PEMERIKSAAN PARASIT PADA HOSPES INTERMEDIER
Nama NIM Kelompok Rombongan Asisten
: : : : :
Oleh : Dini Darmawati B1J014058 1 II Medina Fadli Latus S
LAPORAN PARASITOLOGI
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2016 I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Parasit merupakan organisme yang mengambil makanan serta mendapat keuntungan dari organisme lain. Sedangkan organisme yang mengandung parasit. disebut hospes. Hubungan timbal balik antara hospes dengan parasit disebut parasitisme. Berdasarkan hubungan timbal balik dengan hospesnya, parasit dibedakan menjadi parasit obligat dan parasit fakultatif. Parasit obligat (permanen) merupakan parasit yang sama sekali tidak dapat hidup tanpa hospes. Sedangkan, organisme yang hidup bebas akan tetapi suatu waktu dapat menjadi parasit disebut parasit fakultatif (opportunist). Selain itu juga terdapat parasit temporer atau intermitten yaitu parasit yang sebagian masa hidupnya bebas dan sewaktu-waktu akan menjadi parasit. Contoh parasit temporer ialah Strongyloides stercoralis. Jika parasit kebetulan bersarang pada hospes yang biasanya tidak dihinggapi disebut parasit insidentil (Muslim, 2009). Berdasarkan hospes yang menjadi tempat bagi parasit untuk menggantungkan hidupnya maka dapat dibagi menjadi hospes definitif (hospes terminal/akhir) misalnnya tempat parasit melakukan reproduksi seksual misalnya manusia, hewan atau tumbuhan. Hospes sementara (intermediate host) merupakan tempat parasit menyempurnakan sebagian dari siklus hidupnya atau dapat juga sebagai tempat reproduksi aseksual (Juanda, 2006). Spesies yang merupakan hospes intermedier antara lain siput. Siput merupakan perantara dari cacing Trematoda yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan. Tubuh cacing Trematoda akan melanjutkan siklus hidupnya dengan berkembang menjadi serkaria. Serkaria tersebut sewaktu-waktu akan keluar dari tubuh cacing dan mencari hospes untuk pertumbuhannya yang lebih lanjut. Apabila mendapatkan hospes yang sesuai, maka serkaria yang telah berubah menjadi mirasidium akan memasuki tubuh hewan atau manusia. Oleh sebab itu, pemeriksaan
hospes intermedier dan parasit penting dilakukan, agar dapat mengetahui bagaimana penyebaran serta cara pencegahan infeksi dari parasit (Natadisastra, 2009).
B. Tujuan 1. Mendiagnosa adanya infeksi cacing parasit pada hati sapi, empedu sapi, babat sapi, usus bebek dan usus ayam. 2. Mengetahui siput sebagai hospes intermedier dan fase-fase yang terjadi dalam tubuh hospes intermedier. 3. Mengetahui morfologi cacing parasit (telur, larva, dan dewasa)
II.
MATERI DAN METODE A. Materi
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain gunting bedah, mikroskop cahaya, baki preparat, pinset, object glass, cover glass, pisau bedah, baskom, label, pipet tetes, tissue, masker dan sarung tangan. Bahan-bahan yang digunakan adalah siput, empedu sapi, hati sapi, babat sapi, usus ayam dan usus bebek. B. Metode a. Pemeriksaan parasit pada hati sapi 1. Hati sapi dibawa ke laboratorium. 2. Kemudian diambil sedikit dan ditaruh di baskom atau wadah lainnya. 3. Dicari cacing dengan memotong hati sapi. b. Pemeriksaan parasit pada usus ayam 1. Usus ayam disiapkan. 2. Usus ayam dibedah dengan gunting secara hati-hati. 3. Diamati bagian yang keluar dari dalam usus ayam. c. Pemeriksaan parasit pada usus bebek 1. Usus bebek disiapkan. 2. Usus bebek dibedah dengan gunting secara hati-hati. 3. Diamati bagian yang keluar dari dalam usus bebek. d. Pemeriksaan parasit pada babat sapi 1. Babat sapi disiapkan. 2. Babat sapi ditaruh di baskom atau wadah lainnya. 3. Diamati bagian atau cacing yang keluar dari babat sapi. e. Pemeriksaan parasit pada hospes intermedier 1. Siput dipotong tepatnya di ujung cangkang. 2. Irisan dibuka dan cairan yang keluar dari keong langsung diteteskan diatas object glass. 3. Kemudian ditutup dengan cover glass 4. Bagian bawah gelas obyek dilap dengan tissue 5. Diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran lemah terlebih dahulu
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Parasit pada Hospes Intermediet Preparat Hati sapi Empedu sapi
Babat sapi Usus bebek Usus ayam Siput
1 Telur
Kelompok 2 Telur
3 Telur
Fasciola
Fasciola
Fasciola
hepatica (1) -
hepatica (1) Ascariadia
hepatica (1) Ascaridia
Serkaria (1) dan
galli (1) -
galli (1) Serkaria (1)
Redia (1)
Gambar 1. Serkaria dan Redia pada Siput.
B. Pembahasan Hospes merupakan tempat parasit menggantungkan hidupnya dan berkembang biak. Hospes dapat berupa tumbuhan, hewan dan manusia. Terdapat beberapa istilah yang perlu diketahui, hospes definitive merupakan tempat hidup parasit dewasa mengadakan reproduksi seksual. Sedangkan, hospes perantara (intermediate host) merupakan tempat parasit untuk menyempurnakan siklus hidupnya atau tempat parasit melakukan perkembangan aseksual (Juanda, 2006). Praktikum pemeriksaan parasit pada hospes intermedier yang dilakukan oleh rombongan dua menggunakan enam preparat, diantaranya hati sapi, empedu sapi, babat sapi, usus ayam, usus bebek dan siput. Pemeriksaan terhadap empedu sapi ditemukan telur Fasciola hepatica dengan struktur berbentuk oval dan berisi sel-sel granula dan memiliki operculum kecil pada salah satu sisi kutubnya. Hal ini sesuai dengan Putra (2014) telur Fasciola sp. telur memiliki operculum, berukuran besar dan berwarna kekuningan. Ciri-ciri umum Fasciola sp. yaitu bentuk tubuh seperti daun dan pipih. Cacing hati dewasa berwarna merah kecoklatan, memiliki ukuran oral sucker yang sama dengan ukuran ventral sucker. Dalam daur hidup cacing hati ini mempunyai dua macam inang, yaitu Inang perantara yakni siput air, dan Inang menetapnya yaitu hewan bertulang belakang pemakan rumput seperti sapi dan domba. Fasciola sp. umumnya menyerang hati sapi, saluran empedu sapi, babat sapi, dsb. Fasciola hepatica merupakan entoparasit, melekat pada dinding duktus biliferus atau pada epithelium intestinum dengan alat penghisapnya. (Purwanta, 2006). Cacing Fasciola sp. dapat menyebabkan penyakit fasciolosis. Umumnya yang banyak ditemukan di Indonesia adalah Fasciola gigantica. Fasciolosis pada sapi biasanya bersifat kronik, sedangkan pada domba dan kambing dapat bersifat akut. Sapi atau hewan ternak lainnya yang menderita fasciolosis mengalami penurunan berat badan serta tertahannya pertumbuhan badan hingga dan kematian. Fasciola sp. hidup di dalam hati dan saluran empedu hewan ternak. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah. Cacing Fasciola sp. mengalami proses pendewasaan di dalam saluran empedu. Cacing Fasciola sp. dewasa dalam hospes definitive dapat hidup rata-rata antara satu sampai tiga tahun di dalam hati (Bendryman, 2004). Infeksi cacing Fasciola sp. pada sapi juga dipengaruhi oleh jenis kelamin sapi. Menurut Hambal (2013) sapi jantan lebih rentan terinfeksi oleh Fasciola sp.
dibandingkan sapi betina. Hal ini dikarenakan hormon esterogen memiliki sifat pemacu sel-sel reticulo endhothelial system (RES) dalam membentuk antibodi terhadap parasit. Sehingga sapi betina lebih tahan terhadap parasit. Selain memeriksa empedu sapi dan hati sapi, pemeriksaan ini melakukan pemeriksaan terhadap usus ayam dan bebek. Hasil pemeriksaan menunjukkan tidak ditemukannya cacing parasit pada usus ayam dan bebek. Usus ayam dan bebek umumnya merupakan tempat hidup bagi Ascaridia galli. Ascaridia galli merupakan Nematoda yang umumnya dijumpai pada saluran pencernaan unggas. Cacing dewasa hidup di lumen pada usus halus unggas (Ferdushy, 2012). Perbedaan hasil yang didapatkan dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti keadaan usus ayam dan bebek sampel memang dalam keadaan sehat tidak terinfeksi cacing Ascaridia galli, atau dapat juga disebabkan tidak telitinya mengenali cacing Ascaridia galli saat pembedahan usus ayam dan bebek dan juga kesalahan prosedur praktikum yang tidak sesuai. Menurut Katakam et al (2010) untuk mengisolasi larva Ascaridia galli dari dinding usus halus unggas dapat menggunakan EDTA. Cacing Ascaridia galli merupakan cacing Nematoda yang paling besar, berwarna putih berbentuk bulat, tidak berpigmen dan dilengkapi dengan kutikula yang halus. Siklus hidup A. galli tidak memerlukan hospes intermedier. Penularanaa cacing ini melalui pakan, air minum atau bahan lain yang tercemar oleh feses yang mengandung telur infektif. Telur dikeluarkan melalui feses dan berkembang di udara terbuka dan mencapai dewasa setelah 10 hari atau lebih. Kemudian telur mengandung larva kedua (L2) yang sudah berkembang penuh dan larva ini sangat resisten terhadap kondisi lingkungan yang buruk. Infeksi terjadi saat unggas menelar telur yang mengandung larva tersebut bersama makanan atau minuman. Kemudian larva akan menetas di proventrikulus atau duodenum unggas. Setelah menetas, larva hidup bebas di dalam lumen duodenum bagian posterior selama 8 hari. Kemudian larva mengalami ekdisi menjadi larva 4 dan masuk ke dalam mukosa, sehingga menyebabkan hemoragi. Larva 4 akan menjadi larva 5 atau cacing muda. Cacing muda tersebut kemudian masuk ke lumen duodenum (Bendryman, 2004). Berbeda dengan Ascaridia galli yang tidak memerlukan hospes intermedier, Fasciola hepatica, Fasciola gigantica, dan banyak parasit lainnya memerlukan hospes intermedier. Cacing Trematoda ini memiliki fase pertumbuhan aseksual di dalam tubuh siput. Pertumbuhan cacing Fasciola sp. dimulai dengan masuknya mirasidium ke dalam jaringan tubuh siput, jika mirasidium sudah mencapai tempat
yang sesuai. Mirasidium yang keluar dari telur bentuknya bulat dan tubuhnya dikelilingi oleh silia sehingga dapat berenang aktif pada air. Mirasidium dapat menembus tubuh siput karena mempunyai enzim litik. Mirasidium lebih senang pada spesies siput karena dipengaruhi faktor kemotaksis cairan jaringan dan lendir yang terdapat pada tubuh siput tersebut (Brotowidjoyo, 1987). Mirasidium berubah menjadi sporokista yang bentuknya memanjang. Sporokista ini mempunyai dinding badan, rongga badan, dan sel-sel germinal yang membantu sporokista kedua atau redia. Hal ini sesuai dengan hasil praktikum yang menemukan serkaria dan redia pada cairan siput. Sebab pertumbuhan mirasidium hingga redia masih berada dalam tubuh sipu. Selanjutnya, redia akan membentuk serkaria. (Noble, 1989). Serkaria selanjutnya keluar dari tubuh siput. Serkaria memiliki bentuk tubuh yang khas yaitu berbentuk elips dengan ekor panjang untuk lokomosi. Selain itu, serkaria sudah memiliki oral sucker dan ventral sucker, alat pencernaan, sistem reproduksi sederhana dan sistem ekskresi. Serkaria Schistosoma sp dapat menembus kulit hospes definitif karena larva ini membentuk sekret litik yang dihasilkan oleh kelenjar sefalik. Selain itu, serkaria ini juga dapat menginfeksi inang perantara baru. yaitu ikan air tawar, ketam atau vegetasi air. Serkaria juga daoat masuk ke dalam hospes definitive Karena termakan atau menembus kulit. Setelah berada di dalam hospes definitifnya, serkaria berubah menjadi cacing muda yang kemudian akan pindah ke organ pencernaan yang cocok dan tumbuh menjadi dewasa (Ngurah & Putra, 1997).
IV.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan praktikum, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pemeriksaan hospes parasit keong, hati, babat, dan usus ayam kampung didapatkan parasit berupa telur Fasciola hepatica pada empedu sapi dan terdapat parasite pada siput berupa serkaria dan redia. 2. Siput merupakan hospes intermedier (inang sementara), fase yang terjadi didalam tubuhnya meliputi mirasidium, sporokista, redia dan serkaria. Serkaria selanjutnya keluar dari tubuh siput dan mencari hospes definitifnya yang sesuai. 3. Morfologi cacing parasit, misalnya Fasciola hepatica ialah telur berbentuk oval berisi granula dan memiliki operculum. Larva cacing Fasciola hepatica kemudian berkembang menjadi cacing dewasa yang tinggal di hati sapi atau hewan ternak lainnya, bentuk tubuh cacing Fasciola sp. pipih seperti daun dan memiliki oral sucker dan ventral sucker dengan ukuran yang sama.
DAFTAR REFERENSI Bendryman, S. S. 2004. Aspek Biologis dan Uji Diagnostik Fasciola. Surabaya : Universitas Airlangga. Brotowidjojo, M.D. 1987. Parasit dan Parasitisme. Jakarta : Melton Putra, Jakarta. Ferdushy, Tania., Peter Nejsum., Allan Roepstorff., S.M. Thamsborg & Niels C. Jyvsgaard. 2012. Ascaridia galli in Chickens: Intestinal Localization and Comparison of Methods to Isolate the Larvae within The First Week of Infection. Parasitol Res. Vol. 111 : 2273-2279. Hambal, Muhammad., Arman Sayuti & Agus Dermawan. 2013. Tingkat Kerentanan Fasciola gigantica pada Sapi dan Kerbau di Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Media Veterinaria. Vol. 7 (1). Juanda, H. A. 2006. TORCH (Toxo, Rubella, CMV dan Herpes) Akibat dan Solusinya. Solo : Wangsa Jatra Lestari. Katakam, KK., Peter Nejsum., C.B. Jorgensen & S.M. Thamsborg.2010. Molecular and Parasitological Tools for The Study of Ascaridia galli Population dynamics in Chickens. Avian Pathol. Vol. 39 : 132-139. Muslim, M. H.2009. Parasitologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC. Natadisastra, Djaenudin. 2009. Parasitologi Kedokteran : Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta : EGC. Ngurah D. D. M. & A. A. G. Putra. 1997. Penyidikan Penyakit Hewan. Denpassar : Bali Media. Noble, E. R & G. A. Noble. 1989. Parasitologi : Biologi Parasit Hewan. Yogyakarta : UGM. Purwanta. 2006. Penyakit Cacing Hati (Fasciolasis) pada Sapi Bali di Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Makassar. Jumal Agrisistem. Vol. 2 (II) : 63-69. Putra, Rencong Dwi., Nyoman Adi Suratma & Ida Bagus Made Oka. 2014. Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Indonesia Medicus Veterinus. Vol. 3 (5) : 394-402.