Hipertensi Pulmonal Definisi Hipertensi pulmonal (PH) adalah suatu kondisi tekanan arteri pulmonalis > 25 mmHg saat beristirahat dan > 30 mmHg saat beraktivitas, apapun sebabnya. Hipertensi arteri pulmonal adalah suatu kondisi tekanan arteri pulmonalis > 25 mmHg saat beristirahat dan tekanan kapiler < 15 mmHg. Sedangkan hipertensi vena pulmonal adalah suatu kondisi tekanan arteri pulmonalis > 25 mmHg saat beristirahat dan tekanan kapiler > 15 mmHg.Hipertensi pulmonal primer tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi pulmonal sekunder diketahui penyebabnya seperti penyakit jantung bawaan sianotik maupun asianotik.Hipertensi pulmonal sekunder juga dapat disebabkan oleh penyakit paru maupun tromboemboli (Pena E et al., 2012; Barbosa EJ et al., 2012; Grosse C et al., 2010). Klasifikasi Klasifikasi klinis hipertensi pulmonal (PH) telah diperbarui pada Fourth World Symposium on Pulmonary Hypertention di, California pada tahun 2008. Karena interaksi kompleks antara jantung kanan, paru-paru, dan jantung kiri sebagai unit fungsional kardiorespirasi, diagnosis klinis dan klasifikasi menurut WHO menjadi penting. Dari sudut pandang diagnostik, perbedaan hemodinamik antara hipertensi pulmonal prekapiler (rata-rata tekanan arteri pulmonalis>25 mmHg, tekanan kapiler paru ≤ 15 mm Hg) dan hipertensi pulmonal postkapiler (tekanan arteri pulmonalis>25mm Hg, tekanan kapiler paru >15mm Hg) mungkin lebih praktis, terutama untuk penggunaan klinis. Hipertensi pulmonal prekapiler termasuk hipertensi arteri pulmonalis (WHO grup 1). Hipertensi pulmonal lainnya adalah hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan penyakit jantung (WHO grup 2), hipertensi pulmonal karena penyakit parenkim paru (WHO grup 3), hipertensi pulmonal tromboembolik kronis (WHO grup 4), dan lain-lain penyebab (WHO grup 5). Postkapiler hipertensi pulmonal termasuk hipertensi vena pulmonalis yang berhubungan dengan penyakit jantung kiri (WHO grup 2). (Pena
E et al., 2012; Barbosa EJ et al., 2012; Grosse C et al., 2010; Nauser TD et al., 2001). Patofisiologi PH Patofisiologi hipertensi pulmonal disebabkan peningkatan aliran darah yang melalui arteri pulmonalis atau peningkatan resistensi arteri pulmonalis. Patofisiologi yang paling dipahami adalah hipertensi pulmonal yang terjadi karena PJB yang menyebabkan pirau dari kiri ke kanan, seperti VSD, AVSD atau PDA. Hipertensi pulmonal juga dapat terjadi pada penderita ASD, namun dalam waktu lebih lama. Peningkatan volume darah yang menuju ke arteri pulmonalis menyebabkan perubahan pada dinding arteri pulmonalis. Di samping akibat peningkatan aliran darah, juga terjadinya kompensasi vasokonstriksi arteri pulmonalis. Hipertensi pulmonal hiperkinetik pada PJB merupakan respon kompensasi akibat peningkatan aliran darah dari kiri ke kanan dan biasanya reversibel jika penyebabnya dikoreksi sebelum terjadi perubahan permanen pada arteri pulmonalis (Rhasid et al., 2005). Peningkatan tekanan dalam pengisisan ventrikel kiri dan atrium kiri menyebabkan kenaikan pasif dalam tekanan balik dari vena pulmonalis (Gambar 2). Tekanan vena pulmonal yang terus menerus tinggi dapat dapat menyebabkan "alveolar-capillary stress failure" disertai dengan kebocoran kapiler dan edema alveolar akut. Fase akut ini reversibel, tetapi tekanan vena pulmonal yang tinggi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan remodeling yang ireversibel pada alveolar capillary, dengan deposisi berlebihan kolagen tipe IV. Selain itu, peningkatan tekanan vena pulmonal yang kronis progresif akan meningkatkan tekanan arteri pulmonal dan secara bersamaan menghasilkan perubahan patologis di vena pulmonalis dan arteri pulmonal, yang menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah paru. Patofisiologi PH yang melibatkan perubahan struktural progresif dari pembuluh darah paru dimediasi oleh vasokonstriktor, endotelin-1. Peningkatan vasokonstriksi arteri pulmonan dan tekanan arteri pulmonal sistolik menyebabkan dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan. Kegagalan ventrikel kanan
dikaitkan dengan pelebaran annulus trikuspid dan peningkatan keparahan trikuspid regurgitasi, yang selanjutnya menyebabkan disfungsi ventrikel kanan. Pada fase dekompensasi, tekanan arteri pulmonal sistolik dapat berkurang meskipun terdapat peningkatan resistensi pembuluh darah paru, karena penurunan stroke volume ventrikel kanan terkait dengan kegagalan ventrikel kanan. (Magne et al, 2015).
Gambar 2. Mekanisme terjadinya hipertensi pulmonal pada penyakit jantung bawaan (Magne et al, 2015).
Lesi pada arteri pulmonalis dimulai dari hipertrofi tunika media, kemudian diikuti tunika intima dan fibrosis. Proses selanjutnya menyebabkan dilatasi arteri, pembentukan nekrosis fibrinoid dan lesi fleksiform yang menyebabkan perkembangan penyakit menuju sindrom Eisenmenger. Peningkatan aliran darah menyebabkan peningkatan tekanan pada arteri pulmonalis. Sebagai respon terhadap peningkatan afterload, ventrikel kanan mengalami hipertrofi. Pada awalnya ventrikel kanan dapat menjaga aliran darah yang cukup selama keadaan istirahat, namun ventrikel kanan tidak mampu meningkatkan cardiac output (CO) saat beraktivitas. Dengan berkembangnya hipertensi pulmonal maka ventrikel kanan gagal untuk mempertahankan CO dan pada akhirnya CO akan menurun dan terjadi kegagalan jantung kanan. Perubahan gambaran histopatologi pembuluh darah yang terjadi pada hipertensi pulmonal sekunder akibat penyakit jantung kongenital, juga terjadi pada hipertensi pulmonal primer(Hartawan NB et al., 2008; Barst RJ et al., 1999; Farber HW et al., 2004). Pada hipertensi vena pulmonalis terjadi peningkatan tekanan pada vena pulmonalis mengakibatkan refleks vasokonstriksi pada arteri pulmonalis dan selanjutnya menimbulkan hipertensi arteri pulmonalis. Hipoksia alveolar yang terjadi akibat udem pulmonal juga berkontribusi terhadap terjadinya hipertensi pulmonal. Walaupun arteri pulmonalis menunjukkan hipertrofi tunika media berat yang disertai fibrosis, proses primer sebenarnya terjadi pada vena pulmonalis berupa penebalan tunika media (Hartawan NB et al., 2008; Barst RJ et al., 1999; Park MK., 2002).
Circulatin Endothelial Cell Definisi Circulating endothelial cell (CEC) merupakan sel yang terlepas atau terpisah dari jaringan endotel pembuluh darah dan beredar dalam aliran darah perifer. Indentifikasi CEC diketahui dengan identifikasi fenotip CD146+ve,
CD45-ve, CD14-ve dan CD133-ve. Namun, karena fenotip CD146+ve dapat ditemukan pada sel trophoblast, mesencymal stem cells, periodontal dan sel-sel keganasan maka perlu adanya metode identifikasi kedua yaitu pewarnaan dengan Ulex europaus lectin-1 (UEA-1) (Goon PKY et al., 2006).
CEC jarang ditemukan pada individu sehat, normalnya <3 sell/ml. Peningkatan jumlah CEC menandai adanya proses penyakit yang sedang terjadi (Boos CJ et al., 2007).
CEC sebagai Marker Hipertensi Pulmonal Peran CEC dalam patofisiologi PH belum jelas diketahui namun dengan adanya kerusakan endotel dalam perjalanan penyakit PH dapat menyebabkan lepasnya endotel sehingga CEC dapat sebagai salah satu marker. PH ireversibel sulit untuk diprediksi berdasarkan pengujian sebelum operasi, memiliki komplikasi jangka panjang yang merugikan dan belum ada satu pun kriteria gejala klinis dan hemodinamik yang bisa mengidentifikasi pasien PAH reversibel atau PAH ireversibel dengan jelassehingga diharapkan CEC dapat digunakan sebagai marker non-invasif dalam diagnosis PH (Goon PKY et al., 2006; Smadja DM et al., 2009). Kadar CEC yang beredar di darah perifer sama dengan kadar CEC yang beredar pusat (arteri pulmonalis atau vena pulmonalis). Jumlah CEC berkorelasi dengan tekanan arteri pulmonalis (PAP) pada pasien dewasa dengan berbagai penyebab yang berbeda dari PAH. Hal tersebut menandakan bahwa peningkatan PAP akan menambah stress pada dinding pembuluh darah (circumferential wall tension dan pulsatile stretch) yang mengakselerasi terjadinya pelepasan endotel dari dinding pembuluh darah sehingga terdapat peningkatan jumlah CEC yang
beredar dalam sirkulasi pembuluh darah. Selain itu, besarnya volume aliran pada kelainan jantung kogenital juga berkorelasi dengan PAP dan jumlah CEC(Smadja DM et al., 2009; Li X et al., 2015).. Pada penelitian sebelumnya diketahui, kadar CEC yang tinggi (hingga 10 kali lipat dari nilai normal) dapat menggambarkan proses remodelling yang tinggi pada sel endotel pulmoner, karena peningkatan CEC yang tinggi ditemukan pada anak-anak dengan PAH ireversibel sekunder penyakit jantung bawaan, yang dikaitkan dengan kerusakan endotel besar, dibandingkan dengan subyek kontrol dan pasien dengan PAH reversible (Smadja DM et al., 2009).
Deteksi PH dengan menggunakan CEC sebagai marker dapat juga disertai dengan pemeriksaan marker lain seperti Endothelin-1 (ET-1). ET-1 merupakan peptida vasokontriksi endogen yang kuat yang mungkin berpengaruh dalam remodeling pembuluh darah dan jaringan dan mengambarkan status fungsional dari pembuluh darah. Fibroblast adventisia pembuluh darah mensintesis dan mengeluarkan ET-1 akibat respon dari angiotensin II (ANG II) dan Transforming Growth Factor-β (TGF-β), sehingga menyebabkan matrik ekstraseluler untuk berkontraksi dan memperparah PAH(Li X et al., 2015). Dalam penelitian diketahui bahwa jumlah ET-1 berkorelasi dengan PAP, jumlah CEC dan besarnya volume darah yang melewati shunt. ET-1 meningkatkan produksi 1,2-diacylglycerol, yang merupakan pengaktivasi protein kinase C (PKC) di endotel pembuluh darah. Vasokontriksi melalui aktivasi PKC lebih jauh akan menyebabkan terjadinya apoptosis sel endotel sehingga jumlah CEC yang beredar dalam pembuluh darah akan meningkat (Li X et al., 2015).
Barbosa EJ, Gupta NK, Torigian DA, Gefter WB (2012). Current Role of Imaging in the Diagnosis and Management of Pulmonary Hypertension.AJR, 198: 1320-31. Barst RJ. Recent advances in the treatment of pediatric pulmonary artery hypertension. Dalam: Berger S, Davis C, penyunting. The pediatrics clinics. Edisi ke-2. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1999. h. 33146.Cabral JEB, Belik J. 2013. Persistent pulmonary hypertension of the newborn: recent advances in pathophysiology and treatment. J Pediatr (Rio J). 2013;89(3):226-242. Farber HW, Loscalzo J. Pulmonary arterial hypertension. N Engl J Med 2004;351:1655-65. Goon PKY, Lip GYH, Boos CJ, Stonelake PS, Blan AD (2006). Circulating endothelial cells, endothelial progenitor cells, and endothelial microparticles in cancer. Neoplasia, 8(2): 79-88.
Grosse C, Grosse A (2010). CT Finding in Disease Associated with Pulmonary Hypertension: A Current Review. RadioGraphics, 30:1753-77.Hartawan NB, Winaya BA (2008). Hartawan NB, Winaya BA. Hipertensi Pulmonal pada Anak. Maj Kedokt Indon. 2008;58(3):86-93. Li X, Qiu J, Pan M, Zheng D, Su M, Wei M, et al. (2015). Correlation between cogenital hearth disease complicated with pulmonary artery hypertension and circulating endothelial cells as well as endothelin-1. Int J Clin Exp Pathol, 8(9): 10743-10751. Magne J, Pibarot P, Sengupta PP, Donal E, Rosenhek R, Lancellotti P(2015). Pulmonary Hypertension in Valvular Disease. Jacc: Cardiovascular Imaging, Vol 8 No I, 15: 83-99. Nauser TD, Stites SW (2001). Diagnosis and treatment of pulmonary Hypertension.American Family Physician, 63(9):1789-98. Park MK, Troxler RG (2002). Pediatric cardiology for practitioners.Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby, h. 417-26. Pena E,Dennie C, Veinot J, Muniz SH (2012). Pulmonary Hypertention: How Radiologist Can Help. Radiographics, 32(4):9-32. Rhasid A, Ivy D. Severe pediatrics pulmonary hypertension: a new management strategies. Arch Dis Child 2005;90:92-8.
Smadja DM, Gausseum P, Mauge L, Israel-biet D, Dignat-George F, Peyrard S etal. (2009). Circulating endothelial cells: a new candidate biomarker of irreversible pulmonary hypertension secondary to cogenital hearth disease. Circulation, 119: 374-381).