PAPER
RFLP
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Penanda Genetika
Dosen Pengampu : Dr. Djong Hon Tjong, M.Si
Oleh :
Nanda Akbaril (1410421025)
Rahayu Pertiwi (1410422005)
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2017
RFLP
(Restriction Fragment Length Polymorphism)
Pengertian RFLP
Meskipun gen dalam keadaan normal bersifat stabil, akan tetapi dalam menghadapi perubahan lingkungan, gen dapat bersifat sensitif atau rentan sehingga dapat menimbulkan mutasi pada urutan basa nukleotidanya. Apabila sistem proffreading dari DNA untuk memperbaiki diri tidak berjalan dengan baik, maka hal ini akan berakibat pembacaan yang keliru dari cetakan DNA pada saat replikasi maupun sintesis protein. Protein yang dihasilkan menjadi berubah fungsi atau menjadi protein yang tidak berfungsi yang akan didegradasi oleh sistem di dalam sel itu (Fatchiyah, Arumingtyas, Widyarti dan Rahayu, 2011).
Marka molekuler RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) merupakan marka molekuler yang menggunakan enzim restriksi dalam mengidentifikasi sekuensi-sekuensi DNA. Analisis RFLP yang merupakan marker kodominan telah banyak digunakan untuk mencapai berbagai tujuan. Mengingat situs restriksi mempunyai sekuensi DNA tertentu, berarti variasi keberadaan situs restriksi mencerminkan adanya variasi sekuensi DNA. Dengan kata lain, RFLP dapat berfungsi sebagai penduga variasi DNA. Variasi dideteksi dalam bentuk pemotongan rangkaian panjang polimorfik (ganda) yang mana waktu penilaian dari rangkaian variasi memungkinkan dari data fragmen itu sendiri, rangkaian variasi yang panjang dalam suatu bagian dapat dinilai dari subtitusi nukleotida (Fatchiyah dkk, 2011).
Analisis restriction fragment length polymorphism (RFLP) adalah salah satu teknik pertama yang secara luas digunakan untuk mendeteksi variasi pada tingkat sekuens DNA. Deteksi RFLP didasarkan pada adanya kemungkinan untuk membandingkan profil pita-pita yang dihasilkan setelah dilakukan pemotongan oleh enzim restriksi terhadap DNA target atau individu yang berbeda. Berbagai mutasi yang terjadi pada suatu organisme mempengaruhi molekul DNA dengan berbagai cara serta menghasilkan fragmen-fragmen dengan panjang yang berbeda-beda. Perbedaan panjang fragmen ini dapat dilihat setelah dilakukan elektroforesis pada gel, hibridisasi, dan visualisasi (Fatchiyah dkk, 2011).
RFLP merupakan metode yang mempunyai akurasi yang tinggi dan mudah ditransfer antar laboratorium. Selain itu, RFLP bersifat kodominan sehingga dapat mendeteksi adanya heterozigositas dan tidak diperlukan informasi sekuens target. Karena didasarkan pada homologi sekuens, maka RFLP ini sering direkomendasikan untuk analisis filogenetik antarspesies yang berkerabat. RFLP cocok untuk membuat linkage map yaitu peta untuk mengidentifikasi lokus gen yang spesifik dan mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengidentifikasi perbedaan pada tingkat populasi, spesies, atau individu. RLFP merupakan teknik yang sederhana namun akan lebih sensitif bila menggunakan penanda spesifik untuk menganalisis kesamaan maupun menggunakan variabilitas gen-gen (Fatchiyah dkk, 2011).
Kekurangan RFLP adalah:
Dibutuhkannya DNA dengan kemurnian yang tinggi dalam jumlah banyak;
Tidak mungkin dilakukan otomatisasi
Pada beberapa spesies mempunyai level polimorfisme yang rendah
Sedikit lokus yang terdeteksi
Memerlukan pustaka probe yang sesuai
Membutuhkan waktu yang banyak
Membutuhkan biaya yang besar
Berbagai kelebihan penerapan marker RFLP antara lain :
Menduga hubungan kekerabatan dari beberapa individu yang dianalisis,
Menduga ada tidaknya variasi genetik dari koleksi plama nutfah
Memonitor proses seleksi (melalui linkage) berbagai karakter
Memilah-milah komponen genetik dari karakter kuantitatif
Menganalisis gen yang berasal dari proses transformasi genetik
Bersifat kodominan sehinggan dapat mendeteksi adanya heterozigositas
Memiliki kemampuan memisahkan yang tinggi pada tingkat spesies, populasi.
Aplikasi teknik RFLP biasanya digunakan untuk mendeteksi diversitas genetik, hubungan kekerabatan, sejarah domestifikasi, asal dan evolusi suatu spesies, aliran gen dan seleksi, pemetaan seluruh genom, pengamanan gen-gen target yang akan diekspresikan, mengisolasi gen-gen yang berguna dari spesies liar serta mengkonstruksi pustaka DNA (Fatchiyah dkk, 2011).
Tahapan RFLP
2.1 Isolasi DNA
Isolasi DNA/RNA merupakan langkah awal yang harus dikerjakan dalam rekayasa genetika sebelum melangkah ke proses selanjutnya. Isolasi DNA adalah metode untuk mendapatkan asam deoksiribonukleat dari suatu makhluk hidup. Menurut Wilson dan John (2010), isolasi DNA merupakan kegunaan DNA untuk dianalisa atau dimanipulasi yang harus diisolasi terlebih dahulu dan murni kandungannya. Prinsip dasar isolasi total DNA/RNA dari jaringan adalah dengan memecah dan mengekstraksi jaringan tersebut sehingga akan terbentuk ekstrak sel yang terdiri atas sel-sel jaringan, DNA, dan RNA.
Isolasi DNA memiliki beberapa tahapan, yaitu:
Tahap Pelisisan
Pemecahan sel (lisis) merupakan proses perusakan atau penghancuran membran dan dinding sel dan tahapan dari awal isolasi DNA yang bertujuan untuk mengeluarkan isi sel (Holme dan Hazel, 1998). Tahap penghancuran sel atau jaringan memiliki beberapa cara yakni dengan cara fisik seperti menggerus sampel dengan menggunakan mortar dan pestle dalam nitrogen cair atau dengan menggunakan metode freezing-thawing dan iradiasi (Giacomazzi et al., 2005).
Cara lain yakni dengan menggunakan kimiawi maupun enzimatik. Penghancuran dengan menggunakan kimiawi seperti penggunaan detergen yang dapat melarutkan lipid pada membran sel sehingga terjadi destabilisasi membran sel (Surzycki, 2000). Sementara cara enzimatik seperti menggunakan proteinase K seperti untuk melisiskan membran pada sel darah (Khosravinia et al., 2007) serta mendegradasi protein globular maupun rantai polipeptida dalam komponen sel (Brown, 2010; Surzycki , 2000).
Pada proses lisis dengan menggunakan detergen, sering digunakan sodium dodecyl sulphate (SDS) sebagai tahap pelisisan membran sel. Detergen tersebut selain berperan dalam melisiskan membran sel juga dapat berperan dalam mengurangi aktivitas enzim nuklease yang merupakan enzim pendegradasi DNA (Switzer, 1999). Selain digunakan SDS, detergen yang lain seperti cetyl trimethylammonium bromide (CTAB) juga sering dipakai untuk melisiskan membran sel pada isolasi DNA tumbuhan.
Tahap Sentrifugasi
Prinsip utama sentrifugasi adalah memisahkan substansi berdasarkan berat jenis molekul dengan cara memberikan gaya sentrifugal sehingga substansi yang lebih berat akan berada di dasar, sedangkan substansi yang lebih ringan akan terletak di atas. Teknik sentrifugasi tersebut dilakukan di dalam sebuah mesin yang bernama mesin sentrifugasi dengan kecepatan yang bervariasi. Setelah dilakukan tahap pelisisan, disentrifugasi selama 15 menit, tube dikeluarkan dari centrifuge. Akan terlihat 3 lapisan dari hasil centrifuge. Karena DNA bersifat ringan, maka DNA berada di lapisan paling atas (supernatant). Lapisan kedua berbentuk padatan, berisi material padat hasil lisis sel (debris). Misalnya serpihan dinding sel yang rusak. Supernatant yang terbentuk dibuang (Fatchiyah dkk, 2011).
Tahap Ekstraksi
Tahap ekstraksi bertujuan agar didapat ekstrak nukleus sel. Pada tahapan ekstraksi DNA, seringkali digunakan chelating agent seperti ethylenediamine tetraacetic acid (EDTA) yang berperan menginaktivasi enzim DNase yang dapat mendenaturasi DNA yang diisolasi, EDTA menginaktivasi enzim nuklease dengan cara mengikat ion magnesium dan kalsium yang dibutuhkan sebagai kofaktor enzim DNAse dengan cara dikocok berulang kali (Corkill dan Rapley, 2008).
Tahap Purifikasi
Tahap purifikasi bertujuan untuk membersihkan nukleus sel dari kontaminan seperti senyawa sekunder (fenol) dan polisakarida, RNA dan juga protein. Pemurnian dari kontaminan protein dan RNA dilakukan menggunakan senyawa kloroform isoamilalkohol, asam asetat, dan enzim RNAse. Senyawa kloroform isoamilalkohol dan asam asetat berfungsi mendenaturasi protein sedangkan enzim RNAse berfungsi melisiskan RNA dari ekstrak DNA tersebut (Fatchiyah dkk, 2011).
Tahap Sentrifugasi
Berfungsi untuk memisahkan senyawa DNA dari campuran material dan komponen intraceluler yang mengandung larutan kompleks berupa RNA, protein, lemak dan karbohidrat. Tahap selanjutnya yaitu tabung di sentrifugasi kembali pada kecepatan 6.000 rpm selama 15 menit. Hasil yang didapat yaitu berupa supernatan yang bening dan pelet (endapan DNA murni) yang berwarna putih terdapat pada dasar tabung dan penambahan senyawa etanol.. Kemudian supernatan tersebut dibuang karena DNA berada pada bagian natan. DNA murni yang dihasilkan adalah DNA yang terbebas dari komponen lainnya (Fatchiyah dkk, 2011).
Tahap Presipitasi
Presipitasi bertujuan untuk mengendapkan protein, sehingga untai-untai DNA tidak lagi menggulung (coiling), yang menyebabkan DNA menjadi terlihat. Presipitasi (pemekatan) DNA dilakukan menggunakan isopropanol dingin yang bertujuan agar DNA tersebut mengendap/mengumpul sekaligus memisahkannya dari garam-garam mineral sisa CTAB. Pelet hasil presipitasi oleh isopropanol ini dibersihkan menggunakan alkohol 70 %. Pemurnian ini merupakan tahapan paling penting dalam Isolasi DNA. Karena bila ada kontaminan selain DNA maka hasil isolasi DNA yang dilakukan diangap gagal (Fatchiyah dkk, 2011).
2.2 Pemotongan Dengan Enzim Restriksi
Setelah didapatkan DNA murni hasil isolasi, DNA akan dipotong dengan enzim restriksi endonuclease yang akan membentuk potongan DNA spesifik. Enzim Restriksi Endonuklease merupakan enzim yang memotong bagian internal DNA yang bekerja secara spesifik (urutan tertentu). Enzim Restriksi Endonuklease memotong DNA tepat pada ikatan fosfodiester. Enzim-enzim ini bekerja dengan memotong DNA pada lokasi-lokasi spesifik yang mampu mengenali 4 – 8 urutan nukleotida (Fatchiyah dkk, 2011).
Enzim restriksi diisolasi dari bakteri. Enzim restriksi biasanya terdapat dalam kombinasi dengan enzim pemodifikasi lain yang melindungi DNA-nya sendiri dari pemotongan, yaitu DNA-metil transferase. Pemotongan enzim restriksi akan menghasilkan potongan yaitu ujung kohesif (sticky end) dan ujung rata (blunt end).
Enzim restriksi endonuklease membutuhkan beberapa kondisi tertentu untuk menghasilkan pemotongan yang optimum. Parameter-parameter tersebut adalah:
Suhu
Sebagian besar enzim endonuklease restriksi memiliki suhu optimum sekitar 37°C. Beberapa enzim restriksi yang diperoleh dari bakteri thermofilik memiliki aktivitas pemotongan optimum pada suhu tinggi
pH
Hampir semua enzim restriksi bekerja dengan baik pada kisaran pH 7.2-8.0
Kekuatan ionik
Hampir semua enzim restriksi dapat menerima kekuatan ionik dari NaCl (50- 150 mM) maupun KCl (10-150 mM), namun beberapa enzim restriksi hanya aktif pada kekuatan ionik yang diberikan oleh KCl, seperti enzim SmaI
Pengaruh kation
Ion Mg2+ diduga berperan sebagai aktivator molekul air untuk membentuk nukleofil yang dibutuhkan atau untuk menyebabkan polarisasi ikatan fosfodiester yang akan dipotong
Waktu reaksi
Lamanya waktu reaksi enzim ditentukan oleh unit aktivitas enzim. Enzim yang memiliki unit aktivitas tinggi tidak membutuhkan waktu reaksi yang terlalu lama.
Komposisi Buffer
Enzim restriksi yang berbeda membutuhkan ionic strength (konsentrsi garam) dan kation yang berbeda pula. Beberapa enzim tidak dapat bekerja bila komposisi buffernya tidak sesuai. Penggunaan buffer yang berbeda akan menyebabkan kerja enzim dalam memotong menjadi tidak optimal.
Lama Inkubasi
Bila inkubasinya terlalu lama, maka enzim akan memotong sisi lain selain sisi spesifiknya, sehinga fragmen yang terbentuk menjadi kecil – kecil. Sehingga ketika divisualisasi menyebabkanband yang terlihat smear (Fatchiyah dkk, 2011).
2.3 Elektroforensis Gel
Elektroforensis adalah suatu proses migrasi molekul bermuatan di dalam suatu media yang bermuatan listrik, dimana kecepatan migrasinya tergantung pada muatan, ukuran dan bentuk setiap molekul yang terlibat. Salah satu gel yang dapat digunakan pada elektroforesis adalah gel agarosa. Agarosa digunakan untuk memisahkan, mengidentifikasi, dan memurnikan fragmen-fragmen DNA (Sambrook et al., 1989).
Mobilitas fragmen DNA pada gel elektroforesis sangat dipengaruhi oleh komposisi dan kelarutan ion buffer elektroforesis. Jika konsentrasi ion-ion sangat sedikit maka konduktifitas listrik sangat kecil dan migrasi DNA menjadi lambat. Konsentrasi ion yang berlebih akan mengakibatkan gel mencair dan DNA terdenaturasi. Selain buffer elektroforesis, teknik elektroforesis DNA juga memerlukan loading buffer. Buffer ini berfungsi meningkatkan densitas sampel sehingga fragmen tersebut berada di dasar well dan tidak menyebar. Fungsi lainnya adalah memberi warna pada fragmen DNA sehingga mempermudah pengamatan proses elektroforesis. Buffer ini dapat juga membantu pergerakan sampel ke anoda. Ukuran fragmen DNA hasil pemotongan dengan endonuclease restriksi dapat ditentukan dengan memakai penanda DNA (marker). Penanda DNA adalah fragmen DNA yang telah diketahui ukurannya (Sambrook et al.,1989).
Prinsip dasarnya ialah pada saat elektroforesis berlangsung, protein akan bergerak dari elektroda negatif menuju elektroda positif sampai pada jarak tertentu pada gel tergantung pada berat molekulnya. Semakin rendah berat molekulnya maka semakin jauh pula protein bergerak dengan kata lain mobilitisnya tinggi. Sebaliknya, protein dengan berat molekul lebih besar akan bergerak pada jarak yang lebih pendek dengan kata lain mobilitisnya rendah (Fatchiyah dkk, 2011).
2.4 Hibridisasi
Hibridisasi merupakan proses identifikasi gen-gen hasil analisis RFLP dengan restriksi enzim yang sesuai dan diidentifikasi dengan fragmen gen target yang spefisifik yang telah diberi label baik dengan radioaktif maupun non radioaktif. Proses hibridisasi dan visualisasi diawali dengan transfer DNA dari gel agrosa ke nilom berpori atau membran nitroselulosa, pada tahap ini sangat disarankan menggunakan nilon karena DNA akan berikatan lebih kuat dibandingkan dengan membran nitroselulosa(Fatchiyah dkk, 2011).
Transfer DNA disebut juga 'Southern blotting' mengacu pada nama penemu teknik tersebut yaitu E.M. Shoutern (1975). Southern tranfer dan hibridisasi DNA digunakan untuk mempelajari bagaimana peran gen dalam genom dengan pemetaan titik-titik restriksi dan segmen DNA genomik. Pada protokol dijelaskan pertama DNA genomik dipotong dengan enzim restriksi dengan teknik RFLP, hasil pemotongan dengan teknik RFLP ini dipisahkan dengan gel elektroforesis, dan transfer kapiler ke membran yang telah didenaturasi. Semua fragmen hasil pemotongan dengan enzim restriksi yang pada awalnya berada pada gel akan ditranfer secara kapiler ke membran tersebut dalam bentuk untai tunggal. Pola fragmen akan sama dengan yang berada pada gel (Fatchiyah dkk, 2011).
Teknik hibridisasi meliputi dua proses, yaitu; (1) proses denaturasi atau pemisahan dua rantai asam nikleat yang komplementer, dan (2) proses denaturasi atau perpaduan kembali dua rantai asam nukleat. Proses denaturasi biasanya dilakukan dengan cara pemanasan DNA untuk memecah ikatan hidrogen yang terdapat diantara pasangan basa, sehingga rantai asam nukleat akan terpisah. Proses ini kemudian diikuti dengan proses denaturasi secara pendinginan. Kondisi yang dapat mempengaruhi apakah dua rantai asam nukleat akan berhibridisasi dengan daya ikat yang kuat. Kondisi ikatan yang kuat akan mendukung perpaduan dua basa dari dua rantai yang berkomplemen secara tepat, sedangkan kondisi ikatan yang lemah akan menyebabkan banyaknya perpaduan dua basa yang tidak sesuai dengan dua rantai asam nukleat DNA yang ditransfer pada nilon berpori atau membran nitroselulosa (Fatchiyah dkk, 2011).
Proses selanjutnya adalah hibridisasi dengan probe. DNA probe yang telah diberi label akan berkomplementasi dengan target melalui hibridisasi, sehingga dapat mendeteksi keberadaan gen tertentu. Pada prosedur hibridisasi, beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu memaksimalkan reaksi probe dengan sekuens target, serta meminimalkan interaksi nonspesifik ntara nukleotida dengan komponen selular yang lain. Tujuan ini dapat dicapai bergantung pada komponen larutan hibridisasi, suhu, dan lama hibridisasi. Bila menggunakan probe berupa DNA atau untuk mendeteksi DNA, diperlukan tahapan denaturasi menggunakan dry heat dalam larutan hibridisasi. Suhu denaturasi (melt temperature) tergantung pada persentase G+C dalam sekuens target. Salah satu kondisi yang mempengaruhi hibridisasi adalah tipe asam nukleat yang akan dihibridisasi. Perpaduan dua basa antara rantai DNA tidak sekuat pasangan basa antara DNA dan RNA. Rantai asam nukleat yang lebih panjang dengan jumlah pasangan basa yang berkomplementer lebih banyak, akan berhibridisasi kuat daripada rantai yang pendek. Komposisi asam basa nukleat juga akan mempengruhi hibridisasi, karena pasangan G-C lebih kuat daripada pasangan A-T. Selain itu, suhu dan kekuatan ionik bufer yang digunakan juga akan mempengaruhi reaksi hibridisasi (Fatchiyah dkk, 2011).
DNA yang ditransfer pada nilon berpori atau membrane nitroselulosa selanjutnya dihibridisasi dengan probe. Membran diinkubasi bersama probe DNA. Bila antara probe dan DNA target merupakan komplemen maka akan terjadi hibridisasi. Bila probe yang digunakan dilabeli maka selanjutnya dupleks yang terjadi dapat dideteksi. Bila kondisi hibridisasi yang digunakan mempunyai stringency yang tinggi (highly stringent), maka tidak akan terjadi hibridisasi dengan DNA yang mempunyai kekerabatan yang jauh atau non homolog. Jadi probe DNA akan mengenali hanya sekuen yang komplemen dan secara ideal homolog diantara beribu-ribu atau bahakan berjuta-juta fragmen yang bermigrasi sepanjang gel. Fragmen yang diinginkan dapat dideteksi setelah dilakukan pemaparan membrane yang telah mengalami hibridisasi pada film (Fatchiyah dkk, 2011).
Langkah kerja Hibridisasi
Transfer DNA
Prinsip transfer DNA dalah proses fisika sederhana dengan sistem kapiler. Fragmen-fragmen DNA hasil pemisahan pada gel elekrtoforesis kemudian didenaturasi dengan larutan bufer denaturan. Biarkan pada kondisi suhu ruang. Siapkan wadah dan baki, penyangga, pembatas, batangan kaca, beberapa lembar membran filter seperti membran 3M dengan ukuran yang telah ditentukan, membran nilon, setumpuk kertas tisu yang punya daya serap rendah, untuk memaksimalkan hasil transfer dari larutan bufer, dan larutan bufer transfer. Proses DNA transfer akan berlangsung dari bawah ke atas, bufer akan diserap secara perlahan sehingga DNA akan berpindah ke membran secara sempurna. Setelah proses transfer DNA berlangsung semalaman, maka buang kertas tisu dan untuk melekatkan DNA secara kuat lakukan cross-link dengan UV linker atau sinar UV panjang gelombang 240 nm sekitar 2 menit. Setelah langkah ini, membran siap untuk dilakukan prehibridisasi dan hibridisasi (Fatchiyah dkk, 2011).
Eksperimen hibridisasi
Prinsip metode hibridisasi DNA sederhana. DNA adalah pita ganda yang hanya diikat oleh ikatan hidrogen antara basa-basa nukleotidanya, sehingga di kondisi tertentu pita ganda DNA, akan mudah menjadi pita tunggal. Oleh karena, ketika pita tunggal DNA dihibridisasi dengan pita tunggal, DNA probe akan langsung berikatan secara kuat secara komplemen pada kondisi yang optimal, atau hibridisasi dengan apapun molukul DNA yang komplemen dengan urutan basa pita tunggal DNA tunggal (Fatchiyah dkk, 2011).
Pada kondisi dimana pita ganda DNA telah terikat di membran nilon hasil transfer kapiler, DNA tidak tampak oleh mata kita dan membran tetap warna putih. Sebelum hibridisasi, dilakukan prehibridisasi dengan larutan denaturan. Membran didenaturasi di bufer denaturasi, sehingga kita mempunyai membran dengan pita tunggal DNA dan proses prehibridisasi. Lakukan inkubasi pada suhu 60°C semalaman, kemudian masukkan ke kantong plastik yang sesuai ukuran membran dan berisi cairan probe spesifik yang juga merupakan pita tunggal DNAA. Plastik ditutup rapat, hindari adanya gelembung di dalamnya karena akan menghambat kerja probe. Bila ada gelembung, keluarkan hati-hati secara vakum. Untuk penggunaan probe radioaktif, gunakan wadah khusus untuk proses hibridisasi ini, letakkan membran di wadah tersebut dan masukkan larutan probe sesedikit mungkin. Inkubasi pada suhu 60°C sampai waktu yang telah ditetapkan (Fatchiyah dkk, 2011).
DNA probe akan menghibridisasi urutan basa nukleotida yang komplemen saja, sedangkan urutan basa lainnya tidak. Kemudian, cuci membran sampai bersih dari sisa larutan probe. Bila menggunakan probe radioaktif, perhatikan pembuangan sisa larutan probe maupun larutan pencuci yang harus dibuang di tempat khusus yang terlabel rdioaktif, karena pembuangan akhir akan ditangani oleh lembaga khusus yang bertanggung jawab terhadap keamanan zat-zat radioaktif. Visualisasi hasil hibridisasi dilakukan di ruang gelap (Fatchiyah dkk, 2011).
Membran diekspos dengan sinar-X pada film khusus, kemudian, film dicuci seperti mencuci film pada umumnya. Setelah film dicuci, kemudian dikeringanginkan. Hasil bisa diidentifikasi di atas boks lampu. Mutasi akan menghasilkan sisi pengenalan enzim restriksi yang baru pada suatu sekuens DNA. Teknologi RFLP secara ideal akan menghasilkan suatu seri pita pada gel, yang dapat diberi penilaian berdasarkan ada atau tidaknya pita tertentu atau sebagai marker kodominan. Perbedaan antar genotipe biasanya divisualisasikan sebagai pola fragmen restriksi yang berbeda(Fatchiyah dkk, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Corkill, G dan Rapley, R. 2008. The Manipulation of Nucleic Acids: Basic Tools and Techniques in Molecular Biomethods Handbook Second Edition. Humana Press. New Jersey, USA.
Fatchiyah, Arumingtyas, E. L., Widyarti, S., Rahayu, S. 2011. Biologi Molekular, Prinsip Dasar Analisis. Erlangga. Jakarta.
Giacomazzi, S., Lerol, F., dan Joffraud, J. J. 2005. Comparison of Three Methods of DNA Extraction from Cold-Smoked Salmon and Impact of Physical Treatments. Journal of Applied Microbiology. 98: 1230-1238.
Holme, D. J dan Hazel, P. 1998. Analytical Biochemistry. Pearson Education Limited. Inggris.
Khosravinia, H dan Ramesha, K. P. 2007. Influence od EDTA and Magnesium On DNA Extraction From Blood Samples and Specificity of Polymerase Chain Reaction. African Journal and Biotechnology. 6(3): 184-187
Sambrook, J., Fritsch, E. F dan Maniati, T. 1989. Molecular Cloning A Laboratory Manual. Cold Spring Harbor Lab Press. USA.
Surzcki, S. 2000. Basic Techniques in Molecular Biology. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Jerman.
Switzer. 1999. Experimental Biochemistry. Blackwell Scientific Pub. Oxford.
Wilson, K dan John, M. W. 1994. Principles and Techniques od Practical Biochemistry. Cambridge University Press. United Kingdom.