PEMANFAATAN HASIL PERTANIAN EDAMAME BERBASIS PANGAN LOKAL SEBAGAI PENGGANTI KEDELAI KUNING PADA PEMBUATAN TEMPE DI KABUPATEN JEMBER
MATA KULIAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN LOKAL
Disusun oleh: Kelompok G – G – THP THP B Nico Praditya Praditya Anandra
151710101068
Akbar Bayu Egasmara
151710101011 1517101 01011
Mely Putri Andika Andika
151710101110
Yulinda Putri Angesti
151710101022
Naedin Ratna Ratna Sari
151710101074
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER 2017
ABSTRAK
Indonesia merupakan salah satu negara jumlah penduduk terbanyak di dunia, tepatnya pada urutan ke-4 setelah Amerika Serikat. Kepadatan penduduk berpengaruh pada kebutuhan kebutuhan pangan penduduk di Indonesia. Salah satu cara untuk memenuhi memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia dengan memanfaatkan pangan lokal di daerah masing-masing. Salah satu hasil pertanian yang memiliki potensi sebagain pangan lokal ialah edamame. Kabupaten yang telah membudidayakan edamame ialah kabupaten Jember. Pengembangan edamame di kabupaten Jember saat ini mencapai 1.200 hektar dengan produktivitas tinggi dapat menghasilkan edamame 10-12 ton setiap hektarnya. Edamame memiliki namun rasa yang lebih manis, aroma kacang-kacangan lebih kuat, tekstur edamame edamame lebih lembut serta s erta memiliki memiliki ukuran biji b iji ebih besar b esar dibandingkan dibandingkan kedelai kuning. Edamame dapat digunakan sebagai pengganti kedelai kuning dalam pembuatan tempe yang merupakan salah satu pangan lokal Indonesia. Tempe merupakan produk fermentasi kedelai dengan bantuan R. oligosporus oligosporus selama proses fermentasi. Edamame dapat mengalami perubahan warna akibat terjadinya pemanasan sehingga klorofil edamane terdegradasi terdegradas i menghasilkan warna coklat. Hal tersebut dipengaruhi oleh pH, pada kondisi asam (pH 3), klorofil tidak stabil terhadap panas, sedangkan pada kondisi basa (pH sekitar 9), klorofil sangat stabil terhadap panas. Proses Proses fermentasi edamame edamame mampu menghilangkan aroma langu. Hal tersebut dikarenakan aroma miselium kapang bercampur bercampur dengan aroma asam amino akibat proses fermentasi fermentasi edamame. edamame. Selain itu adanya enzim dari kapang selama fermentasi memudahkan komponen protein, lemak dan karbohidrat dicerna oleh tubuh. Produk olahan edamame telah beragam dengan penerapan penerapan teknologi dalam pengolahannya. pengolahannya. Rancangan kerja proses pengolahan tempe edamame meliputi pencucian, perebusan I, perendaman, pengupasan kulit ari, perebusan II, peniriasan dan pendinginan, penginokulasian (peragian), pengemasan dan fermentasi. Kata kunci: Pangan lokal, edamame, fermentasi, R. fermentasi, R. oligosporus, oligosporus,
BAB 1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara jumlah penduduk terbanyak di dunia,
tepatnya pada urutan ke-4 setelah Amerika Serikat. Padatnya penduduk tersebut berpengaruh pada kebutuhan pangan penduduk di Indonesia. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia yaitu dengan memanfaatkan pangan lokal yang ada di daerah masing-masing masyarakat. Pangan lokal merupakan makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal. Jember merupakan penghasil komoditi edamame terbesar di Indonesia yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Jember bahkan dari kota/kabupaten lain untuk dijadikan produk olahan kreatif sebagai makanan khas daerah. Edamame atau lebih dikenal sebagai kacang kedelai jepang memiliki ukuran biji yang lebih besar serta biji berwarna hijau. Edamame banyak ditemukan di Jepang dan Cina namun kini telah banyak dibudidayakan di Indonesia. Salah satu kabupaten yang telah membudidayakan edamame ialah kabupaten Jember. Pengembangan edamame di kabupaten Jember saat ini luasnya mencapai 1.200 hektar. Edamame kabupaten Jember memiliki produktivitas tinggi yang dapat menghasilkan edamame 10-12 ton setiap hektarnya (Setiawan, 2014). Produktivitas edamame di kabupaten Jember yang mencapai 12 ton setiap hektarnya menunjukkan bahwa edamame dapat menjadi sumber pangan lokal yang keberadaannya sangat melimpah khususnya bagi masyarakat di kabupaten Jember. Melimpahnya jumlah edamame dapat dimanfaatkan sebagai pangan lokal misalnya tempe. Tempe merupakan pangan lokal Indonesia yang biasanya terbuat dari kedelai kuning dengan perlakuan fermentasi untuk menghasilkan produk tempe. Kedelai kuning saat ini sudah merupakan produk yang harus dipenuhi untuk kebutuhan masyarakat dengan jalan impor, sehingga dapat dikatakan kedelai nasional saat ini tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat konsumen. Salah satu alternatif untuk mengatasi kekurangan kebutuhan kedelai kuning sebagai bahan baku tempe maka perlu dilakukan penggantian bahan baku tempe menjadi edamame. Hal tersebut didukung oleh skala produksi edamame di kabupaten Jember yang cukup besar hingga mampu memenuhi kebutuhan ekspor. Akan tetapi tidak semua edamame di ekspor dikarenakan beberapa edamame mengalami kecacatan pada kulitnya sehingga edamame masih bisa ditemukan di pasar lokal. Edamame yang sering
ditemukan dipasar lokal merupakan edamane yang kualitasnya dibawah kualitas ekspor namun kandungan gizi dalam edamame tidak mengalami kerusakan. Oleh karena itu pemanfaatan sumber daya lokal
khususnya hasil pertanian edamame di kabupaten
Jember sebagai bahan baku tempe perlu dilakukan untuk meningkatkan produk pangan berbahan lokal dan mengurangi impor kedelai kuning dengan serangkaian percobaan untuk menghasilkan produk berbasis pangan lokal yaitu tempe dengan bahan baku edamame.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah mata kuliah Teknologi Pengolahan Pangan Lokal yang berjudul “Pemanfaatan Hasil Pertanian Edamame Berbasis Pangan Lokal Sebagai Pengganti Kedelai Kuning Pada Pembuatan Tempe Di Kabupaten Jember” sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui karakteristik dan faktor yang mempengaruhi perubahan selama pasca panen edamame. 2. Untuk mengetahui penerapan teknologi pada komoditi edamame 3. Untuk mengetahui rancangan kerja proses pengolahan tempe edamame. 4. Untuk mengetahui skema pemanfaatan komoditi edamame. 5. Untuk mengetahui aspek industrialisasi komoditi edamame.
BAB 2. REVIEW LITERATUR
2.1 Edamame
Edamame (Glycine max (L) Merril) merupakan sala satu varietas kedelai. Tanaman ini biasa dipanen saat polongnya masih muda dan hijau yaitu pada stadia tumbuh R-6 atau R-7 atau ketika pengisian biji sudah hampir penuh (80-90% pengsian). Berbeda dengan kedelai pada umumnya yang dipanen saat stadia R-8 (Dewi, 2015). Kedelai edamame diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Rosidae
Ordo
: Fabales
Familia
: Fabaceae
Genus
: Glycine Wild
Spesies
: Glycine max (L) Merril
(Dewi, 2015) Edamame merupakan spesies yang sama dengan kedelai kuning namun memiliki rasa yang lebih manis, aroma kacang-kacangan lebih kuat, tekstur edamame lebih lembut serta memiliki ukuran biji yang lebih besar dibandingkan kedelai kuning. Nutrisi dari edamame juga disebutkan lebih mudah dicerna dibandingkan nutrisi dari kedelai kuning (Riyanto, 2014). Edamame termasuk tanaman semusim yang berupa semak rendah, tumbuh tegak dan memiliki daun yang lebat. Tinggi tanaman edamame sekitar 30-50 cm (Dewi, 2015).
Kandungan gizi edamame yang telah diuji melalui analisis proksimat sebagai berikut: Tabel 1. Kandungan gizi kedelai edamame
Komposisi Jumlah Energi (kkal/100g) 582,0 Air (g/100g) 71,1 Protein (g/100g) 11,4 Lipid (g/100g) 6,6 Karbohidrat (g/100g) 7,4 Serat (g/100g) 1,9 Serat pangan (g/100g) 15,6 Abu (g/100g) 1,6 Kalsium (mg/100g) 70,0 Fosfor (mg/100g) 140,0 Besi (mg/100g) 1,7 Natrium (mg/100g) 1,0 Kalium (mg/100g) 140,0 Karoten (mg/100g) 100,0 Vitamin B1 (mg/100g) 0,27 Vitamin B2 (mg/100g) 0,14 Niasin (mg/100g) 1,0 Asamaskorbat (mg/100g) 27,0 Sumber : Johnson et al. (1999) 2.2 Tempe
Tempe adalah salah satu produk fermentasi yang umumnya berbahan baku kedelai yang difermentasi dan mempunyai nilai gizi yang baik. Fermentasi pada pembuatan tempe terjadi karena aktivitas kapang Rhizopus oligosporus. Fermentasi pada tempe dapat menghilangkan bau langu dari kedelai yang disebabkan oleh aktivitas dari enzim lipoksigenase. Fermentasi kedelai menjadi tempe juga akan meningkatkan kandungan fosfor (Setiawati, 2006). Hal ini disebabkan oleh hasil kerja enzim fitase yang dihasilkan kapang Rhizopus oligosporus yang mampu menghidrolisis asam fitat menjadi inositol dan fhosfat yang bebas. Prinsip pembuatan tempe yaitu dengan menumbuhkan kapang pada media berupa kedelai untuk menghasilkan produk baru tanpa mengurangi ataupun menghilangkan nilai gizi kedelai (Sarwono dan Saragih, 2003). Jenis kapang yang terlibat dalam fermentasi tempe tidak memproduksi toksin, bahkan mampu melindungi tempe dari aflatoksin. Tempe mengandung senyawa antibakteri yang diproduksi oleh kapang tempe selama proses fermentasi (Koswara, 1995). Senyawa anti bakteri pada tempe dapat menghambat sembilan jenis bakteri gram postitif dan satu jenis bakteri gram negatif, yaitu: Streptococcus lactis, S.cremoris, Leuconostoc dextranicum, L. mesenteroides, Staphylococcus aureus, Bacillus subtillis,
Clostridium botulinum, C. sporogenes, C. butyricum, dan Klebsiella pneumoniae (Syarief et al ., 1999). Selama proses pembuatan tempe terjadi penurunan kadar karbohidrat penyebab flatulensi, yaitu stakiosa dan rafinosa. Sehingga daya cerna tempe meningkat dan bebas dari masalah flatulensi. Saat proses fermentasi R. oligosporus akan mensintesis enzim pemecah protein (protease) lebih banyak, sedangkan R. oryzae lebih banyak mensintesis pemecah pati (alfa amilase). Sebaiknya kedua jenis kapang tersebut digunakan dalam pembuatan tempe dengan kadar R. oligosporus lebih banyak atau dengan perbandingan 1:2 (Sarwono, 2008). Syarat mutu tempe kedelai diatur dalam standar nasional Indonesia atau SNI yang diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional atau BSN pada SNI 3144:2009 berjudul tempe kedelai. Syarat mutu tempe kedelai sebagai berikut: Tabel 2. Syarat mutu tempe kedelai No. Kriteria Uji 1 Keadaan 1.1 Bau 1.2 Warna 1.3 Rasa 2 Kadar air (b/b) 3 Kadar abu (b/b) 4 Kadar lemak(b/b) 5 Kadar protein (N x 6,25) (b/b) 6 Kadar serat kasar (b/b) 7 Cemaran logam 7.1 Kadmium (Cd) 7.2 Timbal (Pb) 7.3 Timah (Sn) 7.4 Merkuri (Hg) 8 Cemaran arsen (As) 9 Cemaran mikroba 9.1 Bakteri coliform 9.2 Salmonella sp. Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2009)
Satuan
Persyaratan
% % % % %
normal, khas normal normal maks. 65 maks. 1,5 min. 10 min. 16 maks. 2,5
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
maks. 0,2 maks. 0,25 maks. 40 maks. 0,03 maks. 0,25
APM/g -
maks. 10 negatif/25 g
Tempe yang baik menurut Kasmidjo (1990) harus memuhi syarat mutu secara fisik dan kimia. Adapun syarat fisik tempe dapat dikatakan memiliki mutu yang baik ialah harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Warna putih Warna putih pada t empe disebabkan adanya pertumbuhan miselia kapang pada permukaan biji kedelai
b. Tekstur tempe kompak Tekstur tempe yang kompak dikarenakan miselia kapang yang saling berhubungan antara biji kedelai satu sama lain. Tekstur tempe dapat dilihat dari pertumbuhan miselia pada permukaan tempe. Apabila pertumbuhan miselia tampak lebat pada permukaan tempe, hal ini menunjukkan bahwa tekstur tempe telah membentuk masa yang kompak, begitu juga sebaliknya. c. Aroma dan rasa khas tempe Aroma dan rasa khas yang dimiliki tempe merupakan akibat adanya degradasi komponen dalam tempe selama terjadi proses fermentasu. Menurut Astawan (2004) tempe yang memiliki kualitas baik mempunyai ciri-ciri berwarna putih bersih yang merata pada permukaannya, memiliki stuktur yang homogen dan kompak, serta berasa, berbau dan beraroma khas tempe. Sedangkan tempe dengan kualitas buruk ditandai permukaannya yang basah, struktur tidak kompak, terdapat bercak bercak hitam, bau amoniak dan alkohol, serta beracun. 2.3 Rhizopus oligosporus
Ragi tempe merupakan kumpulan spora kapang yang memegang peranan penting dalam pembuatan tempe karena dapat mempengaruhi mutu yangdihasilkan. Jenis kapang yang memegang peranan utama dalam pembuatan tempe adalah R. oligosporus dan R. oryzae, sedangkan jenis kapang lain yang juga terdapat adalah R. stolonifer dan R. arrhizus (Koswara, 1992). R. oligosporus merupakan salah satu spesies kapang yang paling penting digunakan dalam pembuatan tempe di Indonesia. Beberapa ciri terpenting dari kapang ini antara lain memiliki miselium dan sporangiofor tidak bersekat, bentuk sporangio sporanya tidak beraturan, sporangiumnya berwarna hitam dan memiliki rhizoid dengan cabang yang pendek. R.oligosporus bersifat lipolitik dan proteolitik (Hesseltine, 1965). Penggunaan spesies kapang pada pembuatan tempe akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap tempe yang dihasilkan. Salah satunya R. Oligosporus memiliki aktivitas enzim protease dan lipase yang tinggi namun memiliki aktivitas enzim amilase rendah, menghasilkan antioksidan, serta mampu menghasilkan tempe dengan flavor dan aroma yang khas. Hal inilah yang menyebabkan R. Oligosporus banyak digunakan dalam pembuatan tempe. Pembuatan tempe di Indonesia lebih menyukai penggunaan kultur campuran karena memiliki beberapa keuntungan yaitu: memberikan
rasa yang lebih unggul, daya cerna protein yang lebih baik, komposisi zat gizi dan daya awet yang lebih tinggi (Astawan,2008).
2.4 Fermentasi pada Tempe
Fermentasi merupakan suatu
proses menghasilkan komponen-komponen
kimiawi akibat adanya metabolisme mikroba (Satiawihardja, 1992). Menurut Fardiaz (1992) fermentasi merupakan proses pemecahan komponen utamanya karbohidrat dan asam amino (beberapa jenis bakteri) secara anaerob. Fermentasi mampu meningkatkan nilai gizi bahan yang difermentasi serta mampu berfungsi sebagai pengawetan bahan dan salah cara menghilangkan zat antinutrisi yang kemungkinan terkandung dalam suatu bahan makanan. Fermentasi kedelai pada tempe dibantu oleh R. oligosporus. Proses fermentasi pada pembuatan tempe akan menimbulkan aroma yang berasal dari aroma miselium kapang yang bercampur dengan aroma dari asam amino bebas yang ditimbulkan oleh penguraian lemak (Astawan, 2004).
Pada tahap fermentasi, molekul organik besar
terdegradasi menjadi molekul organik lebih kecil, sehingga bahan yang semula relatif keras, menjadi lunak dan mudah dicerna.Menurut Sudarmadji (1996) proses fermentasi tempe dibedakan menjadi tiga fase yaitu pertumbuhan cepat (0-30 jam fermentasi), fase transisi (30-50 jam fermentasi) dan fase pembusukan atau fermentasi lanjut (50-90 jam fermentasi). a. Fase pertumbuhan cepat (0-30 jam fermentasi) fase fermentasi ini terjadi pada saat terjadi kenaikan jumlah asam lemak bebas, suhu, terbentuknya miselia pada permukaan biji yang semakin lebat yang akan menunjukkan massa yang lebih kompak dari sebelum mengalami proses fermentasi. b. Fase transisi (30-50 jam fermentasi) Fase transisi merupakan fase saat tempe telah siap untuk dipasarkan pada fase ini terjadi penurunan suhu, jumlah asam lemak yang dibebaskan serta pertumbuhan kapang yang masuk dalam fase stasioner. Pada fase ini aroma spesifik dari tempe mencapai optimal dan memiliki tekstur yang lebih kompak. c. Fase pembusukan atau fermentasi lanjut (50-90 jam fermentasi) Fase ini terjadi kenaikan jumlah bakteri dan asam lemak bebas sedangkan pertumbuhan kapang mengalami fase kematian yang akan menyebabkan jumlah kapang menurun hingga pada akhirnya akan mengalami pertumbuhan kapang terhenti. Kenaikan
jumlah bakteri akan menimbulkan aroma yang kurang disukai akibat degradasi protein oleh bakteri yang ada.
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Karakteristik Edamame dan Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Pasca Panen
Edamame memiliki berat 30-56 gram per 100 biji edamame, memiliki warna kuning hingga hijau, berbentuk bulat hingga bulat telur. Edamame memiliki rasa yang lebih manis, aroma kacang-kacangan lebih kuat, tekstur edamame lebih lembut serta memiliki ukuran biji yang lebih besar dibandingkan kedelai kuning. Nutrisi dari edamame juga disebutkan lebih mudah dicerna dibandingkan nutrisi dari kedelai kuning (Riyanto, 2014). Edamame termasuk tanaman semusim yang berupa semak rendah, tumbuh tegak dan memiliki daun yang lebat. Tinggi tanaman edamame sekitar 30-50 cm (Dewi, 2015). Edamame sering disebut „kedelai sayur‟ (vegetable soybean) juga mengandung lebih sedikit pati penghasil gas. Edamame dikatakan memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Edamame mengandung isoflavon yang dapat berperan sebagai anti-kanker (Coolong, 2009). Menurut Johnson et al. (1999) edamame mengandung 100 mg/100 g vitamin A atau karotin, 0,27 mg/100 g vitamin B1, 0,14 mg/100 g vitamin B2, 1 mg/100 g vitamin B3, dan 27% vitamin C selain itu warna hijau dari edamame menandakan adanya klorofil pada edamame. Klorofil merupakan pigmen yang berperan dalam proses fotosintesis dan umumnya dimiliki oleh tumbuhan hijau dan beberapa organisme lain. Edamame seperti halnya sayuran merupakan tumbuhan yang banyak mengandung klorofil. Proses pemanasan dapat mempengaruhi klorofil dan mampu menyebabkan kerusakan klorofil. Pada proses pemanasan klorofil akan mengalami degradasi dan menghasilkan produk turunannya. Berdasarkan ada atau tidaknya atom magnesium di tengah tetrapirol, produk turunan klorofil dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu derivat yang mengandung Mg (berwarna hijau) dan derivate yang tidak mengandung Mg (berwarna kecoklatan). Atom magnesium pada klorofil mudah digantikan oleh ion hidrogen, yang akan menghasilkan warna coklat feofitin ( phaeophytin). Menurut Fennema (1996), reaksi ini merupakan reaksi irreversible dalam larutan air. Degradasi klorofil dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah pH. Pada kondisi asam (pH 3), klorofil tidak stabil terhadap panas, sedangkan pada kondisi basa (pH sekitar 9), klorofil sangat stabil terhadap panas. Pada proses pemanasan, akan terjadi pelepasan senyawa-senyawa asam dari jaringan tanaman. Hal ini berakibat klorofil tidak stabil dan membentuk warna coklat ( phaeophytin).
Perubahan aroma pasca panen dapat dikarenakan proses fermentasi. Proses fermentasi dalam pengolahan tempe mampu menghilangkan aroma langu dari kedelai. Proses fermentasi pada pembuatan tempe akan menimbulkan aroma yang berasal dari aroma miselium kapang yang bercampur dengan aroma dari asam amino bebas yang ditimbulkan oleh penguraian lemak (Astawan, 2004). Hal tersebut juga mampu terjadi pada proses fermentasi edamame untuk menghasilkan produk berupa tempe. Selama proses fermetasi terdapat enzim yang dihasilkan oleh kapang mampu memudahkan pencernaan komponen seperti protein, lemak dan karbohidrat pada tempe (Astawan, 2004). Begitu juga dengan komponen yang terdapat dalam edamame akan lebih mudah dicerna akibat adanya enzim dari kapang selam proses fermentasi berlangsung. Secara kimiawi hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kadar padatan terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas, asam lemak bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein, serta nilai proteinnya (Astawan, 2004). 3.2 Penerapan Teknologi Pengolahan Edamame Tabel 3. Penerapan teknologi makanan khas Indonesia berbasis edamame Asal Daerah
Nama Produk/Makanan
JawaTimur (Jember)
Bakpia edamame
Edamame segar Pengecilan ukuran dan perebusan
JawaTimur (Jember) JawaTimur
Coklat Edamame
Edamame segar
Jawa Timur (Jember) Jawa Timur (Jember) Jawa Timur (Jember) Jawa Timur (Jember) Jawa Timur (Jember) Jawa Timur (Jember) Jawa Timur (Jember)
Puding Edamame
Susu Edamame Jus Edamame Salad Edamame Keripik Edamame Tahu Edamame Mukimame Edamame frozen
Bahan
Cara Pengolahan
Perebusan dan coating coklat Edamame segar Perebusan, pengupasan, dan pengecilan ukuran Edamame Perebusan dan Segar pengecilan ukuran Edamame Perebusan dan Segar pengecilan ukuran Edamame Perebusan Segar Edamame Penggorengan Segar Edamame Fermentasi Segar Biji edamame Blanching Edamame segar
Pembekuan
3.3 Rancangan Kerja Proses Pengolahan Tempe Edamame.
3.3.1 Alat dan bahan: Alat: 1. Kompor 2. Panci 3. Sendok sayur 4. Neraca analitik 5. Baskom 6. Penyaring 7. Kain lap 8. Garpu 9. Sendok 10. Rheotex 11. Colour reader Bahan: 1. Edamame 2. Ragi tempe 3. Air 4. Plastik 5. Tissue 6. Sealer
3.3.2 Proses Pengolahan Tempe Edamame Edamame segar 1000 gram
Pencucian
Perebusan 1 (100oC selama 10 menit)
Perendaman (suhu 25-30oC) selama 12 jam Kulit ari
Pengupasan o
Perebusan 2 100 C 20 menit Penirisan dan pendinginan Ragi tempe
Penginokulasian (peragian) 0.5% dari bahan pengemasan o
Fermentasi 25-37 C selama 36-48 am
Tempe edamame Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan tempe edamame
Proses pengolahan tempe edamame diawali dari edamame segar berupa biji edamame 1000 gram mengalami proses pencucian terlebih dahulu. Proses pencucian bertujuan menghilangkan kotoran yang melekat ataupun tercampur pada biji edamame. Biji edamame segar yang telah dicuci kemudian dilakukan perebusan I untuk melunakkan biji edamame serta bertujuan menginaktivasi tripsin inhibitor. Perebusan dilakukan selama kurang lebih 10 menit untuk melunakkan serta mengurangi bau langu. Tahap selanjutnya merupakan tahap perendaman biji yang bertujuan biji edamame dapat menyerap air untuk menjamin pertumbuhan kapang menjadi optimum. Perendaman dapat dilakukan pada suhu kamar (25-30 oC) selama 12-16 jam (Hidayat,
2009). Menurut Dwinaningsih (2010) saat proses perendaman sejumlah bakteri asam laktat seperti bakteri L. casei, S. faecium dan S. epidermis mampu tumbuh serta mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan pembusuk. Setelah proses perendaman maka dilakukan proses pengupasan kulit ari. Pengupasan kulit ari akan lebih mudah dikarenakan biji telah mengalami hidrasi (Hidayat, 2009). Perebusan II bertujuan membunuh bakteri kontaminan, mengaktifkan tripsin inhibitor serta membebaskan senyawa yang diperlukan dalam pertumbuhan kapang dari biji (Hidayat et al., 2006). Perebusan II dilakukan selama 20 menit bertujuan melunakkan biji sehingga miselia kapang mampu menembus biji sehingga mampu menyatukan biji dan menghasilkan tekstur yang kompak (Dwinaningsih, 2010). Setelah melalui proses perebusan II dilanjutkan dengan penirisan dan pendinginan. Penirisan dan pendinginan bertujuan mengurangi kadar air dari biji, mengeringkan permukaan biji dan menurunkan suhu biji sehingga sesuai untuk pertumbuhan kapang. Selain itu, jumlah air yang melebihi batas maksimum akan mengganggu pertumbuhan kapang dan mampu menstimulasi pertumbuhan bakteri pembusuk (Hidayat, 2009). Penginokulasian atau peragian dengan menambahkan inokulum yaitu berupa ragi tempe dengan cara penebaran pada permukaan biji yang telah dingin dan dikeringkan lalu dilakukan pencampuran (Fauzan, 2005). Penambahan inokulum sebanyak 0.5 % dari total bahan baku yang digunakan (Astuti, 2009). Setelah inokulum tercampur rata dengan biji edamame dilakukan pengemasan ke dalam plastik. Bahan pembungkus atau pengemas biasanya diberi lubang dengan cara ditusuk-tusuk (Hermana dan Karmini, 1999). Hal tersebut bertujuan memberikan celah untuk udara masuk. Proses terakhir ialah inkubasi atau proses fermentasi untuk menghasilkan produk tempe. Selama proses fermentasi berlangsung pada suhu 20-37 oC kurang lebih 36-48 jam (Hidayat, 2009). Setelah tahapan fermentasi maka akan diperoleh tempe edamame.
3.3.3 Pengujian Warna
Standarisasi colour reader
Pencatatan nilai L, a dan b standar
Tem e edamame
Pengujian warna pada 3 titik berbeda
Pencatatan nilai L, a dan b
Pembandingan nilai L,a, b hasil pengamatan dan Gambar 2. Diagram alir pengujian warna
3.3.4 Pengujian Tekstur
Tem e
Penempelan ujung jarum
Pencatatan nilai tekstur
Pelepasan jarum penetrometer selama 10
Pencatatan nilai tekstur
Pengulangan pada hingga 5 kali pada titik yang Gambar 3. Diagram alir pengujian tekstur
3.3.5 Pengujian Organoleptik
Tempe edamame
Persiapan sampel
Persiapan kuesioner
Pengujian oleh panelis
Pencatatan hasil pengujian Gambar 4. Diagram alir pengujian organoleptik
Kertas Kuesioner
UJI ORGANOLEPTIK TEMPE EDAMAME
Nama :
Umur :
Tanggal pengujian:
Instruksi: Panelis disajikan sampel tempe edamame dan diminta mengamati warna, tekstur dan aroma sampel yang telah disajikan. Panelis diminta menilai warna, tekstur dan aroma berdasarkan kesukaan dengan skala nilai 1 = Sangat tidak suka 2 = Tidak suka 3 = Sedikit tidak suka 4 = Suka 5 = Sangat suka Warna
Tekstur
Aroma
3.4 Skema Pemanfaatan
Edamame frozen Edamame rebus
Edamame Buah
Roti edamame Proll edamame
Crispy Edamame
Coklat edamame
Pasta edamame
Cookies
Mukimame
Dodol edamame
Tepung
Cake edamame
Sari edamame
Batan
Isolat protein
Suplemen
Tempe edamame
Bubur bayi
Tahu edamame
Emulsifier
Pakan ternak
Daging analog
Kompos Pakan ternak Kompos Gambar 5. Skema pemanfaatan edamame
3.5 Aspek Industrialisasi Edamame Tabel 3. Industrialisasi edamame No. 1.
Bentuk Bahan Baku Edamame segar
2.
Tepung edamame
3.
Isolat protein edamame
Industri Pengguna a. Ind. minuman sari edamame b. Ind. edamame rebus c. Ind. edamame frozen d. Ind. pasta edamame e. Ind. tahu f. Ind. tempe g. Ind. crispy edamame a. Ind. cake b. Ind. coklat edamame c. Ind. cookies d. Ind. proll edamame e. Ind. dodol edamame f. Ind. roti a. Ind. sosis b. Ind. bubur bayi c. Ind. burger d. Ind. suplemen
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah mata kuliah Teknologi Pengolahan Pangan Lokal yang berjudul “Pemanfaatan Hasil Pertanian Edamame Berbasis Pangan Lokal Sebagai Pengganti Kedelai Kuning Pada Pembuatan Tempe Di Kabupaten Jember” sebagai berikut: 1. Edamame memiliki berat 30-56 gram per 100 biji edamame, memiliki warna kuning hingga hijau, berbentuk bulat hingga bulat telur. Edamame memiliki rasa yang lebih manis, aroma kacang-kacangan lebih kuat, tekstur edamame lebih lembut serta memiliki ukuran biji yang lebih besar. Perubahan pasca panen edamame dapat dipengaruhi oleh pH dan proses pengolahan (fermentasi) pasca panen edamame. 2. Penerapan teknologi pada komoditi edamame diantaranya pengecilan ukuran, perebusan, coating,fermentasi, blanching dan pembekuan. 3. Rancangan kerja proses pengolahan tempe edamame meliputi pencucian, perebusan I, perendaman, pengupasan kulit ari,
perebusan II,
peniriasan dan pendinginan,
penginokulasian (peragian), pengemasan dan fermentasi. 4. Pemanfaatan komoditi edamame diantaranya menjadi produk edamame frozen, edamame rebus, crispy edamame, pasta edamame, mukimame, sari edamame, tahu edamame, tempe edamame, tepung edamame (roti edamame, proll edamame, coklat edamame, cookies, dodol edamame, cake edamame), isolate protein (suplemen, bubur bayi, emulsifier, daging analog). 5. Aspek industrialisasi komoditi edamame diantaranya industri minuman sari edamame, industri edamame rebus, frozen, industri pasta edamame, industri tahu, tempe edamame, industri crispy edamame, industri cake, coklat, cookies, proll, dodol, roti edamame, industri sosis, industri bubur bayi, industri burger , industri suplemen.
4.2 Saran
Adapun saran dari makalah mata kuliah Teknologi Pengolahan Pangan Lokal yang berjudul “Pemanfaatan Hasil Pertanian Edamame Berbasis Pangan Lokal Sebagai Pengganti Kedelai Kuning Pada Pembuatan Tempe Di Kabupaten Jember ” ialah perlunya kerjasama antara pihak industri, petani, pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan keberagaman produk berbahan edamame dalam mendorong pemanfaatan sumber daya
lokal untuk menghasilkan pangan lokal yang mampu meningkatkan perekonomian bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Astawan, M. 2004. Tetap Sehat dengan Produk Makanan Olahan. Solo: Tiga Serangkai. Astawan, M. 2008. Sehat Dengan Tempe : Panduan Lengkap Menjaga Kesehatan dengan Tempe. Bogor: Dian Rakyat. Astuti, N.P. 2009. Sifat Organoleptik Tempe Kedelai yang Dibungkus Plastik, Daun Pisang dan Daun Jati. Skripsi. Surakarta: Univerisitas Muhammadiyah Surakarta . Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 3144:2009 Tempe Kedelai. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Coolong, T. 2009. Edamame. College of Agriculture. Kentucky: University of Kentucky. Dewi, E. N. A. 2015. "Pengaruh Perbedaan Metode Ekstraksi Terhadap Kadar Genistein dan Aktivitas Hambatan Tirosinase Edamame (Glycine max) In Vitro". Skripsi. Universitas Jember. Jember Dwinaningsih, Erna Ayu. 2010. Karakteristik kimia dan Sensori Tempe dengan Variasi Bahan Baku Kedelai, Beras dan Penambahan Angkak serta Variasi Lama Fermentasi. Skripsi. Surakarta: Universitas Negeri Surakarta. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Fauzan, F. 2005. Formulasi Flakes Komposit dari Tepung Talas ( Coloscasia esculenta (L) Schott), Tepung Tempe dan Tapioka. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Fennema, OR. 1996. Food Chemistry. New York: Marcell Dekker Inc. Hermana dan Karmini M. 1999. The Development of Tempe Technology dalam The Complete Handbook of Tempe: The Unique Fermented Soyfood of Indonesia. America: American Soybean Association. Hesseltine, C.W. 1965. Studies on Extracellular Proteolytic Enzymes of Rhizopus oligosporus. Journal Microbiology. Vol. 11 (4) 606-608. Hidayat N et al. 2006. Mikrobiologi Industri Edisi Pertama. Yogyakarta: ANDI. Hidayat, 2009 Johnson, D., Wang, S., dan Suzuki, A. 1999. Edamame Vegetable Soybean for Colorado. In: Janick, J. (eds.). Perspective on New Crops and New Uses, pp. 379 – 388. Alexandria: ASHS Press. Kasmidjo. 1990. Tempe, Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. Semarang: Soegijapranata Press. Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Koswara, S. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Riyanto, Cellica. 2014. “Kualitas Mi Basah dengan Kombinasi Edamame (Glycine max (L.)
Merrill)
dan
Bekatul
Beras
Merah”.
http://ejournal.uajy.ac.id/6502/3/BL201132.pdf. [28 Februari 2017].
[Online].
Sarwono, S dan Saragih Y.P. 2003. Membuat Aneka Tahu. Jakarta: Penebar Swadaya. Sarwono, S. 2008. Membuat Tempe dan Oncom Cetakan 29. Jakarta: Penebar Swadaya. Satiawihardja. 1992. Teknologi Pemanfaatan Limbah untuk Pakan: Fermentasi. Ebook Tenologi Pengolahan Limbah. Setiawan, Alfurkon. 2014. Kedelai Jember Tembus Pasar Internasional. Online. http://setkab.go.id/kedelai-jember-tembus-pasar-internasional/. [ 02 Maret 2017 ]. Setiawati, 2006
Sudarmadji, S. 1996. Mikrobiologi Pangan. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM. Syarief et al., 1999