“Penanggulangan Cemaran Aflatoksin Pada Jagung (Zea , L.) untuk memperpanjang memperpanjang Masa Simpan dan mays Meningkatkan Harga Jual Jagung”
Siti Aisa Liputo
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado, 2012
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jagung merupakan komoditas penting di Indonesia setelah beras. Hal ini disebabkan karena jagung banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan, industri pakan ternak, dan bahan dasar industri makanan olahan. Jumlah produksi jagung di Indonesia meningkat secara signifikan pada sepuluh tahun terakhir, dari sekitar 9,7 juta ton pada tahun 2000 menjadi sekitar 17,6 juta ton pada tahun 2009 (Badan Pusat Statistik, 2010). Provinsi Gorontalo merupakan salah satu daerah penghasil jagung terbesar di Indonesia. Tahun 2000, produksi produksi jagung di Gorontalo Gorontalo 76.573 ton dan melonjak melonjak menjadi 451.094 451.094 ton pada tahun 2005. Penduduk Gorontalo sebagian besar berprofesi sebagai petani jagung. Akan tetapi dalam pembudidayaan dan pendistribusian jagung, petani sering dihadapkan pada berbagai masalah. Salah satu masalah utama dalam pembudidayaan jagung adalah adanya serangan mikotoksin yang disebut aflatoksin, yang sangat beracun jika dikonsumsi oleh manusia dan ternak. Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang merupakan metabolit hasil jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus.(1,2) Aflatoksin merupakan kontaminan yang paling sering dijumpai
pada hasil panen pertanian serta bahan makanan pokok di banyak negara berkembang sehingga mengancam keamanan pangan. Toksin yang dikeluarkan oleh jamur ini dapat dijumpai selama masa produksi bahan pangan, pada waktu panen, pada saat penyimpanan dan proses pembuatan makanan (Yenny, 2005). Toksin yang dihasilkan oleh kapang ini bersifat karsinogenik, hepatotoksik, dan mutagenik bagi manusia ( Hedayati dalam Kusumaningrum dkk, 2010). Cemaran aflatoksin pada jagung di Indonesia cukup tinggi. Dari sampel jagung yang ada di pasaran
hampir separuhnya separuhnya tercemari Aspergillus flavus dengan berbagai level
kandungan aflatoksin, bahkan ada yang di atas 1000 ppb. Dibandingkan dengan negara Asia yang lain (Thailand dan Philippina) angka cemaran aflatoksin pada jagung menduduki peringkat tertinggi (Anonim, dalam Rahayu dkk, 2003).
2
Dalam bisnis perdagangan jagung beberapa parameter yang menentukan kualitas biji jagung antara lain bebas bahan kimia, bebas bau busuk, suhu normal, kadar air + 14%, butir rusak, butir pecah, kotoran, warna lain dan kandungan aflatoksin. Kandungan aflatoksin ini merupakan kriteria penting untuk menentukan kelayakan jagung untuk dikonsumsi maupun untuk pakan ternak. FAO menentukan batas maksimum aflatoksin dalam biji jagung yaitu tidak lebih dari 30 ppb (Beti ( Beti dalam Tandiabang , 2010), sedang FAO dan USDA memberikan batas 20 ppb untuk sapi perah, anak ternak, anak ayam, 100 ppb untuk hewan muda, 200 ppb untuk babi potong dewasa dan 300 ppb untuk sapi potong dewasa (Jeff dalam Tandiabang, 2010). Para pedagang jagung dan pabrik pakan ternak memberikan batas toleransi kandungan aflatoksin dalam biji jagung yang dapat diterima untuk diolah jadi pakan ternak. Pabrik Pakan JAPFA di Makassar mentoleransi kandungan aflatoksin pada jagung maksimum 200 ppb (Tandiabang, 2010). Agar petani memperoleh keuntungan dari usaha tani jagung dan produknya dapat diterima oleh pasar, maka pengendalian aflatoksin guna perbaikan kualitas biji jagung perlu dilakukan. Di indonesia data mengenai pencemaran aflatoksin pada jagung jarang dilaporkan, padahal menjadi sangat penting mengingat jagung merupakan bahan pangan yang cukup dominan dikonsumsi masyarakat. Khususnya di Gorontalo, publikasi mengenai cemaran dan upaya pencegahan perlu diadakan untuk meningkatkan produksi jagung serta meningkatkan kualitas jagung yang dihasilkan terkait dengan efek bagi kesehatan manusia dan hewan. Upaya pencegahan pencegahan bisa dilakukan saat saat pra dan pasca panen, panen, detoksifikasi secara secara biologi, fisik dan kimia, serta upaya-upaya yang lainnya yang diperoleh pada penelitian-penelitian sebelumnya. 1.2 Rumusan Masalah
Sejauh mana upaya penanggulangan cemaran Aflatoksin pada jagung di Indonesia yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya. sebelumnya. 1.3 Tujuan Penulisan
Ulasan ilmiah ini bertujuan untuk membahas upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan penanggulan gan cemaran Aflatoksin pada jagung
pada tahapan pra dan pasca panen yang
diperoleh dari penelitian-penelitian p enelitian-penelitian sebelumnya. 1.4 Manfaat Penulisan
Ulasan ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai alternatif yang bisa digunakan untuk menanggulangi cemaran Aflatoksin pada tanaman Jagung, yang nantinya
3
bisa bermanfaat bagi petani, distributor, serta konsumen jagung dalam upaya mencegah dan menanggulangi menanggulangi cemaran dan efek negatif aflatoksin bagi manusia dan hewan ternak
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Aflatoksin
Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang merupakan metabolit hasil jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus. parasi ticus. Aflatoksin merupakan merupakan kontaminan yang yang paling sering dijumpai pada
hasil panen pertanian serta bahan makanan pokok di banyak negara berkembang sehingga mengancam keamanan pangan. Toksin yang dikeluarkan oleh jamur ini dapat dijumpai selama masa produksi bahan pangan, pada waktu panen, pada saat penyimpanan dan proses pembuatan makanan.
Sumber : Yenny (2006)
Aflatoksin adalah salah satu dari substansi yang paling toksik yang dapat dijumpai secara alamiah. Keracunan oleh aflatoksin terjadi oleh karena konsumsi dari racun ini yang mencemari bahan makanan dan aflatoksikosis pada manusia dilaporkan dijumpai di banyak tempat di dunia. Badan Pangan dan Pertanian ( Food and Agriculture Organization) memperkirakan bahwa kontaminasi mikotoksin meliputi sekitar 25% dari hasil pertanian di seluruh dunia (Lewis dalam Yenny, 2006). Penyakit-penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi mengkonsu msi aflatoksin disebut aflatoksikosis. Aflatoksin mempunyai mempunyai sifat karsinogenik karsinogenik dan hepatotoksik. Sifat Sifat ini tergantung pada pada lama dan tingkat paparan terhadap aflatoksin. Konsumsi aflatoksin dosis tinggi dapat 5
menyebabkan
terjadinya
aflatoksikosis
akut
yang
dapat
menimbulkan
manifestasi
li ver failure hepatotoksisitas atau pada kasus-kasus berat dapat terjadi t erjadi kematian akibat fulminant liver
(Banet dalam Yenny, 2006). Manusia dapat terpapar oleh aflatoksin aflatoksin dengan dengan mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh toksin hasil dari pertumbuhan jamur ini. Kadang paparan sulit dihindari karena pertumbuhan jamur di dalam makanan sulit untuk dicegah. Walaupun kontaminasi bahan makanan oleh aflatoksin dalam jumlah besar tidak diizinkan di negara berkembang, namun diperlukan perhatian terhadap kemungkinan timbulnya efek samping pada paparan aflatoksin kadar rendah dalam bahan makanan. Gejala awal aflatoksikosis yang dapat dikenali pada konsentrasi rendah antara lain berupa menurunnya efisiensi makanan, berkurangnya intake makanan, menurunnya kecepatan pertumbuhan, rambut kasar dan kusam, meningkatnya prevalensi, keparahan atau kegagalan terapi atau vaksinasi penyakit-penyakit infeksi seperti:
bloody
dysentery,
erisipelas,
salmonellosis, pneumonia (Beasley dalam Yenny, 2006). Bila aflatoksikosis ini berlanjut maka dapat muncul sindrom penyakit yang ditandai dengan muntah, nyeri perut, edema paru, kejang, koma, dan kematian akibat edema otak dan perlemakan hati, ginjal dan jantung. Keadaankeadaan yang meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya aflatoksikosis akut pada manusia meliputi terbatasnya ketersediaan makanan, kondisi lingkungan yang menguntungkan untuk berkembangbiaknya jam ur di dalam hasil pertanian dan bahan-bahan dagangan, dan masih kurangnya sistem yang mengatur monitoring dan kontrol aflatoksin.
2.2. Cemaran Aflatoksin Pada Jagung
Komposisi jagung pada pakan ternak mencapai 60%. Oleh karena itu, penggunaan jagung yang berkualitas baik sangat penting untuk menghasilkan pakan yang bermutu baik. Masalah yang sering timbul dalam pemanfaatan jagung sebagai bahan pangan maupun pakan adalah kontaminasi senyawa aflatoksin. Senyawa ini dihasilkan oleh kapang Aspergilus flavus yang umumnya tumbuh pada jagung yang berkadar air tinggi (>15%) akibat cara penyimpanan yang kurang benar (Rachmawati, 2005). Aspergillus flavus adalah kapang dominan yang ditemukan pada sampel jagung, dan merupakan m erupakan penyebab utama kerusakan pada jagung baik pra panen ataupun pascapanen. Mikroorganisme ini biasanya ditemukan pada saat musim kering atau musim kemarau. Konsentrasi aflatoksin aflatoksin tidak akan berkurang selama penyimpanan, bahkan akan bertambah atau tetap (Mulyawanti dkk., 2006).
6
Di Indonesia kadar Aflatoksin maksimum maksimum pada jagung jagung sebagai sebagai bahan pangan pangan telah ditetapkan oleh Badan Badan Pengawas Obat dan Makanan Makanan RI sebesar 20 ppb. Hal ini sesuai dengan dengan ketetapan Food and Drug Administration yang mengeluarkan kadar baku tertinggi total Aflatoksin yang diizinkan pada pangan dan pakan komersial yaitu sebesar 20 ppb (Brown dalam Kusumaningrum dkk., 2010). Hasil penelitian Kusumaningrum Kusumaningrum dkk. (2010) mendapatkan mendapatkan bahwa sekitar sekitar 88% sampel jagung ditemukan kapang dan sekitar 40% positif tercemar A. flavus . Jenis Pangan yang paling flavus adalah jagung pipil yaitu sekitar 58,6%. Sedangkan pada sering ditemukan kontaminasi A. flavus flavus yang ditemukan adalah 30 % produk setengah jadi (tepung/pati/beras jagung) cemaran A. flavus
dan pada jagung manis 7%. Hasil penelitian Rahayu dkk. (2003) mengenai cemaran Aflatoksin pada produksi Jagung di di daerah Jwa Timur diperoleh data Uji aflatoksin pada pada 70 sampel sampel jagung yang yang diambil di tingkat petani menunjukkan bahwa 30% jumlah sampel tidak terdeteksi aflatoksinnya; 50% – 100 ppb, dan 9% dengan dengan cemaran aflatoksinnya < 20 ppb, 11% dengan 20 – 100 dengan cemaran > 100 ppb. Cemaran Cemaran tertinggi pada tingkat petani adalah adalah 353 ppb. Dari 45 sampel jagung jagung yang diambil dari pengumpul dan pedagang, 13% kandungan aflatoksinnya tidak terdeteksi, 29% – 100 ppb, sedang 18% memiliki cemaran dengan konsentrasi < 20 ppb, 40% berkisar antara 20 – 100 > 100 ppb. Cemaran tertinggi adalah 340 ppb. Yusrini (2010) melaporkan bahwa Sebanyak 8 sampel dari 28 sampel jagung yang dianalisis (28,60%) mengandung aflatoksin B1 melebihi standar berdasarkan berdasarkan Standar Nasional Nasional Indonesia (SNI 2000). Hasil penelitianya dapat dilihat pada tabel 1.
7
Tabel 1. Kadar Aflatoksin B1 (AFB1) (A FB1) Pada Sampel Jagung, Laboratorium Balitvet, Bogor. Sampel J1 J2 J3 J4 J5 J6 J7 J8 J9 J10 J11 J12 J13 J14 J15 J16 J17 J18 J19 J20 J21 J22 J23 J24 J25 J26 J27 J28
Kadar AFB1(ppb) tt 2,3 46,8 0,4 1,0 48,9 72,4 56,4 50,2 43,9 34,4 0,7 tt 0,5 0,8 75,7 1,1 0,3 0,2 0,9 > 60 > 60 2,5 0,2 > 60 > 60 > 60 2,5
Sumber:Yusrini (2010)
Menurut Rachmawati (2005), hasil uji banding antar laboratorium dan hasil penelitian kerjasama dengan Pengujian Mutu Pakan Ternak (BPMPT), Direktorat Jenderal Peternakan (tahun 2003-2004) juga menunjukkan bahwa 14% pakan ayam dari jumlah 207 sampel pakan yang dianalisis mengandung aflatoksin melebihi standar mutu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Sampel tersebut dikumpulkan dari beberapa sumber termasuk pabrik pakan, penjual pakan ternak, dan sampel-sampel pakan yang datang ke BPMPT, yang berasal dari beberapa propinsi di Indonesia. Data kandungan aflatoksin pada sampel-sampel tersebut disajikan pada Tabel 2. Ternyata jumlah sampel pakan mengandung aflatoksin tinggi ( >SNI, >50 ppb) relatif lebih sedikit, karena pabrik-pabrik pakan telah mengantisipasi kadar aflatoksin pada bahan bakunya, terutama pada jagung .
8
Tabel 2 . Kadar Aflatoksin A flatoksin Pada Pakan yang Diperoleh Dari Beberapa Sumber Sumber pakan
Jumlah sampel
Kisaran kadar(ppb)
Jumlah sampe (>standar
*Sumberpustaka
PT Behn Meyer Kimia
4
12,0-50,0
0
SUPARTO, 2004
Disnak Prop. Sumut
15
0.3-123,3
2
Idem
PT Altech
1
60
1
Idem
BPMPT*
26
<0,3-123,3
4
RACHMAWATI, 2004a
PT Sinta Prima
11
0.96-175 .1
4
Idem
PT Sierad Tbk
15
0,3-26,0
0
Idem
Toko pakan, Jabotabek
12
2,0-38,0
0
Idem
Toko Pakan, Bogor
20
<0,3-23,9
0
RACHMAWATI, 2004b
BPMPT* (Tahap 1)
30
<0,3-107,3
7
RACHMAWATI, 2004c
BPMPT*(Tahap 2)
53
2,2-105,29
6
Idem
BPMPT*(Tahap 3)
40
1,0-88,9
8
Idem
(Sumber: Rachmawati, 2005)
2.3. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan A. flavus penghasil Aflatoksin
Faktor – faktor faktor yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan kapang
flavus A. flavus
pada penanganan pasca panen jagung antara lain kadar air, suhu penyimpanan, kelembapan relatif udara, dan lama penyimpanan (FAO dalam Kusumaningrum dkk, 2010). a. Kadar Air Di Indonesia jagung yang baru dipanen biasanya mempunyai kadar air tinggi (30%) yang apabila tidak segera dikeringkan, maka berbagai cendawan dapat berkembang, termasuk (2009 ) cendawan A. flavus. Cendawan ini menurut Pakki dan Muis dalam Talanca dan Mas’ud (2009) dapat ditemukan pada tanaman jagung fase vegetative dan fase generatif, serta pada pasca panen jagung, sehingga menjadi sumber inokolum pada biji jagung yang akan disimpan. Hal ini memungkinkan memungkinkan karena Indonesia sebagai sebagai Negara tropik dengan iklim hujan tropis menyebabkan 0
kondisi kelembaban udara tinggi (RH > 80%), suhu rata-rata 28-33 C. Kondisi ini sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan cendawan A. flavus penghasil aflatoksin. Di Bulukumba, Bulukumba, Sulawesi Selatan petani menanam jagung dua kali, kali, jagung pertama ditanam awal musim hujan, sedang sedang jagung kedua segera segera sesudah panen. panen. Hasil panen jagung jagung umumnya ditumpuk di bawah kolong rumah tanpa alas, selama kurang lebih satu bulan sambil menyiapkan lahan untuk jagung kedua, selama penumpukan/ penyimpanan ini jagung
9
terkontaminasi oleh aflatoksin, oleh karena kadar air biji yang meningkat dan juga temperature naik sehingga A. flavus cocok untuk tumbuh dan berkembang (Tabel 3). Di Gorontalo petani setelah panen langsung memipil jagungnya dengan mesin lalu dijemur + 2 hari langsung dijual ke pedagang pengumpul. Di pedagang pengumpul disimpan hanya 1 – 2 – 2 hari kemudian langsung ke pedagang ekspor. Di pedagang ekspor diproses, dikeringkan lalu ditumpuk di udang, sebelum masuk container untuk di ekspor. Oleh karena itu akumulasi kontaminasi aflatoksin terjadi di pedagang ekspor (Tandiabang, 2010). Tabel 3. Kadar Aflatoksin Dari Sampel Jagung Ditingkat Petani Kabupaten Bulukumba, Sul-Sel • Saat pengupasan tongkol • Biji disimpan dalam karung pupuk Gorontalo • Saat penjemuran (petani) • Penyimpanan (pedagang pengumpul) • Pedagang ekspor Tanah Laut, Kalsel • Pada saat panen (petani) • Setelah dipipil (pedagang pengumpul)
Jumlah sampel
Kadar aflatoksin (ppb)
10 4
Kadar air biji (%) 20,5 – 24,3 21,3 – 24,5
14 2 5
16 – 19 19 – 21 19 – 22
11,7 – 54,2 35,5 – 78,5 79,2 – 665,0
23 3
30 – 32 28 – 30
4 – 4,50 22,3 – 27,60
7,1 – 25,6 48,6 – 175,8
Sumber : Tandiabang Tandiabang , Firmansyah Firmansyah dalam Tandiabang Tandiabang (2010) b. Lama Penyimpanan Di Tanah Laut Kalimantan Selatan tongkol jagung yang telah dipanen langsung di bawah ke pedagang pengumpul, yang kadang tongkol jagung ditumpuk 1 – 2 – 2 hari sebelum dipipil yang kemudian angsung masuk oven pengeringan (flat bed drier). Oleh karena itu kontaminasi aflatoksin cukup rendah. Gambaran di atas menunjukkan makin cepat jagung diproses dan dikeringkan kontaminasi aflatoksin makin rendah. flavus Menurut hasil penelitian Kusumaningrum dkk (2010) Cemaran A. flavus
relatif
meningkat di tingkat pengumpul, yang disebabkan kemungkinan besar karena kondisi penyimpanan yang kurang memadai (Tabel 4). Di tingkat pengumpul, kadar air jagung juga relatif meningkat kembali dari 14% di tingkat pemipil menjadi 15%. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 1995, persyaratan persyaratan jagung pipil mutu I dan dan II adalah mempunyai mempunyai kadar air maksimum 14%. Secara umum, data-data tentang suhu, kelembapan relatif dan lama penyimpanan jagung menunjukkan bahwa penanganan penanganan jagung dari tingkat petani sampai dengan
10
pasar induk atau pengecer, rawan terhadap munculnya cemaran A. flavus, karena kondisi penyimpanan dapat memacu tumbuhnya kapang tersebut. Tabe Tabell 4. 4. Suh Suhu u Dan Dan Kele Kelemb mbaa an Rela Relati tiff Pen Pen im anan anan Ja un Pada Pada Tin Tin kat kat Dis Distr trib ibus usii Lokasi
Tingkat Dsitribusi
n
Suhu Simpan Simpan ( C)
Kelembapan Kelembapan Relatif (%)
Lama Simpan
Bogor
Petani
5
27,1 ± 4,3
75,0 ± 5,7
3-5jam
Pengumpul
5
31,0 ± 1,4
72,5 ± 2,1
4-12iam
Pasar Induk
4
30,5 ± 0,7
74,0 ± 1,4
1-2 hari
Pengecer
7
28,5 ± 2,1
70,0 ± 7,1
1-2hari
Petani
15
32,6 ± 0,5
64,6 ±2,5
2-5 hari
Pengumpul
9
32,7 ± 0,3
69,9 ± 4,3
3-15hai
Pasar Induk
5
32,3 ± 0,9
63,5 ± 1,3
Pengecer
5
33,6 ± 1,2
71,0 ± 8,1
Petani
10
34,5 ± 0,0
51,3 ± 1,3
3-15 hari atau sanpai terjual 3-7 hari atau sanpai terjual 1-3 hari
Pemipil
10
34,6 ± 0,5
54,6 ± 2,5
1-3 hsri
Pengering
8
34,7 ± 0,9
49,9 ± 4,3
3 hari
Pengumpul
8
34,3± 0,9
53,5 ± 1,3
7-30 hari
Pasar Induk
10
33,6 ± 1,2
52,1 ± 2,8
3-15 hari atau sampai terjual
Boyolali
Bojonegoro
Sumber : Kusumaningrum dkk. (2006) Hasil analisis Bivariat yang dilakukan oleh Kusumanigrum dkk (2010) terhadap faktor flavus dan terbentuknya aflatoksin pada jagung pipil di yang mempengaruhi pertumbuhan A. flavus
daerah Bojonegoro, yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa tumbuhnya A. flavus tidak mempunyai korelasi secara signifikan dengan kadar air jagung pipil dan suhu penyimpanan, tetapi berkorelasi nyata dengan kelembapan relatif dan lama simpan jagung pipil. Hal ini menunjukkan bahwa upaya upaya untuk menurunkan kadar air jagung pipil sampai dengan 14% secara umum sudah dapat dicapai oleh para pengelola jagung pipil di daerah Bojonegoro, dan tidak mempengaruhi tumbuhnya kapang A. flavus. Sebaliknya, hasil penelitian mengindikasikan bahwa penanganan jagung pipil selama penyimpanan, baik kelembapan relatif lingkungan penyimpanan maupun lama penyimpanan, berpengaruh secara signifikan terhadap tumbuhnya flavus. kapang A. flavus.
11
Tabel 5. Hasil Analisis Bivariat terhadap terhadap faktor yang mempengaruhi mempengaruhi pertumbuhan pertumbuhan A.flavus dan Terbentuknya Terbentuknya aflatoksin pada jagung pipil di daerah Bojonegoro Parameter Independen
Parameter Dependen
N
Hasil Uji Korelasi Spearmen
Kadar air
A.
Falvus
46
0,036 (tidak signifikan)
Kelembapan Relatif
A. Falvus
46
0,41 (signifikan pada α =1)
Suhu
A. falvus
46
-0,038 (tidaksignifikan)
Lama Simpan
A. falvus
36
0,376 (signifikan pada α =0,05)
Sumber : Kusumaningrum, dkk. (2006)
c. Terlambat Panen Kegiatan panen adalah adalah tahapan sangat sangat menentukan menentukan kualitas biji jagung yang yang dihasilkan. dihasilkan. Panen seyogyanya dilakukan segera sesudah tanaman mencapai masak fisiologis. Kenyataan di lapangan, petani memanen jagung pada umur lebih 3 bulan hingga 4 bulan. Hal ini menyebabkan menyebabkan hasil hasil panen
terinfeksi oleh A. flavus (Tabel 6). Sebelum dipipil, tongkol
sebaiknya segera dikeringkan sesudah panen hingga kadar air 14% untuk menghindari kontaminasi aflatoksin dan biji rusak akibat pemipilan. Penumpukan tongkol kupas yang lama sebelum dikeringkan dan dipipil juga memberi peluang terjadinya infeksi A. Flavus (Tandiabang, (Tandiabang, 2010) Tabel 6. Pengaruh Pengaruh Terlambat Panen Panen Dan Penumpukan Jagung Terhadap Terhadap Infeksi Infeksi A. Flavus. Gorontalo, 2005 Perlakuan Panen terlambat 7 hari Panen ditumpuk 3 hari Panen ditumpuk 5 hari Panen masak fisiologis tanpa ditumpuk
Biji terinfeksi A. flavus (%)
% biji berkecambah
% biji tidak berkecambah
18 56 68 9
82 44 32 90
18 56 68 1
Perlakuan 1. Panen terlambat 7 hari sesudah masak fisiologis-kupas-dikeringkan dengan alat pengering hingga k.a 15-17% Perlakuan 2. Panen pada masak fisiologis-kupas-tumpuk 3 hari-dikeringkan dengan alat pengering hingga k.a 15-17% Perlakuan 3. Sama dengan perlakuan 2, tumpuk 5 hari Perlakuan 4. Panen masak fisiologis-kupas-langsung dikeringkan
Sumber : Firmansyah dalam Tandiabang (2010)
12
BAB III PEMBAHASAN
3.1. Persyaratan Penanganan Yang Tepat Untuk Menanggulangi Aflatoksin
Penanganan Penanganan aflatoksin hingga ke tingkat tingkat kandungan kandungan yang aman harus memenuhi memenuhi beberapa persyaratan persyaratan sebagai sebagai berikut : (1) Tidak boleh boleh menghasilkan senyawa toksik dalam dalam bentuk struktur aflatoksin aflatoksin lain apapun atau
meninggalkan
sisa
residu
yang
membahayakan
produk/komoditas yang diberi perlakuan; perlakuan; terutama
bagi
kesehatan
terhadap
jika dilakukan dilakukan penanganan penanganan dengan dengan
bahan kimia, diupayakan bahan kimia tersebut tidak akan bereaksi dengan aflatoksin membentuk senyawa lain yng bersifat toksik ataupun yang dapat menganggu kesehatan, misalnya bersifat karsinogenik. (2) Mutu dan kandungan gizi produk yang diproses tidak mengalami penurunan yang serius; dalam hal ini biji jagung yang yang dihasilkan seteleh seteleh melalui tahapan penanganan penanganan baik baik secara fisik, kimia dan biologis tidak akan mengalami penurunan mutu, , apalagi sampai terjadi perubahan kandungan gizinya, seperti kandungan protein, karbohidrat, minyak serta kandungan-kandungan kandungan-kandungan mikro yang terkandung dalam biji jagung. (3) Tidak boleh merusak sifat fisik dan organoleptik produk; penanganan yang dilakukan terhadap biji jagung khususnya yang bertujuan mengurangi cemaran aflatoksin, diharapkan tidak merusak sifat fisik biji jagung tersebut seperti penurunan bobot, perubahan warna, perubahan rasa yang aka mempengaruhi mutu dan harga jual dari biji jagung tersebut (4) Perlakuan yang diterapkan harus layak secara ekonomis dan secara teknis dapat dilakukan; dimaksudkan agar harga jual jagung tidak akan melambung tinggi untuk menyesuaikan biaya pada proses penanganan aflatoksin, oleh sebab itu cara yang dilakukan sebaiknya yang ekonomis sehingga efesien bagi petani, distributor dan konsumen jagung (5) Mempunyai Mempunyai kemampuan merusak spora spora dan miselia jamur penghasil aflatoksin, aflatoksin, karena aflatoksin bisa dihasilkan
dari spora spora dan dan miselia miselia dari dari jamur penghasil aflatoksin
(Aspergillus) yang tahan terhadap berbagai perlakuan, oleh sebab itu perlakuan yang dilakukan diupayakan diupayakan bisa memusnahkan memusnahkan spora dan miselia dari jamur tersebut.
13
3.1. Upaya Yang Telah Dilakukan Untuk Menekan Perkembangan A. Flavus a.
Kontrol Lingkungan
Pertumbuhan dan perkembangan cendawan A. flavus sangat tergantung pada 0
lingkungannya seperti suhu (25-35 C), pH (4-6), aktivitas air (80%), dan kondisi atmosfir aerobik, serta kadar air (18 %). Suhu merupakan salah satu faktor penentu dalam pertumbuhan dan perkembangan cendawan A. flavus, sehingga pada kondisi diluar suhu optimal maka cendawan itu susah akan berkembang. Dengan demikian penggunaan suhu (temperatur) untuk pengeringan tongkol jagung sampai kadar air dibawah 18% dapat menghambat pertumbuhan cendawan. Pengeringan jagung dapat pula menurunkan aktifitas air (< 80%), begitu pula terhadap penurunan kadar air (< 18%), maka kondisi ini cendawan A. Flavus pertumbuhannya akan terganggu, bahkan pada kondi si yang ekstrim dapat mematikan (Talanca dan Mas’ud, 2009). b.
Upaya Biologis
Penggunaan mikoroba antagonis dapat menghambat pertumbuhan cendawan A. flavus, sekaligus mengurangi kandungan aflatoksin (Garber dan Cotty; Pitt dalam Talanca dan Mas’ud, 2009). Selanjutnya Van Veen et al ; Muhilal et al dalam Talanca dan
Mas’ud (2009) (2009)
melaporkan bahwa cendawan Neurospora sp. Dan Rhizopus sp. dapat menurunkan kandungan (2009 ) aflatoksin masing-masing 50 – 79%. Marth dan Doyle dalam Talanca dan Mas’ud (2009) menunjukkan bahwa sebagian besar mikroorganisme yang diketahui dapat merusak aflatoksin adalah jenis cendawan dan hanya satu jenis bakteri, serta satu j enis protozoa (Tabel 7).
14
Tabel 7. Daftar Mikroorganisme yang dapat merusak Aflatoksin Jenis Cendawan
Penicellium raistrickii NRRL 2053 Aspergillus niger A.parasiticus (spora) A.terreus (spora) A. luchuensis NRRL 2053 (spora) Flavobacterium auranticum NRRL B-184 Nocardia asteroids IFM8 Scopularis brevicaulis Rhizopus oryzae Corynrbacrerium rubrum Aspergillus niger Trichoderma viride Mucor ambiguous Dactyliumdendroides NRRL 2575 Dactylium dendroides NRRL Mucor griseocyanys NRRL 3359 Helminhtosporium sativum NRRL 3356 Absidia repens NRRL 3356 3356 Mucor alterans NRRL 3358 Rhizopus arrhizus NRRL 1582 R. stolernifer NRRL 1477 R. oryzae NRRL 359 Tetrahymens pyriformis W
Pengaruh Mengubah sebagian aflatoksin B1, menjadi senyawa Fluoresensi lain.
Metabolisme aflatoksin B1, G1, dan M 1 mempunyai kemampuan metabolism aflatoksin.
Merubah aflatoksin menjadi aflatoksikol dalam waktu inkubasi 3-4 hari
Merubah 60% aflatoksin menjadi aflatoksikol (aflatoksin Ro)
Mengubah aflatoksin B1 menjadi parasitikol (aflatoksin B2)
Sumber :Talanca dan Mas’ud, 2009
c.
Tindakan Fisik
Radiasi sinar matahari sangat membantu dalam upaya menekan perkembangan cendawan A. flavus pada tongkol dan biji jagung. Waktu panen jagung yang tepat saat terbentuknya black layer lebih 50 %, dan bila cuaca memungkinkan, maka pengeringan tongkol diatas tegakan batang jagung beberapa hari sebelum panen sebaiknya dilakukan. Untuk itu sangat dianjurkan agar setelah panen jagung, maka segera tongkol jagung dikeringkan dengan bantuan sinar matahari sampai kadar air 17%, kemudian dilakukan pemipilan dengan menggunakan mesin pemipil (tresser), yang selanjutnya dijemur sampai kadar air 11-12% lalu dimasukkan dalam karung plastik dan disimpan ditempat penyimpanan. Namun apabila kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk melakukan pengeringan dengan sinar matahari, maka dapat pula dilakukan pengasapan atau pemberian hembusan hawa panas dengan dengan alat mesin. mesin. Penundaan Penundaan pengeringan tongkol jagung dengan kadar air 26-35% selama 4 hari, maka kandungan aflatoksin bisa mencapai 37 ppb (Paz et al. dalam Talanca dan Mas’ud, 2009). Secara tradisional beberapa petani masih menggunakan pengasapan tongkol
15
jagung diatas dapur mereka, lalu dipipil dan dikeringkan lagi sampai kadar air 12%, kemudian dikarungkan lalu disimpan (Talanca dan Mas’ud, 2009).
d.
Penggunaan bahan Kimia
Penggunaan bahan kimia dapat pula dipakai untuk menghambat pertumbuhan dan perkembangan cendawan A. flavus pada jagung. Sebagai contoh adalah ammonia dan asam propionat yang bersifat asam pada tanaman jagung, yang diduga dapat berpengaruh kontak terhadap A. flavus pada permukaan tanaman, sehingga siklus hidupnya terganggu. Hasil penelitian Pakki (2009) menunjukkan bahwa penyemprotan ammonia atau asam propionat dosis 1,5-2 ml/air pada fase vegetative tanaman jagung, maka dapat mengurangi jumlah spora A. flavus yang menempel pada jambul jagung. Selanjutnya penggunaan asam ammonia pada jagung di Thailand dapat berpengaruh terhadap penurunan kadar aflatoksin dari 1000 ppb menjadi 10 2009) . Efek perlakuan kimiawi terhadap sisa biji ppb (Ingalantileke dalam Talanca dan Mas’ud, 2009). jagung yang terinfeksi Aflatoksin disajikan disajikan pada Tabel Tabel 8. Tabel 8. Persentase Infeksi A. Flavus Pada Biji Jagung Dengan Perlakuan Perlakuan Kimiawi Perlakuan Propianic acid (2 ml/l) Ammonia (2 ml/l) Ekstrak daun cengkeh (14 mg/l) Kontrol
% biji terinfeksi 5,67 c 11,0 b 27,33 a 20,73 a
Sumber : Pakki dalam Tandiabang (2010) e.
Penggunaan Varietas tahan A.flavus
Penggunaan Penggunaan varietas tahan merupakan cara yang terbaik untuk mengendalikan A. flavus. Meskipun mekanisme ketahanan terhadap A. flavus telah diketahui yaitu biokimia dalam kelompok waxis (bersifat seperti lilin) pada lapisan luar biji yang bersifat antibiosis, tetapi hingga kini belum ada varietas komersial yang tahan. Hasil penelitian Brooks et al. Tandiabang (2010) telah menemukan dua QTL (quantitative Trait Loci) yang memberikan kontribusi dalam resistensi terhadap akumulasi aflatoksin yaitu Locus afl 3 yang ditandai dengan marker bn lg 371 dan lokus afl 5 yang ditandai dengan marker bnlg 2291. QTL ini dapat digunakan secara cepat dalam menyaring plasma nutfah untuk program perbaikan ketahanan A. flavus kedepan. Hasil penelitian di Kabupaten Pangkep dan Sidrap Si drap menunjukkan perbedaan ketahanan varietas unggul (Bisma, Bima-1, Sukmaraga, Lamuru, Srikandi Putih, Srikandi Kuning, Pioneer-7, Pioneer-11) lebih toleran terhadap A. flavus dibanding varietas Lokal Pulut Takalar dan jagung manis .
16
Varietas yang tahan kekeringan relatif konsentrasi aflatoksinya rendah (Larson, dalam Tandiabang, Tandiabang, 2010), demikian pula varietas dengan penutupan klobot yang baik.
3.3. Penanganan Dalam Tiap Tahap Pertumbuhan Jagung
Pendeteksian awal adanya pertumbuhan kapang pada jagung adalah kunci pencegahan pertumbuhan dan produksi aflatoksin dari kapang tersebut. Beberapa cara dapat dilakukan untuk mencegah produksi aflatoksin pada biji jagung adalah mengontrol serangga di kebun dan mendeteksi kerusakan kerusakan awal yang disebabkan disebabkan oleh serangga serta ada tidaknya spora Aspergillus. Selain pendeteksian pertumbuhan dan spora jamur semenjak prapanen, sanitasi peralatan penanganan jagung juga harus diperhatikan, termasuk sortasi dan pembersihan jagung dari cemaran-cemaran cemaran-cemaran lainnya. Pengurangan kadar racun aflatoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus dapat dilakukan sebelum dan sesudah panen. Penerapan Good Agricultural Practice (GAP) merupakan perlakuan yang dapat dilakukan sebelum panen, sedangkan perlakuan yang dilakukan setelah panen adalah dengan meminimalisasi aflatoksin, yaitu dapat dilakukan dengan cara curing, pengeringan, sortasi dan prosedur penyimpanan yang tepat (Sudibyo,dalam Mulyawanti dkk, 2006).
a. Tahap Pra panen
Penanganan pra panen untuk mencegah tumbuhnya aflatoksin dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti : 1. Tanaman sebaiknya merupakan hasil cangkok dan sesuai untuk masing-masing daerah 2. Untuk memperoleh hasil panen yang optimum, dianjurkan untuk menggunakan pupuk 3. Waktu tanam t anam disesuaikan untuk masingmasing lahan 4. Kerusakan butir oleh serangga dapat dikurangi dengan mengikuti rekomendasi management practice 5. Pedoman irigasi selalu diterapkan untuk menyediakan air yang cukup bagi tanaman 6. Mesin dibuat dengan kombinasi antara pemipil dan perontok 7. Jika terjadi kekeringan, usahakan jagung segera dipanen 8. Pemanenan jagung dilakukan pada saat kadar air 24% kemudian segera dikeringkan hingga mencapai 15% dalam waktu 24 jam (Wrather, dalam Mulyawanti dkk, 2006)
17
b. Tahap Panen
Kegiatan pada tahapan sangat menentukan kualitas biji jagung yang dihasilkan. Panen seyogyanya dilakukan segera sesudah tanaman mencapai masak fisiologis. Kenyataan di lapangan, petani memanen jagung pada umur lebih 3 bulan hingga 4 bulan. Hal ini menyebabkan hasil panen terinfeksi oleh A. flavus (Tabel 4). Oleh karena itu perlu dihindari panen pada saat hujan. Sebelum dipipil, tongkol sebaiknya segera dikeringkan sesudah panen hingga kadar air 14% untuk menghindari kontaminasi aflatoksin dan biji rusak akibat pemipilan. Penumpukan tongkol kupas yang lama sebelum dikeringkan dan dipipil juga ember peluang terjadinya infeksi A. flavus.
c.
Tahap Pasca penen
Petani umumnya mengeringkan jagung dengan sinar matahari, terutama yang dipanen pada musim kemarau, yakni jagung kedua yang ditanam di lahan kering atau jagung yang ditanam di lahan sawah sesudah padi. Pengeringan jagung di lantai jemur tanpa alas, dan tidak cukup kering, kadar air air diatas 15% disimpan di gudang, cenderung untuk terinfeksi A. flavus, karena A. flavus dan spora paling banyak dijumpai di tanah dan udara sekitar lantai jemur dan gudang. Selama penyimpanan sementara yang masih akan diproses atau dikeringkan hingga kadar air kurang dari 14% dapat digunakan bahan kimia yang dapat menekan perkembangan A. flavus. Hasil penelitian Nesci et al. dalam Mulyawanti et.al (2006) menunjukkan bahwa antioksidan Propyparaben dan butylated hidroxy anisole dapat menghambat produksi aflatoksin B1 pada banyak strain A. flavus, sehingga dapat dipertimbangkan sebagai fungitoksikan untuk A. flavus dan A. parasiticus. Fumigasi dengan CO 2 dengan cara memasukkan biji jagung ke dalam wadah plastik atau terpal plastik yang tertutup rapat, udara di dalamnya dikeluarkan dengan “vacuum blower”, kemudian difumigasi dengan CO 2 pada takaran 0,3 – 0,3 – 0,5 0,5 kg/ton. Jika petani atau pedagang ingin menunggu harga yang lebih baik, biji jagung sebaiknya disimpan dalam wadah kedap udara sesudah ikeringkan dengan kadar air < 14%. Penyimpanan diatas 14% dapat menyebabkan berkembangnya A. flavus.
Pada saat penyimpanan, beberapa hal yang perlu diperhatikan meliputi: 1. Tempat penyimpanan harus selalu dibersihkan, lingkungan sekitar dan peralatan penanganan pascapanen pascapanen sebelum penyimpanan penyimpanan harus h arus dibersihkan 2. Sebelum dilakukan penyimpanan, jagung harus dibersihkan dari rambut, biji pecah dan bendabenda asing
18
3. Jagung harus segera dikeringkan kurang lebih 24 jam hingga kadar air mencapai 15%, sedangkan penyimpanan dalam jangka waktu lama dapat dikeringkan sampai kadar air mencapai 13%. 4. Aerasi biji jagung untuk menjaga dan menstabilkan suhu 5. Penyimpanan biji harus selalu dicek secara teratur untuk menjaga kadar air tetap rendah dan suhu sesuai Menutur hasil penelitian dari Miskiyah dan Widaningsih (2008), cemaran Aflatoksin pada jagung jagung dapat dapat dikendalikan melalui metode HACCP pada tahapan-tahapan tahapan-tahapan yang dianggap dianggap kritis mempengaruhi mempengaruhi pertumbuhan Aflatoksin pada pada biji biji jagung (Tabel 9). HACCP merupakan merupakan alat yang tepat untuk menetapkan sistem pengendalian karena berokus pada pencegahan bukan pada produk akhir. Tabel. 9. Lembaran HACCP Penanggulangan Pascapanen jagung Untuk Mengendalikan Aflatoksin Tahapan proses Pemanasan
Deskripsi bahaya Jamur/kontamin asi aflatoksin
Kemungkinan untuk mengontrol Panen tepat waktu
pengupasan
Jamur, serangga, kotoran rambut jagung, ranting, debu
Meminimalkan pengupasan Sanitasi lingkungan Higiene pekerja
Sortasi
Jamur, Sortasi dilakuakn oleh serangga, batu, pekerja yang terlatih ranting, rambut dan teliti jagung, dll Jamur, Keringkan tongkol serangga, batu, jagung sampai AW ranting, rambut yang aman (0,82) jagung, dll hindarkan rewetting (lembab kembali) dengan ventilasi penyimpanan yang maksimal Keringkan bijian pada KA yang aman Jamur, Minimalkan bijian
Pengeringan
Pemipilan
Prosedur monitoring
Tindakan koreksi Pisahkan tongkol - Melihat jadwal tanam yang - Batang, daun, kelobot buah, jagung jagung berubah menjadi kuning terinfeksi serangga/jamur atau mulai mengering - Bila jagung dikupas biji jagung nampak keras, bernas dan mengkilap - Bila ditekan dengan kuku tangan pada biji jagung tidak tampak bekas tekanan
- Pengupasan dilakukan secepat mungkin, hindari serangga yang dapat mengakibatkan biji rentan terhdap serangan jamur - Bersihkan kotoran yang terikut ketika pengupasan jagung, pekerja menggunakan sandal/alas Cek secara visual
Dibersihkan kembali
-
Bila antar biji jagung digesekgesek akan terdengar bunyi kresek yang nyarign dan atau Uji kadar air
Dilanjutkan pengeringan
-
sortasi
-
Cek secara visual
Sortasi ulang
19
pembersihan
Sortasi mutu
pengemasan
Penyimpanan
serangga, kerusakan karena pemipilan dengan mesin, adanya kotoran, rambut jagung, raning, dll Jamur, serangga, bakteri Adanya kotoran, rambut jagung, ranting, dll Jamur, serangga, bakteri Adanya kotoran, rambut jagung, ranting, dll Jamur, serangga, bakteri Adanya kotoran, rambut jagung, ranting, dll Jamur, serangga, bakteri Adanya kotoran, rambut jagung, ranting, dll
yang pecah pemipilan
melalui
Higiene pekerja dan sanitasi lingkungan dan peralatan Pekerja yang terampil Insektisida, hindari debu atau bahan organik lain Sortasi dilakukan dengan teliti dengan menggunakan pengemas yang bersih dan kuat
Kotoran maksimal 5%
Sortasi ulang
Cek secara visual Cek dengan indera
Sortasi ulang
Pengemasan dilakukan dengan teliti dan menggunakan pengemas yang bersih dan kuat
Cek secara visual Penimbangan
Gunakan pengemas yang bersih Timbang ulang
Sanitasi lingkungan dan higienan pekerja Hindarkan rewtting (lembab kembali) dengan ventilasi penyimpanan yang maksimal Keringkan bijian pada KA yang aman
Cek sanitasi
Pembersihan
Sumber : Miskiyah dan Widaningrum (2008) Berdasarkan hasil penelitian tersebut kita dapat mengetahui beberapa titik kritis selama proses pasca panen jagung. Dapat dilihat bahwa semua tahapan proses dalam pasca panen rentan terhadap bahaya serangan jamur, serangga dan bakteri. Oleh sebab itu perlu ditentukan tindakan monitoring dan tindakan koreksi pada setiap tahap tersebut. Menurut saya, semua tahapan dalam pasca panen ini cukup penting dalam mengantisipasi cemaran jamur A.flavus yang akan menghasilkan aflatoksin, jika semua tahapan ini dilakukan dengan baik beserta koreksi yang disarankan, maka kemungkinan besar kita bisa meminimalisir cemaran aflaoksin dari tahap ke tahap. Dengan demikian demikian gabungan gabungan dari semua semua tindakan yang dipaparkan di atas, atas, baik pada tahap pra panen, panen panen dan pasca pasca panen panen dapat berpeluang besar
meminimalisir cemaran cemaran
Aflatoksin, bahkan meniadakan kadar aflatoksin pada jagung. Jagung dengan cemaran aflatoksin 20
yang minimal, secara otomatis akan menghasilkan nilai jual yang tinggi, yang tentunya dapat meningkatkan pendapatan petani. Konsumen pun akan merasa aman, karena jagung yang dikonsums sudah bebas dari cemaran Aflatoksin.
21
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kadar air, suhu penyimpanan, kelembapan relatif udara, dan lama penyimpanan serta keterlambatan panen dapat meningkatkan cemaran Aflatoksin pada Jagung
Upaya yang dilakukan untuk mengurangi cemaran Aflatoksin antara lain kontrol lingkungan (suhu, pH, pH, aktivitas air
dan kondisi kondisi atmosfir aerobik), tindakan tindakan fisik
(dikeringkan dengan sinar matahari), penggunaan bahan kimia dan penggunaan varietas tahan.
Pengendalian pertumbuhan kapang A.flavus penghasil Aflatoksin dapat dilakukan pada proses mulai dari pra panen sampai pada tahapan t ahapan pasca panen.
4.2. Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap penggunaan pestisida alami (biopestisida) untuk membunuh kapang Aspergillus flavus, agar penggunaannya aman bagi lingkungan dan aman bagi konsumen jagung lebih khususnya.
22
DAFTAR PUSTAKA
Kusumaningrum, H.et al. 2010. Cemaran Aspergillus Flavus Dan Aflatoksin Pada Rantai Distribusi Produk Pangan Berbasis Jagung Dan Faktor Yang Mempengaruhinya. Departemen Ilmu Dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan, Vol XXI No.2.
, et al. 2006. Aflatoksin Pada Jagung Dan Cara Pencegahannya. Buletin Teknologi Mulyawanti ,
Pascapanen Pascapanen Pertanian: Vol.2.
Rachmawati, S. 2005. Aflatoksin Dalam Pakan Ternak Di Indonesia : Persyaratan Kadar Dan Pengembangan Pengembangan Teknik Deteksi-Nya. Balai Penelitian Veteriner. Wartazoa Vol. 15 No. I.
Talanca, H. dan dan S, Mas’ud. 2009. Pengelolaan Cendawan Aspergillus Flavus Pada Jagung. Prosiding Seminar Nasional Serealia. ISBN :978-979-8940-27-9 Balai Penelitian Tanaman Serealia
Tandiabang, Tandiabang, J. 2010. Pengendalian Aflatoksin Aflatoksin Untukperbaikan Untukperbaikan Kualitas Biji Jagung. Prosiding Seminar Ilmiah Dan Pertemuan Tahunan PEI Dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan. Balai Penelitian Penelitian Tanaman Serealia, Maros
Widaningrum dan Miskiah. 2008. Pengendalian Aflatoksin Pada Jagung Melalui Penerapan HACCP. Jurnal Standarisasi Vol. 10 , No.1:1-10
Yenni. 2006. Aflatoksin Dan Aflatoksikosis Pada Manusia. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Universa Medicina Januari-Maret. Vol.25 No.1
Yusrini, H. 2010. Teknik Pengujian Kadar Aflatoksin B1 Pada Jagung Menggunakan Kit Elisa. Buletin Teknik Pertanian Vol. 15, No. 1: 28-32.
.
23
24