PEMERIKSAAN PARASIT PADA HOSPES INTERMEDIER
Oleh : Nama : Jihan Diyana Alsa NIM : B1J014112 Kelompok : 4 Rombongan : I Asisten : Wiwin Hadianti
LAPORAN PARASITOLOGI
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2017
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Parasitologi merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang kehidupan
parasit.
Kehidupan
parasit
memiliki
keunikan
karena
adanya
ketergantungan pada inang. Bentuk kehidupan bersama suatu organisme disebut simbiosis. Salah bentuk hubungan simbiosis adalah parasitisme, dimana ciri khas hubungan simbiosis ini adalah salah satu jenis organisme yang disebut parasit hidup dan mendapat keuntungan dari organisme lainnya yang disebut inang. Parasit merupakan organisme yang hidup di dalam atau pada tubuh organisme lain dan menimbulkan kerugian pada organisme yang ditumpanginya tersebut. Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan. Selama hidup parasitis organisme parasit membutuhkan adanya organisme lain yang memberi makan. Makanan itu diperoleh parasit secara langsung, tanpa menimbulkan kerusakan fisik pada organisme lain yang ditumpanginya (Brotowidjoyo, 1987). Menurut Arbi & Vimono (2010), di suatu ekosistem terjadi interaksi antara satu jenis organisme dengan jenis organisme lainnya (simbiosis), baik itu berupa hubungan yang bersifat mutualisme, komensalisme, maupun parasitisme. Di dalam hubungan parasitisme, organisme parasit memanfaatkan organisme lainnya (inang) sebagai tempat hidup untuk melangsungkan sebagian besar siklus hidupnya. Inang seringkali merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai sumber makanan bagi parasit. Hal inilah yang kadang menjadi salah satu faktor fisiologi yang sangat penting yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, baik bagi parasit maupun inangnya. Parasit memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kondisi organisme lain yang dijadikan sebagai inangnya. Organisme parasit tidak membunuh inang pada saat parasit tersebut mengambil keuntungan dari inang sekalipun parasit tersebut memiliki sifat pathogen (menyebabkan penyakit). Siklus hidup parasit ada yang langsung dan ada yang tidak langsung. Siklus hidup langsung hanya memerlukan satu inang dalam siklus hidupnya. Parasit yang memiliki siklus hidup tidak langsung memerlukan lebih dari satu inang untuk kelangsungan hidupnya. Siklus hidup tidak langsung memerlukan inang perantara dimana tahap larva parasit berkembang pada inang perantara tersebut, dan inang utama dimana parasit tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Inang utama biasanya memakan inang perantara sehingga parasit dapat berpindah. Parasit juga
dapat berpindah pada inang lain tetapi tidak mengalami perubahan fase, inang ini disebut inang paratenik. Beberapa jenis parasit bersifat inang spesifik yang berarti bahwa parasit tersebut hanya dapat menginfeksi satu atau terbatas spesies inang. Pengetahuan tentang siklus hidup parasit sangat berguna dalam melakukan pencegahan, karena parasit dapat dihilangkan atau dicegah dengan mudah pada tahap yang paling lemah dari parasit, sebaliknya dapat menghindari treatment pada tahap yang paling resistan terhadap parasit (Esch & Fernandez, 1993). B. Tujuan Tujuan praktikum pemeriksaan parasit pada hospes intermedier yaitu: 1. Mendiagnosa adanya infeksi cacing parasit pada hati sapi, empedu sapi, babat sapi, usus kambing dan usus ayam. 2. Mengetahui siput sebagai hospes intermedier dan fase-fase yang terjadi dalam tubuh hospes intermedier. 3. Mengetahui morfologi cacing parasit (telur, larva, dan dewasa)
II. MATERI DAN METODE A. Materi Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pinset, object glass, cover glass, mikroskop pisau dan gunting. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah hati sapi, empedu sapi, babat sapi, usus bebek, usus ayam, siput, akuades dan larutan NaCl fisiologis. B. Metode Metode yang digunakan dalam praktikum ini yaitu: 1. Pemeriksaan Usus, Hati, dan Babat 1.1 Lubang-lubang kecil pada hati sapi dan babat sapi diamati dan digunting secara perlahan mengikuti saluran pada lubang. 1.2 Kotoran usus bebek dan usus ayam dikeluarkan dengan cara menggunting usus pada salah satu bagian lateral usus. 1.3 Bagian permukaan dalam usus diamati dan dicari cacing yang ada di dalamnya. 2. Pemeriksaan Hospes Intermedier Siput Air (Lymnaea sp.) 2.1 Siput air tawar disiapkan dan dipotong bagian sutura ke tiga. 2.2 Cairan atau lendir di dalam siput diteteskan pada object glass dan ditutup cover glass. 2.3 Preparat diamati di bawah mikroskop, diamati larva cacingnya, dan dicatat hasilnya.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Parasit pada Hospes Intermediet
Hati sapi Empedu sapi Usus bebek Usus ayam
1
Kelompok 2 3 4
Siput
-
-
Preparat
5
-
Gambar 1. Ascaridia galli
-
B. Pembahasan Hospes intermedier adalah hospes dimana parasit hidup tidak mencapai kedewasaan
(sebagian
dari
daur
hidupnya). Trematoda
di
dalam
siklus
perkembangannya membutuhkan hospes intermedier yaitu berjenis-jenis siput, dalam hal ini antara lain Limnea sp. yang menjadi hospes intermediet cacing trematoda. Semua jenis Limnea memiliki rumah tanpa operkulum dengan arah putarannya ke kanan. Beberapa ahli berpendapat bahwa hanya siput yang arah putaran rumahnya ke kanan dan tidak memiliki operkulum dapat menyebarkan cacing trematoda (terutama Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica). Hal ini dikarenakan dengan tidak adanya operkulum yang menutup rumah Limnea memberi peluang bagi mirasidium cacing trematoda untuk masuk menembus tubuh lunak siput tersebut. Selain karena tidak adanya operkulum, gerak mirasidium mendekati siput karena ia memiliki kemotaksis yaitu gerak yang dipengaruhi oleh zat-zat kimia. Masing-masing jenis siput mengeluarkan zat-zat lendir yang bersifat spesifik disenangi atau dijauhi oleh jenisjenis cacing trematoda. Pengaruh lingkungan terhadap perkembangan cacing trematoda di luar tubuh hospes definitifnya yaitu mutlak diperlukan adanya air tergenang, suhu optimalnya 260C, sedangkan pH-nya netral sampai asam lemah. Hal ini juga yang menyebabkan cacing trematoda memilih siput sebagai hospes intermedietnya (Suweta, 1985). Cacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya infestasi cacing pada tubuh hewan, baik pada saluran percernaan, pernapasan, hati, maupun pada bagian tubuh lainnya. Umumnya infestasi cacing pada sapi sering ditemukan pada saluran pencernaan dan hati. Terdapat empat jenis parasit cacing yang menyerang ternak sapi, diantaranya: cacing hati (Fasciola gigantica), cacing gilik (Neoascaris vitulorum), cacing lambung (Haemonchus contortus) dan cacing pita (Taenia saginata). Parasit cacing ini dapat menyerang sapi dikarenakan oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah pakan ternak sapi yang terkontaminasi telur cacing, kondisi kandang yang tidak layak sehingga kotoran dari sapi tersebut mencemari pakan, kebersihan kandang yang tidak diperhatikan oleh si peternak, pakan ataupun minum sapi yang dibiarkan oleh peternak tercemar oleh feses sapi sehingga lebih mudah terserang penyakit (Levin., 1994). Cacing Trematoda mempunyai bentuk umum tubuhnya pipih serta mempunyai dua buah sucker yaitu ventral suker dan oral sucker. Ukuran tubuhnya 1
mm sampai beberapa cm. Sifat dari cacing ini adalah hermaprodit kecuali genus Shisthosoma (Suweta, 1985). Selama siklus hidupnya, ada dua hospes yang dibutuhkan oleh cacing ini, yaitu hospes definitif (manusia dan mamalia) dan hospes perantara (salah satunya siput/keong) (Robert, 1973). Bentuk infektif dari cacing Trematoda parasit adalah metaserkaria. Cacing ini dapat menginfeksi manusia atau makhluk mamalia lainnya, dengan memakan tanaman air yang mengandung metaserkaria. Metaserkaria cacing Trematoda parasit yang terdapat dalam tanaman air seperti pada Fasciola hepatica dan Fasciola buski. Ada juga cacing trematoda parasit yang membutuhkan ikan air tawar sebagai hospes perantara seperti Clonorchis sinensis, Heterophyes heterophyes dan Metagonimus yokogawai. Paragonimus westermani membutuhkan udang atau ketam sebagai hospes perantaranya (Soedarto, 1991). Fasciola hepatica atau disebut juga Cacing hati merupakan anggota dari Trematoda (Platyhelminthes). Cacing hati mempunyai ukuran panjang 2,5 – 3 cm dan lebar 1 - 1,5 cm. Pada bagian depan terdapat mulut meruncing yang dikelilingi oleh alat pengisap, dan ada sebuah alat pengisap yang terdapat di sebelah ventral sedikit di belakang mulut, juga terdapat alat kelamin. Bagian tubuhnya ditutupi oleh sisik kecil dari kutikula sebagai pelindung tubuhnya dan membantu saat bergerak. Siklus hidup : Bersifat hermaphrodit sehingga dapat menghasilkan telur fertile, Telur melewati saluran empedu dan keluar bersama feces, telur menetas (disebut miracidia) : larva, larva termakan bersama rerumputan, larva masuk ke dalam usus halus dan ruang peritoneal, kemudian masuk ke dalam hati, setelah di dalam hati, kemudian masuk ke dalam saluran empedu dan mengalami pendewasaan dalam beberapa minggu., Siklus hidup Fasciola 3-4 bulan ( Purwanta, 2006 ). Daur hidup Fasciola sp. menurut Bendryman (2004), yaitu : 1.
Telur keluar ke alam bebas bersama faeces domba. Bila menemukan habitat
2.
basah. telur menetas dan menjadi larva bersilia, yang disebut Mirasidium. Mirasidium masuk ke dalam tubuh siput Lymnea akan tumbuh menghasilkan
3. 4.
Sporokista. Sporokista seara partenogenesis akan menghasilkan Redia Redia secara paedogenesis akan membentuk serkaria. Serkaria meninggalkan
5.
tubuh siput menempel pada rumput dan berubah menjadi metaserkaria. Metaserkaria termakan oleh hewan ternak berkembang menjadi cacing muda yang selanjutnya bermigrasi ke saluran empedu pada hati inang yang baru untuk memulai daur hidupnya.
Fasciolosis mengakibatkan suatu penyakit hepatitis parenkimatosa akut dan suatu kholangitis kronis yang disebabkan oleh cacing Fasciola hepatica. Setelah menyerang hati, tahap selanjutnya cacing ini dapat mengakibatkan gangguan metabolisme lemak, protein dan karbohidrat, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan, menurunkan bobot hidup, anemia dan dapat menyebabkan kematian (Hambal et al., 2013). Pada umumnya, diagnos fasciolosis yang disebabkan oleh infeksi cacing dilakukan dengan melakukan dentifikasi telur cacing di dalam feses, akan tetapi pada penyakit akut dan masih dalam periode prepaten, keberadaan cacing tidak dapat diketahui, karena telur cacing yang dikeluarkan dalam feses berjumlah terlalu sedikit sehingga sulit untuk mendeteksinya. Selain itu adapula metode yang dapat dilakukan, yaitu pemeriksaan secara serologi dengan uji elisa untuk deteksi antibodi dengan menggunakan antigen yang spesifik (Estuningsih, 2006). Penggunaan keong atau siput air dikarenakan telah diketahui bahwa hewan tersebut berperan dalam penularan Trematoda parasit yaitu sebagai hospes perantara pertama, sedangkan hospes perantara keduanya adalah ikan (Miura et al., 2007). Pemeriksaannya dilakukan pada sutura ketiga dengan cara memotongnya. Sutura ketiga adalah daerah dekat dengan hati gastropoda. Hasil pengamatan tersebut dapat diketahui bahwa ditemukannya parasit pada stadium serkaria dan redia pada keong yang di amati. Hospes parasit cacing Fasciola yang utama adalah Lymnaea auricularia yang memilih iklim yang lebih panas dan lebih akuatik dari pada Lymnaea truncatula. Siklus hidupnya yaitu telur Fasciola masuk ke dalam duodenum bersama empedu dan keluar bersama tinja hospes definitif. Di luar tubuh ternak telur berkembang menjadi mirasidium. Mirasidium kemudian masuk ke tubuh siput muda, yang biasanya genus Lymnaea rubiginosa. Di dalam tubuh siput mirasidium berkembang menjadi sporokista, redia dan serkaria. Serkaria akan keluar dari tubuh siput dan bisa berenang. Pada tempat yang cocok, serkaria akan berubah menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. Ternak akan terinfeksi apabila minum air atau makan tanaman yang mengandung kista (Levin., 1994). Menurut Fox et al. (2011), distribusi tahap hidup bebas dan hospes perantara moluska Lymnaea truncatula, tergantung pada faktor iklim. Suhu 10-250C diperlukan untuk oleh F. hepatica dan larva L. truncatula untuk berkembang. Siklus hidup dari Trematoda parasit setelah keluar dari hospes definitifnya adalah sebagai berikut :
1. Mirasidium di dalam air keluar dari telur. Penetasan telur biasanya terjadi hanya di dalam air, dalam telur terbentuk mirasidium. Bentuknya seperti buah jambu, larva kecil bersilia, mirasidium dapat menembus tubuh keong sebab mempunyai enzim litik. Mirasidium lepas dari telur dan berenang sampai menemukan jenis keong yang cocok. 2. Sporokista, redia, serkaria dalam tubuh Mollusca. Sporokista adalah larva stadium kedua yang terjadi dalam tubuh Mollusca setelah menemukan tubuh yang cocok. Mirasidium kehilangan silis dan membentuk larva panjang bentuk tabung yang disebut sporokista. Sporokista pindah ke jaringan hati keong, tempat-tempat larva meneruskan pembentukan sel nuftah di dalam struktur kantong. Redia dalam rongga tubuh keong berisi cairan limfe. Sporokista mengalami perubahan morfologi lagi membentuk larva yang terdefisiensi mempunyai mulut, faring, usus sederhana, sistem ekskresi, sel pengumpul, sel germinal, dan dapat menembus kulit hospes definitif karena saluran pencernaan yang rudimenter, tahap ini disebut redia. 3. Serkaria, terdapat bebas dia air sesudah keluar dari tubuh siput. Di dalam redia terbentuk serkaria yang kemudian keluar tubuh keong. Serkaria mencapai bentuk khas seperti ellips, ekor panjang untuk lokomosi, sudah memiliki batil isap kepala dan batil isap perut. 4. Metaserkaria, di dalam tubuh hospes perantara kedua. Setelah terjadi infeksi serkaria kehilangan ekor dan membentuk dinding kista di sekitar larva. Metaserkaria masuk ke dalam hospes definitif karena termakan atau menembus kulit (Andriyani, 2005). Salah satu penyakit yang menginfeksi manusia yang diakibatkan memakan siput yang mengandung larva Trematoda parasit adalah mammalian schistosomal serkarial dermatitis. Penyakit ini disebabkan oleh serkaria dari beberapa spesies Schistosoma seperti
S. Spindale,
S. bovis, S. mattheei, S. incognitum,
Orientobilharzia turkestanicum dan O. harinasutai. Siput yang berperan sebagai hospes perantara penularan penyakit ini adalah Indoplanorbis sp., Bulinus sp. dan Lymnea sp. (Noble & Noble, 1989). Cacing parasit yang biasa menyerang hati, terutama hati sapi yaitu Fasciola sp. Penyakit cacing hati disebut Fascioliasis. Fasciola gigantica ditemukan di Indonesia yang beriklim tropis. Siklus hidup dimulai ketika cacing dewasa bertelur, yang diekskresikan dalam tinja setelah sekitar 1 bulan. F. hepatica menghasilkan 10-
20.000 telur per hari. Telur menetas pada kondisi kelembaban, suhu, dan cahaya yang optimal. Telur menetas menjadi fase mirasidium yang merupakan bentuk larva awal yang menginfeksi Lymnaea spp. moluska air tawar sebagai hospes intermedier (Taha et al., 2014). Berdasarkan hasil praktikum, pemeriksaan hospes parasit pada rombongan 1 di temukan beberapa spesies parasit pada sampel yang diperiksa. Pada pemeriksaan empedu sapi di temukan telur Fasciola hepatica, dan pada usus ayam ditemukan Ascaridia galli. Menurut Bendryman (2004), penyakit yang disebabkan oleh cacing dengan genus Fasciola baik F. hepatica maupun F. gigantica disebut dengan Fascioliasis dan ditandai dengan adanya cacing tersebut di bagian hati. Cacing ini termasuk golongan trematoda, biasanya menyerang di bagian liver atau hati. Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya kira-kira 30 x 13 mm. Bagian anterior berbentuk seperti kerucut dan pada pundak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya kira-kira 1 mm. Bagian dasar kerucut terdapat batil isap perut yang besarnya kira-kira 1.6 mm. Saluran pencernaan bercabang-cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga bercabang-cabang. Tidak terdapat sistem pernafasan. Cacing dewasa panjangnya ± 2,5 cm, batil isap kepala dan batil isap perut berdekatan, bagian kepala seperti kerucut, dua sekum bercabang-cabang, ovarium bercabang-cabang, dua testis juga bercabag-cabang, kelenjar vitelaria hampir mengisis seluruh bagian tubuhnya. Sistem pencernaannya semacam kantong usus dengan satu lubang sederhana sebagai mulut dan sekaligus anus. Cacing ini banyak menyerang sapi dan domba dengan predileksi di ductus biliverus. Jenis cacing Fasciola yang yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica memiliki bentuk yang hampir sama, tetapi Fasciola gigantica mempunyai bentuk yang sedikit lebih besar baik ukuran cacing dewasa dan telurnya (Soulsby, 1982). Empedu sapi juga menjadi sasaran atau tempat hidup cacing hati. Menurut Ardiyanti et al. (2015), kehadiran cacing hati pada saluran empedu menyebabkan terjadinya kholangitis (radang saluran empedu). Kholangitis yang dikombinasikan dengan besarnya tubuh cacing Fasciola spp. cukup untuk menyebabkan obstruksi mekanik pada saluran empedu. Jika obstruksi terjadi, kantung dan saluran empedu akan membesar. Penelitian Ardiyanti et al. (2015) menyebutkan, jaringan saluran empedu sapi bali yang terinfeksi Fasciola spp. tebal, kaku, dan terdapat lendir yang bercampur darah. Jaringan saluran empedu normal memiliki struktur yang tipis dan elastis.
IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa: 1.
Terdapat beberapa spesies parasit yang di temukan pada sampel, yaitu dan Ascaridia galli pada usus ayam.
2.
Siput atau keong merupakan hospes intermedier atau perantara dalam siklus hidup cacing trematoda, di dalam tubuh siput larva mengalmi 3 tahapan yaitu tahap sporozoit, redia, dan serkaria sebelum akhirnya keluar dari tubuh siput.
3.
Cacing Fasicola hepatica dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya kira-kira 30 x 13 mm. Tidak terdapat sistem pernafasan. Cacing dewasa panjangnya ± 2,5 cm, batil isap kepala dan batil isap perut berdekatan, bagian kepala seperti kerucut, dua sekum bercabang-cabang, ovarium bercabangcabang, dua testis juga bercabag-cabang, kelenjar vitelaria hampir mengisi seluruh bagian tubuhnya.
DAFTAR REFERENSI Adriyati, G.A.A.P., Winaya, I.B.O., & Berata, I.K. 2015. Studi Histopatologi Mukosa Saluran Empedu Sapi Bali yang Terinfeksi Cacing Hati (Fasciola gigantica). Indonesia Medicus Veterinus, 4(1): 54-65. Andriyani, Y. 2005. Serkarial Dermatitis. Medan : Fakultas Kedokteran USU. Arbi, U.Y. & Vimono, I.B. 2010. Hubungan Parasitisme Antara Siput Thyca crystallina dan Bintang Laut Biru Linckia laevigata Di Perairan Ternate, Maluku Utara. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 36(2), pp.22742. Bendryman, S. S. 2004. Aspek Biologis dan Uji Diagnostik Fasciola. Surabaya: Universitas Airlangga. Brotowidjoyo, M.D. 1987. Parasit dan Parasitisme. 1st ed. PT. Jakarta: Melton Putra. Esch, G.W. & Fernandez., J.C. 1993. A functional biology of parasitism. New York: Chapmann and Hall. Estuningsih, S. E. 2006. Diagnosa infeksi Fasciola gigantica pada Sapi dengan Uji Capture-ELISA untuk Deteksi Antigen dalam feses. JITV,11(3),pp. 229-234. Fox, N.J., White, P.C.L. & McClean, .C.J. 2011. Predicting Impacts of Climate Change on Fasciola hepatica Risk. Plos One, 6(1),pp. 1-9. Hambal, M., Arman S., & Agus D. 2013. Tingkat Kerentanan Fasciola gigantica pada Sapi dan Kerbau di Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Medika Veterinaria, 7(1),pp. 49-53. Levin., N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Miura, Osamu, Armand M. Kuris, Mark E. Torchin, Ryan F. Hechinger & Satoshi Chiba. 2007. Parasites Alter Host Phenotype and May Createa New Ecological Niche for Snail Hosts. Journal, 10,pp. 1098-1102. Noble, E. R & G. A. Noble. 1989. Parasitologi : Biologi Parasit Hewan. Yogyakarta : UGM. Purwanta. 2006. Penyakit Cacing Hati (Fascioliasis) pada Sapi Bali Di Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan Kota Makassar, Jurnal Agrisistem, 2,pp. 6369. Robert, J. F. 1973. Paracytes of Laboratory Animal. USA : The Lowa States University Press. Soedarto. 1991. Helminthologi Kedokteran. Jakarta : ECG Kedokteran. Soulsby, E.J.L. 1982. Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals 7Ed. London: Bailleire Tindal.
Suweta, Putu. 1985. Kerugian Ekonomi oleh Cacing Hati pada Sapi. Bandung : Alumni. Taha, A.H., El-Shaikh, K.A., & Al-Sadi, M.M. 2014. Effect of Sodium Hypochlorite on Fasciola gigantica Eggs and the Intermediate Host, Lymnaea natalensis: A Scanning Electronmicroscopy Study. Journal of Taibah University for Science, 8: 75–83.