5. Karakteristik Kemampuan DAS a. Erosi dan Sedimentasi Pendugaan kehilangan Lapisan Tanah Atas sebagai Erosi Permukaan (Surface Erosion ) dan sedimentasi dapat dilakukan melalui berbagai cara, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif berdasarkan konsep satuan lahan dalam satuan Daerah Aliran Sungai (DAS) atau sub-DAS. Secara konseptual dan praktis cara-cara pemantauan erosi permukaan dan sedminetasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. b. Secara Kualitatif Erosi permukaan dapat diestimasi berdasarkan adanya kenampakan gejala-gejala erosi permukaan yang tampak, seperti adanya bekas-bekas percikan material tanah hasil pengelupasan oleh pukulan air hujan (splash erosion ), aliran lembaran yang bergerak perlahan di permukaan (sheet erosion ), adanya alur-alur kecil hasil goresan aliran limpasan permukaan (rill erosion ), parit-parit kecil hasil perkembangan dari alur-alur permukaan oleh goresan aliran limpasan permukaan (gully erosion ), kenampakan pemunculan batang pohon dan akar-akarnya akibat goresan aliran air hujan yang melalui batang (stemflow ), gundukan tanah dibawah tanaman pohon/kayu akibat pukulan hujan melalui air tembusan (throughfall ), melalui aliran tajuk pohon (crown dreep ), dan lain-lain masih banyak lagi kenampakan-kenampakan kecil di permukaan akibat tenaga pukulan air hujan dan tenaga aliran limpasan permukaan. c. Secara Kuantitatif Pendugaan erosi permukaan dengan menggunakan plot erosi dengan ukuran panjang 22 meter dan lebar 2 atau 4 meter dengan kemiringan plot kurang lebih 9% dan dipasang untuk dicobakan pada berbagai jenis tanaman ataupun kebun campuran. Pada mulut plot erosi dipasang drum terukur (1) sebagai penampung lumpur dan air hujan yang terangkut dan kelebihannya ditampung dalam drum penampung (2). Berat per satuan volume lumpur ditimbang dikalikan dengan berat jenis (BD) lumpur sehingga dapat diperoleh hasil lumpur dalam gram per liter. Pengukuran erosi permukaan tersebut dikenal dengan pengukuran erosi aktual (metode volumetrik). d. secara prediktif kuantitatif Pendugaan erosi permukaan berdasarkan rumus USLE (Universal Soil Loss Equation ) yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) sebagai berikut. A A R K L S C P
= = = = = = = =
RxKxLxSxCxP …………………..………………………..(2.11) erosi permukaan (ton/ha/tahun), faktor erosivitas hujan, faktor erodibilitas tanah, faktor panjang lereng, faktor kelerengan lahan, faktor tanaman faktor manajemen lahan
26
Kriteria besarnya erosi permukaan menurut Departemen Kehutanan (1986) adalah sebagai berikut.
Tabel 6 Klasifikasi Erosi
No 1 2 3 4 5
Kategori Erosi Permukaan
Besaran Erosi Permukaan
Sangat Ringan Ringan Sedang Tinggi Sangat Tinggi
< 15 ton/ha/th >15 - 60 ton/ha/th >60 – 180 ton/ha/th >180 – 460 ton/ha/th > 460 ton/ha/th
Erosi Lembah dan Erosi Tebing Sungai Pendugaan besarnya Erosi Lembah dan Erosi Tebing Sungai serta Erosi Total Sungai dapat dilakukan secara kuantitaif berdasarkan parameter erosi permukaan (USLE) dengan cara perbandingan persentase (SCS Amerika). Nilai erosi permukaan tersebut diestimasi berdasarkan pada setiap satuan lahan sehingga dapat diketahui agihan spasial besarnya erosi permukaan. Besarnya erosi permukaan per satuan lahan dalam satuan DAS atau Sub-DAS belum mempertimbangan besarnya erosi lembah dan erosi tebing (valley and bank erosion ). Besarnya erosi lembah sungai dan erosi tebing sungai dipertimbangkan antara 10 hingga 25 % kali besarnya erosi permukaan (A) (Ahli Konservasi Tanah dan Air Amerika, SCS). Erosi total sungai (Gross erosion, GE ) adalah besarnya erosi permukaan (A) ditambah besarnya erosi lembah dan erosi tebing ((10-25 %)A) yang dapat dirumuskan sebagai berikut. GE = A + (25% x A) ............................................... (2.12) GE = Erosi total sungai (Gross Erosion ) (ton/ha/th) atau (mm/tahun) A = Erosi permukaan (Metode USLE) (ton/ha/th).
Hasil Sedimen Sungai ( S ed i m en t Yi e l d , S Y ) Besarnya hasil sedimen sungai (SY) dapat diduga melalui prediksi besarnya erosi total sungai (GE) dikalikan dengan rasio pelepasan sedimen (Sediment Delivery Ratio , SDR) yang dapat dirumuskan sebagai berikut. SY SY GE
= = =
GE x SDR ......................................................... (2.13) sedimen total sungai (ton/liter), erosi total sungai (ton/ha/th atau mm/tahun).
27
Besarnya rasio pelepasan sedimen (SDR) dapat diperhitungkan berdasarkan perbandingan antara besarnya erosi permukaan (A) dengan erosi total sungai (GE). Besarnya rasio pelepasan sedimen berbanding terbalik dengan luas DAS yang digambarkan dalam bentuk grafik hubungan antara luas DAS dan nilai SDR, semakin besar luas DAS semakin kecil besarnya nilai SDR. Besarnya nilai SDR dapat dihitung berdasarkan sifat fisik tanah dan berat jenis (BD) setiap jenis tanah.
e. Penutup Lahan, Penggunaan Lahan, dan Pemanfaatan Lahan Data penutup lahan (land cover ), penggunaan lahan (land use ), dan pemanfaatan lahan (land utilization type ) merupakan tingkatan atau strata data yang disesuaikan dengan kebutuhan dan skala penyajian yang diinginkan untuk tujuan pengelolaan DAS. Secara deskriptif uraian tingkatan data dapat disusun menurut skala perencanaan DAS, sumber data, klasifikasi data sebagai berikut: 1) Data penutup lahan merupakan tingkatan skala kecil (makro) atau dalam perencanaan DAS termasuk skala provinsi (DAS antar provinsi). Sumber data yang digunakan juga dalam skala kecil, seperti citra satelit Landsat dan peta yang digunakan adalah peta penutup lahan berskala lebih kecil atau sama dengan 1:100 000. Klasifikasi penutup lahan juga sangat sederhana hanya terdiri atas berpenutup vegetasi atau non vegetasi. 2) Data penggunaan lahan merupakan tingkatan skala menengah (meso) dan dalam perencanaan DAS termasuk skala kabupaten (dalam satu atau antar dua kabupaten). Sumber data yang digunakan berskala sedang, seperti citra SPOT, ASTER, dan ALOS serta peta yang digunakan berskala lebih besar atau sama dengan 1:50 000. Klasifikasi penggunaan lahan sudah agak rinci terdiri atas penggunaan lahan sawah, tegalan, kebun campuran, permukiman, hutan, semak belukar, badan air, dan sebagainya. 3) Data pemanfaatan lahan merupakan tingkatan skala besar (mikro) dan dalam perencanaan DAS termasuk skala rencana teknis lapangan (RTL) untuk manajemen lahan. Sumber data yang digunakan berskala besar, seperti citra satelit IKONOS, QUICKBIRD, dan/atau WORLDVIEW serta peta yang digunakan berskala lebih besar atau sama dengan 1:10 000. Klasifikasi pemanfaatan lahan sangat rinci sampai dengan tingkat satu satuan lahan terkecil, seperti penggunaan lahan sawah maka pada tingkat pemanfaatan lahan sampai tingkat jenis tanaman jagung, kedele, dan kacang-kacangan.
f. Daya Dukung Lahan DAS Daya dukung lahan adalah kemampuan suatu lahan untuk dalam alokasi pemanfaatan ruang/lahan dalam wilayah tujuan penataan ruang yang sesuai dengan kapasitas (supportive capacity ) dan kapasitas daya tampung DAS
mendukung DAS untuk penyediaan (assimilative 28
capacity ). Agar dalam pemanfaatan ruang DAS sesuai dengan kapasitas lingkungan dan sumber daya maka alokasi pemanfaatan ruang/lahan harus mengindahkan kemampuan lahan (land capability ). Kapasitas sumberdaya alam DAS tergantung pada kemampuan, ketersediaan, dan kebutuhan akan lahan, air, dan vegetasi karena akan menentukan dalam penataan ruang dan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut. Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan akan lahan, air, dan vegetasi di suatu wilayah DAS menentukan keadaan surplus dan defisit dari lahan, air, dan vegetasi untuk mendukung kegiatan pemanfaatan ruang dalam DAS
Salah satu cara untuk menentukan daya dukung lahan dalam lingkungan DAS adalah melalui alokasi pemanfaatan ruang yang tepat berdasarkan kemampuan lahan yang dikategorikan ke dalam tingkat kelas, sub kelas, dan unit pengelolaan/manajemen lahan disesuaikan dengan tingkatan perencanaan pengelolaan DAS. Kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan DAS yang mencakup sifat tanah (fisik dan kimia), topografi, drainase, dan kondisi lingkungan DAS yang lain. Berdasarkan karakteristik lahan tersebut suatu wilayah DAS dapat dilakukan klasifikasi kemampuan lahan ke dalam tingkat kelas, sub kelas, dan hingga unit pengelolaan/manajemen lahan. Kemampuan lahan berkaitan dengan tingkat bahaya kerusakan dan hambatan dalam pengelolaan lahan DAS, apabila tingkat bahaya atau resiko kerusakan dan hambatan penggunaan ruang meningkat maka spektrum penggunaan ruang dalam DAS akan menurun. Klasifikasi kemampuan lahan dibagi ke dalam 8 kelas, kelas I hingga IV mempunyai kemampuan untuk bidang pertanian, sedang kelas V hingga VIII mempunyai kemampuan untuk bidang non pertanian. Khususnya untuk kelas VII dan VIII merupakan lahan yang harus dilindungi atau untuk fungsi konservasi. Secara rinci klasifikasi kamampuan lahan dalam tingkat kelas dan penggunaan ruang/lahan dapat dilihat pada tabel berikut.
Kemampuan lahan dalam tingkat sub kelas pengklasifikasiannya didasarkan pada jenis faktor penghambat atau ancaman dalam penggunaannya, kategori sub kelas hanya berlaku untuk kelas kemampuan lahan kelas II hingga kelas VIII, karena kemampuan lahan kelas I tidak mempunyai faktor penghambat. Kelas Kemampuan lahan yang dirinci lagi ke dalam tingkat sub kelas didasarkan pada 4 (empat) faktor penghambat, yaitu: (1) kemiringan lereng (t), (2) penghambat terhadap perakaran tanaman (s), (3) tingkat erosi/bahaya erosi (e), dan (4) genangan air (w). Sub kelas kemiringan lereng (t) terdapat pada lahan yang faktor lwerengnya menjadi faktor penghambat utama, yang meliputi kemiringan lereng, panjang lereng, dan bentuk lereng sangat mempengaruhi erosi, limpasan permukaan, serta kemudahan atau faktor penghambat terhadap usaha pemanfaatan ruang/lahan DAS, sehingga dapat menjadi petunjuk dalam pengelolaan/ manajemen lahan. Cara penamaan kelas dan sub kelas dilakukan dengan menuliskan faktor penghambat di belakang angka kelas, sebagai contoh, lahan kelas III dengan faktor penghambat kelerengan (t) maka dapat ditulis dengan sub kelas IIIt.
29
Kelas kemampuan yang telah dirinci ke dalam sub kelas selanjutnya masih dapat dirinci menurut unit pengelolaan/ manajemen lahan yang dikategorikan berdasarkan pada intensitas faktor penghambat dalam kategori sub kelas. Dengan demikian dalam kategori unit pengelolaan/ manajemen lahan telah diindikasikan kesamaan potensi dan hambatan/resiko sehingga dapat digunakan untuk menentukan tipe pengelolaan atau teknik konservasi yang dibutuhkan. Kemampuan lahan pada tingkat unit pengelolaan/ manajemen lahan memberikan faktor kelerengan yang lebih spesifik dan detil dari lahan tingkat sub kelas. Tingkat unit pengelolaan/manajemen lahan diberi simbol dengan menambahkan angka (1, 2, 3, dan seterusnya) di belakang simbol sub kelas, angka-angka tersebut menunjukkan besarnya tingkat faktor penghambat yang ditunjukkan dalam sub kelas, sebagai contoh, sub kelas IIIt (faktor penghambat kelerengan) dengan intensitas 1 (satu) maka dapat ditulis dalam unit pengelolaan/manajemen lahan tingkat IIIt1, IIIt 2 dan seterusnya.
6. Karakteristik Sosial Kependudukan DAS a. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Geografis Dalam ekosistem DAS, penduduk merupakan bagian yang sangat penting. Salah satu aspek kependudukan yang perlu diperhatikan antara lain menyangkut kepadatan penduduk geografis. Kepadatan penduduk geografis di suatu wilayah mempunyai pengaruh terhadap potensi kerusakan lingkungan termasuk terhadap kelestarian sumberdaya lahan. Asumsi yang digunakan adalah bahwa suatu wilayah yang mempunyai kepadatan penduduk geografis tinggi cenderung akan lebih mempunyai resiko terjadinya kerusakan lingkungan dari pada wilayah dengan kepadatan penduduk geografis rendah. Hal tersebut disebabkan intensitas pemanfaatan lahan dan air akan lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang mempunyai kepadatan penduduk geografis yang lebih rendah.
Kepadatan penduduk geografis adalah merupakan cerminan dari besarnya tekanan penduduk terhadap lahan. Semakin tinggi kepadatan penduduk geografis semakin besar pula tekanan penduduk terhadap lahan. Di wilayah hulu kepadatan penduduknya biasanya tergolong rendah. Seharusnya di wilayah ini kerusakan lingkungan relatif kecil. Namun demikian pengalaman empiris di beberapa wilayah di Indonesia menunjukkan bahwa di wilayah ini terjadi kerusakan lingkungan walaupun kepadatan penduduknya rendah. Kerusakan lingkungan disebabkan oleh faktor sosial ekonomi penduduk. Sebagian besar penduduk di wilayah ini bermata pencaharian petani dengan tingkat penghasilan yang rendah. Di wilayah ini biasanya banyak terjadi penebangan hutan.
30
Khusus untuk wilayah yang kepadatan penduduk geografisnya tinggi perlu mendapat perhatian karena suatu wilayah yang mempunyai kepadatan penduduk geografis yang tinggi cenderung akan lebih mempunyai resiko terjadinya kerusakan lingkungan. Hal tersebut disebabkan intensitas pemanfaatan lahan dan air akan lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang mempunyai kepadatan penduduk geografis yang lebih rendah. Cara mengukur kepadatan penduduk geografis adalah dengan membagi jumlah penduduk dengan satuan jiwa di suatu wilayah dengan luas wilayah tersebut dengan satuan km2. Data tentang jumlah penduduk dan luas wilayah dapat diperoleh dari Kecamatan Dalam Angka dengan unit analisis desa/kelurahan, Kabupaten/Kota Dalam Angka dengan unit analisis kecamatan. Data ini merupakan data yang diterbitkan oleh Kantor Statistik Kabupaten/Kota. Data ini tersedia untuk setiap tahun. Di samping itu data ini juga dapat diperoleh dari Potensi Desa dengan unit analisis desa/kelurahan dalam format SPSS (softcopy ) yang juga merupakan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik. Data ini tidak terdapat setiap tahun. Data Podes yang telah ada adalah data tahun 1990, 1993, 1996, 2000, 2003, 2006, 2008, dan 2011.
b. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Agraris Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam penyusunan karakteristik DAS adalah menyangkut tekanan terhadap lahan pertanian akibat adanya konversi penggunaan lahan dan proses fragmentasi lahan pertanian. Besarnya tekanan terhadap lahan pertanian mencerminkan semakin besarnya penggunaan lahan non pertanian. Hal tersebut akan berdampak bagi kondisi lingkungan terutama kualitas lahan dan ketersediaan air. Salah satu aspek yang dapat menggambarkan adanya tekanan terhadap lahan pertanian adalah menyangkut kepadatan agraris. Kepadatan agraris adalah merupakan perbandingan antara jumlah rumah tangga tani dengan luas lahan pertanian. Semakin tinggi kepadatan agraris semakin tinggi pula tekanan terhadap lahan pertanian. Tingginya kepadatan penduduk agraris di suatu DAS menunjukkan adanya tekanan terhadap lahan pertanian. Dengan kepadatan penduduk agraris yang tinggi menyebabkan pertanian yang berkembang cenderung tidak efisien. Perkembangan pertanian yang tidak efisien akan berpotensi mengakibatkan adanya degradasi kualitas lahan. Hal tersebut perlu mendapatkan perhatian agar nantinya tidak mengganggu kelestarian lingkungan di wilayah DAS yang bersangkutan. Cara mengukur kepadatan penduduk agraris adalah dengan membagi jumlah petani dengan satuan jiwa di suatu wilayah dengan luas lahan pertanian di wilayah tersebut dengan satuan km2. Data tentang jumlah petani dan luas lahan pertanian dapat diperoleh dari Kecamatan Dalam Angka dengan unit analisis desa/kelurahan, Kabupaten/Kota Dalam Angka dengan unit analisis kecamatan. Data ini merupakan data yang diterbitkan oleh Kantor Statistik Kabupaten/Kota. Data ini tersedia untuk setiap tahun.
31
c.
Persentase Rumah Tangga Petani Sektor pertanian di beberapa DAS di Indonesia masih merupakan sektor yang dominan, namun demikian di beberapa DAS yang lain, sektor pertanian ini tidak lagi menjadi sektor yang dominan. Hal itu ditunjukkan dengan rasio rumah tangga tani terhadap jumlah rumah tangga yang menunjukkan angka yang sangat bervariasi. Bervariasinya kegiatan ekonomi penduduk di wilayah ini mencerminkan adanya dinamika wilayah. Dinamika wilayah tersebut perlu diarahkan agar nantinya tidak menjadikan potensi kerusakan lingkungan. Untuk DAS yang mempunyai proporsi rumah tangga tani tergolong besar mempunyai resiko kerusakan lingkungan yang lebih tinggi dari pada DAS yang mempunyai proporsi rumah tangga tani lebih kecil. Dalam Potensi Desa dengan unit analisis desa/kelurahan terdapat data persentase rumah tangga tani ini.
7. Karakteristik Sosial Budaya DAS a. Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi sosial suatu wilayah.Dalam Data Podes terdapat data putus sekolah SD dan putus sekolah SLTP. Dua indikator ini dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi pendidikan di daerah penelitian. Disamping itu dengan dua indikator ini juga dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat kemiskinan suatu wilayah. Besarnya angka jumlah penduduk putus sekolah baik SD maupun SLTP mengindikasikan kondisi perekonomian yang yang buruk.Kondisi perekonomian yang buruk disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor alam.Faktor alam yang dimaksudkan adalah kondisi fisik lahan yang tidak menguntungkan untuk kegiatan pertanian, padahal sebagian besar masyarakat masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.Dengan kondisi fisik lahan yang demikian menyebabkan masyarakat petani terpuruk dalam kemiskinan.Cara mengukur, besaran, kategori, dan skor untuk variabel persetase penduduk putus sekolah SD dan persentase penduduk putus sekolah SLTP disajikan pada Lampiran 5.
b. Kearifan/Nilai-Nilai Lokal Masyarakat Dalam masyarakat lokal di beberapa wilayah di Indonesia terdapat peraturan-peraturan lokal yang disusun dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Peraturan-peraturan tersebut disusun dengan bahasa yang sederhana namun dengan bahasa yang sederhana tersebut justeru dapat dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat di desa yang bersangkutan. Peraturan-peraturan tersebut walaupun levelnya di tingkat desa namun sebagai sebuah peraturan sudah memiliki kekuatan hukum karena telah ditetapkan sebagai Peraturan Desa (Perdes).
32
Dengan kekuatan hukum ini maka peraturan-peraturan tersebut telah mempunyai kemampuan untuk mengikat hukum kepada seluruh warga masyarakat di desa tersebut. Peraturan Desa yang berkaitan dengan pengelolaan DAS sebagai contoh telah terdapat di Desa Gemawang Kecamatan Ngadirojo Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah. Peraturan tersebut ditaati oleh semua warga masyarakat di desa tersebut. Peraturan Desa sejenis juga terdapat di Desa Sembukan Kecamatan Sidoharjo Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah yang telah disyahkan pada tanggal 15 Desember 2009. Desa lain yang memiliki Peraturan Desa untuk pengelolaan lingkungan adalah Desa Tempursari Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah yang telah disyahkan pada Bulan Februari 2010 (Giyarsih, 2010).
Masyarakat lokal yang sebetulnya merupakan target group yang paling potensial untuk melaksanakan peraturan tersebut karena lebih memahami Peraturan Desa dari pada Peraturan Daerah. Alasannya sangat sederhana, karena mereka sendiri yang merencanakan dan menyusun Peraturan Desa tersebut. Sebaliknya Peraturan Daerah direncanakan dan disusun bukan oleh masyarakat tapi oleh Pemerintah Daerah (Giyarsih, 2010).
Dari fakta empiris ini maka untuk pengelolaan lingkungan dalam pengelolaan suatu DAS maka peraturan yang paling dekat dengan masyarakat lokal itulah yang merupakan peraturan yang paling efektif dilaksanakan. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan aspek kelembagaan maka lembaga-lembaga lokal di tingkat desa termasuk yang merancanakan dan melaksanakan peraturan lokal inilah yang perlu dikoordinasi dengan lebih optimal.
Variabel kearifan/nilai-nilai lokal dalam konservasi dapat diperoleh dengan cara wawancara terstruktur dengan panduan kuesioner atau wawancara mendalam (indepth interview ) dengan metode sampling kepada informan misal kepada tokoh masyarakat atau kepala desa. Adapun cara mengukur, besaran, kategori, dan skor untuk variael kearifan/nilai-nilai lokal dalam konservasi disajikan pada Lampiran 6.
8. Karakteristik Sosial Ekonomi DAS a. Mata Pencaharian Sektor pertanian masih menjadi sektor yang dominan bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Di wilayah hulu suatu DAS biasanya kegiatan sektor pertanian ini sangat dominan. Pengalaman empiris di beberapa wilayah di Indonesia mengindikasikan bahwa lokasi beberapa industri merupakan peralihan dari lahan sawah beririgasi teknis yang subur menjadi lahan industri. Kawasan industri ini masih menjadi satu dengan lahan pertanian di sekelilingnya. Hal ini mengindikasikan adanya gejala urban sprawl (gejala perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar). Gejala urban sprawl yang terjadi di wilayah ini mempunyai tipe leap frog development. Tipe leap frog development merupakan tipe gejala urban sprawl yang paling merugikan secara ekologis. 33
Keberadaan kawasan industri tersebut di satu sisi memang menguntungkan masyarakat sekitar karena dapat menyerap tenaga kerja lokal untuk bekerja di pabrik khususnya untuk bagian produksi. Namun demikian di sisi lain menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan apabila limbah tidak dikelola dengan baik oleh pabrik. Khusus untuk kawasan perkotaan, maka sektor perdagangan dan industri menjadi sektor yang diandalkan di wilayah ini. Seperti halnya wilayah yang berciri kekotaan, maka kawasan ini juga sarat dengan permasalahan lingkungan perkotaan. Mulai dari sampah rumah tangga sampai dengan limbah industri yang dibuang ke DAS tak pelak lagi menyebabkan tercemarnya DAS tersebut. Untuk itu di wilayah ini perlu pengelolaan sampah dan limbah industri sehingga mengurangi resiko pencemaran DAS. Dengan demikian suatu wilayah yang didominasi oleh kegiatan pertanian atau dengan kata lain struktur mata pencaharian sebagian besar penduduknya di sektor pertanian maka akan mempunyai resiko yang lebih tinggi terhadap kerusakan DAS. Data persentase penduduk bermata pencaharian sebagai petani dapat diperoleh dari data Kecamatan Dalam Angka dengan unit analisis desa/kelurahan dan Kabupaten/Kota Dalam Angka dengan unit analisis kecamatan. Data ini diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik yang tersedia untuk setiap tahunnya. Adapun cara mengukur, besaran, kategori, dan skor untuk variabel ini disajikan pada Lampiran 7.
b. Tingkat Pendapatan Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk adalah kesejahteraan keluarga. Dari data Podes dapat digunakan data mengenai jumlah rumah tangga Pra Sejahtera dan Sejahtera I menurut klasifikasi dari BKKBN. Untuk menilai tingkat kesejahteraan penduduk di suatu DAS digunakan data mengenai proporsi rumah tangga Pra Sejahtera dan Sejahtera I. Semakin rendah proporsi rumah tangga Pra Sejahtera dan Sejahtera I menunjukkan tingkat kesejahteraan yang semakin baik. Sebaliknya, semakin tinggi proporsi rumah tangga Pra Sejahtera dan Sejahtera I menggambarkan tingkat kesejahteraan yang semakin rendah. Penduduk yang miskin mempunyai potensi sebagai pelaku kerusakan DAS. Oleh karena itu untuk kawasan-kawasan yang proporsi penduduk miskinnya besar perlu diwaspadai karena potensial merusakkan DAS. Keterbatasan ekonomi masyarakat tersebut bila tidak segera ditanggulangi dapat berpotensi terjadi kerusakan DAS. Hal tersebut karena pada wilayah yang miskin untuk memenuhi kebutuhan hidup, masyarakatnya cenderung akan memanfaatkan sumberdaya yang ada secara berlebihan sehingga bila tidak dibatasi akan mengakibatkan kerusakan DAS. Adapun cara mengukur, besaran, kategori, dan skor untuk variabel ini disajikan pada Lampiran 7.
34
9. Karakteristik Kelembagaan DAS a. Peran Lembaga Pemerintah Dalam Konservasi DAS Pengembangan kelembagaan telah menjadi bagian dari strategi pembangunan. Pengembangan kelembagaan juga merupakan bagian dari strategi pengelolaan suatu DAS. Kelembagaan baik berupa organisasi maupun bukan organisasi merupakan salah satu penggerak pembangunan. Dari pernyataan ini sekaligus dapat dipostulasikan bahwa kelembagaan sekaligus juga merupakan penggerak dalam pengelolaan di suatu DAS. Dengan adanya pengembangan kelembagaan diharapkan dapat menggerakkan para pihak untuk berperan secara aktif dalam pengelolaan lingkungan di suatu DAS. Di samping itu, dengan penguatan kelembagaan maka pembagian peran menjadi lebih jelas. Masing-masing pihak akan mengetahui dengan pasti wewenang dan tanggung jawabnya, sehingga sistem pengelolaan suatu DAS dapat dilaksanakan secara optimal. Dalam hal ini pihak pemerintah kabupaten/kota berperan sebagai ujung tombak dalam pelayanan kepada masyarakat dan lebih kompeten dalam upaya pemberdayaan masyarakat dan upaya pengembangan kelembagaan masyarakat (Giyarsih, 2010). Kegagalan berbagai proyek pembangunan di Indonesia salah satu penyebabnya adalah belum siapnya lembaga di tingkat lokal yang langsung menyentuh target group (msayarakat) dalam menjalankan proyek pembangunan tersebut. Belajar dari pengalaman empirik berbagai proyek pembangunan yang dilaksanakan dengan sistem top down serta lebih mementingkan pembangunan fisik dari pada pengembangan kelembagaan di tingkat lokal lebih banyak mengalami kegagalan dari pada keberhasilan. Dari pengalaman empiris inilah mestinya pendekatan pembangunan yang diterapkan dalam pengelolaan suatu DAS bukan pendekatan sentralistik namun pendekatan partisipatif. Di samping itu dalam pelaksanaan pengelolaan suatu DAS diharapkan sebanyak mungkin melibatkan masyarakat dan mendorong masyarakat untuk dapat berpartisipasi secara nyata. Untuk meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan guna mewujudkan Koordinasi, Intergrasi, Sinergitas, Sinkronisasi (KISS) yang optimal maka penguatan kelembagaan lokal di tingkat desa menjadi sangat penting dan mendesak untuk dilakukan. Data tentang peran lembaga adapt dalam kegiatan konservasi ini dapat diperoleh dengan cara wawancara terstruktur dengan panduan kuesioner atau wawancara mendalam kepada informan misal tokoh masyarakat atau kepala desa dengan teknik sampling. Adapun cara pengukuran, besaran, kategori, dan skor untuk variabel ini disajikan pada Lampiran 7.
35
b. Peran Lembaga Adat Masyarakat Dalam Konservasi DAS Sinergisme spasial kelembagaan merupakan upaya-upaya yang dilakukan untuk memadukan kelembagaan sejenis antar wilayah sedemikian rupa sehingga produk akhir yang akan dicapai oleh kelembagaan hasil perpaduan tersebut lebih baik apabila dibandingkan dengan produk akhir kinerja masing-masing kelembagaan sebelum dipadukan. Dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS yang secara admistratif biasanya terdiri dari beberapa kabupaten/kota maka sinergisme spasial kelembagaan ini sangat diperlukan (Giyarsih, dkk, 2011) Kerjasama saling menguntungkan yang dibangun dapat meliputi dua, tiga, atau lebih kelembagaan yang sama antar wilayah yang berbeda tergantung dari konsensus yang telah disepakati antarwilayah. Masingmasing kelembagaan di masing-masing wilayah yang berbeda tentu mempunyai pertimbangan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingannya. Skala wilayah yang diciptakan dapat dalam skala lokal maupun skala regional (Giyarsih, dkk, 2011). Pertama kali yang harus dirumuskan dalam sinergisme spasial kelembagaan ini adalah visi dari bentuk sinergisme spasial kelembagaan yang disepakati. Setelah merumuskan visi yang merupakan cita-cita jangka panjang maka untuk selanjutnya perlu merumuskan misi-misi yang akan ditempuh dalam rangka mencapai visi tersebut. Kelembagaan antar wilayah yang bergabung dalam sinergisme spasial kelembagaan tersebut harus mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kerjasama kelembagaan antar wilayah yang telah disepakati dan tentu saja secara konsisnten dan konsekuen masing-masing harus melaksanakan misi-misi yang telah dirumuskan. Data sinergisme spasial kelembagaan ini dapat diperoleh dengan cara wawancara terstruktur dengan panduan kuesioner atau wawancara mendalam kepada informan misal petugas dari instansi yang berkaitan dengan pengelolaan DAS dengan teknik sampling. Adapun cara pengukuran, besaran, kategori, dan skor untuk variabel ini disajikan pada Lampiran 7.
c. Sinergisme fungsi Kelembagaan DAS Seperti halnya dengan bentuk sinergisme spasial kelembagaan, istilah sinergisme fungsional kelembagaan juga mempunyai tujuan untuk optimasi hasil pembangunan dengan penggabungan berbagai kelembagaan yang berbeda akan dicapai hasil yang lebih baik dari pada masing-masing kelembagaan berdiri sendiri-sendiri. Menurut Yunus (2005), penekanan penggabungan dalam sinergisme spasial kelembagaan adalah pada ruang/wilayah/daerah. Sementara itu penekanan penggabungan dalam sinergisme fungsional kelembagaan adalah pada kegiatan atau institusi yang berkompeten menanganinya.
36
Lebih lanjut Yunus (2005) menyebutkan bahwa pada sinergisme spasial kelembagaan melibatkan berbagai ruang yang berbeda-beda, sedangkan dalam sinergisme fungsional kelembagaan dapat melibatkan berbagai ruang yang berbeda maupun ruang yang sama namun berbagai fungsi/kegiatan yang bervariasi. Sinergisme fungsional kelembagaan dalam ruang yang sama harus diusahakan dalam rangka optimasi hasil pembangunan. Upaya untuk menghindarkan adanya konflik kepentingan overlapping kegiatan maupun antar institusi yang menangani program pembangunan yang sama atau yang berkaitan harus bekerjasama sehingga kedua hal tersebut dapat dihindarkan. Pengalaman berbagai negara menunjukkan adanya ineficiency yang berakibat pada pemborosan sumberdaya (waktu, tenaga, dan biaya) dan keterlantaran obyek pembangunan akibat tidak adanya sinergisme fungsional kelembagaan dalam suatu wilayah pembangunan (Drakakis-Smith, 1980 dalam Yunus, 2005). Dalam upaya pengelolaan lingkungan di suatu DAS apakah menjadi tanggung jawab Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertambangan, atau dinas lainnya? Kejelasan kewenangan membawa konsekuensi finansial yang harus dikeluarkan dalam penanganan program pembangunan untuk pengelolaan lingkungan. Saling lempar tanggung jawab akan mengakibatkan keterlantaran atau tidak tertanganinya masalah yang seharusnya mendapat perhatian (Yunus, 2005). Sinergisme fungsional kelembagaan antar institusi dalam ruang/wilayah/daerah yang sama dalam pengelolaan suatu DAS perlu diatur untuk menentukan tugas dan wewenang, sehingga penanganan program pembangunan dapat dilaksanakan dengan baik. Walaupun dalam beberapa hal terkendala dengan alokasi dana, tenaga, dan waktu, namun apabila job descriptions telah jelas terumuskan, maka semua tindakan yang dilakukan oleh institusi yang berbeda akan bersifat komplementer dengan tujuan akhir yang sama. Sama halnya dengan data sinergisme spasial kelembagaan, maka data sinergisme fungsional kelembagaan ini juga dapat diperoleh dengan cara wawancara terstruktur dengan panduan kuesioner atau wawancara mendalam kepada informan misal petugas dari instansi yang berkaitan dengan pengelolaan DAS dengan teknik sampling. Adapun cara pengukuran, besaran, kategori, dan skor untuk variabel ini disajikan pada Lampiran 7.
37
BAB III PELAKSANAAN
A. Tahap Persiapan Sebelum pelaksanaan penyusunan Karakteristik DAS, terlebih dahulu perlu dilakukan persiapan yang meliputi penyiapan bahan-peralatan, sumberdaya manusia serta pembentukan Tim Penyusun Karakteristik DAS. 1. Pembentukan Tim Pelaksana Untuk melaksanakan penyusunan Karakteristik DAS, maka BPDAS membentuk Tim yang disesuaikan dengan kondisi di daerah antara lain: a. Tim Pemetaan/GIS. Tim ini bertanggung-jawab dalam pekerjaan kartografi dan proses analisis peta-peta digital. Disamping itu Tim juga melakukan pelaksanaan ground-check hasil pemetaan tersebut; b. Tim Survey. Tim ini bertanggung jawab dalam proses pengumpulan dan pengolahan data sekunder (kondisi umum Biofisik dan Sosial Ekonomi DAS). c. Tim Penyusun Naskah Karakteristik DAS. Tim ini bertugas menyusun naskah Buku I, II dan III. Untuk memberi kejelasan mengenai tugas dan tanggung jawab para pelaksana dalam identifikasi karakteristik DAS, pembentukan Tim Pelaksana ditetapkan dalam surat Keputusan Kepala Balai Pengelolaan DAS. 2. Administrasi Dalam pelaksanaan survey lapangan perlu disiapkan surat-surat ijin dan permohonan data/informasi kepada instansi-instansi terkait untuk pengumpulan data. Disamping itu untuk memperlancar pelaksanaan ground check di lapangan perlu disiapkan pula surat ijin kepada instansi terkait di daerah.
B. Tahap Kegiatan 1. Pengadaan Bahan a. Alat tulis dan alat gambar b. peralatan survey sampel air, bor tanah, kompas, termometer, pengukur debit, dll c. Peta meliputi: : Peta topografi atau Peta Rupabumi Indonesia Peta tanah Peta geologi Peta iklim
Peta penggunaan lahan Peta penutupan lahan Peta lereng Peta tingkat bahaya erosi Peta pola aliran DAS/sub DAS
38
2 Pembuatan Borang/Blangko Isian a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Morfometri DAS Morfologi Penutupan lahan DAS Penggunaan lahan Debit sungai Data erosi DAS Iklim dari stasiun meteorologidalam DAS Data penduduk Data sarana/prasaran dan social ekonomi penduduk
C. Tahap Pelaksanaan Untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan dilakukan dengan: 1. Deliniasi batas DAS dan penggambaran peta dasar DAS 2. Pengumpulan data sekunder, meliputi: peta-peta (hutan,pola aliran, topografi, tingkat bahaya erosi, iklim, lereng, tanah, goelogi, penggunaan lahan, penutupan lahan), data statistic, data DAS (morfometri, morfologi, erosi, debit, lereng, panjang sungai, dll. Tabel isian terlampir pada Format 3). 3. Penggunaan
data
primer/survey
lapangan,
meliputi
pengamatan
dan
pengukuran kondisi DAS, lereng , penggunaan lahan, proses geomorfik dalam DAS. a. Penentuan DAS dan Skala Pemetaan Setiap
DAS
yang
ada
di
wilayah
Indonesia
harus
dikaji
karakteristiknya, namun mengingat jumlah DAS yang sangat banyak maka jumlah DAS yang dikaji tersebut disesuaikan dengan kemampuan dan
anggaran
yang
tersedia
pada
masing-masing
BPDAS.
Untuk
menentukan urutan DAS tersebut dapat menggunakan urutan DAS Prioritas yang telah ditetapkan. Setelah
ditentukan
DAS
yag
akan
dikaji
karakteristiknya,
langkah selanjutnya adalah menentukan skala pemetaan yang akan digunakan dalan kajian karakteristik DAS tersebut. Skala pemetaan mempunyai peranan sangat penting karena mnyangkut pada keteilitan data dan informasi yang akan dihasilkan. Skala peemetaan ditentukan berdasarkan
luas
DAS
masing-masing
mengikuti
keentuan
sebagai
berikut:
39
Tabel Skala Pemetaan untuk Karakteristik DAS
No
Luas DAS (Ha)
1
1.500.000 ke atas
2
500.000 - < 1.500.000
3
100.000 - < 500.000
4
5
10.000 - < 100.000
Kurang dari 10.000
Klasifikasi DAS
Keterangan
DAS Sangat Lintas Provinsi Besar Lintas Kabupaten Dalam Kabupaten DAS Besar Lintas Provinsi Lintas Kabupaten Dalam Kabupaten DAS Sedang Lintas Provinsi Lintas Kabupaten Dalam Kabupaten Dalam Kota DAS Kecil Lintas Provinsi Lintas Kabupaten Dalam Kabupaten Dalam Kota DAS Sangat Lintas Provinsi Kecil Lintas Kabupaten Dalam Kabupaten Dalam Kota
Skala Peta 1 : 250.000 1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 250.000 1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 100.000 1 : 100.000 1 : 50.000 1 : 25.000 1 : 50.000 1 : 50.000 1 : 25.000 1 : 10.000 1 : 10.000 1 : 10.000 1 : 10.000 1 : 10.000
Sumber :Ditjen BPDASPS dan PP 15/2010
b. Pengumpulan Data Sekunder (Instansional) Data ini diperoleh melalui kegiatan survei instansionaal pada dinas/instansi terkait guna mendaatkan data-data atau hasil publikasi yang terkait dengan variabel-variabel karakteristik DAS Data yang dikumpulkan meliputi data-data yang bersifat fisik dan data sosial ekonomi.
c. Pengumpulan Data Primer (Survei Lapangan) Data ini diperoleh melalui pengukuran parameter langsung di lapangan ataupun wawancara dengan responden, dimana jumlah sampel pengukuran dan respondennya ditentukan secara acak berlapis (stratified random sampling procedure ).Data yang dikumpulkan meliputi data-data yang bersifat fisik dan data sosial ekonomi. d. Tahap Pengolahan dan Analisis Data 1) Penetapan Kriteria Penetapan kriteria tentang: Kondisi fisik morfometri/morfologi Pola aliran dan tingkat percabangan sungai 40
Fluktuasi debit sungai dan curah hujan Tingkat erosi sedimentasi Penggunaan lahan dalam DAS Tingkat sosial ekonomi penduduk Tingkat kelembagaan DAS
2) Pengolahan Data (Pemetaan) Pemetaan data fisik DAS (pola aliran, tanah, lereng, geologi, iklim) Pemetaan penggunaan lahan DAS Pemetaan data sosial ekonomi DAS Pengolahan data mutu hidup
3) Analisis Data (Kuantitatif dan Deskriptif) Analisis kuantitatif kondisi fisik DAS Analisis deskriptif kuantitatif pemamfaatan lahan DAS Analisis data sosial ekonomi DAS Analisis data kelembagaan DAS
4) Penggambaran Peta (Reproduksi) Digitasi peta analog ke digital (apabila tersedia peralatan GIS) Anotasi peta dan cetak peta berwarna
D. Tahap Penyusunan Laporan 1. Laporan dan Pembahasan I (Lingkup Kementerian Kehutanan di Daerah) Laporan Pendahuluan Kajian Karakteristik DAS dipresentasikan oleh Tim Penyusun di depan forum yang diikuti oleh dinas/instansi yang berada dalam lingkup Kementerian Kehutanan di daerah. Pembahasan pada laporan Pendahuluan ini dititikberatkan pada metode penyusunan karakteristik DAS yang telah disusun oleh Tim Penyusun.
2. Laporan dan Pembahasan II (Melibatkan Instansi Terkait di Daerah) Laporan Kemajuan Kajian Karakteristik DAS dipresentasikan oleh Tim Penyusun di depan forum yang diikuti oleh dinas/instansi yang berada dalam lingkup Kementerian Kehutanan di daerah dan melibatkan dinas/instansi terkait di daerah. Pembahasan pada Laporan Kemajuan ini dititikberatkan pada hasil pemetaan karakteristik DAS dan hasil survei lapangan yang telah disusun oleh Tim Penyusun.
3. Laporan Akhir Laporan Akhir Kajian Karakteristik DAS dipresentasikan oleh Tim Penyusun di depan forum yang diikuti oleh dinas/instansi yang berada dalam lingkup Kementerian Kehutanan di daerah, dinas/instansi terkait di daerah, dan Direktorat Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan DAS. Pembahasan pada Laporan Akhir ini dititikberatkan pada hasil analisis terhadap pemetaan
41
karakteristik DAS dan hasil survei lapangan yang telah disusun oleh Tim Penyusun. 4. Penggandaan, Penjilidan, dan Pengiriman Laporan Setelah laporan akhir diperbaiki sesuai dengan saran-saran dan tanggapan pada saat presentasi akhir, maka laporan digandakan dan dijilid untuk kemudian dibagiakan pada dinas/instansi yang terkait dengan kegiatan pengelolaan DAS, baik yang berada pada lingkup Kementerian Kehutanan maupun dinas/instansi terkait lainnya.
42
BAB IV HASIL IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK DAS Karakteristik DAS berikut : A. Judul Buku :
disajikan dalam bentuk buku dengan ketentuan sebagai
KEMENTERIAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI ...................
KAJIAN KARAKTERISTIK Sub DAS / DAS / Wilayah DAS : ............
BUKU I (BUKU UTAMA)
............................
B. Penyajian Disajikan dalam tiga (3) Buku yang terpisah, yang terdiri dari : (a) Buku I : Buku Utama Buku ini memuat uraian kegiatan penyusunan Karakteristik DAS dalam suatu wilayah DAS. Disamping itu buku ini supaya dilengkapi Peta Situasi sebagai petunjuk lokasi. (b) Buku II : Lampiran Data Buku ini memuat rumus-rumus/ pendekatan yang digunakan dengan data pendukungnya yang mendasari dalam penyusunan Karakteristik DAS. (c) Buku III : Lampiran Peta Buku ini memuat peta-peta yang dipergunakan/menjadi dasar untuk menyusun Karakteristik DAS.
C. Kerangka (outline) Buku I 1. Kerangka (outline) Buku I adalah sebagai berikut : Kata Pengantar Pendahuluan I. Pendekatan dan Metodologi II. III.
Hasil Identifikasi A. Karakteristik Biogeofisik
IV.
B. Karakteristik Sosial, Ekonomi, Budaya dan Kelembagaan Pembahasan
V. Kesimpulan
43
2. Sampul buku berupa kertas manila berwarna kuning dengan huruf dicetak. 3. Isi buku I diketik/dicetak dengan baik dengan persyaratan sebagai berikut: -
Kertas HVS ukuran kuarto Jarak ketik 2 spasi Setiap Bab diketik pada halaman baru Jarak ketikan dari ujung kertas : + sebelah kiri : 5 Cm + sebelah atas : 4 Cm + sebelah kanan : 2 Cm + sebelah bawah : 2,5 Cm 4. Buku I dan buku II mempunyai daftar isi masing-masing 5. Naskah rencana ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kalimat supaya tidak terlalu panjang, jelas dan mudah dimengerti, dan bilamana perlu dilengkapi dengan tabel, histogram dan sebagainya. 6. Penyajian data/peta supaya mencantumkan sumbernya dan tahunnya secara jelas sesuai aturan yang berlaku.
C. Jenis-jenis peta yang harus dihimpun dalam buku III adalah sebagai berikut: Peta Peta Peta Peta Peta Peta Peta Peta Peta Peta Peta Peta Peta Peta Peta Peta Peta Peta Peta
Curah Hujan Intensitas Hujan Geologi Geomorfologi Erositivitas Hujan (R) Erodibilitas Tanah (K) (mencakup jeluk tanah) Kelas Kemiringan Indeks Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) Penggunaan Lahan (mencakup nilai CP) Unit Lahan Bahaya Erosi (BE) Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Arahan Penggunaan Lahan Kemampuan Lahan Sosial Ekonomi Administrasi Arahan Penggunaan Lahan kawasan hutan lain yang dianggap perlu
44
Format 1. Klasifikasi Bentuk Lahan (Kucera, 1998) Sistem Subsistem Facet Singkatan Alluvial (A) Alluvio-marine Swamp A.1.w (A.1) Marsh A.1.m Lowland plain A.1.p Delia complex A.1.d Sand bars A.1.s River valley (narrow) River plain (blackswamp) Meander seroll complex River terrace River levee Former river channel Ox-bow lake Alluvial fan Colluvial fan Footslope/sereesl ope Alluvio/colluvial fan Inter-hill plain
Beaches (B.1)
Dunes and Lido (B.2)
Plain (P)
Peneplain Pediplain Old marine plain Oldperehed ternee plain
Narrow depressions Broad basia Swamp or marsh Lacustrine plain (recent) Lacustrine plain (ancient) Sand beach Mud beach Shingle beach Cove Mud flat Shifting sand Flat sandy deposits Lido Beach ridges Tombolo
A.2.v A.2.p A.2.m A.2.t A.2.l A.2.c A.2.o A.2.f A.3.f A.3.s A.3.a A.3.i
A.4.d A.4.b A.4.w A.4.l A.4.p B.1.s B.1.m B.1.h B.1.c B.1.f B.2.s B.2.f B.2.l B.2.r B.2.t p.1 p.2 p.3 p.4
45
Sistem Hills (H)
Mountain and Plateu
Subsistem Facet Hill pattern (H Isolated hillock .1) Undulating hillock Rolling hillock Foothills and spurs Interhill plan Rounded hill or knob Hill
Singkatan H.1.i H.1.u H.1.r H.1.f H.1.p H.1.r H.1.h
Plateu and high plain (M.1) Mountain (M.2)
Volcanic (V) Crater (V.1) Volcano upper (V.2) Volcano lower (V.3) Lava flows (V.4)
Recent lava flow Ancient lava flow
V.4.r V.4.a
Limestone Lahar flows (V.5) Voleanic plains (V.6) Limestone plains (L.1) Limestone plateau (L.2) Limestone hills (L.3) Limestone mountains (L.4)
46
Format 2. Klasifikasi Tanah No Jenis Tanah Karakteristik 1 Tanah Organosol Tanah ini terjadi akibat pelapukan bahan-bahan organik. Tanah ini biasanya bersifat subur. (a)Tanah Gambut merupakan tanah hasil pembusukan yag tidak sempurna dari di daerah yang kadang-kadang tergenang oleh air (rawa). (b) Tanah Humus merupakan tanah hasil pembusukan bahan-bahan organik yang mempunyai sifat sangat subur. 2 Tanah Vulkanik Tanah ini terjadi akibat pelapukan abu vulkanik dari gunung berapi. (a) Regosol merupakan tanah dengan ciri ciri : berbutir kasar, berwarna kelabu sampai kuning dan sedikit berbahan organik. (b) Latosol merupakan tanah dengan ciri-ciri mempunyai warna merah hingga kuning. Kandungan bahan organiknya sedang. 3 Tanah Aluvium merupakan tanah yang diendapkan dari hasil erosi di dataran rendah. Jenis tanah ini mempunyai ciri-ciri berwarna kelabu dan subur. 4 Tanah Podzol Tanah ini terbentuk akibat curah hujan yang tinggi dan suhunya yang rendah. Tanah ini mempunyai ciri-ciri yaitu miskin akan unsur hara, tidak subur dan berwarna merah sampai kuning. 5 Tanah Laterit merupakan tanah hasil cucian, kurang subur karena kehilangan unsur hara dan tandus. Awalnya tanah ini subur, namun karena unsur haranya dilarutkan oleh air maka menjadi tidak subur. Warna tanah ini kekuningan sampai merah. 6 Tanah Litosol adalah hasil pelapukan batuan beku dan batuan sedimen yang baru terbentuk sehingga mempunyai butiran yang besar. Ciri-ciri tanah jenis ini adalah miskin akan unsur hara dan mineralnya masih terikat pada butiran yang besarbesar. Tanah litosol kurang subur. 7 Tanah Kapur merupakan jenis tanah akbiat dari pelapukan batuan kapur. (a) Renzina merupakan tanah hasli pelapukan batuan kapur di daerah dengan curah hujan tinggi. Tanah ini mempunyai ciriciri berwarna hitam dan miskin akan unsur hara. (b) Mediteran merupakan tanah dari hasil pelapukan batuan kapur keras dan bauan sedimen. Warna tanah ini kemerahan hingga coklat.
47
8
Tanah pasir
merupakan tanah yang bersifat kurang baik bagi pertanian yang terbentuk dari batuan beku dan batuan sedimen dengan butiran sangat kasar dan berkerikil. Jenis tanah ini banyak di jumpai dimana-mana.
Format 3. Data-Data Karakteristik DAS Tabel Data Hujan Stasiun Hujan Nama
Hujan Harian
Lokasi Y Z
X
CH (mm)
Waktu (Jam)
Hujan Bulanan CH Waktu (mm) (Hari)
Hujan Tahunan CH Waktu (mm) (Hari)
Tabel Data Geologi Formasi
Struktur
Jenis Batuan
Luas (Ha)
Persentasi Luas (%)
Tabel Data Geomorfologi Sistem
Bentuklahan
Luas (Ha)
Persentasi Luas (%)
Tabel Data Topografi Topografi
Luas (Ha)
Persentasi Luas (%)
Tabel Data Kemiringan Lereng Kemiringan Lereng
Kelas
Luas (Ha)
Persentasi Luas (%)
48
Tabel Data Bentuk Lereng Bentuk Lereng
Luas (Ha)
Persentasi Luas (%)
Tabel Data Tanah Jenis Tanah
Tekstur
Kedalaman
Luas (Ha)
Persentasi Luas (%)
Tabel Data Pewilayahan DAS Pewilayahan
Luas (Ha)
Persentasi Luas (%)
Hulu Tengah Hilir Tabel Data Luas DAS/Sub-DAS DAS
Sub-DAS
Luas (Ha)
Persentasi Luas (%)
Panjang (m)
Persentasi Panjang (%)
Luas (Ha)
Persentasi Luas (%)
Tabel Data Jaringan Sungai DAS/SubDAS
Orde
Tabel Data Kerapatan Aliran DAS/SubDAS
Kerapatan Aliran
49
Tabel Data Limpasan Permukaan DAS/Sub-DAS
Kelas Limpasan Permukaan
Luas (Ha)
Persentasi Luas (%)
Tabel Data Erosi DAS/Sub-DAS
Kelas Erosi
Luas (Ha)
Persentasi Luas (%)
Luas (Ha)
Persentasi Luas (%)
Tabel Data Daya Dukung Lahan DAS DAS/Sub-DAS
Kelas Kemampuan Lahan
Format 4. Tingkat Kerentanan DAS Berdasarkan Karakteristik Sosial Kependudukan DAS Kecamatan :………………………. Kabupaten/Kota :………………………. No Variabel 1 Kepadatan penduduk geografis 2
3
Kepadatan penduduk agraris Persentase rumah tangga tani
Ukuran Besaran Kategori Skor …………..Jiwa/Km2 < 250 Jiwa/Km2 Rendah 1 250 – 400 Sedang 3 Jiwa/Km2 Tinggi 5 > 400 Jiwa/Km2 ……………Jiwa/Km2
…………………….%
< 10 % 10% – 20 % > 20 %
Rendah Sedang Tinggi
1 3 5
50
Format 5. Tingkat Kerentanan DAS Berdasarkan Karakteristik Sosial Budaya DAS Kecamatan :………………………. No
1.
2.
3.
Variabel Persenta se pendudu k putus sekolah SD Persenta se pendudu k putus sekolah SLTP Kearifan /nilainilai lokal dalam konserva si
Ukuran ..................%
Besaran <10% 10% - 20% >20%
Kategori Rendah Sedang Tinggi
Skor 1 3 5
..................%
<5% 5% - 10% >10%
Rendah Sedang Tinggi
1 3 5
1. Ada dan dilaksana kan dengan baik 2. Ada tapi belum dilaksana kan dengan baik 3. Tidak ada
Rendah
1
Sedang
3
Tinggi
5
Kabupaten/Kota:……………………….
Format 6. Tingkat Kerentanan DAS Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi DAS Kecamatan :………………………. Kabupaten/Kota :………………………. No
Variabel Persentase penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani Persentase rumah tangga pra sejahtera dan sejahtera I
Ukuran Besaran % < 10 % 10% - 20% > 20%
…………… < 10% ………..% 10% - 20% > 20%
Kategori Rendah Sedang Tinggi
Skor
Rendah
1
Sedang Tinggi
3 5
51