PENDEKATAN SEJARAH SOSIAL DALAM TAFSIR
MAKALAH Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Studi al-Qur'an dan al-Hadist Dosen Pengampu : 1. Prof. Dr. KH. Muhibbin Noor, M.Ag 2. Prof. Dr. KH. M. Erfan Soebahar, M.Ag
Oleh :
Muhasir NIM : 1703038021 1703038021
PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM PASCASARJANA UIN WALISONGO SEMARANG 2017
0
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami ucapkan, atas segala limpahan rahmat, ridho dan berkah Nya, sehingga upaya upaya yang telah saya lakukan untuk untuk menyelesaikan menyelesaikan Makalah Revisi “Studi AlAl-Qur’an dan Al-Hadist Al-Hadist ini dapat terselesaikan sesuai dengan waktunya, Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada Nabi Muhammad SAW, sebagai suritauladan dalam memenej pendidikan umatnya dan menjadi referensi dalam menjalani hidup dan kehidupan manusia. Dengan selesainya Makalah Revisi ini, berakhir sudah tugas Makalah pada Mata Kuliah Studi Al-Qur’an Al-Qur’an dan Al-Hadist. Al-Hadist. Maka dengan rasa rendah hati dan sikap ta’zim kami menghaturkan terima kasih tiada terhingga kepada Bapak Dosen Pengampu Mata Kuliah ini serta berbagai pihak yang telah membantu kelancaran penulisan makalah ini. Ungkapan terima kasih tersebut secara khusus kami haturkan kepada : 1. Bapak Dosen Pengampu 1 Bapak Prof. Dr. KH. Muhibbin Noor, M.Ag 2. Bapak Dosen Pengampu 2 Bapak Prof. Dr. KH. M. Erfan Soebahar, M.Ag
Akhirnya “ Tiada gading yang tak retak” saya ber-harap kekurangan kesalahan penulisan makalah ini kiranya dapat diperbaiki dan beberapa tulisan makalah ini dapat bermanfaat, amien.
Semarang, Januari 2018
Muhasir
NIM : 1703038021 1703038021
1
PENDEKATAN SEJARAH SOSIAL DALAM TAFSIR
Abstrak: Pesatnya perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan memicu para
para mufasir untuk menafsirkan kitab Allah dengan menggunakan pendekatan pendekatan baru yang hangat berdampingan dengan kondisi sosial saat it u. Hal ini untuk menjadikan penafsiran agar tidak kaku, diharapkan mampu selalu beriringan dengan zaman artinya dapat menjadikan alquran tetap aktual dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Seorang musafir juga harus memenuhi syarat-syarat tertentu, tidak semua orang mampu melakukan penafsiran. Terutama dalam menggunakan pendekatan sejarah sosial ini, para mufasir harus mempunyai kemampuan ke-ilmu-an sosial ini. Dan diharapkan para mufasir selalu tanggap dengan segala sesuatu yang muncul ketika itu, baik itu bentuk permasalahannya dan bagaimana harus menafsirkan menaf sirkan dengan tidak kaku, supaya selalu se lalu mendapatkan hati di kehidupan masyarakat sehari-hari. Kata Kunci: Pendekatan Sejarah, Sosial, Tafsir
2
A. PENDAHULUAN
Al Qu’ran sebagai kitab suci yang sangat didambakan sebagai pedoman, sudah barang tentu ia diharapkan dapat mengaktualisasikan dirinya dengan berbagai persoalan zaman yang yang dilaluinya. Karena Dinamika masyarakat senantiasa dari waktu ke waktu berubah, sementara teks alquran tidak akan pernah berubah. Oleh karena itu, penafsiran terhadap teks diharapkan harus selalu beriringan dengan perkembangan zaman untuk memenuhi memenuhi kebutuhan masyarakat sekarang ini. Penafsiran ulama dahulu ketika menafsirkan teks sesuai keadaan lingkungan dan kehidupan pada masa itu dan dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang ada. Demikian pun juga sekarang ini yang syarat a kan perkembangan teknologi dan pesatnya pertumbuhan ilmu pengetahuan, penafsiran terhadap teks pasti akan berubah sebagai akibat perkembangan ini. Bagi seorang mufasir pengetahuan tentang aspek kesejarahan suatu ayat menjadi salah satu modal utama di dalam kegiatan penafsiran alQuran, disamping persyaratan-persyaratan terdapat juga sejarah dan lainnya. Berpikir tentang sejarah dan perilaku tidak wajar lainnya, tidak masuk akal rasanya harus memilih salah satu dari keduanya, tetapi itula h akhirnya yang terjadi dalam sebuah perdebatan tentang sejarah.1 Pertumbuhan dan perkembangan sistem pendekatan sejarah dalam sosial dalam kehidupan masyarakat pada umumnya sangat di pedomankan dengan pembangunan umat Islam, bahkan pembangunan seseorang manusia, tidaklah mungkin dengan hanya berpegang kepada pengalaman semata tanpa adanya petunjuk- petunjuk petunjuk dari ajaran Al Qur’an yang meliputi segala unsur kebahagiaan bagi jenis manusia untuk bisa s alang memberi yang bermanfaat, ini termasuk sifat sosial dalam kesederhanaan.2 Memberikan uang uang seribu rupiah dengan ikhlas jauh lebih baik dibandingkan memberikan sepuluh ribu tetapi tidak
1
Sam Wineburg, Berpikir Historis, Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu, Lalu , (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006), 3 2 Miftahus Sholihudin, “Tafsir Ilmiy terhadap Al -Qur’ān” (Sebuah Qur’ān” (Sebuah Jalan Terjal Menuju Keilmiahan Al-Qur’ān Al-Qur’ān ) Diakses 9 November 2 017 https://www.kompasiana.com/miftahus/tafsirilmiy-terhadap-alqurn-sebuah-jalan-terjal-menuju-keilmiahanalqurn_565418c3f192737407698ab9
3
ikhlas.3 Amalan yang telah diberikan dalam hidup bermasyarakat merupakan sifat dan jenis beramal yang sesuai dengan ajaran-ajaran ajaran- ajaran Al Qur’an, terkecuali sesudah kita memahami Al Qur’an, mengetahui mengetahui isinya, prinsip-prinsip yang diatur. Hal ini tidaklah mungkin dicapai, melainkan dengan mengetahui apa yang ditunjukkan oleh lafal-lafal lafal-lafal Al Qur’an Qur’an berkaitan dengan hidup sosial atau bersedekah. Maka untuk dapat menguraikan lafal-lafal lafal-lafal Al Qur’an yang bersifat bersifat global itu perlu adanya upaya dan proses penafsiran Al Qur’an. Karenanyalah, dapat kita tetapkan bahwa tafsir adalah anak kunci perbendaharaan isi Al Qur’an yang diturunkan untuk memperbaiki keadaan manusia, melepaskan manusia dari kehancuran dan menyejahterakan alam ini.4 Kenyataan sejarah membuktikan bahwa tafsir itu selalu berkembang seiring dengan derap langkah perkembangan peradaban dan budaya manusia. Tafsir s ebuah hasil dari dialektika antara teks yang statis dan konteks yang dinamis memang mau tidak mau harus mengalami perkembangan dan bahkan perubahan. Setiap generasi akan mewarisi kebudayaan generasi-generasi sebelumnya, kebutuhan suatu generasi berlainan dan hampir tidak sama dengan kebutuhan generasi lain. Begitu pula perbedaan tempat dan keadaan, tidak dapat di katakan sama keperluan dan kebutuhannya, sehingga timbullah penyelidikan dan pengolahan dari apa yang telah didapat dan dilakukan oleh generasi-generasi sebelumnya, serta saling tukarmenukar pengalaman yang di alami oleh manusia pada suatu daerah dengan daerah yang lain, mana yang masih sesuai dipakai, mana yang kurang sesuai dilengkapi dan mana yang tidak sesuai lagi dikesampingkan, sampai nanti keadaan dan masa membutuhkan pula. Demikian pula halnya dengan Al Qur’an, ia berkemba ng mengikiti irama perkembangan zaman dan memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu generasi. Hal itu yang membuat para peminat studi Al Qur’an khususnya dan umat Islam pada umumnya dituntut untuk selalu cerdas mengembangkan penafsiran Al 3
Muhibbin Noor, Menuju UIN Walisongo, Sebuah Gagasan dan Mimpi Panjang , (Semarang: Fatawa Publishing, 2015), 138 4 Hamzah, Muchotob. Studi Al-Qur’an Al-Qur’an Komprehensif . (Yogyakarta : Gama Media, 2003), 61
4
Qur’an, sebab setiap zaman memiliki kekhasannya sendiri-sendiri. Tiap-tiap generasi melahirkan tafsir-tafsir tafsir-tafsir Al Qur’an yang sesuai dengan kebutuhannya masing-masing dengan tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan Agama Islam sendiri. Maka dari itu perlunya untuk mengetahui tentang sejarah dari pertumbuhan dan perkembangan tafsir Al Qur’an adalah lantaran sangat berhajatnya kita kepada tafsir Al Qur’an ini. Pada makalah ini akan dibahas mengenai pendekatan sejarah sosial dalam tafsir, yang meliputi pengertian Sejarah, Pengertian Tafsir Al-Qur’an Al-Qur’an dan Ilmu Sosial, aktualisasi dalam memahami tafsir, dan bagaimana penerapan pendekatan sejarah sosial dalam tafsir.
B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Sejarah
Sejarah merupakan berbagai peristiwa yang telah terjadi di masa lampau. Di dalamnya terdapat unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa. Melalui pola pola pendekatan historis, kita akan mengerti bahwa setiap ajaran agama yang didalamnya tertuang hukum-hukum tidak bisa terlepas dari seting sosial yang menyelimutinya. Dalam kajian al-Qur’an al-Qur’an semisal kita mengenal ilmu Asbabun Nuzul (
)
Sejarah memeiliki kesamaan filosofis dengan dengan kata kata syajarah syajarah dalam bahasa Arab yang berarti pohon. 5 Pohon merupakan gambaran suatu rangkaian geneologi, yaitu pohon keluarga yang mempunyai keterkaitan erat antara akar, batang, cabang, ranting dan daun serta buah. Seluruh elemen pohon tersebut memiliki keterkaitan erat kendatipun yang sering dilihat oleh manusia pada umumnya hanya batangnya saja.6 Akan tetapi adanya pohon dan buah tidak terlepas dari peran akar. Itulah filosofi sejarah yang mempunyai keterkaitan erat antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. 7
5
Hamzah, Muchotob. Studi Al-Qur’an Al-Qur’an Komprehensif,, (Jakarta : Aneka Ilmu, 2009), 61. Hamzah Muchotob. Studi Al-Qur’an Al-Qur’an Komprehensif , 62. 7 Abrari Syauqi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta Islam, (Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2016), 5. 6
5
Secara etimologi, sejarah merupakan terjemahan dari kata tarikh, sirah (Bahasa Arab), history (Bahasa Inggris) dan geschichte (Bahasa Jerman). Semua kata tersebut berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘istoria’ yang berarti ilmu. Dalam penggunaannya, kata ini untuk menjelaskan secara sistematis mengenai gejala alam.8 Jika kita merujuk pada kamus Bahasa Indonesia, maka akan kita dapati pengertian sejarah sebagai pengetahuan atau uraian tentang peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Menurut Prof. Nourozzaman ash-Shiddiqie sebagaimana dikutip oleh Abrari Syauqi menjelaskan bahwa sejarah merupakan peristiwa masa lampau yang tidak sekedar informasi tentang terjadinya peristiwa, teta pi juga memberikan interpretasi9 atas peristiwa yang terjadi dengan melihat kepada hukum sebab akibat. Dengan adanya interpretasi ini, maka sejarah sangat terbuka apabila diketemukan adanya bukti-bukti baru. Dalam landasan historis pendidikan, sejarah/historis adalah keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau kegiatan yang didasari oleh konsep-konsep tertentu. 10 Sejarah penuh dengan informasi-informasi yang mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik, moral, cita-cita, bentuk dan sebagainya. Sejarah menjadi sebuah acuan untuk mengembangkan suatu kegiatan atau kebijakan pada saat ini. 11 Mempelajari sejarah sangatlah penting karena dengan mempelajari sejarah manusia memperoleh banyak informasi dan manfaat sehingga menjadi lebih arif dan bijaksana dalam menentukan sebuah kebijakan dimasa yang akan datang. Sedangkan pendidikan adalah sebuah proses yang arif, terencana dan berkesinambungan guna mendorong atau memotivasi peserta didik dalam mengembangkan potensinya. Maka dari itu, yang dimaksud dengan landasan
9
Interpretasi Interpretasi = pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu, tafsiran / menginterpretasikan = menginterpretasikan = menafsirka. Sumber : Lihat kamus KBBI offline Android 10 Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia. (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 23 11 Sam Wineburg, Berpikir Wineburg, Berpikir Hi storis, Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu, Lalu , (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006), 5
6
historis pendidikan adalah sejarah yang menjelaskan dasar-dasar pendidikan di masa lalu yang menjadi acuan terhadap pengembangan pendidikan di masa kini. 12 Sayyid Qutub juga berpendapat bahwa sejarah bukanlah peristiwa-peristiwa semata, melainkan penafsiran peristiwa dan pengertian mengenai hubunganhubungan nyata dan tidak nyata yang menjalin seluruh bagian serta memberikan dinamisme dalam waktu dan tempat. Sedangkan pendekatan merupakan salah satu metode dalam mengkaji Islam. Pendekatan adalah jalan menuju sesuatu dalam berinteraksi agar sesuatu terasa lebih dekat. Dalam kaitan pembahasan pada makalah ini, sejarah merupakan cara yang ditempuh untuk lebih mendekatkan seseorang dalam memahami apa itu Islam dan bagaimana ajaran Islam itu. ada sejarah sosial dalam pertumbuhan dan perkembangan tafsir yaitu, usaha menafsirkan Al-Qur’an Al-Qur’an sudah dimulai dim ulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah IbnMas’ud dan Ubay ibn Ka’ab adalah diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain. 13 Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an Al-Qur’an para sahabat menggunakan beberapa cara, antar lain. a. Menelitinya dalam’ AlAl-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat ayat-ayat Al-Qur’an Al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan. b. Merujuk kepada penafsiran Nabi Muhammmad SA, sesuai dengan fungsi beliau sebagai mubayyin terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an. c.
Apabila mereka tidak ditemukan keterangan tentang ayat tertentu dalam AlQur’an dan tidak sempat menanyakannya kepada Rasulullah SA, para sahabat berijtihat dengan bantuan pengetahuan bahasa Arab, pengenalan terhadap tradisi Arab dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun atau latar belakang ayat tersebut diturunkan, dan dengan menggunakan kekuatan penalaran mereka sendiri.
12 13
Sam Wineburg, Berpikir Wineburg, Berpikir Historis, 98 Sam Wineburg, Berpikir Wineburg, Berpikir Historis, 87
7
d. Sebagian sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an Al-Qur’an kepada tokohtokoh tokoh ah;i Ahlul Kitab yang telah memeluk agama Islam, seper ti Abdullah ibn Salam, Ka’ab al-Ahbar al-Ahbar dan lain-lain. Tafsir pada masa sahabat ini belum merupakan ilmu il mu sendiri’ masih merupakan bagian dari riwayat-riwayat hadits yang berserakan, belum sistematis seperti tafsir yang kita kenal sekarang. Di samping belum sistematis pada masa sahabat
ini
pun
Al-Qur’an Al- Qur’an
belum
ditafsirkan
secara
keseluruhan,
dan
pembahasannya pun belum luas dan mendalam. Sesudah periode sahabat, datangah generasi berikutnya (tabi’in) meneruskan usaha yang telah dirintis oleh para sahabat. Di samping menafsirkan Al-Qur’an Al- Qur’an dengan Al-Qur’an Al-Qur’an dan Hadits Nabi mereka juga merujuk kepada penafsiran para sahabat dan sebagian juga tidak lupa mengutip dari Ahlul Kita. Setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan ijtihad. Pada masa Tabi’in, tafsir masih merupakan bagian dari hadits, tetapi sudah mengelompok menurut kota masing-masing. Sesudah masa sahabat dan tabi’in datanglah masa kodifikasi (tadwin) hadits dimana riwayat-riwayat berisi tafsir dikelompokkan menjadi satu bab sendiri, walaupun
tetap
belum
sistematis
seperti
susunan
Al- Qur’an. Al-Qur’an.
Dalam
perkembangan selanjutnya tafsir dipisahkan dari kandungan kitab hadits dan menjadi kitab sendiri. Para ulama mengumpulkan riwayat-riwayat yang berisi tefsir dari Nabi, sahabat dan tabi’in dalam kitab sendiri. Riwayat -riwayat yang dikumpulkan itu sudah mencakup keseluruhan ayat-ayat Al-Qur ’an Al-Qur ’an dan disusun sesuai dengan sistematika mushaf. Bentuk penafsiran yang dirintis Ibn Jarir dan mufasir lain pada masa awal pembukuan tafsir inilah yang kemudian di kenal dengan bentuk at-tafsir bi al-ma’tsur. al-ma’tsur. Setelah ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang pesat pada masa Daulah Abbasiyah, para mufasir tidak puas hanya dengan bentuk bi al-ma’tsur, al-ma’tsur, karena perubahan dan perkembangan zaman menghendaki pengembangan bentuk tafsir dengan memperluas dan memperbesar peran ra’yu atau ijtihad dibandingkan
8
dengan penggunaannya pada bentuk bi al-ma’tsur. al-ma’tsur. Tafsir dengan bentuk ini kemudian dikenal dengan at-tafsir bi-ar-ra’yi. bi-ar-ra’yi. Dengan at-tafsir bi-ar-ra’yi bi-ar-ra’yi seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat AlQur’an dengan menggunakan kemampuan ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an Al-Qur’an dengan AlAl -Qur’an atau dengan hadits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengetahuan seperti ilm bahasa Arab, ilmu Qiraah, ilmu Qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqih, ilmu sejarah dan lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsir bi-ar-ra’yi bi-ar-ra’yi karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir itu sendiri.
2. Ruang Lingkup dan Permasalahn Permasalahn Sosial
Permasalahan
sosial
meruapakan
salah
satu
wujud
dari
dampak
negatif ilmu sosial. Definis dari pemasalahan sosial adalah beberapa beberapa kondisi yang terlahir dari sebuah keadaan masyarakat yang tidak ideal. Atinya , selama dalam suatu masyarakat yang tidak terpenuhi secara merata,maka masalah sosial akan selalu timbul. ti mbul. Terjadinya
permasalahan sosial diakibatkan oleh munculnya
perbedaan yang mencolok antara anta ra nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Contoh sumber dari permasalahan sosial adalah proses sosial dan bencana alam. 14
Menurut Bryan S. Tuner permasalahan sosial dibagi menjadi 3 macam, yaitu :15 a. Konflik dan Kesenjagan, seperti : kemiskinan, kesenjangan, konflik antar kelompok, pelecehan seksual dan masalah lingkungan. b. Perilaku menyimpang, seperti : kecanduan obat – obatan obatan terlarang, gangguan mental, kejahatan kenakalan remaja dan kekerasan pergaulan. c. Perkembangan manusia, seperti : masalah keluarga, usia lanjut, kependudukan (seperti urbanisasi) dan kesehatan seksual.
14 15
Bryan S. Turner, Agama Turner, Agama dan Teori Sosial , (Yogyakarta : IRCiSoD, 2006), 69 Bryan S. Turner, Agama Turner, Agama dan Teori Sosial , (Yogyakarta : IRCiSoD, 2006), 78
9
Keberadaan masalah sosial dapat dilihat dengan melakukan beberapa proses dan tahapan analitis. Tahapan analitis dilakukan dengan melakukan pendekatan yang dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu : 16
a. Person Blame Approach, Approach, yaitu pendekatan untuk memahami masalah sosial yang berada pada level individu. Dengan pendekatan ini, kita bisa mengetahui penyebab terjadinya masalah sosial pada level individu. Pada umunya penyebab masalah ini berupa kondisi kondisi fisik maupun psikis dari tiap individu. b. System Blame Approach, Approach, yaitu sistem pendekatan yang digunakan dalam masyarakat sebagai unit analisa utamanya.
Permasalahan sosial dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Terjadinya beragam permasalahan sosial dapat dibagi dalam ruang ruang lingkup seperti ruang linkup individu, keluarga dan masyarakat.
3. Permasalahan Permasalahan Sosial dalam Ruang Lingkup Individu
Permasalahan sosial dalam ruang lingkup individu pada umunya terjadi karena pengaruh dari lingkungan luar, baik pengaruh positif maupun negatif. Masalah sosial dalam ruang lingkup individu juga terkadang timbul pada seorang individu yang kurang terbuka atau tertutup terhadap dirinya sendiri kepada orang lain. Masalah sosial yang timbul dalam ruang lingkup individu harus segera diatasi, karena individu lain dapat terpengaruh oleh individu tersebut. Masalah sosial dalam ruang lingkup individu dapat di atasi dengan nasihat, curhat, introspeksi ataupun motivasi yang membangun mental seorang individu menjadi lebih baik dan bersifat positif.17
16
Umar Shihab, Kontekstualitas Shihab, Kontekstualitas AlQuran kajian tematik atas ayat-ayat hukum dalam alquran. alquran. (Jakarta: Penamadani,2005), 98 17 Saiful Amin Ghafur, Profil Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an al-Qur’an,, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 25
10
a.
Permasalahan Sosial dalam Ruang Lingkup Keluarga
Permasalahan sosial dalam ruang lingkup keluarga keluarga mayoritas terjadi karena ketidak harmonisan orang tua dalam rumah tangga. 18 Masalah sosial ini cukup serius karena akan menggangu atau mempengaruhi orang lain seperti kerabat, tetangga ataupun anak. Seorang anak akan mempunyai masalah sosial dalam ruang lingkup individu akibat ruang lingkup keluarganya sendiri bermasalah. Masalah sosial dalam ruang lingkup keluarga dapat diatasi dengan musyawarah, menyelesaikan masalah yang ada di dalam keluarga dengan kepala dingin dan bijak dalam mengambil keputusan keputusan yang yang akan dipilih. Masalah sosial ini juga dapat dapat di atasi dengan saran atau masukan dari luar seperti kerabat ataupun keluarga yang berdampak positif.19
b.
Permasalahan Sosial dalam Ruang Lingkup Masyarakat
Permasalahan sosial dalam ruang lingkup masyarakat merupakan permasalahan sosial yang dapat menyebabkan menyebabkan permasalahan sosial di dalam dalam ruang lingkup lain seperti keluarga dan individu. Hal ini disebabkan karena masarakat menimbulkan dampak yang cukup besar terhadap seorang individu ataupun sebuah keluarga.20 Permasalahan sosial dalam ruang lingkup masyarakat pada umunya terjadi karena kondisi masyarakat yang tidak ideal dan harmonis. Permasalahan sosial dalam ruang lingkup masyarakat dapat diatasi ataupun dicegah dengan adanya pemimpin yang bersikap tegas dan bertanggung jawab terhadap masyarakatnya sendiri. Jika ada masalah sosial yang timbul dalam masyarakat, harus diatasi dengan seksama / kekeluargaan, tidak dilakukan dengan tindakan anarkisme.21
18
Saiful Amin Ghafur, Profil Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an al-Qur’an,, 34 Saiful Amin Ghafur, Profil Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an al-Qur’an,, 28 20 Saiful Amin Ghafur, Profil Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an al-Qur’an,, 30 21 Bryan S. Turner, Agama Turner, Agama dan Teori Sosial , 70-72 19
11
C. Aktualisasi22 Pendekatan Sejarah Sosial Dalam Memahami Tafsir 1. Pengertian Tafsir dan sejarahnya
Tafsir, secara etimologi berarti penjelasan dan perincian. Ungkapan tafsir ini digunakan untuk menyingkap makna yang logis atau menyingkap makna yang masih tersembunyi.23 Dalam terminologinya tafir adalah suatu ilmu yang di dalamnya di bahas tentang keadaan-keadaan Alquran dari segi dalalahnya kepada apa yang dikehendaki Allah, sebatas yang dapat disanggupi manusia. Tafsir menurut lughoh lughoh (bahasa) ialah menerangkan dan menyatakan yang bertujuan memahamkan makna makna Al-Qur’an, Al-Qur’an, hukum-hukumnya, hukum-hukumnya, hikmahhikmahnya dan petunjuk-petunjuk yang lain untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat sehingga kita terhindar terhindar dari salah memahami Al-Qur’an. Al-Qur’an. Secara istilah menurut beberapa ahli, tafsir adalah : 24 Al-Kiby dalam At-Tashil dalam At-Tashil berkata: berkata: (Tafsir adalah mensyarahkan Al-Qur ’an, menerangkan
22
Akt Ak tualisa ualisasi si ad adalah lah kesadaran yang tinggi untuk berpegang teguh pada nilai dan ajaran
Islam dan hidup secara wajar dalam kehidupan yang terus berkembang . berkembang . Berbeda dengan cara-cara penyelesaian yang dilakukan sebelumnya, gagasan Akt Ak tualisa ualisasi si bertujuan mencari dasar filosofis suatu konsep dan aturan hukum. Dasar filosofis itu dicari karena sifatnya lebih universal, sehingga dapat dilestarikan dalam waktu dan tempat yang berbeda. (sumber : Aktualisasi diri - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas https://id.wikipedia.org/wiki/Aktualisasi_diri https://id.wikipedia.org/wiki/Aktualisasi_diri)) 23 Masih tersembunyi, Alasan mengapa para mufasir menggunakan pendekatan ini didasarkan pada beberapa kenyataan masalah berikut ini. Pertama, Pertama, masih ditemukan adanya perbedaan pendapat di kalangan ilmuwan dan mufasir tentang hubungan tafsir kitab suci dengan ilmu pengetahuan. Kedu, pengetahuan. Kedu, a, a , filsafat sebagai metode berfikir tidak digunakan semaksimal mungkin dalam ranah tafsir alquran. Ketiga alquran. Ketiga,, belum adanya sistematika metodologi tafsir Alquran yang khusus mengkaji ayat-ayat ilmu pengetahuan, salah satunya ilmu sosial ini. Lihat buku Umar Shihab, Kontekstualitas Shihab, Kontekstualitas AlQuran kajian tematik atas ayat-ayat hukum dalam alquran . (Jakarta: Penamadani,2005), 59 24 Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur;an dan Tafsir, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,2009), 123
12
maknanya dan menjelaskan apa yang dikendakinya dengan nash nya atau dengan isyaratnya ataupun dengan najwahnya). 25 Dalam Al-Qur’an, Al-Qur’an, kata ini hanya disebut satu kali, yaitu (Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya) (Al-Furqon/25:33) Menurut az-Zarkasyi dalam al-Burhan al-Burhan menjelaskan tafsir menurut bahasa yaitu memperlihatkan dan menyingkap. Imam Zarkasyi berpendapat bahwa tafsir adalah: (pengetahuan untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan menjelaskan makna-makna nya, mengeluarkan/ menggali hukum-hukum dan hikmahnya). 26 Menurut Abdul Qahir al-Jurjani dalam kitab Dala’ilul ijaz menerangkan bahwa tafsir secara etimologis berarti menyingkap, memaparkan makna ayat-ayat Al-Qur’an, Al-Qur’an, urusan-urusanya, urusan-urusanya, kisahnya dan sebab-sebab diturunkannyadengan lafal atau kalimat yang menunjukkan kepadanya secara terang. Sementara Nashrudin Baidan memaknai tafsir Al Qur’an sebagai penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat ayat-ayat Al Qur’an.27 Sedangkan Quraish Shihab, merujuk pendapat dari Muhammad Husain Al -Zahaby menjelaskan bahwa tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir).28 Lebih jauh dia menjelaskan bahwa kemampuan itu bertingkat-tingkat, sehingga apa yang dicerna atau diperoleh seorang penafsir dari Al-Qur’an Al-Qur’an bertingkat-tingkat bertingkat -tingkat pula. Kecenderungan manusia juga berbeda-beda, sehingga apa yang dihidangkan dari pesan-pesan ilahi dapat berbeda antara yang satu dengan yang lain. 29
25
Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur;an dan Tafsir, 56 Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur;an dan Tafsir,153 Tafsir, 153 27 Nashruddin Baidan, Metode Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an,(( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 26
cet.II, 40 28
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Al- Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2009), cet. III, 113 29 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Al- Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), cet. VII, xvii
13
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah upaya menjelaskan maksud ayat-ayat ayat-ayat Al Qur’an dengan menggunakan kaidah -kaidah tafsir yang ada, sesuai dengan kemampuan manusia. Dalam pendekatan sejarah sosial dalam pertumbuhan tafsir ada beberapa jenis pendekatan sejarah dalam perkembangan ilmu tafsir yaitu :30
a. T afsir fsi r pada M asa K lasi lasikk Agar mempermudah pembahasan mengenai perkembangan tafsir pada masa klasik, penulis akan memetakan dalam tiga pembahasan, yakni (1). Tafsir pada masa Nabi dan dan Sahabat. (2). Tafsir pada pada masa tabi’in dan tabi’in dan (3). Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan). 31
1) Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat Kegiatan penafsiran telah dimulai sejak Nabi Muhammad masih hidup. Nabi pun menjadi sosok sentral dalam penafsiran al-Qur’an. al-Qur’an. Bagi para sahabat, untuk mengetahui makna al-Qur’an al-Qur’an tidaklah terlalu sulit. Karena mereka langsung berhadapan dengan Nabi Nabi sebagai penyampai wahyu, atau kepada sahabat lain yang yang lebih mengerti. Jika terdapat makna yang kurang dimengerti, mereka segera menanyakan pada Nabi. 32 Sehingga ciri penafsiran yang berkembang kalangan sahabat adalah periwayatan yang dinukil dari Nabi. Hal ini mempertegas firman Allah Sûrah al-Nahl: 44 bahwa Nabi diutus untuk menerangkan kandungan ayat alQur’an. Qur’an.
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”
30
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: cet. VII, xvii Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an al- Qur’an-Tafsir -Tafsir , 211 32 Di antara penafsiran Nabi adalah ketika salah seorang sahabat bertanya tentang salât tentang salât wustha. wustha. Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud salât wusthâ adalah wusthâ adalah salat ashar. Selain itu nabi juga menjelaskan bahwa al-Maghdu al-Maghdu dalam surat al-Fatihah berarti kaum Yahudi. Sedangkan al Dhalîn Dhalîn adalah kaum Nasrani. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 2005), 43 31
14
Sedikit sekali kalangan sahabat yang menggunakan penafsiranbil penafsiran bil ra’yî dalam dalam menafsirkan al-Qur’an. al-Qur’an. Diantara Diantara sahabat yang dengan tegas menolak penggunaan akal dalam penafsiran adalah Abû Bakar dan Umar ibn Khattâb. Abû Bakar pernah berkata:
“Bumi manakah “Bumi manakah yang menampung aku dan langit manakah yang menaungi aku, apabila aku mengatakan mengenai kitab Allah sesuatu yang tidak aku ketahui”. ketahui”. Ia mengatakan demikian tatkala orang bertanya tentang makna Abbân makna Abbân.. Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa Abû Bakar tidak membenarkan sesuatu mengenai kitab Allah jika ia menggunakan ijtihad, bil ra’yî . Tetapi ada pula beberapa sahabat yang menafsirkan al-Qur’an al-Qur’an dengan dengan ijtihad bil ra’yî selain selain dengan riwayat, yaitu Ibn Mas’ûd dan Mas’ûd dan Ibn Abbâs. 33 Secara garis besar para sahabat berpegang pada tiga hal dalam menafsirkan al-Qur’an, al-Qur’an, yaitu yaitu al-Qur’an al-Qur’an sendiri, sendiri, Nabi Muhammad sebagai penjelas (mubayyin (mubayyin)) al-Qur’an, al-Qur’an, dan dan ijtihad. 34 Pada era ini ilmu tafsir tidak dibukukan sama sekali, karena pembukuan dimulai pada abad ke-2 H. Tafsir pada era ini merupakan salah satu cabang dari hadits, kondisinya belum tersusun secara sistematis, dan masih diriwayatkan secara acak untuk ayat-ayat yang berbeda. 35
2) Tafsir pada masa tabi’in Setelah generasi sahabat berlalu, muncul mufassir sesudahnya, para tabi’in. Tafsir pada masa tabi’in sudah tabi’in sudah mengalami perbedaan mendasar dari sebelumnya. Jika pada masa sahabat periwayatan didasarkan pada orang tertentu saja (Nabi dan sabahat sendiri), maka penafsiran yang berkembang pada masa tabi’in tabi’in mulai banyak
bersandar
pada
berita-berita israiliyyât dan dan nasrâniyyât .
Selain
itu
penafsiran tabi’in tabi’in juga terkontaminasi unsur sektarian berdasarkan kawasan
33
Hasbi al-Siddiqi, Sejarah Ilmu al-Qur’an al- Qur’an-Tafsir -Tafsir , (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1900),
209. 34
Hasbi al-Siddiqi, Sejarah Ilmu al-Qur’an al-Qur’an-Tafsir, -Tafsir, 98 Hasbi al-Siddiqi, Sejarah Ilmu al-Qur’an al-Qur’an-Tafsir -Tafsir , 211
35
15
ataupun mazhab. Itu disebabkan para tabi’in tabi’in yang dahulu belajar dari sahabat menyebar ke berbagai daerah. Ada tiga aliran besar pada masa tabi’in. Pertama tabi’in. Pertama,, aliran Makkah, Sa’îd ibn Sa’îd ibn Jubaîr (w. 712/713 M), Ikrimah (w. 723 M), dan Mujâhid ibn Jabr (w. 722). Mereka berguru pada Ibn Abbâs. Kedua Abbâs. Kedua,, aliran Madinah, Muhammad ibn Ka’âb (w. Ka’âb (w. 735 M), Zaîd ibn Aslâm al-Qurazhî (w. 735 M) dan Abû Aliyah (w. 708 M). Mereka berguru pada Ubay ibn Ka’âb. Ka’âb. Ketiga Ketiga,, aliran Irak, Alqamah ibn Qaîs (w. 720 M), Amir al-Sya’bî al-Sya’bî (w. (w. 723 M), Hasan al-Bashrî (w. 738 M) dan Qatâdah ibn Daimah al-Sadûsi (w. 735 M). Mereka berguru pada Abdullah ibn Mas’ûd.36 Menurut Ibn Taimiyah, bahwa sepandai-pandainya ulama tabi’in tabi’in dalam urusan tafsir adalah sahabat-sahabat Ibn Abbâs dan Ibn Mas’ûd dan Mas’ûd dan ulama Madinah seperti Zaîd ibn Aslâm dan Imam Malîk ibn Anas. Lebih lanjut, Ibn Taimiyah memandang bahwa Mujâhid adalah mufassir yang besar. Sehingga al- Syafi’i dan Syafi’i dan Imam Bukhari berpegang padanya. 37 Namun ada pula pandangan yang menolak penafsiran Mujâhid. Hal ini dikarenakan dikarenakan bahwa Mujâhid banyak banyak bertanya pada ahli kitab.38 Selain dianggap banyak mengutip riwayat ahli kitab, Mujahid juga dikenal sebagai mufassir yang memberi porsi luas bagi kebebasan akal dalam menafsirkan al-Qur’an. al-Qur’an.39 Para ulama berbeda pendapat mengenai penafsiran yang berasal dari tabi’in jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan sedikitpun dari nabi ataupun sahabat. Mereka meragukan apakah pendapat tabi’in tabi’in tersebut dapat dipegangi atau tidak. Mereka yang menolak penafsiran tabi’in berargumen tabi’in berargumen bahwa para tabi’in tidak tabi’in tidak menyaksikan peristiwa dan kondisi pada saat ayat al-Qur’an al-Qur’an diturunkan. Sedangkan kalangan yang mendukung penafsiran tabi’in dapat tabi’in dapat dijadikan pegangan menyatakan, bahwa para tabi’in meriwayatkan tabi’in meriwayatkan dari sahabat.40
36
Abdul Mustaqim, Epistemologi Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer , (Yogyakarta: LKiS, 2011), 41 Ibn Taimiyyah, Muqaddimah Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr , (Kuwait: Dâr al-Qur’ân al- Qur’ân al-Karîm, al -Karîm,
37
1971), 37 38
Hasbi al-Siddiqi, Sejarah Ilmu al-Qur’an al- Qur’an-Tafsir -Tafsir , 218. Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-Hadîtsah, 2005), juz 1, 97. 40 Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân al- Qur’ân,, 339. 39
16
3) Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan) Pasca generasi tabi’in, tafsir tabi’in, tafsir mulai dikodifikasi (dibukuan).Masa pembukuan tafsir dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal Bani Abbasiyah (sekitar abad 2 H). Pada permulaan Bani Abbasiyah, para ulama mulai penulisan tafsir dengan mengumpulkan hadist-hadist tafsir yang diriwayatkan dari para tabi’in dan sahabat. Mereka menyusun tafsir dengan menyebut ayat lalu mengutip hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut dari sahabat dan tabi’in. Sehingga tabi’in. Sehingga tafsir masih menjadi bagian dari kitab hadis. Diantara ulama yang mengumpulkan hadis guna mendapat tafsir adalah: Sufyân ibn Uyainah (198 H), Wakî’ Wakî’ ibn Jarrah (196 H), Syu’bah ibn Syu’bah ibn Hajjâj (160 H), Abdul Rozaq bin Hamam (211 H). Setelah ulama tersebut di atas, penulisan tafsir mulai dipisahkan dari kitabkitab hadis. Sehinggga tafsir menjadi ilmu tersendiri. Tafsir ditulis secara sistematis sesuai dengan tartib mushaf. Diantara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibn Majah (w. 273 H), Ibn Jarîr al-Thabâri (w. 310 H), Ibn Abî Hatîm (w. 327 H), Abu Syaikh ibn Hibbân (w. 369 H), al-Hakîm (w. 405 H) dan Abû Bakar ibn Mardawaih (w. 410 H). Sementara al-Dzahabî membagi beberapa tahapan tafsir pada masa kodifikasi berdasarkan ciri dan karakteristik. Pertama karakteristik. Pertama,, penulisan tafsir bersamaan dengan penulisan hadis. Pada saat hadis dibukukan, tafsir menjadi bagian bab tersendiri di dalamnya. Kedua dalamnya. Kedua,, yakni penulisan tafsir yang dipisah dari kitab hadis. Namun penulisan tafsir tetap berdasarkan periyawatkan yang disandarkan pada Nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’in dan tabi’ut tabi’in (sumber tabi’in (sumber penafsiran bil ma’tsur). Ketiga ma’tsur). Ketiga,, tahap ini penulisan tafsir tetap mencantumkan riwayat-riwayat. Namun ada perbedaan yang sangat signifikan, riwayat-riwayat tersebut tidak dilengkapi sanadnya. Pada tahap ini, al-Dzahabî mensinyalir adanya pemalsuan tafsir dan permualan awal masuknya kisah-kisah isrâiliyyât dalam dalam tafsir. Keempat tafsir. Keempat , sumber tafsir pada masa ini tidak lagi terbatas pada periwayatan ulama klasik, tetapi juga berdasarkan ijtihad, bil ra’yi. ra’yi.41
41
al-Dzahabî al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, Daf’uhâ, 7-8
17
4) Tafsir pada Abad Pertengahan Perkembangan tafsir abad pertengahan dimulai sejak abad ke-9 M hingga abad ke-19 M. Pada abad ini, perkembangan ilmu pengetahuan berada pada masa keemasan (the (the golden age). age ).42 Perkembangan penafsiran tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan pada saat tafsir tafs ir tersebut ditulis. Tafsir kemudian sarat dengan disiplin-disiplin ilmu yang mengetarinya dan kecenderungan toelogis, terlebih bagi sang mufassir. Al-Qur’an Al-Qur’an pun pun seringkali dijadikan untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan mazhab/aliran tertentu. Diantara kitab-kitab tafsir “akbar” “akbar” yang muncul pada era keemasan Islam/abad pertengahan antara lain: Jamî’ lain: Jamî’ al-Bayân al-Bayân an Ta’wîl al-Qur’ân al-Qur’ân karya karya Ibn Jarîr al-Thabarî (w. 923 M/310 H); al-Kasysyâf an Haqâ’iq an Haqâ’iq al al-Qur’ân Qur’ân karya karya Abû al-Qasîm Mahmûd ibn Umar al-Zamakhsyari (w. 1144 M/528 H); Mafâtih H); Mafâtih alGhaib Ghaib karya Fakhruddîn ar-Râzi (w. 1209 M/605 H) dan Tafsîr Jalâlaîn karya Jalâlaîn karya Jalâluddîn Mahallî (w. 1459 M) dan Jalâluddîn al-Suyûti (w. 1505 M). Pada perkembangan selanjutnya muncul tafsir karya kar ya Ibn Arabi (638 H) yang juga kerap mendapat kritikan. Hal ini disebabkan Ibn Arabi menafsirkan menafsirkan al-Qur’an al-Qur’an untuk mendukung pahamnya, wahdatul wujud . Kelahiran Imâduddîn Ismail ibn Umar ibn Katsîr pada 700 H/1300 M, juga memberi sumbangan bagi munculnya tafsir abad ini. Kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Qur’ân al-Karîm al-Karîm yang yang terdiri sepuluh jilid menjadi karya termasyhur selain kitab-kitab lainnya yang ia tulis. Pada abad ini muncul pula tafsir Jamî’ tafsir Jamî’ al-Ahkâm al-Qur’ân al-Qur’ân karya Abdullah al-Qurtubî (671 H). Banyak kalangan ulama menganggap bahwa ia merupakan ulama Maliki, dan tafsirnya bercorak fiqh, namun al-Qurtubî tidak membatasi pada ulasan mengenai ayat-ayat a yat-ayat hukum saja. Lebih dari itu, ia menafsirkan al-Qur’an al- Qur’an secara secara keseluruhan. Ulasannya biasa diawali dengan menjelaskan asbâb nuzûl , macam qira’at, i’rab i’rab dan menjelaskan lafaz yang gharib.43 Selain nama mufassir di atas, muncul pula Alî ibn Muhammad al-Baghdadî (678-741 H) dengan karya tafsirnya Tafsîr Lubâb al-Ta’wîl al-Ta’wîl fî Ma’ fî Ma’ âni âni Tanzîl , atau
42
Saiful Amin Ghafur, Profil Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an al-Qur’an,, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008), 25 43
Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân al- Qur’ân,, 380.
18
yang sering disebut dengan Tafsir al-Khâzin. al-Khâzin. Sumber-sumber penafsiran dalam tafsir tersebut adalah bil ma’tsûr . Al-Khâzin menaruh perhatian cukup besar banyak terhadap kisah-kisah isrâiliyyât. Sehingga ada beberapa penafsirannya yang dianggap menyimpang oleh Husein al-Dzahabî. 44 Pada tahun 754 H muncul tafsir Bahrul tafsir Bahrul Muhît karya karya Ibn Abû Hayyân alAndalusî. Dalam kitab tafsirnya yang terdiri delapan jilid, ia banyak mencurahkan perhatiannya dalam masalah I’rab dan I’rab dan Nahwu. Karena perhatian yang cukup besar dalam masalah Nahwu, banyak kalangan menyebut bahwa kitab ini lebih cocok disebut kitab Nahwu, bukan tafsir. Ia banyak mengutip pendapat Zamakhsyari dalam hal ilmu Nahwu. Namun Abû Hayyan seringkali tidak sependapat dengan Zamakhsyari, terlebih mengenai paham ke-Mu’tazilah ke-Mu’tazilah-annya. -annya. Selain nama-nama di atas, masih banyak lagi mufassir kitab tafsir yang muncul pada abad pertengahan ini. Masing-masing memiliki karakter yang menjadi khas penulis tafsir tersebut. Sebagaimana yang penulis utarakan di atas, bahwa pada abad pertengahan terjadi akulturasi budaya karena penyebaran Islam ke penjuru dunia, maka hal ini turut menimbulkan perbedaan penafsiran yang didasari perbedaan mazhab dan tempat.45
5) Tafsir pada era Modern Akulturasi budaya pada abad pertengahan cukup dirasa memberi pengaruh pada penafsiran al-Qur’an al-Qur’an abad abad itu. Demikian pula pada masa modern, kehadiran kolonialisme dan pengaruh pemikiran barat pada abad 18-19 M sangat mempengaruhi para mufassir era ini. Perkembangan ilmu pengetahuan diduga kuat menjadi faktor utama penafsir dalam memberi respon. Ciri berpikir rasional yang menjadi identitas era modern kemudian menjadi pijakan awal para penafsir . Mereka umumnya meyakini bahwa umat Islam belum memahami spirit al-Qur’an, al-Qur’an, karenanya mereka gagal menangkap spirit rasional al-Qur’an. al- Qur’an.46
44
al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, al-Mufassirûn, vol. 1, 265-267. J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Qur’an Muslim Modern, Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz, (Jak arta: arta: Pustaka Firdaus, 1991), 87 46 J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Qur’an Muslim Modern, Modern, 26 45
19
Atas dasar pemikiran yang bersifat rasionalistik, kebanyakan dari pemikir Muslim modern menafsirkan al-Qur’an al-Qur’an dengan dengan penalaran rasional, dengan jargon penafsiran al-Qur’an al-Qur’an dengan al-Qur’an, al- Qur’an, atau kembali pada al-Qur’an. al-Qur’an. Kemudian mereka menentang legenda, ide-ide primitif, fantasi, magis dan tahayyul. 47 Menurut Baljon dalam bukunya yang berjudul Modern berjudul Modern Muslim Koran Interpretation, Interpretation, mengatakan bahwa yang apa yang disebut tafsir modern adalah usaha yang dilakukan para mufassir dalam menafsirkan ayat guna menyesuaikan dengan tuntunan zaman. Karenanya segala pemikiran yang terkandung dalam alQur’an Qur’an segera dirasakan membutuhkan penafsiran ulang. Lebih lanjut Baljon menambahkan bahwa tuntutan ini dirasakan perlu akibat persentuhan dengan peradaban asing kian lebih intensif.48 Salah satu mufassir era ini adalah Muhammad Abduh (1849-1905), ia adalah tokoh Islam yang terkenal. Abduh mulai menulis tafsir t afsir al-Qur’an al-Qur’an atas saran muridnya, Rasyid Ridha. Meskipun pada awalnya ia merasa keberatan, akhirnya ia menyetujui juga. Uraian Abduh atas al-Qur’an al- Qur’an mendapatkan mendapatkan perhatian dari salah seorang orientalis, J. Jomier. Menurutnya analisis yang dilakukan Abduh cukup mendalam serta hal yang berbeda dari ulasan Abduh adalah keinginannya yang nyata untuk memberikan ajaran moral dari sebuah ayat. Selain Abduh, kaum modernis Arab lainnya juga banyak yang menyuguhkan tafsir yang sama moderatnya, atau sama konservatifnya. Sampai kemudian muncul metode dan car a baru dalam penafsiran penafs iran al-Qur’an. al- Qur’an. Adalah Adalah Thanthâwi Jauhari (w. 1940) yang tidak terlalu banyak memberi komentar, tetapi ulasan-ulasanya dalam tafsir al-Qur’an al-Qur’an dapat dijadikan pegangan ilmu Biologi atau ilmu pengetahuan lainnya bagi masyarakat. Sehingga kitab tafsirnya, Al-Jawâhir tafsirnya, Al-Jawâhir fi fi al-Tafsir 49 digadang-gadang sebagai tafsir bercorak ilmi (santifik).
47
Tim penyusun, Ensiklopedia penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), 43 48 J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Qur’an Muslim Modern, Modern, 2 49 Kitab Tafsir Al Jawahir adalah adalah buah karya dari seorang ulama bernama Syaikh Tantowi Jauhari dengan judul asli: al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al- Qur’an al -Karim. -Karim. Kitab ini terdiri dari 25 juz (13 jilid), dengan rata-rata per per jilidnya berjumlah 200-300 halaman halaman dengan cover cover berwarna merah. Jilid pertama berjumlah 224 halaman, j ilid kedua berjumlah 276 halaman, jilid ketiga dan keempat 215 halaman, jilid kelima 270 halaman, jilid keenam 264 halaman, jilid ketujuh 227 halaman, jilid kedelapan 238 halaman, jilid kesembilan 262 halaman, jilid kesepuluh 267 halaman, jilid kesebelas
20
Ahmad Mustafa ibn Muhammad ibn Abdul Mun’în Mun’în al-Marâghi juga mencatatkan namanya sebagai deretan dari mufassir modern dengan karya tafsirnya, Tafsîr al-Qur’ân al-Qur’ân al-Karîm al-Karîm yang yang sering dikenal dengan sebutan Tafsîr al Marâghi. Marâghi. Ia lahir 1883 dan wafat pada 1952. Ia menulis tafsirnya selama sepuluh tahun, sejak tahun 1940-1950. 50 Dalam muqaddimah tafsirnya, ia mengemukakan alasan menulis tafsir tersebut. Ia merasa ikut bertanggung jawab memberi solusi terhadap problem keummatan yang terjadi di masyarakat dengan berpegang teguh pada al-Qur’an. al-Qur’an.51 Di samping itu, muncul juga Sayyid Quthb dengan tafsirnya Fi zhilali alQur’an dan Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’ Syathi’ dengan Tafsir al-Bayani li alQur’ani al-Karim. Qur’ani al-Karim. Di Indonesia juga muncul beberapa mufassir dan kitab tafsirnya. Antara lain: Tafsîr Bakri, Tafsîr
al-Qur’â al-Qur’ân n
al-Karîm karya
al-Furqân karya
Ahmad
Mahmud Hasan
Yunus(1899)dan
(w.
Kasim
1887-1958), Tafsîr
al-
Qur’ân karya Qur’ân karya Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin HS, Tafsîr al-Nûr al-Majîd karya karya Hasbi al-Siddiqi (1904-1975), Tafsîr al-Azhâr karya Buya Hamka (1908-1981), dan Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab. Titik perbedaan tafsir modern dengan sebelumnya adalah bahwa penafsiran abad ke-19 menonjolkan corak reformis-rasional, sains (tafsir ( tafsir ilmi) ilmi) dan sastra.52 Perkembangan selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir, Hermeneutik dan Semantik. Maka tidak menutup kemungkinan pada era mendatang akan ada lagi berbagai metode penafsiran untuk mengungkap maknamakna al-Qur’an. al-Qur’an.53
b. Contoh Penerapan Pendekatan Sosial Dalam Tafsir 271 halaman, jilid keduabelas 344 halaman, dan jilid ketigabelas berjumlah 270 halaman. Kitab tafsir ini diterbitkan oleh Mu’sasah Musthafa al-Babi a l-Babi al-Halabi pada 1350 H/ 1929 M lalu dicetak di Beirut, oleh Dar al-Fikr pada 1395 H/ 1974 M. Ukuran dari kitab ini 28 x 19,5 cm. 50 Saiful Amin Ghafur, Profil Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an al-Qur’an,, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 25. 51 Ahmad Mustafa al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, al-Marâghi, vol. 1, 3. 52 Muhammad Abd. Al-Adzim al-Zarqani. Manahil al-'Irfan fi `Ulum Al-Qur'an, (Mathba'ah Isa al-Bab al-Halaby, 1957), 3 53 M. Quraish Shihab , , Membumikan al-Qur’an al-Qur’an (Bandung: (Bandung: Mizan, 1995), 87
21
Ada beberpa contoh dari masa pemerintahan umar bin khattab yang bisa kita jadikan sebagai acuan analisis analis is masalah/problem sosial sosi al yang akan dibedah dengan menggunakan pendekatan imu sosial. Salah satunya mengenai persoalan sebagai berikut:54
“Dihentikannaya hukum potong tangan bagi bag i pencuri karena pencurian dilakukan pada masa masyarakat sedang dilanda “pec eklik”(gagal panen), padahal alquran, sebagaimana diketahui dalam ayat 38 surat almaidah menegaskan bahwa “lelaki yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang telah mereka kerjakan, dan sebagai bagian dari siksa Allah. danAllah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Ayat diatas merupakan dasar hukum potong tangan bagi pencuri. Akan tetapi, mengapa umar menghentikan hukum potong tangan bagi pencuri pada musim paceklik? Apakah keputusan itu bertentangan bertentangan dengan ayat di atas?
Kalau dilihat secara kontekstual, keputusan khalifah ini bertentangan dengan ayat 38 surat al-Maidah diatas. Tetapi, jika dilihat secara kontekstual, justru kepitusan khalifah ini sesuai dengan prinsip-prinsip universalisme Alquran, yaitu prinsip memelihara dan menyelamatkan jiwa manusia lebih utama daripada memenuhi tuntutan hukum. Sebab, khalifah umar bukan menentang hukum potong tangan, melainkan mempertimbangkan secara objektif kondisi sosial-masyarakat yang tidak kondusif untuk melaksanakan hukum potong tangan tersebut. Argumrn umar didasarkan pada kenyataan bahwa boleh jadi orang yang mencuri itu terdesak oleh keadaan hidup yang teramat sulit sehingga dia terpaksa mencuri untuk mempertahankan hidup dan keluarganya, jika tidak maka nyawa mereka akan melayang. Kalau kondisi sosial seperti itu, apakah Allah Yang MahaBijak itu tega membiarkan hambaNya yang mencuri dihukum dengan hukuman potong tangan, padahal mereka pencuri karena kelaparan? 54
Abdul Mustaqim, Epistemologi Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer , (Yogyakarta: LKiS, 2011), 41
22
Pada masa sekarang kita dapat mengambil contoh mengenai bunga bank yang diusung oleh beberapa bank konvensional sekarang ini. Mengenai hal ini Alquran akan mengatakan bahwasanya bunga bank itu termasuk dalam riba. Riba yang dimaksud alquran disini adalah riba yang dapat merugikan atau men yulitkan pelaku ekonomi.
Untuk dapat memahami pentingnya peningkatan kepedulian dalam kehidupan bermasyarakat, secara sistematis terlebih dahulu perlu memahami permasalahan dan urgensinya. Manusia pada dasarnya merupakan makhluk, Artinya hidup menyendiri, tetapi sebagian besar hidupnya saling ketergantungan, yang pada gilirannya tercapainya kondisi keseimbangan relative. Kondisi nyata dalam kehidupan manusia yaitu ada yang kaya miskin, kuat lemah, besar kecil, dll. Islam adalah agama yang menghendaki kebaikan dalam dua aspek, pertama, aspek hablun min Allah hubungan vertical. vertical . 55 Kedua, aspek hablun minannas hubungan horizontal. 56 Dengan demikian, islam menghendaki pemeluknya untuk berbuat kesalehan. Pertama, kesalehan ritual yaitu kesalehan seorang hamba dalam hubungan dengan tuhan atau dalam beribadah. Dan yang kedua, kesalehan social, yaitu kesalehan dalam hubungan dengan manusia. Islam sangat menganjurkan untuk berbuat kebaikan terhadap manusia, apalagi terhadap orang-orang yang betul-betul sangat membutuhkan. Hubungan dengan harus dibangun sedemikian indah dan harmonis. Bangunlah persahabatan yang baik dengan siapa saja, tanpa pandang bulu. Berbagilah Berbagilah dengan makluk ciptaan Allah SWT. 57 Allah SWT memerintahkan kita untuk mengadakan hubungan dengan hablum minannas, disebut juga silaturahim. Hubungan antara orang perorang biasa dilakukan dengan berbagai tujuan duniawi, tetapi landasan utaman ya adalah saling berkasih, sehingga masing-masing mendapat mendapat manfaat dan tidak ada yang dirugikan. Kepedulian termasuk dalam ibadah jika dilaksanakan dengan tujuan kebaikan. 55
Hubungan Vertical, yaitu hubungan antara hamba dengan tuhannya Hubungan Horizontal yaitu hubungan antara hamba dengan hamba lainnya. 57 Muhammad Abd. Al-Adzim al-Zarqani. Manahil al-Zarqani. Manahil al-'Irfan fi `Ulum Al-Qur'an, (Mathba'ah Isa al-Bab al-Halaby, 1957), 34 56
23
Kepedulian dapat diartikan sebagai sikap memperhatikan urusan oranglain (anggota masyarakat). Kepedulian social yang dimaksud disini bukanlah untuk mencampuri urusan oranglain, tetapi lebih pada membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oranglain dengan dengan tujuan perdamaian dan kebaikan. Manusia memang sejatinya tidak akan pernah terlepas dari kehidupan, karena memang manusia merupakan makhluk, makhluk yang tidak bisa hidup tanpa bantuan oranglain yang akan melahirkan kebersamaan,berkomunikasi, tolong menolong dan dalam berbagai aktivitas sosial lainnya. Dalam pandangan Islam seseorang tidak akan dikatakan sempurna imannya sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. 58 Sebenarnya
pandangan
islam
yang
demikian
sudah
benar,
tetapi
kenyataannya sekarang masih banyak orang yang kurang peduli terhadap permasalahan ini sehingga tatanan menjadi kurang seimbang yang yang mengakibatnkan mengakibatnkan banyak terjadi kekacauan seperti pencurian, perampokan, dll.59 Masyarakat sosial adalah kumpulan sekian banyak individu kecil atau besar yang terikat oleh satuan adat, ritus dan hidup bersama. Sedangkan kepedulian sosial adalah senantiasa empati terhadap nasib orang lain, mau mengorbankan tenaga, pikiran dan materi demi terpenuhnya kebutuhan kebutuhan orang lain. Menurut Al-Qur’an Al-Qur’an manusia secara fitrah adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat yang merupakan suatu keniscayaan bagi mereka. Tingkat kecerdasan, kemampuan, dan status sosial manusia menurut Al-Qur’an Al- Qur’an berbedaberbeda beda. Firman Allah QS.Az-Zuhruf: QS.Az-Zuhruf: 32 “apakah mereka yang membagi-bagi membagi -bagi rahmatmu? kami yang membagi antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia ini. Dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain atas beberapa tingkat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain, dan rahmat tuhanmu lebih baik,baik dari apa yang mereka kumpulkan”. kumpulkan”. Seperti ayat di atas menerangkan perbedaan-perbedaan tersebut bertujuan agar mereka memperoleh manfaat dari sebagian yang lain. 58
Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer , (Jakarta: Al-Mawardi Prima,
2001), 66 59
M. Dawam Rahardjo, Paradigma Rahardjo, Paradigma Al-Quran Metodologi Tafsir Dan Kritik Sosial , (Jakarta: PSAP, 2014), 43
24
Makna kata “sosial” dalam kamus besar bahasa indonesia berarti “berkenaan dengan masyarakat”. Jadi, ilmu sosial adalah ilmu tentang sifat, perilaku, dan perkembangan
masyarakat
komunitas.60Alasan
mengapa
baik para
secara
individu
mufasir
maupun
menggunakan
dalam
suatu
pendekatan
ini
didasarkan pada beberapa kenyataan masalah berikut ini. Pertama ini. Pertama,, masih ditemukan adanya perbedaan pendapat di kalangan ilmuwan dan mufasir tentang hubungan tafsir kitab suci dengan ilmu pengetahuan. Kedua, Kedua, filsafat sebagai metode berfikir tidak digunakan semaksimal mungkin dalam ranah tafsir alquran. Ketiga alquran. Ketiga,, belum adanya sistematika metodologi tafsir Alquran yang khusus mengkaji ayat-ayat ilmu pengetahuan, salah satunya ilmu sosial ini. Alasan-alasan diatas merupakan alasan yang bisa diterima. Bagaimana tidak, Alquran selain persoalan ubidiyah yang dijelaskan panjang lebar oleh par a mufasir, terdapat pula teks yang berbicara tentang ilmu pengetahuan, sedangkan kita tahu bahwasanya
ilmu
pengetahuan
itu
terus
berkembang
seiring
dengan
berkembangnya zaman. Oleh karena itu, para mufassir dituntut untuk selalu berteman erat dengan keadaan artinya a rtinya harus selalu memahami keadaan sosial dan lingkungan dalam membuat suatu penafsiran. 61 Karena salah satu modal besar dalam melakukan penafsiran adalah mengetehui kondisi sosial atau aspek historis saat ayat-ayat diturunkan. Dengan ini seorang mufassir akan mampu menemukan hubungan logis antara satu ayat dengan ayat lainnya, dan hubungan ayat-ayat itu dengan realitas sosial yang sedang bergerak. Asghar Ali pun mengemukakan pendapatnya, bagi generasi mendatang, mereka punya hak untuk menafsirkan alquran dengan cara mereka sendiri berdasarkan pengalaman dan problematika yang sedang mereka hadapi. Permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh generasi terdahulu tidaklah sama dengan masalah yang dihadapi pada masa sekarang.
60
61
M. Dawam Rahardjo, Paradigma Rahardjo, Paradigma Al-Quran Metodologi Tafsir Dan Kritik Sosial , 77 Hamid James, Teori Sosial , (Bandung: Faiz Perct, 2015), 87
25
Penafsiran dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial ini juga memiliki tujuan khusus, yakni; pertama, yakni; pertama, fungsi fungsi al-tabyin yaitu menjelaskan teks alquran dengan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
yang
dimiliki
oleh
sang
mufasirnya. Kedua mufasirnya. Kedua fungsi fungsi i’jaz yaitu i’jaz yaitu pembuktian atas kebenaran teks alquran menurut ilmu pengetahuan dan teknologi yang selanjutnya dapat memberikan stimulan atau dapat ditindak lanjuti oleh para ilmuwan dalam meneliti dan observasi ilmu pengetahuan lewat penafsiran teks-teks alquran. Ketiga alquran. Ketiga,, fungsi istihraj alilm yaitu teks atau ayat-ayat alquran mampu melahirkan teori-teori teori -teori ilmu pengetahuan dan teknologi. teknologi. Faktor lain yang menjadikan ilmu sosial ini harus dipakai dalam pendekatan penafsiran adalah bahwa dalam alquran dalam memberikan petunjuk tentang ilmu pengetahuan, ternyata hanya secara global saja. Sedangkan untuk untuk penjelasan secara rinci dan mendalam, diserahkan sepenuhnya kepada ikhtiyar manusia; ikhtiar untuk mencari dan menelusurinya sesuai dengan batas keahlian dan kemampuannya. Hal ini dijelaskan dalam beberapa ayat-ayat alquran, bahwasanya manusia telah dikarunia otak untuk menunjang kemampuan berfikir, dalam memahai berbagai persoalan dan menemukan pemecah masalahnya. D. PENUTUP 1. Kesimpulan
Komponen ilmu tafsir dalam ilmu keislaman adalah yang sangat penting, karena terkait dengan sumber-sumber pokok ajaran islam “al“al-Qur’an Qur’an dan Hadis, Tafsir hadis adalah sebutan untuk program studi yang memusatkan aktivitas pengkajian terhadap al-Qur’an al-Qur’an dan dan al-Sunnah yang menjadi sumber utama ajaran islam dan di golongkan sebagai kajian pokok (usul) dalam pemikiran islam. Penafsiran dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial ini juga memiliki tujuan khusus, yakni; pertama, yakni; pertama, fungsi fungsi al-tabyin yaitu menjelaskan teks alquran dengan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
yang
dimiliki
oleh
sang
mufasirnya. Kedua mufasirnya. Kedua fungsi fungsi i’jaz yaitu i’jaz yaitu pembuktian atas kebenaran teks alquran menurut ilmu pengetahuan dan teknologi yang selanjutnya dapat memberikan
26
stimulan atau dapat ditindak lanjuti oleh para ilmuwan dalam meneliti dan observasi ilmu pengetahuan lewat penafsiran teks-teks alquran. Ketiga alquran. Ketiga,, fungsi istihraj alilm yaitu teks atau ayat-ayat alquran mampu melahirkan teori-teori teori -teori ilmu pengetahuan dan teknologi. teknologi. Faktor lain yang menjadikan ilmu sosial ini harus dipakai dalam pendekatan penafsiran adalah bahwa dalam alquran dalam memberikan petunjuk tentang ilmu pengetahuan, ternyata hanya secara global saja. Sedangkan untuk untuk penjelasan secara rinci dan mendalam, diserahkan sepenuhnya kepada ikhtiyar manusia; ikhtiar untuk mencari dan menelusurinya sesuai dengan batas keahlian dan kemampuannya. Hal ini dijelaskan dalam beberapa ayat-ayat alquran, bahwasanya manusia telah dikarunia otak untuk menunjang kemampuan berfikir, dalam memahai berbagai persoalan dan menemukan pemecah masalahnya.
2. Kata Penutup
Demikian makalah tentang “Pendekatan Sejarah Sosial Dalam Tafsir” yang saya susun, tentunya masih terdapat kekurangan karena kete rbatasan dari penyusun sendiri yang masih dalam proses belajar, namun pastinya saya masih butuh masukan dan saran yang bisa meningkatkan kualitas perbaikan dalam menulis. Akhirnya kami mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Bapak Dosen yang selalu membimbing saya dalam perkuliahan dan kepada teman-teman yang saling memberi masukan yang sangat berharga.
27
DAFTAR BACAAN
Sumber Jurnal ilmiah
Khairul Hammy, Reinterprestasi Tafsir Melalaui pendekatan ilmu Soasial Modrn’ Jurnal ilmu al-Quran dan Tafsir Vol Vol 1 No 2 (2017): Vol 1 No 2 (2017): Kajian Al-Quran
dan
Tafsir
diakses
12
November
2017
http://ejournal.kopertais4.or.id/sasambo/index.php/alirfani Sumber Telusur Internet
Sholihudin ,Miftahus, “Tafsir Ilmiy terhadap Al -Qur’ān” (Sebuah Jalan Terjal Menuju Keilmiahan Al-Qur’ān Al-Qur’ān ) Diakses ) Diakses 9 November 2017 https://www.kompasiana.com/miftahus/tafsir-ilmiy-terhadap-alqurn-sebuah jalan-terjal-menuju-keilmiahan-alqurn_565418c3f192737407698ab9 jalan-terjal-menuju-keilmiahan-alqurn_565418c3f19273740 7698ab9 Sumber Buku
Banna al,Gamal, Evolusi al,Gamal, Evolusi Tafsir : Dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern Modern,, Pent. Novriantoni Kahar, (Jakarta : Qisthi Press, 2004). Dzahabî ,Muhammad Husain al-, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, al-Mufassirûn, (Kairo : Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 2005). Ghafur, Saiful Amin, Profil Amin, Profil Mufassir al-Qur’an al-Qur’an,, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008). Hamzah, Muchotob. 2003. Studi Al-Qur’an Al-Qur’an Komprehensif . (Yogyakarta : Gama Media, 2009). Ibn Taimiyyah, Muqaddimah Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr , (Kuwait: Dâr al-Qur’ân al-Qur’ân al-Karîm, al-Karîm, 1971).
28
Ilyas, Yunahar. 2013. Ulumul Qur’an. Qur’an. (Yogyakarta : Itqan Publishing, 2003). J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Qur’an Muslim Modern, Modern, pent A. Ni’amullah Ni’amullah Mu’iz, Mu’iz, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991. Mustaqim, Abdul, Epistemologi Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer , (Yogyakarta: LKIS, 2011). Noor ,Muhibbin, Menuju UIN Walisongo, Sebuah Gagasan dan Mimpi Panjang , Panjang , Semarang: Fatawa Publishing, 2015). Nasution, S. Sejarah Pendidikan Indonesia. (Jakarta: Indonesia. (Jakarta: Bumi Aksara, 2008). Shihab , M. Quraish, Membumikan Quraish, Membumikan al-Qur’an al-Qur’an (Bandung: (Bandung: Mizan, 1995). Suyuth, al-, Jalaluddin, Al-Itqon Jalaluddin, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, Cairo: Mathba'ah Hijazy, tt. S. Turner ,Bryan, Agama ,Bryan, Agama dan Teori Sosial , (Yogyakarta : IRCiSoD, 2006). Zarqanî ,al, Abdul Azhîm, Manâhil Azhîm, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân al-Qur’ân,, (Beirut : Dâr alMaktabah al-Arabiyah, 1995).
29
BIOGRAFI PENYUSUN
Muhasir, dilahirkan di Daerah Dompu pada 20 Juni
1987 dari pasangan Abdul Malik M.Sidik dan Akmah M.Saleh. Suami Reni Anggraini ini menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Inpres Lara Desa Nanga Tumpu Kecamatan Manggelewa kabupaten Dompu pada tahun 2000 dan Melanjutkan pendidikan SMP Negeri 2 Woja (yang pada waktu itu masih bernama SLTP Negeri 3 Dompu) selesai tahun 2003. Ia melanjutkan ke SMA Negeri 1 Dompu dan tamat pada 2006. Pendidikan S1 diselesaikannya di Sekolah Tinggi Agama Islama (STAI) Al-Amin Dompu-NTB bekerjasama dengan Perguruan Tinggi Swasta di IKIP PGRI Jember Provinsi Jawa Timur, Jurusan Pendidikan Matematika pada Fakultas Matematika dan IPA, kurang lebih dalam waktu empat tahun ia berhasil menyelesaikan kuliah S1 dan lulus pada tahun 2012. Pada bulan September tahun 2017 mendapatkan Prgram Beasiswa tug as belajar dari Kementerian Agama Republik Indonesia Ind onesia untuk Guru Madrasah se Indonesia, dan Alhamdulillah Lulus Seleksi dan Tes di Perguruan Tinggi Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang pada Program Pascasarjana
30
Program Studi Magister Manajemen Pendidikan Islam di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan masuk pada bulan Oktober tahun 2017.
31