 bulan dengan kejadian diare anak usia 10-24 bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I periode Agustus 2014.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat bagi peneliti 1. Memperoleh pengalaman belajar dan pengetahuan dalam melakukan penelitian. 2. Menerapkan
ilmu
pengetahuan
yang
telah
diperoleh
saat
kuliah
dan
membandingkannya dengan keadaan yang sebenarnya dalam masyarakat. 3. Mengembangkan daya nalar, minat, dan semangat, serta pengalaman penelitian. 4. Memahami hubungan antara diare pada anak balita dengan status imunisasi campak dan faktor-faktor lain la in yang berhubungan.
3
5. Memberikan keterampilan bagi mahasiswa kedokteran untuk memberikan penyuluhan mengenai diare pada balita. balita.
1.4.2 Manfaat bagi perguruan tinggi 1. Mengamalkan Tridarma perguruan tinggi dalam melaksanakan fungsi atau tugas Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian bagi masyarakat. 2. Mewujudkan UKRIDA sebagai masyarakat ilmiah dalam peran sertanya di bidang kesehatan. 3. Meningkatkan saling pengertian dan kerjasama antara mahasiswa dan staf pengajar. 1.4.3 Manfaat bagi masyarakat 1. Meningkatkan pengetahuan ibu yang mempunyai balita dalam mencegah dan menangani diare pada balita. 2. Menambah pengetahuan ibu mengenai pola asuh balita sehingga dapat mengurangi angka kejadian diare pada balita.
1.5
Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ini adalah anak usia 10-24 bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I periode Agustus 2014.
4
Bab II Tinjauan pustaka
2.1 Definisi Campak
Campak adalah manifestasi akut yang disebabkan oleh virus Rubeola (campak) dan merupakan penyakit yang sangat menular yang biasanya menyerang anak-anak. Penyakit ini ditandai dengan batuk, coryza, demam dan ruam makulopapular yang timbul beberapa hari sesudah gejala awal. Campak adalah suatu penyakit akut dengan daya penularan tinggi, yang ditandai dengan demam, coryza, konjungtivitis, batuk disertai eksantem spesifik (Koplik's spot) diikuti ruam makulopapular menyeluruh. 4
2.2 Vaksin campak Virus campak pertama kali diisolasi pada kultur virus oleh Enders dan Peebles
pada
tahun
1954.
Pada
akhir
tahun
1950-an
Enders
dan
kawan-kawan
mengembangkan vaksin yang berasal dari strain virus ini. Terdapat dua virus campak yang dikembangkan dari strain ini dan mulai digunakan di Amerika Serikat sejak tahun 1963. Yang pertama adalah strain Edmonston B yang merupakan virus yang dilemahkan, kemudian yang kedua adalah virus yang dilemahkan. Strain Edmonston ini kemudian dilemahkan kembali dan menjadi strain Schwarz yang mulai digunakan sejak tahun 1965 dan strain Moraten pada tahun 1968. Kedua vaksin ini dikatakan mempunyai efek samping yang lebih kecil daripada strain Edmonston, hingga saat ini dua jenis vaksin ini yang sering digunakan.4,5 WHO pada tahun 1988 merekomendasikan bahwa kuantitas minimum vaksin virus hams mengandung 1000 (3.0 log 10) unit infektif virus dafam 1 dosis. Vaksin campak
peka
terhadap
cahaya
matahari
dan
suhu
yang
panas.
ACIP
merekomendasikan bahwa vaksin campak ini harus disimpan pada suhu 2-8°C atau lebih rendah dan dikirim pada suhu s uhu lOºC atau dikirim dengan menggunakan es kering. Vaksin yang akan digunakan lagi harus dibuang apabila dalam waktu 8 jam tidak dipergunakan lagi. Vaksin campak ini digunakan secara injeksi subkutan dengan dosis 0,5 ml.
5
Imunisasi campak sendiri diberikan pada bayi usia 9 bulan-11 bulan. Kemudian dilakukan pengulangan pada usia 2 tahun dan usia sekolah dasar kelas 1-6. Vaksin campak diberikan dengan dosis 0.5cc. sebelum disuntikkan vaksin campak terlebih dalulu dilarutkan dengan pelarut steril yang telah tersedia yang berisi 5 ml cairan pelarut. Kemudian suntikan diberikan pada lengan kiri atas secara subkutan. Mnurut Preverawati (2010), cara pemberiannya sebagai berikut: 1.
Atur posisi bayi dengan miring di atas pangkuan ibu dengan seluruh lengan terbuka
2.
Orang tua sebaiknya memegang kaki bayi dan gunakan jari-jari tangan untuk menekan ke atas lengan bayi.
3.
Cepat tekan jarum ke dalam kulit yang menonjol ke atas dengan sudut 45 0
4.
Usahakan kestabilan posisi jarum Untuk anak yang terlambat/belum mendapati imunisasi campak, bila saat itu
anak berusia 9-12 bulan, berikan kapan pun saat bertemu. Bila anak berusia lebih dari 1 tahun, berikan MMR. Jika sudah diberi MMR usia 15 bulan , tidak perlu campak di usia 24 bulan. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Tzkiyyatul, Utomo M, Mifbakhuddin menyatakan bahwa pemberian status imunisasi campak tidak mempunyai pengaruh terhadap angka kejadian diare pada balita. 5,6,7
2.3 Definisi diare
Diare adalah buang air besar yang tidak normal dimana terjadi perubahan konsistensi tinja menjadi lebih encer/cair dari biasanya dengan frekuensi tiga kali atau lebih dalam 24 jam, dapat/tidak disertai dengan lendir/darah. Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu.8 Diare akut menurut American Academy of Pediatrics (AAP) adalah diare dengan adanya peningkatan frekuensi dan atau perubahan konsistensi, dapat disertai atau tanpa gejala dan tanda seperti mual, muntah, demam, atau sakit perut yang berlangsung 3-7 hari. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi buang air besar lebih dari 3-4 kali perhari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis atau normal. Selama berat badan bayi meningkat normal, hal tersebut tidak tergolong 6
diare, tetapi merupakan intoleransi laktosa sementara akibat belum sempurnanya perkembangan saluran cerna. Untuk bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare yang praktis adalah meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistesinya menjadi cair yang menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadangkadang pada seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistesinya cair, keadaaan ini sudah dapat disebut diare. 9 Pembagian diare: 1.
Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 7 hari,
2.
Diare melanjut, yaitu diare yang berlangsung 7-14 hari,
3.
Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.8
2.4 Epidemiologi Diare
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan dari tahun 2000 sampai 2010 terlihat kecenderungan kenaikan insiden. Pada tahun 2000 diperoleh angka kesakitan diare sebesar 301 per 1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 per 1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411 per 1000 penduduk. Pada balita (usia 1-5 tahun), merupakan kelompok umur dengan prevalensi diare tertinggi. Kejadian diare pada balita berdasarkan kategori umur dari hasil survei IDHS 2007 ( Indonesian Demographic Health Survey) diketahui bahwa ada 20,7% yang terkena diare dari 3094 anak berumur 12-23 bulan yang disurvey dan merupakan yang paling sering terkena diare.1
2.5 Etiologi Diare
Etiologi diare dapat dibagi menjadi beberapa faktor, yaitu: a) Faktor infeksi 1. Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare pada anak. Infeksi enteral yaitu: a. Infeksi bakteri: Vibrio cholera, Vibrio parahasmoliticus, Escherecia coli, Salmonella
spp,
Shigella
spp,
Campylobacter
jejuni,
Yersinia
enterocolitica
7
b. Infeksi
virus: Rotavirus,
Enterovirus
(
Virus
ECHO,
Coxsackie,
Poliomyelitis), Adenovirus. c. Infeksi parasit: Cacing ( Ascaris, Trichiuris, Oxyuris, Strongyloides), Protozoa ( Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis ), jamur (Candida albicans). 2. Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain di luar sistem pencernaan, seperti otitis media akut, tonsilofaringitis, bronkopneumonia. Keadaan ini terdapat terutama pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun. b) Faktor malabsorbsi 1. Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa, dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang tersering adalah intoleransi laktosa. 2. Malabsorbsi lemak 3. Malabsorbsi protein c) Faktor makanan Makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan d) Faktor psikologis Rasa takut dan cemas dapat terjadi terutama pada anak yang lebih besar. e) Faktor lingkungan dan perilaku Keadaan lingkungan fisik dan biologis pemukiman penduduk Indonesia belum maksimal, hal ini berakibat masih tingginya angka kesakitan dan kematian karena berbagai penyakit. Salah satu penyakit terbanyak yang disebabkan oleh buruknya sanitasi di lingkungan masyarakat adalah diare. Lingkungan yang buruk disertai rendahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk berperilaku sehat menjadikan kawasan kumuh sebagai kawasan yang rawan akan
penyebaran
penyakit.
Lingkungan
yang
buruk
menjadi
penyebab
berkembangbiaknya berbagai virus penyakit menular. Karena itu berbagai infeksi penyakit sering terjadi pada para penghuni kawasan kumuh. Penyakit menular yang sering dijumpai adalah diare. Gaya hidup yang jorok, tidak memperhatikan sanitasi menyebabkan usus rentan terhadap serangan virus diare. 9 Namun, seperti yang telah dijelaskan di atas, berkembangnya perilaku pencegahan ini sangat tergantung pada kondisi pribadi masing-masing individu, termasuk persepsi individu bersangkutan dalam memandang diare. Dengan kata lain jika seseorang mempersepsikan diare adalah penyakit yang membahayakan 8
maka yang bersangkutan dapat diproyeksikan akan semakin berusaha keras untuk melakukan pencegahan agar tidak terserang diare. Sebab, upaya pencegahan penyakit ini bersumber pada seluruh aktivitas manusia
yang berkaitan dengan
upaya preventif.10 Beberapa perilaku yang dapat meningkatkan risiko terjadinya diare pada balita, yaitu : 1) Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama pada kehidupan. Pada balita yang tidak diberi ASI resiko menderita diare lebih besar daripada balita yang diberi ASI penuh, dan kemungkinan menderita dehidrasi berat lebih besar. 2) Menggunakan botol susu, penggunaan botol ini memudahkan pencemaran oleh kuman karena botol susah dibersihkan. Penggunaan botol yang tidak bersih atau sudah dipakai selama berjam-jam dibiarkan dilingkungan yang panas, sering menyebabkan infeksi usus yang parah karena botol dapat tercemar oleh kuman-kuman/bakteri penyebab diare. Sehingga balita yang menggunakan botol tersebut beresiko terinfeksi diare 3) Menyimpan makanan masak pada suhu kamar, bila makanan disimpan beberapa jam pada suhu kamar, makanan akan tercermar dan kuman akan berkembang biak. 4) Menggunakan air minum yang tercemar. 5) Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan dan menyuapi anak 6) Tidak membuang tinja dengan benar, seringnya beranggapan bahwa tinja tidak berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Selain itu tinja binatang juga dapat menyebabkan infeksi pada manusia.9,10
2.6 Patogenesis
Mekanisme terjadinya diare cair dibagi menjadi dua yaitu sekeretorik dan osmotik. Diare sekretorik lebih sering ditemukan pada infeksi saluran cerna, akan tetapi kedua mekanisme tersebut bisa terjadi bersamaan juga pada satu anak.
9
1. Diare osmotik Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilalui oleh air dan elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara lumen usus dengan cairan ekstrasel. Adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus bagian proksimal tersebut bersifat hipertoni dan menyebabkan hiperosmolaritas. Akibat perbedaan tekanan osmotik antara lumen usus dan darah maka pada segmen usus jejunum yang bersifat permeable, air akan mengalir kearah jejunum, sehingga akan banyak terkumpul air dalam lumen usus. Na akan mengikuti masuk ke dalam lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar Na normal. Sebagian kecil cairan ini akan dibawa kembali, akan tetapi lainya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak dapat diserap seperti Mg, glukosa, sucrose, lactose, maltose di segmen ileum dan melebihi kemampuan absorbs kolon, sehinga terjadi diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat dan jus buah, atau bahan yang mengandung sorbitol dalam jumlah berlabihan akan memberikan dampak yang sama. 8,10
2. Diare Sekretorik Diare sekretorik disebabkan oleh sekresi air dan elektrolit ke dalam usus halus yang terjadi akibat gangguan absorbs natrium oleh vilus saluran cerna, sedangkan sekresi klorida tetap berlangsung atau meningkat. Keadaan ini menyebabkan air dan elektrolit keluar dari tubuh sebagai tinja cair. Diare sekretorik ditemukan diare yang disebabkan oleh infeksi bakteri akbat rangsangan pada mukosa usus halus oleh toksin E.coli atau V. cholera.01. Dikenal bahan-bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri dan bahan kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu bentuk dihidroxy, serta asam lemak rantai panjang. Toksin penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi intrasel cAMP, cGMP, atau Ca++ yang selanjutnya akan mengaktifasi protein kinasi. Pengaktifan protein
kinase
akan
menyebabkan
fosforilase
membrane
protein
sehingga
megakibatkan perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl - di kripta keluar. Disisi lain terjadi peningkatan pompa natrium , dan natrium masuk ke dalam lumen usus bersama Cl-. Diare dapat juga dikaitkan dengan gangguan motilitas. Meskipun motilitas jarang menjadi penyebab utama malabsorbsi, teatpi perubahan motilitas mempunyai pengaruh terhadap absorbs. Baik peningkatan ataupun penurunan motilitas keduanya dapat menyebabkan diare. 10
Penurunan motilitas dapat mengakibatkan bakteri tumbuh lampau yang menyebabkan diare. Perlambatan transit obat-obatan atau nutrisi akan meningkatkan absorbsi, Kegagalan motilitas usus yang berat menyebabkan statis intestinal bearkibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu dan malabsorbsi. Diare akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diare dapat disebabkan karena hipermotilitas pada kasus kolon irritable pada bayi. Gangguan motilitas mungkin merupakan penyebab diare pada Thyrotoksikosis, malabsorbsi asam empedu, dan berbagai peyakit lain. Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebakan diare pada beberapa keadaan. Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah dan limfatik menyebabkan air, elektrolit, mucus, protein dan seringkali sel darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanya diare akibat inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare lainnya seperti diare osmotik dan sekretorik. Bakteri enteral pathogen akan mempenagaruhi struktur dan fungsi tight junction, menginduksi cairan dan elektrolit, dan akan mengaktifkan kaskade inflamasi. Efek infeksi bacterial pada tight junction akan memepengaruhi susunan anatomis dan funsi absorbs yaitu cytoskeleton dan perubahan susunan protein. Penelitian oleh Bakes J dkk 2003 menunjukan bahwa peranan bakteri enteral pathogen pada diare terletak perubahan barier tight junction oleh toksin atau produk kuman yaitu perubahan pada cellualar cytoskeleton dan spesifik tight junction. Pengaruh ini bisa pada kedua komponen tersebut atau salah satu komponen saja sehingga akan menyebabkan hipersekresi clorida yang akan diikuti natrium dan air. Sebagai contoh Clostridium difficile akan menginduksi kerusakan cytoskeleton maupun protein, Bacteroides frigilis menyebabkan degradasi proteolitik protein tight junction, V. cholera mempengaruhi distribusi protein tight junction, sedangkan EPEC menyebabkan akumulasi protein cytoskeleton. 8,10
2.7 Komplikasi Diare
Pada diare hebat yang sering kali disertai muntah-muntah, tubuh kehilangan banyak air dan garam-garamnya, terutama natrium dan kalium. Hal ini mengakibatkan tubuh kekeringan (dehidrasi), kekurangan kalium (hipokaliemia) dan adakalanya acidosis (darah menjadi asam) yang tidak jarang berakhir dengan shock dan kematian. Bahaya ini sangat besar khususnya bagi bayi dan anak-anak karena organismenya
11
memiliki cadangan cairan intra-sel yang hanya kecil sedangkan cairan ekstra selnya lebih mudah dilepaskannya dibanding tubuh orang dewasa. 9,11 Gejala pertama dari dehidrasi adalah perasaan haus, mulut dan bibir kering, kulit menjadi keriput (hilang kekenyalannya), berkurangnya air seni dan menurunnya berat badan, juga gelisah. Kekurangan kalium terutama mempengaruhi sistem neuromuskuler dengan gejala mengantuk (letargi), lemah otot dan sesak nafas (d yspnoea).9,11 Derajat Dehidrasi dapat ditentukan berdasarkan: a)
Kehilangan berat Badan
-
Dehidrasi Ringan: bila terjadi penurunan berat badan 2 1/2 – 5%
-
Dehidrasi sedang: bila terjadi penurunan berat badan 5-10%
-
Dehidrasi Berat: bila terjadi penurunan berat badan > 10%. 13
b)
Score Maurice king
Tabel 1 Score Maurice King
13
Bagian tubuh yang diperiksa Keadaan umum
Nilai untuk gejala yang ditemukan 0
1
2
Sehat
Gelisah, cengeng,
Mengigau, koma,
apatis, ngantuk
atau syok
Kekenyalan kulit
Normal
Sedikit kurang
Sangat kurang
Mata
Normal
Sedikit cekung
Sangat cekung
Ubun-ubun besar
Normal
Sedikit cekung
Sangat cekung
Mulut
Normal
Kering
Kering & sianosis
Kuat>120
Sedang (120-140)
Lebih dari 140
Denyut nadi/menit
Catatan:
Untuk menentukan turgor, kulit perut dijepit antara ibu jari dan telunjuk selama 30-60 detik, kemudian dilepas. Jika kulit kembali normal dalam waktu: -
1 detik: turgor agak kurang (dehidrasi ringan)
-
1-2 detik: turgor kurang (dehidrasi sedang)
-
2 detik: turgor sangat kurang (dehidrasi berat)
12
Berdasarkan skor yang terdapat pada seorang penderita dapat ditentukan derajat dehidrasinya:
-
0-2 : dehidrasi ringan
-
3-6 : dehidrasi sedang
-
7-10: dehidrasi berat
Pada anak dengan ubun-ubun besar sudah menutup, nilai ubun-ubun besar diganti dengan banyaknya frekuensi kencing. gambar 1 Cara Mengecek Turgor Kulit
14
Selain dehidrasi, komplikasi lain dari diare adalah terjadinya gangguan keseimbangan asam-basa. Hal ini terjadi karena: a. Kehilangan Na-biokarbonat bersama tinja b. Adanya ketosis kelaparan. Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda keton tertimbun dalam tubuh. c. Terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksia jaringan d. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oligura/anuria). e. Pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler kedalam cairan intraseluler. Dapat juga terjadi gangguan gizi, hal ini terlihat dari penurunan berat badan anak. Gangguan gizi ini dapat diakibatkan karena: a. Makan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare dan/atau muntahnya akan bertambah hebat. Orang tua sering hanya memberikan teh saja (teh diet) b. Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengenceran dan susu yang encer ini diberikan terlalu lama.
13
c. Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorpsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik. Komplikasi lain yang juga sering menyertai diare adalah gangguan sirkulasi. Hal ini terjadi sebagai akibat diare dengan/tanpa disertai muntah, dapat terjadi gangguan sirkulasi darah berupa renjatan (shock) hipovolvemik. Akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan pendarahan dalam otak, kesadaran menurun, (soporokomatosa) dan apabila tidak segera ditolong penderita dapat meninggal. 9,10 2.8 Diagnosis diare
2.8.1 anamnesis Hal yang perlu ditanyakan saat anamnesa yang terkait dengan diare adalah: a. Sudah diare berapa lama b. Frekuensi diare dalam sehari c. Volume diare dalam sehari d. Konsistensi tinja e. Warna tinja f. Bau tinja g. Ada atau tidaknya lendir atau darah Bila disertai muntah yang perlu ditanyakan adalah volume muntah dan frekuensi muntah dalam sehari. Volume kencing biasa/berkurang/tidak kencing dalam 6-8 jam terakhir. Adakah demam atau tidak. Tindakan apa yang telah dilakukan ibu selama anak diare: memberi oralit, membawa ke puskesmas atau obat-obatan yang diberikan serta riwayat imunisasinya.13 2.8.2 pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik diare perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung, pernafasan serta tekanan darah. Pernafasan yang cepat dan dalam adalah indikasi adanya asidosis metabolik. Selanjutnya perlu diperiksa tanda-tanda dehidrasi, seperti: kesadaran menurun, rasa haus, turgor menurun, ubun-ubun cekung, mata cowong, mukosa yang kering, capillary refill time memanjang. Penilaian derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan beberapa kriteria seperti: Skor Maurice King. 13
14
2.8.3 Pemeriksaan laboratorium Pada umumnya pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut tidak diperlukan, namun pada keadaan tertentu seperti: penyebab diare akut yg tidak diketahui dengan dehidrasi berat. Pemeriksaan yang kadang perlu dilakukan adalah: a. Darah Darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes kepekaan antibiotik b. Tinja - Makroskopik: Tinja yang watery dan tanpa mukus atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa atau infeksi diluar gastrointestinal. Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri yang menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau parasit usus seperti: E.histolytica, B.coli, T.trichiura. Pada E.histolytica darah biasanya terdapat di permukaan tinja dan pada infeksi EHEC terdapat garis-garis darah pada tinja. Tinja yang berbau busuk didapatkan pada infeksi Salmonella, Giardia,Cryptosporidium dan Strongyloides. 15,16 - Mikroskopik: Tabel 2 Pemeriksaan Mikroskopik pada Diare
16
Tes Laboratorium
Organisme yang diduga
Mikroskopis: lekosit pada tinja
Invasif atau bakteri yang memproduksi sitotoksin
Trophozoit, kista, oosit, spora
G.lamblia,E.histolytica,
Cryptosporidium,
I.belli Rhabditiform larvae
Strongyloides
Spiral atau basil gram (-) berbentu S
Camphylobacter jejuni
Kultur tinja: Standart
E.coli,Shigella,Salmonella, Camphylobacter jejuni
Spesial
Y.enterocolitica,V.cholerae, V.parahemoliticus, E.coli
Enzym immunoassay atau latex aglutinasi
Rotavirus, G.lamblia, enteric adenovirus,
Serotyping
E.coli, EHEC, EPEC
Latex aglutinasi setelah broth enrichment
Salmonella, Shigella
Test yang dilakukan di laboratorium riset
Bakteri yang memproduksi toksin, EIEC, EAEC, PCR untuk genus yang virulen
15
2.9 Penatalaksanaan Diare Lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus yang diderita anak yang dirawat
di rumah maupun rumah sakit, adalah: a. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru Rehidrasi harus segera diberikan untuk mencegah dan mengatasi diare. Osmolaritas larutan baru mendekati osmolaritas plasma bila dibandingkan dengan dengan oralit lama. Oralit dengan osmolaritas yang rendah ini menurunkan kebutuhan suplementasi intravena dan mampu mengurangi pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangi kejadian muntah hingga 30%. Tabel 3 Komposisi Oralit Baru
1,16
1
Oralit baru osmolaritas rendah
Mmol/liter
Natrium
75
Klorida
65
Glucose, ahydrous
75
Kalium
20
Sitrat
10
Total Osmolaritas
245
Ketentuan pemberian oralit formula baru: -
beri 2 bungkus oralit formula baru larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang, untuk persediaan 24 jam
-
berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar dengan ketentuan sebagai berikut:
-
~
Untuk anak berumur < 2 tahun: berikan 50-100 ml tiap kali BAB
~
Untuk anak 2 tahun atau lebih: berikan 100-200 ml tiap BAB
Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka sisa larutan harus dibuang
b. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan absorbsi air dan elektrolit usus halus, meningkatkan regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border apikal, dan meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan patogen dari usus.
16
Dosis zinc pada anak: - anak di bawah umur 6 bulan: 10 mg (1/2 tablet) per hari - anak di atas umur 6 bulan: 20 mg (1 tablet) per hari Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari diare. Untuk bayi, zinc dapat dilarutkan di air matang, ASI, atau oralit. Untuk anakanak yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit. c. ASI dan makanan tetap diteruskan ASI dan makanan diberikan untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti nutrisi yang hilang. Adanya perbaikan nafsu maka n menandakan fase kesembuhan. d. Antibiotik selektif Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi seperti diare berdarah atau kolera. Pemberian antibiotic yang tidak rasional justru akan memperpanjang lamanya diare karena akan mengganggu keseimbangan flora usus yang menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu pemberian antibiotic yang tidak rasional akan meyebabkan resistensi kuman terhadap antibotik Terapi antibiotik pada pasien diare dapat dikelompokkan berdasarkan kuman penyebabnya seperti yang tertulis di bawah ini. V. cholera
: Tetracyclin 40-50 mg/kgBB/hari, selama 3 hari Kloramfenikol 50-100 mg/kgBB/hari, selama 5 hari
E. Coli
: Neomytcin 50-100 mg/kgBB/hari, selama 5 hari Colistin 100.000 U/kgBB/hari, selama 5 hari
Shigella
: Ampicillin 100 mg/kgBB/hari, selama 5 hari atau Trimetoprin (TMP), Sulfametoksazole (SMX) TMP 10 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, selama 5 hari
Amubiasis
: Metronidazole 30 mg/kgBB/hari selama 5-10 hari
e. Nasihat kepada orang tua Nasihat yang diberikan adalah kembali segera jika demam, tinja berdarah, berulang, makan atau minum sedikit, sangat haus, diare makin sering atau belum membaik dalam 3 hari.
Selain lima pilar di atas tata laksana pada diare dapat didasarkan berdasarkan tingkat dehidrasinya. Tata laksana ini dibuat dalam rencana terapi A,B, dan C.
17
gambar 2 Rencana Terapi A
19
18
gambar 3 Rencana Terapi B
17
19
gambar 4 Rencana Terapi C
17
20
2.10 Faktor-faktor yang Berhubungan Terjadinya Diare pada Balita
2.10.1 Karakteristik Ibu a.
Umur ibu Umur adalah usia ibu yang menjadi indikator dalamkedewasaan dalam setiap
pengambilan keputusan untuk melakukan sesuatu yang mengacu pada setiap pengalamannya. Umur seseorang sedemikian besarnya akan mempengaruhi perilaku, karena semakin lanjut umurnya, maka semakin lebih bertanggung jawab, lebih tertib, lebih bermoral, lebih berbakti dari usia muda. Karakteristik pada ibu balita berdasarkan umur sangat berpengaruh terhadap cara penanganan dalam mencegah terjadinya diare pada balita, dimana semakin tua umur seorang ibu maka kesiapan dalam mencegah kejadian diare akan semakin baik dan dapat berjalan dengan baik.
b. Tingkat pengetahuan ibu Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan
manusia,
yakni
indera
penglihatan,
pendengaran,
penciuman, rasa dan raba, di mana sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Tingkat pengetahuan ibu berkaitan erat dengan bagaimana seorang ibu balita yang mampu melakukan penanganan terhadap balita yang mengalami diare. Seperti yang diungkapkan oleh yance warman dalam penelitiannya, bahwa tingkat pengetahuan ibu mempunyai korelasi yang kuat dibandingkan dengan faktor lingkungan ataupun sosial ekonomi. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh wiwin herniyatun. Bagi ibu diharuskan memiliki pengetahuan tentang diare secara langsung yang berdampak pada terhindar dari terjadinya diare pada balita. Sebagian masyarakat masih ada yang beranggapan bahwa penyakit diare banyak disebabkan karena bertambahnya kepandaian anak, salah makan, masuk angin. Hal ini dikarenakan ketidaktauan masyarakat yang disebabkan kurangnya mendapat informasi atau tidak mengetahui tentang penyebab terjadinya diare. 19,20 c. Pekerjaan ibu Status pekerjaan ibu mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian diare pada anak balita. Pada pekerjaan ibu maupun keaktifan ibu dalam berorganisasi 21
sosial berpengaruh pada kejadian diare pada balita. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan bagi ibu balita apabila ingin berpartisipasi dalam lapangan pekerjaan. Dengan pekerjaannya tersebut diharapkan ibu mendapat informasi tentang pencegahan diare. Terdapat 9,3% anak balita menderita diare pada ibu yang bekerja, sedangkan ibu yang tidak bekerja sebanyak 12%. Pada ibu balita yang terkena diare biasanya kurang cepat tertangani karena kesibukan dari pekerjaan ibu. Dimana penanganan balita yang terkena diare dikarenakan ketiadaan waktu untuk memeriksakan ke tenaga kesehatan, hal ini terjadi karena waktunya kadang bersamaan dengan waktu kerja yang tidak bisa ditinggalkanyang akibatnya diare pada balitanya akan semakin kritis. Dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja biasanya akan cepat tertangani dengan penanganan sederhana seperti pemberian cairan oralit serta banyaknya waktu untuk mengontrol keadaan balitanya,hal ini dapat memperlambat diare pada balita. 16,21
2.10.2 Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga menentukan ketersediaan fasilitas kesehatanyang baik. Di mana semakin tinggi pendapatan keluarga, semakin baik fasilitas dan cara hidup mereka yang terjaga akan semakin baik. Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas fasilitas kesehatan di suatu keluarga. Walaupun demikian ada hubungan yang erat antara pendapatan dan kejadian diare yang didorong adanya pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkatkan, maka perbaikan sarana atau fasilitas kesehatan serta masalah keluarga lainnya, yang berkaitan dengan kejadian diare, hampir berlaku terhadap tingkat pertumbuhan pendapatan. Tingkat pendapatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup, di mana status ekonomi orang tua yang baik, akan berpengaruh pada fasilitas yang diberikan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan di Indonesia mengungkapkan bahwa tingkat pendapatan rendah (53%) lebih banyak dari tingkat pendapatan tinggi (47%). Mengingat tingkat pendapatan mempengaruhi kejadian diare maka angka ini perlu mendapat tindak lanjut. Tingkat pendapatan akan mempengaruhi pola kebiasaan dalam menjaga kebersihan dan penanganan yang selanjutnya berperan dalam prioritas penyediaan fasilitas kesehatan (misal membuat kamar kecil yang sehat) berdasarkan kemampuan ekonomi atau pendapatan pada suatu keluarga. Bagi mereka yang berpendapatan sangat rendah hanya dapat memenuhi kebutuhan berupa fasilitas 22
kesehatan apa adanya, sesuai dengan kemampuan mereka. Apabila tingkat pendapatan baik, maka fasilitas kesehatan mereka, khususnya di dalam rumahnya akan terjamin misalnya dalam penyediaan air bersih. penyediaan jamban sendiri, atau jika mempunyai ternak akan dibuatkan kandang yang baik dan terjaga kebersihannya. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang tidak mampu memenuhi fasilitas kesehatannya sesuai kebutuhannya. Pada ibu balita yang mempunyai pendapatan kurang akan lambat dalam penanganan diare misalnya karena ketiadaan biaya berobat ke petugas kesehatan yang akibatnya dapat terjadi diare yang lebih parah lagi. Pendapat berbeda diungkapkan oleh Iskandar Zulkarnaen lewat penelitian yang ia lakukan. Berdasarkan hasil penelitiannya tidak didapatkan adanya hubugan bermakna antara tingkat pendapatan keluarga dengan angka kejadian diare.22,23 2.10.3 Perilaku Cuci Tangan Kebersihan diri pada ibu dan balita terutama dalam hal perilaku mencuci tangan setiap makan, merupakan sesuatu yang baik, di mana sebagian besar kuman infeksi diare ditularkan melalui jalur fekal-oral. Mereka dapat ditularkan dengan memasukkan kedalam mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja, misalkan dari air minum dan makanan. Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan adalah bagian penting dalam penularan kuman diare, dengan mengubah kebiasaan tidak mencuci tangan menjadi mencuci tangan dapat memutuskan penularan. Mencuci tangan dengan sabun terutama sesudah buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan dan minuman, telah dibuktikan memiliki dampak dalam kejadian diare dan menjadi sasaran utama pendidikan tentang kebersihan. Penularan l4-48% terjadinya diare diharapkan sebagai hasil pendidikan tentang kesehatan dan perbaikan kebiasaan. 2.10.4 Hygiene Higiene adalah suatu usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia,upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa, sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan. Termasuk upaya melindungi, memelihara, dan mempertinggi derajat kesehatan manusia (perorangan ataupun masyarakat), sedemikian rupa sehingga berbagai faktor lingkungan yang menguntungkan tersebut tidak sampai menimbulkan gangguan 23
kesehatan. Pada ibu balita yang memiliki lingkungan yang tidak sehat misalnya sumber air yang tercemar dan menimbulkan dampak pada pencemaran air yang biasa dikonsumsi sehari-hari.17 2.10.5 Status Gizi Balita Status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi makanan, penyimpanan,
dan
penggunaan
makanan.
Menurut
Robinson
(1999)
dalam
Reksodikusumo (1996), status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan yang dihubungkan dengan penggunaan makanan didalam tubuh. Menurut Habicht (1979) dalam Reksodikusumo (1996) mendefinisikan status gizi adalah tanda-tanda atau penampilan yang diakibatkan oleh keadaan keseimbangan di satu pihak dengan pengeluaran oleh organisme dan pihak lain yang terlihat melalui variabel tertentu, disebut indikator misalnya Berat Badan dan Tinggi Badan. Hubungan antara malnutrisi dengan infeksi, dimana derajat infeksi apapun dapat memperburuk keadaan gizi balita, sebaliknya malnutrisi walaupun masih ringan mempunyai pengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh balita terhadap infeksi. Kurang gizi juga berpengaruh terhadap diare. Pada anak yang kurang gizi karena pemberian makanan yang kurang, diare akut lebih berat, yang berakhir lebih lama dan lebih sering terjadi pada diare persisten juga lebih sering dan disentri lebih berat. Resiko meninggal akibat diare persisten atau disentri sangat meningkat, apabila anak sudah kurang gizi secara umum, hal ini sebanding dengan derajat kurang gizinya dan paling parah jika anak menderita gizi buruk. Pada penelitian yang diungkapkan oleh Hamisah Irma bahwa status gizi mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian diare. Penilaian status gizi pada balita secara antropometri, di mana metode ini didasarkan atas pengukuran keadaan fisik dan komposisi tubuh pada umur dan tingkat gizi yang baik. Dalam penilaian status gizi khususnya untuk keperluan klasifikasi, maka harus ada ukuran baku atau referensi. Baku antropometri yang digunakan NCHS atau National Center of Health Statistic USA adalah grafik perbandingan yang merupakan data baru yang dikatakan lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Berat badan tinggi badan pada balita dijadikan sebagai pengukuran di mana berat badan mempunyai hubungan linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal perkembangan berat badan sesuai dengan pertambahan tinggi badan dengan percepatan tertentu. Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang 24
baik untuk mengetahui status gizi saat ini, terlebih bila data umur yang sangat sulit diperoleh. Karena indeks BB/TB memberikan gambaran tentang proporsi BB, maka dalam penggunaannya indeks ini merupakan pada indikator kekurusan. Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Indeks BB/TB adalah indeks yang independen terhadap umur dan merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat kini (sekarang). Cara penyajian antropometri dari berbagai jenis indeks tersebut diatas, untuk menginterpretasikannya dibutuhkan ambang batas. Penentuanambang batas dapat disajikan ke dalam tiga cara yaitu: Persen terhadapmedian, Persentil dan Standard Deviasi Unit.16,18,24,25 2.10.6 Pola asuh ibu a.
Pemberian ASI ASI adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat makanan tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna diserap secara optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4-6 bulan, tidak ada makanan lain yang dibutuhkan selama masa ini. ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare pada bayi yang baru lahir. Pemberian ASI eksklusif mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Flora usus pada bayi yang sedang menyusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab diare. Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama kehidupan resiko terkena diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian susu formula merupakan cara lain dari menyusui. Penggunaan botol untuk susu formula biasanya menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga bisa mengakibatkan terjadinya gizi buruk.
b.
Pemberian makanan pendamping ASI Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut merupakan masa yang berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan 25
pendamping ASI dapat menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya diare ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian. Perilaku pemberian makanan pendamping ASI yang baik meliputi perhatian kapan, apa dan bagaimana makanan pendamping ASI diberikan. Ada beberapa saran yang dapat meningkatkan cara pemberian makanan pendamping ASI yang lebih baik yaitu :
Memperkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi masih meneruskan pemberian ASI. Menambahkan macam makanan sewaktu anak berumur 6 bulan atau lebih. Memberikan makanan lebih sering (4 kali sehari) setelah anak berumur 1 tahun , memberikan semua makanan yang dimasak dengan baik 4-6 kali sehari dan meneruskan pemberian ASI bila mungkin.
Menambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi/bubur dan biji-bijian untuk energi. Menambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang – kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau ke dalam makanannya. Mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan menyuapi anak, serta menyuapi anak dengan sendok yang bersih.
Memasak atau merebus makanan dengan benar, menyimpan sisa makanan pada tempat yang dingin dan memanaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak. c.
Mencuci tangan Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makanan anak dan sebelum makan, mempunyai dampak dalam kejadian diare.
2.11 Kesehatan lingkungan
2.11.1 Definisi Menurut UU No 23 / 1992 Tentang kesehatan “Keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.”18
26
Menurut WHO (World Health Organization), kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia. Apabila
disimpulkan
Pengertian
Kesehatan
Lingkungan
adalah
“Upaya
perlindungan, pengelolaan, dan modifikasi lingkungan yang diarahkan menuju keseimbangan ekologi pada tingkat kesejahteraan manusia yang semakin meningkat.”
2.11.2 Masalah-masalah kesehatan di Indonesia MasalahKesehatan
lingkungan
merupakan
masalah
kompleks
yang
untuk
mengatasinya dibutuhkan integrasi dari berbagai sector terkait. Di Indonesia permasalah dalam kesehatan lingkungan antara lain: 1. Air Bersih Airbersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat l angsung diminum. Syarat-syarat Kualitas Air Bersih diantaranya adalah sebagai berikut :26
Syarat Fisik : Tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna
Syarat Kimia : Kadar Besi : maksimum yang diperbolehkan 0,3 mg/l, Kesadahan (maks 500 mg/l)
Syarat Mikrobiologis : Koliform tinja/total koliform (maks 0 per 100 ml air) Penelitian yang dilakukan oleh Fiesta Octorina dkk mengatakan persentase penyediaan air bersih sebanyak 14,8% dan yang tidak bersih sebanyak 85,2%. Dari penelitian ini dapat dikatakan bahwa ada daerah di indonesia yang masih memiliki air tidak bersih untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bila ingin mengurangi angka kejadian diare angka ini harus ditekan.
2. Pembuangan Kotoran/Tinja Metode pembuangan tinja yang baik yaitu dengan jamban dengan syarat sebagai berikut :20 ~
Tanah permukaan tidak boleh terjadi kontaminasi
~
Tidak boleh terjadi kontaminasi pada air tanah yang mungkin memasuki mata air atau sumur
~
Tidak boleh terkontaminasi air permukaan 27
~
Tinja tidak boleh terjangkau oleh lalat dan hewan lain
~
Tidak boleh terjadi penanganan tinja segar ; atau, bila memang benar-benar diperlukan, harus dibatasi seminimal mungkin
~
Jamban harus babas dari bau atau kondisi yang tidak sedap dipandang
~
Metode pembuatan dan pengoperasian harus sederhana dan tidak mahal
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fiesta Octorina dkk mengatakan persentase jamban sehat sebanyak 29,5% dan jamban tidak sehat sebanyak 70,5%. Angka penggunaan jamban tidak sehat masih tinggi di beberapa daerah.27
3. Kesehatan Pemukiman Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
Memenuhi kebutuhan fisiologis, yaitu : pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu
Memenuhi kebutuhan psikologis, yaitu : privacy yang cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah
Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antarpenghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang cukup
Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain persyaratan garis sempadan jalan, konstruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir. 19
4. Pembuangan Sampah Teknik pengelolaan sampah yang baik dan benar harus memperhatikan faktor-faktor unsur, berikut:
Penimbulan sampah. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi sampah adalah jumlah penduduk dan kepadatanya, tingkat aktivitas, pola kehidupan/tk sosial ekonomi, letak geografis, iklim, musim, dan kemajuan teknologi
Penyimpanan sampah 28
Pengumpulan, pengolahan dan pemanfaatan kembali
Pengangkutan
Pembuangan
Dengan mengetahui unsur-unsur pengelolaan sampah, kita dapat mengetahui hubungan dan urgensinya masing-masing unsur tersebut agar kita dapat memecahkan masalah-masalah ini secara efisien. Pengaturan pembuangan sampah berpengaruh terhadap angka kejadian diare seperti yang diungkapkan oleh bhakti Rochman Tri bintoro, yaitu sanitasi lingkungan diantaranya sumber air, jenis jamban, kebersihan jamban dan pembuangan sampah serta pengelolaan air limbah mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian diare pada balita 28 Hasil penelitian Fiesta Octorina dkk yang mengatakan pembuangan sampah yang baik 3,4% dan yang kurang sebesar 96,6%. Dapat dilihat presentase pembuangan sampah yang kurang masih tinggi.
5. Serangga dan Binatang Pengganggu Serangga sebagai reservoir (habitat dan suvival) bibit penyakit yang kemudian disebut sebagai vektor misalnya : pinjal tikus untuk penyakit pes/sampar, Nyamuk Anopheles sp untuk penyakit Malaria, Nyamuk Aedes sp untuk Demam Berdarah Dengue (DBD), Nyamuk Culex sp untukPenyakit Kaki Gajah/Filariasis. Penanggulangan/pencegahan dari penyakit tersebut di antaranya dengan merancang rumah/tempat pengelolaan makanan dengan rat proff (rapat tikus), Kelambu yang dicelupkan dengan pestisida untuk mencegah gigitan Nyamuk Anopheles sp, Gerakan 3 M (menguras mengubur dan menutup) tempat penampungan air untuk mencegah penyakit DBD, penggunaan kasa pada lubang angin di rumah atau dengan pestisida untuk mencegah penyakit kaki gajah dan usaha-usaha sanitasi. Binatang pengganggu yang dapat menularkan penyakit misalnya anjing dapat menularkan penyakit rabies/anjing gila. Kecoa dan lalat dapat menjadi perantara perpindahan bibit penyakit ke makanan sehingga menimbulkan diare. Tikus dapat menyebabkan Leptospirosis dari kencing yang dikeluarkannya yang telah terinfeksi bakteri penyebab.29,30
29
6. Makanan dan Minuman Sasaran higiene sanitasi makanan dan minuman adalah restoran, rumah makan, jasa boga dan makanan jajanan (diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan/restoran, dan hotel). Persyaratan hygiene sanitasi makanan dan minuman tempat pengelolaan makanan meliputi:
Persyaratan lokasi dan bangunan
Persyaratan fasilitas sanitasi
Persyaratan dapur, ruang makan dan gudang makanan
Persyaratan bahan makanan dan makanan jadi
Persyaratan pengolahan makanan
Persyaratan penyimpanan bahan makanan dan makanan jadi
Persyaratan peralatan yang digunakan
Pencemaran Lingkungan
Pencemaran lingkungan diantaranya pencemaran air, pencemaran tanah, pencemaran udara. Pencemaran udara dapat dibagi lagi menjadi indoor air pollution dan out door air pollution. Indoor air pollution merupakan problem perumahan/pemukiman serta gedung umum, bis kereta api, dll. Masalah ini lebih berpotensi menjadi masalah kesehatan yang sesungguhnya, mengingat manusia cenderung berada di dalam ruangan ketimbang berada di jalanan. Diduga akibat pembakaran kayu bakar, bahan bakar rumah tangga lainnya merupakan salah satu faktor resiko timbulnya infeksi saluran pernafasan bagi anak balita. Mengenai masalah out door pollution atau pencemaran udara di luar rumah, berbagai analisis data menunjukkan bahwa ada kecenderungan peningkatan. Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbedaan resiko dampak pencemaran pada beberapa kelompok resiko tinggi penduduk kota dibanding pedesaan. Besar resiko relatif tersebut adalah 12,5 kali lebih besar. Keadaan ini, bagi jenis pencemar yang akumulatif,tentu akan lebih buruk di masa mendatang. Pembakaran hutan untuk dibuatlahan pertanian atau sekedar diambil kayunya ternyata membawa dampak serius, misalnya infeksi saluran pernafasan akut, iritasi pada mata, terganggunya jadual penerbangan, terganggunya ekologi hutan. 31
30
2.12 Kerangka teori
Faktor anak
Faktor ibu
Usia anak
Usia ibu
Status gizi
Pendidikan
Pemberian ASI eksklusif
Pengetahuan Pekerjaan
Imunisasi campak
Penghasilan Kebiasaan mencuci tangan
Kebersihan tan an dan kuku
Pola Asuh Faktor lingkungan
Diare pada anak balita
Sumber air bersih Pembuangan kotoran/sampah Kesehatan rumah Kepadatan rumah Pembuangan sampah Seranggan dan binatang pengganggu Hygiene sanitasi makanan dan minuman
Psikologis
Malabsorbsi Infeksi
Dehidrasi
Osmotik
Hipoglikemia Gangguan keseimbangan asam dan basa
Syok
31
2.13 Kerangka konsep
Pendidikan Ibu
Pekerjaan Ibu
Pola Asuh
Pengetahuan Ibu
Kebiasaan Cuci Tangan
Status Gizi Anak
Status Imunisasi Campak
Pendapatan Keluarga
Diare pada anak balita
ada tidaknya sumber air bersih, jamban sehat, pembuangan sampah
32
BAB III Metode Penelitian 3.1
Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah metode cross sectional deskripti f untuk mengetahui hubungan antara kejadian diare anak usia 10-24 bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I periode Agustus 2014.
3.2
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 5 Agustus – 3 September 2014 di Puskesmas Kelurahan Grogol 1 dan rumah ibu yang menjadi responden.
3.3
Populasi
Semua anak 10-24 bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol 1 periode Agustus 2014.
3.4
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi adalah semua anak balita berusia 10-24 bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol 1 periode Agustus 2014 memiliki kartu imunisasi, serta ibunya bersedia untuk diwawancara. Kriteria eksklusi adalah anak balita yang alergi susu sapi
3.5
Besar Sampel
Melalui rumus dibawah ini, didapatkan besar sampel penelitian sebagai berikut :
n2
= n1 + (10%. n1)
n1
= jumlah sampel minimal
n2
= jumlah sampel ditambah substitusi 10% (substitusi adalah persen responden yang mungkin drop out)
z = nilai konversi pada tabel kurva normal, dengan nilai = 5% didapatkan z pada kurva normal = 1,96 p
= proporsi variabel yang ingin diteliti. Diambil 20% berdasarkan prevalensi
kejadian diare di Indonesia.1 q
= 100% - p = 100% - 20% = 80% = 0,8 33
L
= Derajat kesalahan yang masih diterima adalah 10%
Berdasarkan rumus diatas, didapatkan angka : n1 = n1
= 61.46
untuk menjaga adanya kemungkinan responden yang drop out, maka dihitung : n2
= 61.46 + (10% x 61,46)
n2
= 67.5 dibulatkan menjadi 68 responden
Jadi, jumlah sampel minimal yang dibutuhkan adalah 68 orang
3.6
Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan cara simple random sampling.
3.7
-
Cara Kerja
Menghubungi kepala puskesmas Kelurahan Grogol 1 yang menjadi daerah penelitian untuk melaporkan tujuan diadakannya penelitian tersebut.
-
Mengumpulkan bahan ilmiah dan merencanakan desain peneliti an.
-
Menentukan jumlah sampel minimal 68 anak berusia 10 bulan – 24 bulan yang berada di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Grogol 1.
-
Pemilihan sample dilakukan secara probability dengan simple random sampling .
-
Membuat kuesioner sebagai instrumen pengukuran data.
-
Melakukan uji coba kuesioner pada 7 responden (10% dari jumlah subjek penelitian yang telah ditentukan) di Puskesmas Kelurahan Grogol 2.
-
Melakukan koreksi kuesioner
-
Melakukan pengumpulan data-data dengan menggunakan instrumen penelitian berupa timbangan bayi, imunisasi dan kuesioner di Puskesmas Kelurahan Grogol 1.
-
Melakukan pengamatan terhadap lingkungan tempat tinggal dari subjek penelitian.
-
Melakukan pengolahan, analisis, dan interpretasi data dengan program SPSS.
-
Penulisan laporan penelitian.
-
Pelaporan penelitian.
34
3.7.1 Pengumpulan Data
Data primer dikumpulkan dengan melihat status imunisasi pada kartu imunisasi, mengukur berat badan anak dengan timbangan bayi, menilai status gizi berdasarkan kurva berat badan terhadap umur, dan kuesioner.
3.8
Identifikasi Variabel
Dalam penelitian ini digunakan variabel terikat (dependen) dan variabel bebas (independen). a. Variabel terikat berupa kejadian diare pada anak balita. b. Variabel bebas berupa status imunisasi campak, status gizi anak, pola asuh ibu, pengetahuan ibu, pendidikan ibu dan ayah, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, kebiasaan mencuci tangan, jamban, ketersediaan air, dan pembuangan sampah .
3.9
Manajemen dan Analisis Data
Terhadap data-data yang sudah dikumpulkan dilakukan pengolahan berupa proses editing, verifikasi, dan koding. Selanjutnya dimasukkan dan diolah dengan menggunakan program SPSS. Data yang didapat akan disajikan dalam bentuk tekstular dan tabuler. Terhadap data yang telah diolah dilakukan analasis dengan cara uji statistik menggunakan uji Chi-square dan Kolmogorov-Smirnov yang sesuai. Kemudian data diinterpretasikan secara deskriptif korelatif antar variabel-variabel yang telah ditentukan.
3.10 Definisi Operasional
1. Subjek penelitian: semua anak usia 10-24 bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I periode Agustus 2014. 2. Responden penelitian: ibu-ibu yang mempunyai anak usia 10-24 bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I. 3. Kejadian diare a. Definisi : Suatu keadaan dimana terjadi buang air besar cair atau mencret dengan frekuensi lebih dari 3 kali sehari dalam kurun waktu 2 bulan terakhir yang dialami oleh balita yang terpilih sebagai sampel. b. Alat ukur : Kuesioner c. Hasil : (0)Tidak diare (1)Diare d. Skala pengukuran : Nominal 35
4. Status imunisasi campak a. Definisi : Usaha memberikan kekebalan pada bayi terhadap penyakit campak dengan memasukkan vaksin berupa virus yang dilemahkan ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit campak dan dilakukan pada saat bayi berusia 9 bulan. b. Alat ukur : Kartu imunisasi c. Hasil : (0) Belum diimunisasi campak (1) Sudah diimunisasi campak d. Skala pengukuran : Nominal
5. Status gizi anak a. Definisi : Keadaan tubuh balita yang diukur dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U) lalu dibandingkan dengan standar WHO dan dikelompokkan berdasarkan nilai Z score pada standar. b. Alat ukur : Kurva berat badan terhadap umur c. Hasil : Hasil didapatkan dengan mengukur berat badan anak dengan timbangan. Setelah didapatkan data berat badan anak, dimasukkan pada kurva z score menurut WHO (BB/U) (0) Normal : titik temu di antara garis median dan garis z-score -2 (1) Kurang gizi : titik temu di antara garis z-score -2 dan -3 (2) Gizi buruk : titik temu garis < z-score -3 d. Skala pengukuran : Ordinal
6. Kebiasaan mencuci tangan a. Definisi : Perilaku ibu untuk mencuci tangan dengan sabun ataupun pembersih tangan berbentuk gel, pada saat berkontak dengan makanan serta sesudah BAB dan BAK, dilakukan dengan kondisi air yang mengalir ataupun tidak mengalir, serta diterapkan pada seluruh anggota keluarganya. b. Alat ukur : Kuesioner c. Hasil : Tiap pertanyaan mempunyai nilai tertinggi 5 dan terendah 1. Maksimal score = 15 36
Minimal score = 3 Interval = 12 (0) Baik : jika skor > 12 atau 80% Perhitungan: (80/100 x 12) + 3 =12.6 = 12 (dibulatkan) (1) Cukup : Jika skor di antara 9 – 12 (2) Kurang : jika skor < 9 atau 50% Perhitungan : (50/100 x 12) +3 = 9 d. Skala pengukuran : Ordinal
7. Pola asuh ibu a. Definisi : sekumpulan sikap yang diterapkan orang tua dalam mengasuh anaknya, termasuk di dalamnya hal pemberian ASI eksklusif, pemberian susu formula, penggunaan botol susu steril, dan cara merebus air untuk kebutuhan balita. b. Alat ukur : Kuesioner c. Hasil : Tiap pertanyaan mempunyai nilai tertinggi 5 dan terendah 1 Skor maksimal = 30 Skor minimal = 6 Interval = 24 (0) Baik : jika skor > 25 atau 80% Perhitungan : (80/100 x 24) + 6 = 25,2 = 25 ( dibulatkan) >25 (1) Cukup : Jika skor di antara 18 - 25 (2) Kurang : jika skor< 18 atau 50% Perhitungan : (50/100 x 24 ) + 6 = 18 (<18) d. Skala pengukuran : Ordinal
8. Pengetahuan ibu a. Definisi : Pemahaman tentang diare yang diukur berdasarkan nilai atau skor terhadap jawaban yang benar. b. Alat ukur : Kuesioner c. Hasil : Tiap pertanyaan mempunyai nilai tertinggi 5 dan terendah 1 Skor maksimal = 40 Skor minimal = 8 37
Interval = 32 (0) Baik : jika skor > 33 atau 80% Perhitungan: (80/100 x 32) + 8 = 33,6 = 33 ( dibulatkan) >33 (1) Cukup : Jika skor di antara 24 - 33 (2) Kurang : jika <24 atau 50% Perhitungan : (50/100 x 32 ) + 8 = 24 ( <24) d. Skala pengukuran : Ordinal
9. Pendidikan ibu a. Definisi : Pendidikan formal terakhir yang sedang atau pernah dicapai oleh subjek dengan kriteria : 1) Tidak sekolah 2) SD 3) SMP 4) SMA 5) Perguruan Tinggi b. Alat ukur : Kuesioner c. Hasil : (0) Tinggi (perguruan tinggi) (1) Sedang (SMP atau SMA) (2) Rendah (tidak sekolah atau SD) d. Skala pengukuran : Ordinal
10. Pekerjaan ibu a. Definisi : Suatu kegiatan atau aktivitas ibu sehari – hari sehingga mempengaruhi waktu untuk mengasuh anaknya. b. Alat ukur : Kuesioner c. Hasil : (1) Bekerja : memiliki pekerjaan di luar rumah (0) Tidak bekerja : ibu rumah tangga d. Skala pengukuran : Nominal 11. Pendapatan keluarga a. Definisi : Kondisi keuangan atau penghasilan yang diperoleh keluarga per bulan disesuaikan dengan upah minimum regional DKI Jakarta b. Alat ukur : Kuesioner c. Hasil : (0) Tinggi : > Rp 2.200.000,00 38
(1) Rendah :
berasal dari PAM dan selalu dalam wadah tertutup.
(1) Tidak ada :
berasal
dari
sumber
air
selain
PAM
dan
dalam
penyimpanannya tidak selalu dalam wadah tertutup. d. Skala pengukuran : Nominal
13. Pembuangan sampah a. Definisi : Tempat penampungan sampah sementara dari rumah dan lingkungan baik sampah organik atau anorganik serta kebiasaan petugas kebersihan dalam mengangkut sampah rumah tangga menuju tempat pembuangan akhir. b. Alat ukur : Kuesioner dan observasi c. Hasil : Tiap pertanyaan mendapatkan skor tertinggi 5 dan terendah 1 Skor maksimal = 10 Skor minimal 2 Interval = 8 (0) Baik : jika skor > 8 atau 80% Perhitungan: (80/100 x 8) + 2 = 8,4 = 8 ( dibulatkan) >8 (1) Cukup : Jika skor di antara 6 - 8 (2) Kurang : jika < 6 atau 50% Perhitungan : (50/100 x 8 ) + 2 = 6 (<6) d. Skala pengukuran : Ordinal 14. Penggunaan jamban a. Definisi : suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan mengumpulkan kotoran. b. Alat ukur : Kuesioner dan observasi c. Hasil : (0) Jamban sehat Dikatakan jamban sehat jika: 39
Letak sumber penampungan berjarak 10 meter atau lebih
Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok sehingga tidak mencemari tanah di sekitarnya
Dilengkapi dinding dan atap pelindung
Ventilasi cukup baik
Tersedia air dan alat pembersih
(1) Jamban tidak sehat Dikatakan tidak sehat sehat jika:
Letak sumber penampungan air berjarak kurang dari 10 meter
Tidak dilengkapi dinding dan atap pelindung
Ventilasi tidak cukup baik
Tidak tersedia air dan alat pembersih
d. Skala pengukuran : nominal
3.11 Etika Penelitian
Data responden yang mengisi kuesioner pada penelitian ini akan dirahasiakan dan setiap responden mempunyai hak untuk menolak diikutsertakan dalam penelitian.
40
Bab IV Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Grogol I hubungan antara kejadian diare pada anak usia 10-24 bulan dengan status imunisasi campak serta faktor-faktor yang berhubungan pada periode bulan Agustus 2014, maka diperoleh hasil dari pengumpulan data pada 68 sampel penelitian.
Tabel 4.1. Sebaran Kejadian Diare pada Anak Usia 10-24 Bulan di Puskesmas Kelurahan
Grogol I Periode Agustus 2014 Kejadian Diare
Frekuensi
Persentase
Tidak diare
39
57.4
Diare
29
42.6
Total
68
100.0
Tabel 4.2. Sebaran Status Imunisasi Campak Anak Usia 10-24 Bulan di Puskesmas
Kelurahan Grogol I Periode Agustus 2014 Status Imunisasi Campak
Frekuensi
Persentase
Belum imunisasi campak
47
69.1
Sudah imunisasi campak
21
30.9
Total
68
100.0
Tabel 4.3. Sebaran Tingkat Pengetahuan Ibu Mengenai Penyakit Diare pada Anak Usia 10-
24 Bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I Periode Bulan Agustus 2014 Tingkat Pengetahuan
Frekuensi
Persentase
Baik
42
61.8
Cukup
24
35.3
Kurang
2
2.9
Total
68
100.0
41
Tabel 4.4. Sebaran Status Gizi Anak Usia 10-24 Bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I
Periode Bulan Agustus 2014 Status Gizi
Frekuensi
Persentase
Gizi baik
49
72.1
Kurang gizi
19
27.9
Total
68
100.0
Tabel 4.5. Sebaran Pola Asuh Ibu kepada Anak Usia 10-24 Bulan di Puskesmas Kelurahan
Grogol I Periode Bulan Agustus 2014. Pola Asuh Ibu
Frekuensi
Persentase
Baik
51
75.0
Cukup
14
20.6
Kurang
3
4.4
Total
68
100.0
Tabel 4.6. Sebaran Perilaku Cuci Tangan Ibu di Puskesmas Kelurahan Grogol I Periode
Bulan Agustus 2014 Perilaku Cuci Tangan
Frekuensi
Persentase
Baik
26
38.2
Cukup
37
54.4
Kurang
5
7.4
Total
68
100.0
Tabel 4.7. Sebaran Tingkat Pendidikan Ibu di Puskesmas Kelurahan Grogol I Periode Bulan
Agustus 2014 Tingkat Pendidikan Ibu
Frekuensi
Persentase
Tinggi
4
5.9
Sedang
57
83.8
Rendah
7
10.3
Total
68
100.0
42
Tabel 4.8. Sebaran Pekerjaan Ibu yang Mempunyai Anak Usia 10-24 Bulan di Puskesmas
Kelurahan Grogol I Periode Agustus 2014 Pekerjaan Ibu
Frekuensi
Persentase
Tidak bekerja
53
77.9
Bekerja
15
22.1
Total
68
100.0
Tabel 4.9. Sebaran Pendapatan Keluarga yang Mempunyai Anak Usia 10-24 Bulan di
Puskesmas Kelurahan Grogol I Periode Agustus 2014. Pendapatan Keluarga
Frekuensi
Persentase
Tinggi
53
77.9
Rendah
15
22.1
Total
68
100.0
Tabel 4.10. Sebaran Keadaan Air, Jamban, dan Pembuangan Sampah pada Keluarga yang
Mempunyai Anak Usia 10-24 Bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I Periode Bulan Agustus 2014 Variabel
Frekuensi
Persentase
Bersih
37
54.4
Tidak bersih
31
45.6
Total
68
100.0
Sehat
67
98.5
Tidak sehat
1
1.5
Total
68
100.0
Baik
26
38.2
Cukup
34
50.0
Kurang
8
11.8
Total
68
100.0
Keadaan Air
Jamban
Pembuangan Sampah
43
Tabel 4.11. Hubungan antara Status Imunisasi Campak, Tingkat Pengetahuan Ibu, Pola
Asuh, Status Gizi, Pendidikan Ibu, Pekerjaan Ibu, Perilaku Cuci Tangan, Pendapatan Keluarga, Keadaan Air, Jamban, dan Pembuangan Sampah dengan Kejadian Diare pada Anak Usia 10-24 Bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I Periode Bulan Agustus 2014 Variabel Status imunisasi campak Belum Sudah Tingkat pengetahuan ibu Baik Cukup* Kurang* Pola asuh ibu Baik Cukup* Kurang* Status gizi anak Gizi baik Kurang gizi Tingkat pendidikan ibu Tinggi* Sedang* Rendah Pekerjaan ibu Tidak bekerja Bekerja Perilaku cuci tangan Baik Cukup Kurang Pendapatan keluarga Tinggi Rendah Sumber air bersih Tersedia Tidak tersedia Jamban keluarga Sehat Tidak sehat Pembuangan sampah Baik Cukup* Kurang* * Pada uji statistik digabung
Kejadian Diare Tidak Diare Diare
Uji
Df
Hipotesis Nol
1
Gagal ditolak
28 11
19 10
X2 0,579
22 16 1
20 8 1
X2 0,292
2
Gagal ditolak
29 8 2
22 6 1
X2 0,887
2
Gagal ditolak
29 10
20 9
X2 0,624
1
Gagal ditolak
2 34 3
2 23 4
KS 0,00
2
Ditolak
27 12
26 3
X2 0,045
1
Ditolak
11 25 3
15 12 2
X2 0,048
2
Ditolak
31 8
22 7
X2 0,721
1
Gagal ditolak
24 15
13 16
X2 0,071
1
Ditolak
38 1
29 0
KS 0,00
1
Ditolak
14 20 5
12 14 3
X2 0,645
2
Gagal ditolak
44
Hasil uji bivariat antara variabel independent dan dependent adalah sebagai berikut. a. Hubungan antara status imunisasi campak dengan kejadian diare pada anak usia 10-24 bulan Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square sebab kedua variabel termasuk skala kategorik dan seluruh sel memiliki nilai expected lebih dari 5. Berdasarkan uji ChiSquare, didapatkan nilai p = 0,579, di mana nilai p > 0,05, maka Ho gagal ditolak. b. Hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian diare pada anak usia 10-24 bulan Dalam uji ini, didapatkan 2 sel atau 33,3% yang memiliki nilai expected kurang dari 5, maka tidak dapat digunakan uji Chi-Square. Tidak dapat digunakan uji Fisher sampel lebih dari 30 dan tidak dapat digunakan uji Kolmogorov Smirnov karena tabel 3x2. Maka dilakukan penggabungan antara kategori cukup dan kurang, kemudian diuji lagi dengan uji Chi-Square karena semua sel memiliki nilai expected lebih dari 5, diperoleh nilai p = 0,292, di mana nilai p > 0,05, maka Ho gagal ditolak. c. Hubungan antara pola asuh ibu dengan kejadian diare pada anak usia 10-24 bulan Dalam uji ini, didapatkan 2 sel atau 33,3% yang memiliki nilai expected kurang dari 5, maka tidak dapat digunakan uji Chi-Square. Tidak dapat digunakan uji Kolmogorov Smirnov karena tabel 3x2. Maka dilakukan penggabungan antara kategori cukup dan kurang, kemudian diuji lagi dengan uji Chi-Square karena semua sel memiliki nilai expected lebih dari 5, diperoleh nilai p = 0,887, di mana nilai p > 0,05, maka Ho gagal ditolak. d. Hubungan antara status gizi dengan kejadian diare pada anak usia 10-24 bulan Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square sebab kedua variabel termasuk skala kategorik dan seluruh sel memiliki nilai expected lebih dari 5. Berdasarkan uji ChiSquare, didapatkan nilai p = 0,624, di mana nilai p > 0,05, maka Ho gagal ditolak. e. Hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian diare pada anak usia 10-24 bulan. Dalam uji ini, didapatkan 4 sel atau 66,7% yang memiliki nilai expected kurang dari 5, maka tidak dapat digunakan uji Chi-Square. Tidak dapat digunakan uji Kolmogorov Smirnov karena tabel 3x2. Maka dilakukan penggabungan antara kategori tinggi dan sedang, namun tetap tidak dapat digunakan uji Chi-Square karena ada 2 sel atau 33,3% memiliki nilai expected kurang dari 5. Maka digunakan uji Kolmogorov Smirnov dan didapatkan nilai p = 0,00, di mana nilai p < 0,05, maka Ho ditolak. 45
f. Hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian diare pada anak usia 10-24 bulan Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square sebab kedua variabel termasuk skala kategorik dan seluruh sel memiliki nilai expected lebih dari 5. Berdasarkan uji ChiSquare, didapatkan nilai p = 0,045, di mana nilai p < 0,05, maka Ho ditolak. g. Hubungan antara perilaku cuci tangan ibu dengan kejadian diare pada anak usia 10-24 bulan. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square sebab kedua variabel termasuk skala kategorik dan seluruh sel memiliki nilai expected lebih dari 5. Berdasarkan uji ChiSquare, didapatkan nilai p = 0,048, di mana nilai p < 0,05, maka Ho ditolak. h. Hubungan antara pendapatan keluarga dengan kejadian diare pada anak usia 10-24 bulan Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square sebab kedua variabel termasuk skala kategorik dan seluruh sel memiliki nilai expected lebih dari 5. Berdasarkan uji ChiSquare, didapatkan nilai p = 0,721, di mana nilai p > 0,05, maka Ho gagal ditolak. i.
Hubungan antara sumber air bersih dengan kejadian diare pada anak usia 10-24 bulan Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square sebab kedua variabel termasuk skala kategorik dan seluruh sel memiliki nilai expected lebih dari 5. Berdasarkan uji ChiSquare, didapatkan nilai p = 0,048, di mana nilai p < 0,071, maka Ho ditolak.
j.
Hubungan antara jamban keluarga dengan kejadian diare pada anak usia 10-24 bulan Dalam uji ini, didapatkan 2 sel atau 50% yang memiliki nilai expected kurang dari 5, maka tidak dapat digunakan uji Chi-Square. Digunakan uji Kolmogorov Smirnov dan didapatkan nilai p = 0,00, di mana nilai p < 0,05, maka Ho ditolak.
k. Hubungan antara pembuangan sampah dengan kejadian diare pada anak usia 10-24 bulan. Dalam uji ini, didapatkan 2 sel atau 33,3% yang memiliki nilai expected kurang dari 5, maka tidak dapat digunakan uji Chi-Square. Tidak dapat digunakan uji Kolmogorov Smirnov karena tabel 3x2. Maka dilakukan penggabungan antara kategori tinggi dan sedang, kemudian diuji lagi dengan uji Chi-Square karena semua sel memiliki nilai expected lebih dari 5 dan diperoleh nilai p=0,645, di mana p>0,05 maka Ho gagal ditolak.
46
Bab V Pembahasan
5.1. Angka Kejadian Diare pada Anak Usia 10-24 Bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I Periode Agustus 2014
Pada penelitian ini, didapatkan frekuensi kejadian diare pada bulan Agustus 2014 sebesar 42,6% responden, sedangkan yang tidak mengalami diare sebesar 57,4% responden. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Edwin, dimana didapatkan sebesar 39% anak balita yang menderita diare dan yang tidak diare sebesar 61%.21
5.2. Sebaran Status Imunisasi Campak Anak Usia 10-24 Bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I Periode Periode Agustus 2014
Berdasarkan status imunisasi campak, didapatkan 69,1% subjek yang belum diimunisasi dan 30,9% subjek yang sudah mendapatkan imunisasi campak. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ida, dimana didapatkan sebesar 21,67% yang belum mendapat imunisasi campak, sedangkan 78,33% subjek yang sudah mendapatkan imunisasi campak. 25 Perbedaan sebaran status imunisasi dengan penelitian terdahulu
disebabkan karena
perbedaan populasi, besar sampel, dan lokasi penelitian.
5.3. Sebaran Tingkat Pengetahuan Ibu Mengenai Penyakit Diare pada Anak Usia 1024 Bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I Periode Agustus 2014
Berdasarkan tingkat pengetahuan ibu mengenai penyakit diare pada anak, didapatkan sebesar 61,8% responden dengan tingkat pengetahuan baik, 35,3% responden dengan tingkat pengetahuan cukup, dan sebesar 2,9% responden dengan tingkat pengetahuan kurang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Edwin, dimana didapatkan sebesar 63% responden yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik, 37% responden yang mempunyai tingkat pengetahuan cukup, dan sebesar 0% responden dengan tingkat pengetahuan yang kurang. 21 Penelitian lain juga dilakukan oleh Wiwin dkk, dimana didapatkan 48,5% responden mempunyai tingkat pengetahuan baik, 30,9% responden mempunyai tingkat pengetahuan kurang dan 20,6% responden mempunyai tingkat pengetahuan kurang.20
47
5.4. Sebaran Status Gizi Anak Usia 10-24 Bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I Periode Bulan Agustus 2014
Berdasarkan status gizi, didapatkan 72,1% subjek mempunyai gizi baik dan 27,9% subjek mempunyai gizi kurang. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ida, menunjukkan bahwa 66,67% balita berstatus gizi baik, 23,33% gizi kurang. 25
5.5. Sebaran Pola Asuh Ibu Kepada Anak Usia 10-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Grogol I Periode Agustus 2014
Berdasarkan pola asuh ibu, didapatkan 75% responden mendapatkan pola asuh yang baik, 20,6% responden mendapatkan pola asuh yang cukup, dan 4,4% responden mendapatkan pola asuh yang kurang. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Theresia yang menunjukkan sebesar 88,6% pola asuh ibu adalah baik dan hanya 11,4% pola asuh ibu sedang. 32 Perbedaan sebaran pola asuh dengan penelitian terdahulu disebabkan karena perbedaan populasi, besar sampel, dan lokasi penelitian.
5.6. Sebaran Perilaku Cuci Tangan Ibu di Puskesmas Kelurahan Grogol I Periode Bulan Agustus 2014
Pada penelitian didapatkan sebaran perilaku cuci tangan yang baik pada ibu sebesar 38,2%, perilaku cuci tangan yang cukup sebesar 54,4%, dan perilaku yang kurang sebesar 7,4%. Hasil ini berbeda dengan penelitian Fiesta Octorina dkk yang mengatakan persentase perilaku cuci tangan yang baik sebesar 43,2% dan yang kurang adalah sebesar 46,8%. 27 Perbedaan sebaran perilaku cuci tangan dengan penelitian terdahulu
disebabkan karena
perbedaan populasi, besar sampel, dan lokasi penelitian.
5.7. Sebaran Tingkat Pendidikan Ibu di Puskesmas Kelurahan Grogol I Periode Bulan Agustus 2014
Pada penelitian ini sebesar 5.9% responden memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, 83.8% responden memiliki tingkat pendidikan sedang dan 10.3 % memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Edwin Sirait yang mengatakan persentase ibu yang berpendidikan tinggi sebanyak 3%, sedang 77%, dan rendah 20%.21
48
5.8. Sebaran Pekerjaan Ibu yang Mempunyai Anak Usia 10-24 Bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I Periode Agustus 2014
Pada penelitian ini didapatkan persentase sebanyak 77.9% responden tidak bekerja dan 22.1% bekerja. Hasil ini sesuai dengan penelitian Edwin Sirait yang mengatakan 89% ibu tidak bekerja dan 11% ibu yang bekerja. 21
5.9. Sebaran Pendapatan Keluarga yang Mempunyai Anak Usia 10-24 Bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I Periode Agustus 2014
Pada penelitian ini sebesar 77.9% responden memiliki pendapatan tinggi sedangkan 22.1% sisanya memiliki pendapatan rendah. Hasil ini berbeda dengan penelitian terdahulu oleh Safrudin Agus dkk di mana presentasi responden dengan pendapatan tinggi sebanyak 42% dan yang rendah sebanyak 58%. 22 Perbedaan sebaran pendapatan keluarga dengan penelitian terdahulu
disebabkan karena perbedaan populasi, besar sampel, dan lokasi
penelitian.
5.10. Sebaran Sumber Air Bersih, Jamban, dan Pembuangan Sampah pada Keluarga yang Mempunyai Anak Usia 10-24 Bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I Periode Agustus 2014
Pada penelitian ini sebesar 54.4% responden memiliki air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, 45,6% memiliki air tidak bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Fiesta Octorina dkk yang mengatakan persentase penyediaan air bersih sebanyak 14,8% dan yang tidak bersih sebanyak 85,2%. 27 Perbedaan sebaran sumber air bersih dengan penelitian terdahulu disebabkan karena perbedaan populasi, besar sampel, dan lokasi penelitian. Hasil penelitian mengenai jamban yang digunakan adalah 98.5% memiliki jamban sehat, 1.5% memiliki jamban tidak sehat. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Fiesta Octorina dkk yang mengatakan persentase jamban sehat sebanyak 29,5% dan jamban tidak sehat sebanyak 70,5%.27 Perbedaan sebaran jamban keluarga dengan penelitian terdahulu disebabkan karena perbedaan populasi, besar sampel, dan lokasi penelitian. Hasil penelitian mengenai pembuangan sampah adalah 38.2% memiliki pembuangan sampah yang baik, 50% memiliki pembuangan sampah yang cukup, dan 11.8% memiliki pembuangan sampah yang kurang. Hasil ini berbeda dengan penelitian Fiesta Octorina dkk yang mengatakan pembuangan sampah yang baik 3,4% dan yang kurang sebesar 96,6%. 27
49
Perbedaan sebaran pembuangan sampah dengan penelitian terdahulu disebabkan karena perbedaan populasi, besar sampel, dan lokasi penelitian.
5.11 Hubungan antara Status Imunisasi Campak, Tingkat Pengetahuan Ibu, Pola Asuh, Status Gizi, Pendidikan Ibu, Pekerjaan Ibu, Kebiasaan Mencuci Tangan, Sumber Air Bersih, Jamban, dan Pembuangan Sampah Kejadian Diare pada Anak Usia 10-24 Bulan di Puskesmas Kelurahan Grogol I Periode Bulan Agustus 2014
Hubungan antara status imunisasi campak pada balita dengan kejadian diare melalui uji Chi Square ternyata didapatkan X 2 = 0,579. Karena p>0.05 maka Ho gagal ditolak artinya tidak ada hubungan bermakna antara status imunisasi campak pada balita dengan kejadian diare. Hasil ini sesuai dengan penelitian Tazkiyyatul dkk yang mengatakan tidak ada hubungan signifikan antara status imunisasi dengan kejadian diare. 7 Hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian diare melalui uji Chi Square ternyata didapatkan X2 = 0,292. Karena p > 0.05 maka Ho gagal ditolak artinya tidak ada hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian diare. Berbeda dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh yance warman. Pada penelitian yang dilakukan Yance Warman mengenai hubungan faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan didapatkan pengetahuan ibu berpengaruh terhadap kejadian diare. 19 Hal ini mungkin disebabkan oleh pembagian tingkat pengetahuan oleh peneliti berbeda dengan pembagian tingkat pengetahuan pada penelitian yang dilakukan oleh Yance Warman. Peneliti membagi tingkat pengetahuan menjadi tiga tingkatan (baik, cukup , dan kurang) sedangkan penelitian yang ada membagi tingkat pengetahuan ibu menjadi dua tingkatan (kategori tinggi dan sedang). Selain karena perbedaan pembagian kategori, perbedaan hasil ini disebabkan juga karena perbedaan dilakukannya lokasi penelitian. Hubungan antara pola asuh ibu dengan kejadian diare melalui uji Chi Square ternyata didapatkan X2=0,887. Karena p>0.05 maka Ho gagal ditolak artinya tidak ada hubungan bermakna antara pola asuh ibu dengan kejadian diare. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayu Rosyidah Yaumil Hajji, bahwa didapatkan hubungan bermakna antara pola asuh ibu dengan kejadian diare. Perbedaan hasil ini disebabkan karena pembagian tingkatan pola asuh yang digunakan oleh peneliti berbeda dengan penelitian pembanding. Peneliti membagi tingkatan pola asuh menjadi tiga tingkatan didasarkan pada pola pemberian susu pada anak (ASI dan susu formula) serta pola cuci tangan. Sedangkan penelitian yang ada 50
membagi pola asuh berdasarkan ada tidaknya penolong dalam mengasuh anak dan tipe-tipe pola asuh yang diterapkan. Selain perbedaan pada pembagian kategori perbedaan hasil disebabkan juga karena adanya perbedaan pada lokasi penelitian. Hubungan antara status gizi anak dengan kejadian diare melalui uji Chi Square ternyata didapatkan X2=0.624. karena p>0.05 maka Ho gagal ditolak artinya tidak ada hubungan bermakna antara status gizi anak dengan kejadian diare. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Irma Hamiza. 24 Pada penelitian tersebut didapatkan hubungan bermakna antara status gizi anak dengan kejadian diare. Perbedaan ini mungkin disebabkan adanya perbedaan lokasi penelitian yang dilakukan. Hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian diare melalui uji Kolmogorov Smirnov ternyata didapatkan KS=0,00. Karena p<0,05 maka Ho ditolak artinya terdapat hubungan bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian diare. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Joko Irianto dkk mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya diare pada balita. Hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian diare melalui uji Chi Square ternyata didapatkan X2=0,045. Karena p>0,05 maka Ho gagal ditolak artinya tidak ada hubungan bermakna antara pekerjaan ibu dengan kejadian diare.hal ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh R hasan dan R Alatas pada buku Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1 yang mengatakan bahwa terdapat hubungan bermakna antara pekerjaan ibu dengan kejadian diare. Ketidak sesuaian ini diakibatkan karena sebagian besar responden (77,9%) tidak bekerja.
Hubungan antara perilaku cuci tangan dengan kejadian diare melalui uji Chi Square ternyata diapatkan X2=0,048. Karena p<0,05 maka Ho ditolak artinya terdapat hubungan bermakna antara perilaku cuci tangan dengan kejadian diare. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan pada tinjauan pustaka bahwa terdapat hubungan bermakna antara perilaku cuci tangan dengan kejadian diare. Hubungan antara penghasilan keluarga dengan kejadian diare melalui uji Chi Square ternyata didapatkan X2=0,721. Karena p>0,05 maka Ho gagal ditolak artinya tidak ada hubungan bermakna antara penghasilan keluarga dengan kejadian diare.hal ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh iskandar zulkarnaen. 23 Hubungan antara ketersediaan air bersih dengan kejadian diare melalui uji Chi Square ternyata didapatkan X2=0,171. Karena p<0,05 maka Ho ditolak artinya terdapat hubungan bermakna antara ketersediaan air bersih dengan kejadian diare. Hal ini sesuai dengan yang 51
dikemukakan pada tinjauan pustaka. Dikemukakan oleh Soekidjo Notoatmodjo pada buku Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku bahwa ketersediaan air bersih untuk kebutuhan seharihari mempengaruhi kejadian diare pada balita. 18 Hubungan antara jamban keluarga dengan kejadian diare melalui uji Kolmogorov Smirnov ternyata didapatkan KS=0,00. Karena p<0,05 maka Ho ditolak artinya didapatkan hubungan bermakna antara jamban keluarga dengan kejadian diare. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan pada tinjauan pustaka bahwa di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan resiko terhadap penyakit diare. Hubungan antara pembuangan sampah dengan kejadian diare melalui uji Chi Square ternyata didapatkan X2= 0,645. Karena p>0,05 maka Ho gagal ditolak artinya tidak ada hubungan bermakna antara pembuangan sampah dengan kejadian diare. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh bhakti Rochman Tri bintoro, yaitu sanitasi lingkungan diantaranya sumber air, jenis jamban, kebersihan jamban dan pembuangan sampah serta pengelolaan air limbah mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian diare pada balita. 28 Perbedaan hasil yang didapat mungkin disebabkan adanya perbedaan lokasi tempat penelitian dilakukan.
52
Bab VI Kesimpulan dan Saran
6.1
Kesimpulan
Dari hasil penelitian mengenai hubungan antara kejadian diare anak usia 10-24 bulan dengan status imunisasi campak beserta faktor-faktor yang berhubungan di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Grogol I periode bulan Agustus 2014, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1. Sebagian besar anak usia 10-24 bulan tidak mengalami diare dalam bulan Agustus 2014, yaitu sebesar 57,4% dan yang mengalami diare sebesar 42,6%. 2. Sebagian besar anak usia 10-24 bulan belum diimunisasi campak, yaitu sebesar 69,1% dan yang sudah diimunisasi sebesar 30,9%. 3. Sebagian besar anak usia 10-24 bulan memiliki pengetahuan yang baik tentang diare sebesar 61,8% dan yang memiliki status gizi yang baik sebesar 72,1%. Sebagian besar ibu memiliki pola asuh yang baik sebesar 75%, memiliki kebiasaan cuci tangan yang cukup sebesar 54,4%, memiliki tingkat pendidikan yang sedang sebesar 83,8% dan sebagian besar ibu merupakan ibu rumah tangga, yaitu sebesar 77,9%. Sebagian besar responden memiliki pendapatan yang tinggi yaitu sebesar 77,9%, memiliki sumber air bersih yaitu sebesar 54,4%, memiliki jamban yang sehat yaitu sebesar 98,5% dan sebagian besar responden pembuangan sampah yang cukup yaitu sebesar 50%. 4. Tidak ada hubungan yang bermakna antara kejadian diare pada anak usia 10-24 bulan dengan status imunisasi campak. 5. Terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian diare pada anak usia 10-24 bulan dengan tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, dan perilaku cuci tangan, sedangkan tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan ibu, pola asuh, status gizi, dan pendapatan keluarga. 6. Terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian diare pada anak usia 10-24 bulan dengan penggunaan jamban dan sumber air bersih, sedangkan tidak ada hubungan antara kejadian diare dengan pembuangan sampah.
53
6.2 Saran
Dari hasil penelitian dan kesimpulan di atas, peneliti menyarankan bagi Kepala Puskesmas Grogol I diharapkan agar mengadakan penyuluhan intensif mengenai diare pada balita dan penanganannya, serta mengenai cuci tangan, air bersih, dan jamban sehat karena memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian diare pada balita.
54
Daftar Pustaka
1. Kementerian kesehatan Republik Indonesia. Panduan Sosialisasi Tatalaksana pada Balita. Diunduh dari:
http://www.scribd.com/doc/192298660/Buku-Panduan-Sosialisasi-Tata-
Laksana-Diare-Balita-2011, 20 Agustus 2014. 2. Subdit pengendalian diare dan infeksi saluran pencernaan kemenkes RI. Situasi diare di Indonesia.
Diunduh
dari:
http://www.scribd.com/doc/95837478/Buletin-Diare-Final-
1#download, 20 Agustus 2014. 3. Ditjen PP & PL departemen kesehatan RI. Pedoman pelaksaan kampanye imunisasi campak
dan
polio.
Diunduh
dari:
http://bandung.go.id/images/download
/Pedoman_kampanye_campak_dan_polio_2009_-_2011.pdf, 20 Agustus 2014 4. Tommy. Campak. Diunduh dari: http://last3arthtree.files.wordpress.com /2009/02/ campak.pdf, 20 Agustus 2014. 5. Soedarto. Virologi klinik.Jakarta: Sagung Seto,2010.hal 94-7. 6. IDAI.mengejar keterlambatan imunisasi anak. Diunduh dari: http://idai.or.id/publicarticles/klinik/imunisasi/mengejar-keterlambatan-imunisasi-anak.html, 20 Agustus 2014. 7. Tzkiyyatul, Utomo M, Mifbakhuddin. Hubungan sanitasi lingkungan dan status imunisasi campak dengan kejadian diare pada anak balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang. Edisi Maret 2011. Diunduh dari http://digilib.unimus.ac.id/ gdl.php?mod=browse&op =read&id=jtptunimus-gdl-tazkiyyatu-5950, 21 Agustus 2014. 8. Pickering LK, Snyder JD. Gastroenteritis. In: Nelson textbook of Pediatrics. 17 th ed. Saunders, 2004. pg 1272-6 9. Subagyo B. Nurtjahjo NB. Diare Akut.Dalam: Buku ajar Gastroentero-hepatologi:jilid 1. Jakarta : UKK Gastroenterohepatologi IDAI, 2011.hal 87-120. 10.
Soenarto Y. Diare kronis dan diare persisten. Dalam: Buku ajar Gastroentero-
hepatologi:jilid 1. Jakarta : UKK Gastroenterohepatologi IDAI, 2011.hal 121-36. 11. Suraatmaja S. Gastroenterologi anak. Jakarta: Sagung Seto, 2007. Hal 12-5. 12. Alex G, Oliver M. The child with diarrhoea. In: Practical pediatrics. 6 th ed. New York: Churchill Livingstone Elsevier, 2007. pg 722-9. 13. Latief, Abdul et al. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1. Cetakan X. FKUI. Jakarta: 2002. Hlm 283-294. 14. International child health. Diare dengan dehidrasi berat. Diunduh dari: http:// www.ichrc.org/ 521-diare-dengan-dehidrasi-berat, 20 Agustus 2014 (gambar turgor) 55
15. Suharyono at all. Gastroenteritis (Diare) Akut, Gastroenterologi Anak Praktis. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988, hal. 5176. 16. Hassan R, Alatas H. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. jilid 1.jakarta: Infomedika, 2007. hal. 43-56. 17. Widoyono. Penyakit tropis epidemiologi, penularan, pencegahan dan pemberantasannya. Jakarta: Erlangga, 2008.hal 145-54. 18. Notoatmodjo,Soekidjo.Promosi
Kesehatan
dan
Ilmu
Perilaku.
Jakarta:
Rineka
Cipta,2007.hal. 60-72. 19. Warman Yance. Hubungan Faktor Lingkungan, Sosial Ekonomi dan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian Diare Akut pada Balita di Kelurahan Pekan Arba kecamatan Tembilahan Kabupaten Inhil. Diunduh dari: http:// www.jurnalskripsi.net /hubunganfaktor-lingkungan-sosial-ekonomi-dan-pengetahuan-ibu-
dengan-
kejadian-diare-akut-
pada-balita-di-kelurahan -pekan-arba- kecamatan-tembilahan- kabupaten-indragiri-hilir/ 2011/758/, 22 Agustus 2014. 20. Wiwin, Herniyatun, Hendri. Hubungan pengetahuan ibu tentang sanitasi makanan dengan kejadian diare pada balita. Edisi 3 Oktober 2011 Volume 7. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan. 21. Sirait ED. Hubungan pengetahuan dan perilaku hidup bersh dan sehat ibu dengan kejadian diare pada anak usia 1-4 tahun di Puskesmas Siantan Hilir tahun 2013. Edisi 2013.
Diunduh
dari
http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jfk/article/download/3784/3789&cd=l&ved=0CBkQFj AA&usg=AFQjCNFokayM17Qq6BEb56TcI0yQhsPuEg, 22 Agustus 2014. 22. Agus S, Handoyo, Widiyanti DAK. Analisis faktor-faktor risiko yang mempengaruhi kejadian diare pada balita di Puskesmas Ambal Kabupaten Kebumen. Edisi 2 Juni 2009. Diunduh dari http://ejournal.stikesmuhgombong.ac.id/index.php/JIKK/article/view/52, 22 Agustus 2014. 23. Zulkarnaen iskandar, hubungan pendapatan keluarga danpengetahuan ibu dengan kejadian diare pada balita di puskesmas bara-baraya kota makassar. Diunduh dari:http://kuliahiskandar.blogspot.com/ 2014/01/jurnal-hubungan-pendapatan-keluargadan.html, 22 Agustus 2014. 24. Hamisah Irma. Hubungan Status gizi dengan kejadian diare akut pada balita di kabupaten klaten.
Diunduh
dari:http://etd.ugm.ac.id/
56
index.php?mod=penelitian_detail&sub=Penelitian
Detail&act=view&typ=html&
buku_id= 53057&obyek_id=4, 22 Agustus 2014. 25. Agustin, Ida. Hubungan antara status gizi, imunisasi campak, higiene Perorangan dan sanitasi rumah dengan Kejadian diare pada anak Usia 12-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Suboh Kabupaten Situbondo tahun 2008. Edisi 2008. Diunduh dari: http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/14147/gdl%20%2811%29a_1.pd f?sequence=1, 21 Agustus 2014. 26. UU RI No.23 Thn.1992 tentang Kesehatan.Edisi 6 April 2014. Diunduh dari: http://tempo.co.id/hg/peraturan/2004/04/06/prn,20040406-13,id.html, 21 Agustus 2014. 27. Octorina F, Dharma S, Marsaulina I. Hubungan kondisi lingkungan perumahan dengan kejadian diare di Desa Sialang Buah Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Begadai
Tahun
2012.
Edisi
2012.
Diunduh
dari
http://jurnal.usu.ac.id/index.php/lkk/article/view/3282, 22 Agustus 2014. 28. Tri Bintoro Rockhman Baktri. Hubungan antara sanitasi lingkungan dengan angka kejadian diare pada balita di kecamatan Jatipuro kabupaten karanganyar. Diunduh dari: http://www.scribd.com/doc/188882218/90416215-HUBUNGAN-Sanitasi-LingkungandIARE, 22 Agustus 2014. 29. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Diunduh dari: http://betterwork.org/in-labourguide/wp-content/uploads/KMK-No.-1405-ttg-PersyaratanKesehatan-Lingkungan-Kerja-Perkantoran-Dan-Industri.pdf, 21 Agustus 2014 30. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total
Berbasis
Masyarakat.
up_prod_permenkes/
PMK%
Diunduh
dari
20No.
http://www.hukor.
%203%20ttg%
depkes.go.id/
20Sanitasi%20Total
%20Berbasis%20Masyarakat .pdf, 21 Agustus 2014. 31. Yordani A. Hygiene sanitasi makanan dan minuman. Edisi 2012. Diunduh dari http://www.bbtklppbjb.freeiz.com/2_5_Hygiene-Sanitasi-Makanan.html,
21
Agustus
2014. 32. Thresia Dewi Kartini Berek , Hj. Fatmawaty Suaib. Hubungan pola asuh ibu dan kejadian diare dengan pertumbuhan bayi yang mengalami hambatan pertumbuhan dalam rahim sampai
umur
empat
bulan.
Edisi
1
Januari
2009.
Diunduh
dari:
https://jurnalmediagizipangan.files.wordpress.com/2012/03/4-hubungan-pola-asuh-ibudan-kejadian-diare-dengan-pertumbuhan-bayi-yang-mengalami-hambatan-pertumbuhandalam-rahim-sampai-umur-empat-bulan.pdf, 24 Agustus 2009. 57