Penatalaksanaan Hepatitis B Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis virus, akan tetapi secara umum penatalaksanaan pengobatan hepatitis adalah sebagai berikut : 1.
Istirahat Pada periode akut dan keadaan lemah diharuskan cukup istirahat. Istirahat mutlak tidak terbukti dapat mempercepat penyembuhan. Kecuali mereka dengan umur tua dan keadaan umum yang buruk.
2.
Diet Jika pasien mual, tidak ada nafsu makan atau muntah – muntah, sebaiknya diberikan infus. Jika tidak mual lagi, diberikan makanan cukup kalori (30-35 kalori/kg BB) dengan protein cukup (1 gr/kg BB), yang diberikan secara berangsur – angsur – angsur disesuaikan dengan nafsu makan klien yang mudah dicerna dan tidak merangsang serta rendah garam (bila ada resistensi garam/air).
3.
Medikamentosa Kortikosteroid tidak diberikan bila untuk mempercepat penurunan billiburin darah. Kortikosteroid dapat digunakan pada kolestatis yang berkepanjangan, dimana transaiminase serumsudah kembali normal tetapi billburin masih tinggal. Pada keadaan ini dapat dberikan prednisone 3 x 10 mg selama 7 hari, jangan diberikan antimetik, jika perlu sekali dapat diberikan
fenotiazin.
Vitamin
K
diberikan
pada
kasus
dengan
kecenderungan perdarahan. Bila pasien dalam keadaan perkoma atau koma, penanganan seperti pada koma hepatik (Arif, 2000).
Penatalaksanaan Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mecegah atau menghentikan progresi jejas hati (liver injury) dengan cara menekan replikasi virus atau menhilangkan injeksi. Dalam pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang sering di pakai adalah hilangnya petanda replikasi virus yang aktif secara menetap (HbeAg dan VHB DNA). Pada umumnya, serokonversi dari HbeAg menjadi anti-Hbe disertai dengan hilangnya DNA VHB dalam serum dan meredanya penyakit hati. Pada kelompok pasien hepatitis B kronik HbeAg negatif, serokonvers HbeAg tidak daat dipakai sebagai titik akhir terapi dan respons terapi hanya dapat dinilai dengan pemeriksaan DNA VHB.
Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis B yaitu: 1. Terapi dengan Imunomodulator a. Interferon (IFN) alfa. IFN adalah kelompok protein intraseluler yang normal ada dalam tubuh dan diproduksi oleh barbagai macam sel. INF alfa diproduksi oleh limfosit B, IFN beta diproduksi oleh monosit fibroepitelial, dan IFN gamma diproduksi oleh sel limfosit T. Produksi IFN dirangsang oleh berbagai macam stimulasi terutama infeksi virus. Beberapa khasiat IFN adalah aktivitas antivirus, imunomodulator, anti proliferatif, dan anti fibrotik. IFN tidak memiliki khasiat anti virus langsung tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein infeksi virus. Dalam proses terjadinya aktivitas antivirus, IFN mengadakan interaksi dengan reseptor Ifn yang terdapat pada membran sitoplasma sel hati yang diikuti dengan diproduksinya protein efektor. Salah satu protein yang terbentuk adalah 2’, 5’-oligoadenylate synthetase (OAS) yang merupakan suatu enzim yang berfungsi dalam rantai terbentuk aktivitas antivirus.
Khasiat IFN pada hepatitis B terutama disebabkan oleh khasiat imunomodulator. Penelitian menunjukan bahwa pasien hepatitis B kronis sering didapat penurunan produksi IFN. Sebagai salah satu akibataya terjadi gangguan penampilan molekul HLA kelas I pada membran hepatosit yang sangat diperlukan agar sel T sitotoksik dapat mengenali sel-sel hepatosit yang terkena infeksi VHB. Sel-sel tersebut menampilkan antigen sasaran (target antigen) VHB pada membran hepatosit. IFN adalah salah satu pilihan untuk pengobatan pasien hepatitis B kronik dengan HBeAg positif, dengan aktivitas penyakit ringan sampai sedang, yang belum mengalami sirosis. Pengaruh pengobatan IFN dalam menurunkan replikasi virus telah banyak dilaporkan dari berbagai laporan penelitian yang menggunakan follow-up jangka panjang.
Bebempa faktor yang dapat meramalkan keberhasilan IFN: Konsentrasi ALT yang tinggi • Konsentrasi DNA VHB yang rendah • Timbulnya flare-up selama terapi • IgM anti-HBc yang positif Efek samping IFN: • Gejala seperti flu • Tanda-tanda supresi sumsum tulang • Flare-up • Depresi • Rambutrontok • Berat badan turun • Gangguan fiingsi tiroid
Sebagai kesimpulan, IFN merupakan suatu pilihan untuk pasien hepatitis B kronik nonsirotik dengan HBeAg positif dengan aktivitas penyakit ringan sampai sedang.
Dosis IFN yang dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg positif adalah 5-10 MU 3 x seminggu selama 16-24 minggu. Penelitian menunjukkan bahwa terapi IFN untuk hepatitis B kronik HBeAg negatif sebaiknya diberikan sedikitnya selama 12 bulan. Kontra indikasi terapi IFN adalah sirosis dekompensata, depresi atau riwayat depresi di waktu yang lalu, dan adanya penyakit jantung berat.
b. PEG Interferon. Penambahan polietilen glikol (PEG) menimbulkan senyawa IFN den gan umur paruh yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan IFN biasa. Dalam suatu penelitian yang membandingkan pemakaian PEG IFN alfa 2a dengan dosis 90,180, atau 270 mikrogram tiap minggu selama 24 minggu menimbulkan penurunan DNA VHB yang lebih cepat dibandingkan dengan IFN biasa yang diberikan 4,5 MU 3 x seminggu. Serokonversi HBeAg pada kelompok PEG IFN pada masing-masing dosis adalah 27, 33,37% dan pada kelompok IFN biasa sebesar 25%. 1. Penggunaan steroid sebelum terapi IFN. Pemberian steroid pada pasien Hepatitis B Kronik HBsAg positif yang keinudian dihentikan mendadak akan menyebabkan flare up yang disertai dengan kenaikan konsentrasi ALT. Beberapa penelitian awal menunjukkan. Bahwa steroid withdrawl yang diikuti dengan pemberian IFN lebib efektif dibandingkan dengan pemberian IFN saja, tetapi hal itu tidak terbukti dalam penelitian skala besar. Karena itu steroid withdrawl yang diikuti dengan pemberian IFN tidak dianjurkan secara rutin. 2. Timosin Alfa 1 Timosin adalah suatu jenis sitotoksin yang dalam keadaan alami ada dalam ekstrak pinus. Obat ini sudah dapat dipakai untuk terapi baik sebagai sediaan parenteral maupun oral. Timosin alfa 1 merangsang fungsi sel limfosit. Pemberian Timosin alfa 1 pada
pasien hepatitis B kronik dapat menurunkan replikasi VHB dan menurunkan
konsentrasi
atau
menghilangkan
DNA
VHB.
Keunggulan obat ini adalah tidak adanya efek samping seperti IFN. Dengan kombinasi dengan IFN, obat ini meningkatkan efektivitas IFN. 3. Vaksinasi Terapi. Salah satu langkah maju dalam bidang vaksinasi hepatitis B adalah kemungkinan penggunaan vaksin Hepatitis B untuk pengobatan infeksi VHB. Prinsip dasar vaksinasi terapi adalah fakta bahwa pengidap VHB tidak memberikan respons terhadap vaksin Hepatitis B konvensional yang mengandung HBsAg karena individu-individu tersebut mengalami imunotoleransi terhadap HBsAg. Suatu vaksin terapi yang efektif adalah suatu vaksin yang kuat yang dapat mengatasi imunotoleransi tersebut. Salah satu dasar vaksinasi terapi untuk hepatitis B adalah penggunaan vaksin yang menyertakan epiiop yang mampu merangsang sel T sitotoksik yang bersifat Human Leucocyte Antigen (HLA)restricted,
diharapkan
sel
T
sitotoksik
tersebut
mampu
menghancurkan sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Salah satu strategi adalah penggunaan vaksin yang mengandung protein preS. Strategi kedua adalah menyertakan antigen kapsid yang spesifik untuk sel limfosit T sitotoksik (CTL). Strategi ketiga adalah vaksin DNA.
2. Terapi Antivirus a. Lamivudin Lamivudin adalah suatu enantiomer (-) dan 3' tiasitidin yang merupakan suatu analog nukleosid. Nukleosid berfungsi sebagai bahan pembentuk pregenom, sehingga analog nukleosid bersaing dengan nukleosid asli. Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reverse transkriptase yang berfungsi dalam transkripsi balik dari RNA menjadi
DNA yang terjadi dalam replikasi VHB. Lamivudia menghambat produksi VHB barudanmencegah terjadinya infeksi hepatosit sehat yang belum lerinfeksi, tetapi tidak mempengaruhi sel-sel yang telah terinfeksi karena pada sel-sel yang telah terinfeksi DNA VHB ada dalam keadaan convalent closed circular (cccDNA). Karena itu setelah obat dihentikan, titer DNA VHB akan kembali lagi seperti semula karena sel-sel yang terinfeksi akhirnya memproduksi virus baru lagi. Lamivudin adalah analog nukleosid oral dengan aktivitas antivirus yang kuat. Kalau diberikan dalam dosis 100 mg tiap hari, lamivudin akan menurunkan konsentrasi DNA VHB sebesar 95% atau lebih dalam waktu 1 minggu. Dengan metode hibridisasi, DNA VHB tidak bisa dideteksi lagi dengan metode non PCR dalam waktu 8 minggu tetapi masih dapat dideteksi dengan metode PCR. Setelah dihentikan selama 2 minggu, konsetttrasi DNA akan kembali positif dan meneapai konsentrasi sebelum terapi. Menurutpenelitian, dalam waktu 1 tahun serokonversi HBeAg raenjadi aati-HBe terjadi pada 16-18% pasien yang mendapat Lamivudin, sedangkan serokonversi hanya terjadi pada 4-6% pasien yang mendapat plasebo (p<0,05) dan 19% pada pasien yang mendapat IFN. Suatu parameter tunggal terbaik yang bisa dipakai untuk meramalkan kemungkinan serokonversi HBeAg adalah konssntrasi ALT. Setelah terapi, konsentrasi ALT berangsur-angsur menjadi normal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa setelah pengobatan lamivudin jekiia 1 tahun telah terjadi perbaikan derajat nekroinflamasi serta penurunan progresi fibrosis yang beanakna. Di samping itu terjadi penurunan indeks aktivitas histologik (Histnlogic Activity Index) lebih besar atau sama dengan 2 poin pada 62-70% pasien yang mendapat lamivudin dibandingkan dengan 30-33% pada kelompok plasebo. Lamivudin menurunkan progresi fibrosis sebesar 30% dibandingkan
dengan 15% pada kelompok plasebo (p<0,01). Pada kelompok lamivudin progresi menjadi sirosis terjadi pada 1,8% dibandingkan dengan 7,1% pada kelompok pk.sebo. Khasiat lamivudin semakin meningkat bila diberikan dalam waktu yang lebih panjang. Karena itu strategi pengobatan y#ng tepat adalah pengobatan jangka panjang. Penelitian dilakukan secara prospektif {cohort) pada terapi yang diberikan selama 4 tahun menunjukkan serokonversi berturut-turut setiap.tahunnya sebagai berikut: 22,29,4G, dan 47%. Bila hanya pasien ALT> 2 x nilai normal tertinggi saja yang diberikan terapi lamivudin, didapatkan angka serokonversi yang lebih baik, berturut-turuttiap tahunnya 38,42,65, dan 75%. Sayangnya, strategi terapi berkepanjangan ini terhambat oleh munculnya virus yang kebal terhadap lamivudin, yang biasa disebut mutan YMDD. Mutan tersebut akan meningkat 20% dap tahun bila terapi lamivudin diteruskan. Di samping khasiat Lamivudin untuk menghambat fibrosis, Peek dan kawan-kawan telah membaktikan pada binatang percobaan (woodchucks) yaag terinfeksi VHB, bahwa pemberian Lamivudin seditii mungkin dapat mencegah terjadinya karsinoma hepatoselular. Kekebalan terhadap lamivudin. Mutan VHB yang kebal terhadap lamivudin biftgaayft muncul setslah terapi selama 6 bulta daa terdapet keeeaderuapa paingkirtaa dtaf IB berjalaaaya waktu, VHB yaug kebal terhadap lamivudin mengalami mutasi pada gen P di daerah dengan motif YMDD (tyr-met-asp-asd). Salah satu penelitian yang dilakukan pada pasien dari Asia menunjukkan angka kekebalan yang meningkat berturut-turut mulai tahun pertama sampai tahun keempat: 17,40,65, dan 67%. Mutan
YMDD
mengalami
replikasi
yang
lebih
lambat
dibandingkan dengan VHB tipe liar, dan karena itu konsentrasi DNA VHB pada pasien dengan infeksi mutan masih lebih rendah dibandingkan
dengan
konsentrasi
sebelum
terapi.
Bila
terjadi
kekebalan terhadap lamivudin, analog nukleosid yang lain masih bisa dipakai (misalnya adefovir dan enticavir). Lamivudin pada hepatitis B kronik anak-anak. Suatu penelitian pada 286 anak umur 2-17 tahun dengan peningkatan ALT yang menggunakan dosis lamivudin 3 mg/kg berat badan tiap hari selama 52 minggu menunjukkan bahwa serokonversi HBeAg pada kelompok yang
mendapat
lamivudin
lebih
besar
dibandingkan
dengan
kelompok plasebo (23 vs 13%). Laraivudin pada pasien sirosis dengan DNA VHB positif, Penelitian menunjukkan bahwa lamivudin dapat dipakai pada pasien sirosis dekompensata dengan DNA VHB yang positif. Sebagian besar pasien mengalami perbaikan penyakit hati dan penurunan Child-Turcotte Pugh (CTP) yang disertai dengan penurunan kebutuhan transplantasi hati pada pasien-p%sien jjrosis yang mendapatkan terapi lamivudin sedikitnya seiama 6 bulan. Sebagian pasien yang mendapat terapi lamivudin tetap mengalami progresi penyakit hati sehingga tetap memerlukan transplantasi hati. Sebagian lagi meninggal setelah mendapat terapi lamivudin selama beberapa bulan pertama. Suatu penelitian yang dilakukan pada 154 orang pasien sirosis yang mendapat lamivudin menunjukkan bahwa pasien-pasien dengan sirosis yang relatif lebih ringan mendapat manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan pasien sirosis berat. Keuntungan dan kerugian lamivudin. Keuntungan utarua dari lamivudin adalah keamanan, toleransi pasien serta harganya yang rel ati f murah. Kerugiannya adalah seringnyatirnbulkekebalan. Kekambuhan
akut
(flare
up)
setelah
penghentian
terapi
lamivudin. Sekitar 16% pasien hepatitis B kronik yang mendapatkan pengobatan lamivudin dalam jangka lama mengalami kenaikan konsentrasi AIT 8-24 minggu setelah lamivudin dihentikan. Pada umumnya reaktivasi infeksi VHB tersebut tidak disertai ikterus dan kebanyakan akan hilang sendiri. Pada sebagian kecil kasus dapat
terjadi gejala-gejala hepatitis akut dan bahkan gagal hati, Keadaan ini disebabkan karena terjadinya reinfeksi sejumlah besar sel-sel hati yang sehat aMbat diheatikannya lamivudin yang diikuti denpa wspoas imua ytng mirip hepatitii B akut, K
itu padi isrnu* paiiga hepatitis B
kionik yang mendapat terapi lamivudin perlu dilakukan monitoring seksama setelah pengobatan dihentikan. Pada kekambuhan dengan gejala berat lamivudin diberikan ketnbali. Perhatian khusus perlu dilakukan untuk pasien-pasien yang sebelum terapi Lamivudin sudah menderita dekompensasi. b. Adefovir dipivoksiL Adefovir dipivoksil adalah suatu uukleosid oral yang rnenghambat enzim
reverse
transcriptase. Mekanisme
khasiat adefovir harapir sama dengan lamivudin. Penelitian menunjukka n bah wa pemakaian adefovir dengan dosis 10 atau 30 mg tiap hari selama 48 minggu menunjukkan perbaikan Knodell necroinflammatory penurunan
score
konsentrasi
sedikitnya DNA
2
VHB,
poin. penurunan
Juga
terjadi
konsentrasi
ALT serte serokonversi HBeAg. Walaupun adefovir dapat juga dipakai untuk terapi tunggai primer, namun karena alasan ekonomik dan efek samping adefovir, maka pada saat ini adefovir baru dipakai pada kasus-kasus yang kebal terhadap lamivudin. Dosis yang dianjurkan aaaiah 10 mg tiap hari. Sampai sekarang kekebalan terhadap adefovir belum pemah dilaporkan. Salah satu hambatan utama dalam pemakaian adefovir adalah toksisitas pada ginjal yang sering dijumpai pada dosis 30 mv, atau Lebih. Keuntangan penggunaan Dengan terapi
dan
adefovir
demikian hepatitis
Kerugiannya
obat B
adalah
kerugian adalah ini
krcaik harga
adefovir.
jsrangnya
merupakan dengan yang
obat
penyakit lebih
terjadi yang
Keuntungan kekebalan. ideal
untuk
hati
yang
parah.
mahal
dan
masih
kurangnya
data
mengenai
khasiat
dan
keamanan
dalam
jangka yang sangat panjang, c. Analog nukleosid yang lain. Berbagai macam analog nukleosid yang dapat dipakai pada hepatitis B kronik adalah Famciclovir dan emtericitabine (FTC). Indikasi terapi autivirus. Terapi antivirus dianjurkan untuk pasien hepatitis 3 kronik dengan ALT > 2 x nilai normal tertinggi dengan DNA VHB positif. Untuk ALT < 2 x nilai normal tertmggi tidak perlu terapi antivirus. Terapi
antivirus
untuk
hepatitis
B
kronik
dengan
konsentrasi ALT normal atau hampir normal. Kebanyakan ahli berpendapat bahwa untuk hepatitis B kronik dengan konsentrasi ALT normal tidak diperlukan pemberian terapi antivirus walaupun didapatkan DNA VHB titer tinggi atau HBeAg positif. Beberapa ahli menyatakan balnva padt. kasus-kasus seperti di atas, yang pada biopsi hati didapatkan gambaran biopsi yang sangat aktif apalagi bila disertai fibrosis berat perlu diberikan terapi anti
VIRUS.
IFN atau analog nukleosid Untuk ALT 2-5 kali nilai tertinggi dapat diberikan Lamivudin 100 mg tiap hari atau IFN 5 MU 3x seminggu. Untuk ALT > 5 x nilai normal tertinggi dapat diberikan lamivudin 100 mg tiap hari. Pemakaian IFN tidak dianjurkan. Gabungan antara IFN dan nukleosid. Untukmeningkatkan khasiat monoterapi IFN dan monoterapi lamivudin telah dilakukan penelitian yang membandingkan pemakaian monoterapi dengan PEG interferon, monoterapi dengan lamivudin dan kombinasi antara PEG inteferon dan lamivudin pada pasien hepatitis B kronik. Ternyata gabung an antara kedua obat itu tidak lebih baik dibandingkan dengan monoterapi PEG Interferon atau monoterapi lamivudin.
Lama terapi antivirus. Dalam keadaanbiasa IFN diberikan sampai 6 bulan sedangkan lamivudin sampai 3 bulan setelah serokonversi HBeAg. Kriteria respons terhadap terapi antivirus. Respons terhadap antivirus (IFN atau analog nukleosid) yang biasa dipakai adalah hilangnya DNA VHB dalam serum (nonPCR), hilangnya HBeAg dengaa at?u tanpa munculnya anti-HBe (serokcnversi HBeAg), noimalnya konsentrasi ALT serta turunnya nekroinflamasi dan tidaK adanya progresi fibrosis pada biopsi hati yang dilakukan secara seri. Para ahli menganjurkan standardisasi respons terhadap terapi antivirus untuk hepatitis B. Respons tersebut dibagi menjadr respons biokimiawi (BR), respons virilogik (VR), dan respons histologik (HR), pada akhir terapi dan 6-12 bulan setelah terapi dihentikan. Kategori Respons Antivirus. • Respons
biokimiawi
(BR)
adalah
penuranan
konsentrasi
ALT menjadi normal. • Respons
virologik
(VR),
iiegatimya
DNA
VHB
dengan
metode
nonamplifikasi
(<10
5
kopi/ml),
dan
HBeAg
pada
yang
sebelum
terapi
HBeAg
indeks
aktivitas
pasien
hilangnya
positif. • Respons histologik
histologis
(KR),
sedikitnya
2
menurunnya poin
dibandingkan
biopsi
hati
biokimiawi
dan
sebelum terapi. • Respons
komplit
(CR),
adanya
respons
virologik yang disertai negaifnya HBsAg
Waktu Pengukuran respons antivirus. Selama terapi ALT, HBeAg dan DNA VHB (non PCR.) diperiksa tiap 1 -3 bulan. Setelah terapi selesai ALT, HBeAg dan DNA VHB (nonPCR) diperiksa tiap 3-6 bulan. Pengaruh genotip VHB terhadap respons terapi antivirus. Virus Hepatitis B dikelompokkan menjadi 8 genotip (A-H). Sebagianbesar
genotip menunjukkan distribusi geografik yang spesifik, misainya: Eropa Barat Day? dan Amerika Utara, Asia Tenggara, Asia Timur, Mediterania, India, dan Timur Tengah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa genotip VHB berhubungan dengan kemungldEsn serokonversi HBeAg, progresi peuyakit hati, dan respons terapi aativirua. Sebagai contoh, penelitian c'i Taiwan menunjukkan bahwa genotip C lebih lambat dibandingkan dengan genotip B. Demikian juga kemungkinan untuk kekambuhan pada genotip B lebih rendah dibandingkan dengan genotip C. Perbedaan respons terapi antara genotip B dan C:
Interferon:
respons
pada
genotip
B
lebih
baik
daripada
genotip C
Lamivudin:
respons
sebanding
anatara
genotip
B
dan
C
Kekambuhan pada genotip B lebih rendah dibandingkan C
. Kekebalan lamivudin sebanding antara genotip B dan C
Adefovir: sebanding antara genotip B dan C
Perbedaan respons terapi antara genotip A dan D:
Interferon:
respons
genotip
A
lebih
baik
dibandingkan
genotip
D
lebih
baik
dibandingkan
genotip
A
dengan genotip D
Lamivudin:
respons
genotip A.
Kekebalan
terhadap
lamivudin:
lebih
sering
dibandingkan genotip D
Adefovir: sebanding antara genotip A dan D
Analog nukleosid dan transplantasi hati. Pada pasien infeksi VHB yang perlu dilakukan transplantasi hati sangat sulit untuk melakukan eradikasi VHB sebelum transplantasi. Bila pasien tersebut dilakukan transplantasi maka angka kekambuhan infeksi VHB pasca transplantasi sangat tinggi karena pasca transplantasi semua pasien mendapat
terapi imunosupresif yang kuat. Karena itu, dulu para ahli sempat meragukan manfaat transplantasi hati pasien hepatitis B. Dengan adanya terapi anti
VIRUS
spesifik yang dapat menghambat progresi
penyakit hati setelah transplantasi, maka kini transplantasi tetap diberikan kepada pasien infeksi VHB. Penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan gabungan Hepatitis B immune globulin (HBG)
dengan
lamivudin
kekambuhan
infeksi
VHB
pasca
transplantasi dapat ditekan sampai kurang dari 10%. Di samping itu, lamivudin ternyata bisa memperpanjang angka harapan hidup pasca transplantasi.