BAGIAN ANESTESIOLOGI LAPORAN KASUS
TERAPI INVASIF DAN MANAJEMEN NYERI FEBRUARI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
Penatalaksanaan Perioperatif pada Pasien Operasi Mastektomi
OLEH :
Rinoldy Putra Mangiri
C111 10 173
PEMBIMBING SUPERVISOR:
dr. H. Wahyudi, Sp.An-KAP
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. A
Umur : 50 tahun
Berat : 70 kg
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Makassar
No. CM : 330449
Tanggal Masuk RS : 20 Januari 2016
Tanggal Operasi : 27 Januari 2016
KEADAAN UMUM
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 160/80 mmHg
Nadi : 88 x/ menit
Suhu : 36,50 C
Respirasi : 16 x/ menit
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Benjolan pada payudara kanan
Anamnesis terpimpin: Sejak ± 1 tahun yang lalu, pasien menyadari benjolan di payudara kanan, awalnya sebesar kelereng, dan muncul gatal-gatal tidak lama kemudian. Payudara tidak nyeri, tidak perih, tidak keluar nanah. Benjolan semakin membesar dalam 1 tahun, hingga kira-kira sebesar bola ping-pong. Puting tidak pernah keluar cairan, maupun darah. Riwayat sakit hipertensi ada, riwayat pembedahan disangkal, tidak pernah menderita tumor atau kanker. Riwayat keluarga pasien tidak pernah menderita tumor atau kanker.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat operasi disangkal
Riwayat batuk lama disangkal
Riwayat asma atau sesak nafas disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal
Riwayat Hipertensi ada
Riwayat Diabetes Mellitus ada dan terkontrol
Pasien sedang dalam pengobatan obat anti diabetes kombinasi dan obat anti hipertensi
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat anggota keluarga yang menderita keluhan serupa disangkal
Riwayat anggota keluarga penyakit diabetes melitus disangkal
Riwayat anggota keluarga penyakit hipertensi disangkal
Anamnesis Sistem
Sistem Cerebrospinal : Demam (-), Nyeri kepala (-), pingsan (-), diplopia (-), photophobia (-), epifora (-)
Sistem Cardiovascular : Nyeri dada (-), berdebar-debar (-), keringat dingin(-) sesak (-)
Sistem Respiratorius : Sesak nafas (-), batuk (-)
Sistem Gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun (+)
Sistem Urogenital : BAK lancar, nyeri (-), panas (-), hematuria (-), BAK tidak puas (-), nokturia (-)
Sistem Integumentum : Akral hangat (+), sianotik (-), eritema (-), gatal (-), tangan basah dingin (-).
Sistem Muskoloskeletal : Nyeri tulang (-), gangguan gerak (-), penurunan tonus otot (-), pruritus (-).
Kebiasaan/Lingkungan :
Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal.
PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor Ø 3 mm,
Hidung : Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-)
Telinga : Bentuk daun telinga normal, pendengaran normal, sekret (-/-)
Mulut : Bibir kering (+), pucat (-), pecah-pecah (-).
Leher : Deformitas (-), tanda inflamasi (-), pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorak
Inspeksi : dinding dada simetris (+), sikatrik (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), fremitus normal kanan kiri, krepitasi (-)
Auskutasi : vesikuler +/+, ronki basah halus -/-, ronki basah kasar -/-, suara jantung S1 dan S2 normal.
Perkusi : sonor, batas jantung normal
Abdomen :
Inspeksi : distensi abdomen (-), Darm contour (-), Darm steifung (-)
Auskultasi : peristaltik (+) kesan meningkat
Palpasi : Nyeri Tekan (-)
Perkusi : Timpani
Ekstremitas :
Superior : tidak ada deformitas, tidak sianosis, tidak pucat, tidak edema
Inferior : tidak ada deformitas, tidak sianosis, tidak pucat, tidak edema
Status Lokalis:
Regio Mammae Dextra:
Inspeksi : Payudara kiri dan kanan asimetris. Tampak benjolan di payudara kanan pada kuadran caudo medial, kulit payudara pada benjolan kemerahan, tampak mengkilat dan tegang, retraksi papilla mammae ke arah benjolan, tampak ulserasi, tampak tanda radang. Tampak perdarahan pada ulserasi, tidak ada pus, kulit di sekitar ulserasi berlekuk, tampak oedem, tampak gambaran Peau d' Orange
Palpasi : Benjolan dengan diameter 5 cm pada kuadran caudo medial. Berbentuk bulat, konsistensi keras, batas tidak jelas, mobile, melekat terfiksir pada kulit lepas dari dasar dinding dada, tidak ada nyeri tekan. Dengan pemijitan pada papilla mamae tidak ada keluar cairan.
Regio Mammae Sinistra:
Inspeksi : tidak tampak benjolan, warna kulit sama dengan sekitar, tidak ada retraksi papilla mammae, tidak ada ulserasi.
Palpasi : Tidak teraba massa/benjolan.
Regio Aksila Dextra:
Inspeksi : Tidak tampak benjolan dan ulserasi.
Palpasi : Tidak teraba pembesaran kelenjar aksila dan tidak teraba benjolan.
Regio Aksila Sinistra:
Inspeksi : Tidak tampak benjolan dan ulserasi.
Palpasi : Tidak teraba pembesaran kelenjar aksila dan tidak teraba benjolan.
Regio Supraklavikuler Dextra dan Sinistra:
Inspeksi : Tidak tampak benjolan dan ulserasi.
Palpasi : Tidak teraba pembesaran kelenjar aksila dan tidak teraba benjolan.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
HB : 11,1 g/dl
WBC : 14,2 x103
RBC : 3,75 x103
HCT : 32,0 %
CT : 5, 30
BT : 2,0
KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik serta laboratorium, maka:
Diagnosa pre-operatif :
Status operatif : ASA PS II
TINDAKAN ANESTESI
Keadaan pre-operarif : Pasien wanita, 50 tahun dengan diagnosa Ca. Mammae dextra. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kooperatif, tensi 140/80 mmHg, nadi 86 x/ menit, pernapasan 16x/i, suhu 36,0 C
Jenis Anestesi : anestesi umum, semi closed, general endotracheal anestesi dengan ET oral no: 7.0 respirasi kontrol.
Persiapan praanestesi :
Persiapan khusus : pemasangan pipa nasogastrik sebagai upaya pengosongan lambung dan dihisap secara berkala.
Premedikasi yang diberikan : ± 5 menit sebelum dilakukan induksi anestesi, diberikan premedikasi berupa fentanyl 100 mcg.
Anestesi yang diberikan :
Induksi anestesi ( jam 08.30)
Untuk induksi digunakan propofol 100 mg. Setelah itu pasien diberi O2 murni selama ± 1 menit, disusul pemberian atracurium 30 mg dan lidocain 60 mg, setelah terjadi relaksasi kemudian dilakukan intubasi melalui oral dengan ET no. 7,0. Setelah di cek pengembangan paru dan suara nafas paru kanan dan kiri sama, ET di fiksasi dan dihubungkan dengan sistem apparatus anestesi. Pernafasan pasien dibantu sampai terjadi nafas spontan.
Maintenance
Untuk mempertahankan status anestesi digunakan kombinasi O2 4 L/ menit, Isoflurance 1,8 vol %.
Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan nadi senantiasa di kotrol setiap 5 menit. Tekanan darah sistolik berkisar antara 130-160 mmHg, dan 90-130 mmHg untuk diastolik, nadi berkisar antara 90-110 x/ menit. Infus RL diberikan pada penderita sebagai cairan rumatan.
Ekstubasi dilakukan bila pasien sudah sadar, bernafas spontan adekuat dan jalan nafas bersih. Waspadai terhadap kemungkinan terjadinya regurgitasi atau muntah pasca ekstubasi.
Keadaan post operasi
Operasi selesai dalam waktu 50 menit, tetapi pemberian agen anestesi masih dipertahankan dengan tujuan agar tindakan ekstubasi dalam dilakukan pada keadaan tidak sadar penuh sehingga tidak menimbulkan batuk dan mencegah kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia dan sianosis.
Ruang Rumatan
Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan diobsevasi
Airway : Clear
Breathing : Vesikuler, bunyi pernafasan kiri=kanan, Rh -/-, Wh -/-
Circulation : TD 123/72 mmHg; HR 90 x/i reguler
VAS : 1/10
Bila pasien tenang dan Aldrette Score 8 tanpa nilai nol, dapat dipindah ke bangsal.
Post operasi ;
monitoring vital sign
analgetik : ketorolac 30 mg IV, boleh diulang tiap 8 jam + Tramadol 100mg/8jam/iv
terapi lain sesuia TS Bedah Onkologi dan Interna
cek Hb post op, darah rutin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANESTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
Muscle relaxant: relaksasi otot rangka
Pilhan cara anestesi
Umur
Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum
Status fisik
Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk mengetahui apakah pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat mengetahui apakah ada komplikasi anestesia dan pasca bedah.
Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari penggunaan anestesia umum.
Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa sebaikmya dilakukan dengan anestesia umum.
Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi anestesia. Pilihan anestesia adalah regional, spinal, atau anestesi umum endotrakeal.
Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesis umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan demikian juga pembedahan yang berlangsung lama.
Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan kebutuhan dokter bedah antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah plastik dan lain-lain.
Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi
Keinginan pasien
Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesia yang tidak terbakar dan tidak eksplosif adalah pilah utama pada pembedahan dengan alat elektrokauter.
A. TAHAPAN TINDAKAN ANESTESI UMUM
Penilaian dan persiapan pra anestesia
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
I.1 Penilaian pra bedah
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
Kebugaran untuk anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesia, karena dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.
I.2 Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anestesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi refleks yang membahayakan
Waktu dan cara pemberian premedikasi:
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.
Obat-obat yang sering digunakan:
Analgesik narkotik
Petidin (amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
Morfin (amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
Fentanyl (fl 10cc = 500 µg), dosis 1-3µgr/kgBB
Analgesik non narkotik
Ponstan
Tramol
Toradon
Hipnotik
Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
Sedatif
Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB
Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
INDUKSI ANASTESI
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan 'STATICS':
S : Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T : Tube Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I : Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S : Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
II.1 Induksi intravena
Paling banyak dikerjakan dan digemari. Induksi intravena dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Obat-obat induksi intravena:
Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg
Dosis: 3-7 mg/kgBB (IV); pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi. Disuntikkan perlahan (dihabiskan dalam 30-60 detik), karena larutan ini sangat alkalis (pH 10-11) sehingga suntikan keluar vena menyebabkan nyeri hebat.6
Sediaan: ampul 500 mg atau 1000 mg. Dikemas dalam bentuk bubuk berwarna kuning, berbau belerang. Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades sampai kepekatan 2,5% (1 ml = 25 mg).6
Farmakokinetik: Tiopental dalam darah 70% diikat albumin, sisanya 30% dalam bentuk bebas, sehingga pada pasien dengan albumin rendah dosis harus dikurangi.
Efek: Bergantung dosis dan kecepatan suntikan, pasien akan berada dalam keadaan sedasi, hipnosis, anestesia atau depresi napas. Menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intrakranial dan diduga dapat melindungi otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah bersifat anti-analgesia.
Propofol (diprivan, recofol)
Dosis:
Induksi: 2-3 mg/kgBB (IV dengan kepekatan 1%). Suntikan IV sering menyebabkan nyeri sehingga 1 menit sebelumnya sering diberikan lidocaine 1-2 mg/kgBB IV.6
Maintenance anestesia intravena total: 4-12 mg/kgBB/ jam.6
Sedasi pada perawatan intensif: 0,2 mg/kgBB
Pada manula dosis harus dikurangi
Sediaan: dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%.
Kontraindikasi: tidak dianjurkan pada wanita hamil dan anak <3 tahun.
Ketamin (ketalar)
Dosis: 1-2 mg/kgBB (IV)
Sediaan: dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml=10 mg), 5% (1 ml=50 mg) dan 10% (1 ml=100 mg)
Efek:
Sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia sering menimbulkan mual muntah, pandangan kabur, mimpi buruk, atau halusinasi (oleh karena itu dianjurkan memakai sedativa, contohnya Midazolam/dormikum atau diazepam/valium dengan dosis 0,1 mg/kg IV dan untuk mengurangi hipersalivasi diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg)
pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka
Kontraindikasi: Tidak dianjurkan pada pasien TD tinggi (>160 mmHg)
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Dosis
dosis induksi: 20-50 mg/kg
dosis rumatan: 0,3-1 mg/kg/menit
Efek
Tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung
II.2 Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
II.3 Induksi inhalasi
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain seperti halotan.
Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.
Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan.
Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
II.4 Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.
PELUMPUH OTOT NONDEPOLARISASI Tracurium 20 mg (Antracurium)
Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.
Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit.
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:
Cegukan (hiccup)
Dinding perut kaku
Ada tahanan pada inflasi paru
RUMATAN ANESTESI (MAINTAINANCE)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.
TATALAKSANA JALAN NAPAS
Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
Hidung
Menuju nasofaring
Mulut
Menuju orofaring
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiform.
Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas, sehingga gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung (naso-pharyngeal airway).
Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.
Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esophagus.
Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru. Laringoskop merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop:
Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa
Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4 gradasi.
Gradasi
Pilar faring
Uvula
Palatum Molle
1
+
+
+
2
-
+
+
3
-
-
+
4
-
-
-
Indikasi intubasi trakea
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:
Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Kesulitan intubasi
Leher pendek berotot
Mandibula menonjol
Maksila/gigi depan menonjol
Uvula tak terlihat
Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
Gerak vertebra servikal terbatas
Komplikasi intubasi
Selama intubasi
Trauma gigi geligi
Laserasi bibir, gusi, laring
Merangsang saraf simpatis
Intubasi bronkus
Intubasi esophagus
Aspirasi
Spasme bronkus
Setelah ekstubasi
Spasme laring
Aspirasi
Gangguan fonasi
Edema glottis-subglotis
Infeksi laring, faring, trakea
Ekstubasi
Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan catatan tak akan terjadi spasme laring.
Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Muhardi M, Roesli T, Sunatrio, Ruswan D. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1989.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Departement Farmakologi dan Terapeutik Ed 5 farmakologi dan Terapi. Jakarta : Gaya Baru. 2007
Mangku G,dkk. Buku Ajar Ilmu Anasthesia dan Reanimasi. Cetakan pertama. Jakarta : Universitas Udayana Indeks. 2010
Jaideep J Pandit. Intravenous Anaesthetic Drug. 2007. Anaesthesia And Intensive Care Medicine 9:4. Diunduh dari : http://www.philippelefevre.com/downloads/basic_sciences_articles/iv-anaesthetic-agents/intravenous-anaesthetic-agents.pdf
Omoigui, S. Obat-obatan Anastesia. EGC : Jakarta. 1997
Mansjoer A, Triyanti K, Wardhani WI. Et all (editor). Kapita Selekta Kedokteran. Cetakan keenam : Media Aesculapius – FK UI. 2007
Latief SA. Suryadi KA. Dachlan MR, Petunjuk Praktis Anestesiologi dan Terapi Intensif Edisi 3. Jakarta Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Rinoldy Putra Mangiri, S.Ked
Stambuk : C111 10 173
Judul Laporan Kasus : Penatalaksanaan Perioperatif pada Pasien Operasi Mastektomi
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar, Februari 2016
Supervisor Pembimbing
dr. Wahyudi Sp.An-KAP dr. Fikran Siddik
Mengetahui :
KPM Bagian Ilmu Anestesi, Terapi Intensif dan Manajemen Nyeriw
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
dr. Nur Surya Wirawan, M.Kes, SpAn-KMN