BAB V PEMBIBITAN DAN PENINGKATAN MUTU GENETIK AYAM LOKAL Tike Sartika Balai Penelitian Ternak, PO BOX 221 BOGOR 16002
ABSTR ABS TRACT ACT BREEDING AND GENETIC IMPROVING THE QUALITY OF LOCAL CHICKEN. The Local chicken has played an important role in the development of poultry production through the meat supply that has specific texture and taste. Even for the Indonesian well known franchise branded restaurants such as Ny Suharti's Fried Chicken, mbok Berek's and Taliwang's are only suitable for using Local chicken chicken as their t heir special characteristics. However, to produce Local chicken meat continuously and sufficiently, there is a need to i ncrease the productivity productivity of the Local chicken hens which have high egg productivity to provide a higher supply of DOC. The capability of Local chicken in producing egg per hen for a certain period varies highly. By taking advantage of this variation, the t he important of egg production through selection is hoped to get the high quality selected and improved Local chicken. This paper reviewed, first: the genetic resources of local chicken based on characterization to enhance the genetic potential of local chicken by studying genetic distances using protein polymorphism, D-loop mitochondria DNA and micro satellite markers, which used to analyses crossbreeding to get higher heterosis effect and to preserved the potential of germ plasm Indonesian Local chicken. The second, the strategy of how to improve the quality of Local chicken by selection and distribution selected breed was used the model of "open nucleus breeding system". The third, selection by advanced technology using molecular markers, MAS (Marker Assisted Selection) was used such as: broodiness traits analyses by functional gene, receptor and promoter prolactin gene and genetic resistance of Al (Avian Influenza) by gene Mx at the first chromosome.
PENDAHULUAN I ndonesia
banyak memiliki unggas lokal yang berpotensi tinggi untuk
pengembangan peternakan. Salah satu jenis unggas lokal yang potensinya cukup besar adalah ayam lokal atau dikenal ayam Kampung. Populasi ayam lokal sebagian besar berada di pedesaan. Pada tahun 2006 poputasi sementara mencapai 298,432 juta ekor (Dirjennak, 2006), dan sebagian besar (70%) dipetihara secara tradisional (berkeliaran/scavenging) dan hanya 30% yang dipelihara dengan mengikuti program intensifikasi ayam buras (INTAB). Kontribusi ayam lokal dalam menyumbangkan daging tidaktah sedikit. Sumbangan ayam lokal terhadap produksi daging sebesar 322,8 ribu ton pada tahun 2006 atau 16% terhadap produksi daging secara Nasional, Na sional, sedangkan terhadap daging unggas kontribusi ayam lokal sebanyak 31 %. Begitu pula produksi telur ayam lokal pada tahun 2006 sebanyak 181,1 ribu ton atau 15,97% terhadap produksi telur secara keseluruhan (Dirjennak, 2006). Hat ini mengindikasikan bahwa ayam lokal memiliki peranan yang cukup besar dalam dala m pembangunan pembangunan peternakan di Indonesia, sekaligus sebagai basis ekonom ek onomii petani di pedesaan. pede saan.
4'em6i6itan dart (Peningkatan Mutu GenetiI Ayarn Goka(
107
Oteh karena itu dalam menyongsong ketersediaan pangan secara mandiri tidak bergantung pada impor, dipertukan pengembangan ayam lokat yang serius dengan memperhatikan masatah pembibitan. Saat ini penyediaan bibit ayam tokat masih menjadi masatah (sulit diperoleh) karena betum tersedianya gatur komersiat dengan performan yang baku, sehingga belum ada usaha pembibitan komersial yang khusus menyediakan bibit ayam tokal. Penyediaan bibit yang berlangsung saat ini baru terbatas pada usaha penetasan untuk kepertuan peternak sendiri atau dijuat berdasarkan pemesanan tertebih dahulu. Bibit datam hat ini
belum didasarkan pada kriteria kuatitas tertentu, ter tentu, hanya hanya pada ternak mana mana saja yang dapat menghasitkan tetur tetas dan belum berdasarkan kuatitas. Dalam rangka pengembangan ayarn IoW secara nasionat, khususnya datam penyediaan bibit yang kuatitas dan kuantitasnya terjamin serta berkesinambungan dipertukan program pemu pemutiaan tiaan yang terarah. terar ah. Hat tersebut diharapkan dihasilkan bibit ternak yang balk dan dapat diusahakan secara komersial sehingga struktur industri perbibitan ayam tokat dapat diatur dengan balk. Pemerintah Pemerintah tetah te tah berupaya datam penyediaan penyediaan bibit seperti peningkatan populasi dan manfaat unggas lokal yang tetah direalisasikan datam program INTAB (intensifikasi ayam buras), VBC (village breeding centre) dan RRMC (rural rearing multiplication centre) namun betum menunjukkan menunjukkan hasit yang memuaskan. memuaskan. Sejak terjadi outbreak Avian Influenza (Al) tahun 2003, 2003, poputasi poputasi ayam tokat semakin terdesak. Oleh karena k arena itu sistem pembibitan pembibitan ayam tokal pertu ditangani dengan balk agar tidak terjadi ter jadi erosi sumber sumber daya genetik ayam tokat Indonesia. Indonesia. Dilihat dari potensinya ayam lokal rnempunyai pasar yang cukup besar karena kar ena daging ayam tokat mempunyai rasa dan tekstur yang khan sehingga disukai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Pada masakan tertentu seperti ayam goreng Ny Soeharti, Mbok Berek, ayam bakar Taliwang hanya cocok menggunakan ayam tokat dan masakan tersebut disukai turis mancanegara sehingga ayam tokat dapat dikatakan tetah go international ( Diwyanto, 1998). Setain itu telur ayam tokal mempunyai potensi pasar yang cukup tinggi. Sebagian besar masyarakat Indonesia mempercayai mempercayai (sugesti) bahwa telur ayam lokal mempunyai mempunyai khasiat yang tebih te bih dibandingkan dibandingkan dengan telur ayam ras.
SUMBER GENETIK BIBIT AYAM LOKAL Ayam tokal merupakan plasma nutfah Indonesia yang masih pertu digati potensinya. Saat ini terdapat beberapa rumpun yang mempunyai ciri spesifik dan sebagian berpotensi untuk dijadikan ternak unggas komersiat. Nataamijaya (2000) mengemukakan terdapat 31 rumpun ayam lokat Indonesia yang mempunyai ciri khas diantaranya: ayam Pelung, ayam Kedu, ayam Nunukan, ayam Sedayu, ayam Sentul, ayam Gaok dan lainnya.
Potensi yang dimitiki ayam Petung adalah memiliki ukuran tubuh yang tebih besar dari ayam tokat lainnya dan mempunyai suara kokok ayam jantan yang merdu. Bobot badan ayam Pelung dapat mencapai 2,5 - 8,0 kg (Nataamijaya dan Diwyanto, 1994) sedangkan, ayam Kampung hanya berkisar 1,0 - 3,0 kg. Ayam Kedu hitarn menghasitkan tetur datam 20 minggu masa pengamatan sebanyak 71 butir, sedangkan ayam Nunukan menghasitkan 70,4 butir, ayam Sentul
10 8
KganekaragainanSumber(DayaWayatiAyainLokaCh~onesia. fanfaatdanrPotensi
65,2 butir dan ayam Pelung 50,4 butir. Ayam Gaok berpenampitan cantik terutama pada ayam jantannya dan Bering disebut ayam Pelung Madura, potensi produksi ayam lokal ini masih pertu digati lebih lanjut. Usaha identifikasi dan karakterisasi ayam lokat masih sangat diperlukan. Kegiatan ini dianggap penting karena disamping berguna untuk keperluan plasma nutfah Indonesia, juga berguna dalam membantu program pemuliaan. Identifikasi dapat dilakukan terutama pada ciri fenotipe balk secara kualitatif (warna butq, kulit, shank, bentuk jengger) maupun secara kuantitatif (morfometrik, produktivitas, dan ketahanan terhadap penyakit/parasit). Dari segi reproduksi, penyimpanan semen beku unggas sangat diperlukan dalam membantu program konservasi/petestarian ternak unggas tangka, juga penyimpanan PGC (Primordial Germ Cell) saat ini menjadi topik menarik datam konservasi ataupun pembuatan chimera. Identifikasi secara deskriptif fenotipe diperlukan untuk mengetahui ciri khas dari performans ayam lokat tertentu yang dapat dibedakan secara jelas (secara visual) dengan jenis ayam lokat lainnya. Dengan bantuan anatisis multivariate dapat ditentukan bagian/ukuran tubuh tertentu yang dapat menjadi ciri (pembeda) dari kelompok/rumpun suatu ternak. Secara molekuler, identifikasi ternak dapat dilakukan untuk mengetahui studi keragaman genetik dan jarak genetik. Kegunaan jarak genetik diperlukan untuk menunjang program pemuliaan terutama dalam melaksanakan persilangan antar rumpun (crossbreeding). Peningkatan produktivitas melalui crossbreeding sebaiknya ditakukan dengan mengawinkan antar rumpun yang berkerabat jauh agar diperoleh efek heterosis positif. Selain itu jarak genetik dipertukan untuk membantu dalam program petestarian sumberdaya genetik ayam lokal di Indonesia. Studi keragaman genetik dan jarak genetik dapat dilakukan dengan beberapa metode. Metode awal yang dilakukan secara molekuler adalah dengan analisis protein polimorfisme dikenal dengan studi isoenzim atau atlozime. Adapun protein/enzim yang telah dapat dianatisis antara lain: Transferrin (Tf), Albumin (Alb), Haemoglobin (Hb), Amylase (Amy), Aspartat amino transferase (Aat), Acide phosphatase (Acp), Atkohol dehydrogenase (Adh), Adenosin deaminase (Ada), Adenit kinase (Ak), Carbonat dehidrogenase (Car), Creatikinase (Ck), Esterase (Est), Glyseraldehide-3phosphat dehydrogenase (Gapdh), Guanin deaminase (Gda), Glyoxalasel (Glo-I), Alpha-Glyserophosphatase dehydrogenase (Gdc), Gtukosa-6phosphatase dehidrogenase (Gpd-I), Glucose phosphatase isomerase (Gpi), Isositrat dehidrogenase (Idh), Laktat dehidrogenase (Ldh), dan Malat dehidrogenase (Mor). Kemudian analisis keragaman genetik secara molekuler cukup pesat berkembang dengan teknik analisis DNA. Beberapa macam metode yang dilakukan antara lain: RAPD (Random Amplified Polymorphism DNA), RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), anatisis sidik jari (fingerprinting), minisatelit ( VNTR/ Variable number tandem repeat), mikrosatelit (STR/ Short tandem repeat) dan DNA mitokondria. Beberapa penelitian mengenai keragaman genetik dan jarak genetik ayam lokal di Indonesia telah banyak dilakukan. Hashiguchi et al. (1982) melakukan penelitian jarak genetik antara ayam lokat Indonesia dengan ayam Hutan Merah (Indonesia, Philipina dan Thailand), ayam Hutan Hijau dan ayam Hutan Abu-abu dengan menggunakan anatisis protein polimorfisme pada 16 lokus (lokasi gen). Penelitian tersebut diperoleh 7 lokus potimorfik (terdapat perbedaan segregasi
( Pem6i6itan dan (Peningkatan wutu GenetikAyam Lokaf
109
pola pita hasil elektroforesis) dan 9 lokus monomorfik (tidak terdapat perbedaan segregasi pola pita hasil elektroforesis). Selanjutnya berdasarkan anatisis filogeni diperoleh bahwa ayam lokal Indonesia mempunyai jarak genetik yang dekat dengan ayam Hutan Merah Indonesia. Ardiningsasi dkk. (1995) mempelajari perbedaan antara ayam Kedu Hitam yang berasal dari Temanggung dan Magelang, dengan meneliti segregasi protein albumin dan transferrin darah. Hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan antara kedua lokasi. Yamamoto et al. (1994) dan Yamamoto et al. (1996)• meneliti keragaman genetik pada ayam Kampung (yang berasal dari Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, dan Sulawesi), ayam Pelung, Bangkok, Kedu dengan menggunakan 8 lokus protein potimorfisme dan 4 golongan darah. Hasil penelitian menunjukkar ayam lokat Jawa dengan ayam Petung termasuk satu rumpun, ayam tokal Bali dan ayam lokal Lombok satu rumpun. Ayam lokal Sulawesi mempunyai jarak genetik yang jauh dengan ayam lokal Jawa, Sumatera, Bali, dan Lombok. Sartika dkk. (1997) mempelajari keragaman genetik dengan 6 lokus protein polimorfisme antara ayam Kampung, Pelung, dan Sentul. Hasil penelitian ini menunjukkan ayam Kampung lebih dekat dengan ayam Pelung dibandingkan dengan ayam Sentul. Kemudian dilanjutkan penelitian keragaman genetik dengan menggunakan daerah kontrol (D-loop) dari DNA mitokondria pada berbagai ayam Kampung di Jawa Barat dengan metoda PCR-RFLP menggunakan lima macam enzim restriksi (Alul, Hpall, Mbol, Rsal, NIaIII, dan HaeIII) dan hasitnya monomorfik (Sartika dkk.,2000). Sartika dkk. (2004) mempelajari kekerabatan genetik ayam Kampung, Pelung, Sentul, dan Kedu Hitam dengan menggunakan marker mikrosatelit. Hasit penelitian menunjukkan terdapat 73 alel dari sembilan lokus mikrosatelit yang dianalisa pada empat rumpun ayam lokal dan satu rumpun ayam ras White Leghorn sebagai outgrup. Jumlah ate[ berkisar 3 - 17 ate[ dari mikrosatelit terpilih. Atel terbanyak diperoleh ayam Kampung yaitu sebesar 60 ale( (82,2%), hasil ini menunjukkan keragaman genetik ayam Kampung cukup tinggi. Dendogram dari keempat rumpun ayam lokal tersebut menunjukkan ayam Kampung dan ayam Sentut mempunyai hubungan kekerabatan yang paling dekat kemudian diikuti ayam Kedu Hitam dan Petung. Keempat rumpun tersebut berasal dari nenek moyang yang sama. Hat tersebut telah dikonfirmasi Fumihito et al. (1994 dan 1996) bahwa ayam-ayam lokal Indonesia berasal dari satu nenek moyang yaitu ayam Hutan Merah. Sartika dkk. (2004) mempelajari sembilan rumpun ayam lokal Indonesia dibandingkan ayam lokal Jepang dengan menggunakan 32 marker mikrosatelit. Hasil penelitian menunjukkan ayam lokal Indonesia berbeda kelompok dengan ayamlokal Jepang. Penelitian terakhir yang paling komprehensif adalah karakterisasi molekuler ayam lokal Indonesia (Sulandari dkk., 2006) dengan menggunakan 15 rumpun ayam lokat dengan analisis sekuen hypervariable 1 daerah kontrol (D-loop) DNA mitokondria dan hasilnya telah diterangkan pada Bab II. Hat terpenting lainnya berkaitan dengan anatisis molekuler adalah pembuatan pustaka genom ( Genomic Libraries) dari plasma nutfah ternak asli I ndonesia. Pada pembuatan pustaka genom ini terlebih dahutu harus dilakukan
pemetaan gen. Bila terdapat fragmen DNA spesifik yang menjadikan ciri dad jenis ternak tertentu, fragmen DNA tersebut dapat diperbanyak dengan penggunaan alat PCR (Potymerase Chain Reaction), kemudian dapat dibuat cloning
110
4yam LokalIndonesia: Man faat tlan cPotensi KRanekaragaman Sumfer(Daya 9fayatiJ
dari gen-gen spesifik tersebut. Pustaka genomdapat dimanfaatkan datarn menunjang program pemuliaan datarn memperoleh ternak unggut dengan rekayasa genetik atau pada pembuatan chimera untuk menghasiLkan ternak ungguL, namun
demikian faktor bioetika harus menjadi pertimbangan utama.
STRATEGI PENINGKATAN MUTU GENETIK AYAM LOKAL
Pada ayam tokal, program perbaikan mutu melalui seleksi atau crossbreeding masih sangat diperlukan. Datam metaksanakan program crossbreeding harus diperhatikan pula upaya pelestarian sumberdaya genetik ternak unggas asli jangan sampai mengatami erosi yang berlebihan. Pengembangan kearah ayam tokal potong umur 3 bulan dapat ditakukan dengan persilangan antara ayam tokat yang mempunyai produksi tetur tinggi dengan ayam jantan lokal unggutan setempat. Untuk lebih dapat reningkatkan pengetahuan peternak usaha pembinaan/penyutuhan yang lebih intensif pertu ditakukan. Setain itu keterlibatan Dinas Peternakan setempat dan koperasi yang beranggotakan peternak sangat diperlukan untuk mengembangkan usaha ayam tokal dan menjuat produknya. Datam metaksanakan strategi program pemutiaan, sebelumnya harus ditentukan tertebih dahulu tujuan dari program pemuliaan tersebut. Untuk ayam tokat, berdasarkan informasi Neraca Bahan Makanan yang diterbitkan Biro Pusat Statistik dikemukakan Hardjosworo (1997) bahwa manfaat utama dari ayam lokal adatah sebagai sumber daging karena daging ayam tokal mempunyai keunggutan rasa dan tekstur yang khas. Oteh karena itu program pemuliaan untuk ayam lokal diarahkan untuk menghasitkan daging yang berkualitas datam waktu yang lebih cepat disertai seleksi induk ayam tokal dengan tujuan peningkatan produksi tetur untuk menghasitkan bibit ayam tokal. Beberapa hasil penelitian program crossbreeding dapat meningkatkan performans Fl seperti yang tetah ditakukan Muryanto dan Setiadi (1991) pada persilangan ayam ras dengan Kedu Hitam menghasitkan Fl pada umur 10 minggu sebesar 1.340,7 g dan F2 sebesar 1.396,7 g lebih tinggi dari Kedu Hitarn murni (812,5 g). Bobot karkas Fl sebesar 967,9 g dan F2 sebesar 959,7 g tebih tinggi
dari Kedu hitam (569,1 g). Dharsana dkk. (1996) melakukan penetitian pada persilangan beberapa jenis ayam tokal jantan (Sentul, Bangkok, Kedu putih, dan Pelung) dengan ayam ras petelur (strain HNN) dan ras pedaging (strain AKSAS), menghasitkan bobot badan umur 10 minggu berkisar 899,67 - 1.053,33 g, pada silangan ayam jantan lokal dengan ayam betina ras petetur dan menghasitkan bobot badan sebesar 988,9-1.208 g pada sitangan ayam jantan lokal dengan ras pedaging. Nataamijaya dkk. (1993) mengemukakan bahwa persilangan ayam Pelung (P) dan ayam Kampung (K) menghasitkan silangan (PK) dengan bobot badan pada umur 15 minggu sebesar 1700 g lebih besar dari tetuanya (PP) sebesar 1460 g dan (KK) sebesar 875 g. Hat ini sependapat dengan Gunawan dkk. (1998) pada persilangan ayam petung (P) dan ayam Kampung (K) menghasitkan sitangan (PK) dengan bobot badan umur 3 bulan sebesar 1014,34 g nyata lebih tinggi dari ayam Kampung (KK) sebesar 918,57 g. Konsumsi pakan tidak berbeda dan konversi pakan nyata lebih baik.
'Pem6ibitan dan (Peningkatan Mutu Gene
yam Loka( 111
Program peningkatan mutu genetik untuk ayamlokal dengan tujuan
produksi daging yang mungkin cocok ditakukan adalah program persilangan sebagai berikut: 1. Sitang runtun ( Grading-up) antara ayam lokal betina dengan ayam ras jantan tipe dwiguna atau jantan silangan (Ras x lokal). Ayam ras jantan final stock dapat dicoba untuk digunakan sebagai tetua pada silang runtun tersebut. Silang runtun pertu ditakukan secara tekun dan datam jangka panjang, disertai dengan perbaikan manajemen pemeliharaan (Martojo, 1989). 2. Pembentukan ayam sintetis dapat dipelihara pada kondisi pedesaan, tetapi performannya sudah lebih balk dari ayam tokat aslinya. Program pembentukan ayam baru ini harus dilakukan antara lembaga penelitian dengan pihak swasta yang mempunyai sarana, serta penyebarannya dapat diLakukan secara
komersial. Salah satu cara untuk pembentukan ayam sintetis tersebut adalah dengan cara persilangan beberapa ayam lokat yang ada dan sebelumnya telah dievaluasi dan diLakukan seleksi tetuanya. Misalnya untuk membentuk galur induk (female line) dapat dilakukan persitangan ayam Kampung betina dengan ayam Kedu, sedangkan untuk gatur jantan ( male line) dapat dilakukan persilangan antara ayam Kampung betina dengan jantan Pelung, Bangkok atau ayam Gaok sambil dilakukan seteksi terus menerus. Pada galur betina seleksi diarahkan untuk produksi tetur dan untuk galur pejantan dilakukan seteksi kearah bobot badan. Kemudian ditakukan persitangan interse antar ayam silangan (sesama F1) sampai beberapa generasi disertai program seleksi sampai menghasilkan galur yang mantap. Untuk pelestarian unggas ash sebaiknya persitangan jangan dilakukan di daerah ternak ash berasat. Misalnya untuk pelestarian ayam Kedu jangan metakukan program persilangan di daerah Kedu, Temanggung. Upaya peningkatan mutu genetik dengan tujuan produksi telur yang
berkaitan dengan penyediaan bibit ayam lokal, sebaiknya program seleksi datam gatur dapat ditaksanakan. Dari segi genetik, seleksi diartikan sebagai suatu
tindakan untuk membiarkan ternak-ternak tertentu bereproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak diberi kesempatan bereproduksi. Dalam petaksanaannya terdapat dua kekuatan seleksi, seleksi alam dan seleksi buatan. Seleksi atam meliputi kekuatan alamyang menentukan ternak akan bereproduksi dan
menghasilkan keturunan untuk metanjutkan proses reproduksi. Pada seleksi buatan, manusia menentukan ternak mana yang dapat dipilih untuk bereproduksi berdasarkan keunggulan dan disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan manusia (Noor, 1996). Seleksi akan mengubah frekuensi gen, yaitu frekuensi gen-gen yang diinginkan akan meningkat dan frekuensi gen-gen yang tidak diinginkan akan menurun. Perubahan frekuensi gen ini akan meningkatkan rataan
fenotipe dari ternak terseteksi dibandingkan dengan rataan fenotipe sebetum diseleksi. Perbedaan rataan ini disebut diferensial seleksi, dinyatakan dengan rumus (Falconer Et Mackay, 1996): S=XS - X Keterangan: S
= diferensial seleksi
X , = rataan fenotipe populasi terseleksi
X = rataan fenotipe populasi sebelum seleksi
112
7(eawkaragaman Sumber(Daya IfayatiAyam Lokaf Indonesia: Man faat dan cPotensi
Respons seteksi adatah perubahan rataan poputasi yang dihasilkan dari seleksi (Falconer Et Mackay, 1996). Selanjutnya dikatakan bahwa respons seteksi adatah perbedaan rataan nilai fenotipik anak dengan rataan nilai fenotipik tetua sebelum diseleksi, respons seteksi demikian disebut realized response selection (Falconer Et Mackay, 1996). Respons seteksi (R) dapat juga diduga berdasarkan rum us:
R = S x h', S adalah diferensial seteksi dan h 2 adatah nilai heritabilitas sifat yang diseleksi, dugaan respons seteksi ini disebut Expected response selection,
Beberapa penelitian terdahulu mengenai seleksi ayam Kampung telah menunjukkan adanya respons seleksi positif. Hat tersebut dikemukakan Suwindra dkk. (1993) yang metakukan seteksi pada ayarn Kampung Bali dengan kriteria seteksi produksi telur selama 6 butan tebih besar 100 butir/ekor/6 bulan mendapatkan respons seleksi sebesar 5,4 butir pada turunan pertama (G1) yaitu dari produksi telur pada populasi dasar (GO) sebesar 88,46 butir menjadi 93,86 butir/ekor/6 bulan pada generasi G1. Pada turunan kedua (G2) dan ketiga (G3) respons seleksinya masing-masing 3,77 dan 1,03 butir atau sebesar 1,86% per generasi. Demikian halnya Sidadolog dkk. (1996) melakukan seteksi ayam Kampung dengan kriteria seteksi bobot badan umur 12 minggu, dapat meningkatkan produksi tetur per hari dari produksi awat sebesar 29,45% (GO) menjadi masingmasing sebesar 35,25%, 38,73%, 40% dan 43,69% pada generasi G1, G2, G3 dan G4. Respons seteksi yang diperoteh sebesar 3,56% per generasi. Yuwono dkk. (1999) melakukan seleksi pada ayam Kedu dengan kriteria seleksi produksi telur 50% terbaik. Dan hasit seteksi tersebut renghasilkan produksi telur hendayselama tiga bulan dari yang semula sebesar 28,3% pada GO meningkat menjadi 41,4% pada generasi G1 dan 41,6% pada generasi G2. Respons seteksi yang diperoleh sebesar 6,65% per generasi: Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa perbaikan mutu genetik ayam lokat untuk menghasilkan telur dapat dilakukan melalui seteksi dalam galur, kemudian untuk menghasilkan daging dengan persilangan antar gatur untuk mendapatkan tingkat heterosis yang tinggi. Pembentukkan ayam hibrida lokal i ni diharapkan akan mampu meningkatkan produktivitas secara signifikan, dan secara tidak langsung akan mendorong tumbuhnya industri pembibitan ayam lokat di pedesaan. Hat terpenting disisni adalah kriteria seteksi dari setiap galur harus jelas, misalnya gatur induk diarahkan untuk meningkatkan produksi telur dan galur pejantan diarahkan pada pertumbuhan, efisiensi penggunaan pakan, dan mortalitas. Dalam jangka pendek metode persilangan ini secara cepat akan meningkatkan rata-rata bobot potong ayam, akan tetapi keragamannya retatif masih tinggi. Dalam jangka panjang disamping akan diperoleh peningkatan ratarata bobot badan yang lebih balk, sebagai ternak komersial produknya diharapkan akan lebih seragam. Upaya pembentukan ayam lokat unggul di Balitnak, sudah dimulai sejak tahun 1998, yaitu melakukan strategi pemuliaan dengan seteksi untuk mengurangi
sifat mengeram dan meningkatkan produksi telur pada ayam Kampung. Hasil seteksi sampai generasi ke-3 terjadi peningkatan produksi telur cukup baik dari yang semula 54,32 butir/ekor/6 bulan menjadi 89,10 butir, terjadi respons seteksi sebesar 6,47% per generasi. Bila ditihat persentase produksinya dari semula 29,53% menjadi 48,89% (Sartika dkk., 2002).
c
PeinGifitan dan (Peniugkatan SYtutu cenetik ayam Lokaf
11 3
di masyarakat dapat dilakiean kerjasama dengan UPT Balai Pembibitan ayam lokal di daerah dengan sistem pembibitan inti terbiea (open nucleus breeding system). Konsep open nucleus breeding system dalam hat ini harus ada keterkaitan antara Breeding Centre (inti), farmer breeder/UPT daerah (multiplikasi) dan peternak langsung. Pada breeding centre dilakiean seleksi balk pada jantan maupun betinanya, demikian halnya pada farmer breeder juga harus dilakiean seleksi, hasit seleksi dapat dimanfaatkan oleh peternak langsung. Farmer breeder dapat mengambit ternak jantan dan betina hasit seteksi dari breeding centre atau hanya mengambil pejantan terbaik (10% top young cockerels), sebatiknya breeding centre juga dapat mengambil pejantan terbaik (10% top young cockerels) dari Farmer breeder untie menghindari inbreeding. Konsep open nucleus breeding system ini dapat diterapkan di pedesaan dengan membentuk kelompok-kelompok peternak dan sebagai farmer breedernya adalah peternak besar di daerah tersebut. Untie mendieung program open nucleus breeding system dalam memperbanyak poputasi ternak hash seleksi diperliean partisipasi BPTU/UPTD atau peternak besar pembibit ( multiplier) untie memperbanyak populasi serta melakiean seleksi, sehingga dihasitkan bibit ayam kampung yang berkualitas untie dijual ke peternak secara komersial. Berikut ini adatah skema open nucleus breeding system yang sudah dilaksanakan di Negara-negara Afrika, dikemieakan Gondwe et al. (2005).
Farmer breeder ( Multiplier/ BPTU) Produksi ayam betina Produksi telur tetas Menjual sisa produk dan pejantan tua Seleksi jantan terbaik
Pusat pembitan dan penquiian performans ternak. Perbanyakan, evaluasi dan menjual bibit dan menjual sisa produk ( Balitnak)
Gambar 5.1. Interaksi antara pusat pembibitan, multiplier dan peternak
11 4
XganekaragamanSum6er
STRATEGI PEMULIAAN PADA MASA YANG AKAN DATANG Sejalan dengan perkembangan IPTEK, akhir-akhir ini telah berkembang teknik genetika molekuler yang nantinya dapat membantu program pemutiaan secara cepat. Studi gen-gen QTL ( Quantitative Traits Loci) yang mempunyai hubungan/linkage terhadap sifat-sifat prodiesi akhir-akhir ini banyak dipetajari dengan menggunakan marker/penciri DNA mikrosatetit. Dalam mempelajari keterkaitan QTL dengan sifat-sifat prodiesi sepertii prodiesi telur, kuatitas daging, sifat pertumbuhan dan lainnya, harus terlebih dahulu dibuat ketuarga acuan (reference family) yang sifat prodiesinya benar-benar
berbeda (kontras). Untie ayam tokat khususnya penelitian seteksi dalam meningkatkan prodiesi tetur, dapat dibuat reference family dengan mengawinkan ayam tokat betina yang mempunyai sifat mengeram dengan ayam ras jantan petelur yang tidak mempunyai sifat mengeram. Dengan asumsi bahwa ayam lokat yang mempunyai sifat mengeram prodiesi teturnya rendah, sedangkan ayam ras jantan petelur mempunyai prodiesi telur tinggi. F1 jantan yang dihasilkan dari perkawinan tersebut kemudian dibuat back-cross dengan mengawinkan batik kepada betina tokat tetua untuk mendapatkan BO dan antara BO dapat dikawinkan untuk menghasitkan F2. Dari masing-masing tetua, F1 dan F2 dipetajari performans prodiesinya dan dapat ditetusuri dengan menggunakan marker/penciri DNA untie mengetahui keterkaitan gen-gen QTL terhadap sifat prodiesinya.
Setain dengan marker mikrosatetit, sifat prodiesi dapat langsung dipetajari dengan penciri gen secara langsung (functional gene). Sifat-sifat produksi yang tetah dipelajari pada ayam antara lain adatah gen leptin untie sifat obesitas (lemak tinggi), gen growth hormon untie sifat pertumbuhan, gen promotor protaktin dan receptor prolaktin untuk sifat mengeram. Untie menghasitkan bibit ayam lokat dengan prodiesi tetur tinggi, harus menghilangkan atau mengurangi sifat mengeram yang terdapat pada ayam lokal. SeLeksi konventionat untie menghitangkan sifat mengeram telah dilakiean untuk membentie ayam ras petetur komersial. Upaya seteksi tersebut memerliean waktu cukup lama. Dengan adanya teknologi molekuler, seleksi bisa dilakukan sedini mungkin, datam waktu yang lebih cepat. Penanda molekuler pada sifat mengeram tetah dipelajari secara komprehensif (Sartika, 2005), yaitu gen funcsional promotor protaktin dan receptor prolaktin yang berpengaruh terhadap sifat mengeram dan dapat dijadikan marker/penanda seleksi (MAS/marker assisted selection). Seleksi secara molekuler menjadi topik yang menarik untuk dicoba, karena respons seleksi akan lebih cepat dan akurat. Penggunaan gen kandidat yang dipilih sebagai marker akan tepat karena sudah merupakan blue print hash riset genom yang keakuratannya terjamin dan terdaftar pada database Assession number bank DNA. Oleh karena itu apabiLa metodologi penentuan gen tersebut dikuasai, aplikasi untie menghasitkan bibit dengan seleksi molekuler dengan kriteria seleksi yang diinginkan akan Lebih mudah tercapai. Tinjauan Sifat Mengeram Secara Genetik Untie menghasitkan bibit ayam tokat yang mempunyai prodiesi tetur tinggi, salah satu kriteria seleksi yang penting untuk dipelajari adalah sifat
(Pem 6ibitan dan Teningkatan Wutu GenetikAyam Loka1
115
mengeram, karena sight
mengeram ini mempunyai korelasi negatif dengan
produksi telur. Koretasi antara lama mengeram dan total prodiesi telur/tahun adiah -0,56 (Goodie et al. 1960), dan Saeki (1957) mendapatkan nilai koefisien korelasi pada ayam Nagoya tahun pertama, ke-2 dan ke-3 masing-masing sebesar -0,245, -0,082 dan -0,267.
Blakely dan Bade (1991) mengemieakan bahwa sifat mengeram merupakan sifat yang menurun dan tinggi rendahnya sifat mengeram tergantung pada faktor genetik seperti bangsa atau strain ayam dan faktor lingkungartseperti lama cahaya (photo periodicity) dan tata laksana pemeliharaan. Oleh karena itu upaya menghilangkan sifat mengeram dapat ditakiean dengan memperbaiki mutu genetik dengan metode seleksi seperti yang telah dilakiean pada ayam ras petelur. Romanov et al. (1999) mengemukakan bahwa secara genetik sight mengeram ini mempunyai dua hipotesis. Hipotesis pertama didasarkan pada penelitian Hutt (1949), Saeki and Inoue (1979), Parkhurst dan Mounney (1987) serta Dunn et al. (1998) bahwa sifat mengeram dipengaruhi oleh gen utama terpaut ketamin (major gene sex-linked). Dinyatakan puta bahwa lokasi gen major sight mengeram ini terletak pada kromosom Z. Hipotesis kedua berpendapat lain, Saeki (1957) mengemieakan bahwa secara genetik sight mengeram ini tidak hanya dipengaruhi oleh gen terpaut ketamin akan tetapi dipengaruhi pula oleh adanya aksi gen autosomat. Demikian pula Hays (1940) Jan Romanov et al. (1999) mengemieakan bahwa sight mengeram ini adalah
potigenik. Dikemieakan bahwa sight mengeram dikontrol oleh gen dominan autosomal pada satu lokus dengan genotipe (AA), sedangkan pada ayam yang tidak mengeram dikontrol oleh gen dominan autosomal inhibitor dengan genotipe (BB) pada lokus lainnya. Apabita sifat mengeram dapat dikurangi atau dihilangkan meliui seleksi, maka produksi tetur akan meningkat. Heritabilitas (h2) dari sight mengeramadalah 0.3 (Martojo et al., 1990), sedangkan Saeki (1957) mendapatkan nitai heritabilitas yang dihitung berdasarkan komponen jantan, komponen induk dan komponen keduanya (full-sib) mendapatkan sebesar 0,163; 0,056; dan 0,109. Oleh karena itu seteksi sifat mengeram berdasarkan seleksi konvensioni mernertukan waktu yang lama. Dengan diketahui genotipe sight
mengeram secara molekuler, untuk mendapatkan ayam Kampung tidak mengeram akan lebih mudah ditakiean. Receptor prolaktin sebagai gen utama terpaut kelamin (major gene sex-linked) sifat mengeram Receptor Protaktin (PRLR) tetah terseleksi sebagai gen kandidat untie si ght mengeram karena merupakan bagian penting berfungsinya neuroendocrin
yang menstimulir kejadian mengeram (Sharp, 1997). Mekanisme terjadinya mengeram diawii dari hasil akhir aktifitas hormon endokrin yang merupakan mediator untie sekresi VIP (Vasoactive Intestinal Polypeptide) yang merupakan 28 asam amino neuropeptide. VIP tersebut dihasilkan dari bagian utama hypothalamus yang mengaktifkan pengetuaran prolaktin dari bagian pituitary. Protaktin mempertahankan kebiasaan mengeram (broody behavior) dengan adanya aksi gen receptor protaktin. Gen receptor prolaktin sangat menarik dipelajari sebagai gen kandidat, karena merupakan gen major yang berperan
116
Kjrar.e1aragaman.Sura6er(Daya 7fayatiAyam Loka(Indonesia: W ar faat dare P otensi
pada keberhasilan mengeram, tertetak pada kromosom Z. Gen tersebut menunjiekan sex linkage dengan sight mengeram (Saeki dan Inoue, 1979). Wiaupun pada mulanya tidak diketahui bahwa receptor protaktin adalah sexlinked, namun terdapat iasan yang kuat untie diteliti lebih lanjut karena posisinya berdekatan dengan growth hormon receptor ( GHR). Berdasarkan peta genetik, posisi receptor prolaktin (PRLR) dan GHR sangat berdekatan dan linkage/berhubungan dengan peta genetik manusia (kromosom 5 p14-p12) dan peta genetik tikus (kromosom 15, 4.60 cM). Diketahui bahwa GHR adalah sex-linked pada ayam dan terletak pada kromosom Z, sehingga karena posisi PRLR dan GHR berdekatan dapat di prediksi bahwa PRLR juga terletak pada kromosom Z (Dunn et al., 1998). Untie membietikan hi tersebut telah ditakiean pemetaan dengan mempetajari segregasi marker polimorfik untuk receptor protaktin (PRLR) pada populasi ayam East Lansing dengan persilangan backcross ( Dunn et al.,1998).
Marker potimorfik tersebut didapat dari kloning dan urutan intron 5 receptor protaktin. Dengan menggunakan informasi tersebut diprodiesi sepasang primer yaitu forward primer (PRM 192, TCCTTCCAGCTTCTCATAGA) dan reverse primer (PRM 195, CTCCTGGA-AGCAAGCAATCTCAGA) yang menghasilkan fragmen DNA sebesar 303 bp. Aniisis SSCP (Single Stranded Conformational Polymorphism) digunakan untie menentiean iel-iet potimorfik pada turunan persitangan East Lansing. Pola ie[ dan posisinya dari referensi ayam Hutan (Jungle Fowl) dipetajari menggunakan software Map Manager. Receptor Protaktin (PRLR) dipetakan dan diketahui terletak pada posisi 45 cM pada kromosom Z, berdekatan dengan growth hormon receptor ( GHR) pada posisi 49 cM. Wiaupun ditaporkan berhubungan dengan sight mengeram (sex-linkage), keberadaan receptor protaktin pada kromosom Z memacu receptor sebagai gen kandidat sight mengeram, menjadi gen PRLR yang berhubungan dengan sight mengeram. Setanjutnya A'Hara dan Burt (2000) mengemieakan bahwa receptor protaktin telah dipetakan dan mempunyai accession number AJ011128, dapat diamptifikasi dengan forward primer GGGCAACTAATGAAATGGGA dan reverse primer CCCCAGTTC-ACAGGTAGAGG. Dengan primer tersebut dapat menghasilkan fragmen DNA sebesar 680 pb. Akan tetapi berdasarkan analisis Biallelic single nucleotide polymorphism (SNPs) pada ayam pete[ur tidak diperoteh mutasi nieleotida. Burt et al. (2000) mengemieakan bahwa berdasarkan perbandingan peta genetik dan peta fisik gen yang konservatif (sulit mengatami mutasi) antara ayam, manusia dan tikus, terdapat 154 autosomat konservatif gen dimana 100 (64%) telah diidentifikasi, sedangkan antara ayam dan tikus terdapat 312 gen dan yang telah ditetapkan sebanyak 144 (46%). Diketahui bahwa PRLR dan GHR terletak pada kromosom Z pada tengan p23-p22 sedangkan pada manusia terletak pada kromosom 5, PRLR terletak pada lengan p14-p13 dan GHR pada tengan p14-p12. Pada tikus PRLR dan GHR tertetak pada kromosom 15, posisi 4,6 cM (Burt et al., 2000). Dari urutan nukleotida gen receptor protaktin berdasarkan penelitian Dunn et al. (1998) diketahui terdapat 235 basa A, 150 basa C, 149 basa G, 243 basa T dan 5 basa anonim yaitu y,m,k,r dan y seperti tertihat pada urutan nieleotida PRLR sebagai berikut:
Pe m
6i6itan dan ([eningkatan Mutu cenetioyam Goka(
117
1
cccaattcct qctactttga taaaaaacac acttctttct ggaccatata caacattact
6 1 gtcagggcaa ctaatgaaat gggaagtaac agctctgatc
ctcattatgt ggatgtgacc ctaattaatt cagggctgtg ggttttgata
12 1 tacataggta agagactgtt ttcgttggaa 18 1 caatattttc cttccagctc ttctcataga ttgtagtaca ctcagttaaa atatgtaaga
24 1 acagtaagat cttgtctgtt gcagcagtag atcagtattc ttgtagcatt ggagcaaaag 30 1 tgctgaaagc tttaaaactg cattcaggta atcatttatt ggatccagta tttcctccag 36 1 tcaagccgta agaaacacca tcttgctaaa atccttttcc actctaccac caactggaty 42 1
cm _aattgata
tttaaactaa taatacttaa attttactac ctgaaagtgg tttctgagat 48 1 tgcttcaagg agaagctgat cagtgtttat agcatgactg atatctctca gactttctgc 54 1 agagtgactg cgacagtatt tagtatttct aggaagaaca ttactgcaaa taatgatctt
60 1 tctatcaagg atgtatctgc tcagaaccag ataactgaaa aagggcttgg tkgraaatga 66 1 aggcgttata tttcacctct atgccctgac tacttgcttg gygaaatttt gcatcagacg 72 1 gtggtaaaac acatgcatta tatgcaggac ctctacctgt gaactggggt agctgcagga
781 tc
Untie mengetahui strietur ataupun ekspresi gen PRLR pada hypothalamus dan jaringan peripheral ayam domestik (loki) ditakukan penelitian terhadap dua breed ayam dengan karakter yang berbeda yaitu ayam White Leghorn ( WL) yang tidak memperlihatkan sifat mengeram dan ayam kate (Bantam) yang mempunyai sifat mengeram dengan ekspresi mengeram yang jelas. Penelitian pendahuluan Ohkubo et al. (1998a) mengemieakan bahwa tidak terdapatnya sifat mengeram pada ayam WL tidak dipengaruhi oleh respons prolaktin terhadap prolactin-releasing hormon vasoactive intestinal polypeptide (VIP) yang merangsang pengeluaran prolaktin. Hi tersebut diperlihatkan dari jumlah PRLR mRNA terbanyak tidak berbeda nyata antara ke-2 breed yaitu terdapat pada otak, kelenjar pituitary, basal hypothalamus dan preoptic hypothalamus. Jumlah PRLR mRNA terkecit pada kedua breed juga tidak berbeda nyata yaitu terdapat pada forebrain, cerebellum dan optic lobes. Jumlah mRNA receptor prolaktin terdistribusi sangat luas pada jaringan peripheri juga tidak berbeda nyata antara kedua breed. Aniisis Southern blotting menggunakan 4 enzim restriksi dan probe
cDNA PRLR ayam memperlihatkan potongan fragmen DNA yang identik antara ayam WL dan Bantam. Demikian pula hasil analisis Northen blotting pada kedua breed menghasilkan dua ieuran transkripsi mRNA PRLR ayam yang sama yaitu sebesar 7,5 dan 3,3 kb pada hypothalamus. Dari hasil penelitian Ohkubo et al. (1998a) dikemieakan bahwa perbedaan ekspresi sifat mengeram pada ayam WL dan Bantam tidak dapat diterangkan oleh perbedaan jumlah mRNA PRLR pada hypothalamus ataupun transkripsi maupun strietur gen PRLR. Gen Autosomal Sifat Mengeram Romanov et al. (1999) mengemieakan bahwa sight mengeram dikontrol oleh gen autosomal dominan pada satu tokus pada ayam Bantam (B) dan gen autosomal si ght tidak mengeram (non broody) pada lokus lainnya pada ayam White Leghorn (WL). Diasumsikan bahwa A adiah gen dominan inkomplit untuk sifat mengeram dan B gen dominan inkomplit untie inhibitor sight mengeram. Sehingga genotipe tetua (P) dan turunannya (F1) pada persilangan reciprocal
cross sebagai berikut: P F1
118
cWL X +B aaBB AAbb d'AaBb; ?AaBb
P F1
A
X Y'WL aaBB AAbb d'AaBb; ?AaBb
7Leanekaragaman Sum6er rDaya ¶ayati flyam LokgfIndonesia: Man faat dawPotensi
Dengan asumsi bahwa kedua gen dominan inkomplit, maka berdasarkan prediksi, kejadian mengeram pada turunan F1 nya sebesar 50%. Hasil penetitian Romanov et al. (1999) mendekati kenyataan yaitu pada turunan F1 dan reciprocalnya, kejadian mengeram masing-masing sebesar 61,6% dan 54,8%. Pada turunan F2 backcross, kemungkinan segregasinya sebagai berikut: P F2
d F1 (c$ WL X Q B) X 9WL AaBb aaBB 61 /4 AaBB, 1 /4 AaBb, 1 /4 aaBB, 1 /4 aaBb 9 1 /4 AaBB, 1 /4 AaBb, 1 /4 aaBB, 1 /4 aaBb
Pada turunan F2 backcross, fenotipe sight mengeram betina diharapkan diheterozygote (AaBb) yang diperkirakan akan muncul sebesar 25%. Karena asumsi dominan inkomptit pada kedua gen untuk sight mengeram hanya setengahnya, maka fenotipe sight mengeram diperkirakan muncul sebesar 12,5%. Hasil penelitian Romanov et al. (1999) menunjukkan bahwa kejadian mengeram pada F2 backcross hanya terjadi sebesar 4,8%, hi tersebut berbeda nyata dengan Hasil prediksi. Penelitian sight mengeram dilanjutkan pada siklus kedua masa bertetur, hasilnya menunjiekan bahwa kebiasaan mengeram pada ayam tidak dikontrot oleh gen major sex-linked pada kromosom Z, akan tetapi oleh gen major autosomal yang berkontribusi pada ekspresi sight mengeram. Apabila diketahui gen sight mengeram terletak pada kromosom Z (hipotesis pertama), hi tersebut merupakan satu dari tiga gen yang mempunyai pengaruh yang sama terhadap sifat mengeram, dua gen lainnya yaitu gen autosomal dominan AA untuk sifat mengeram dan BB gen inhibitor sifat mengeram (Romanov et al., 1999 dan Romanov et al., 2002). Promotor prolaktin sebagai gen autosomal sifat Mengeram Gen prolaktin (PRL) terletak pada Kromosom 2 (Miao et al. 1999; Au Ft Leung, 2000), dan juga merupakan gen kandidat untuk sifat mengeram (Shimada et al. 1991; Dunn et al. 1998). Struktur primer dari gen prolaktin pada ayam ( Gallus gallus) telah berhasil dievatuasi berdasarkan urutan cDNA (Watahiki et al.
1989). Struktur primer yang didapat dari urutan cDNA prolaktin mRNA-PRL tersebut merupakan urutan gen Eksonl sampai dengan Ekson 5 yang terdiri atas signal peptide PRL dan gen prolaktin. Besarnya urutan mRNA-PRL Ekson 1 sampai dengan Ekson 5 berukuran 953 pb. I nformasi
tersebut dilengkapi oteh Au dan Leung (2000) yang telah berhasil mengurutkan gen prolaktin ayam (Gallus-gallus) pada Kromosom 2 secara utuh berieuran 9.536 pb. Gen prolaktin tersebut terdiri atas promotor gen, 5 ekson, 4 intron dan flanking region. Bagian-bagian gen prolaktin secara parsial tersebut sebelumnya telah berhasit disekuen (diurutkan) oleh beberapa peneliti antara lain: bagian eksonnya telah diurutkan Ohkubo et al. (1998b) yang terdiri atas Ekson 1 berieuran 81 pb, Ekson 2 berieuran 182 pb dan Ekson 4 berieuran 180 pb. kemudian bagian intronnya telah berhasil diurutkan dhara dan soller (1999) yang terdiri atas bagian intron 1 berieuran 714 pb, intron 2 berieuran 406 pb dan bagian intron 4 berieuran 744 pb. ditanjutkan oleh kansaku et al. (2000)
(Fem6ifitan dan 4'eningkatan [tutu GenetikAyam Loka(
119
yang telah berhasil mengurutkan bagian promotor gen prolaktin terbagi atas 3 bagian promotor yaitu Promotor 1 berieuran 330 pb, Promotor 2 berukuran 287 pb dan Promotor 3 berukuran 314 pb. Miao et al. (1999) hanya berhasil mengurutkan bagian dari Ekson 3 dengan ukuran 59 pb dan terakhir Cui et al (2004) berhasil mengurutkan Ekson 5 berieuran 418 pb. Dari bagian-bagian gen prolaktin yang berhasil diurutkan secara parsii dan dari hasil urutan strietur gen prolaktin cDNA komplit (Au dan Leung, 2000), dapat direkonstriesi strietur gen prolaktin utuh dengan ieuran basa nieteotida yang tepat seperti terlihat pada Gambar 5.2. I ntron
111J11 W I ntron
5'
-
I ntron
3
I ntron
4
Flanking region . . ~
mom
Keterangan: Promotor = 2.278 pb (5 dan 6) 81 pb (1, 2 dan 6); Intron 1 = 1.521 pb (4 dan 6) Ekson 1 = 406 pb (4 dan 6) Ekson 2 = 182 pb (1, 2 dan 6); Intron 2 = Ekson 3 = 108 pb (3 dan 6); Intron 3 = 1.348 pb (6) Ekson 4 = 180 pb (1, 2 dan 6); Intron 4 = 1.910 pb (4 dan 6) Ekson 5 = 418 pb (1, 6 dan 7) Flanking region= 1.204 pb (6)
Gambar 5.2. Struktur gen prolaktin Sumber: Watahiki et al. (1989) 1 ; Ohkubo et al. (1998b) 2 ; Miao et al. (1999)'; Dhara dan 5 6 Soller (1999)'; Kansaku (2000) ; Au dan Leung (2000) serta Cui et al. (2004)'
Promotor prolaktin (PRLp) telah terseleksi sebagai gen kandidat untie sifat mengeram (broody behavior) karena merupakan bagian penting terekspresinya (berfungsinya) suatu gen prolaktin. Posisi promotor diam suatu gen prolaktin terletak pada bagian awi (startpoint) (Lewin 1997) dan berfungsi mengaktifkan awi transkripsi dari ekspresi gennya. Apabila terjadi mutasi
pada promotor gen, maka gen prolaktin tidak akan bekerja atau tidak mampu mengekspresikan produknya yang mengakibatkan tidak muncul prilaku mengeram. Promotor gen yang sama memiliki keragaman berbeda beda tergantung
pada jenis spesies hewan tersebut. Namun demikian untuk spesies yang sama memiliki urutan yang konservatif, disamping itu masih ada urutan yang berbeda (variable). Oleh karena itu apabila primer yang spesifik dapat didesain dan mampu mengamplifikasi fragmen promotor tersebut dengan baik, maka terbuka peluang untie mendapatkan variasi keragaman urutan nieleotida pada daerah promotor gen PRL. Kansaku (2000) dan Au Et Leung (2000) telah berhasil mengurutkan nieleotida fragmen promotor prolaktin. Takahashi (2003) berhasil mendesain primer spesifik untuk promotor prolaktin pada ayam sebanyak tiga pasang primer dengan urutan nieleotida primer digarisbawahi pada sekuen promoter proLaktin dibawah ini. Primer pertama (forward:
120
7(panekaragaman Sumber Daya 9f ayatiAyam Loka(Inc(onesia: Manfaat clan 2otensi
5'-TATCTTTCCACCATCCATTCT 3'), (reverse: 5'-TTCCAACCCCTATAACTCTAT 3') dan primer kedua (forward: 5'-AAGATCACTGAGTCCAAAGT-3'), (reverse: 5'- ATATCT AAAGGGATGAGAATG-3'). Kedua pasang primer tersebut menghasilkan fragmen DNA monomorfik pada ayam kampung yang dianalisa, sehingga primer tersebut tidak dapat dijadikan marker (penanda) untuk analisa selanjutnya. Primer ketiga (forward: 5'-ATAACAATGGCCTGTCTTGC-3'), (reverse: 5'-CCACTGATCCTCGAAAACTC-3'). Primer ketiga menghasilkan fragmen DNA polimorfik pada ayam Kampung, sehingga primer ini digunakan sebagai penanda ayam Kampung mengeram dan tidak mengeram (Sartika, 2005). Amplifikasi dari primer ketiga menghasilkan fragmen DNA sebesar 254 pasang basa (pb). Bagian promotor prolaktin yang polimorfik tersebut merupakan urutan basa yang terletak pada bagian hampir mendekati akhir promotor hasit urutan Kansaku (2000) dan Au £t Leung (2000) dan dapat dilihat p4da urutan promotor sebagai berikut: 1
61
tgtgatttag aagacagcta tctttccacc atccattcta gtgttttcgg cctgtcggcc ctgttcttag tgccttgatc agattatact tatctcag
1
ctggaggcaa ctacttcgtc tactcagtaa ggcctcaatt tccaaaccag acccaggatc
61
12 1
tgaacagaac aaactgtcct agaaatcatc ctagatctta gaagatatag actacttact accagtactg gtttactgcc gaagcatctc cttttattgc ttcccagtgg atgtcttcca
18 1
tgctttaccc cctaaatcat agagttatag gggttggaag gcacatccca aagatcactg
24 1 agtccaaagt cccctgctaa tgcaggttct ctacagtagg ctgtacagga aactgtccag gtggattttg agtacctcca cagaagactc aacagtctct ctgaccagtt tgttccaatg 30 1 36 1 ctctgtcacc ctaaaagtaa agtcttttct catgttcata tggaacttcc tgtgtcacag tttgtgccca ttgccccttg ttatgtcact tggcaccacc aaaaagatcc tgaccccatt 42 1 48 1 ctcatccctt tagatatctg tgagcattga tgagatccac tcaatctcct ccagattgtg
54 1 tggccccagg tctctcagcc
tttcctcata aaggagatgc tccaggcccc cagtcatatt
60 1 tgtggtctcc cactagactc tttccagtag ttcccttggt tttcttaaag tgagaggccc agaactgggc acagtactcc agatatggcc tcatcaggac agagtagaga gggagagtca 66 1 72 1 cctctcttgg cctgctgatc acatcctttt taatgcatct caagatacca ctggccctgt 78 1 tggccacaag ggctagctca cagtcaacct gttgtctacc aggacatcta ggtcttctca gcagagctcc tttccagaag gtaagcccct aacctgtact aacacatgca gtaaaaaagg 84 1 90 1 tctacctttt ttctatcttc atagaatcac agaactgtgg ggttggaagg aacctctaga 96 1 gatcatctag tctaaccacc ctgccaaagt gtcacagtaa gtaacacagg aaagtgtctg
1021 gtggattttg tttattattg cttcaaaaat cacacccata gttacgaaat aatggaggat 1081 tcaggattat acacatacct gttccacatg tacagaacaa gttgtctaga ggcaagaaaa 1141 ttcattaaca ctgtatacct tattcattat tgatcatcta atttagaagg tctttctgtg 1201 gataaatgca tctgagaaac agatgagaga ttacgcattt gctaacatat tcgtgcagat 1261 gaaactcaca caagaaaaca gggccaacct gctgaagcta ggtgcagatt accacagaca 1321 cattagatca ggaatcagat tccactgatt acgacagcat atactttgat tatggtggac 1381 atgcacatct tttacgcaaa gagttttcat atatagaaaa tgatttcgtg gtttgggagt 1441 ttttaaaata atgctgattt aatcacaaaa tgtttatgat taaacagtaa gcatacaaat 1501 tcttcctctt tgttgttaca aattaatact tttttaataa caactgtccc tgtttctcaa 1561 catatttcat ccttaatacc atttatatca ttatctgtgg tatgtaatat cctttttagc 1621 tgtatggaga caaacacaca gaatgtcata tctgtaacac tacatataac aatggcctgt 1681 cttgccagaa gcctccattt acattctctg gatcaacttc agtgcaattc ctgttgtttc 1741 tcccatagta gaaattgtaa agtatttttc ctttctagaa atagctagaa ttttaatatt 1801 ggtgggtgaa gagacaaggg aggaagagaa gacacccgca ggcagggaga ataacatttt 1861 acaaacatag aggataacag tctcagaatt gacaactgga gttttcgagg atcagtggca 1921 tttgcaacta attcagggca aaattttggc gttctctaca tccagccata ctcagcatcc 1981 cacagctgaa atttttaatg aaattcccac tcaccgttaa aaaaaaaaaa aaaaaaaaaa 2041 aaaaaggtat tgaatatgaa tgtggaagag aggcaatttg atatttgtaa ttatcgaggt 2101 aaactccacg acctgctgaa tgtatgcaaa agtggacccc ggatggtgta tataaatctg
2161 acgtgcagaa agtaagagca
cPem 6ibitan dais cPeningkatan Mutu GenetikAyam Lokaf
121
Hasil penetitian Sartika (2005) dengan menggunakan primer ke-3 tersebut diatas, mengemukakan bahwa promotor polaktin telah dapat mengidentifikasi sifat mengeram pada ayam Kampung berdasarkan genotipenya. Genotipe AA dan AC menunjiekan ayam Kampung mengeram dan genotipe BB menunjukkan ayam tidak mengeram. Hasil tersebut sejian dengan penelitian Romanov et al (1999) yang mengemieakan bahwa sight
mengeram dipengaruhi oleh aksi gen autosomi yang diturunkan dari kedua tetuanya.
SELEKSI RESISTENSI PENYAKIT SECARA MOLEKULER
Upaya seleksi untie menghasilkan bibit ayam lokal, selain seleksi prodietivitas dapat pula dilakiean seteksi resistensi penyakit. Penyakit yang piing ditakutkan saat ini dan mewabah di Indonesia yaitu penyakit Avian I nfluenza. Penanganan kasus Avian Influenza selama ini belum pernah ditinjau
dari segi genetik ayamnya yaitu dari bibit ayam yang tahan terhadap Avian I nfluenza. Penanggulangan saat ini masih terfokus pada upaya membasmi virusnya dengan penerapan biosekuriti yang ketat serta vaksinasi, padahi virus mudah sekii bermutasi sehingga vaksinasi kadangkata tidak efektif. Asi muasi virus Avian Influenza ini sebetulnya terjadi pada peternakan komersil ayam ras, namun upaya pemusnahan virus dengan stamping out, penerapan biosekuriti serta vaksinasi, menjadikan penanganan kasus Avian Influenza pada breeding farm komersil tersebut dapat diatasi dengan cepat. Selanjutnya masalah yang timbul adiah pada peternakan rakyat kecil terutama pada pemeliharaan ayam Kampung dengan cara diumbar, penanganan biosekuriti maupun vaksinasi sangat sulit dilakiean. Padahal sebagian besar (70%) peternakan ayam Kampung di I ndonesia adiah peternak kecil. Oleh karena itu perlu dicarikan iternatif
dengan menyediakan bibit ayam Kampung yang tahan/resisten terhadap Avian I nfluenza. Dengan berkembangnya itmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) saat i ni, program seleksi dapat dipercepat dengan penggunaan teknik molekuler melalui materii DNA. Penggunaan penanda genetik kaitannya dengan seleksi dikenal sebagai MAS ( Marker Assisted Selection), menyebabkan proses seleksi dapat dipercepat, dan sangat berguna didiamketepatan dan kecepatan seleksi. Meuwissen (2003) mengemukakan bahwa MAS sangat berguna untie seleksi pada sight-sight yang mempunyai nitai heritabilitas rendah seperti resistensi penyakit. Marker yang digunakan untie mendeteksi resistensi
penyakit Avian Influenza adalah gen Mx yang merupakan native antiviral spesifik pada ayam. Gen Mx ini dapat dipakai sebagai penciri diam seleksi molekuler (Sartika, 2005). Variasi asam amino protein Mx ayam pada posisi 631 sangat menentukan spesifikasi antivirus. Poin mutasi subsitusi antara serin (AGT) dan asparagin (AAT) pada posisi 631 menentukan Mx+ dan Mx( Watanabe 2003; Ko et al., 2004). Antivirus protein Mx ini melawan infeksi VSV/vesicular stomatitis virus termasie virus Avian Influenza. Maeda (2005) mengemukakan Gen Mx, merupakan gen kandidat yang terletak pada
kromosom 1, dengan panjang fragmen 20.767 pasang basa (pb), terdiri atas
122
KganekaragamanSumferoaya 7layatiAyamLokatlndonesia: Manfaatdan'Potensi
13 exon, daerah yang mengkode protein (coding region) sebanyak 2.115 pb dan sisanya 705 pb asam amino. Resistensi Avian Influenza ditemiean pada exon 13 nieleotida nomor 1892 yaitu adanya mutasi basa transisi (single mutation). Poin mutasi basa yang terjadi adalah pasangan basa GC menjadi AT(purin menjadi purin), sehingga menyebabkan perubahan asam amino serin ( AGT) menjadi asparagin (AAT). Adanya asam amino asparagin (A) pada nukleotida nomor 1892 exon 13 menandakan ayam tahan terhadap Avian I nfluenza, ditandai dengan gen Mx+. Apabila yang terjadi adalah mutasi basa menjadi asam amino serin (G) maka ayam rentan terhadap Avian Influenz1a, ditandai dengan gen Mx-. Dengan ditemieannya metode untuk menentiean resistensi penyakitAvian Influenza secara molekuler, seleksi dapat dilakukan dengan mengkonfirmasi keberadaan gen Mx tersebut dan dapat diaplikasikan l angsung pada manajemen breeding untie menghasilkan bibit ayam kampung yang tahan terhadapAvian Influenza. Hasil Penelitian Maeda (2005) dengan mengambil sampel darah ayam l oki pada berbagai negara di Asia, yaitu Indonesia, Kamboja, Laos, Nepal, Myanmar, Bhutan, Bangladesh, China, Taiwan, Korea, Thailand dan Sri Lanka dengan jumlah sampel seluruhnya sebanyak 1269, menunjukkan bahwa pada semua ayam loki di berbagai negara Asia tersebut terdapat gen pembawa sifat tahan/resisten dan tidak tahan/peka terhadap Avian Influenza. Di I ndonesia ditemiean sebanyak 63% tahan terhadap Avian Influenza dan 37%
rentan/peka terhadap Avian Influenza dengan jumlah sampet sebanyak 330. Hasil komprehensif frekuensi gen pembawa sifat tahan dan peka Avian I nfluenza pada berbagai negara di Asia tersebut dapat dilihat pada Gambar
5.3. Bila dibandingkan dengan ayam ras impor pedaging dan petelur (broiler dan layer), ayam-ayam loki diseluruh negara Asia mempunyai daya tahan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ayam Ras (broiler dan layer), khusus untuk ayam broiler diperoleh hampir 100% tidak tahan (Gambar 5.4). Hasil ini memperkuat bahwa virus Avian Influenza berasal dari peternakan komersil ayam ras (broiler dan layer) yang terbieti secara genetik tidak
tahan/peka terhadap virus Avian Influenza. Dengan keunggulan yang dimiliki ayam loki khususnya diam hat resistensi penyakit terhadapAvian Influenza, penggunaan bibit ayam lokal untie dijadikan parent stock (PS) atau grand parent stock (GPS) sangat mempunyai peluang dimasa yang akan datang, sehingga pemanfaatan sumber daya genetik ayam lokal sangat dianjurkan dan diharapkan impor bibit PS dan GPS dapat berkurang. Oleh karena itu seleksi untie mendapatkan bibit ayamloki yang tahan terhadap Avian I nfluenza sangat memungkinkan dan diperliean.
~Pembihitan Can reningkatan wutu GenetikAyam LokaC
123
Gambar 5.3. Frekuensi gen Mx + yang tahan terhadap Avian Influenza (biru)
dan gen Mx- yang tidak tahan terhadap Avian Influenza (kuning) pada berbagai negara di Asia (Maeda, 2005)
Gambar 5.4. Frekuensi gen Mx + yang tahan terhadap Avian Influenza (biru), dan gen Mx- yang tidak tahan terhadap Avian Influenza (kuning) pada beberapa macam ayam pedaging (broiler) dan petetur (layer) ras impor
124
4CeanekaragamanSumbercDayaJfayatiAyamLoka(Indonesia: Wanfaatdan'Potensi
PENUTUP Ayam lokal merupakan sumberdaya genetik yang potensiat diam
penyediaan daging dan telur. Keberadaan dan potensi yang dimiLiki ayam loki dapat menunjang ekonomi masyarakat di pedesaan. Permasiahan penyediaan bibit pada ayam loki dapat dilakiean dengan seleksi serta untie menghasilkan fini stock ayam loki pedaging dapat dilakiean dengan cross breeding. Untie kesinambungan penyediaan bibit ayam toki dipedesaan dapat dibentie model pengembangan bibit dengan open nucleus breeding system yang dapat bekerja sama antara pusat pembibitan (nucleus) dan multiplier-multiplier untie perbanyakan bibit yang dihasilkan. Bibit ayam yang diperbanyak pada nucleus merupakan hasil seleksi yang terus-menerus terhadap sight prodiesi ataupun seleksi kearah resistensi penyakit. Seleksi dapat dilakiean dengan kriteria seleksi yang tepat balk seleksi secara kuantitatif genetik ataupun seleksi secara molekuler untie mempercepat seleksi dengan penggunaan penanda DNA ( MAS/Marker Assisted Selection). Seleksi dengan MAS dapat ditakukan untie sight mengeram dengan marker gen Promotor prolaktin, sight pertumbuhan dengan gen growth hormone, sifat obesitas dengan gen Leptin dan resistensi penyakitAvian Influenza dengan gen Mx. Untie dapat berhasilnya penyediaan bibit ayam loki, diharapkan keterlibatan swasta ataupun pembentiean BUMN diam penyediaan bibit-bibit ayam tokal sangat diperliean, mengingat biaya yang dipertiean untie menghasilkan bibit yang berkuiitas dan kesinarnbungannya dapat terjamin cieup besar.
DAFTAR PUSTAKA A'Hara S, Burt DW. 2000. Single nucleotide polymorphism in the chicken genome. I n: First report on chicken genes and chromosomes 2000. Cytogenet Cel. Gene. 90: 169-218.
Ardiningsasi, S.M., A.M. Umiyati dan I.K. Sumediono. 1995. Tinjauan genetik pada ayam Kedu meliui pengamatan karakteristik polimorfisme ibumin (Alb) dan Transferrin (Tf) darah. Pros. Sem. Nos. Sains dan Teknologi Peternakan, Biitnak. Au WL, Leung FC. 2000. Genomic sequence of chicken prolactin gene. Unpublished. Department of Zology, the University of Hongkong, Pokfulam Road, Hongkong, SAR, China. www.ncbi.nlm.nih. gov/entrez/viewer.fcgi? db=NucleotideEtdopt=GenBank [15 Februari 2005]
Blakely, J dan D.H. Bade., 1991. Ilmu Peternakan (Terjemahan). Edisi keempat. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Burt, D.W., J. Smith, N. Bumstead, M.A.M. Groenen, R.P.M.A. Crooijmans, I. Nanda, H.H. Cheng, S.Mizuno, A. Vigni and F.Pitel. 2000. Comparative maps between chicken, mouse and human. In: First report on chicken genes and chromosomes 2000. Cytogenet Cel. Gene. 90: 169-218.
(Pembibitan clan (Peningkatan 91utu Cjenetik,4yam Loka(
12 5
Cui, J.X., H.L Du, Y. Liang and XQZhang. 2004. Polymorphisms of chicken prolactin gene. Unpublished. Department of Animi Genetics, Breeding and Reproduction, College of Animi Science, South China Agricultural University, Wushan Street, Guangzhou, Guangdong, China.
Dhara, S.K. and M. Soller. 1999. Intragenic haplotypes in chicken prolactin in four diversed breeds. Submitted (27-09-1999) Genetics. Hebrew Univ. of Jerusiem, Israel.
Dharsana, R., S.N. Jarmani, Abubakar, W.K. Sejati, B. Wibowo, E. Basuno, A. Gozii, R.H. Matondang dan P Setiadi. Perbanyakan ayam loki melalui persilangan. Laporan penelitian No: C/G/1 /APBN/9596. Diwyanto, K. 1998. Pemanfaatan Plasma Nutghh Ayam Lokal diam Menghadapi Krisis Moneter. Warta Plasma Nutghh Indonesia No 6: 6-7. [Dirjennak] Direktorat Jenderi Peternakan. 2006. Buku Statistik Peternakan.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Deptan. Jakarta. Dunn, I.C., G. McEwan, T. Ohkubo, P.J. Sharp, I.R. Paton and D.W. Burt. 1998. Genetic mapping of the chicken prolactin receptor gene: a candidate gene for the control of broodiness. Br. Poultry Sci. Dec 39; suppl S23S24. Ficoner DS dan TFC Mackay. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. E d ke-4, Longman, England. Gondwe. N.P, CBA. Wollny, M.G.G. Chagunda, A.C.L. Safalaoh and F.C. Chilera. 2005. Community based promotion of rural poultry diversity and utilization in Malawi. Departement of Animal Science, Bunda
College of Agriculture, University of Malawi, P.O. Box.219, Lilongwe, Miawi. Goodie HD, Samborn R, Card E. 1960. Broodiness. I n: Poultry Breeding. Bulletin No. 146. Ministry of Agriculture, Fisheries and Food. London.
Gunawan, B., D. Zainuddin, T. Sartika and Abubakar. 1998. Crossbreeding of Cock Pelung and hen native chicken to increase meat quiity of native chicken. Proc. Nat. Conf. Animal S c i e n c e and Veteriner, CRIAS, Indonesia, p. 348-355. Hardjosworo, P .S. 1997. Sistem Perbibitan Ternak Nasioni: Ruang lingkup ternak Unggas ditinjau dari aspek Mutu Genetis, Budidaya standar dan Pengawasan mutu. Makiah disampaikan pada pertemuan Kebijaksanaan Pembangunan Peternakan PJP I dan Pokok-pokok Pemikiran untuk REPELITA VII, Dirjen Peternakan.
Hashiguchi,T i T . Nishida, Y. Hayashi and S.S. Mansjoer. 1982. Blood protein variations of the native and the jungle fowls in Indonesia. The origin ang phylogeny of Indonesian native livestock, Part III. Research report by the research group of overseas scientific survey.
12 6 XjanekaragamanSumrer(DayaY fayatiAyant Loka!Indonesia: Manfaat dan'Potensi
Hays, F.A.1940. Inheritance of broodiness in Rhode Island Reds. Massachussets Agriculturi Experiment Station. Technici Bulletin, 377.
Hutt, E.B. 1949. Genetics of the Fowl, New York, McGraw-Hill. Kansaku, N. 2000. Genetic variation of chicken prolactin promoter. Database 2000. www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/viewr.fcgi?db=nucleotideEtdopt=GenBankEt v i [15 februari 2005].
Ko, JH., A. Takada, T. Mitsuhashi, T Agui and T Watanabe. 2004. Native antiviri specificity of chicken Mx protein depens on amino acid variation at position 631. Animal genetic 35 (2): 119-122.
Lewin, B. 1997. Transcription is catalyzed by RNA polymerase. In: Oxford University Press, Inc, New York. pp. 289-334.
Genes
VI.
Maeda 2005. Polymorphism of Mx Gene in Asian Indigenous chicken poplation. Makalah Dipresentasikan pada Seminar Nasioni Tentang Unggas Loki III, Universitas Diponegoro, 25 Agustus 2005. Martojo, H. 1989. Pemuliaan Unggas di Indonesia. Prosiding Sem. Nos. Peternakan dan Forum Peternak "Unggas don Aneka Ternak 11", Biai Penelitian Ternak. hi: 10-16.
Martojo, H., P .H. Hutabarat dan S.S. Mansjoer. 1990. Il mu Pemuliaan Unggas. Diktat. PAU Bioteknotogi, IPB. Bogor. Meuwissen. 12003. Genomic selection: The future of marker assisted selection and animal breeding. Electronic forumon biotechnology in food and
agriculture. MAS a fast track to increase genetic gain in plant and animal breeding, session II, MAS in animis. FAO, Conference 10. http:// www.gho.org . /Torino [Juli 26, 2004]
Miao Y., D.W. Burt, I.R. Paton, PJ. Sharp and Dunn IC. 1999. Mapping of the prolactin gene to chicken chromosome 2. Anim Genet 30: 473. Muryanto dan P. Setiadi. 1991. Potensi ayam Kedu Hitam dan iternatif pelestarian dan pengembangannya. Prosiding Seminar Pengembangan Peternakan dalam Menunjang Pengembangan Ekonomi Nasional, 4 Mei, Fakultas Peternakan Unsoed Purwokerto Nataamijaya, A.G. 1993. Peranan Plasma Nutghh dalam peningkatan prodietivitas ayam buras di Indonesia. Proc. Sem. Nos. Pengembangan Ternak ayam Buras melalui wadah koperasi menyongsong PJPT Il. UNPAD, Bandung, hi: 120-131. Nataamijaya, A.G dan K. Diwyanto. 1994. Konservasi Ayam Buras Langka. Koleksi dan Karakterisasi Plasma Nutghh Pertanian. Review Hasil dan Program Penelitian Plasma Nutghh Pertanian, Bogor, 26-27 Juli 1994.
Nataamijaya, 2000. The native of chicken of Indonesia. Buletin Plasma Nutfah, vol 6, No 1, Badan Litbang Pertanian.
Pem6i6itan dan (Peningkatan 91futu GenetikAyam Lokaf
1 27
Noor RR. 1996. Genetika Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta. Ohkubo, T, M. Tanaka, K. Nakashima, R.T Tibot and P.J. Sharp. 1998a. Prolactin receptor gene expression in the brain and peripheri tissue in broody and nonbroody breeds of domestic hen. Gen. Com. Endocrinol. 109(1): 60-68. Ohkubo T, Tanaka M, Nakashima K. 1998b. Cloning and characterization of chicken prolactin gene. Unpublished. Kagawa University, Departn9ent of
Agriculture 2393 Ikenobe, Miki, Kita, Kagawa, Japan. Parkhurst, C. R. and G. J. Mountney. 1987. Poultry Meat and Egg Production, An AVI Book, Published by Van Nostrand Reinhold, New York, USA.
Romanov, M.N., R.T. Tibot, P.W. Wilson and P.J. Sharp. 1999. Inheritance of broodiness in the domestic fowl. Br. Poultry Sci. 40. suppl. S20-S21. Romanov, M.N., R.T. Tibot, PW. Wilson and P.J. sharp. 2002. Genetic control of incubation behavior in the domestic hen. Poultry Sci 81 (7):928931. Saeki, Y (1957). Inheritance of broodiness in Japanese Nagoya fowl, with spedii reference to sex linkage and notice in breeding practice. Poultry Science, 36: 378-383.
Saeki, Y and Y. Inoue (1979). Body growth, egg production, broodiness, age at first egg and egg size in Red Jungle Fowls, and an attampt at their genetic aniyses by the reciproci crossing with White Leghorn. Japanese Poultry Science, 16: 121-125. Sartika, T, B. Gunawan, R. Matondang dan P. Mahyudin. 2002. Seleksi generasi
ketiga untie mengurangi sight mengeram dan meningkatkan prodiesi tetur ayam loki. Biai Penelitian Ternak, Laporan No. UAT/BRE/F-01 / APBN/2001. Sartika 2005. Gen Mx+ sebagai penyeleksi resistensi Avian Influenza. Short Communication. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 27 (5): 6-7.
Sartika, T, M. Minezawa, H. Hihara, LH. Prasetyo and H. Takahashi. 2004. Genetic relationships among Japanese and Indonesian native breeds of chicken based on microsatellite DNA polymorphism. Proc. 29th International Conference on Animal Genetics, I SAG-2004, Tokyo.
Sartika, T, S. Iskandar, L.H. Prasetyo, I-1. Takahashi dan M. Minezawa. 2004. Kekerabatan genetik ayam Kampung, Pelung, Sentul dan Kedu Hitam dengan menggunakan penanda DNA Mikrosatelit: I: Grup pemetaan pada makro kromosom. J. Ilmu Ternak and Veteriner/JITV, Puslitbangnak, 9(2): 81-86. Sartika, T. 2005. Broodiness trait of chicken through molecular investigation. WARTAZOA. Indonesian Bulletin of Animal Science, 15 (4): 206-212.
128
7(fanekaraganan Sumber(Daya JfayatiAyam Loka(Indonesia: Manfaat dan Potensi
Sartika, T., D. Duryadi, SS. Mansjoer and B. Gunawan. 2000. Genetic diversity of native chicken based on aniysis of D-loop mtDNA marker. J. Animal Science and Veteriner/JITV, CRIAS, 5(2): 100-106.
Sartika, T., RH. Mulyono, 5S. Mansjoer, T. Purwadaria and B. Gunawan. 1997. Determination of genetic distance of local chicken based on protein
polymorphism. Proc. Nat. Conf. Animal Science and Veteriner, CRIAS, I ndonesia, p. 479-486.
Sharp, P.J. 1997. Neurobiology of the onset of incubation behaviour in birds. Frontiers in Environmental and Metabolic Endocrinology (Ed. S.K. Maitra) pp. 193-202. The University of Burdwan, India. Shimada, K., Ishida H, Sato K, Seo H, Matsui N. 1991. Expression of prolactin gene in incubating hens. J Reprod Fertil 91 (1): 147-154. Sidadolog JH, T. Yuwanta dan H. Sasongko. 1996. Pengaruh seleksi terhadap perkembangan sight pertumbuhan, produksi dan reprodiesi ayam Kampung legund dan normi. Buletin Peternakan, Fapet UGM, Yogyakarta. 20(2):85-97. Sulandari, S., M.S.A. Zein, T. Sartika dan S. Paryanti. 2006. Karakterisasi Motekuler AyamLoki Indonesia. Laporan Akhir, ProgramPenelitian
dan Pengembangan IPTEK Riset Kompetitif LIPI Tahun Anggaran 20052006. Dipa Biro Perencanaan dan Keuangan LIPI dan Puslit Biologi, LIP I.
Suwindra IN, K. Astiningsih dan IKA Wiyana. 1993. Seleksi dan pembibitan ayam Kampung di d aerah Bii. Laporan Penelitian, Fapet, Univ Udayana •
Bali. Takahashi, H. 2003. Design primer prolaktin promoter. Premier Biosoft I nternationi, www.PremierBiosoft.com [Dec 1, 2003]. Watahiki, M., M. Tanaka, N. Masuda, K. Sugisaki, M. Yamamoto, M. Yamakawa, J.
Nagai and K. Nakashima.1989. Primary structure of chicken pituitary prolactin deduced from the cDNA sequence. Conserved and specific amino acid residues in the domains of the prolactins. J Biol Chem 264 (10): 5535-5539. Watanabe, T. (2003). Genomic aniysis of antiviri resistant Mx gene in the
chicken. Lab. Animal Breeding and Reproduction, Hokkaido University, Sapporo, Japan. Paper Presented in Internationi workshop on Animi Genome Aniysis, KKR Hotel Tokyo, 6 November 2003. Yamamoto. Y., T. Namikawa, I.Okada, M. Nishibori, S.S. Mansjoer dan H. Martojo. 1994. Genetici Studies on native chickens in Indonesia. Proc. Of the 7h AAAPAnimal Science Congress, Bii, Indonesia. Yamamoto, Y., T. Namikawa, I. Okada, M. Nishibori, S.S. Mansjoer and H. Martojo. 1996. Genetical studies on native chickens in Indonesia. Asian-Australian Journal Animal Science (AJAS) vol 9 (4): 405-410.
P P e m 6ifitan
can PPeningkatan Mutu GenetikAyam Loka!
129
Yuwono DM, Muryanto, Subiharta dan W. Dirjopratono. 1999. Peningkatan pendapatan peternak ayam Kedu melalui penerapan teknologi seleksi secara sederhana. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis, Univ Diponegoro, Semarang. Edisi Khusus, pp: 223-229.
130
7(janekgragaman Sum 6er'Daya 2fayatiAyam Lok glhulonesia: Manfaat fan cPotensi