VI 10 20 38
KATA PENGANTAR
HELKETA’ Membuka Pintu dan Membuang Pamali
Agung Firmanto Budiharto
AU EIK IKE SUTI Ferial Aiff
PERJALANAN KEMA KE MATIAN TIAN DI TIMOR Amarawati Ayuningtyas
46 64 74 102
SEKILAS TETANIAN DI TIMOR BARAT DAN PERLAWANAN PEREMPUAN MOLLO
Agung Firmanto Budiharto
LIMA HARI MENGAMATI DI DESA TAIFTOB Jameela Khan
ANTARA MATRI ANTARA MATRI- DAN DAN PA PATRIDI TIMOR BARAT, NTT Opée Wardany
CATATAN MEMBACA: NTT Sebagaimana Dikisahkan Peneliti Asing Sita Magira
VI 10 20 38
KATA PENGANTAR
HELKETA’ Membuka Pintu dan Membuang Pamali
Agung Firmanto Budiharto
AU EIK IKE SUTI Ferial Aiff
PERJALANAN KEMA KE MATIAN TIAN DI TIMOR Amarawati Ayuningtyas
46 64 74 102
SEKILAS TETANIAN DI TIMOR BARAT DAN PERLAWANAN PEREMPUAN MOLLO
Agung Firmanto Budiharto
LIMA HARI MENGAMATI DI DESA TAIFTOB Jameela Khan
ANTARA MATRI ANTARA MATRI- DAN DAN PA PATRIDI TIMOR BARAT, NTT Opée Wardany
CATATAN MEMBACA: NTT Sebagaimana Dikisahkan Peneliti Asing Sita Magira
VI
VII
KATA KAT A PENGA PE NGANT NTAR AR
Awalnya, Lifepatch memilih lokasi NTT, khususnya Pulau Timor Barat, karena sempat menemukan informasi melalui mesin
pencari di internet bahwa di Kabupaten Timor Tengah Utara terdapat kelompok masyarakat yang menggunakan sistem Nu’u dalam ragam sastra lisan Dawan—dari buku Sastra Lisan Dawan1—berarti jenis cerita yang biasa dituturkan dalam bahasa sehari-hari. Berbeda dari tonis pah, yakni jenis nu’u yang tidak
bisa sembarangan diceritakan karena mempunyai keterikatan dengan kebenaran hukum adat dan kesejarahan. Sebagaimana dijelaskan dalam buku tersebut: pada umumnya, nu’u merupakan proses tiga dimensi, yaitu waktu, tokoh, dan kejadian. Tokoh di dalamnya berupa manusia, hewan, oknum yang berkuasa atas manusia, serta segenap alam semesta. Nu’u menjadi semacam payung bagi seluruh proses sampai
hadirnya kumpulan tujuh cerita (tulisan) yang terdapat dalam buku ini, yang merupakan hasil pengamatan kami selama 45 hari tinggal di 16 lokasi yang kami datangi di Pulau Timor Barat dan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT). Perjalanan ini adalah bagian dari rangkaian program Sarinah Apa Kabarmu? 2, sebuah penelusuran atas ideologi gender dari sudut pandang lokal, yang merupakan program kerja sama dengan Birmingham Open Media serta mendapat dukungan dari British Council.
kekerabatan matrilineal. Namun infonya tidak banyak; kesulitan mencari referensi menjadi titik tolak untuk datang langsung ke
lokasi, mengobrol dan mengalami langsung laku keseharian keluarga yang kami datangi. Sebelum berangkat kami merumuskan beberapa hipotesis, seperti: di masa lalu tidak ada ketimpangan peran gender di NTT. Apakah benar dahulu tidak ada isu gender di Indonesia? Realitas apa saja yang masih berlangsung, yang menunjukkan ketimpangan atau kesetaraan gender? Hipotesis tersebut diturunkan menjadi berbagai pertanyaan yang senantiasa kami cari jawabannya, seperti: apakah ada aturan tertentu?; siapakah yang menentukan aturan tersebut (kontrol
sosial-budaya yang diberlakukan), bila terdapat pelanggaran apakah sangsinya?; apa saja realitas yang hilang atau berubah, yang merujuk pada isu gender?; faktor-faktor apa dan dari
mana saja yang menyebabkannya (spiritual, kolonial, budaya luar pulau, SDA sebagai potensi ekonomi)?; apakah ada bentuk-
bentuk mitos, upacara adat, pertanian, arsitektur, tata desa atau kampung yang berkaitan dengan gender (nilai-nilai di dalamnya dan ilosoi yang diusung)?; bagaimana perubahan elemen dalam
tata upacara adat terjadi (misalnya, dahulu pakai bunga sekarang tidak)?; bagaimana faktor kolonial berpengaruh (misalnya,
perempuan tidak boleh sekolah)? 1
Tarno, I Nyoman Reteg, Fransiskus Sanda, Samuel Nitbani, & Gomer Lifeto.
1993. Sastra Lisan Dawan . Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 65. (Diakses melalui http:// repositori.perpustakaan.kemdikbud.go.id/3508/1/Sastra%20Lisan%20 Dawan.pdf). 2 http://lifepatch.org/Sarinah,_Apa_Kabarmu%3F http://lifepatch.org/Sarinah,_Apa_Kab armu%3F
VI
VII
KATA KAT A PENGA PE NGANT NTAR AR
Awalnya, Lifepatch memilih lokasi NTT, khususnya Pulau Timor Barat, karena sempat menemukan informasi melalui mesin
pencari di internet bahwa di Kabupaten Timor Tengah Utara terdapat kelompok masyarakat yang menggunakan sistem Nu’u dalam ragam sastra lisan Dawan—dari buku Sastra Lisan Dawan1—berarti jenis cerita yang biasa dituturkan dalam bahasa sehari-hari. Berbeda dari tonis pah, yakni jenis nu’u yang tidak
bisa sembarangan diceritakan karena mempunyai keterikatan dengan kebenaran hukum adat dan kesejarahan. Sebagaimana dijelaskan dalam buku tersebut: pada umumnya, nu’u merupakan proses tiga dimensi, yaitu waktu, tokoh, dan kejadian. Tokoh di dalamnya berupa manusia, hewan, oknum yang berkuasa atas manusia, serta segenap alam semesta. Nu’u menjadi semacam payung bagi seluruh proses sampai
hadirnya kumpulan tujuh cerita (tulisan) yang terdapat dalam buku ini, yang merupakan hasil pengamatan kami selama 45 hari tinggal di 16 lokasi yang kami datangi di Pulau Timor Barat dan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT). Perjalanan ini adalah bagian dari rangkaian program Sarinah Apa Kabarmu? 2, sebuah penelusuran atas ideologi gender dari sudut pandang lokal, yang merupakan program kerja sama dengan Birmingham Open Media serta mendapat dukungan dari British Council.
kekerabatan matrilineal. Namun infonya tidak banyak; kesulitan mencari referensi menjadi titik tolak untuk datang langsung ke
lokasi, mengobrol dan mengalami langsung laku keseharian keluarga yang kami datangi. Sebelum berangkat kami merumuskan beberapa hipotesis, seperti: di masa lalu tidak ada ketimpangan peran gender di NTT. Apakah benar dahulu tidak ada isu gender di Indonesia? Realitas apa saja yang masih berlangsung, yang menunjukkan ketimpangan atau kesetaraan gender? Hipotesis tersebut diturunkan menjadi berbagai pertanyaan yang senantiasa kami cari jawabannya, seperti: apakah ada aturan tertentu?; siapakah yang menentukan aturan tersebut (kontrol
sosial-budaya yang diberlakukan), bila terdapat pelanggaran apakah sangsinya?; apa saja realitas yang hilang atau berubah, yang merujuk pada isu gender?; faktor-faktor apa dan dari
mana saja yang menyebabkannya (spiritual, kolonial, budaya luar pulau, SDA sebagai potensi ekonomi)?; apakah ada bentuk-
bentuk mitos, upacara adat, pertanian, arsitektur, tata desa atau kampung yang berkaitan dengan gender (nilai-nilai di dalamnya dan ilosoi yang diusung)?; bagaimana perubahan elemen dalam
tata upacara adat terjadi (misalnya, dahulu pakai bunga sekarang tidak)?; bagaimana faktor kolonial berpengaruh (misalnya,
perempuan tidak boleh sekolah)? 1
Tarno, I Nyoman Reteg, Fransiskus Sanda, Samuel Nitbani, & Gomer Lifeto.
1993. Sastra Lisan Dawan . Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 65. (Diakses melalui http:// repositori.perpustakaan.kemdikbud.go.id/3508/1/Sastra%20Lisan%20 Dawan.pdf). 2 http://lifepatch.org/Sarinah,_Apa_Kabarmu%3F http://lifepatch.org/Sarinah,_Apa_Kab armu%3F
VIII
IX
Sepulangnya dari perjalanan, kami menentukan topik-topik ketertarikan untuk berangkat menulis. Ketertarikan tersebut menuntun kami untuk memilih tema-tema seputar kesetaraan peran perempuan dalam masyarakat dalam adat dan keseharian, kritik terhadap nilai-nilai emansipasi Barat, releksi/dialektika
untuk menemukan nilai-nilai yang khusus di Indonesia, komparasi peran perempuan dalam konteks Barat dan Indonesia, serta perubahan nilai pascakolonial dan mitologi. Anggota Lifepatch yang melakukan perjalanan ke sana adalah Ferial Aiff dan Agung Firmanto Budiharto. Agung menuliskan
dua artikel tentang pengalaman mengikuti ritual persiapan pernikahan, serta pembagian peran antara perempuan dan lelaki dalam kehidupan sehari-hari, khususnya tetanian. Ferial menuliskan penggalan mitos yang ditarik ke dalam realitas hari ini yang beririsan dengan sejarah dan pendidikan. Cerita ini dilengkapi oleh dua rekan lain, Amarawati Ayuningtyas (Galeri Lorong) dan Opée Wardhany (GerimisUngu Art Production). Amarawati menuliskan pengalaman dari berbagai ritual kematian yang sempat kami ikuti, membaca elemen apa saja yang terdapat dalam ritual tersebut. Tulisan Opée menyoroti sistem kekerabatan patri- dan matri-, dirunut dari masing-masing desa yang kami datangi. Sebelum berangkat ke NTT, Sita Magira—seorang anggota Lifepatch lain—turut terlibat sejak awal hingga perencanaan
perjalanan ke NTT. Ia menuliskan pengamatannya dari studi perbandingan yang ia tangkap dari berbagai penelitian, membandingkan pandangan peneliti asing dan pandangan ia sendiri. Sepulangnya kami dari perjalanan pengamatan, Jameela Khan, seorang seniman mukim dari Inggris datang. Kedatanganny Kedatangannyaa juga merupakan bagian dari program Sarinah Apa Kabarmu?, maka ia pun sempat berangkat ke sana dan melangsungkan lokakarya bersama Lakoat.Kujawas. Dari perjalanan singkatnya itu, Jameela juga menuliskan interaksi yang ia alami.
Kami yakin perjalanan selama 45 hari bukan waktu yang cukup untuk belajar tentang kondisi di sana, belum menjawab hipotesis hipotesis maupun tema besar yang kami rumuskan—walaupun kami merasa sudah banyak sekali yang kami dapat. Dari berbagai dokumentasi yang kami simpan, saat melihatnya kembali kami masih terus mendapatkan berbagai pertanyaan yang belum puas terjawab, atau pertanyaan baru yang tak ada habisnya. Maka, kami berharap dapat dimaklumi apabila terdapat kekurangan dalam isi tulisan. Pun kami terbuka untuk kritik, sehingga dapat menjadi bahan pengamatan selanjutnya. Salam, Ferial Aiff
Kord. Prog. Sarinah Apa Kabarmu?
VIII
IX
Sepulangnya dari perjalanan, kami menentukan topik-topik ketertarikan untuk berangkat menulis. Ketertarikan tersebut menuntun kami untuk memilih tema-tema seputar kesetaraan peran perempuan dalam masyarakat dalam adat dan keseharian, kritik terhadap nilai-nilai emansipasi Barat, releksi/dialektika
untuk menemukan nilai-nilai yang khusus di Indonesia, komparasi peran perempuan dalam konteks Barat dan Indonesia, serta perubahan nilai pascakolonial dan mitologi. Anggota Lifepatch yang melakukan perjalanan ke sana adalah Ferial Aiff dan Agung Firmanto Budiharto. Agung menuliskan
dua artikel tentang pengalaman mengikuti ritual persiapan pernikahan, serta pembagian peran antara perempuan dan lelaki dalam kehidupan sehari-hari, khususnya tetanian. Ferial menuliskan penggalan mitos yang ditarik ke dalam realitas hari ini yang beririsan dengan sejarah dan pendidikan. Cerita ini dilengkapi oleh dua rekan lain, Amarawati Ayuningtyas (Galeri Lorong) dan Opée Wardhany (GerimisUngu Art Production). Amarawati menuliskan pengalaman dari berbagai ritual kematian yang sempat kami ikuti, membaca elemen apa saja yang terdapat dalam ritual tersebut. Tulisan Opée menyoroti sistem kekerabatan patri- dan matri-, dirunut dari masing-masing desa yang kami datangi.
Kami yakin perjalanan selama 45 hari bukan waktu yang cukup untuk belajar tentang kondisi di sana, belum menjawab hipotesis hipotesis maupun tema besar yang kami rumuskan—walaupun kami merasa sudah banyak sekali yang kami dapat. Dari berbagai dokumentasi yang kami simpan, saat melihatnya kembali kami masih terus mendapatkan berbagai pertanyaan yang belum puas terjawab, atau pertanyaan baru yang tak ada habisnya. Maka, kami berharap dapat dimaklumi apabila terdapat kekurangan dalam isi tulisan. Pun kami terbuka untuk kritik, sehingga dapat menjadi bahan pengamatan selanjutnya. Salam, Ferial Aiff
Kord. Prog. Sarinah Apa Kabarmu?
Sebelum berangkat ke NTT, Sita Magira—seorang anggota Lifepatch lain—turut terlibat sejak awal hingga perencanaan
perjalanan ke NTT. Ia menuliskan pengamatannya dari studi perbandingan yang ia tangkap dari berbagai penelitian, membandingkan pandangan peneliti asing dan pandangan ia sendiri. Sepulangnya kami dari perjalanan pengamatan, Jameela Khan, seorang seniman mukim dari Inggris datang. Kedatanganny Kedatangannyaa juga merupakan bagian dari program Sarinah Apa Kabarmu?, maka ia pun sempat berangkat ke sana dan melangsungkan lokakarya bersama Lakoat.Kujawas. Dari perjalanan singkatnya itu, Jameela juga menuliskan interaksi yang ia alami.
10
11
HELKETA’
berikutnya,” ujar Ma Filo ketika kami bertanya lebih jauh tentang berikutnya,” kedua calon pasangan. Sesudah menjalani ritual Helketa’ mereka
Membuka Pintu dan Membuang Pamali
baru bisa melanjutkan pada rangkaian umumnya; seperti acara
Agung Firmanto Budiharto
Ajakan Ikut Ritual Ritual Helketa
Pada Minggu 4 Februari 2018, hari ketiga jelajah Timor, tim Sarinah Apa Kabarmu? (Ferial, Mara, Ope dan saya) diajak salah satu narahubung setempat, yaitu Ma Filo, untuk menghadiri ritual adat Helketa’. Pada hari sebelumnya, kami sudah bertemu dan mengobrol banyak dengan Ma Filo bersama Ma Lola terkait dengan perjalanan kami di Timor barat. Mereka berdua adalah pegiat Forum Peduli Perempuan dan Anak (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) di Kota Atambua, Kabupaten Belu. Belum banyak informasi yang kami tahu tentang Helketa’, selain
sebuah ritual budaya masyarakat Dawan terkait persiapan pernikahan. “Itu semacam ritual untuk membuka pintu sebelum ada acara lamaran,” demikian sedikit informasi dari Ma Filo
tentang ritual tersebut. Menariknya, ritual Helketa’ ini harus dilaksanakan di sungai. Ma Filo bilang bahwa keluarga dari calon pasangan lelaki adalah kerabatnya. Ceritanya, ada seorang pana (nona) dari Suku Dawan yang akan menikah dengan seorang mone (tuan) dari Suku Taekgatal. Keduanya sebenarnya berasal dari leluhur Suku Dawan dan masing-masing keluarganya tinggal di Kota Atambua, namun leluhur mereka berasal dari suku yang datang dari “selatan” dan “utara”. Leluhur calon pasangan perempuan adalah dari Suku Dawan yang tinggal di Timor bagian selatan; sementara leluhur keluarga calon pasangan lelaki berasal
dari Suku Taekgatal yang tinggal di Timor bagian utara. “ Jadi perlu ada semacam permisi ‘buka jalan buka pintu’ untuk lanjut ke tahap
meminang, pertunangan, pernikahan yang meliputi pemberkatan secara adat dan agama serta hukum negara. Ritual Helketa’ ini sebagai semacam doa memohon keselamatan atau ‘slametan’ agar terhindar dari halangan atau ‘salah jalan’ yang dibuat oleh kedua calon pasangan, serta semacam rekonsiliasi dua keluarga atau dua suku karena mungkin pernah terjadi kesalahan antara para leluhur mereka. Demikian kelanjutan cerita yang menggenapi rasa penasaran awal kami tentang ritual Helketa’. Sungai yang akan menjadi tempat ritual Helketa’ tidak jauh dari tempat kami tinggal di Kota Atambua. Kami mendapat pinjaman sepeda motor untuk dipakai. Ma Filo sudah menunggu kami di sebuah pertigaan kecil lalu kami mengikutinya menuju lokasi, tepatnya di Dusun Hasun’ulun di pinggir Sungai Kufeu’,
Kecamatan Atambua Selatan. Ketika kami sampai di lokasi, sudah banyak warga dan keluarga laki-laki dan perempuan dari calon mempelai laki-laki yang menunggu di tempat kami parkir kendaraan. Mereka mengenakan kain adat, ada yang bersarung, dengan selempang di bahu atau dengan ikat kepala. Rupanya mereka menunggu kami datang dan akan memulai acara ketika kami sudah bergabung. Kami menyalami segenap keluarga yang ada di sana sambil memperkenalkan diri dan karena kami datang bersama Ma Filo, maka kami pun “ikut” sebagai rombongan dari keluarga mempelai laki-laki. Sesudah selesai perkenalan dan sedikit pengantar tentang siapa kami, maka rombongan pun siap melaksanakan prosesi. Tidak lupa saya minta izin dulu apakah tim kami boleh memotret dan merekam selama acara berlangsung. Senang rasanya ketika justru kami diminta untuk meliputnya dan boleh bertanya apa pun terkait acara yang perlu dijelaskan kepada kami.
10
11
HELKETA’
berikutnya,” ujar Ma Filo ketika kami bertanya lebih jauh tentang berikutnya,” kedua calon pasangan. Sesudah menjalani ritual Helketa’ mereka
Membuka Pintu dan Membuang Pamali
baru bisa melanjutkan pada rangkaian umumnya; seperti acara
Agung Firmanto Budiharto
Ajakan Ikut Ritual Ritual Helketa
Pada Minggu 4 Februari 2018, hari ketiga jelajah Timor, tim Sarinah Apa Kabarmu? (Ferial, Mara, Ope dan saya) diajak salah satu narahubung setempat, yaitu Ma Filo, untuk menghadiri ritual adat Helketa’. Pada hari sebelumnya, kami sudah bertemu dan mengobrol banyak dengan Ma Filo bersama Ma Lola terkait dengan perjalanan kami di Timor barat. Mereka berdua adalah pegiat Forum Peduli Perempuan dan Anak (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) di Kota Atambua, Kabupaten Belu. Belum banyak informasi yang kami tahu tentang Helketa’, selain
sebuah ritual budaya masyarakat Dawan terkait persiapan pernikahan. “Itu semacam ritual untuk membuka pintu sebelum ada acara lamaran,” demikian sedikit informasi dari Ma Filo
tentang ritual tersebut. Menariknya, ritual Helketa’ ini harus dilaksanakan di sungai. Ma Filo bilang bahwa keluarga dari calon pasangan lelaki adalah kerabatnya. Ceritanya, ada seorang pana (nona) dari Suku Dawan yang akan menikah dengan seorang mone (tuan) dari Suku Taekgatal. Keduanya sebenarnya berasal dari leluhur Suku Dawan dan masing-masing keluarganya tinggal di Kota Atambua, namun leluhur mereka berasal dari suku yang datang dari “selatan” dan “utara”. Leluhur calon pasangan perempuan adalah dari Suku Dawan yang tinggal di Timor bagian
meminang, pertunangan, pernikahan yang meliputi pemberkatan secara adat dan agama serta hukum negara. Ritual Helketa’ ini sebagai semacam doa memohon keselamatan atau ‘slametan’ agar terhindar dari halangan atau ‘salah jalan’ yang dibuat oleh kedua calon pasangan, serta semacam rekonsiliasi dua keluarga atau dua suku karena mungkin pernah terjadi kesalahan antara para leluhur mereka. Demikian kelanjutan cerita yang menggenapi rasa penasaran awal kami tentang ritual Helketa’. Sungai yang akan menjadi tempat ritual Helketa’ tidak jauh dari tempat kami tinggal di Kota Atambua. Kami mendapat pinjaman sepeda motor untuk dipakai. Ma Filo sudah menunggu kami di sebuah pertigaan kecil lalu kami mengikutinya menuju lokasi, tepatnya di Dusun Hasun’ulun di pinggir Sungai Kufeu’,
Kecamatan Atambua Selatan. Ketika kami sampai di lokasi, sudah banyak warga dan keluarga laki-laki dan perempuan dari calon mempelai laki-laki yang menunggu di tempat kami parkir kendaraan. Mereka mengenakan kain adat, ada yang bersarung, dengan selempang di bahu atau dengan ikat kepala. Rupanya mereka menunggu kami datang dan akan memulai acara ketika kami sudah bergabung. Kami menyalami segenap keluarga yang ada di sana sambil memperkenalkan diri dan karena kami datang bersama Ma Filo, maka kami pun “ikut” sebagai rombongan dari keluarga mempelai laki-laki. Sesudah selesai perkenalan dan sedikit pengantar tentang siapa kami, maka rombongan pun siap melaksanakan prosesi. Tidak lupa saya minta izin dulu apakah tim kami boleh memotret dan merekam selama acara berlangsung. Senang rasanya ketika justru kami diminta untuk meliputnya dan boleh bertanya apa pun terkait acara yang perlu dijelaskan kepada kami.
selatan; sementara leluhur keluarga calon pasangan lelaki berasal
dari Suku Taekgatal yang tinggal di Timor bagian utara. “ Jadi perlu ada semacam permisi ‘buka jalan buka pintu’ untuk lanjut ke tahap
12
13
Kemudian rombongan keluarga mone segera bergerak menuju lokasi kali. Ada seekor kambing jantan berwarna cokelat yang ikut ditandu oleh kelompok lelaki dari rombongan mone. Rupanya hewan ini sebagai salah satu syarat sarana yang diperlukan dalam ritual Helketa’. Ketika rombongan bergerak, kami diwanti-wanti oleh Ma Filo supaya jangan bersalaman dengan rombongan calon pasangan perempuan. Kedua rombongan tidak boleh bersalaman sebelum upacara selesai. Kami berjalan menuju pinggir sungai yang rimbun dengan pepohonan besar dan rumpun bambu di mana-mana. Sudah terdengar riuh rombongan dari calon pasangan perempuan yang menunggu di pinggir sungai, mereka juga bergerombol dalam kelompok laki-laki serta kelompok perempuan, dengan ciri khas kain adatnya. Orang-orang yang lebih muda saja yang terlihat bergerombol membaur juga dengan ragam kain adat yang mereka kenakan. Saya belum punya kain tenun dari Timor sehingga hanya mengenakan kain tenun dari Flores.
Kali Kafeu’, Air yang Mengalir
Ternyata ada alasan mengapa lokasi ritual ini harus berada di sungai dengan air yang mengalir, mengalir, yang biasanya sudah ditentukan oleh kedua belah pihak. Hal ini terkait dengan makna simbolis ritual Helketa’. Alasan pertama, masing-masing rombongan calon pasangan harus berkumpul di sisi sungai yang berbeda atau saling berseberangan di kedua sisi sungai dengan aliran sungai sebagai batasnya sebelum upacara dimulai. Saya ikut bersama dengan rombongan calon pasangan lelaki, dan rombongan calon pasangan perempuan berada di pinggir sisi sungai yang lain. Saya perhatikan mulai ada beberapa orang yang turun ke sungai. Rupanya mereka menyiapkan sarana upacara yang diperlukan, yaitu menaruh beberapa batu sehingga menjadi tumpukan. Lalu di atas batu paling atas ditaruhlah dua lembar daun dengan ganjalan batu lebih kecil di atas daun supaya kedua lembar daun tidak jatuh atau hanyut terbawa arus sungai. Saya coba bertanya kepada salah satu rombongan itu daun apa. Katanya, dua lembar
daun lontar tersebut melambangkan perempuan dan laki-laki. Beberapa saat kemudian, pemimpin ritual mengundang kedua rombongan untuk turun ke aliran sungai di sekitar tumpukan batu dengan dua lembar daun lontar di atas. Rombongan saling berhadapan di kedua sisi tumpukan batu dan saya lihat calon pasangan perempuan melilitkan kain tenun di pinggang dengan selendang tenun terkalung di bahunya menjulur ke depan, demikian juga calon pasangan laki-laki dengan kain ikat melilit di pinggangnya. Sang mone mone berparas berparas tampan khas lelaki tropis; sementara sang pana sangat anggun dengan wajah khas nona dari Timor. Keduanya berdiri di tengah dalam masing–masing deretan keluargany keluarganya. a. Ritual Helketa’ dipimpin oleh seorang makoan yang berada dalam rombongan calon perempuan. Makoan adalah seorang tetua yang bertugas sebagai juru tutur adat yang bisa menyampaikan kisah para leluhur. Bapa Makoan yang kemudian saya tahu bernama Petrus Lube mulai melantunkan prosesi tutur adat dengan bahasa Dawan. Beliau berdiri di bagian tengah. Di samping kanan-kirinya, dua orang Mama membawa seperangkat tempat sirih pinang. Pada waktu tertentu, sang makoan mengambil daun sirih dari wadah tersebut lalu menaruhnya di atas batu bersama kedua lembar daun lontar, kemudian mengambil pinang dan meletakkannya di batu yang sama. Kemudian tiba saat kedua calon pasangan mengambil masing-masing daun lontar lambang laki-laki dan perempuan. Keduanya saling memegang ujung daun lontar satu sama lain yang disilangkan. Sang pana menarik daun lontar simbol lelaki, sang mone menarik daun lontar simbol perempuan sesuai aba-aba sang makoan. Keduanya kemudian bersama-sama menghanyutkan daun-daun lontar tersebut di dalam air sungai yang mengalir mengalir.. Inilah alasan yang kedua mengapa ritual Helketa’ harus dilaksanakan pada sungai dengan air yang mengalir.. Daun-daun lontar perlambang laki-laki dan perempuan mengalir ini dihanyutkan sehingga menjadi simbol untuk “merintangi dan menghilangkan segala halangan, kesalahan yang sudah dibuat yang tidak diharapkan akan jadi gangguan ketika pasangan sudah berumah tangga.”
12
13
Kemudian rombongan keluarga mone segera bergerak menuju lokasi kali. Ada seekor kambing jantan berwarna cokelat yang ikut ditandu oleh kelompok lelaki dari rombongan mone. Rupanya hewan ini sebagai salah satu syarat sarana yang diperlukan dalam ritual Helketa’. Ketika rombongan bergerak, kami diwanti-wanti oleh Ma Filo supaya jangan bersalaman dengan rombongan calon pasangan perempuan. Kedua rombongan tidak boleh bersalaman sebelum upacara selesai. Kami berjalan menuju pinggir sungai yang rimbun dengan pepohonan besar dan rumpun bambu di mana-mana. Sudah terdengar riuh rombongan dari calon pasangan perempuan yang menunggu di pinggir sungai, mereka juga bergerombol dalam kelompok laki-laki serta kelompok perempuan, dengan ciri khas kain adatnya. Orang-orang yang lebih muda saja yang terlihat bergerombol membaur juga dengan ragam kain adat yang mereka kenakan. Saya belum punya kain tenun dari Timor sehingga hanya mengenakan kain tenun dari Flores.
Kali Kafeu’, Air yang Mengalir
Ternyata ada alasan mengapa lokasi ritual ini harus berada di sungai dengan air yang mengalir, mengalir, yang biasanya sudah ditentukan oleh kedua belah pihak. Hal ini terkait dengan makna simbolis ritual Helketa’. Alasan pertama, masing-masing rombongan calon pasangan harus berkumpul di sisi sungai yang berbeda atau saling berseberangan di kedua sisi sungai dengan aliran sungai sebagai batasnya sebelum upacara dimulai. Saya ikut bersama dengan rombongan calon pasangan lelaki, dan rombongan calon pasangan perempuan berada di pinggir sisi sungai yang lain. Saya perhatikan mulai ada beberapa orang yang turun ke sungai. Rupanya mereka menyiapkan sarana upacara yang diperlukan, yaitu menaruh beberapa batu sehingga menjadi tumpukan. Lalu di atas batu paling atas ditaruhlah dua lembar daun dengan ganjalan batu lebih kecil di atas daun supaya kedua lembar daun tidak jatuh atau hanyut terbawa arus sungai. Saya coba bertanya kepada salah satu rombongan itu daun apa. Katanya, dua lembar
daun lontar tersebut melambangkan perempuan dan laki-laki. Beberapa saat kemudian, pemimpin ritual mengundang kedua rombongan untuk turun ke aliran sungai di sekitar tumpukan batu dengan dua lembar daun lontar di atas. Rombongan saling berhadapan di kedua sisi tumpukan batu dan saya lihat calon pasangan perempuan melilitkan kain tenun di pinggang dengan selendang tenun terkalung di bahunya menjulur ke depan, demikian juga calon pasangan laki-laki dengan kain ikat melilit di pinggangnya. Sang mone mone berparas berparas tampan khas lelaki tropis; sementara sang pana sangat anggun dengan wajah khas nona dari Timor. Keduanya berdiri di tengah dalam masing–masing deretan keluargany keluarganya. a. Ritual Helketa’ dipimpin oleh seorang makoan yang berada dalam rombongan calon perempuan. Makoan adalah seorang tetua yang bertugas sebagai juru tutur adat yang bisa menyampaikan kisah para leluhur. Bapa Makoan yang kemudian saya tahu bernama Petrus Lube mulai melantunkan prosesi tutur adat dengan bahasa Dawan. Beliau berdiri di bagian tengah. Di samping kanan-kirinya, dua orang Mama membawa seperangkat tempat sirih pinang. Pada waktu tertentu, sang makoan mengambil daun sirih dari wadah tersebut lalu menaruhnya di atas batu bersama kedua lembar daun lontar, kemudian mengambil pinang dan meletakkannya di batu yang sama. Kemudian tiba saat kedua calon pasangan mengambil masing-masing daun lontar lambang laki-laki dan perempuan. Keduanya saling memegang ujung daun lontar satu sama lain yang disilangkan. Sang pana menarik daun lontar simbol lelaki, sang mone menarik daun lontar simbol perempuan sesuai aba-aba sang makoan. Keduanya kemudian bersama-sama menghanyutkan daun-daun lontar tersebut di dalam air sungai yang mengalir mengalir.. Inilah alasan yang kedua mengapa ritual Helketa’ harus dilaksanakan pada sungai dengan air yang mengalir.. Daun-daun lontar perlambang laki-laki dan perempuan mengalir ini dihanyutkan sehingga menjadi simbol untuk “merintangi dan menghilangkan segala halangan, kesalahan yang sudah dibuat yang tidak diharapkan akan jadi gangguan ketika pasangan sudah berumah tangga.”
16
17
Prosesi dilanjutkan dengan memotong hewan kurban yang dibawa dari kedua belah pihak rombongan. Hewan kurban dari pihak laki-laki adalah seekor kambing jantan berwarna cokelat. Kambing dipegangi oleh beberapa orang pada kepala dan kaki-kakinya, leher kambing diarahkan di atas tumpukan batu. Darah segar mengucur deras pada tumpukan batu lalu mengalir di air sungai ketika hewan kurban tersebut dipotong nadi lehernya oleh seseorang yang bertugas. Kemudian disusul pemotongan seekor ayam jantan berbulu merah yang dibawa oleh rombongan perempuan. Prosesnya sama, kaki dan kepala dipegang beberapa orang lalu petugas pemotong melaksanakan hajatnya. Darah ayam juga mengucur lalu mengalir mengikuti aliran sungai. Kedua mama yang membawa wadah dari pihak perempuan kemudian menyerahkan wadah yang mereka bawa kepada perwakilan rombongan pihak laki-laki. Saya lihat di atas salah satu wadah tersebut adalah kain tenun. Menurut salah seorang kerabat, pemotongan hewan kurban ini juga menjadi inti dari ritual. Hal ini menjadi acara “membuang sial” atas halhal larangan adat atau kesalahan masa lalu dari masing-masing leluhur atas sumpah adat yang menjadi larangan sehingga sesudah melaksanakan ritual Helketa’ nantinya kedua pasangan bisa membangun rumah tangga. Rasanya ritual ini menjadi ajang bina damai (rekonsiliasi) dua keluarga atau lebih besar lagi dalam rangka menyatukan dua suku yang berbeda. Hal-hal buruk, larangan adat yang menjadi perintang masa depan, sumpah adat yang sudah terjadi di masa lampau yang menghalangi kedua calon mempelai sudah dihanyutkan ke laut melalui air Sungai Kufeu’
di Dusun Hasun’ulun. Ritual ini adalah sebentuk permohonan kepada Sang Kuasa dan meminta restu para leluhur agar kedua calon pasangan mendapat berkah dan keluarga kerabat juga terhindar dari segala pamali. Prosesi Helketa’ masih belum selesai, saya perhatikan kemudian sang pana mengambil selendang tenun yang tadi dikalungkan pada lehernya. Tutur pantun dalam bahasa Dawan masih
berlangsung, sementara sang pana menyerahkan salah satu ujung kain selendang itu kepada sang mone. Kain itu terentang di antara kedua rombongan pada kedua ujungnya. Lalu, dengan wajah berbinar senyum sang pana menarik selendang tersebut dan sang mone mengikutinya. Sang pana “menarik” sang mone keluar dari rombongan keluarga laki-laki lalu sampai menyeberang sungai dan naik ke daratan di mana rombongan perempuan sebelumnya sebelumnya tadi berkumpul. Terdengar sorak-sorai gembira dan tepuk tangan meriah dari kedua belah pihak. Baru sesudahnya mereka masingmasing saling sapa secara pribadi satu sama lain dan bersalaman untuk kemudian berjalan naik ke daratan mengikuti kedua pasang calon pengantin. Demikian, prosesi di Sungai Kefau’ selesai, lalu
semua rombongan pindah ke daratan. Saya masih menyempatkan diri untuk membuat foto rombongan ketika berjalan dan warna
merah darah yang sekarang menyelimuti tumpukan batu yang dipakai untuk ritual. Saya coba memahami makna simbolis di balik daun lontar yang dihanyutkan, warna air yang menjadi merah karena darah mengalir dari hewan kurban. Semoga semua baik bagi kedua pasangan baru ini, apa adanya dan sewajarnya seperti yang diharapkan. Makan Bersama di Bawah Rerimbun Pinggir Sungai
Sang mone sekarang boleh masuk pintu dan diterima dalam keluarga perempuan untuk melanjutkan tahap berikutnya. Proses masih panjang untuk sampai tahap menikah. Ritual ini baru menjadi awal saja, sebagai syarat adat yang bermakna untuk menghilangkan segala macam pamali sebelum proses meminang/lamaran. Namun begitu, demi merayakan hari ini, semua yang berkumpul tampak bahagia dan senang menunggu proses selanjutnya. Para lelaki dari dua keluarga bersila berbaur bersama pada tikar yang digelar. Di dekatnya, kumpulan perempuan dari dua keluarga juga duduk bersama makan sirih pinang yang dihidangkan. Demikian juga saya, yang mulai gemar makan sirih pinang semenjak perjalanan sebelumnya di Tanah Batak, Sumatra Utara. Beberapa perempuan juga dengan leluasa
16
17
Prosesi dilanjutkan dengan memotong hewan kurban yang dibawa dari kedua belah pihak rombongan. Hewan kurban dari pihak laki-laki adalah seekor kambing jantan berwarna cokelat. Kambing dipegangi oleh beberapa orang pada kepala dan kaki-kakinya, leher kambing diarahkan di atas tumpukan batu. Darah segar mengucur deras pada tumpukan batu lalu mengalir di air sungai ketika hewan kurban tersebut dipotong nadi lehernya oleh seseorang yang bertugas. Kemudian disusul pemotongan seekor ayam jantan berbulu merah yang dibawa oleh rombongan perempuan. Prosesnya sama, kaki dan kepala dipegang beberapa orang lalu petugas pemotong melaksanakan hajatnya. Darah ayam juga mengucur lalu mengalir mengikuti aliran sungai. Kedua mama yang membawa wadah dari pihak perempuan kemudian menyerahkan wadah yang mereka bawa kepada perwakilan rombongan pihak laki-laki. Saya lihat di atas salah satu wadah tersebut adalah kain tenun. Menurut salah seorang kerabat, pemotongan hewan kurban ini juga menjadi inti dari ritual. Hal ini menjadi acara “membuang sial” atas halhal larangan adat atau kesalahan masa lalu dari masing-masing leluhur atas sumpah adat yang menjadi larangan sehingga sesudah melaksanakan ritual Helketa’ nantinya kedua pasangan bisa membangun rumah tangga. Rasanya ritual ini menjadi ajang bina damai (rekonsiliasi) dua keluarga atau lebih besar lagi dalam rangka menyatukan dua suku yang berbeda. Hal-hal buruk, larangan adat yang menjadi perintang masa depan, sumpah adat yang sudah terjadi di masa lampau yang menghalangi kedua calon mempelai sudah dihanyutkan ke laut melalui air Sungai Kufeu’
di Dusun Hasun’ulun. Ritual ini adalah sebentuk permohonan kepada Sang Kuasa dan meminta restu para leluhur agar kedua calon pasangan mendapat berkah dan keluarga kerabat juga terhindar dari segala pamali. Prosesi Helketa’ masih belum selesai, saya perhatikan kemudian sang pana mengambil selendang tenun yang tadi dikalungkan pada lehernya. Tutur pantun dalam bahasa Dawan masih
berlangsung, sementara sang pana menyerahkan salah satu ujung kain selendang itu kepada sang mone. Kain itu terentang di antara kedua rombongan pada kedua ujungnya. Lalu, dengan wajah berbinar senyum sang pana menarik selendang tersebut dan sang mone mengikutinya. Sang pana “menarik” sang mone keluar dari rombongan keluarga laki-laki lalu sampai menyeberang sungai dan naik ke daratan di mana rombongan perempuan sebelumnya sebelumnya tadi berkumpul. Terdengar sorak-sorai gembira dan tepuk tangan meriah dari kedua belah pihak. Baru sesudahnya mereka masingmasing saling sapa secara pribadi satu sama lain dan bersalaman untuk kemudian berjalan naik ke daratan mengikuti kedua pasang calon pengantin. Demikian, prosesi di Sungai Kefau’ selesai, lalu
semua rombongan pindah ke daratan. Saya masih menyempatkan diri untuk membuat foto rombongan ketika berjalan dan warna
merah darah yang sekarang menyelimuti tumpukan batu yang dipakai untuk ritual. Saya coba memahami makna simbolis di balik daun lontar yang dihanyutkan, warna air yang menjadi merah karena darah mengalir dari hewan kurban. Semoga semua baik bagi kedua pasangan baru ini, apa adanya dan sewajarnya seperti yang diharapkan. Makan Bersama di Bawah Rerimbun Pinggir Sungai
Sang mone sekarang boleh masuk pintu dan diterima dalam keluarga perempuan untuk melanjutkan tahap berikutnya. Proses masih panjang untuk sampai tahap menikah. Ritual ini baru menjadi awal saja, sebagai syarat adat yang bermakna untuk menghilangkan segala macam pamali sebelum proses meminang/lamaran. Namun begitu, demi merayakan hari ini, semua yang berkumpul tampak bahagia dan senang menunggu proses selanjutnya. Para lelaki dari dua keluarga bersila berbaur bersama pada tikar yang digelar. Di dekatnya, kumpulan perempuan dari dua keluarga juga duduk bersama makan sirih pinang yang dihidangkan. Demikian juga saya, yang mulai gemar makan sirih pinang semenjak perjalanan sebelumnya di Tanah Batak, Sumatra Utara. Beberapa perempuan juga dengan leluasa
18
19
dan tampak santai duduk bersila bersama kalangan lelaki. Sarana lain yang harus ada dalam Helketa’ sudah mulai diedarkan, minuman beralkohol khas Timor, sopi. Minuman tradisional ini adalah hasil sulingan dari air nira pohon enau. Sebagai minuman tradisional beralkohol beralkohol rasanya enak sekali dan sangat halus, tidak keras nyegrak di di tenggorokan. Orang di sini menyebutnya “sopi kepala”,, yaitu hasil sulingan dari tetes pertama yang khusus dibuat kepala” untuk upacara adat. Benar-benar sopi khusus yang istimewa. Laki-laki maupun perempuan tampak sama-sama minum sopi, dengan takaran yang sama adilnya dan tidak ada rasa canggung sedikit pun—sesuatu yang tidak pernah saya lihat di tempat saya tinggal di Yogyakarta. Sementara menunggu hidangan makan, kami tidak lupa menceritakan pengalaman kami tiba di Timor dan tujuan perjalanan yang akan kami buat selama lebih dari empat puluh hari ke depan. Sesekali bau rambut terbakar melintas diikuti
dengan bau daging kambing dan ayam yang sedang dibakar oleh beberapa lelaki yang bertanggung jawab membakar hewan kurban. Tadi saya sempat ikut membantu mencari kayu bakar kering yang akan dipakai untuk membakar kurban. Beberapa yang lain mengurus daging yang sudah dibakar dan memotongnya menjadi ukuran persegi yang lebih kecil. Untung sekali, saya tidak makan hari ini, sengaja mempersiapkan diri menjadi lapar untuk perayaan Helketa’. Dari obrolan hari ini saya tahu bahwa semua daging kambing, daging ayam, nasi, dan bekal yang sudah dipersiapkan hari ini harus habis dimakan semua. Tidak boleh bersisa dan tidak boleh ada yang dibawa pulang. Nasi sudah disiapkan sebelumnya dari rumah beserta sambal yang teramat pedas khas Timor. Semua daging juga dibakar tanpa bumbu. Makan dan minum bersama secara adat adalah sebentuk syukur persembahan kepada Pencipta Semesta sekaligus kepada para leluhur atas karunia rahmat secara jasmani dan rohani, khususnya kepada kedua calon pasangan yang akan melalui proses berikut sampai pada pernikahan dan hidup berkeluarga. Ritual Helketa’ pada umumnya dilakukan oleh Atoin Meto, Orang Dawan. Perayaan Helketa’ dan undangan yang dilayangkan kepada kami untuk ikut serta dalam prosesi menjadi awal yang baik sekaligus juga pintu pembuka yang baik untuk kami melanjutkan perjalanan di Timor. Timor. Seperti kami pun berharap tidak akan ada halangan dan rintangan dalam perjalanan sampai kami menyelsaikan tugas ini.
18
19
dan tampak santai duduk bersila bersama kalangan lelaki. Sarana lain yang harus ada dalam Helketa’ sudah mulai diedarkan, minuman beralkohol khas Timor, sopi. Minuman tradisional ini adalah hasil sulingan dari air nira pohon enau. Sebagai minuman tradisional beralkohol beralkohol rasanya enak sekali dan sangat halus, tidak keras nyegrak di di tenggorokan. Orang di sini menyebutnya “sopi kepala”,, yaitu hasil sulingan dari tetes pertama yang khusus dibuat kepala” untuk upacara adat. Benar-benar sopi khusus yang istimewa. Laki-laki maupun perempuan tampak sama-sama minum sopi, dengan takaran yang sama adilnya dan tidak ada rasa canggung sedikit pun—sesuatu yang tidak pernah saya lihat di tempat saya tinggal di Yogyakarta. Sementara menunggu hidangan makan, kami tidak lupa menceritakan pengalaman kami tiba di Timor dan tujuan perjalanan yang akan kami buat selama lebih dari empat puluh hari ke depan. Sesekali bau rambut terbakar melintas diikuti
dengan bau daging kambing dan ayam yang sedang dibakar oleh beberapa lelaki yang bertanggung jawab membakar hewan kurban. Tadi saya sempat ikut membantu mencari kayu bakar kering yang akan dipakai untuk membakar kurban. Beberapa yang lain mengurus daging yang sudah dibakar dan memotongnya menjadi ukuran persegi yang lebih kecil. Untung sekali, saya tidak makan hari ini, sengaja mempersiapkan diri menjadi lapar untuk perayaan Helketa’. Dari obrolan hari ini saya tahu bahwa semua daging kambing, daging ayam, nasi, dan bekal yang sudah dipersiapkan hari ini harus habis dimakan semua. Tidak boleh bersisa dan tidak boleh ada yang dibawa pulang. Nasi sudah disiapkan sebelumnya dari rumah beserta sambal yang teramat pedas khas Timor. Semua daging juga dibakar tanpa bumbu. Makan dan minum bersama secara adat adalah sebentuk syukur persembahan kepada Pencipta Semesta sekaligus kepada para leluhur atas karunia rahmat secara jasmani dan rohani, khususnya kepada kedua calon pasangan yang akan melalui proses berikut sampai pada pernikahan dan hidup berkeluarga. Ritual Helketa’ pada umumnya dilakukan oleh Atoin Meto, Orang Dawan. Perayaan Helketa’ dan undangan yang dilayangkan kepada kami untuk ikut serta dalam prosesi menjadi awal yang baik sekaligus juga pintu pembuka yang baik untuk kami melanjutkan perjalanan di Timor. Timor. Seperti kami pun berharap tidak akan ada halangan dan rintangan dalam perjalanan sampai kami menyelsaikan tugas ini.
20
21
AU EIK IKE SUTI1
Anak itu tumbuh besar, bertemu anak Buaya tersesat, sekarat terpapar sinar matahari. Anak tersebut membawanya kembali ke perairan, sehingga anak Buaya itu selamat. Sebagai balas budi, mereka jadi bersahabat. Buaya mengajak keliling anak tersebut, meletakkannya di punggung, berenang sampai lihat-lihat ke dasar laut. Lelah perjalanan, Buaya mulai kelaparan dan berniat memangsa anak tersebut, namun urung memangsa dengan perasaan bersalah karena membalas kebaikan dengan kejahatan. Maka saat Buaya tersebut mati, tubuhnya menjadi daratan yang sangat luas. Sebagai persembahan, tanah luas menjadi warisan kepada anak yang menolongnya, dengan kekayaan melimpah yang dapat dinikmati sampai anak-cucu-semua keturunannya. Jasadnya berubah menjadi dataran, terus membesar sampai menjadi Pulau Timor.3
Ferial Aiff
-1 Alkisah di bumi ini belum ada manusia, hanya ada air. Turunlah seorang perempuan dari langit, mendarat di tubuh ikan Belanak. Titisan langit membuatnya hamil, kemudian melahirkan di atas kakinya. Anak bersama ibunya kemudian terbang ke langit mencari api agar hangat, berdiam di antara bintang dan bulan, berdiam di sana sampai bayi tersebut memiliki tubuh yang cukup kuat untuk kembali ke bumi. Potongan ari-arinya mengambang, kemudian menjadi daratan, yang ditumbuhi pohon Beringin. Tetes darah proses kelahiran tersebut menjadi pemisah air tawar dan asin; darah mencipta air asin. Saat bayi itu sudah kuat, semua kembali ke bumi, membawa gewang dan lontar, untuk membangun rumah. 2
Kedua kisah di atas saya satukan agar lengkap dalam susunan imajinasi. Sengaja saya tidak mencantumkan siapa perempuan yang melahirkan, yang konon merupakan manusia pertama di muka bumi. Saya tertarik melihat perbedaannya dari kisah Adam dalam agama-agama langit populer, tokoh manusia yang konon juga kakek moyang kita semua. Saya percaya keduanya: kisah dari Makoan maupun kisah di kitab suci. Tapi kalau boleh memilih, rasanya lebih cocok dengan manusia pertama (perempuan) melahirkan di atas ikan Belanak. Produksi atau pelipatgandaan jumlah manusia sampai hari ini dipahami lewat jalan liang vagina, jadi cukup masuk akal bila penggandaan manusia pertama juga melalui rahim.
Secara hariah artinya: Saya membawa ike dan suti (alat pemintal kapas). Katakata ini biasanya diucapkan pada upacara adat Tapoi Tan Ana (untuk merayakan kelahiran) apabila bayi yang lahir adalah perempuan. 2 Disadur dari kisah Makoan yang diceritakan oleh Petrus Thau. 3 Disadur dari: Tulasi, Eman & Agustinus Leu. 2016. Sekilas Tentang Pulau Timor. Malang: Alta Pustaka. 1
20
21
AU EIK IKE SUTI1
Anak itu tumbuh besar, bertemu anak Buaya tersesat, sekarat terpapar sinar matahari. Anak tersebut membawanya kembali ke perairan, sehingga anak Buaya itu selamat. Sebagai balas budi, mereka jadi bersahabat. Buaya mengajak keliling anak tersebut, meletakkannya di punggung, berenang sampai lihat-lihat ke dasar laut. Lelah perjalanan, Buaya mulai kelaparan dan berniat memangsa anak tersebut, namun urung memangsa dengan perasaan bersalah karena membalas kebaikan dengan kejahatan. Maka saat Buaya tersebut mati, tubuhnya menjadi daratan yang sangat luas. Sebagai persembahan, tanah luas menjadi warisan kepada anak yang menolongnya, dengan kekayaan melimpah yang dapat dinikmati sampai anak-cucu-semua keturunannya. Jasadnya berubah menjadi dataran, terus membesar sampai menjadi Pulau Timor.3
Ferial Aiff
-1 Alkisah di bumi ini belum ada manusia, hanya ada air. Turunlah seorang perempuan dari langit, mendarat di tubuh ikan Belanak. Titisan langit membuatnya hamil, kemudian melahirkan di atas kakinya. Anak bersama ibunya kemudian terbang ke langit mencari api agar hangat, berdiam di antara bintang dan bulan, berdiam di sana sampai bayi tersebut memiliki tubuh yang cukup kuat untuk kembali ke bumi. Potongan ari-arinya mengambang, kemudian menjadi daratan, yang ditumbuhi pohon Beringin. Tetes darah proses kelahiran tersebut menjadi pemisah air tawar dan asin; darah mencipta air asin. Saat bayi itu sudah kuat, semua kembali ke bumi, membawa gewang dan lontar, untuk membangun rumah. 2
Kedua kisah di atas saya satukan agar lengkap dalam susunan imajinasi. Sengaja saya tidak mencantumkan siapa perempuan yang melahirkan, yang konon merupakan manusia pertama di muka bumi. Saya tertarik melihat perbedaannya dari kisah Adam dalam agama-agama langit populer, tokoh manusia yang konon juga kakek moyang kita semua. Saya percaya keduanya: kisah dari Makoan maupun kisah di kitab suci. Tapi kalau boleh memilih, rasanya lebih cocok dengan manusia pertama (perempuan) melahirkan di atas ikan Belanak. Produksi atau pelipatgandaan jumlah manusia sampai hari ini dipahami lewat jalan liang vagina, jadi cukup masuk akal bila penggandaan manusia pertama juga melalui rahim.
Secara hariah artinya: Saya membawa ike dan suti (alat pemintal kapas). Katakata ini biasanya diucapkan pada upacara adat Tapoi Tan Ana (untuk merayakan kelahiran) apabila bayi yang lahir adalah perempuan. 2 Disadur dari kisah Makoan yang diceritakan oleh Petrus Thau. 3 Disadur dari: Tulasi, Eman & Agustinus Leu. 2016. Sekilas Tentang Pulau Timor. Malang: Alta Pustaka. 1
22
23
Soal dari mana bibit atau sperma pembuahan berasal, mungkin bisa saja mukjizat sang maha pencipta. Sebagaimana Bunda Maria/Siti Maryam yang tiba-tiba saja mengandung. Atau janganjangan kisah perempuan di atas ikan Belanak terpengaruh kisah tersebut? Di lain sisi, kisah dataran Timor yang berasal dari jasad Buaya ini lebih rumit lagi. Siapakah anak yang menolong buaya tersebut? Bila daratannya belum ada, anak tersebut berdiri di mana? Kisah ini cukup populer di berbagai sumber pencarian internet. Setelah mendengar kisah perempuan yang melahirkan tersebut, saya seolah-olah mendapatkan jawabannya. Meski demikian, kisah perempuan tersebut terpaksa saya penggal, karena seterusnya akan menjadi kisah panjang, bersambung dengan cikal bakal kerajaan-kerajaan di Pulau Timor. Kisah ini juga sudah banyak dibahas di mana-mana. Rasanya cukup untuk memahami mengapa posisi perempuan, di berbagai lokasi, memiliki peran yang cukup utama. Perempuan tidak punya hak mengambil keputusan, namun bisa memberikan saran. Kalau kita mengambil keputusan tidak dengan persetujuan perempuan, itu bisa runyam. Hak perempuan adalah menggarap ladang, jadi dalam suatu suku, perempuanlah yang menentukan tanah bagian mana yang perlu digarap. Lelaki tidak punya hak atas tanah karena kawin keluar4. Kalaupun lelaki bantu menggarap, hak pakai hasil itu miliknya perempuan. Apalagi bila orang tua meninggal, seluruh hak waris diserahkan kepada anak perempuan. Kalau tidak punya anak perempuan, maka akan diberikan kepada saudara lain yang perempuan.5
Lelaki kawin keluar umumnya menjadi ciri suatu suku yang menyebut lingkungannya matrilineal. Laki-laki tidak punya banyak hak karena ikut dengan keluarga istri yang akan didatanginya dalam ikatan pernikahan. 5 Disadur dari cerita Yohanes Mau, Makoan Suku Talos, Lamaknen Selatan, Kabupaten Belu. 4
Sebagaimana yang diceritakan, selama kami di desa ini, banyak perempuan tampak aktif.
Saat datang, kami berada di tengah upacara adat kematian. Di beberapa bagian serta dalam berbagai percakapan berkelompok, perempuan tampak mendominasi. Para lelakinya juga tampak mengikuti saran yang diberikan, tidak ada pemisah, lelaki-perempuan hadir bersama di seluruh area. Misalkan di area dapur, ada lelaki yang mengolah daging, sementara perempuan mengolah nasi dan sayur sayur.. Sampai menata dan membaginya di ratusan piring, ibu-ibu menata nasi, kemudian bapak-bapak menata sejumlah daging pada setiap piring. Kawula muda pun demikian, mereka bersamaan membantu para ibu dan bapak.
22
23
Soal dari mana bibit atau sperma pembuahan berasal, mungkin bisa saja mukjizat sang maha pencipta. Sebagaimana Bunda Maria/Siti Maryam yang tiba-tiba saja mengandung. Atau janganjangan kisah perempuan di atas ikan Belanak terpengaruh kisah tersebut? Di lain sisi, kisah dataran Timor yang berasal dari jasad Buaya ini lebih rumit lagi. Siapakah anak yang menolong buaya tersebut? Bila daratannya belum ada, anak tersebut berdiri di mana? Kisah ini cukup populer di berbagai sumber pencarian internet. Setelah mendengar kisah perempuan yang melahirkan tersebut, saya seolah-olah mendapatkan jawabannya. Meski demikian, kisah perempuan tersebut terpaksa saya penggal, karena seterusnya akan menjadi kisah panjang, bersambung dengan cikal bakal kerajaan-kerajaan di Pulau Timor. Kisah ini juga sudah banyak dibahas di mana-mana. Rasanya cukup untuk memahami mengapa posisi perempuan, di berbagai lokasi, memiliki peran yang cukup utama.
Sebagaimana yang diceritakan, selama kami di desa ini, banyak perempuan tampak aktif.
Saat datang, kami berada di tengah upacara adat kematian. Di beberapa bagian serta dalam berbagai percakapan berkelompok, perempuan tampak mendominasi. Para lelakinya juga tampak mengikuti saran yang diberikan, tidak ada pemisah, lelaki-perempuan hadir bersama di seluruh area. Misalkan di area dapur, ada lelaki yang mengolah daging, sementara perempuan mengolah nasi dan sayur sayur.. Sampai menata dan membaginya di ratusan piring, ibu-ibu menata nasi, kemudian bapak-bapak menata sejumlah daging pada setiap piring. Kawula muda pun demikian, mereka bersamaan membantu para ibu dan bapak.
Perempuan tidak punya hak mengambil keputusan, namun bisa memberikan saran. Kalau kita mengambil keputusan tidak dengan persetujuan perempuan, itu bisa runyam. Hak perempuan adalah menggarap ladang, jadi dalam suatu suku, perempuanlah yang menentukan tanah bagian mana yang perlu digarap. Lelaki tidak punya hak atas tanah karena kawin keluar4. Kalaupun lelaki bantu menggarap, hak pakai hasil itu miliknya perempuan. Apalagi bila orang tua meninggal, seluruh hak waris diserahkan kepada anak perempuan. Kalau tidak punya anak perempuan, maka akan diberikan kepada saudara lain yang perempuan.5
Lelaki kawin keluar umumnya menjadi ciri suatu suku yang menyebut lingkungannya matrilineal. Laki-laki tidak punya banyak hak karena ikut dengan keluarga istri yang akan didatanginya dalam ikatan pernikahan. 5 Disadur dari cerita Yohanes Mau, Makoan Suku Talos, Lamaknen Selatan, Kabupaten Belu. 4
25
24
Sama halnya dengan yang terjadi di rumah adat Lorotolus (Malaka)—bentuknya panggung, di teras ada undakan. Mereka akan bilang bahwa para perempuan di sisi kiri dan lelaki di sisi kanan, keduanya sama tinggi. Saat berdiskusi dengan banyak orang di situ, dalam setiap percakapan perempuan kerap membenahi pernyataan bapak-bapak; walau menggunakan bahasa adat yang
tak saya mengerti, namun jelas sekali di berbagai kesempatan mereka berdiskusi. Simbol-simbol Simbol-simb ol budaya rumah adat Suku Dawan, antara lain simbol Ni Ainaf. Ni Ainaf artinya tiang induk (ibu/perempuan),
Tiang utama di sini namanya Apanat, yang menjaga Ama Usif
(raja). Pembangunan Uma Kebubu (rumah lumbung) ataupun Lopo (rumah adat) biasanya dikerjakan bersama. Potong kayu dilakukan oleh lelaki, sementara ketika mengangkutnya mengangkutnya,, keduanya turut serta: perempuan meletakkan kayu di kepala, lelaki di bahu. Tapi kalau kayu merah, tiang fondasi pertama,
dua lelaki yang membawan membawanya ya karena terlalu berat. Kemudian ambil alang-alang untuk membuat atap. Semuanya (perempuan dan lelaki) saling membantu, dari mengambil di hutan, sampai menganyam. Nyaris berbagai kegiatan dikerjakan gotongroyong, sampai memasak juga bersama-sama. 7
tiang utama. Sebagai simbol kekuatan dan kasih sayang yang mempersatukan, simbol ibu yang menjadi perantara. Ni Ainaf
dilengkapi dengan batu ceper berukuran sedang dan besar di sekelilingnya, berfungsi sebagai altar untuk mempersembahkan
kepada Yang Maha Tinggi.6 Dalam buku tersebut, Yoseina bertanya-tanya tentang mengapa
simbol ini tidak tercermin serta menjadi bentuk kesetaraan gender di lingkungan Suku Dawan. Tawarannya adalah menggunakan teologi kontekstual yang dapat membebaskan perempuan dari perlakuan dan dan pembagian peran yang tidak adil dalam budaya Suku Dawan. Pernyataan Yoseina Yoseina di atas sedikit nyambung dengan yang kami
temui, walaupun terjadi di suku yang berbeda. Hasil akhirnya juga berbeda. Kami kerap menemui beberapa rumah adat yang selalu punya tiang utama tersebut, kerap bertemu dengan posisi perempuan yang dominan. Biasanya atas tiang utama dipakai untuk menyimpan hasil bumi; sebagian besar yang diperbolehkan
mengakses gudang penyimpanan ini kaum perempuan.
6
Disadur dari: Neonbeni, Yoseina. 2007. Perempuan Dawan: Intan yang Tak Terlupakan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, hlm. 13. 7 Disadur dari cerita Mama Ena Molo, adik Usif (raja) Nama Benu, Boti Dalam.
Seluruh hal dijelaskan secara rasional di Boti Dalam, sebuah lokasi yang bagi saya utopis. Melihat bagaimana sekelompok manusia berada dalam tatanan kehidupan yang sehat; pemimpin mereka bisa diajak berdiskusi dan mau melayani kebutuhan masyarakat;
masyarakatnya menjaga alam, menanam pohon yang sama di sebelah pohon yang tampak sudah tua dan akan mati, serta mengambil hasil alam secukupnya tidak berlebih. Untuk sebuah kunjungan yang singkat, saya merasa bentuk lingkungan yang demikian tidak pernah saya temui di tempat lain, serta barangkali bisa jadi contoh pembentukan lingkungan yang baik. Semua orang di sana berbicara pelan, kebersihan juga dijaga dengan baik, menuang air ke bak mandi saja pakai kain sebagai saringan. Memang lokasi mereka cukup terkenal sebagai tujuan wisata, selama di sana kami bertemu turis asing dua kali, yang pertama tidak menginap, yang kedua menginap semalam.
25
24
Sama halnya dengan yang terjadi di rumah adat Lorotolus (Malaka)—bentuknya panggung, di teras ada undakan. Mereka akan bilang bahwa para perempuan di sisi kiri dan lelaki di sisi kanan, keduanya sama tinggi. Saat berdiskusi dengan banyak orang di situ, dalam setiap percakapan perempuan kerap membenahi
Tiang utama di sini namanya Apanat, yang menjaga Ama Usif
(raja). Pembangunan Uma Kebubu (rumah lumbung) ataupun Lopo (rumah adat) biasanya dikerjakan bersama. Potong kayu dilakukan oleh lelaki, sementara ketika mengangkutnya mengangkutnya,, keduanya turut serta: perempuan meletakkan kayu di kepala,
pernyataan bapak-bapak; walau menggunakan bahasa adat yang
lelaki di bahu. Tapi kalau kayu merah, tiang fondasi pertama,
tak saya mengerti, namun jelas sekali di berbagai kesempatan mereka berdiskusi.
dua lelaki yang membawan membawanya ya karena terlalu berat. Kemudian ambil alang-alang untuk membuat atap. Semuanya (perempuan dan lelaki) saling membantu, dari mengambil di hutan, sampai menganyam. Nyaris berbagai kegiatan dikerjakan gotongroyong, sampai memasak juga bersama-sama. 7
Simbol-simbol Simbol-simb ol budaya rumah adat Suku Dawan, antara lain simbol Ni Ainaf. Ni Ainaf artinya tiang induk (ibu/perempuan),
tiang utama. Sebagai simbol kekuatan dan kasih sayang yang mempersatukan, simbol ibu yang menjadi perantara. Ni Ainaf
dilengkapi dengan batu ceper berukuran sedang dan besar di sekelilingnya, berfungsi sebagai altar untuk mempersembahkan
kepada Yang Maha Tinggi.6 Dalam buku tersebut, Yoseina bertanya-tanya tentang mengapa
simbol ini tidak tercermin serta menjadi bentuk kesetaraan gender di lingkungan Suku Dawan. Tawarannya adalah menggunakan teologi kontekstual yang dapat membebaskan perempuan dari perlakuan dan dan pembagian peran yang tidak adil dalam budaya Suku Dawan. Pernyataan Yoseina Yoseina di atas sedikit nyambung dengan yang kami
temui, walaupun terjadi di suku yang berbeda. Hasil akhirnya juga berbeda. Kami kerap menemui beberapa rumah adat yang selalu punya tiang utama tersebut, kerap bertemu dengan posisi perempuan yang dominan. Biasanya atas tiang utama dipakai untuk menyimpan hasil bumi; sebagian besar yang diperbolehkan
mengakses gudang penyimpanan ini kaum perempuan.
Seluruh hal dijelaskan secara rasional di Boti Dalam, sebuah lokasi yang bagi saya utopis. Melihat bagaimana sekelompok manusia berada dalam tatanan kehidupan yang sehat; pemimpin mereka bisa diajak berdiskusi dan mau melayani kebutuhan masyarakat;
masyarakatnya menjaga alam, menanam pohon yang sama di sebelah pohon yang tampak sudah tua dan akan mati, serta mengambil hasil alam secukupnya tidak berlebih. Untuk sebuah kunjungan yang singkat, saya merasa bentuk lingkungan yang demikian tidak pernah saya temui di tempat lain, serta barangkali bisa jadi contoh pembentukan lingkungan yang baik. Semua orang di sana berbicara pelan, kebersihan juga dijaga dengan baik, menuang air ke bak mandi saja pakai kain sebagai saringan. Memang lokasi mereka cukup terkenal sebagai tujuan wisata, selama di sana kami bertemu turis asing dua kali, yang pertama tidak menginap, yang kedua menginap semalam.
6
Disadur dari: Neonbeni, Yoseina. 2007. Perempuan Dawan: Intan yang Tak Terlupakan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, hlm. 13. 7 Disadur dari cerita Mama Ena Molo, adik Usif (raja) Nama Benu, Boti Dalam.
26
27
-2“Fort Portugis di Kupang diduduki oleh Belanda, diperbesar dan diperkuatkan menjadi Fort Concordia, yang sejak saat itu, yaitu tahun 1657 menjadi pusat perdagangan VOC Belanda di
kepulauan Nusa Tenggara Timur.”8 “... saya terus menawarkan sejumlah koin padanya kendati saya tahu ia tidak mengetahui nilai koin-koin tersebut.”9 Percak kutipan di atas saya ambil untuk tetap terpercak, dipulung setelah saya mendapatkan beberapa pernyataan bahwa koin perak dan sofren (koin atau lempengan emas) harus disediakan sebagai salah satu elemen belis.
Di sana saya merasa kedua belah pihak (perempuan dan lelaki) menjalankan peran kesehariannya bersama. Hal yang sama juga terlihat dari gestur yang muncul, seperti pemilihan lokasi duduk saat berkumpul. Saat seorang saja perempuan bicara, semuanya akan diam dan menyimak, begitu pun sebaliknya. Hal lain yang saya ketahui juga, di Desa Oenbit (Ekafalo), bila
sang ibu adalah anak tunggal, atau keluarganya sudah meninggal semua, maka seorang anak akan dipilih mengikuti marga ibu. Pemilihan anak mana yang mengikuti marga ibu cukup unik. Saat sang ibu hamil, biasanya sang kakek akan merasakan bahwa anak tersebutlah yang harus ikut marga ibunya, tidak penting apakah anak dalam kandungan tersebut nantinya perempuan atau lelaki.
Doko, I.H. 1981. Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Nusa Tenggara Timur. Jakarta: PN Balai Pustaka, hlm. 44. 9 Miller, George (ed.). 2012. “Kisah Wanita Muda Inggris di Belantara Timor (1880an) oleh Anna Forbes” dalam Indonesia Timur Tempo Doloe: 1544–1992, Komunitas Bambu, hal. 212–213. 8
26
27
-2“Fort Portugis di Kupang diduduki oleh Belanda, diperbesar dan diperkuatkan menjadi Fort Concordia, yang sejak saat itu, yaitu tahun 1657 menjadi pusat perdagangan VOC Belanda di
kepulauan Nusa Tenggara Timur.”8 “... saya terus menawarkan sejumlah koin padanya kendati saya tahu ia tidak mengetahui nilai koin-koin tersebut.”9 Percak kutipan di atas saya ambil untuk tetap terpercak, dipulung setelah saya mendapatkan beberapa pernyataan bahwa koin perak dan sofren (koin atau lempengan emas) harus disediakan sebagai salah satu elemen belis.
Di sana saya merasa kedua belah pihak (perempuan dan lelaki) menjalankan peran kesehariannya bersama. Hal yang sama juga terlihat dari gestur yang muncul, seperti pemilihan lokasi duduk saat berkumpul. Saat seorang saja perempuan bicara, semuanya akan diam dan menyimak, begitu pun sebaliknya. Hal lain yang saya ketahui juga, di Desa Oenbit (Ekafalo), bila
sang ibu adalah anak tunggal, atau keluarganya sudah meninggal semua, maka seorang anak akan dipilih mengikuti marga ibu. Pemilihan anak mana yang mengikuti marga ibu cukup unik. Saat sang ibu hamil, biasanya sang kakek akan merasakan bahwa anak tersebutlah yang harus ikut marga ibunya, tidak penting apakah anak dalam kandungan tersebut nantinya perempuan atau lelaki.
Doko, I.H. 1981. Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Nusa Tenggara Timur. Jakarta: PN Balai Pustaka, hlm. 44. 9 Miller, George (ed.). 2012. “Kisah Wanita Muda Inggris di Belantara Timor (1880an) oleh Anna Forbes” dalam Indonesia Timur Tempo Doloe: 1544–1992, Komunitas Bambu, hal. 212–213. 8
28
29
Awal peredaran sofren (uang atau lempengan emas) bisa jadi dimulai sejak perdagangan dengan Kerajaan Kadiri, maupun dengan Cina dan India. Bahkan koin-koin ini masih dipakai sampai zaman Belanda12. Koin Wilhelmina (1 Gulden perak) mulai diproduksi sejak 1818. Sementara koin dengan wajah Elizabeth Belis menurut penjelasan Dra. Yoseina Neonbeni, M.Hum10
adalah semacam maskawin dalam adat perkawinan Timor berupa sejumlah uang (kertas dan perak) dan hewan piaraan yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, sebagai balas jasa karena telah membesarkan perempuan yang akan dipersunting. Koin perak pada belis berterakan Ratu Wilhelmina dan Ratu Elizabeth II. Sejak kapan sofren (emas) dan koin perak wajah ratu Belanda dan Inggris menjadi bagian dari prosesi adat— khususnya dalam hal ini belis pernikahan—di Timor? Lama sebelum bangsa-bangsa Barat menginjakkan kakinya di Nusa Tenggara Timur, maka kepulauan di daerah ini, berhubung karena kayu cendananya, sudah dikenal oleh dunia luar luar.. Cendana putih dari Timor sudah dikenal di India dan di Cina sejak abad ketujuh. Pedagang-pedagang Hindu dan Cina sejak abad ke-10 sudah mengunjungi daerah ini untuk membeli kayu Cendana. Di dalam buku-buku sejarah Cina pada tahun 1225 telah ditulis, bahwa pulau Timor sangat kaya dengan kayu Cendana dan membayar membay ar kayu Cendana sebagai upeti kepada Kerajaan HinduJawa di Kediri. ... Di dalam tulisan seorang Cina tahun 1436, di jaman dinasti Ming, dikisahkan adanya tidak kurang dari 12 pelabuhan di pulau Timor Timor,, di mana pedagang-pedagang Cina dapat memuat kayu Cendana.11
Neonbeni, Op. cit , hlm. 12. Doko, Op. cit , hlm. 40–41.
10 11 12
https://id.wikipedia.org/wiki/Koin-koin_Nusantara_awal https://id.wikipedia.org/wiki/Koin-koin_Nusantara_a wal
13
Lihat kisah -1-, disadur dari kisah Makoan Petrus Thau.
II dipakai di beberapa negara, seperti Afrika Selatan, Australia, Selandia Baru, dan Kanada; sementara di Inggris sendiri mulai di
produksi sejak 1953. Tanah Timor pernah didatangi oleh beberapa negara tersebut. Entah dari zaman jayanya perdagangan kelautan nusantara, sampai perdagangan budak; semuanya memiliki hubungan
dengan negara-negara tersebut, kecuali Kanada dan Selandia Baru yang tidak saya temukan jejaknya. Pada saat perempuan pertama di bumi yang melahirkan di atas ikan Belanak membawa kembali anaknya anaknya dari langit, ia datang bersama dua penjaganya, satu perempuan dan satu lelaki. Kemudian seorang perempuan penjaga tersebut memotong payudaranya, payudarany a, menjelma menjadi sirih. Seorang lelaki penjaga memotong lidahnya, menjelma menjadi pinang. Nenek moyang datang membawa itu semua dari langit, sehingga dalam adat pernikahan lelaki membawa sirih untuk dipersembahkan kepada calon istri, kemudian keluarga istri mengoleh-olehi pinang, sebagai bekal kepada calon suami dan keluarganya. Tidak ngomong uang, atau potong hewan, apalagi persoalan tanah.13 Meskipun dua tanaman tersebut adalah pemberian yang amat sederhana, terjadi juga keluarga calon mempelai yang meminta sirih dan pinang dalam jumlah berkarung-karung. Sebagian besar narasumber saya tidak setuju dengan urusan belis karena terdengar seperti perdagangan: anak dibeli keluarga barunya, serta kebanyakan korbannya perempuan. Apabila nanti di rumah tangga ada persoalan, beberapa keluarga asal tidak bisa atau tidak mau membantu karena dianggap anak perempuan mereka sudah dibeli putus.
28
29
Awal peredaran sofren (uang atau lempengan emas) bisa jadi dimulai sejak perdagangan dengan Kerajaan Kadiri, maupun dengan Cina dan India. Bahkan koin-koin ini masih dipakai sampai zaman Belanda12. Koin Wilhelmina (1 Gulden perak) mulai diproduksi sejak 1818. Sementara koin dengan wajah Elizabeth Belis menurut penjelasan Dra. Yoseina Neonbeni, M.Hum10
adalah semacam maskawin dalam adat perkawinan Timor berupa sejumlah uang (kertas dan perak) dan hewan piaraan yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, sebagai balas jasa karena telah membesarkan perempuan yang akan dipersunting. Koin perak pada belis berterakan Ratu Wilhelmina dan Ratu Elizabeth II. Sejak kapan sofren (emas) dan koin perak wajah ratu Belanda dan Inggris menjadi bagian dari prosesi adat— khususnya dalam hal ini belis pernikahan—di Timor? Lama sebelum bangsa-bangsa Barat menginjakkan kakinya di Nusa Tenggara Timur, maka kepulauan di daerah ini, berhubung karena kayu cendananya, sudah dikenal oleh dunia luar luar.. Cendana putih dari Timor sudah dikenal di India dan di Cina sejak abad ketujuh. Pedagang-pedagang Hindu dan Cina sejak abad ke-10 sudah mengunjungi daerah ini untuk membeli kayu Cendana. Di dalam buku-buku sejarah Cina pada tahun 1225 telah ditulis, bahwa pulau Timor sangat kaya dengan kayu Cendana dan membayar membay ar kayu Cendana sebagai upeti kepada Kerajaan HinduJawa di Kediri. ... Di dalam tulisan seorang Cina tahun 1436, di jaman dinasti Ming, dikisahkan adanya tidak kurang dari 12 pelabuhan di pulau Timor Timor,, di mana pedagang-pedagang Cina dapat memuat kayu Cendana.11
Neonbeni, Op. cit , hlm. 12. Doko, Op. cit , hlm. 40–41.
10 11 12
https://id.wikipedia.org/wiki/Koin-koin_Nusantara_awal https://id.wikipedia.org/wiki/Koin-koin_Nusantara_a wal
13
Lihat kisah -1-, disadur dari kisah Makoan Petrus Thau.
II dipakai di beberapa negara, seperti Afrika Selatan, Australia, Selandia Baru, dan Kanada; sementara di Inggris sendiri mulai di
produksi sejak 1953. Tanah Timor pernah didatangi oleh beberapa negara tersebut. Entah dari zaman jayanya perdagangan kelautan nusantara, sampai perdagangan budak; semuanya memiliki hubungan
dengan negara-negara tersebut, kecuali Kanada dan Selandia Baru yang tidak saya temukan jejaknya. Pada saat perempuan pertama di bumi yang melahirkan di atas ikan Belanak membawa kembali anaknya anaknya dari langit, ia datang bersama dua penjaganya, satu perempuan dan satu lelaki. Kemudian seorang perempuan penjaga tersebut memotong payudaranya, payudarany a, menjelma menjadi sirih. Seorang lelaki penjaga memotong lidahnya, menjelma menjadi pinang. Nenek moyang datang membawa itu semua dari langit, sehingga dalam adat pernikahan lelaki membawa sirih untuk dipersembahkan kepada calon istri, kemudian keluarga istri mengoleh-olehi pinang, sebagai bekal kepada calon suami dan keluarganya. Tidak ngomong uang, atau potong hewan, apalagi persoalan tanah.13 Meskipun dua tanaman tersebut adalah pemberian yang amat sederhana, terjadi juga keluarga calon mempelai yang meminta sirih dan pinang dalam jumlah berkarung-karung. Sebagian besar narasumber saya tidak setuju dengan urusan belis karena terdengar seperti perdagangan: anak dibeli keluarga barunya, serta kebanyakan korbannya perempuan. Apabila nanti di rumah tangga ada persoalan, beberapa keluarga asal tidak bisa atau tidak mau membantu karena dianggap anak perempuan mereka sudah dibeli putus.
30
31
Kami juga mendapati bahwa di beberapa wilayah, seperti Boti Dalam maupun desa Lorotolus, tidak ada perceraian. Persoalan mahar pernikahan dibuat demikian sederhana, bahkan ditiadakan. Nyaris tidak ada kekerasan dalam rumah tangga, apabila ada masalah pernikahan, akan ditangani kedua belah pihak keluarga. Dalam berkehidupan keseharian di Boti Dalam, anak dirawat bersama. Saat kami di sana, saya pernah melihat raja 16 turut memberi obat, saat ada seorang balita jatuh kala bermain. Kepalanya diolesi minyak kemiri (serta ramuan lain) memakai bulu ayam. Kalau di sini keluarga kedua mempelai tidak perlu bawa sirih dan pinang secara khusus. Pada dasarnya sirih dan pinang selalu ada, setiap bertamu atau akan kumpul kita selalu sedia, karena tamu maupun tuan rumah bertukar sirih. Ke mana-mana juga kami bawa dalam tas, jadi bisa bertukar dari yang sudah ada, yang dibawa. Khusus persiapan nikah, masing-masing bawa perbekalan untuk dimakan bersama-sama, misalkan hasil bumi (beras, hewan piaraan); bukan untuk mahar perkawinan, di
sini tidak ada mahar. Jadi bahan-bahan yang dibawa kedua keluarga calon mempelai disatukan, diolah bersama, saat berkumpul dan makan-makan; kerabat atau tetangga juga bawa
untuk diolah dan nikmati bersama. Prosesi pernikahan di sini omong-omongan saja, tidak ada perceraian. Berbeda itu bila ada agama, sesuai dengan agama yang dianut. Tetapi di sini kan pakai tradisi, agama leluhur14, kami tidak pakai tata cara agama
Sementara di Desa Lorotolus (Malaka), pernikahan tidak menjadi hal yang utama. Mereka semua pendatang, ada yang bilang pelarian perang suku di masa lampau. Mereka disediakan wilayah oleh kerajaan yang saat ini menjadi area pemukiman mereka. Di sana banyak yang sudah beranak-pinak, baru melangsungkan pernikahan yang kebanyakan berupa pemberkatan di Gereja Katolik.
umumnya; biasanya keluar dari sini baik-baik, walau dalam
kehidupan bermasyarakat kita berbaur. 15 Dalam sejarahnya, raja-raja atau kepala suku di Timor bukan penguasa penuh
16
Pemerintah menamai agama mereka Halaika (artinya tak bertuhan/tak beragama/penyembah berhala), namun mereka enggan disebut demikian. Mereka menyatakan menyembah uis pah (alam ibu/alam raya/bumi) uis neno (alam bapak/langit). 14
15
Disadur dari percakapan dengan Usif (raja) Nama Benu yang diterjemahkan
oleh Tata Pah Sae di Desa Boti Dalam.
atas satu kelompok suku, melainkan menjalankan fungsi sebagai pengawas. Di Boti Dalam, kami melihat langsung tidak adanya hierarki tunggal; raja berbaur
dengan masyarakat, posisinya lebih dekat sebagai penasihat dan pelayan masyarakatnya. Perubahan Perubahan fungsi raja menjadi penguasa mutlak terjadi setelah
hadirnya penjajah, terutama Belanda, yang memberikan gelar kepada seorang pemuka yang berjasa dan menguntungkan kepentingan Belanda.
30
31
Kami juga mendapati bahwa di beberapa wilayah, seperti Boti Dalam maupun desa Lorotolus, tidak ada perceraian. Persoalan mahar pernikahan dibuat demikian sederhana, bahkan ditiadakan. Nyaris tidak ada kekerasan dalam rumah tangga, apabila ada masalah pernikahan, akan ditangani kedua belah pihak keluarga. Dalam berkehidupan keseharian di Boti Dalam, anak dirawat bersama. Saat kami di sana, saya pernah melihat raja 16 turut memberi obat, saat ada seorang balita jatuh kala bermain. Kepalanya diolesi minyak kemiri (serta ramuan lain) memakai bulu ayam. Kalau di sini keluarga kedua mempelai tidak perlu bawa sirih dan pinang secara khusus. Pada dasarnya sirih dan pinang selalu ada, setiap bertamu atau akan kumpul kita selalu sedia, karena tamu maupun tuan rumah bertukar sirih. Ke mana-mana juga kami bawa dalam tas, jadi bisa bertukar dari yang sudah ada, yang dibawa. Khusus persiapan nikah, masing-masing bawa perbekalan untuk dimakan bersama-sama, misalkan hasil bumi (beras, hewan piaraan); bukan untuk mahar perkawinan, di
sini tidak ada mahar. Jadi bahan-bahan yang dibawa kedua keluarga calon mempelai disatukan, diolah bersama, saat berkumpul dan makan-makan; kerabat atau tetangga juga bawa
untuk diolah dan nikmati bersama. Prosesi pernikahan di sini omong-omongan saja, tidak ada perceraian. Berbeda itu bila ada agama, sesuai dengan agama yang dianut. Tetapi di sini kan pakai tradisi, agama leluhur14, kami tidak pakai tata cara agama
Sementara di Desa Lorotolus (Malaka), pernikahan tidak menjadi hal yang utama. Mereka semua pendatang, ada yang bilang pelarian perang suku di masa lampau. Mereka disediakan wilayah oleh kerajaan yang saat ini menjadi area pemukiman mereka. Di sana banyak yang sudah beranak-pinak, baru melangsungkan pernikahan yang kebanyakan berupa pemberkatan di Gereja Katolik.
umumnya; biasanya keluar dari sini baik-baik, walau dalam
kehidupan bermasyarakat kita berbaur. 15 Dalam sejarahnya, raja-raja atau kepala suku di Timor bukan penguasa penuh
16
Pemerintah menamai agama mereka Halaika (artinya tak bertuhan/tak beragama/penyembah berhala), namun mereka enggan disebut demikian. Mereka menyatakan menyembah uis pah (alam ibu/alam raya/bumi) uis neno (alam bapak/langit). 14
15
Disadur dari percakapan dengan Usif (raja) Nama Benu yang diterjemahkan
oleh Tata Pah Sae di Desa Boti Dalam.
atas satu kelompok suku, melainkan menjalankan fungsi sebagai pengawas. Di Boti Dalam, kami melihat langsung tidak adanya hierarki tunggal; raja berbaur
dengan masyarakat, posisinya lebih dekat sebagai penasihat dan pelayan masyarakatnya. Perubahan Perubahan fungsi raja menjadi penguasa mutlak terjadi setelah
hadirnya penjajah, terutama Belanda, yang memberikan gelar kepada seorang pemuka yang berjasa dan menguntungkan kepentingan Belanda.
32
33
-3Mama sehari-hari kerja di rumah saja. Satu dua hari turun ke pasar, membawa hasil alam dari hutan. Namun sekarang ada pasar, kakak Ermi17, kasih modal mama jualan di rumah saja. Bapak yang ke hutan sesekali. Keempat anak Mama semuanya sekolah dari hasil alam. Anak pertama sekolah SD Dito, terus SMP di Malibu, terus SMA sekolah swasta di Kusuma Bangsa Atambua, terus Kakak Ermi lanjut D 2 di kampus UT, wisuda di Jakarta, sampai ikut kuliah lagi di PGSD. Semuanya Mama yang biayai, paling tinggi ke Jakarta itu. Anak kedua, si Yosef, cuma sampai
SMP,, karena menemani Bapak untuk melanjutkan menjadi SMP kapitan. Baru anak ketiga, Kakak Efri itu, yang kini sedang
didukung, jadi contoh di kampung, orang tua juga bangga kalau anaknya sekolah tinggi dan bisa mandiri. Jadi perempuan di sini itu berhak menentukan kapan dia mau menikah, tidak akan ada yang mengucilkan atau menggunjing. Tapi, ada beberapa anak murid saya yang sekarang sudah punya anak, sudah menikah, dan tidak lanjut sekolah. Atau misalkan sudah jauh-jauh kuliah di kota, pulang bawa anak bukan ijazah. Walau demikian, orang tua maupun adat menerima. Jadi urusan pendidikan ingin diteruskan sampai mana itu tergantung kepribadian masingmasing saja. Ada juga yang anaknya di kampung, terus ibunya melanjutkan kuliah.19
sepertinya tidak ingin lanjut lagi. Dia mau bantu Bapak di ladang saja. Banyak orang untuk menyekolahkan anak itu harus ada
Selain kisah perjalanannya yang mandiri, Kakak Ermi ini kerap menjadi mentor untuk murid-muridnya, agar terus bertambah yang mengambil pendidikan tingkat lanjut. Sisi lain yang juga saya pelajari adalah bagaimana beberapa hal seperti kehamilan
(punya dana, red.), atau jual-jual apa; kalau Mama sama Bapak
di luar nikah tidak ditanggapi dengan negatif. Tidak tampak
ini tidak ada, jadi harus susah payah. Hasil mereka sarjana ini usaha dari hasil alam.18
kesan menjadikan perempuan atau kejadian tersebut sebagai aib. Kakak Ermi berulang kali menganggap itu sebagai pilihan pribadi tiap-tiap orang.
Mama Monika selayaknya ibu-ibu di desa. Selain memasak, ia pula yang memanen jagung. Terk Terkadang adang saya melihat ia menenun. Tampak penting baginya menyekolahkan anak-anaknya. Tampak bangga sekali ia menceritakan perjalanan anak-anaknya, apalagi setelah Kakak Ermi menjadi guru. Saat mengikuti keluarganya dalam upacara adat panen jagung, saya sempat bertemu dengan anak perempuan lain yang saat itu masih kelas 4 SD. Ia bilang citacitanya menjadi dokter, saya merasa bersemangat mendengarnya.
Dalam sejarahnya, perempuan di Indonesia memiliki peran yang cukup penting, baik di dalam keluarga dan di luar rumah. Sebut saja menjadi pemimpin ritual, ahli pengobatan tradisional, peranperan penting lainnya seperti menjadi dukun beranak, mengurus rumah tangga, ataupun menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Bahkan sejak pertama kalinya ada pemilu (1955), perempuan sudah terlibat, walau dalam kancah politik posisinya tetap didominasi lelaki.20
menyelesaikan menyelesaika n kuliahnya di Kupang. Kalau yang keempat, Kakak Sony, setelah dua kali mendaftar kuliah tidak diterima,
Kita di sini tidak dipaksa untuk menikah cepat. Kemarin itu kalau lihat ada kakak yang datang, ia juga belum menikah, usianya sudah hampir 40. Di sini kalau sekolah atau berkarier itu
17
18
Anak pertama. Disadur dari percakapan dengan Mama Monika Sako.
Berbagai penelitian menyajikan bagaimana perubahan perlakuan dan pembagian peran antarjenis kelamin menjadi berat sebelah setelah masuknya berbagai agama populer dan penjajahan oleh
19 20
Disadur dari percakapan dengan Kakak Maria Ermi Rindakfunan. https://en.wikipedia.org/wiki/Women_in_Indonesia
32
33
-3Mama sehari-hari kerja di rumah saja. Satu dua hari turun ke pasar, membawa hasil alam dari hutan. Namun sekarang ada pasar, kakak Ermi17, kasih modal mama jualan di rumah saja. Bapak yang ke hutan sesekali. Keempat anak Mama semuanya sekolah dari hasil alam. Anak pertama sekolah SD Dito, terus SMP di Malibu, terus SMA sekolah swasta di Kusuma Bangsa Atambua, terus Kakak Ermi lanjut D 2 di kampus UT, wisuda di Jakarta, sampai ikut kuliah lagi di PGSD. Semuanya Mama yang biayai, paling tinggi ke Jakarta itu. Anak kedua, si Yosef, cuma sampai
SMP,, karena menemani Bapak untuk melanjutkan menjadi SMP kapitan. Baru anak ketiga, Kakak Efri itu, yang kini sedang
didukung, jadi contoh di kampung, orang tua juga bangga kalau anaknya sekolah tinggi dan bisa mandiri. Jadi perempuan di sini itu berhak menentukan kapan dia mau menikah, tidak akan ada yang mengucilkan atau menggunjing. Tapi, ada beberapa anak murid saya yang sekarang sudah punya anak, sudah menikah, dan tidak lanjut sekolah. Atau misalkan sudah jauh-jauh kuliah di kota, pulang bawa anak bukan ijazah. Walau demikian, orang tua maupun adat menerima. Jadi urusan pendidikan ingin diteruskan sampai mana itu tergantung kepribadian masingmasing saja. Ada juga yang anaknya di kampung, terus ibunya melanjutkan kuliah.19
sepertinya tidak ingin lanjut lagi. Dia mau bantu Bapak di ladang saja. Banyak orang untuk menyekolahkan anak itu harus ada
Selain kisah perjalanannya yang mandiri, Kakak Ermi ini kerap menjadi mentor untuk murid-muridnya, agar terus bertambah yang mengambil pendidikan tingkat lanjut. Sisi lain yang juga saya pelajari adalah bagaimana beberapa hal seperti kehamilan
(punya dana, red.), atau jual-jual apa; kalau Mama sama Bapak
di luar nikah tidak ditanggapi dengan negatif. Tidak tampak
ini tidak ada, jadi harus susah payah. Hasil mereka sarjana ini usaha dari hasil alam.18
kesan menjadikan perempuan atau kejadian tersebut sebagai aib. Kakak Ermi berulang kali menganggap itu sebagai pilihan pribadi tiap-tiap orang.
Mama Monika selayaknya ibu-ibu di desa. Selain memasak, ia pula yang memanen jagung. Terk Terkadang adang saya melihat ia menenun. Tampak penting baginya menyekolahkan anak-anaknya. Tampak bangga sekali ia menceritakan perjalanan anak-anaknya, apalagi setelah Kakak Ermi menjadi guru. Saat mengikuti keluarganya dalam upacara adat panen jagung, saya sempat bertemu dengan anak perempuan lain yang saat itu masih kelas 4 SD. Ia bilang citacitanya menjadi dokter, saya merasa bersemangat mendengarnya.
Dalam sejarahnya, perempuan di Indonesia memiliki peran yang cukup penting, baik di dalam keluarga dan di luar rumah. Sebut saja menjadi pemimpin ritual, ahli pengobatan tradisional, peranperan penting lainnya seperti menjadi dukun beranak, mengurus rumah tangga, ataupun menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Bahkan sejak pertama kalinya ada pemilu (1955), perempuan sudah terlibat, walau dalam kancah politik posisinya tetap didominasi lelaki.20
menyelesaikan menyelesaika n kuliahnya di Kupang. Kalau yang keempat, Kakak Sony, setelah dua kali mendaftar kuliah tidak diterima,
Kita di sini tidak dipaksa untuk menikah cepat. Kemarin itu kalau lihat ada kakak yang datang, ia juga belum menikah, usianya sudah hampir 40. Di sini kalau sekolah atau berkarier itu
17
18
Anak pertama. Disadur dari percakapan dengan Mama Monika Sako.
Berbagai penelitian menyajikan bagaimana perubahan perlakuan dan pembagian peran antarjenis kelamin menjadi berat sebelah setelah masuknya berbagai agama populer dan penjajahan oleh
19 20
Disadur dari percakapan dengan Kakak Maria Ermi Rindakfunan. https://en.wikipedia.org/wiki/Women_in_Indonesia
34
35
bangsa asing. Kedatangan agama populer (Hindu, Budha, Kristen/ Katolik, Islam) memang atas nama pencerahan, ajaran, atau tawaran pemikiran dari berbagai kitab yang saya rasa semuanya baik, namun disalahgunakan oleh berbagai oknum yang bertugas sebagai penyebar merangkap penguasa, dengan menciptakan aturan yang tidak adil, serta kerap sulit untuk didiskusikan dengan damai dan terbuka. Kondisi ini semakin kelam dengan masuknya seri penjajahan oleh beberapa bangsa lain, atas nama perdagangan dan kemajuan ekonomi. Berawal dengan tawaran bekerja sama, namun seiring berjalannya waktu jadi memecah belah dan menindas, melalui perombakan tatanan pemerintahan yang mengadu domba, serta merombak relasi antarmanusia dengan pembagian peran jenis kelamin yang merugikan satu pihak. Banyak tokoh perempuan yang berperan penting dalam adat suatu daerah. Setidaknya saya pernah bertemu kisah Boru Lopian di Tanah Batak (Sumatra Utara), Ratu Sukeremong di Kerajaan Skala Békhak (Lampung Barat), maupun Francisca Fanggidaej (Kupang) yang kerap disebut-sebut dalam catatan wartawan Peter A. Rohi. ... di Timor, para wanitanya tidak bekerja sebagai pelayan. Saya hanya bisa mendapatkan seorang wanita untuk membantu saya.21 Sepertinya pernyataan Anna Forbes tersebut berlaku sebelum zaman jual-beli budak yang berpusat di Atambua. Kisahnya berawal dari seseorang yang tak mampu membayar hutang, sehingga mengganti dengan jasanya; selain itu para budak
terdiri atas tawanan perang antarsuku, hingga mereka yang terlibat dalam perdagangan antara Portugis dan Belanda. Dengan alasan kebutuhan pembangunan di Nusantara, Belanda banyak mengimpor budak dari Pulau Timor. 22 Miller, George (ed.). 2012. “Kisah Wanita Muda Inggris di Belantara Timor (1880an) oleh Anna Forbes” dalam Indonesia Timur Tempo Doloe: 1544–1992 , Komunitas Bambu, hal. 200
Kembali ke persoalan pendidikan. Pendidikan menjadi salah satu hal yang semakin kentara diperhatikan pada zaman penjajahan Belanda maupun Jepang. Keduanya hanya membuka kesempatan pendidikan bagi perempuan untuk jadi ‘makhluk terampil’. Terampil dalam mengatur rumah tangga, menjahit, menjadi buruh perkebunan, menari keliling, serta terampil melayani para tentara sebagai pemuas seks (bukan pekerja). Pendidikan hanya diperuntukkan bagi warga keturunan Belanda, ataupun segelintir anak bangsawan dan pejabat lokal yang bekerja untuk mereka. Organisasi kemasyarakatan perempuan ada di zaman Belanda, tetapi diawasi dengan ketat, sewaktu-waktu bisa dibubarkan. Lain halnya semangat propaganda Jepang, yang dengan cerdas dapat melihat kuatnya ikatan masyarakat atas nama agama tertentu, maka dibentuklah organisasi-organisasi keperempuan untuk kepentingan mereka.23 Akibat situasi masa lampau semacam itu, kita kerap mendapati kisah perjuangan perempuan yang terdengar heroik. Misalnya Kartini yang mendirikan sekolah perempuan. Ada pula salah seorang tokoh perempuan Islam yang membuka sekolah khusus perempuan karena menurutnya semua orang berhak memiliki pengetahuan. Juga Agustina Prasetyo Murniati yang mempelajari teologi sampai ke Amerika Serikat, karena saat itu (awal 1980an) di Indonesia belum ada sekolah teologi bagi perempuan. Perempuan masih ketat didiskriminasikan. Kebebasan itu hanya ada dalam bidang pendidikan saja. Namun masih ada anggapan bahwa perempuan yang bersekolah tinggi juga tetap akan kembali ke dapur. dapur. Selain itu, juga memang ada kendala dalam hal biaya dan lain-lain.24
21
22
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kota_Atambua
https://kampusmayaku.w https://kampus mayaku.wordpress.com/2010/0 ordpress.com/2010/04/09/masyar 4/09/masyarakat-danakat-danwanita-pada-masa-pendudukan-jepang-i/ 24 Pernyataan cucu Raja Insana, Jude D’Lorenzo Taolin 23
34
35
bangsa asing. Kedatangan agama populer (Hindu, Budha, Kristen/ Katolik, Islam) memang atas nama pencerahan, ajaran, atau tawaran pemikiran dari berbagai kitab yang saya rasa semuanya baik, namun disalahgunakan oleh berbagai oknum yang bertugas sebagai penyebar merangkap penguasa, dengan menciptakan aturan yang tidak adil, serta kerap sulit untuk didiskusikan dengan damai dan terbuka. Kondisi ini semakin kelam dengan masuknya seri penjajahan oleh beberapa bangsa lain, atas nama perdagangan dan kemajuan ekonomi. Berawal dengan tawaran bekerja sama, namun seiring berjalannya waktu jadi memecah belah dan menindas, melalui perombakan tatanan pemerintahan yang mengadu domba, serta merombak relasi antarmanusia dengan pembagian peran jenis kelamin yang merugikan satu pihak. Banyak tokoh perempuan yang berperan penting dalam adat suatu daerah. Setidaknya saya pernah bertemu kisah Boru Lopian di Tanah Batak (Sumatra Utara), Ratu Sukeremong di Kerajaan Skala Békhak (Lampung Barat), maupun Francisca Fanggidaej (Kupang) yang kerap disebut-sebut dalam catatan wartawan Peter A. Rohi. ... di Timor, para wanitanya tidak bekerja sebagai pelayan. Saya hanya bisa mendapatkan seorang wanita untuk membantu saya.21 Sepertinya pernyataan Anna Forbes tersebut berlaku sebelum zaman jual-beli budak yang berpusat di Atambua. Kisahnya berawal dari seseorang yang tak mampu membayar hutang, sehingga mengganti dengan jasanya; selain itu para budak
terdiri atas tawanan perang antarsuku, hingga mereka yang terlibat dalam perdagangan antara Portugis dan Belanda. Dengan alasan kebutuhan pembangunan di Nusantara, Belanda banyak mengimpor budak dari Pulau Timor. 22 Miller, George (ed.). 2012. “Kisah Wanita Muda Inggris di Belantara Timor (1880an) oleh Anna Forbes” dalam Indonesia Timur Tempo Doloe: 1544–1992 , Komunitas Bambu, hal. 200
Kembali ke persoalan pendidikan. Pendidikan menjadi salah satu hal yang semakin kentara diperhatikan pada zaman penjajahan Belanda maupun Jepang. Keduanya hanya membuka kesempatan pendidikan bagi perempuan untuk jadi ‘makhluk terampil’. Terampil dalam mengatur rumah tangga, menjahit, menjadi buruh perkebunan, menari keliling, serta terampil melayani para tentara sebagai pemuas seks (bukan pekerja). Pendidikan hanya diperuntukkan bagi warga keturunan Belanda, ataupun segelintir anak bangsawan dan pejabat lokal yang bekerja untuk mereka. Organisasi kemasyarakatan perempuan ada di zaman Belanda, tetapi diawasi dengan ketat, sewaktu-waktu bisa dibubarkan. Lain halnya semangat propaganda Jepang, yang dengan cerdas dapat melihat kuatnya ikatan masyarakat atas nama agama tertentu, maka dibentuklah organisasi-organisasi keperempuan untuk kepentingan mereka.23 Akibat situasi masa lampau semacam itu, kita kerap mendapati kisah perjuangan perempuan yang terdengar heroik. Misalnya Kartini yang mendirikan sekolah perempuan. Ada pula salah seorang tokoh perempuan Islam yang membuka sekolah khusus perempuan karena menurutnya semua orang berhak memiliki pengetahuan. Juga Agustina Prasetyo Murniati yang mempelajari teologi sampai ke Amerika Serikat, karena saat itu (awal 1980an) di Indonesia belum ada sekolah teologi bagi perempuan. Perempuan masih ketat didiskriminasikan. Kebebasan itu hanya ada dalam bidang pendidikan saja. Namun masih ada anggapan bahwa perempuan yang bersekolah tinggi juga tetap akan kembali ke dapur. dapur. Selain itu, juga memang ada kendala dalam hal biaya dan lain-lain.24
21
22
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kota_Atambua
https://kampusmayaku.w https://kampus mayaku.wordpress.com/2010/0 ordpress.com/2010/04/09/masyar 4/09/masyarakat-danakat-danwanita-pada-masa-pendudukan-jepang-i/ 24 Pernyataan cucu Raja Insana, Jude D’Lorenzo Taolin 23
37
36
Perubahan cara hidup setelah ratusan tahun berada di posisi yang kurang menguntungkan membuat perempuan—barangkali— tidak memiliki posisi sejaya ketika hidup sepenuhnya dengan adat dahulu. Ditambah lagi situasi politik negara yang selama puluhan tahun menurunkan peranan perempuan, lantas dikembalikan ke dalam posisi yang dianggap rendah, tak dianggap berarti. Beberapa suku, atau kerajaan di Timor juga tak lepas dari pengaruh masa penjajahan, perang antarsuku, sampai pembentukan ‘raja’25. Jangankan ketersediaan pendidikan, di wilayah Timor Barat untuk tinggal saja sudah kesulitan. Wilayah lain sudah merdeka sejak 1945, namun di sana masih terjadi pertumpahan darah sampai 2002. Waktu Oma masih hidup, di Oelolok (lokasi istana/sonaf Kerajaan Insana) dulu tidak ada SMA. Hanya ada SMP. Jadi kalau seorang anak tamat SMP dan mau melanjutkan ke SMA, keluarga harus menyekolahkannya menyekolahkannya di kabupaten. Nah kita ini yang masih SMP-SMP di- drop semua pindah ke sana. Akhirnya Papa menyumbang tanah untuk bangun SMA di sana. Jadi sekarang sudah ada SMA.26 Lambatnya pembangunan di sana juga termasuk soal pendidikan, tak hanya soal perempuan. Saat berada di sana, saya sering bertemu dengan anak-anak SD yang harus berjalan jauh saat pulang dari sekolah. Seperti pernyataan Jude, SMP & SMA lumayan langka, umumnya hanya ada beberapa di kabupaten. Untunglah lembaga swasta, perorangan, serta beberapa yayasan Katolik/ Kristen mendirikan SMP/SMA, sehingga populasi penduduk yang dapat mengakses pendidikan lebih banyak.
Belanda seenaknya saja memberikan gelar ‘Raja’, ‘Liurai’, ‘Raja Besar’, atau Keizer kepada para pemuka atau pemerintah adat yang berjasa untuk kepentingannya, tanpa memedulikan kedudukan orang tersebut dalam masyarakatnya. 26 Pernyataan cucu Raja Insana, Jude D’Lorenzo Taolin. 25
Sementara di Boti Dalam, kalau ada dua anak, maka satu anak akan belajar di sekolah modern, sementara satunya tinggal di desa sebagai penjaga budaya. Semua bisa sekolah tinggi, kemudian bisa memilih untuk kembali atau keluar dari suku. Saat kembali itulah terjadi pertukaran: yang bersekolah bisa membagi pengetahuan modernnya, yang tinggal di desa bisa berbagi pengetahuan budaya. Tak ditentukan apa jenis kelaminnya, yang tinggal maupun yang pergi bisa perempuan maupun lelaki.
37
36
Perubahan cara hidup setelah ratusan tahun berada di posisi yang kurang menguntungkan membuat perempuan—barangkali— tidak memiliki posisi sejaya ketika hidup sepenuhnya dengan adat dahulu. Ditambah lagi situasi politik negara yang selama puluhan tahun menurunkan peranan perempuan, lantas dikembalikan ke dalam posisi yang dianggap rendah, tak dianggap berarti. Beberapa suku, atau kerajaan di Timor juga tak lepas dari pengaruh masa penjajahan, perang antarsuku, sampai pembentukan ‘raja’25. Jangankan ketersediaan pendidikan, di wilayah Timor Barat untuk tinggal saja sudah kesulitan. Wilayah lain sudah merdeka sejak 1945, namun di sana masih terjadi pertumpahan darah sampai 2002.
Sementara di Boti Dalam, kalau ada dua anak, maka satu anak akan belajar di sekolah modern, sementara satunya tinggal di desa sebagai penjaga budaya. Semua bisa sekolah tinggi, kemudian bisa memilih untuk kembali atau keluar dari suku. Saat kembali itulah terjadi pertukaran: yang bersekolah bisa membagi pengetahuan modernnya, yang tinggal di desa bisa berbagi pengetahuan budaya. Tak ditentukan apa jenis kelaminnya, yang tinggal maupun yang pergi bisa perempuan maupun lelaki.
Waktu Oma masih hidup, di Oelolok (lokasi istana/sonaf Kerajaan Insana) dulu tidak ada SMA. Hanya ada SMP. Jadi kalau seorang anak tamat SMP dan mau melanjutkan ke SMA, keluarga harus menyekolahkannya menyekolahkannya di kabupaten. Nah kita ini yang masih SMP-SMP di- drop semua pindah ke sana. Akhirnya Papa menyumbang tanah untuk bangun SMA di sana. Jadi sekarang sudah ada SMA.26 Lambatnya pembangunan di sana juga termasuk soal pendidikan, tak hanya soal perempuan. Saat berada di sana, saya sering bertemu dengan anak-anak SD yang harus berjalan jauh saat pulang dari sekolah. Seperti pernyataan Jude, SMP & SMA lumayan langka, umumnya hanya ada beberapa di kabupaten. Untunglah lembaga swasta, perorangan, serta beberapa yayasan Katolik/ Kristen mendirikan SMP/SMA, sehingga populasi penduduk yang dapat mengakses pendidikan lebih banyak.
Belanda seenaknya saja memberikan gelar ‘Raja’, ‘Liurai’, ‘Raja Besar’, atau Keizer kepada para pemuka atau pemerintah adat yang berjasa untuk kepentingannya, tanpa memedulikan kedudukan orang tersebut dalam masyarakatnya. 26 Pernyataan cucu Raja Insana, Jude D’Lorenzo Taolin. 25
38
39
PERJALANAN KEMA KEM ATIAN DI TIMOR Amarawati Ayuningtyas
Perjalanan ritual kematian di Timor adalah pertemuan pertama dalam perjalanan kami sesampai di pulau ini. Ritual kematian menjadi penting bagi orang Timor, sama halnya dengan ritual kelahiran, pernikahan ataupun membuat rumah adat. Ritus kematian bagi orang Timor dilaksanakan dengan pembagian peran perempuan dan lakilaki. Inilah salah satu hal yang membuat saya tertarik untuk menuliskannya setelah mengamati praktik-praktik ritual di Timor,, khususnya dalam ritus kematian. Kami mendapatkan Timor kesempatan untuk hadir dan mewawancarai beberapa orang dalam ritual kematian di Nualain, Lorotolus, dan Wehali. Dalam perjalanan selama empat hari tiga malam di Nualain, kami sempat mendatangi beberapa ritus kematian di kalangan orang biasa sampai keturunan bangsawan. Di Timor, ada pembagian wilayah pascapenjajahan Portugis dan Belanda yang memengaruhi persebaran agama di sana. Di wilayah Timor Tengah Utara, mayoritas penduduknya beragama Katolik, yang dulunya di bawah jajahan Portugis; dan penduduk Timor Tengah Selatan mayoritas beragama Kristen Protestan, dulunya di bawah jajahan Belanda. Dalam perjalanan menuju daerah ini, akan terlihat banyak nisan dengan simbol katolik. Menurut Pitter Middelkop (1924– 1957), seorang pendeta Belanda yang melakukan pengabaran Injil cukup lama pada masyarakat Timor, “ dalam lingkungan
orang Timor kematian dan kehidupan dialami sebagai dua kuasa yang bertentangan, seperti sebuah kutub dan kutub lawan, atau sebagai drama yang berjalan terus, pada saat ini di sini dan pada saat lain di sana, yang melibatkan manusia dan tindakannya”. 1
Sekumpulan laki-laki dan perempuan berkumpul di depan rumah adat beratapkan tenda. Mereka membuka kartukartu dalam permainan judi. Ini suasana yang asing bagi saya sesampainya kami di Nualaian. Tenda dan meja judi menandakan bahwa ada duka kematian di sebuah rumah. Tetangga-tetangga mete (begadang) menjaga suasana tetap ramai dengan bermain judi, walaupun aktivitas ini ilegal di Timor Barat. Dalam rumah duka, masyarakat menyiapkan dua ruangan terpisah: satu ruangan untuk peti mati dan satu ruangan sesajen untuk leluhur. Ruangan peti mati dikelilingi perempuan-perempuan yang menangis dan meratap2. Di Wehali kami sempat menyaksikan dan duduk bersama dengan perempuan-perempuan yang sedang meratap sambil menceritakan tentang kuburan sanak saudaranya.
Middelkoop, P. 1982. Atoni pah meto: pertemuan Injil dan kebudayaan di kalangan suku Timor asli, Vol. 9 Seri: Gereja, Agama dan Kebudayaan di Indonesia. 1
BPK Gunung Mulia. 2 Sumarsono, Elisabeth Helen. 2012. Konsep Kehidupan setelah Kematian Fatu Bian Ma Hau Bian: Upaya untuk Mempertahankan Identitas Keagamaan Lokal Atoin Pah Meto Suku Boti (Tesis). Program Pascasarjana Agama dan Lintas
Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dalam tesisnya diungkapkan bahwa ratapan tersebut sesungguhnya biasanya merupakan sebuah nyanyian yang berisi tuturan berupa petunjuk arah pulang menuju tempat yang seharusnya, agar perjalanan nantinya jangan sampai tersesat (2012: 74).
38
39
PERJALANAN KEMA KEM ATIAN DI TIMOR Amarawati Ayuningtyas
Perjalanan ritual kematian di Timor adalah pertemuan pertama dalam perjalanan kami sesampai di pulau ini. Ritual kematian menjadi penting bagi orang Timor, sama halnya dengan ritual kelahiran, pernikahan ataupun membuat rumah adat. Ritus kematian bagi orang Timor dilaksanakan dengan pembagian peran perempuan dan lakilaki. Inilah salah satu hal yang membuat saya tertarik untuk menuliskannya setelah mengamati praktik-praktik ritual di Timor,, khususnya dalam ritus kematian. Kami mendapatkan Timor kesempatan untuk hadir dan mewawancarai beberapa orang dalam ritual kematian di Nualain, Lorotolus, dan Wehali. Dalam perjalanan selama empat hari tiga malam di Nualain, kami sempat mendatangi beberapa ritus kematian di kalangan orang biasa sampai keturunan bangsawan. Di Timor, ada pembagian wilayah pascapenjajahan Portugis dan Belanda yang memengaruhi persebaran agama di sana. Di wilayah Timor Tengah Utara, mayoritas penduduknya beragama Katolik, yang dulunya di bawah jajahan Portugis; dan penduduk Timor Tengah Selatan mayoritas beragama Kristen Protestan, dulunya di bawah jajahan Belanda. Dalam perjalanan menuju daerah ini, akan terlihat banyak nisan dengan simbol katolik. Menurut Pitter Middelkop (1924– 1957), seorang pendeta Belanda yang melakukan pengabaran Injil cukup lama pada masyarakat Timor, “ dalam lingkungan
orang Timor kematian dan kehidupan dialami sebagai dua kuasa yang bertentangan, seperti sebuah kutub dan kutub lawan, atau sebagai drama yang berjalan terus, pada saat ini di sini dan pada saat lain di sana, yang melibatkan manusia dan tindakannya”. 1
Sekumpulan laki-laki dan perempuan berkumpul di depan rumah adat beratapkan tenda. Mereka membuka kartukartu dalam permainan judi. Ini suasana yang asing bagi saya sesampainya kami di Nualaian. Tenda dan meja judi menandakan bahwa ada duka kematian di sebuah rumah. Tetangga-tetangga mete (begadang) menjaga suasana tetap ramai dengan bermain judi, walaupun aktivitas ini ilegal di Timor Barat. Dalam rumah duka, masyarakat menyiapkan dua ruangan terpisah: satu ruangan untuk peti mati dan satu ruangan sesajen untuk leluhur. Ruangan peti mati dikelilingi perempuan-perempuan yang menangis dan meratap2. Di Wehali kami sempat menyaksikan dan duduk bersama dengan perempuan-perempuan yang sedang meratap sambil menceritakan tentang kuburan sanak saudaranya.
Middelkoop, P. 1982. Atoni pah meto: pertemuan Injil dan kebudayaan di kalangan suku Timor asli, Vol. 9 Seri: Gereja, Agama dan Kebudayaan di Indonesia. 1
BPK Gunung Mulia. 2 Sumarsono, Elisabeth Helen. 2012. Konsep Kehidupan setelah Kematian Fatu Bian Ma Hau Bian: Upaya untuk Mempertahankan Identitas Keagamaan Lokal Atoin Pah Meto Suku Boti (Tesis). Program Pascasarjana Agama dan Lintas
Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dalam tesisnya diungkapkan bahwa ratapan tersebut sesungguhnya biasanya merupakan sebuah nyanyian yang berisi tuturan berupa petunjuk arah pulang menuju tempat yang seharusnya, agar perjalanan nantinya jangan sampai tersesat (2012: 74).
40
41
Setelah 40 hari, mereka akan menaburkan kapas, daun sirih, dan beberapa alat yang biasa dipakai ke atas kuburan dalam ritual Soe Kaban Musan. Ritual ini merupakan ucapan selamat tinggal terakhir dari keluarga dan hanya dilakukan oleh para perempuan.
Selain itu, di rumah duka akan selalu ada pembagian ruang yang akan difungsikan sebagai ruangan agama, ruangan
jenazah, dan ruangan adat yang menyajikan piring sesajen berisi rebusan daging untuk menghormati leluhur, tetua adat, orang yang dihormati, dan pemuka agama setempat. Sementara itu, dalam ritus kematian yang diselenggarakan di rumah duka keturunan bangsawan, ada dua hal yang berbeda dari ritus kematian umumnya. Pertama, ada makoan (penutur adat) yang menuturkan silsilah seperti dalam nyanyian. Kedua Kedua,, terdapat gong yang berfungsi sebagai penanda rumah duka seorang bangsawan. Dalam rumah adat, perempuan dan laki-laki dari remaja sampai tua bekerja di dapur dan berbagi peran. Laki-laki usia 40-an memotong daging sapi dan babi;
Lain halnya saat kami berada di Lorotolus. Suku-suku yang berada wilayah Wanibesak dulunya adalah pengungsi perang Manufahi yang berasal dari Suai, Timor Leste. Suku
ini terdiri Suku Soka dan Suku Suhi. Pada ritus kematian seorang keturunan bangsawan di Lorotolus, keluarga yang ditinggalkan tidak diperbolehkan atau pamali menangis selama tiga hari tiga malam sebelum jenazah dimakamkan.
beberapa perempuan merebus daging olahan. Sejumlah ibuibu lainnya menyiapkan nasi dan daging rebusan. Di bagian ini kami kebagian tugas. Saya bertugas menyuguhkan makanan kepada para pelayat. Penyuguhan makanan ini dilakukan sesuai urutan, yakni pertama kali untuk orangorang tua, lalu ibu dan anak, baru kemudian bapak dan lakilaki. Untuk ibu yang membawa anak harus disiapkan makanan dengan jumlah yang sesuai dengan anak yang dibawa.
40
41
Setelah 40 hari, mereka akan menaburkan kapas, daun sirih, dan beberapa alat yang biasa dipakai ke atas kuburan dalam ritual Soe Kaban Musan. Ritual ini merupakan ucapan selamat tinggal terakhir dari keluarga dan hanya dilakukan oleh para perempuan.
Selain itu, di rumah duka akan selalu ada pembagian ruang yang akan difungsikan sebagai ruangan agama, ruangan
jenazah, dan ruangan adat yang menyajikan piring sesajen berisi rebusan daging untuk menghormati leluhur, tetua adat, orang yang dihormati, dan pemuka agama setempat. Sementara itu, dalam ritus kematian yang diselenggarakan di rumah duka keturunan bangsawan, ada dua hal yang berbeda dari ritus kematian umumnya. Pertama, ada makoan (penutur adat) yang menuturkan silsilah seperti dalam nyanyian. Kedua Kedua,, terdapat gong yang berfungsi sebagai penanda rumah duka seorang bangsawan. Dalam rumah adat, perempuan dan laki-laki dari remaja sampai tua bekerja di dapur dan berbagi peran. Laki-laki usia 40-an memotong daging sapi dan babi;
Lain halnya saat kami berada di Lorotolus. Suku-suku yang berada wilayah Wanibesak dulunya adalah pengungsi perang Manufahi yang berasal dari Suai, Timor Leste. Suku
ini terdiri Suku Soka dan Suku Suhi. Pada ritus kematian seorang keturunan bangsawan di Lorotolus, keluarga yang ditinggalkan tidak diperbolehkan atau pamali menangis selama tiga hari tiga malam sebelum jenazah dimakamkan.
beberapa perempuan merebus daging olahan. Sejumlah ibuibu lainnya menyiapkan nasi dan daging rebusan. Di bagian ini kami kebagian tugas. Saya bertugas menyuguhkan makanan kepada para pelayat. Penyuguhan makanan ini dilakukan sesuai urutan, yakni pertama kali untuk orangorang tua, lalu ibu dan anak, baru kemudian bapak dan lakilaki. Untuk ibu yang membawa anak harus disiapkan makanan dengan jumlah yang sesuai dengan anak yang dibawa.
42
43
Satu hal menarik dari seluruh aktivitas dapur dan penyajian saat ritual kematian adalah adanya pembagian peran antara perempuan dan laki-laki yang sama dan rata. Keduanya terlihat punya peran dalam pekerjaan domestik. Durkheim menyebutnyaa demikian, “It can be seen as a vehicle to gain menyebutny social status and to create and maintain “social” solidarity” 4. Maka dapat dikatakan bahwa pada aktivitas-aktivitas dapur dalam ritual kematian, ada solidaritas sosial yang dibangun.
Perempuan dan anak didahulukan karena merekalah yang membawa beban berat dan paling jauh perjalanannya. Setelah makan, diakhiri dengan sirih pinang.
Berbeda pula yang kami amati saat berada di Suku Boti Dalam. Biasanya saat tamu-tamu hadir, akan ada penyambutan. Namun, kali ketika kami datang, mereka tidak melakukannya karena masih dalam suasana duka setelah kematian istri raja Boti yang terdahulu pada tahun 2014 lalu. Pah Sae mengatakan penyambutan tamu ditiadakan selama empat tahun5.
Merry Kolimon (2009: 69) mengatakan bahwa dalam konteks Timor pembunuhan hewan korban dalam suatu ritus menampilkan beberapa aspek simbolik: kematian seekor binatang menyimbolkan berakhirnya sesuatu, entah itu penyakit, konlik maupun upaya untuk membangun
sebuah rumah baru. Dengan membunuh seekor hewan seorang melepas masa lalu dan memulai sesuatu yang baru.3 Hal itu juga menandakan krisis yang telah dilampaui.
Kolimon, Mery, 2008. A Theology of Empowerment. Relection from a West Timorese Feminist Perspective (Distertasi). Perspective (Distertasi). Berlin: Lit Verlag. 3
Durkheim, Emile. 1965. The Elementary Forms of the Religious Life terjemahan oleh. J. W. Swain. New York: Free Press, hal. 51. 5 Dalam ritual kematian hari keempat, biasanya pihak keluarga berembuk tentang waktu yang tepat untuk diadakan peringatan hari kematian ini. Secara adat sebenarnya tidak ada keharusan untuk melaksanakannya dalam kurun waktu tertentu, namun kebanyakan acara Nalais ini dilaksanakan dalam rentang satu sampai empat tahun. Semuanya bergantung pada kesepakatan, kesiapan dan kesanggupan keluarga karena dalam ritual ini dibutuhkan banyak bahan makanan dan juga hewa persembahan yang dalam istilah orang Boti disebut sisi nak funu makas nai noe yang artinya daging haruslah banyak seperti bulu rambut dan makanan haruslah sebanyak pasir di sungai (Sumarsono, 2012: 80). 4
42
43
Satu hal menarik dari seluruh aktivitas dapur dan penyajian saat ritual kematian adalah adanya pembagian peran antara perempuan dan laki-laki yang sama dan rata. Keduanya terlihat punya peran dalam pekerjaan domestik. Durkheim menyebutnyaa demikian, “It can be seen as a vehicle to gain menyebutny social status and to create and maintain “social” solidarity” 4. Maka dapat dikatakan bahwa pada aktivitas-aktivitas dapur dalam ritual kematian, ada solidaritas sosial yang dibangun.
Perempuan dan anak didahulukan karena merekalah yang membawa beban berat dan paling jauh perjalanannya. Setelah makan, diakhiri dengan sirih pinang.
Berbeda pula yang kami amati saat berada di Suku Boti Dalam. Biasanya saat tamu-tamu hadir, akan ada penyambutan. Namun, kali ketika kami datang, mereka tidak melakukannya karena masih dalam suasana duka setelah kematian istri raja Boti yang terdahulu pada tahun 2014 lalu. Pah Sae mengatakan penyambutan tamu ditiadakan selama empat tahun5.
Merry Kolimon (2009: 69) mengatakan bahwa dalam konteks Timor pembunuhan hewan korban dalam suatu ritus menampilkan beberapa aspek simbolik: kematian seekor binatang menyimbolkan berakhirnya sesuatu, entah itu penyakit, konlik maupun upaya untuk membangun
sebuah rumah baru. Dengan membunuh seekor hewan seorang melepas masa lalu dan memulai sesuatu yang baru.3 Hal itu juga menandakan krisis yang telah dilampaui.
Kolimon, Mery, 2008. A Theology of Empowerment. Relection from a West Timorese Feminist Perspective (Distertasi). Perspective (Distertasi). Berlin: Lit Verlag. 3
Durkheim, Emile. 1965. The Elementary Forms of the Religious Life terjemahan oleh. J. W. Swain. New York: Free Press, hal. 51. 5 Dalam ritual kematian hari keempat, biasanya pihak keluarga berembuk tentang waktu yang tepat untuk diadakan peringatan hari kematian ini. Secara adat sebenarnya tidak ada keharusan untuk melaksanakannya dalam kurun waktu tertentu, namun kebanyakan acara Nalais ini dilaksanakan dalam rentang satu sampai empat tahun. Semuanya bergantung pada kesepakatan, kesiapan dan kesanggupan keluarga karena dalam ritual ini dibutuhkan banyak bahan makanan dan juga hewa persembahan yang dalam istilah orang Boti disebut sisi nak funu makas nai noe yang artinya daging haruslah banyak seperti bulu rambut dan makanan haruslah sebanyak pasir di sungai (Sumarsono, 2012: 80). 4
44
45
Selain itu saya menemukan tato dalam bahasa Dawan Lunat berupa gambar dan inisial. Mama Mollo, salah satu narasumber kami mengatakan bahwa Lunat yang ia miliki artinya membawa api.6 Juga menemukan Lunat inisial yang menandakan salah satu keluarga mereka telah meninggal. Contohnya pada Lunat inisial milik Tata Boi yang dibuat oleh
sarung, kelewang, dan tempat sirih pinang khusus laki-laki. Sementara untuk perempuan yang meninggal, keluarga akan menyiapkan selimut (tais) dan tempat sirih khusus untuk perempuan. Walau semua ritual kematian dipimpin oleh Atoin Amaf 7/Tiu8, dalam kerja dapur dan rumah perempuan dan laki-laki memiliki pembagian peran yang sama.
bapaknya; tato ini menceritakan kematian ibunya setelah
melahirkannya. Hampir di seluruh wilayah yang kami tempati, rumah dan ladang terletak dekat dengan kuburan para leluhur mereka. Bagi orang Timor, hal ini berguna untuk membantu mereka sebagai sumber kesuburan, penjaga, penyelamat, dan menghasilkan kemakmuran pada ladang dan rumah-rumah. Saya amati, kebanyakan orang Timor sering melakukan berbagai aktivitas di atas kuburan tanpa rasa takut, seperti bercerita dan menyalakan lilin. Berbeda halnya dengan Suku Boti, kuburan baik dari kalangan biasa dan bangsawan terpisah jauh dari rumah mereka. Selama perjalanan di sana, saya tidak melihat kuburan di sekitar rumah mereka. Simbol dan artefak kematian untuk perempuan dan laki-laki
dibedakan melalui tutur adat dan media sirih pinang. Sirih pinang adalah simbol yang kuat di wilayah Timor dan sela lu ada di setiap ritual, termasuk ritual kematian. Jika yang meninggal adalah laki-laki, keluarganya akan menyiapkan
6
Tato juga berfungsi sebagai bekal selama perjalanan menuju ke dunia orang
mati. Karena persediaan api terbatas padahal jalan yang menuju ke tempat tersebut gelap, maka tato akan dipakai untuk membeli api. Disarikan dari Tesi Tesiss Konsep Kehidupan Setelah Kematian Fatu Bian Ma Hau Bian : Upaya untuk mempertahankan mempertahanka n identitas keagamaan lokal Atoin Pah Meto Suku Boti, Elisabeth Helen Sumarsono (2012: 77).
7
Atoin Amaf dalam bahasa Dawan artinya paman.
Tiu dalam bahasa Tetun artinya paman.
8
44
45
Selain itu saya menemukan tato dalam bahasa Dawan Lunat berupa gambar dan inisial. Mama Mollo, salah satu narasumber kami mengatakan bahwa Lunat yang ia miliki artinya membawa api.6 Juga menemukan Lunat inisial yang menandakan salah satu keluarga mereka telah meninggal. Contohnya pada Lunat inisial milik Tata Boi yang dibuat oleh
sarung, kelewang, dan tempat sirih pinang khusus laki-laki. Sementara untuk perempuan yang meninggal, keluarga akan menyiapkan selimut (tais) dan tempat sirih khusus untuk perempuan. Walau semua ritual kematian dipimpin oleh Atoin Amaf 7/Tiu8, dalam kerja dapur dan rumah perempuan dan laki-laki memiliki pembagian peran yang sama.
bapaknya; tato ini menceritakan kematian ibunya setelah
melahirkannya. Hampir di seluruh wilayah yang kami tempati, rumah dan ladang terletak dekat dengan kuburan para leluhur mereka. Bagi orang Timor, hal ini berguna untuk membantu mereka sebagai sumber kesuburan, penjaga, penyelamat, dan menghasilkan kemakmuran pada ladang dan rumah-rumah. Saya amati, kebanyakan orang Timor sering melakukan berbagai aktivitas di atas kuburan tanpa rasa takut, seperti bercerita dan menyalakan lilin. Berbeda halnya dengan Suku Boti, kuburan baik dari kalangan biasa dan bangsawan terpisah jauh dari rumah mereka. Selama perjalanan di sana, saya tidak melihat kuburan di sekitar rumah mereka. Simbol dan artefak kematian untuk perempuan dan laki-laki
dibedakan melalui tutur adat dan media sirih pinang. Sirih pinang adalah simbol yang kuat di wilayah Timor dan sela lu ada di setiap ritual, termasuk ritual kematian. Jika yang meninggal adalah laki-laki, keluarganya akan menyiapkan
6
Tato juga berfungsi sebagai bekal selama perjalanan menuju ke dunia orang
mati. Karena persediaan api terbatas padahal jalan yang menuju ke tempat tersebut gelap, maka tato akan dipakai untuk membeli api. Disarikan dari Tesi Tesiss Konsep Kehidupan Setelah Kematian Fatu Bian Ma Hau Bian : Upaya untuk mempertahankan mempertahanka n identitas keagamaan lokal Atoin Pah Meto Suku Boti, Elisabeth
7
Atoin Amaf dalam bahasa Dawan artinya paman.
Tiu dalam bahasa Tetun artinya paman.
8
Helen Sumarsono (2012: 77).
47
46
Tulisan ini merupakan releksi pengamatan pengalaman
penulis selama melakukan perjalanan ke Timor, khususnya terkait perspektif gender serta pembagian peran laki-laki dan
SEKILAS TETANIAN DI TIMOR BARAT DAN PERLAWANAN PEREMPUAN MOLLO: Menggali Perspektif Gender dalam Keseharian dan Tradisi Masyarakat
Sebuah Pengamatan Pengalaman Perjalanan Tim Sarinah Apa Kabarmu Agung Firmanto Budiharto
perempuan yang terkandung dalam nilai-nilai budaya pertanian di Timor bagian Indonesia. Selama di Timor, sebagai bagian dari tim Sarinah Apa Kabarmu, penulis bersama anggota tim lain melakukan perjalanan berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah lain, bertemu banyak orang baik yang sudah direncanakan sebelumnya ataupun yang bertemu secara acak untuk menggali informasi, folklor dan pandangan masyarakat terkait perspektif
gender yang berkembang dalam masyarakat dan terkandung dalam nilai-nilai tradisi masyarakat Timor. Dalam tulisan ini penulis mencoba mengingat kembali pengalaman perjalanan tersebut dan menyelami lagi hal-hal yang sekiranya terkait dengan pandangan tradisional terhadap pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam hal tetanian yang ujungnya dituangkan dalam tulisan ini.
47
46
Tulisan ini merupakan releksi pengamatan pengalaman
penulis selama melakukan perjalanan ke Timor, khususnya terkait perspektif gender serta pembagian peran laki-laki dan
SEKILAS TETANIAN DI TIMOR BARAT DAN PERLAWANAN PEREMPUAN MOLLO: Menggali Perspektif Gender dalam Keseharian dan Tradisi Masyarakat
perempuan yang terkandung dalam nilai-nilai budaya pertanian di Timor bagian Indonesia. Selama di Timor, sebagai bagian dari tim Sarinah Apa Kabarmu, penulis bersama anggota tim lain melakukan perjalanan berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah lain, bertemu banyak orang baik yang sudah direncanakan sebelumnya ataupun yang bertemu secara acak untuk menggali informasi, folklor dan pandangan masyarakat terkait perspektif
gender yang berkembang dalam masyarakat dan terkandung dalam nilai-nilai tradisi masyarakat Timor. Dalam tulisan ini penulis mencoba mengingat kembali pengalaman perjalanan tersebut dan menyelami lagi hal-hal yang sekiranya terkait dengan pandangan tradisional terhadap pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam hal tetanian yang ujungnya dituangkan dalam tulisan ini.
Sebuah Pengamatan Pengalaman Perjalanan Tim Sarinah Apa Kabarmu Agung Firmanto Budiharto
48
49
Lahan Kering bagi Cendana Sampai Jagung
Pada Jumat pagi, 2 Februari 2018, tim Sarinah Apa Kabarmu berangkat dari Bali naik pesawat menuju Pulau Timor. Penerbangan akan makan waktu berkisar dua jam di atas lautan. Wilayah Pulau Timor bagian barat masuk wilayah Republik Indonesia, sementara bagian timur merupakan wilayah Republik Demokratik Timor Leste. Perjalanan kami akan dilakukan di wilayah Timor bagian Indonesia dan menjadi perjalanan pertama saya ke Pulau Timor. Ketika pesawat hampir sampai Bandara El Tari Kupang, Kupang, saya bisa melihat dari jendela Teluk Kupang dengan air laut yang tampak keruh, sementara wilayah daratan tampak semacam sabana menghijau dan berbukit dengan tumbuhan jenis pohon nyiur atau palmae. Kesan pertama yang muncul adalah membenarkan pendapat bahwa pulau ini sepertinya tandus sekali di musim kemarau, meskipun tampak banyak padang sabana yang menghijau di penghujung musim hujan. Kami transit sebentar saja di Bandar EL Tari Kupang, lalu melanjutkan naik pesawat menuju Kota Atambua. Selama melintas di atas Pulau Timor Timor,, terlihat banyak sungai yang berkelok dengan warna putih. Saya tidak paham warna air sungai tersebut keruh karena banjir lumpur, atau banjir campur lumpur daerah karst, atau bekas lumpur pertambangan. Air sungai yang memutih menjadi rasa penasaran pertama ketika melintasi langit Pulau Timor. Secara umum, Pulau Timor tampak menghijau dengan hamparan seperti sabana yang luas pada saat kami melintas;
selain itu juga pulau dengan banyak bukit yang berbatu. Inilah salah satu pulau di gugusan nusa selatan yang sangat terkenal sebagai wilayah penghasil pohon cendana. Informasi dari Wikipedia1 menyebutkan bahwa secara adminstratif, Timor yang masuk wilayah Republik Indonesia
merupakan bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ada satu
1
https://id.wikipedia.org/wiki/Timor_Barat & Map of Timor, design by Bofin:
https://id.wikipedia.org/wiki/Be https://id.wikipe dia.org/wiki/Berkas:Timor-map.png# rkas:Timor-map.png#
daerah bernama Ouecussi-Ambeno yang merupakan enklave Republik Demokratik Timor Leste. Beberapa kota utama di wilayah barat di antaranya Atambua, Kefamenanu, Betun, Soe,
dan Kupang yang sekaligus menjadi Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Luas wilayah Timor Barat adalah 15.850 km². Puncak tertinggi adalah Gunung Mutis (2.427 meter dpl) dan
Gunung Lakaan (1.600 meter dpl). Wilayah Timor Barat ini selain berbatasan langsung dengan Timor Leste juga berada dekat dengan Benua Australia sehingga iklim udaranya cenderung kering dan panas dengan curah hujan relatif minim.
Ada banyak bahasa daerah yang digunakan di Timor Barat yang juga dipakai di beberapa wilayah Timor Leste, yakni bahasa Dawan, bahasa Marae, dan bahasa Tetun; beberapa bahasa daerah
lain, seperti bahasa Kemak, bahasa Bunak, dan bahasa Helong dari grup bahasa Proto dan Melayu Deutero; bahasa lain dari pulau
sekitarnya, yaitu bahasa Ndao, bahasa Rote, dan bahasa Sabu. Tentu selain bahasa Indonesia yang juga menjadi bahasa utama lainnya. Dari pengamatan penulis, bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa komunikasi sehari-hari dengan menggunakan dialek khas Timor, seperti dialek orang Indonesia Timur pada umumnya.
48
49
Lahan Kering bagi Cendana Sampai Jagung
Pada Jumat pagi, 2 Februari 2018, tim Sarinah Apa Kabarmu berangkat dari Bali naik pesawat menuju Pulau Timor. Penerbangan akan makan waktu berkisar dua jam di atas lautan. Wilayah Pulau Timor bagian barat masuk wilayah Republik Indonesia, sementara bagian timur merupakan wilayah Republik Demokratik Timor Leste. Perjalanan kami akan dilakukan di wilayah Timor bagian Indonesia dan menjadi perjalanan pertama saya ke Pulau Timor. Ketika pesawat hampir sampai Bandara El Tari Kupang, Kupang, saya bisa melihat dari jendela Teluk Kupang dengan air laut yang tampak keruh, sementara wilayah daratan tampak semacam sabana menghijau dan berbukit dengan tumbuhan jenis pohon nyiur atau palmae. Kesan pertama yang muncul adalah membenarkan pendapat bahwa pulau ini sepertinya tandus sekali di musim kemarau, meskipun tampak banyak padang sabana yang menghijau di penghujung musim hujan. Kami transit sebentar saja di Bandar EL Tari Kupang, lalu melanjutkan naik pesawat menuju Kota Atambua. Selama melintas di atas Pulau Timor Timor,, terlihat banyak sungai yang berkelok dengan warna putih. Saya tidak paham warna air sungai tersebut keruh karena banjir lumpur, atau banjir campur lumpur daerah karst, atau bekas lumpur pertambangan. Air sungai yang memutih menjadi rasa penasaran pertama ketika melintasi langit Pulau Timor. Secara umum, Pulau Timor tampak menghijau dengan hamparan seperti sabana yang luas pada saat kami melintas;
selain itu juga pulau dengan banyak bukit yang berbatu. Inilah salah satu pulau di gugusan nusa selatan yang sangat terkenal sebagai wilayah penghasil pohon cendana. Informasi dari Wikipedia1 menyebutkan bahwa secara adminstratif, Timor yang masuk wilayah Republik Indonesia
merupakan bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ada satu
1
https://id.wikipedia.org/wiki/Timor_Barat & Map of Timor, design by Bofin:
https://id.wikipedia.org/wiki/Be https://id.wikipe dia.org/wiki/Berkas:Timor-map.png# rkas:Timor-map.png#
daerah bernama Ouecussi-Ambeno yang merupakan enklave Republik Demokratik Timor Leste. Beberapa kota utama di wilayah barat di antaranya Atambua, Kefamenanu, Betun, Soe,
dan Kupang yang sekaligus menjadi Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Luas wilayah Timor Barat adalah 15.850 km². Puncak tertinggi adalah Gunung Mutis (2.427 meter dpl) dan
Gunung Lakaan (1.600 meter dpl). Wilayah Timor Barat ini selain berbatasan langsung dengan Timor Leste juga berada dekat dengan Benua Australia sehingga iklim udaranya cenderung kering dan panas dengan curah hujan relatif minim.
Ada banyak bahasa daerah yang digunakan di Timor Barat yang juga dipakai di beberapa wilayah Timor Leste, yakni bahasa Dawan, bahasa Marae, dan bahasa Tetun; beberapa bahasa daerah
lain, seperti bahasa Kemak, bahasa Bunak, dan bahasa Helong dari grup bahasa Proto dan Melayu Deutero; bahasa lain dari pulau
sekitarnya, yaitu bahasa Ndao, bahasa Rote, dan bahasa Sabu. Tentu selain bahasa Indonesia yang juga menjadi bahasa utama lainnya. Dari pengamatan penulis, bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa komunikasi sehari-hari dengan menggunakan dialek khas Timor, seperti dialek orang Indonesia Timur pada umumnya.
50
51
Hari pertama di Timor, kami berada di Kota Kupang, sekadar untuk transit di Bandara El Tari lalu melanjutkan ke Kota Atambua. Dari kota inilah kami akan memulai perjalanan darat di wilayah Timor Barat. Di Kantor CIS, tempat kami sementara tinggal di Kota Atambua, dalam suasana santai sambil berkenalan dengan narahubung lokal, penulis bertanya tentang pohon cendana. Pulau Timor sangat terkenal sebagai pusat perdagangan pohon cendana di masa lalu, dan karenanya penulis bertanya lebih jauh tentang tanaman yang belum pernah penulis lihat secara langsung. Rupanya kini tanaman cendana serupa cerita masa lalu saja. Tidak banyak lagi tanaman cendana yang tumbuh seperti dulu. Kabarnya dulu ada banyak hutan cendana, sekarang hutan-hutan itu sudah jadi padang rumput atau berganti menjadi ladang atau hutan jenis tanaman lain. Dulu, ada banyak kasus pencurian pohon cendana. Sebuah pohon cendana bisa dicuri dengan cara ditebang begitu saja dan bahkan diambil sampai ke akar-akarnya. akar-akarny a. Anehnya lagi, ada banyak cerita tentang pencurian pohon cendana yang terjadi di depan rumah pemilik, akan tetapi si empunya rumah tidak sadar pohon cendananya ditebang oleh rombongan pencuri. Kabar baiknya, sekarang mulai digalakkan lagi penanaman bibit cendana, meski tidak bersifat masif
melainkan ditanam oleh individu atau keluarga di pekarangan rumah mereka. Beranjak sore, ketika perut mulai lapar, cerita tanaman cendana berganti topik menjadi makanan khas masyarakat Timor. Cerita seputar jagung. Kawan baru kami mengusulkan supaya kami coba makan jagung bose pada malam harinya di dekat Alunalun Kota Atambua. Masyarakat di Timor, sesuai ingatan saya pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah, makan jagung sebagai makanan pokoknya. Tentu saja, ketika SD dulu saya membayangkan orang di Timor makan jagung seperti saya makan jagung rebus atau jagung bakar. Pada kenyataannya ada banyak sekali olahan berbahan jagung sebagai pangan dan cara makannya pun tidak hanya seperti yang ada dalam bayangan saya. Kawan CIS Timor kemudian menceritakan tentang jagung bose, nasi jagung, makanan olahan dari ubi kayu, olahan ubi
ungu, olahan pisang, olahan sorgum dan sagu, cabe Timor yang terkenal pedas, sayur daun pepaya, dan olahan ikan laut. Jagung bose adalah bulir jagung yang sudah diserut lalu direbus dan dihidangkan dengan sayur bunga pepaya, daun pepaya, serta sambal khas dengan ikan teri. Ada banyak varian cara memasak dan menghidangkan jagung bose. Obrolan tentang makanan khas ini juga berujung pada kisah-kisah lama atau ritual adat terkait tetanian masyarakat Timor. Timor. Dari obrolan perkenalan ini, penulis mengamati ada banyak bahan pangan baik dari darat maupun dari laut yang disediakan oleh alam Timor yang dikenal sebagai daerah tandus, kering, berkarang, serta minim curah hujan. Berbagi Peran dalam Tetanian dan Ekonomi Keluarga
Membicarakan pangan dan pertanian di Pulau Timor tidak bisa dilepaskan dari peran perempuan, baik itu di dalam keluarga, masyarakat masyarak at maupun dalam kebiasaan adat. Namun demikian, ini artinya ada pula peran laki-laki dalam ritus tani di sini. Contoh cerita yang paling sering didengar penulis adalah bagaimana lakilaki dan perempuan di sini bekerja bersama ketika siklus masa tanam di ladang. Di wilayah Timor sudah menjadi kebiasaan ketika siklus masa tanam tiba, masyarakat bekerja bersama di ladang dengan cara berkelompok, entah itu kelompok tetangga atau kelompok marga/famili. Di dalam kelompok ini, para lelaki atau para suami bekerja dengan tofa untuk membalik tanah—istilahnya tofa-tofa kebun, yaitu menggarap tanah bekas
panenan sebelumnya dan dipersiapkan lagi supaya bisa ditanami dengan bibit baru. Sementara para perempuan atau para mama mempersiapkan segala jenis bibitnya, yang semuanya dipilih dan ditanam hanya oleh kaum perempuan saja. Hal ini juga sesuai dengan yang dituturkan oleh Bapa Anton, salah satu narasumber dari Dusun Oenbit, Desa Ekafalo, seorang Malasi 2 dari marga Tanouf.
Dari wawancara dengan Bapa Anton, Malasi punya tugas menjadi semacam penjaga rumah adat atau “kuncinya” rumah adat termasuk untuk upacara adat 2
dan hal-hal terkait dengan ritual adat dalam dua marga Tanouf dan Neonbeni. Malasi juga punya fungsi sebagai penutur adat.
50
51
Hari pertama di Timor, kami berada di Kota Kupang, sekadar untuk transit di Bandara El Tari lalu melanjutkan ke Kota Atambua. Dari kota inilah kami akan memulai perjalanan darat di wilayah Timor Barat. Di Kantor CIS, tempat kami sementara tinggal di Kota Atambua, dalam suasana santai sambil berkenalan dengan narahubung lokal, penulis bertanya tentang pohon cendana. Pulau Timor sangat terkenal sebagai pusat perdagangan pohon cendana di masa lalu, dan karenanya penulis bertanya lebih jauh tentang tanaman yang belum pernah penulis lihat secara langsung. Rupanya kini tanaman cendana serupa cerita masa lalu saja. Tidak banyak lagi tanaman cendana yang tumbuh seperti dulu. Kabarnya dulu ada banyak hutan cendana, sekarang hutan-hutan itu sudah jadi padang rumput atau berganti menjadi ladang atau hutan jenis tanaman lain. Dulu, ada banyak kasus pencurian pohon cendana. Sebuah pohon cendana bisa dicuri dengan cara ditebang begitu saja dan bahkan diambil sampai ke akar-akarnya. akar-akarny a. Anehnya lagi, ada banyak cerita tentang pencurian pohon cendana yang terjadi di depan rumah pemilik, akan tetapi si empunya rumah tidak sadar pohon cendananya ditebang oleh rombongan pencuri. Kabar baiknya, sekarang mulai digalakkan lagi penanaman bibit cendana, meski tidak bersifat masif
melainkan ditanam oleh individu atau keluarga di pekarangan rumah mereka. Beranjak sore, ketika perut mulai lapar, cerita tanaman cendana berganti topik menjadi makanan khas masyarakat Timor. Cerita seputar jagung. Kawan baru kami mengusulkan supaya kami coba makan jagung bose pada malam harinya di dekat Alunalun Kota Atambua. Masyarakat di Timor, sesuai ingatan saya pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah, makan jagung sebagai makanan pokoknya. Tentu saja, ketika SD dulu saya membayangkan orang di Timor makan jagung seperti saya makan jagung rebus atau jagung bakar. Pada kenyataannya ada banyak sekali olahan berbahan jagung sebagai pangan dan cara makannya pun tidak hanya seperti yang ada dalam bayangan saya. Kawan CIS Timor kemudian menceritakan tentang jagung bose, nasi jagung, makanan olahan dari ubi kayu, olahan ubi
ungu, olahan pisang, olahan sorgum dan sagu, cabe Timor yang terkenal pedas, sayur daun pepaya, dan olahan ikan laut. Jagung bose adalah bulir jagung yang sudah diserut lalu direbus dan dihidangkan dengan sayur bunga pepaya, daun pepaya, serta sambal khas dengan ikan teri. Ada banyak varian cara memasak dan menghidangkan jagung bose. Obrolan tentang makanan khas ini juga berujung pada kisah-kisah lama atau ritual adat terkait tetanian masyarakat Timor. Timor. Dari obrolan perkenalan ini, penulis mengamati ada banyak bahan pangan baik dari darat maupun dari laut yang disediakan oleh alam Timor yang dikenal sebagai daerah tandus, kering, berkarang, serta minim curah hujan. Berbagi Peran dalam Tetanian dan Ekonomi Keluarga
Membicarakan pangan dan pertanian di Pulau Timor tidak bisa dilepaskan dari peran perempuan, baik itu di dalam keluarga, masyarakat masyarak at maupun dalam kebiasaan adat. Namun demikian, ini artinya ada pula peran laki-laki dalam ritus tani di sini. Contoh cerita yang paling sering didengar penulis adalah bagaimana lakilaki dan perempuan di sini bekerja bersama ketika siklus masa tanam di ladang. Di wilayah Timor sudah menjadi kebiasaan ketika siklus masa tanam tiba, masyarakat bekerja bersama di ladang dengan cara berkelompok, entah itu kelompok tetangga atau kelompok marga/famili. Di dalam kelompok ini, para lelaki atau para suami bekerja dengan tofa untuk membalik tanah—istilahnya tofa-tofa kebun, yaitu menggarap tanah bekas
panenan sebelumnya dan dipersiapkan lagi supaya bisa ditanami dengan bibit baru. Sementara para perempuan atau para mama mempersiapkan segala jenis bibitnya, yang semuanya dipilih dan ditanam hanya oleh kaum perempuan saja. Hal ini juga sesuai dengan yang dituturkan oleh Bapa Anton, salah satu narasumber dari Dusun Oenbit, Desa Ekafalo, seorang Malasi 2 dari marga Tanouf.
Dari wawancara dengan Bapa Anton, Malasi punya tugas menjadi semacam penjaga rumah adat atau “kuncinya” rumah adat termasuk untuk upacara adat 2
dan hal-hal terkait dengan ritual adat dalam dua marga Tanouf dan Neonbeni. Malasi juga punya fungsi sebagai penutur adat.
52
53
untuk sarana adat atau untuk dijual bilamana diperlukan. Kak Ermi (Ermi Tanouf adalah anak pertama perempuan pasangan Mama Banusu dan Bapa Tanouf) juga menyampaikan bahwa
hasil jualan Mama Banusu digunakan untuk membiayai anakanak sekolah dan kuliah, termasuk dirinya. 4 Pengelolaan rumah tangga semacam ini rupanya sudah menjadi hal biasa dalam keluarga, dan peran utama dipegang oleh kaum perempuan dalam masyarakat Oenbit.
Hal lain yang menarik untuk diperhatikan adalah peran perempuan mengatur perekonomian rumah tangga. Saya memperhatikan bagaimana Mama Banusu, istri dari Bapa Kapitan 3 Tanouf—desa tempat kami tinggal di Oenbit, mengelola rumah
tangga keluarganya. Mama Banusu mempunyai lapak kecil untuk berjualan hasil bumi di halaman rumah yang kebetulan terletak di pinggir jalan. Beliau tidak hanya menjual hasil kebun sendiri akan tetapi juga membeli bahan-bahan di pasar pusat kemudian menjualnya kembali di lapak kecil depan rumahnya. Sementara, di sela-sela waktu senggangnya di rumah beliau juga menenun kain
3
4
yang dituakan menjadi penjaga raja.
penutur adat.
Kapitan adalah salah satu fungsi jabatan adat di wilayah Insana, yaitu sebagai
Wawancara dengan keluarga Banusu/Tanouf.Malasi juga punya fungsi sebagai
52
53
untuk sarana adat atau untuk dijual bilamana diperlukan. Kak Ermi (Ermi Tanouf adalah anak pertama perempuan pasangan Mama Banusu dan Bapa Tanouf) juga menyampaikan bahwa
hasil jualan Mama Banusu digunakan untuk membiayai anakanak sekolah dan kuliah, termasuk dirinya. 4 Pengelolaan rumah tangga semacam ini rupanya sudah menjadi hal biasa dalam keluarga, dan peran utama dipegang oleh kaum perempuan dalam masyarakat Oenbit.
Hal lain yang menarik untuk diperhatikan adalah peran perempuan mengatur perekonomian rumah tangga. Saya memperhatikan bagaimana Mama Banusu, istri dari Bapa Kapitan 3 Tanouf—desa tempat kami tinggal di Oenbit, mengelola rumah
tangga keluarganya. Mama Banusu mempunyai lapak kecil untuk berjualan hasil bumi di halaman rumah yang kebetulan terletak di pinggir jalan. Beliau tidak hanya menjual hasil kebun sendiri akan tetapi juga membeli bahan-bahan di pasar pusat kemudian menjualnya kembali di lapak kecil depan rumahnya. Sementara, di sela-sela waktu senggangnya di rumah beliau juga menenun kain
3
4
yang dituakan menjadi penjaga raja.
penutur adat.
Kapitan adalah salah satu fungsi jabatan adat di wilayah Insana, yaitu sebagai
Wawancara dengan keluarga Banusu/Tanouf.Malasi juga punya fungsi sebagai
54
55
Ketika di Oenbit, kami mendapat kesempatan baik untuk ikut ritual tani yang dalam bahasa lokal disebut ta’kieta futun, yakni upacara ikat batang jagung muda dan menyimpan jagung untuk bibit. Ini satu kebetulan dan kesempatan yang luar biasa yang bisa kami alami ketika tinggal di Oenbit. Ritual ini sebenarnya merupakan satu wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta dan leluhur,, di mana sebelum melaksanakan panen jagung masyarakat leluhur mempersembahkan dahulu jagung kepada Sang Pencipta serta doa-doa untuk leluhur. Upacara ini harus dilaksanakan sebagai syarat sehingga masyarakat boleh memulai panen dan menggunakan hasil panen jagung muda di ladang mereka, serta mengikat jagung untuk persediaan bibit. Sebelum melaksanakan ritual ikat jagung, masyarakat tidak boleh memanen dan menggunakan tanaman jagung di kebun. Untuk melaksanakan ritus ini, masyara masyarakat kat sebelumnya berkumpul untuk menentukan bersama sumbangan beras atau hewan kurban untuk makan bersama. Pada hari yang ditentukan, warga berkumpul, laki-laki dan perempuan, lalu mengikuti ritus bersama. Ritusnya adalah berjalan berkeliling di tempat-tempat pamali atau tempat yang dianggap keramat bagi marga. Di masing-masing tempat pamali ada haotias, yaitu semacam totem penanda terbuat dari kayu bercabang tiga sebagai simbol Sang Pencipta, leluhur, dan alam raya. Perjalanan berkeliling ini meliputi daerah yang berladang, lewat sungai-sungai, dekat mata air dan perbukitan. Warga yang ikut jalan berkeliling berhenti di setiap tempat pamali, melakukan tutur adat atau doa, meletakkan batang jagung serta mengambil tujuh bulir jagung untuk diletakkan pada haotias. Ritus akan berakhir di tempat yang disebut tokok’ sebagai tempat utama untuk berdoa dan mengadakan ritual adat untuk makan bersama. Tokok’ marga Tanouf dan Neonbeni ini berada di satu tempat
terbuka di pinggir hutan dekat daerah persawahan/ladang. Ada
Ritual ta’kieta futun yang kami ikuti dilaksanakan bersama antara keluarga dari marga Tanouf dan Neonbeni. Kedua marga ini
bersaudara. Menurut Malasi Anton, biasanya banyak laki-laki dan perempuan ikut bersama dalam upacara ini. Namun kali ini peserta laki-laki lebih banyak daripada perempuan, karena kebanyakan mama sedang membantu keluarga lain yang akan melakukan hajat pernikahan. Warga berbagi tugas kemasyarakatan ketika ada acara yang dilangsungkan bersamaan. Ritual tani ikat jagung muda ini juga dilaksanakan di masyarakat Timor lain yang kami kunjungi, dengan berbagai bahasa dan tradisinya masing-masing. Di Suku Boti, upacara yang mirip dengan ikat jagung ini disebut poit pah yang juga merupakan rangkaian dari siklus panen. Ada perbedaan kebiasaan dalam ritusnya. Dalam poit pah, hanya lelaki yang terlibat dan pergi ke hutan pamali yang dalam bahasa Boti disebut Nasi Fain Metan. Semua hal dari pelaksanaan hingga menyediakan hidangan dilakukan oleh para lelaki. Sementara dalam siklus tanamnya, justru laki-laki dan perempuan saling bantu menggarap lahan, bersama membersihkan rerumputan rerumputan gulma dan tofa-tofa kebun, kemudian ketika menamam bibit bersama. Ketika di Boti, kami dibantu seorang penerjemah bahasa Dawan, namanya Pah Sae. Dia sekaligus berperan sebagai juru bicara atau penerjemah ketika Usif Nama Benu 5 berbicara kepada kami. Pah Sae adalah seorang warga Suku Boti yang pernah bersekolah sehingga mengerti bahasa Indonesia. Menurutnya, ada banyak hasil bumi yang ditanam oleh masyarakat Boti dalam setahun, antara lain jagung, bawang, pisang, ubi, tebu, kelapa, kacang-kacangan, dan pepaya. Karena kondisi geograisnya,
orang Boti tidak menanam padi. Di lain kesempatan, Pah Sae juga menyampaikan bahwa hasil kebun tidak dijual oleh masyarakat Boti. Hasil kerja di kebun dikumpulkan oleh masing-masing
dua mazbah bagi marga Tanouf dan marga Neonbeni. Kami makan
bersama di sini. Membakar jagung, membakar hewan kurban, dan nasi yang sudah disiapkan para mama di rumah.
Dari wawancara di Boti bersama Bapa Nama Benu dan penerjemah Pah Sae.
5
Usif atau Bapa Raja Nama Benu adalah raja atau kepala adat Suku Boti.
54
55
Ketika di Oenbit, kami mendapat kesempatan baik untuk ikut ritual tani yang dalam bahasa lokal disebut ta’kieta futun, yakni upacara ikat batang jagung muda dan menyimpan jagung untuk bibit. Ini satu kebetulan dan kesempatan yang luar biasa yang bisa kami alami ketika tinggal di Oenbit. Ritual ini sebenarnya merupakan satu wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta dan leluhur,, di mana sebelum melaksanakan panen jagung masyarakat leluhur mempersembahkan dahulu jagung kepada Sang Pencipta serta doa-doa untuk leluhur. Upacara ini harus dilaksanakan sebagai syarat sehingga masyarakat boleh memulai panen dan menggunakan hasil panen jagung muda di ladang mereka, serta mengikat jagung untuk persediaan bibit. Sebelum melaksanakan ritual ikat jagung, masyarakat tidak boleh memanen dan menggunakan tanaman jagung di kebun. Untuk melaksanakan ritus ini, masyara masyarakat kat sebelumnya berkumpul untuk menentukan bersama sumbangan beras atau hewan kurban untuk makan bersama. Pada hari yang ditentukan, warga berkumpul, laki-laki dan perempuan, lalu mengikuti ritus bersama. Ritusnya adalah berjalan berkeliling di tempat-tempat pamali atau tempat yang dianggap keramat bagi marga. Di masing-masing tempat pamali ada haotias, yaitu semacam totem penanda terbuat dari kayu bercabang tiga sebagai simbol Sang Pencipta, leluhur, dan alam raya. Perjalanan berkeliling ini meliputi daerah yang berladang, lewat sungai-sungai, dekat mata air dan perbukitan. Warga yang ikut jalan berkeliling berhenti di setiap tempat pamali, melakukan tutur adat atau doa, meletakkan batang jagung serta mengambil tujuh bulir jagung untuk diletakkan pada haotias. Ritus akan berakhir di tempat yang disebut tokok’ sebagai tempat utama untuk berdoa dan mengadakan ritual adat untuk makan bersama. Tokok’ marga Tanouf dan Neonbeni ini berada di satu tempat
terbuka di pinggir hutan dekat daerah persawahan/ladang. Ada
Ritual ta’kieta futun yang kami ikuti dilaksanakan bersama antara keluarga dari marga Tanouf dan Neonbeni. Kedua marga ini
bersaudara. Menurut Malasi Anton, biasanya banyak laki-laki dan perempuan ikut bersama dalam upacara ini. Namun kali ini peserta laki-laki lebih banyak daripada perempuan, karena kebanyakan mama sedang membantu keluarga lain yang akan melakukan hajat pernikahan. Warga berbagi tugas kemasyarakatan ketika ada acara yang dilangsungkan bersamaan. Ritual tani ikat jagung muda ini juga dilaksanakan di masyarakat Timor lain yang kami kunjungi, dengan berbagai bahasa dan tradisinya masing-masing. Di Suku Boti, upacara yang mirip dengan ikat jagung ini disebut poit pah yang juga merupakan rangkaian dari siklus panen. Ada perbedaan kebiasaan dalam ritusnya. Dalam poit pah, hanya lelaki yang terlibat dan pergi ke hutan pamali yang dalam bahasa Boti disebut Nasi Fain Metan. Semua hal dari pelaksanaan hingga menyediakan hidangan dilakukan oleh para lelaki. Sementara dalam siklus tanamnya, justru laki-laki dan perempuan saling bantu menggarap lahan, bersama membersihkan rerumputan rerumputan gulma dan tofa-tofa kebun, kemudian ketika menamam bibit bersama. Ketika di Boti, kami dibantu seorang penerjemah bahasa Dawan, namanya Pah Sae. Dia sekaligus berperan sebagai juru bicara atau penerjemah ketika Usif Nama Benu 5 berbicara kepada kami. Pah Sae adalah seorang warga Suku Boti yang pernah bersekolah sehingga mengerti bahasa Indonesia. Menurutnya, ada banyak hasil bumi yang ditanam oleh masyarakat Boti dalam setahun, antara lain jagung, bawang, pisang, ubi, tebu, kelapa, kacang-kacangan, dan pepaya. Karena kondisi geograisnya,
orang Boti tidak menanam padi. Di lain kesempatan, Pah Sae juga menyampaikan bahwa hasil kebun tidak dijual oleh masyarakat Boti. Hasil kerja di kebun dikumpulkan oleh masing-masing
dua mazbah bagi marga Tanouf dan marga Neonbeni. Kami makan
bersama di sini. Membakar jagung, membakar hewan kurban, dan nasi yang sudah disiapkan para mama di rumah.
Dari wawancara di Boti bersama Bapa Nama Benu dan penerjemah Pah Sae.
5
Usif atau Bapa Raja Nama Benu adalah raja atau kepala adat Suku Boti.
56
57
keluarga dan dipakai untuk makan, untuk hidup; sementara yang
boleh dijual adalah hasil ternak, seperti sapi, babi, kambing atau ayam. Menurutnya, hasil sekali panen bisa jadi persediaan untuk dua tahun. Sehingga tidak ada kekurangan pangan di Boti. Namun ada pula hasil kebun yang biasa dijual, seperti biji kemiri, buah asam, kelapa, atau hasil kebun yang diolah jadi kerajinan tangan. Kebutuhan pangan yang paling sering mereka beli adalah garam, karena mereka tinggal jauh dari laut, dan beras— meskipun beli seperlunya saja. Minyak tanah juga biasa dibeli seperlunya untuk lampu. Untuk keperluan memasak, masyarakat Boti biasa membuat sendiri minyak kelapa dari buah paku atau minyak biji damar. Satu hal lain yang menarik dari kunjungan di Suku Boti adalah peran perempuan mengelola koperasi dusun Boti. Koperasi ini dibuat era tahun 1970-an. Ada banyak hasil kerajinan tangan
baik itu yang dibuat oleh kaum perempuan berupa olahan kain tenun ikat, rajutan dari benang atau dari serat alam, kerajinan tembikar, tempurung, serta ukiran kayu yang dibuat oleh kaum laki-laki. Para ibu yang tergabung dalam PKK mengelola koperasi Dusun Boti. Koperasi Dusun Boti banyak dikunjungi oleh para wisatawan. Suku Boti dikenal sebagai salah satu suku tua di Pulau Timor. Mereka sangat dekat dan hormat dengan alam dan lingkungan mereka. Ini tampak sekali dari kehidupan bersahaja seharihari yang mereka terapkan. Dalam hal kepercayaan, Suku Boti memegang agama leluhur yang biasa disebut kepercayaan Uis Pah Uis Neno, yaitu menghormati Ibu Bumi Bapa Langit. Uis Pah bagi warga Boti diibaratkan seperti mama yang selalu memberi makan ketika anak masih kecil. Penghormatan kepada ibu bumi (Uis Pah) juga secara bersama penghormatan kepada penguasa langit dan alam semesta (Uis Neno).
56
57
keluarga dan dipakai untuk makan, untuk hidup; sementara yang
boleh dijual adalah hasil ternak, seperti sapi, babi, kambing atau ayam. Menurutnya, hasil sekali panen bisa jadi persediaan untuk dua tahun. Sehingga tidak ada kekurangan pangan di Boti. Namun ada pula hasil kebun yang biasa dijual, seperti biji kemiri, buah asam, kelapa, atau hasil kebun yang diolah jadi kerajinan tangan. Kebutuhan pangan yang paling sering mereka beli adalah garam, karena mereka tinggal jauh dari laut, dan beras— meskipun beli seperlunya saja. Minyak tanah juga biasa dibeli seperlunya untuk lampu. Untuk keperluan memasak, masyarakat Boti biasa membuat sendiri minyak kelapa dari buah paku atau minyak biji damar. Satu hal lain yang menarik dari kunjungan di Suku Boti adalah peran perempuan mengelola koperasi dusun Boti. Koperasi ini dibuat era tahun 1970-an. Ada banyak hasil kerajinan tangan
baik itu yang dibuat oleh kaum perempuan berupa olahan kain tenun ikat, rajutan dari benang atau dari serat alam, kerajinan tembikar, tempurung, serta ukiran kayu yang dibuat oleh kaum laki-laki. Para ibu yang tergabung dalam PKK mengelola koperasi Dusun Boti. Koperasi Dusun Boti banyak dikunjungi oleh para wisatawan. Suku Boti dikenal sebagai salah satu suku tua di Pulau Timor. Mereka sangat dekat dan hormat dengan alam dan lingkungan mereka. Ini tampak sekali dari kehidupan bersahaja seharihari yang mereka terapkan. Dalam hal kepercayaan, Suku Boti memegang agama leluhur yang biasa disebut kepercayaan Uis Pah Uis Neno, yaitu menghormati Ibu Bumi Bapa Langit. Uis Pah bagi warga Boti diibaratkan seperti mama yang selalu memberi makan ketika anak masih kecil. Penghormatan kepada ibu bumi (Uis Pah) juga secara bersama penghormatan kepada penguasa langit dan alam semesta (Uis Neno).
58
59
Ritus Perempuan Menjaga Alam
Ir. Soekarno pernah menyampaikan dalam bukunya Sarinah bahwa pertanian merupakan salah satu ilmu dan budaya manusia tertua dengan kaum perempuan yang berperan utama merintisnya. Soekarno mengutip pokok pemikiran ini sesuai pendapat Dr. Fleure dari University College of Wales yang
mengatakan bahwa periode perburuan dan pencarian ikan itu tidak diikuti oleh periode peternakan, melainkan periode meramu dan menanam tetumbuhan (pertanian); sementara
Morgan (seorang ahli lainnya) berpendapat bahwa tidak ada periode ketika manusia melulu hanya berburu dan mencari ikan, makanan yang berupa tumbuh-tumbuhan sudah dikenal manusia sejak awal. Pertanian dianggap satu tingkatan lebih tinggi dibandingkan perburuan, apalagi dari banyak temuan situs purba hanya ada bekas pertaniannya tanpa bekas perburuan.6 Ir. Soekarno menuliskan bahwa manusia adalah omnivora: para laki-laki berburu, sementara kaum perempuan mencari tumbuhtumbuhan; perempuan lambat-laun terbuka pikirannya untuk
menanam benih-benih tumbuhan itu. Maka perempuan punya jasa besar kepada kebudayaan manusia sebagai makhluk yang pertama-tama mendapatkan ilmu becocok tanam yang sampai sekarang menjadi tiang penghidupan manusia di muka bumi. Ir. Soekarno menegaskan dalam Sarinah, perempuan bukan saja yang mendapatkan rahasia pertanian namun dia juga adalah pekerja bidang pertanian yang pertama, ia adalah petani yang pertama.7 Pandangan di atas menunjukkan satu benang merah kepada penulis sehingga menjadi paham kenapa selama ini bumi, alam, lingkungan, pertanian selalu dianggap dekat dengan sebutan ibu atau “pertiwi” yang diserap dari bahasa Sanskerta. Selain ada makna ilosois karena alam memberikan segala kebutuhan hidup
manusia, ternyata juga ada sejarah bagaimana kaum perempuan
Ir. Soekarno. 1963. Sarinah. Panitya Penerbit Buku-buku Karangan Presiden Sukarno, hlm. 48. 7 Ibid .,., hlm. 49. 6
menjadi perintis dan garda depan dalam pertanian. Hal ini mendorong penulis untuk menceritakan bagaimana perempuan di Desa Fatumnasi di kaki Gunung Mutis, Kabupaten Timor Tengah Utara melakukan perlawanan terhadap perusahaan tambang batu yang dianggap merusak lingkungan dan kehidupan di sana. Dalam wawancara dengan Bapa Mateus Anin serta Mama Wasti S. Anin (anak perempuan Bapa Anin), kami mendapatkan cerita bagaimana pada tahun 2006 warga masyara masyarakat kat berkumpul duduk bersama dan bermusyawarah serta bersepakat untuk melakukan perlawanan terhadap perusahaan tambang yang akan menambang batu di Gunung Mutis, termasuk melawan pemerintah yang dianggap mendukung pertambangan tersebut. Bagi masyarakat Timor, khususnya Timor Tengah Selatan, ada tiga suku besar yang disebut Orang Mollo, Orang Amanuban, dan Orang Amanatun. Wilayah Mollo dianggap sebagai saudara perempuan oleh Amanuban dan Amanatun. Masyarakat Mollo yang kebanyakan tinggal di dataran tinggi dianggap sebagai putri dari gunung atau perempuan penjaga gunung oleh dua suku lainnya, Amanuban dan Amanatun, yang masing-masing tinggal di wilayah dataran rendah dan pesisir. Secara geograis, Gunung
Mutis yang berada di wilayah Mollo memiliki 12 mata air yang menjadi aliran sungai yang menghidupi hampir seluruh wilayah Timor sampai di Malaka, Belu, Timor Tengah Utara, Sungai Benanain, Sungai Noelmina, bahkan sampai Kupang. Wilayah Mollo menjadi semacam jantung bagi Timor. Timor.
58
59
Ritus Perempuan Menjaga Alam
Ir. Soekarno pernah menyampaikan dalam bukunya Sarinah bahwa pertanian merupakan salah satu ilmu dan budaya manusia tertua dengan kaum perempuan yang berperan utama merintisnya. Soekarno mengutip pokok pemikiran ini sesuai pendapat Dr. Fleure dari University College of Wales yang
mengatakan bahwa periode perburuan dan pencarian ikan itu tidak diikuti oleh periode peternakan, melainkan periode meramu dan menanam tetumbuhan (pertanian); sementara
Morgan (seorang ahli lainnya) berpendapat bahwa tidak ada periode ketika manusia melulu hanya berburu dan mencari ikan, makanan yang berupa tumbuh-tumbuhan sudah dikenal manusia sejak awal. Pertanian dianggap satu tingkatan lebih tinggi dibandingkan perburuan, apalagi dari banyak temuan situs purba hanya ada bekas pertaniannya tanpa bekas perburuan.6 Ir. Soekarno menuliskan bahwa manusia adalah omnivora: para laki-laki berburu, sementara kaum perempuan mencari tumbuhtumbuhan; perempuan lambat-laun terbuka pikirannya untuk
menanam benih-benih tumbuhan itu. Maka perempuan punya jasa besar kepada kebudayaan manusia sebagai makhluk yang pertama-tama mendapatkan ilmu becocok tanam yang sampai sekarang menjadi tiang penghidupan manusia di muka bumi. Ir. Soekarno menegaskan dalam Sarinah, perempuan bukan saja yang mendapatkan rahasia pertanian namun dia juga adalah pekerja bidang pertanian yang pertama, ia adalah petani yang pertama.7
menjadi perintis dan garda depan dalam pertanian. Hal ini mendorong penulis untuk menceritakan bagaimana perempuan di Desa Fatumnasi di kaki Gunung Mutis, Kabupaten Timor Tengah Utara melakukan perlawanan terhadap perusahaan tambang batu yang dianggap merusak lingkungan dan kehidupan di sana. Dalam wawancara dengan Bapa Mateus Anin serta Mama Wasti S. Anin (anak perempuan Bapa Anin), kami mendapatkan cerita bagaimana pada tahun 2006 warga masyara masyarakat kat berkumpul duduk bersama dan bermusyawarah serta bersepakat untuk melakukan perlawanan terhadap perusahaan tambang yang akan menambang batu di Gunung Mutis, termasuk melawan pemerintah yang dianggap mendukung pertambangan tersebut. Bagi masyarakat Timor, khususnya Timor Tengah Selatan, ada tiga suku besar yang disebut Orang Mollo, Orang Amanuban, dan Orang Amanatun. Wilayah Mollo dianggap sebagai saudara perempuan oleh Amanuban dan Amanatun. Masyarakat Mollo yang kebanyakan tinggal di dataran tinggi dianggap sebagai putri dari gunung atau perempuan penjaga gunung oleh dua suku lainnya, Amanuban dan Amanatun, yang masing-masing tinggal di wilayah dataran rendah dan pesisir. Secara geograis, Gunung
Mutis yang berada di wilayah Mollo memiliki 12 mata air yang menjadi aliran sungai yang menghidupi hampir seluruh wilayah Timor sampai di Malaka, Belu, Timor Tengah Utara, Sungai Benanain, Sungai Noelmina, bahkan sampai Kupang. Wilayah Mollo menjadi semacam jantung bagi Timor. Timor.
Pandangan di atas menunjukkan satu benang merah kepada penulis sehingga menjadi paham kenapa selama ini bumi, alam, lingkungan, pertanian selalu dianggap dekat dengan sebutan ibu atau “pertiwi” yang diserap dari bahasa Sanskerta. Selain ada makna ilosois karena alam memberikan segala kebutuhan hidup
manusia, ternyata juga ada sejarah bagaimana kaum perempuan
Ir. Soekarno. 1963. Sarinah. Panitya Penerbit Buku-buku Karangan Presiden Sukarno, hlm. 48. 7 Ibid .,., hlm. 49. 6
60
61
Ada simbol feminin yang diberikan kepada Mollo, misalnya
sebutan saudara perempuan dari gunung. Sebutan ini sekaligus menampilkan perannya sebagai perempuan penjaga gunung. Tidak mengherankan ketika mendengar cerita perlawanan Mollo terhadap pertambangan batu di Gunung Mutis sejak 2006 diprakarsai oleh kaum perempuan. Bagi warga Mollo, ada latar belakang sejarah tradisi serta ideologi yang kuat tentang Gunung Mutis sebagai “ibu yang menyusui anaknya”, serta konsep lingkungan yang ditanamkan sejak kecil sebagai saudara perempuan penjaga gunung. Hingga ada ungkapan “ Air adalah darah kami, batu adalah tulang kami, hutan adalah rambut kami.”
Jadi wajar sekali ketika ada hutan industri, perusahaan tambang atau perambah lingkungan yang masuk ke wilayah Mollo sejak zaman Soeharto, para perempuanlah yang berperan besar untuk melawan.8
para laki-laki ikut menjagai kaum perempuan dari sekitarnya untuk menghindari mereka berhadapan langsung dengan aparat atau petugas sekuriti yang semuanya laki-laki. Keputusan kaum perempuan menjadi garda depan perlawanan pertambangan di Gunung Mutis ini juga didorong oleh sosok dua pahlawan lokal perempuan yang tampil di wilayah Mollo ketika terjadi perang saudara, mereka adalah Bei Tais Aftone dan Bei Nau Aftone.
Selain itu menurut Mama Wasti, setiap aksi demonstrasi selalu diawali dengan doa, mengumpulkan semua masyarakat, tua-tua adat, laki-laki dan perempuan, bermusyawarah, dan sepakat untuk melakukan perlawanan.9
Peran yang Adil dalam Kehidupan Saya ingat, Bapa Kapitan Tanouf dalam wawancaranya pernah
Bapa Mateus Anin menyampaikan bahwa warga menolak menyerahkan tanah leluhur untuk diperkosa oleh pertambangan. Beliau mengibaratkan pertambangan sebagai pemerkosaan kepada perempuan atau sosok ibu. Bagi Mama Wasti, mempertahankan batu di Gunung Mutis adalah wujud perjuangan mempertahankan alam karena Mollo adalah ibu yang menyusui, sebagai sumber mata air dari banyak sungai yang mengalir ke seluruh wilayah Timor. Perlawanan dilakukan karena kalau sampai wilayah alam mereka rusak atau menyerahkan gunung untuk dirusak, maka tempat itu tidak lagi bisa ditinggali. Oleh sebab itu, perempuan yang menjaganya. Mama Wasti menceritakan bagaimana pada tahun 2006 para perempuan membuka baju bertelanjang dada sebagai bentuk perlawanan terhadap tindak kekerasan aparat dan petugas sekuriti perusahaan. Batu gunung adalah ibu yang menyusui. Ketika itu, para perempuan bertahan dengan tenda atau tanpa tenda selama tiga tahun, siang dan malam, meninggalkan rumah dan kerja kebun sambil menenun di area yang dijadikan tambang atau di atas batu-batu yang akan ditambang. Semua itu karena Mollo adalah saudara perempuan yang menjaga gunung. Sementara
menyampaikan satu ritual adat masyarakat Oenbit yang dilakukan bersama antara laki-laki dan perempuan, yaitu ketika membangun rumah adat. Menurutnya, sesudah selesai memasang atap rumah adat, ada dua orang yang khusus diutus bersama untuk menimba air dan mengambil kayu api. Sang perempuan mengambil air atau menimba air di air pamali (tempat mata air yang dikeramatkan) sementara sang laki-laki mencari dan memikul kayu api. Nantinya, mereka berdualah yang pertama kali memasak di rumah adat yang baru.10 Juga ada cerita dari Bapa Malasi Anton bahwa dulu mama tua beliau (kakak perempuan pertama dari kakek Bapa Anton) juga bisa melakukan hal yang dilakukan oleh kaum laki-laki, misalnya ketika para laki-laki sedang tidak ada di kampung dan ada rombongan pencuri masuk kampung. Maka mama tua yang ambil peran mengusir para pencuri atau perampok yang masuk wilayah kampungnya. Mama tua memikul tombak mengusir pencuri, bahkan sampai naik kuda untuk mengejar para pencuri dan mengusir mereka keluar dari kampungnya.11
Wawancara dengan Bapa Mateus Anin dan Mama Wasti S Anin di Fatumnasi.
9 8
10
Utara.
11
Wawancara dengan Dicky Senda , aktivis Lakoat Kujawas di Taiftop, Mollo
Wawancara dengan Bapa Kapitan Tanouf di Oenbit, Ekafalo. Wawancara dengan Bapa Malasi Anton di Oenbit, Ekafalo.
60
61
Ada simbol feminin yang diberikan kepada Mollo, misalnya
sebutan saudara perempuan dari gunung. Sebutan ini sekaligus menampilkan perannya sebagai perempuan penjaga gunung. Tidak mengherankan ketika mendengar cerita perlawanan Mollo terhadap pertambangan batu di Gunung Mutis sejak 2006 diprakarsai oleh kaum perempuan. Bagi warga Mollo, ada latar belakang sejarah tradisi serta ideologi yang kuat tentang Gunung Mutis sebagai “ibu yang menyusui anaknya”, serta konsep lingkungan yang ditanamkan sejak kecil sebagai saudara perempuan penjaga gunung. Hingga ada ungkapan “ Air adalah darah kami, batu adalah tulang kami, hutan adalah rambut kami.”
Jadi wajar sekali ketika ada hutan industri, perusahaan tambang atau perambah lingkungan yang masuk ke wilayah Mollo sejak zaman Soeharto, para perempuanlah yang berperan besar untuk melawan.8
para laki-laki ikut menjagai kaum perempuan dari sekitarnya untuk menghindari mereka berhadapan langsung dengan aparat atau petugas sekuriti yang semuanya laki-laki. Keputusan kaum perempuan menjadi garda depan perlawanan pertambangan di Gunung Mutis ini juga didorong oleh sosok dua pahlawan lokal perempuan yang tampil di wilayah Mollo ketika terjadi perang saudara, mereka adalah Bei Tais Aftone dan Bei Nau Aftone.
Selain itu menurut Mama Wasti, setiap aksi demonstrasi selalu diawali dengan doa, mengumpulkan semua masyarakat, tua-tua adat, laki-laki dan perempuan, bermusyawarah, dan sepakat untuk melakukan perlawanan.9
Peran yang Adil dalam Kehidupan Saya ingat, Bapa Kapitan Tanouf dalam wawancaranya pernah
Bapa Mateus Anin menyampaikan bahwa warga menolak menyerahkan tanah leluhur untuk diperkosa oleh pertambangan. Beliau mengibaratkan pertambangan sebagai pemerkosaan kepada perempuan atau sosok ibu. Bagi Mama Wasti, mempertahankan batu di Gunung Mutis adalah wujud perjuangan mempertahankan alam karena Mollo adalah ibu yang menyusui, sebagai sumber mata air dari banyak sungai yang mengalir ke seluruh wilayah Timor. Perlawanan dilakukan karena kalau sampai wilayah alam mereka rusak atau menyerahkan gunung untuk dirusak, maka tempat itu tidak lagi bisa ditinggali. Oleh sebab itu, perempuan yang menjaganya. Mama Wasti menceritakan bagaimana pada tahun 2006 para perempuan membuka baju bertelanjang dada sebagai bentuk perlawanan terhadap tindak kekerasan aparat dan petugas sekuriti perusahaan. Batu gunung adalah ibu yang menyusui. Ketika itu, para perempuan bertahan dengan tenda atau tanpa tenda selama tiga tahun, siang dan malam, meninggalkan rumah dan kerja kebun sambil menenun di area yang dijadikan tambang atau di atas batu-batu yang akan ditambang. Semua itu karena Mollo adalah saudara perempuan yang menjaga gunung. Sementara
menyampaikan satu ritual adat masyarakat Oenbit yang dilakukan bersama antara laki-laki dan perempuan, yaitu ketika membangun rumah adat. Menurutnya, sesudah selesai memasang atap rumah adat, ada dua orang yang khusus diutus bersama untuk menimba air dan mengambil kayu api. Sang perempuan mengambil air atau menimba air di air pamali (tempat mata air yang dikeramatkan) sementara sang laki-laki mencari dan memikul kayu api. Nantinya, mereka berdualah yang pertama kali memasak di rumah adat yang baru.10 Juga ada cerita dari Bapa Malasi Anton bahwa dulu mama tua beliau (kakak perempuan pertama dari kakek Bapa Anton) juga bisa melakukan hal yang dilakukan oleh kaum laki-laki, misalnya ketika para laki-laki sedang tidak ada di kampung dan ada rombongan pencuri masuk kampung. Maka mama tua yang ambil peran mengusir para pencuri atau perampok yang masuk wilayah kampungnya. Mama tua memikul tombak mengusir pencuri, bahkan sampai naik kuda untuk mengejar para pencuri dan mengusir mereka keluar dari kampungnya.11
Wawancara dengan Bapa Mateus Anin dan Mama Wasti S Anin di Fatumnasi.
9 8
10
Utara.
11
Wawancara dengan Dicky Senda , aktivis Lakoat Kujawas di Taiftop, Mollo
Wawancara dengan Bapa Kapitan Tanouf di Oenbit, Ekafalo. Wawancara dengan Bapa Malasi Anton di Oenbit, Ekafalo.
62
63
Irisan dua cerita hasil wawancara di atas hanyalah perwujudan bagaimana laki-laki dan perempuan sebenarnya bisa bersanding bersama dalam berbagi peran dalam masyarakat. Maka, pandangan bahwa perempuan lebih lemah dibandingkan lakilaki menjadi tidak benar pula ketika ada banyak contoh yang menunjukkan bagaimana perempuan mampu melakukan hal-hal yang biasa dilakukan kaum laki-laki. Tentu saja, dua irisan ini tidak lepas dari nilai-nilai adat yang masih cukup kental di Timor Timor.. Sekarang zaman berubah, mungkin juga permasalahan tentang gender berbeda dan makin berkembang, namun kehidupan dan hal keadilan selalu berbanding lurus. Mengutip tulisan Ir Ir.. Soekarno,
Dan oleh karena soal perempuan adalah soal masjarakat, maka soal perempuan adalah sama tuanya dengan masjarakat; soal perempuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan. Atau lebih tegas: soal lakilaki-perempuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan.12 Masjarakat itu hanjalah sehat, manakala ada perimbangan hak dan perimbangan perlakuan antara kaum laki-laki dan perempuan, jang sama tengahnya, sama beratnya, sama adilnya.13
12 13
Ibid .,., hlm. 15. Ibid .,., hlm. 41.
Penutup
Dari review pengalaman selama perjalanan di Timor, penulis mengamati bahwa peran perempuan di Timor khususnya dalam rumah tangga sangat besar. Mereka mengelola tugas dan urusan rumah tangga, seperti memasak, mengurus anak, mengurus rumah, memegang kendali keuangan rumah tangga, dan mengatur pendidikan anak. Dalam pertanian, perempuan punya peran yang sama besar seperti juga peran laki-laki, namun ada banyak nilai tradisi yang memosisikan perempuan lebih tinggi dibandingkan kaum laki-laki. Perempuan cukup andal mengelola hasil produksi pertanian serta mengolah komoditas yang ada. Perempuan juga dominan sebagai pengatur keuangan dan perencanaan dalam keluarga termasuk mengambil kebijakan dalam usaha dagang, olah pangan, dan pertanian.
62
63
Irisan dua cerita hasil wawancara di atas hanyalah perwujudan bagaimana laki-laki dan perempuan sebenarnya bisa bersanding bersama dalam berbagi peran dalam masyarakat. Maka, pandangan bahwa perempuan lebih lemah dibandingkan lakilaki menjadi tidak benar pula ketika ada banyak contoh yang menunjukkan bagaimana perempuan mampu melakukan hal-hal yang biasa dilakukan kaum laki-laki. Tentu saja, dua irisan ini tidak lepas dari nilai-nilai adat yang masih cukup kental di Timor Timor.. Sekarang zaman berubah, mungkin juga permasalahan tentang gender berbeda dan makin berkembang, namun kehidupan dan hal keadilan selalu berbanding lurus. Mengutip tulisan Ir Ir.. Soekarno,
Dan oleh karena soal perempuan adalah soal masjarakat, maka soal perempuan adalah sama tuanya dengan masjarakat; soal perempuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan. Atau lebih tegas: soal lakilaki-perempuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan.12 Masjarakat itu hanjalah sehat, manakala ada perimbangan hak dan perimbangan perlakuan antara kaum laki-laki dan perempuan, jang sama tengahnya, sama beratnya, sama adilnya.13
12 13
Penutup
Dari review pengalaman selama perjalanan di Timor, penulis mengamati bahwa peran perempuan di Timor khususnya dalam rumah tangga sangat besar. Mereka mengelola tugas dan urusan rumah tangga, seperti memasak, mengurus anak, mengurus rumah, memegang kendali keuangan rumah tangga, dan mengatur pendidikan anak. Dalam pertanian, perempuan punya peran yang sama besar seperti juga peran laki-laki, namun ada banyak nilai tradisi yang memosisikan perempuan lebih tinggi dibandingkan kaum laki-laki. Perempuan cukup andal mengelola hasil produksi pertanian serta mengolah komoditas yang ada. Perempuan juga dominan sebagai pengatur keuangan dan perencanaan dalam keluarga termasuk mengambil kebijakan dalam usaha dagang, olah pangan, dan pertanian.
Ibid .,., hlm. 15. Ibid .,., hlm. 41.
65
64
LIMA HARI MENGAMATI DI DESA TAIFTOB Jameela Khan
menariknya ke depan waktu kami membicarakan soal hidung, pun baik laki-laki dan perempuan sering membahas ‘keindahan’ hidung saya. Tampilan isik seseorang adalah hal penting di sini—
utamanya soal hidung dan warna kulit. Contohnya, di Yogyakarta saya sering lihat perempuan yang mengendarai sepeda motor membungkus tubuhnya tubuhnya rapat-rapat (dengan baju lengan panjang, sarung tangan, dan kaus kaki) supaya kulitnya tidak terbakar matahari, tak peduli udara panasnya minta ampun. Hal ini jelas merujuk pada preferensi terhadap kecantikan ala bangsa Eropa
Soal Hidung
kulit putih (berhidung mancung dan berkulit putih), tapi bisa juga menunjukkan makna tersirat lainnya (contohnya, memiliki kulit putih menandakan seseorang tidak perlu mencari penghasilan dengan bekerja di luar rumah di bawah terik matahari). Memang tidak jelas pentingnya bentuk hidung seseorang, dan mungkin saja hanya mengacu pada keterkaitan dengan sosok kolonial di masa lalu. Dari pelajaran Sejarah di sekolah, saya juga paham betapa beratnya jadi penanda kemakmuran (punya akses pangan yang lebih baik). Pada intinya, tampilan isik saya saya berefek sama
Kami terbang ke Kupang. Saya tidur-tidur ayam selama perjalanan menuju Desa Taiftob dengan mobil. Panasnya tidak tertahankan.
pada laki-laki maupun perempuan, yakni menimbulkan pujian dan tampak menyenangkan.
Sang sopir—yang piawai menari dan terkesima oleh hidung saya—berhenti beberapa kali dalam lima belas menit pertama melintasi jalanan kota yang berdebu; ia sekalian mengurusi beberapa hal sebab perjalanan ke Desa Taiftob memakan waktu
Di Sini Sama Saja
tiga jam dari Kupang. Dalam perjalanan kembali ke bandara lima hari kemudian, kami membawa kasur baru (yang diikat di atap mobil) menuju sebuah rumah indekos mahasiswa di Kupang. Saya diberi tahu bahwa orang-orang akan mengira mobil kami mengangkut pengantin baru yang akan pindah rumah.
Ketika desa sudah dekat, saya melihat ada beberapa anak lakilaki di kejauhan sedang beristirahat di dekat tiang gawang. Pemandangan ini mengingatkan saya pada masa remaja di jalanan Stoneyholme. Kemudian saya sadar, perjalanan ini akan jadi cerminan dari masa tumbuh kembang saya sendiri. Tembok hijau di rumah Dicky, kucing kuning, perabot dapur utama, anak-anak berjalan kaki menuju sekolah, serta keluarga dan teman yang serbatahu seluk-beluk hidup kita. Dunia paralel. Bahkan sambal yang jadi buah bibir orang-orang itu adalah versi pedas dari cabai hijau yang dihaluskan buatan ibu saya untuk jadi cocolan roti. Saya ada di mana? Dan apa sebenarnya hal-hal asing yang mengingatkan saya pada sesuatu yang akrab ini? Sewaktu tinggal
Setidaknya tiga kali, hidung saya jadi bahan pembicaraan orangorang. Saya menebak-nebak apakah hidung saya terlalu besar atau bentuknya aneh. Tapi ternyata justru ini bentuk yang lebih diingini mereka (panjang dan tidak pesek). Mama Meti berharap cucunya yang masih dalam kandungan akan punya hidung seperti saya. Suatu kali saya lihat dia mencubit hidungnya sendiri dan
65
64
LIMA HARI MENGAMATI DI DESA TAIFTOB Jameela Khan
menariknya ke depan waktu kami membicarakan soal hidung, pun baik laki-laki dan perempuan sering membahas ‘keindahan’ hidung saya. Tampilan isik seseorang adalah hal penting di sini—
utamanya soal hidung dan warna kulit. Contohnya, di Yogyakarta saya sering lihat perempuan yang mengendarai sepeda motor membungkus tubuhnya tubuhnya rapat-rapat (dengan baju lengan panjang, sarung tangan, dan kaus kaki) supaya kulitnya tidak terbakar matahari, tak peduli udara panasnya minta ampun. Hal ini jelas merujuk pada preferensi terhadap kecantikan ala bangsa Eropa
Soal Hidung
kulit putih (berhidung mancung dan berkulit putih), tapi bisa juga menunjukkan makna tersirat lainnya (contohnya, memiliki kulit putih menandakan seseorang tidak perlu mencari penghasilan dengan bekerja di luar rumah di bawah terik matahari). Memang tidak jelas pentingnya bentuk hidung seseorang, dan mungkin saja hanya mengacu pada keterkaitan dengan sosok kolonial di masa lalu. Dari pelajaran Sejarah di sekolah, saya juga paham betapa beratnya jadi penanda kemakmuran (punya akses pangan yang lebih baik). Pada intinya, tampilan isik saya saya berefek sama
Kami terbang ke Kupang. Saya tidur-tidur ayam selama perjalanan menuju Desa Taiftob dengan mobil. Panasnya tidak tertahankan.
pada laki-laki maupun perempuan, yakni menimbulkan pujian dan tampak menyenangkan.
Sang sopir—yang piawai menari dan terkesima oleh hidung saya—berhenti beberapa kali dalam lima belas menit pertama melintasi jalanan kota yang berdebu; ia sekalian mengurusi beberapa hal sebab perjalanan ke Desa Taiftob memakan waktu
Di Sini Sama Saja
tiga jam dari Kupang. Dalam perjalanan kembali ke bandara lima hari kemudian, kami membawa kasur baru (yang diikat di atap mobil) menuju sebuah rumah indekos mahasiswa di Kupang. Saya diberi tahu bahwa orang-orang akan mengira mobil kami mengangkut pengantin baru yang akan pindah rumah.
Ketika desa sudah dekat, saya melihat ada beberapa anak lakilaki di kejauhan sedang beristirahat di dekat tiang gawang. Pemandangan ini mengingatkan saya pada masa remaja di jalanan Stoneyholme. Kemudian saya sadar, perjalanan ini akan jadi cerminan dari masa tumbuh kembang saya sendiri. Tembok hijau di rumah Dicky, kucing kuning, perabot dapur utama, anak-anak berjalan kaki menuju sekolah, serta keluarga dan teman yang serbatahu seluk-beluk hidup kita. Dunia paralel. Bahkan sambal yang jadi buah bibir orang-orang itu adalah versi pedas dari cabai hijau yang dihaluskan buatan ibu saya untuk jadi cocolan roti. Saya ada di mana? Dan apa sebenarnya hal-hal asing yang mengingatkan saya pada sesuatu yang akrab ini? Sewaktu tinggal
Setidaknya tiga kali, hidung saya jadi bahan pembicaraan orangorang. Saya menebak-nebak apakah hidung saya terlalu besar atau bentuknya aneh. Tapi ternyata justru ini bentuk yang lebih diingini mereka (panjang dan tidak pesek). Mama Meti berharap cucunya yang masih dalam kandungan akan punya hidung seperti saya. Suatu kali saya lihat dia mencubit hidungnya sendiri dan
66
67
di Inggris dulu, abang saya pernah bilang, “Segala hal berasal dari India, Jams!” Saya bersyukur atas warisan Asia Selatan yang saya miliki, atas waktu yang dihabiskan di tepi Lake District sebelum saya pergi, dan pengalaman bersama Jatt (komunitas pertanian di India-Pakistan) yang membuat saya merasa seperti di rumah selama di Desa Taifto Taiftob. b.
Kerja Sosial
Dicky adalah advokat unggul untuk desanya. Teman-temannya juga mengajari kami menari selama dua malam yang ramah dan akrab, orang-orang yang amat rendah hati, yang mengajak obrol seakan-akan sudah berteman bertahun-tahun. Saya merindukan mereka. Selain aktivitas berbaur dengan para tetangga Dicky setiap sore dan malam hari, kami juga menggelar lokakarya Pendidikan Seks—salah satu agenda saya di Lifepatch—bersama
sejumlah remaja di pagi hari. Dari pengalaman saya tinggal di Inggris, latar sekolah selalu bisa dijadikan contoh yang tepat untuk melihat interaksi gender, dan saya sering membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini yang tentunya merupakan perubahan besar di masyarakat. Seiring bertambah dewasa, saya mulai awas terhadap perbedaan gender dalam industri pendidikan. Maka dalam lokakarya di desa ini, meskipun anak laki-laki duduk bergerombol di sebelah kanan saya dan mungkin berangkat kemari bersama-sama, baik laki-laki maupun perempuan berinteraksi dengan baik dan bersikap sopan selama kegiatan— mempelajari cara memainkan kartu meskipun kartu-kartu itu bergambar kemaluan, bekerja sama dengan orang yang tidak fasih berbahasa Indonesia (saya!), saling mendorong untuk
mengetahui penjelasan penyakit menular seksual atau pengertian ‘orang dengan kelainan seksual’, dan bekerja sama melakukan permainan Ular Tangga yang berukuran sebesar tubuh mereka. Saya melihat para anak laki-laki ini berempati pada isu-isu perempuan; mereka menyimak saat anak perempuan bertanya
tentang menstruasi dan bahkan mencondongkan tubuh untuk mendengarkan dan menanggapi kisah seputar pemerkosaan dan kehamilan pada remaja. Mereka sungguh-sungguh memperhatikan dan menanggapi dengan jujur jujur.. Ini menarik untuk diamati.
66
67
di Inggris dulu, abang saya pernah bilang, “Segala hal berasal dari India, Jams!” Saya bersyukur atas warisan Asia Selatan yang saya miliki, atas waktu yang dihabiskan di tepi Lake District sebelum saya pergi, dan pengalaman bersama Jatt (komunitas pertanian di India-Pakistan) yang membuat saya merasa seperti di rumah selama di Desa Taifto Taiftob. b.
Kerja Sosial
Dicky adalah advokat unggul untuk desanya. Teman-temannya juga mengajari kami menari selama dua malam yang ramah dan akrab, orang-orang yang amat rendah hati, yang mengajak obrol seakan-akan sudah berteman bertahun-tahun. Saya merindukan mereka. Selain aktivitas berbaur dengan para tetangga Dicky setiap sore dan malam hari, kami juga menggelar lokakarya Pendidikan Seks—salah satu agenda saya di Lifepatch—bersama
sejumlah remaja di pagi hari. Dari pengalaman saya tinggal di Inggris, latar sekolah selalu bisa dijadikan contoh yang tepat untuk melihat interaksi gender, dan saya sering membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini yang tentunya merupakan perubahan besar di masyarakat. Seiring bertambah dewasa, saya mulai awas terhadap perbedaan gender dalam industri pendidikan. Maka dalam lokakarya di desa ini, meskipun anak laki-laki duduk bergerombol di sebelah kanan saya dan mungkin berangkat kemari bersama-sama, baik laki-laki maupun perempuan berinteraksi dengan baik dan bersikap sopan selama kegiatan— mempelajari cara memainkan kartu meskipun kartu-kartu itu bergambar kemaluan, bekerja sama dengan orang yang tidak fasih berbahasa Indonesia (saya!), saling mendorong untuk
mengetahui penjelasan penyakit menular seksual atau pengertian ‘orang dengan kelainan seksual’, dan bekerja sama melakukan permainan Ular Tangga yang berukuran sebesar tubuh mereka. Saya melihat para anak laki-laki ini berempati pada isu-isu perempuan; mereka menyimak saat anak perempuan bertanya
tentang menstruasi dan bahkan mencondongkan tubuh untuk mendengarkan dan menanggapi kisah seputar pemerkosaan dan kehamilan pada remaja. Mereka sungguh-sungguh memperhatikan dan menanggapi dengan jujur jujur.. Ini menarik untuk diamati.
69
68
jenaka. Mereka sangat menarik untuk diamati, terutama terkait pertumbuhan menjadi remaja yang temperamental dan harus berhadapan dengan hidup sebagaimana kita juga. Peran Dicky dalam menyediakan ruang yang aman bagi anak-anak untuk belajar dan berkumpul adalah sesuatu yang menginspirasi. Sebagai penggemar perpustakaan umum (yang selalu saya datangi
terpapar hiburan untuk anak-anak di luar sekolah. Bersama Jimmy, seorang pastor desa, mereka mengarahkan anak-anak untuk mengenali berbagai persoalan yang mungkin akan mereka hadapi di masa mendatang. Relasi dan dinamika keluarga. Keduanya—Dicky Keduany a—Dicky dan Jimmy—m Jimmy—merangkap erangkap sebagai pekerja sosial juga. Kerja-kerja mereka sebelum kami berkunjung dan masukan Dicky untuk konten lokakarya ini amat penting sehingga kami
setiap Sabtu semasa kanak-kanak) dan mengetahui fakta bahwa
dapat berkomunikasi secara efektif dengan anak-anak. Peran
banyak perpustakaan bagus harus tutup karena pemotongan dana di Inggris (#SaveOurLibraries), rasanya nyaman sekali melihat seseorang membuat sebuah perpustakaan sederhana di rumah dari buku-buku yang dikumpulkan dan disumbangkan untuk anak-anak.
para orang tua (laki-laki dan perempuan) yang punya kepedulian dan koneksi dengan dunia di luar desa juga penting untuk memastikan masyarakat masyarakat mereka tidak ‘tertinggal’ atau terisolasi dari isu-isu ‘modern’.
Selain itu, memberi ruang untuk anak-anak beristirahat dari
Peran Laki-Laki dan Perempuan
Para remaja ini menyenangkan, sangat ingin tahu, aktif, dan
aktivitas keseharian dengan menonton ilm merupakan aksi yang
sederhana dan penting, terutama di wilayah yang tidak banyak
Adalah hal yang menarik melihat laki-laki dan perempuan saling terlibat di tingkat sosial, dalam tanggung jawab keseharian keluarga dan pekerjaaan yang memerlukan keikutsertaan banyak warga desa. Ini adalah ruang-ruang di mana saya bisa menyaksikannya secara langsung. Di Desa Taiftob, melalui
persahabatan dan dukungan dari para tentangga saya bisa melihat bagaimana laki-laki dan perempuan bersama-sama memelihara satu sama lain, entah itu dalam bentuk menjemput seseorang, memperbaiki mobil seorang pastor yang menelepon minta bantuan, memasak, atau saling menjaga anak dan tamu. Mama Meti contohnya. Ia adalah perempuan sepuh yang jenaka dan energik layaknya gadis usia 20 tahun. Ia dapat berkomunik berkomunikasi asi dengan kelompok usia dan gender mana pun di desa itu, seakanakan dia bisa bicara banyak bahasa. Ia dapat membantu memasak dan berbagi tugas menjamu tamu dengan Dicky Senda. Mama Meti punya segudang keterampilan; dan kemampuannya untuk bergaul
dengan siapa pun tanpa ragu mungkin disebabkan oleh usia dan pengalamannya, yang membebaskan serta melindunginya dari berbagai kemungkinan gosip.
69
68
jenaka. Mereka sangat menarik untuk diamati, terutama terkait pertumbuhan menjadi remaja yang temperamental dan harus berhadapan dengan hidup sebagaimana kita juga. Peran Dicky dalam menyediakan ruang yang aman bagi anak-anak untuk belajar dan berkumpul adalah sesuatu yang menginspirasi. Sebagai penggemar perpustakaan umum (yang selalu saya datangi
terpapar hiburan untuk anak-anak di luar sekolah. Bersama Jimmy, seorang pastor desa, mereka mengarahkan anak-anak untuk mengenali berbagai persoalan yang mungkin akan mereka hadapi di masa mendatang. Relasi dan dinamika keluarga. Keduanya—Dicky Keduany a—Dicky dan Jimmy—m Jimmy—merangkap erangkap sebagai pekerja sosial juga. Kerja-kerja mereka sebelum kami berkunjung dan masukan Dicky untuk konten lokakarya ini amat penting sehingga kami
setiap Sabtu semasa kanak-kanak) dan mengetahui fakta bahwa
dapat berkomunikasi secara efektif dengan anak-anak. Peran
banyak perpustakaan bagus harus tutup karena pemotongan dana di Inggris (#SaveOurLibraries), rasanya nyaman sekali melihat seseorang membuat sebuah perpustakaan sederhana di rumah dari buku-buku yang dikumpulkan dan disumbangkan untuk anak-anak.
para orang tua (laki-laki dan perempuan) yang punya kepedulian dan koneksi dengan dunia di luar desa juga penting untuk memastikan masyarakat masyarakat mereka tidak ‘tertinggal’ atau terisolasi dari isu-isu ‘modern’.
Selain itu, memberi ruang untuk anak-anak beristirahat dari
Peran Laki-Laki dan Perempuan
Para remaja ini menyenangkan, sangat ingin tahu, aktif, dan
aktivitas keseharian dengan menonton ilm merupakan aksi yang
sederhana dan penting, terutama di wilayah yang tidak banyak
Adalah hal yang menarik melihat laki-laki dan perempuan saling terlibat di tingkat sosial, dalam tanggung jawab keseharian keluarga dan pekerjaaan yang memerlukan keikutsertaan banyak warga desa. Ini adalah ruang-ruang di mana saya bisa menyaksikannya secara langsung. Di Desa Taiftob, melalui
persahabatan dan dukungan dari para tentangga saya bisa melihat bagaimana laki-laki dan perempuan bersama-sama memelihara satu sama lain, entah itu dalam bentuk menjemput seseorang, memperbaiki mobil seorang pastor yang menelepon minta bantuan, memasak, atau saling menjaga anak dan tamu. Mama Meti contohnya. Ia adalah perempuan sepuh yang jenaka dan energik layaknya gadis usia 20 tahun. Ia dapat berkomunik berkomunikasi asi dengan kelompok usia dan gender mana pun di desa itu, seakanakan dia bisa bicara banyak bahasa. Ia dapat membantu memasak dan berbagi tugas menjamu tamu dengan Dicky Senda. Mama Meti punya segudang keterampilan; dan kemampuannya untuk bergaul
dengan siapa pun tanpa ragu mungkin disebabkan oleh usia dan pengalamannya, yang membebaskan serta melindunginya dari berbagai kemungkinan gosip.
71
70
Peran gender juga menarik untuk ditinjau dari segi usia; gagasan
ini pernah saya baca dari tulisan Monika Swasti Winarnita yang berjudul Indonesian grannies and transnational sexualities: negotiating sexuality, gender, age and belonging through cultural dance performance yang merujuk pada peran laki-laki yang
jenaka dalam pertunjukan Indonesia yang dimainkan oleh penari perempuan berusia tua: “... Indri is able to assert her dominance
Acara Sosial
Makan malam bersama, minum-minum, menari, atau saling mengunjungi rumah di malam hari (selain keperluan religius) berpotensi membangun kerja sama dan keterhubungan antarwarga desa. Jika laki-laki dan perempuan juga bergaul bersama, masyarakatnya masyarakatnya juga bisa menjadi lebih bersifat bilineal.
in heterosexual interactions with younger men, teasing them and soliciting sexual relations with them (in a joking manner) because she is an older woman who is free from the constraints of public expression of sexuality imposed on the younger (fertile) women... women...” ” 1
Saya sempat menebak jangan-jangan kenalan Dicky di desa itu memang sudah saling berteman baik dan sudah bekerja bersama sebagai kelompok untuk ‘mengurus banyak hal’ dan saling membantu sejak dulu kala.
Dicky—pemuda usia dua puluhan—berusaha bekerja bersama para warga desa untuk membantu mereka meningkatkan pendapatan selama tinggal di desa. Saya diajak melihat beberapa contoh produk lokal yang terbuat dari anyaman, dan beberapa yang masih dikerjakan, yang dipesan oleh seseorang dari luar desa. Dicky percaya pada kemampuan desanya untuk mandiri
Desa itu tidak hanya terdiri atas 4-5 keluarga yang kami temui, dan saya sendiri kurang jelas mengerti bagaimana tepatnya semua warga melakukan kerja keseharian di desa atau bekerja sama. Pada suatu malam ketika menari, bersama wajah-wajah
secara ekonomi dengan memanfaatkan kerajinan tradisional
yang ada (meskipun bidang ini sepertinya tidak diminati oleh anak-anak/remaja yang saya tanyai), melalui upaya mendorong kelompok penenun perempuan (utamanya ibu-ibu) untuk mulai bekerja sama. Dicky sendiri memproduksi sambal berbahan dasar berbagai tumbuhan, bumbu, dan cabai lokal. Ia memanfaatkan
Instagram untuk mengiklankan serta memasarkan produknya dan produk desa kepada calon pembeli.
yang familier (teman-teman Dicky), Dicky mengatakan bahwa
kelompok ini sering disebut sebagai ‘penumpang dasar’ sebab mereka cukup bisa diandalkan untuk selalu terlibat dan kehadiran mereka menjamin suasana jadi asyik. Semuanya itu menunjukkan bahwa partisipasi aktif dalam kehidupan warga desa diperlukan
untuk ‘mengurus banyak hal’ dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. masyarak at. Semua aktivitas menjadi lebih mudah jika dikerjakan bersama oleh teman, suami dan istri, anak-anak, serta keluarga besar,, tidak peduli gender mereka. besar Tampaknya kedua gender setara di desa ini; perempuan pun
berada di posisi nyaman di desa. Saya sendiri tidak berharap ada yang berbeda dari pengalaman saya di Inggris—di tempat kerja, pertemuan keluarga atau aktivitas rekreasi—jadi saya tidak kaget.
Winarnita, Monika Swasti. 2015. “Indonesian grannies and transnational sexualities: negotiating sexuality, gender, age and belonging through cultural 1
dance performance” dalam Sex and Sexualities in Contemporary Indonesia: Sexual Politics, Health, Diversity and Representations. (Bennett, Linda Rae dan Sharyn Graham Davies, ed.). Routledge, hal. 237-252.
71
70
Peran gender juga menarik untuk ditinjau dari segi usia; gagasan
ini pernah saya baca dari tulisan Monika Swasti Winarnita yang berjudul Indonesian grannies and transnational sexualities: negotiating sexuality, gender, age and belonging through cultural dance performance yang merujuk pada peran laki-laki yang
jenaka dalam pertunjukan Indonesia yang dimainkan oleh penari perempuan berusia tua: “... Indri is able to assert her dominance
Acara Sosial
Makan malam bersama, minum-minum, menari, atau saling mengunjungi rumah di malam hari (selain keperluan religius) berpotensi membangun kerja sama dan keterhubungan antarwarga desa. Jika laki-laki dan perempuan juga bergaul bersama, masyarakatnya masyarakatnya juga bisa menjadi lebih bersifat bilineal.
in heterosexual interactions with younger men, teasing them and soliciting sexual relations with them (in a joking manner) because she is an older woman who is free from the constraints of public expression of sexuality imposed on the younger (fertile) women... women...” ” 1
Saya sempat menebak jangan-jangan kenalan Dicky di desa itu memang sudah saling berteman baik dan sudah bekerja bersama sebagai kelompok untuk ‘mengurus banyak hal’ dan saling membantu sejak dulu kala.
Dicky—pemuda usia dua puluhan—berusaha bekerja bersama para warga desa untuk membantu mereka meningkatkan pendapatan selama tinggal di desa. Saya diajak melihat beberapa contoh produk lokal yang terbuat dari anyaman, dan beberapa yang masih dikerjakan, yang dipesan oleh seseorang dari luar desa. Dicky percaya pada kemampuan desanya untuk mandiri
Desa itu tidak hanya terdiri atas 4-5 keluarga yang kami temui, dan saya sendiri kurang jelas mengerti bagaimana tepatnya semua warga melakukan kerja keseharian di desa atau bekerja sama. Pada suatu malam ketika menari, bersama wajah-wajah
secara ekonomi dengan memanfaatkan kerajinan tradisional
yang ada (meskipun bidang ini sepertinya tidak diminati oleh anak-anak/remaja yang saya tanyai), melalui upaya mendorong kelompok penenun perempuan (utamanya ibu-ibu) untuk mulai bekerja sama. Dicky sendiri memproduksi sambal berbahan dasar berbagai tumbuhan, bumbu, dan cabai lokal. Ia memanfaatkan
Instagram untuk mengiklankan serta memasarkan produknya dan produk desa kepada calon pembeli.
yang familier (teman-teman Dicky), Dicky mengatakan bahwa
kelompok ini sering disebut sebagai ‘penumpang dasar’ sebab mereka cukup bisa diandalkan untuk selalu terlibat dan kehadiran mereka menjamin suasana jadi asyik. Semuanya itu menunjukkan bahwa partisipasi aktif dalam kehidupan warga desa diperlukan
untuk ‘mengurus banyak hal’ dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. masyarak at. Semua aktivitas menjadi lebih mudah jika dikerjakan bersama oleh teman, suami dan istri, anak-anak, serta keluarga besar,, tidak peduli gender mereka. besar Tampaknya kedua gender setara di desa ini; perempuan pun
berada di posisi nyaman di desa. Saya sendiri tidak berharap ada yang berbeda dari pengalaman saya di Inggris—di tempat kerja, pertemuan keluarga atau aktivitas rekreasi—jadi saya tidak kaget.
Winarnita, Monika Swasti. 2015. “Indonesian grannies and transnational sexualities: negotiating sexuality, gender, age and belonging through cultural 1
dance performance” dalam Sex and Sexualities in Contemporary Indonesia: Sexual Politics, Health, Diversity and Representations. (Bennett, Linda Rae dan Sharyn Graham Davies, ed.). Routledge, hal. 237-252.
72
73
Akan tetapi, jika saya hanya fokus pada pengamatan saya saat
menyusuri lingkungan tetangga dan banyak tempat lainnya, lakilaki lebih banyak terlihat di luar rumah dan sedikit sekali laki-laki dan perempuan berbaur setelah mereka melewati masa remaja (masa ketika anak-anak bermain di jalan). Tentu saja mungkin beda cerita dengan yang terjadi di dalam rumah, namun hal itu tetap jarang ditemui di ruang-ruang publik di sini. Mungkin saja hal itu disebabkan oleh faktor cuaca (di Inggris bermain di luar
rumah itu dingin sekali!), serta jenis peran dan pekerjaan yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Atau bisa juga ini merupakan peninggalan agama dan budaya yang dipelihara di perantauan dan juga menjadi penampakan umum di masyarakat di luar Asia Selatan. Ini adalah sematamata pengamatan saya dan tidak serta-merta sama artinya dengan berpengaruh pada peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan di rumah serta di tempat kerja. Lebih tepatnya, pengamatan ini membuat saya membayangkan efek dari situasi
ini terhadap cara kita berelasi dan berperilaku dengan lakilaki dan perempuan ketika kita berada di ruang terbuka, serta persepsi dan penilaian kita atas suatu tempat dan orang-orang yang ada di dalamnya.
72
73
Akan tetapi, jika saya hanya fokus pada pengamatan saya saat
menyusuri lingkungan tetangga dan banyak tempat lainnya, lakilaki lebih banyak terlihat di luar rumah dan sedikit sekali laki-laki dan perempuan berbaur setelah mereka melewati masa remaja (masa ketika anak-anak bermain di jalan). Tentu saja mungkin beda cerita dengan yang terjadi di dalam rumah, namun hal itu tetap jarang ditemui di ruang-ruang publik di sini. Mungkin saja hal itu disebabkan oleh faktor cuaca (di Inggris bermain di luar
rumah itu dingin sekali!), serta jenis peran dan pekerjaan yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Atau bisa juga ini merupakan peninggalan agama dan budaya yang dipelihara di perantauan dan juga menjadi penampakan umum di masyarakat di luar Asia Selatan. Ini adalah sematamata pengamatan saya dan tidak serta-merta sama artinya dengan berpengaruh pada peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan di rumah serta di tempat kerja. Lebih tepatnya, pengamatan ini membuat saya membayangkan efek dari situasi
ini terhadap cara kita berelasi dan berperilaku dengan lakilaki dan perempuan ketika kita berada di ruang terbuka, serta persepsi dan penilaian kita atas suatu tempat dan orang-orang yang ada di dalamnya.
74
75
ANTARA MATRI ANTARA MATRI- DAN PA PATRIDI TIMOR BARAT, NTT Opée Wardany
Dalam kekerabatan, setidaknya ada dua sistem yang berpengaruh, yaitu: patrilineal dan matrilineal. Patrilineal adalah sistem kekerabatan yang mengambil garis keturunan dari pihak ayah dan berpengaruh pada pemberian suku atau marga untuk anak yang lahir, pengaturan hak dan kewajiban dalam adat, sistem pewarisan, dan lain-lain1. Sementara, matrilineal adalah sistem kekerabatan yang memengaruhi aspek-aspek serupa namun ditentukan oleh garis keturunan dari pihak ibu. Sistem kekerabatan tersebut berkait dengan bentuk organisasi sosial yang mendasarkan kepemimpinannya dalam keluarga atau klan. Kepemimpinan oleh laki-laki disebut sistem patriarki atau patriarkat; sebaliknya, kepemimpinan oleh perempuan disebut
sistem matriarki atau matriarkat. Dalam patriar- maupun matriarki/-kat, kepemimpinan yang kemudian berkait pada pemegang kekuasaan dan keputusan mengimbas pada ketergantungan pasangan (istri atau suami) dan anak-anak secara hukum pada pemimpinnya, penandaan pada anak-anak yang diturunkan dari pemimpinnya dan disebut nama marga atau nama fam, dan
lingkungan hidup pasangan yang menuruti garis pemimpinnya. Penandaan pada anak-anak yang diturunkan dari pemimpinnya itulah yang dikenal dengan istilah patrilineal dan matrilineal. Sementara, lokasi lingkungan hidup pasangan menurut pemimpin keluarga atau klan disebut dengan patrilokal dan matrilokal. 1
http://www.deinisimenurutparaahli.com/pengertian-patrilineal-dan-
matrilineal/
Di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur, kedua sistem tersebut berlaku. Penelitian ini dilakukan di 6 kabupaten wilayah Timor Barat, NTT, yaitu Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Malaka, Kupang, dan Rote Ndao. Namun demikian, tulisan tentang matri- dan patri- ini mengupas penerapannya di 5 kabupaten yang diteliti. Kupang tidak dimasukkan dalam tulisan ini karena tidak ada penelitian lapangan yang dilakukan di sana. Penerapan kedua sistem tersebut tidak seluruhnya terbagi berdasarkan wilayah kabupaten, melainkan per desa atau kecamatan. Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar kecamatan di Timor Barat dulunya merupakan wilayah kerajaan yang secara administratif berubah
setelah Indonesia merdeka, seperti: Kerajaan Insana menjadi Kecamatan Insana di Timor Tengah Utara; Kecamatan Wewiku yang dulunya Kerajaan Wewiku; dan Kecamatan Amanatun dan
Amanuban yang dulunya Kerajaan Amanatun dan Amanuban di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Ada juga kabupaten yang dulunya kerajaan, seperti: Kabupaten Belu yang dulunya Kerajaan Belu; dan sebagian besar wilayah Kabupaten Malaka yang dulunya
termasuk dalam Kerajaan Malaka. Sebagian besar masyarakat Timor Barat menerapkan sistem patriarki. Dalam satu kabupaten yang dikenal menerapkan matriarki, yakni Malaka, juga tidak seluruh kecamatannya menggunakan sistem tersebut. Dari 11 desa di 11 kecamatan dalam 5 kabupaten, satu desa saja yang menerapkan sistem matrilineal, yaitu: Dusun Laran, Desa Wehali Wehali,, Kabupaten Malaka, NTT. Pun demikian, pada praktiknya, sistem matrilineal yang berkait dengan matriarki dan matrilokal tidaklah diterapkan secara utuh di lokasi tersebut. Demikian juga, penerapan sistem patrilineal tidak sepenuhnya juga menerapkan patriarki dan patrilokal di 11 desa lainnya. Ada pencampuran terapan sistem matrilineal dan patrilineal, matriarki dan patriarki, maupun matrilokal dan patrilokal. Tak hanya itu, ada juga yang menerapkan sistem pencampuran peran perempuan dan laki-laki yang disebut bilokal, biarki, bilineal meski dasar bentuk organisasi yang diakui hanya satu sistem saja: matrilineal atau patrilineal.
74
75
ANTARA MATRI ANTARA MATRI- DAN PA PATRIDI TIMOR BARAT, NTT Opée Wardany
Dalam kekerabatan, setidaknya ada dua sistem yang berpengaruh, yaitu: patrilineal dan matrilineal. Patrilineal adalah sistem kekerabatan yang mengambil garis keturunan dari pihak ayah dan berpengaruh pada pemberian suku atau marga untuk anak yang lahir, pengaturan hak dan kewajiban dalam adat, sistem pewarisan, dan lain-lain1. Sementara, matrilineal adalah sistem kekerabatan yang memengaruhi aspek-aspek serupa namun ditentukan oleh garis keturunan dari pihak ibu. Sistem kekerabatan tersebut berkait dengan bentuk organisasi sosial yang mendasarkan kepemimpinannya dalam keluarga atau klan. Kepemimpinan oleh laki-laki disebut sistem patriarki atau patriarkat; sebaliknya, kepemimpinan oleh perempuan disebut
sistem matriarki atau matriarkat. Dalam patriar- maupun matriarki/-kat, kepemimpinan yang kemudian berkait pada pemegang kekuasaan dan keputusan mengimbas pada ketergantungan pasangan (istri atau suami) dan anak-anak secara hukum pada pemimpinnya, penandaan pada anak-anak yang diturunkan dari pemimpinnya dan disebut nama marga atau nama fam, dan
lingkungan hidup pasangan yang menuruti garis pemimpinnya. Penandaan pada anak-anak yang diturunkan dari pemimpinnya itulah yang dikenal dengan istilah patrilineal dan matrilineal. Sementara, lokasi lingkungan hidup pasangan menurut pemimpin keluarga atau klan disebut dengan patrilokal dan matrilokal. 1
Di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur, kedua sistem tersebut berlaku. Penelitian ini dilakukan di 6 kabupaten wilayah Timor Barat, NTT, yaitu Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Malaka, Kupang, dan Rote Ndao. Namun demikian, tulisan tentang matri- dan patri- ini mengupas penerapannya di 5 kabupaten yang diteliti. Kupang tidak dimasukkan dalam tulisan ini karena tidak ada penelitian lapangan yang dilakukan di sana. Penerapan kedua sistem tersebut tidak seluruhnya terbagi berdasarkan wilayah kabupaten, melainkan per desa atau kecamatan. Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar kecamatan di Timor Barat dulunya merupakan wilayah kerajaan yang secara administratif berubah
setelah Indonesia merdeka, seperti: Kerajaan Insana menjadi Kecamatan Insana di Timor Tengah Utara; Kecamatan Wewiku yang dulunya Kerajaan Wewiku; dan Kecamatan Amanatun dan
Amanuban yang dulunya Kerajaan Amanatun dan Amanuban di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Ada juga kabupaten yang dulunya kerajaan, seperti: Kabupaten Belu yang dulunya Kerajaan Belu; dan sebagian besar wilayah Kabupaten Malaka yang dulunya
termasuk dalam Kerajaan Malaka. Sebagian besar masyarakat Timor Barat menerapkan sistem patriarki. Dalam satu kabupaten yang dikenal menerapkan matriarki, yakni Malaka, juga tidak seluruh kecamatannya menggunakan sistem tersebut. Dari 11 desa di 11 kecamatan dalam 5 kabupaten, satu desa saja yang menerapkan sistem matrilineal, yaitu: Dusun Laran, Desa Wehali Wehali,, Kabupaten Malaka, NTT. Pun demikian, pada praktiknya, sistem matrilineal yang berkait dengan matriarki dan matrilokal tidaklah diterapkan secara utuh di lokasi tersebut. Demikian juga, penerapan sistem patrilineal tidak sepenuhnya juga menerapkan patriarki dan patrilokal di 11 desa lainnya. Ada pencampuran terapan sistem matrilineal dan patrilineal, matriarki dan patriarki, maupun matrilokal dan patrilokal. Tak hanya itu, ada juga yang menerapkan sistem pencampuran peran perempuan dan laki-laki yang disebut bilokal, biarki, bilineal meski dasar bentuk organisasi yang diakui hanya satu sistem saja: matrilineal atau patrilineal.
http://www.deinisimenurutparaahli.com/pengertian-patrilineal-dan-
matrilineal/
76
77
●
Kabupaten Belu
Kabupaten Belu merupakan wilayah di Timor Barat, NTT yang berbatasan dengan negara Timor Leste (Timor Lorosae). Meski Belu dan Timor Lorosae berada di negara yang berbeda, beberapa ras dan suku masih memiliki keterkaitan yang tampak jelas lewat kesamaan nama fam. Selain Kabupaten Belu,
kesamaan ras dan suku dengan Timor Lorosae ini juga terdapat di Kabupaten Malaka. Hal ini disebabkan Timor Lorosae pernah menjadi bagian dari NKRI. Selain itu, berdasarkan sejarah, persebaran rakyat Kerajaan Timor Lorosae juga mencapai wilayah Belu dan Malaka. Malaka sendiri dulunya merupakan satu kabupaten dengan Belu. Pemekaran Malaka sebagai kabupaten tersendiri diberlakukan sejak tahun 2016. Ada empat lokasi dengan situasi peran gender yang setara, yaitu Desa Mahuitas (Kecamatan Lamaknen), Desa Nualain (Kecamatan Lamaknen Selatan), Desa Haitimuk (Kecamatan Weliman), dan Kota Atambua. Kesetaraan peran gender tak hanya berkisar pada sistem organisasi dalam masyarakat adat, namun juga peranan dalam kehidupan sosial masyarakat yang secara tidak langsung memengaruhi sistem masyarakat modern dan adat. ○
Desa Nualain, Nualain, Kecamatan Kecamatan Lamaknen Selatan
Desa Nualain terletak di wilayah pegunungan dengan waktu tempuh 4-5 jam dari Kota Atambua. Mata pencaharian utama warga setempat adalah bertani dengan sistem tadah hujan, berkebun, dan beternak. Pendidikan menjadi hal penting. Atambua menjadi kota jujugan (tujuan) untuk pendidikan lanjut setelah sekolah menengah pertama, dengan harapan anak-anak mereka dapat memiliki kehidupan yang lebih baik di masa depan. Tak jarang, setelah menyelesaikan sekolahnya, ada juga yang bekerja dan hidup merantau di kota lain. Kebanyakan di Atambua, namun ada juga yang merantau hingga ke luar pulau: Bali, Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Irian, dll. Sampai batas usia
tertentu, yang merantau ini akan kembali ke kampung halaman. Yang tak merantau, setelah menyelesaikan pendidikan, langsung kembali ke kampung halaman. Ada semacam keengganan untuk pergi selamanya dari kampung halaman, terutama laki-laki. Hal ini berkait dengan sistem garis keturunan yang berlaku, yaitu patrilineal. Bapak menjadi pemimpin dan pemegang garis keturunan dalam keluarga sehingga nama fam mengikuti nama keluarga bapak. Sistem patrilineal ini diikuti dengan patrilokal;
pasangan yang baru menikah tinggal dalam lingkungan keluarga dan klan pihak laki-laki yang disebut dengan kawin masuk bagi laki-laki. Sementara, perempuan mengalami kawin keluar, yaitu hidup di luar lingkungan keluarganya. Pun demikian, penghormatan dan penghargaan terhadap perempuan sangat tinggi di lokasi ini. Dalam upacara adat kematian, acara makan bersama dibagi menjadi dua kelompok: kelompok ibu-ibu bersama anak-anak dan kelompok bapakbapak, yang dilakukan secara bergantian. Yang didahulukan adalah kelompok ibu-ibu bersama anak-anak. Berikutnya, barulah kelompok bapak-bapak. Pembagian ini didasarkan pada alasan bahwa anak-anak selalu bersama ibunya. Anak-anak tentunya lebih cepat merasa lapar sehingga perlu didahulukan. Pula, ibuibu yang menyusui dan dalam masa kehamilan tentu merasa lebih cepat lapar. Sementara, bapak-bapak dapat menahan rasa lapar sehingga mendapatkan giliran makan berikutny berikutnya. a. Uniknya lagi, bapak-bapak selalu merasa bahwa mereka adalah hamba dari kaum perempuan. Hal ini dinyatakan secara jelas oleh beberapa narasumber laki-laki warga setempat. Dalam keseharian hidup keluarga, ibu-ibu dapat saja meminta laki-laki untuk mengerjakan sesuatu meski urusan domestik tetap menjadi wilayah kuasa perempuan. Dalam tiap upacara adat, kaum perempuanlah yang memahami berbagai sarana dan prasarana yang dibutuhkan sehingga perempuanlah yang mengelola hingga mengorganisasi kaum laki-laki juga muda-mudi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sementara, para tua adat berkonsentrasi pada pelaksanaan upacara adat.
76
77
●
Kabupaten Belu
Kabupaten Belu merupakan wilayah di Timor Barat, NTT yang berbatasan dengan negara Timor Leste (Timor Lorosae). Meski Belu dan Timor Lorosae berada di negara yang berbeda, beberapa ras dan suku masih memiliki keterkaitan yang tampak jelas lewat kesamaan nama fam. Selain Kabupaten Belu,
kesamaan ras dan suku dengan Timor Lorosae ini juga terdapat di Kabupaten Malaka. Hal ini disebabkan Timor Lorosae pernah menjadi bagian dari NKRI. Selain itu, berdasarkan sejarah, persebaran rakyat Kerajaan Timor Lorosae juga mencapai wilayah Belu dan Malaka. Malaka sendiri dulunya merupakan satu kabupaten dengan Belu. Pemekaran Malaka sebagai kabupaten tersendiri diberlakukan sejak tahun 2016. Ada empat lokasi dengan situasi peran gender yang setara, yaitu Desa Mahuitas (Kecamatan Lamaknen), Desa Nualain (Kecamatan Lamaknen Selatan), Desa Haitimuk (Kecamatan Weliman), dan Kota Atambua. Kesetaraan peran gender tak hanya berkisar pada sistem organisasi dalam masyarakat adat, namun juga peranan dalam kehidupan sosial masyarakat yang secara tidak langsung memengaruhi sistem masyarakat modern dan adat. ○
Desa Nualain, Nualain, Kecamatan Kecamatan Lamaknen Selatan
Desa Nualain terletak di wilayah pegunungan dengan waktu tempuh 4-5 jam dari Kota Atambua. Mata pencaharian utama warga setempat adalah bertani dengan sistem tadah hujan, berkebun, dan beternak. Pendidikan menjadi hal penting. Atambua menjadi kota jujugan (tujuan) untuk pendidikan lanjut setelah sekolah menengah pertama, dengan harapan anak-anak mereka dapat memiliki kehidupan yang lebih baik di masa depan. Tak jarang, setelah menyelesaikan sekolahnya, ada juga yang bekerja dan hidup merantau di kota lain. Kebanyakan di Atambua, namun ada juga yang merantau hingga ke luar pulau: Bali, Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Irian, dll. Sampai batas usia
78
tertentu, yang merantau ini akan kembali ke kampung halaman. Yang tak merantau, setelah menyelesaikan pendidikan, langsung kembali ke kampung halaman. Ada semacam keengganan untuk pergi selamanya dari kampung halaman, terutama laki-laki. Hal ini berkait dengan sistem garis keturunan yang berlaku, yaitu patrilineal. Bapak menjadi pemimpin dan pemegang garis keturunan dalam keluarga sehingga nama fam mengikuti nama keluarga bapak. Sistem patrilineal ini diikuti dengan patrilokal;
pasangan yang baru menikah tinggal dalam lingkungan keluarga dan klan pihak laki-laki yang disebut dengan kawin masuk bagi laki-laki. Sementara, perempuan mengalami kawin keluar, yaitu hidup di luar lingkungan keluarganya. Pun demikian, penghormatan dan penghargaan terhadap perempuan sangat tinggi di lokasi ini. Dalam upacara adat kematian, acara makan bersama dibagi menjadi dua kelompok: kelompok ibu-ibu bersama anak-anak dan kelompok bapakbapak, yang dilakukan secara bergantian. Yang didahulukan adalah kelompok ibu-ibu bersama anak-anak. Berikutnya, barulah kelompok bapak-bapak. Pembagian ini didasarkan pada alasan bahwa anak-anak selalu bersama ibunya. Anak-anak tentunya lebih cepat merasa lapar sehingga perlu didahulukan. Pula, ibuibu yang menyusui dan dalam masa kehamilan tentu merasa lebih cepat lapar. Sementara, bapak-bapak dapat menahan rasa lapar sehingga mendapatkan giliran makan berikutny berikutnya. a. Uniknya lagi, bapak-bapak selalu merasa bahwa mereka adalah hamba dari kaum perempuan. Hal ini dinyatakan secara jelas oleh beberapa narasumber laki-laki warga setempat. Dalam keseharian hidup keluarga, ibu-ibu dapat saja meminta laki-laki untuk mengerjakan sesuatu meski urusan domestik tetap menjadi wilayah kuasa perempuan. Dalam tiap upacara adat, kaum perempuanlah yang memahami berbagai sarana dan prasarana yang dibutuhkan sehingga perempuanlah yang mengelola hingga mengorganisasi kaum laki-laki juga muda-mudi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sementara, para tua adat berkonsentrasi pada pelaksanaan upacara adat.
79
Dalam penyelesaian berbagai persoalan secara adat, pendapat kaum perempuan tetaplah penting dan selalu didengarkan. Bahkan kaum laki-laki menganggap bahwa kaum perempuan mengetahui berbagai persoalan dalam keseharian hidup di masyarakat secara lebih lengkap dan terperinci sehingga informasi dan pendapat perempuan penting didengar. Perempuan
juga dapat memberikan usulan mengenai putusan yang akan diambil untuk penyelesaian persoalan, misalnya mengenai denda dan sanksi adat atas perkara kekerasan dalam rumah tangga. Dalam kasus-kasus pelecehan seksual maupun kekerasan dalam rumah tangga, perempuan selalu didahulukan pendapatnya. Ada konvensi yang berlaku, “Jika perempuan sudah teriak, berarti ada persoalan yang harus diselesaikan secara secara adat” . Dengan demikian, para tua adat segera mengurus persoalan tersebut dan berwenang, bahkan wajib, turut campur meski itu persoalan keluarga atau rumah tangga. Dalam proses penyelesaian inilah informasi dan pendapat perempuan harus didengarkan, selain juga informasi
dari kedua belah pihak yang berperkara. Setelah mendapatkan keterangan yang cukup dan melakukan rembuk adat, kaum lakilaki akan menyampaikan putusan beserta denda dan sanksi adat yang diberlakukan dan harus dipenuhi. Penyampaian putusan adat tetap dipegang kaum laki-laki karena adanya berbagai pertimbangan politis berkait dengan keluarga dan/atau klan lain yang terlibat dalam perkara, juga ada penyelesaian perkara yang perlu diperhatikan pemenuhannya. Hal ini kemudian menjadi tanggung jawab kaum laki-laki. Jadi, secara politis, kaum perempuan bebas serta penting untuk berpendapat dan harus didengarkan oleh kaum laki-laki. Sementara, kaum lakilaki yang menyampaikan putusan. Meski dasar sistem organisasi masyarakat desa ini adalah patriarki yang ditunjukkan dengan pimpinan tertinggi suku (raja) dan pimpinan spiritual (makoan) harus laki-laki, penerapannya dalam keseharian menunjukkan adanya keseimbangan peran antara perempuan dan laki-laki sehingga dapat dikatakan sistem biarki-lah yang berlaku dalam praktik keseharian organisasi masyarakat adat Nualain.
78
79
Dalam penyelesaian berbagai persoalan secara adat, pendapat kaum perempuan tetaplah penting dan selalu didengarkan. Bahkan kaum laki-laki menganggap bahwa kaum perempuan mengetahui berbagai persoalan dalam keseharian hidup di masyarakat secara lebih lengkap dan terperinci sehingga informasi dan pendapat perempuan penting didengar. Perempuan
juga dapat memberikan usulan mengenai putusan yang akan diambil untuk penyelesaian persoalan, misalnya mengenai denda dan sanksi adat atas perkara kekerasan dalam rumah tangga. Dalam kasus-kasus pelecehan seksual maupun kekerasan dalam rumah tangga, perempuan selalu didahulukan pendapatnya. Ada konvensi yang berlaku, “Jika perempuan sudah teriak, berarti ada persoalan yang harus diselesaikan secara secara adat” . Dengan demikian, para tua adat segera mengurus persoalan tersebut dan berwenang, bahkan wajib, turut campur meski itu persoalan keluarga atau rumah tangga. Dalam proses penyelesaian inilah informasi dan pendapat perempuan harus didengarkan, selain juga informasi
dari kedua belah pihak yang berperkara. Setelah mendapatkan keterangan yang cukup dan melakukan rembuk adat, kaum lakilaki akan menyampaikan putusan beserta denda dan sanksi adat yang diberlakukan dan harus dipenuhi. Penyampaian putusan adat tetap dipegang kaum laki-laki karena adanya berbagai pertimbangan politis berkait dengan keluarga dan/atau klan lain yang terlibat dalam perkara, juga ada penyelesaian perkara yang perlu diperhatikan pemenuhannya. Hal ini kemudian menjadi tanggung jawab kaum laki-laki. Jadi, secara politis, kaum perempuan bebas serta penting untuk berpendapat dan harus didengarkan oleh kaum laki-laki. Sementara, kaum lakilaki yang menyampaikan putusan. Meski dasar sistem organisasi masyarakat desa ini adalah patriarki yang ditunjukkan dengan pimpinan tertinggi suku (raja) dan pimpinan spiritual (makoan) harus laki-laki, penerapannya dalam keseharian menunjukkan adanya keseimbangan peran antara perempuan dan laki-laki sehingga dapat dikatakan sistem biarki-lah yang berlaku dalam praktik keseharian organisasi masyarakat adat Nualain.
81
80
○
Desa Mahuitas, Mahuitas, Kecamatan Lamaknen
Lokasi Desa Mahuitas tak jauh dari Nualain dengan waktu tempuh 1 jam menggunakan kendaraan bermotor dan juga merupakan wilayah pegunungan. Garis keturunan keluarga di desa ini menggunakan sistem patrilineal. Tempat tinggal bagi pasangan baru menerapkan sistem patrilokal. Namun demikian, sistem kekuasaan menerapkan biarki. Raja suku diturunkan pada anak dalam garis keluarga raja. Yang diangkat menjadi raja tidak selalu laki-laki. Sejak tahun 2014, raja suku yang berkuasa adalah perempuan. Raja perempuan ini memerintah sejak usia 32 tahun. Raja perempuan bernama Antonia Lika Rasi selalu mengambil keputusan untuk setiap hal adat di sukunya. Dalam sistem pemerintahan lokal desa, sebagai tetua adat, Raja Antonia Lika Rasi juga selalu memberikan pendapat dan mengambil keputusan dalam hal-hal yang berkaitan dengan sukunya dan adat istiadat. Setiap keputusan adat yang ia tetapkan selalu dipatuhi rakyatnya karena dialah raja dalam sukunya. Selain raja perempuan, desa ini juga memiliki pemimpin spiritual (makoan) perempuan bernama Martina Habo yang bertugas memimpin berbagai upacara adat (lamaran, pernikahan, kelahiran, kematian) dan, dalam upacara kematian, membacakan silsilah orang yang meninggal. Makoan Martina Habo tidak hanya mengurusi suku tempat ia tinggal yang dipimpin Raja Antonia Lika Rasi. Ia juga memimpin upacara adat bagi 12 suku lain di Penghargaan dan penghormatan pada perempuan ini tampak
sekitarnya. Makoan memang memiliki wilayah fungsi yang
jelas pada motif pahatan di rumah-rumah adat, termasuk rumah kerajaan Nualain, yaitu payudara perempuan. Motif ini disebut air susu ibu. ibu. Makna motif ini adalah kehidupan manusia bersumber
berbeda dengan raja. Makoan tidak terikat pada satu teritori khusus atas suku tertentu, melainkan menjalankan tugas dan
dari ibu sehingga perempuan mendapatkan tempat yang tinggi di keluarga dan masyarakat setempat. Keluarga dan klan pun dipahami sebagai suatu hubungan tak terputus dan kait-mengait
berbeda. Martina Habo menjadi makoan sejak 1989. Meski bapaknya seorang Makoan yang mengajari para makoan muda,
yang digambarkan dengan motif garis timbul melingkar ke luar
makoan serta silsilah keluarga dan klan di 13 suku yang diurusnya dari bapaknya. Makoan Martina Habo merupakan makoan senior yang dihormati para makoan desa-desa di sekitarnya yang kebanyakan adalah laki-laki.
tanpa putus dan bersambung. Dengan demikian, penempatan perempuan pada posisi yang ditinggikan berlaku secara umum bagi masyarakat setempat hingga warga desa lain yang terhubung karena adanya kawin-mawin.
fungsinya bagi siapa pun yang membutuhkan meski dari suku
Martina Habo tidak secara langsung belajar tugas dan fungsi
81
80
○
Desa Mahuitas, Mahuitas, Kecamatan Lamaknen
Lokasi Desa Mahuitas tak jauh dari Nualain dengan waktu tempuh 1 jam menggunakan kendaraan bermotor dan juga merupakan wilayah pegunungan. Garis keturunan keluarga di desa ini menggunakan sistem patrilineal. Tempat tinggal bagi pasangan baru menerapkan sistem patrilokal. Namun demikian, sistem kekuasaan menerapkan biarki. Raja suku diturunkan pada anak dalam garis keluarga raja. Yang diangkat menjadi raja tidak selalu laki-laki. Sejak tahun 2014, raja suku yang berkuasa adalah perempuan. Raja perempuan ini memerintah sejak usia 32 tahun. Raja perempuan bernama Antonia Lika Rasi selalu mengambil keputusan untuk setiap hal adat di sukunya. Dalam sistem pemerintahan lokal desa, sebagai tetua adat, Raja Antonia Lika Rasi juga selalu memberikan pendapat dan mengambil keputusan dalam hal-hal yang berkaitan dengan sukunya dan adat istiadat. Setiap keputusan adat yang ia tetapkan selalu dipatuhi rakyatnya karena dialah raja dalam sukunya. Selain raja perempuan, desa ini juga memiliki pemimpin spiritual (makoan) perempuan bernama Martina Habo yang bertugas memimpin berbagai upacara adat (lamaran, pernikahan, kelahiran, kematian) dan, dalam upacara kematian, membacakan silsilah orang yang meninggal. Makoan Martina Habo tidak hanya mengurusi suku tempat ia tinggal yang dipimpin Raja Antonia Lika Rasi. Ia juga memimpin upacara adat bagi 12 suku lain di Penghargaan dan penghormatan pada perempuan ini tampak
sekitarnya. Makoan memang memiliki wilayah fungsi yang
jelas pada motif pahatan di rumah-rumah adat, termasuk rumah kerajaan Nualain, yaitu payudara perempuan. Motif ini disebut air susu ibu. ibu. Makna motif ini adalah kehidupan manusia bersumber
berbeda dengan raja. Makoan tidak terikat pada satu teritori khusus atas suku tertentu, melainkan menjalankan tugas dan
dari ibu sehingga perempuan mendapatkan tempat yang tinggi di keluarga dan masyarakat setempat. Keluarga dan klan pun dipahami sebagai suatu hubungan tak terputus dan kait-mengait
berbeda. Martina Habo menjadi makoan sejak 1989. Meski bapaknya seorang Makoan yang mengajari para makoan muda,
yang digambarkan dengan motif garis timbul melingkar ke luar
makoan serta silsilah keluarga dan klan di 13 suku yang diurusnya dari bapaknya. Makoan Martina Habo merupakan makoan senior yang dihormati para makoan desa-desa di sekitarnya yang kebanyakan adalah laki-laki.
tanpa putus dan bersambung. Dengan demikian, penempatan perempuan pada posisi yang ditinggikan berlaku secara umum bagi masyarakat setempat hingga warga desa lain yang terhubung karena adanya kawin-mawin.
fungsinya bagi siapa pun yang membutuhkan meski dari suku
Martina Habo tidak secara langsung belajar tugas dan fungsi
82
83
○
Desa Haitimuk, Haitimuk, Kecamatan Kecamatan Weliman Weliman
Desa Haitimuk merupakan wilayah di Kabupaten Belu dengan lokasi tidak jauh dari Kota Atambua yang menerapkan sistem matrilineal. Desa ini dulunya merupakan bagian wilayah Kerajaan Malaka yang matriarki-matr matriarki-matrilineal ilineal dan secara teritorial termasuk dalam administrasi Kabupaten Belu. Dalam upacara adat Helketa’, lamaran sebelum pernikahan, setelah tutur adat selesai dilakukan, pihak laki-laki langsung masuk dalam keluarga pihak perempuan. Selama masa lamaran hingga pernikahan, pihak laki-laki mempelajari tata cara dan adat kebiasaan keluarga perempuan. Dengan demikian, suku di Desa Haitimuk menerapkan sistem tinggal matrilokal. ○
Kota Atambua
Untuk Kota Atambua yang merupakan ibu kota Kabupaten Belu, hal yang menonjol adalah adanya pengorganisasian kaum perempuan untuk pendampingan dan advokasi berbagai kasus kekerasan dan pelecehan perempuan. Dua tokoh perempuan lokal, Mama Filo dan Mama Lola, menceritakan bahwa pendampingan yang mereka lakukan dimulai dari pengusutan masalah ketika perempuan menyampaikan perkaranya ke organisasi mereka. Pengusutan diberlangsungkan dengan memperhatikan aspek psikologis dan keselamatan pihak yang mengalami kekerasan, serta mencari informasi ke berbagai pihak yang berkaitan
langsung dengan perkara tersebut, utamanya anak-anak dari pasangan yang berperkara. Dalam salah satu pengalaman pendampingan yang dilakukan Mama Filo beserta teman-temannya, kekerasan dalam rumah tangga justru dilakukan seorang ibu dan membuat anaknya yang lain mengalami depresi sehingga tak dapat bicara dan mengekspresikan emosinya sekali pun. Si anak hanya bisa menggambar. Dari yang mampu dilakukan anak tersebut, Mama Filo berupaya menenangkan si anak, mengajaknya bermain juga menggambar, dan menanyakan persoalan yang menjadi penyebab depresinya secara perlahan. Butuh waktu lama dan berbulan-bulan untuk bisa membongkar persoalan kekerasan
yang dialami si anak sehingga mengalami depresi dan trauma ini. Namun demikian, Mama Filo, pendamping kasus ini, tetap sabar mendampingi dan menemani untuk menemukan persoalan inti si anak. Setelah inti persoalan ditemukan, si anak mampu menumpahkan emosi yang menyebabkan ia depresi. Setelahnya, penyembuhan trauma pun diterapkan pada si anak dan penyelesaian persoalan dilakukan pada si ibu. Pendampingan yang kerap dilakukan adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan. Pendampingan juga disertai advokasi berupa penyelesaian kasus secara hukum. Dalam kasus semacam ini, pihak perempuan yang mengajukan perkaranyalah yang memegang otoritas untuk menyelesaikan atau membatalkan perkaranya. Para pendamping, seperti Mama Filo dan Mama Lola, mengupayakan dan mengusahakan penyelesaiannya seoptimal mungkin. Hal yang sering kali membuat ajuan kasus dibatalkan oleh pihak perempuan sendiri adalah berbagai bayangan buruk di masa depan yang akan menimpa diri perempuan, seperti: stigma negatif atas
perempuan yang bercerai, kemungkinan memperoleh sumber pendapatan ekonomi untuk dirinya dan anak-anaknya anak-anaknya,, kecemasan menanggung sendiri semua perkara hidup non-ekonomi untuk dirinya dan keluarganya, adat istiadat yang “seolah” lebih berpihak pada kaum laki-laki, dan banyak lagi. Pendampingan terhadap para perempuan yang mengalami kekerasan kiranya perlu juga dikaitkan dengan aspek pemahaman kritis atas dirinya dan persoalannya. Tujuannya adalah membangkitkan keberdayaan dan kemandiriannya sebagai perempuan yang layak memiliki kehidupan yang baik dan memperoleh penghargaan atas harkat dan martabat sebagai perempuan. Selain itu, juga diperlukan penyebarluasan pengetahuan dalam kehidupan sosial masyarakat tentang kesetaraan perempuan dalam pengertian dapat berperan aktif dan bekerja sama sesuai kemampuan tanpa
melecehkan gender lainnya baik dalam keluarga, kehidupan bermasyarakat, bermasyar akat, adat istiadat, dan sebagainya.
82
83
○
Desa Haitimuk, Haitimuk, Kecamatan Kecamatan Weliman Weliman
Desa Haitimuk merupakan wilayah di Kabupaten Belu dengan lokasi tidak jauh dari Kota Atambua yang menerapkan sistem matrilineal. Desa ini dulunya merupakan bagian wilayah Kerajaan Malaka yang matriarki-matr matriarki-matrilineal ilineal dan secara teritorial termasuk dalam administrasi Kabupaten Belu. Dalam upacara adat Helketa’, lamaran sebelum pernikahan, setelah tutur adat selesai dilakukan, pihak laki-laki langsung masuk dalam keluarga pihak perempuan. Selama masa lamaran hingga pernikahan, pihak laki-laki mempelajari tata cara dan adat kebiasaan keluarga perempuan. Dengan demikian, suku di Desa Haitimuk menerapkan sistem tinggal matrilokal. ○
Kota Atambua
Untuk Kota Atambua yang merupakan ibu kota Kabupaten Belu, hal yang menonjol adalah adanya pengorganisasian kaum perempuan untuk pendampingan dan advokasi berbagai kasus kekerasan dan pelecehan perempuan. Dua tokoh perempuan lokal, Mama Filo dan Mama Lola, menceritakan bahwa pendampingan yang mereka lakukan dimulai dari pengusutan masalah ketika perempuan menyampaikan perkaranya ke organisasi mereka. Pengusutan diberlangsungkan dengan memperhatikan aspek psikologis dan keselamatan pihak yang mengalami kekerasan, serta mencari informasi ke berbagai pihak yang berkaitan
langsung dengan perkara tersebut, utamanya anak-anak dari pasangan yang berperkara. Dalam salah satu pengalaman pendampingan yang dilakukan Mama Filo beserta teman-temannya, kekerasan dalam rumah tangga justru dilakukan seorang ibu dan membuat anaknya yang lain mengalami depresi sehingga tak dapat bicara dan mengekspresikan emosinya sekali pun. Si anak hanya bisa menggambar. Dari yang mampu dilakukan anak tersebut, Mama Filo berupaya menenangkan si anak, mengajaknya bermain juga menggambar, dan menanyakan persoalan yang menjadi penyebab depresinya secara perlahan. Butuh waktu lama dan berbulan-bulan untuk bisa membongkar persoalan kekerasan
yang dialami si anak sehingga mengalami depresi dan trauma ini. Namun demikian, Mama Filo, pendamping kasus ini, tetap sabar mendampingi dan menemani untuk menemukan persoalan inti si anak. Setelah inti persoalan ditemukan, si anak mampu menumpahkan emosi yang menyebabkan ia depresi. Setelahnya, penyembuhan trauma pun diterapkan pada si anak dan penyelesaian persoalan dilakukan pada si ibu. Pendampingan yang kerap dilakukan adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan. Pendampingan juga disertai advokasi berupa penyelesaian kasus secara hukum. Dalam kasus semacam ini, pihak perempuan yang mengajukan perkaranyalah yang memegang otoritas untuk menyelesaikan atau membatalkan perkaranya. Para pendamping, seperti Mama Filo dan Mama Lola, mengupayakan dan mengusahakan penyelesaiannya seoptimal mungkin. Hal yang sering kali membuat ajuan kasus dibatalkan oleh pihak perempuan sendiri adalah berbagai bayangan buruk di masa depan yang akan menimpa diri perempuan, seperti: stigma negatif atas
perempuan yang bercerai, kemungkinan memperoleh sumber pendapatan ekonomi untuk dirinya dan anak-anaknya anak-anaknya,, kecemasan menanggung sendiri semua perkara hidup non-ekonomi untuk dirinya dan keluarganya, adat istiadat yang “seolah” lebih berpihak pada kaum laki-laki, dan banyak lagi. Pendampingan terhadap para perempuan yang mengalami kekerasan kiranya perlu juga dikaitkan dengan aspek pemahaman kritis atas dirinya dan persoalannya. Tujuannya adalah membangkitkan keberdayaan dan kemandiriannya sebagai perempuan yang layak memiliki kehidupan yang baik dan memperoleh penghargaan atas harkat dan martabat sebagai perempuan. Selain itu, juga diperlukan penyebarluasan pengetahuan dalam kehidupan sosial masyarakat tentang kesetaraan perempuan dalam pengertian dapat berperan aktif dan bekerja sama sesuai kemampuan tanpa
melecehkan gender lainnya baik dalam keluarga, kehidupan bermasyarakat, bermasyar akat, adat istiadat, dan sebagainya.
84
85
• Kabupaten Timor Tengah Utara
Kabupaten yang biasa disingkat TTU ini menganut sistem patriarki yang kemudian berkait dengan patrilineal dan patrilokal. Salah satu kecamatan di kabupaten ini, Insana, dulunya merupakan Kerajaan. Kerajaan Insana menjadi wilayah perantara antara berbagai kerajaan di sebelah barat (Amarasi, Amanatun, Amanuban, dll.) dengan kerajaan di sebelah timur (Belu, Malaka, Lorosae, dsb.). Seiring diterapkan sistem pemerintahan modern, kerajaan ini beradaptasi dengan cepat sehingga angg ota kerajaan dapat terlibat aktif dalam struktur sosial dan pemerintahan
masayarakat modern. Namun demikian, upacara adat dan berbagai aturan adat masih tetap dilaksanakan di desa-desa yang menjadi wilayah kerajaan ini. Contohny Contohnya: a: upacara persembahan syukur atas panen jagung yang disebut upacara ikat jagung.
Dalam upacara ini, kaum laki-laki membawa beberapa batang jagung panenan pertama dari ladangnya ke tempat upacara yang terletak di luar permukiman desa dengan berjalan kaki. Selain jagung, juga dibawa satu ekor ayam jago. Dalam perjalanan menuju tempat upacara, beberapa sungai yang dilalui juga menjadi lokasi upacara adat singkat dengan mengucapkan doa sesuai kepercayaan mereka yang sebagian besar adalah Katolik. Ibu-ibu menyiapkan nasi, sayur, sambal, air minum, dan peralatan makan-minum yang juga dibawa ke tempat upacara secara langsung, tanpa mengikuti upacara singkat di beberapa sungai. Setiba di tempat upacara, kembali doa-doa syukur dipanjatkan, dilanjutkan dengan menyembelih ayam dan membakarnya. Kemudian, dilakukan santap bersama ayam bakar dengan bekal makanan dan peralatan yang dibawa ibu-ibu. Dari paparan tersebut, tampak jelas telah terjadi percampuran budaya antara adat tradisi lokal dan agama yang dianut masyarakat setempat.
84
85
• Kabupaten Timor Tengah Utara
Kabupaten yang biasa disingkat TTU ini menganut sistem patriarki yang kemudian berkait dengan patrilineal dan patrilokal. Salah satu kecamatan di kabupaten ini, Insana, dulunya merupakan Kerajaan. Kerajaan Insana menjadi wilayah perantara antara berbagai kerajaan di sebelah barat (Amarasi, Amanatun, Amanuban, dll.) dengan kerajaan di sebelah timur (Belu, Malaka, Lorosae, dsb.). Seiring diterapkan sistem pemerintahan modern, kerajaan ini beradaptasi dengan cepat sehingga angg ota kerajaan dapat terlibat aktif dalam struktur sosial dan pemerintahan
masayarakat modern. Namun demikian, upacara adat dan berbagai aturan adat masih tetap dilaksanakan di desa-desa yang menjadi wilayah kerajaan ini. Contohny Contohnya: a: upacara persembahan syukur atas panen jagung yang disebut upacara ikat jagung.
Dalam upacara ini, kaum laki-laki membawa beberapa batang jagung panenan pertama dari ladangnya ke tempat upacara yang terletak di luar permukiman desa dengan berjalan kaki. Selain jagung, juga dibawa satu ekor ayam jago. Dalam perjalanan menuju tempat upacara, beberapa sungai yang dilalui juga menjadi lokasi upacara adat singkat dengan mengucapkan doa sesuai kepercayaan mereka yang sebagian besar adalah Katolik. Ibu-ibu menyiapkan nasi, sayur, sambal, air minum, dan peralatan makan-minum yang juga dibawa ke tempat upacara secara langsung, tanpa mengikuti upacara singkat di beberapa sungai. Setiba di tempat upacara, kembali doa-doa syukur dipanjatkan, dilanjutkan dengan menyembelih ayam dan membakarnya. Kemudian, dilakukan santap bersama ayam bakar dengan bekal makanan dan peralatan yang dibawa ibu-ibu. Dari paparan tersebut, tampak jelas telah terjadi percampuran budaya antara adat tradisi lokal dan agama yang dianut masyarakat setempat.
86
87
Dalam sistem garis keturunan keluarga, wilayah ini menganut patrilineal. Anak-anak diberi penanda nama fam dari bapak.
Namun demikian, dapat saja terjadi satu keluarga menerapkan sistem bilineal sebagaimana yang berlaku dalam keluarga Tenouf
di Desa Oinbit. Dari empat orang anak mereka, salah satu anak mengikuti nama fam ibu mereka, yaitu Benusu. Untuk tempat
tinggal bagi pasangan baru, mereka mengikuti sistem patrilokal, tapi tidak menutup kemungkinan pasangan tersebut tinggal di lokasi lain menyesuaikan tempat kerjanya.
Sistem kekuasaan didasarkan pada patriarki. Hal ini tampak jelas dari para tua adat yang sebagian besar laki-laki baik dalam peranan maupun pengambilan keputusan. Jabatan tua adat: raja, kapitan, pemimpin spiritual, merupakan turunan keluarga dari bapak kepada anak laki-laki. Peranan kuasa laki-laki ini tampak betul saat bertemu dengan Raja Insana, Bapak Olis Taolin, dan berkunjung ke istana kerajaan Insana. Pun demikian, perempuan tetap dapat memberikan pendapat dan usulan kepada kaum laki-laki yang juga mendapat perhatian serta upaya pencarian penyelesaian jika berkaitan dengan masalah tertentu. Saat rembuk tata cara upacara ikat jagung, bapak-bapak dan ibu-ibu berkumpul bersama di salah satu rumah adat salah satu kampung di Oenbit. Masing-masing berbicara mengenai persiapan dan tata cara yang perlu dilakukan, termasuk jalur
86
87
Dalam sistem garis keturunan keluarga, wilayah ini menganut patrilineal. Anak-anak diberi penanda nama fam dari bapak.
Namun demikian, dapat saja terjadi satu keluarga menerapkan sistem bilineal sebagaimana yang berlaku dalam keluarga Tenouf
di Desa Oinbit. Dari empat orang anak mereka, salah satu anak mengikuti nama fam ibu mereka, yaitu Benusu. Untuk tempat
tinggal bagi pasangan baru, mereka mengikuti sistem patrilokal, tapi tidak menutup kemungkinan pasangan tersebut tinggal di lokasi lain menyesuaikan tempat kerjanya.
Sistem kekuasaan didasarkan pada patriarki. Hal ini tampak jelas dari para tua adat yang sebagian besar laki-laki baik dalam peranan maupun pengambilan keputusan. Jabatan tua adat: raja, kapitan, pemimpin spiritual, merupakan turunan keluarga dari bapak kepada anak laki-laki. Peranan kuasa laki-laki ini tampak betul saat bertemu dengan Raja Insana, Bapak Olis Taolin, dan berkunjung ke istana kerajaan Insana. Pun demikian, perempuan tetap dapat memberikan pendapat dan usulan kepada kaum laki-laki yang juga mendapat perhatian serta upaya pencarian penyelesaian jika berkaitan dengan masalah tertentu. Saat rembuk tata cara upacara ikat jagung, bapak-bapak dan ibu-ibu berkumpul bersama di salah satu rumah adat salah satu kampung di Oenbit. Masing-masing berbicara mengenai persiapan dan tata cara yang perlu dilakukan, termasuk jalur
88
89
• Kabupaten Timor Tengah Selatan ○
Desa Fatumnasi, Fatumnasi, Kecamatan Fatumnasi
Desa Fatumnasi berada di puncak pegunungan dengan hasil pertanian berupa kentang, kol, wortel, dsb. Di sepanjang jalan menuju desa ini, terdapat hutan-hutan pinus diselingi padang rumput tempat hewan ternak (kebanyakan sapi) makan. Desa ini tak pernah reda dari embusan angin dingin, terutama di puncak musim kemarau (Juni–Agustus) kecepatan dan frekuensi angin
paling tinggi hingga membekukan. Desa ini menganut sistem organisasi patriarki yang berkait pula dengan patrilineal dan patrilokal. Namun demikian, gerakan penolakan pertambangan di salah satu gunung yang menjadi situs upacara adat mereka justru dimotori oleh kaum perempuan. Ada kepercayaan bahwa bumi tempat mereka tinggal dan hidup sama halnya dengan ibu atau perempuan karena memberikan kehidupan. menuju tempat upacara yang akan dilalui kaum laki-laki dan jalur yang lebih pendek untuk kaum perempuan yang menyusul. Setelah tercapai kesepakatan, masing-masing melakukan pekerjaannya;
bapak-bapak langsung berjalan menuju tempat upacara selama kurang lebih dua jam, ibu-ibu menyiapkan makanan beserta peralatannya dan menyusul langsung ke tempat upacara. Keimbangan dan penghargaan peran perempuan dan laki-laki ini juga tampak dalam keseharian hidup masyarakat. Lakilaki membantu memasak di dapur atau mengupas kulit jagung panenan bukanlah hal yang tabu. Demikian pula, perempuan yang ikut serta berdiskusi bersama kaum laki-laki di teras rumah, atau menimba air dari sumber yang berjarak satu kilometer untuk mengisi penampungan rumah tangga, atau bekerja pada lini-lini produktif adalah hal yang lumrah. Masyarakat setempat juga
menyadari pentingnya pendidikan tak hanya bagi anak laki-laki, tapi juga anak perempuan sehingga setiap anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan setinggi yang mampu dan mungkin dilakukan.
Ada pepatah adat oleh kaum perempuan yang menggambarkan ikatan erat antara alam dan perempuan, yaitu tanah adalah tubuh kami, sungai adalah darah kami, hutan adalah rambut kami. Dengan demikian, perempuan merupakan tempat kehidupan manusia dan selayaknya terus dijaga dan dirawat. Hal ini terimplementasi dengan jelas dalam hal penjagaan kelestarian alam dan lingkungan hidup di Fatumnasi, misalnya pohon-pohon cukup usia yang ditebang diganti dengan tanaman pohon baru. Penjagaan lokasi upacara adat untuk penambangan termasuk bagian dari menjaga dan merawat bumi. Bukan hanya karena lokasi tersebut merupakan tempat upacara adat dengan kesan mistis dan keramat, namun juga karena jika wilayah ini dirusak, akan terjadi ketidakseimbangan ekosistem di desa tersebut dan berdampak pada rusaknya lingkungan hidup setempat. Dalamupayamencegahlokasiupacaraadatmenjadipenambangan, wargaFatumnasibersatumenyuarakanketidaksepakatan mereka. Kaitan perempuan dan bumi mengakibatkan kaum perempuan Fatumnasi paling vokal menyuarakan pencegahan tersebut. Setiap langkah yang akan diterapkan selalu dirembuk oleh para
88
89
• Kabupaten Timor Tengah Selatan ○
Desa Fatumnasi, Fatumnasi, Kecamatan Fatumnasi
Desa Fatumnasi berada di puncak pegunungan dengan hasil pertanian berupa kentang, kol, wortel, dsb. Di sepanjang jalan menuju desa ini, terdapat hutan-hutan pinus diselingi padang rumput tempat hewan ternak (kebanyakan sapi) makan. Desa ini tak pernah reda dari embusan angin dingin, terutama di puncak musim kemarau (Juni–Agustus) kecepatan dan frekuensi angin
paling tinggi hingga membekukan. Desa ini menganut sistem organisasi patriarki yang berkait pula dengan patrilineal dan patrilokal. Namun demikian, gerakan penolakan pertambangan di salah satu gunung yang menjadi situs upacara adat mereka justru dimotori oleh kaum perempuan. Ada kepercayaan bahwa bumi tempat mereka tinggal dan hidup sama halnya dengan ibu atau perempuan karena memberikan kehidupan. menuju tempat upacara yang akan dilalui kaum laki-laki dan jalur yang lebih pendek untuk kaum perempuan yang menyusul. Setelah tercapai kesepakatan, masing-masing melakukan pekerjaannya;
bapak-bapak langsung berjalan menuju tempat upacara selama kurang lebih dua jam, ibu-ibu menyiapkan makanan beserta peralatannya dan menyusul langsung ke tempat upacara. Keimbangan dan penghargaan peran perempuan dan laki-laki ini juga tampak dalam keseharian hidup masyarakat. Lakilaki membantu memasak di dapur atau mengupas kulit jagung panenan bukanlah hal yang tabu. Demikian pula, perempuan yang ikut serta berdiskusi bersama kaum laki-laki di teras rumah, atau menimba air dari sumber yang berjarak satu kilometer untuk mengisi penampungan rumah tangga, atau bekerja pada lini-lini produktif adalah hal yang lumrah. Masyarakat setempat juga
menyadari pentingnya pendidikan tak hanya bagi anak laki-laki, tapi juga anak perempuan sehingga setiap anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan setinggi yang mampu dan mungkin dilakukan.
Ada pepatah adat oleh kaum perempuan yang menggambarkan ikatan erat antara alam dan perempuan, yaitu tanah adalah tubuh kami, sungai adalah darah kami, hutan adalah rambut kami. Dengan demikian, perempuan merupakan tempat kehidupan manusia dan selayaknya terus dijaga dan dirawat. Hal ini terimplementasi dengan jelas dalam hal penjagaan kelestarian alam dan lingkungan hidup di Fatumnasi, misalnya pohon-pohon cukup usia yang ditebang diganti dengan tanaman pohon baru. Penjagaan lokasi upacara adat untuk penambangan termasuk bagian dari menjaga dan merawat bumi. Bukan hanya karena lokasi tersebut merupakan tempat upacara adat dengan kesan mistis dan keramat, namun juga karena jika wilayah ini dirusak, akan terjadi ketidakseimbangan ekosistem di desa tersebut dan berdampak pada rusaknya lingkungan hidup setempat. Dalamupayamencegahlokasiupacaraadatmenjadipenambangan, wargaFatumnasibersatumenyuarakanketidaksepakatan mereka. Kaitan perempuan dan bumi mengakibatkan kaum perempuan Fatumnasi paling vokal menyuarakan pencegahan tersebut. Setiap langkah yang akan diterapkan selalu dirembuk oleh para
90
91
perempuan. Setiap perempuan dapat dan perlu mengemukakan pendapatnya. Setelah disepakati, mereka melaksanakannya bersama. Sementara kaum laki-laki memberikan dukungan dan menjaga kaum perempuan dengan turut serta dalam menerapkan langkah-langkah yang disepakati. Perjuangan panjang kaum perempuan Fatumnasi membuahkan hasil dengan dibatalkannya lokasi upacara adat menjadi penambangan. ○
Desa Boti, Boti, Kecamatan Kecamatan Kie Kie
Desa Boti terletak dalam wilayah TTS di tengah gununggemunung yang hijau dipenuhi pepohonan. Desa Boti yang beranggotakan 174 KK per 2018 terbagi menjadi dua: Boti Luar
dan Boti Dalam. Warga Boti Luar lebih plural dan terbuka terhadap kemajuan dan kebudayaan baru. Boti Dalam memegang tradisi dan budaya nenek moyang mereka dengan tetap menghargai perkembangan kemajuan kebudayaan dari luar. Sistem organisasi Boti berdasarkan biarki dengan laki-laki ditempatkan pada posisi atas sebagai penanggung jawab atas anggota keluarga dan klan. Kaum perempuan berada pada posisi setelah laki-laki. Boti memandang kehidupan sosial kemasyarakatan seperti kehidupan dalam keluarga sehingga, dalam keseharian, setiap persoalan yang dialami anak ditanyakan kepada ibu terlebih dahulu, yakni kaum perempuan. Jika ibu tak dapat memberikan saran dan/atau pendapat, barulah kemudian diajukan pada bapak. Kaum perempuan di Boti ditempatkan sebagai alam semesta yang memberi kehidupan sehingga harus dirawat dan dijaga, juga dipatuhi. Kaum laki-laki, sebagaimana bapak, ditempatkan sebagai yang menaungi dan melindungi. Dalam garis keturunan, Boti menganut sistem patrilineal sehingga nama fam diturunkan dari bapak. Sementara, untuk
tempat tinggal pasangan baru, Boti menerapkan bilokal. Tidak ada larangan bagi warga Boti Dalam laki-laki maupun perempuan untuk memiliki pasangan dari warga Boti Luar atau dari luar desa Boti sekalipun. Namun demikian, pasangan baru menikah itu harus tinggal di lingkungan keluarga dan klan Boti Dalam. Jadi, Boti Dalam menerapkan sistem kawin masuk bagi perempuan dan laki-laki.
• Kabupaten Malaka
Kabupaten Malaka merupakan daerah dataran yang dekat dengan pantai. Di wilayah ini, masyarakat masih percaya bahwa nenek moyang mereka adalah buaya. Hal ini kemudian mempersulit penanganan buaya-buaya yang mengancam keselamatan warga dengan memasuki area permukiman. Pemerintah lokal dan segenap jajarannya tidak bisa serta-merta membunuh buaya yang masuk karena merupakan pamali2. Sebagian besar wilayah di kabupaten ini, dulunya, merupakan bagian dari Kerajaan Malaka yang menganut sistem garis keturunan matrilineal. Hal ini berkaitan dengan sejarah nenek moyang mereka yang dituturkan secara lisan. Menurut tutur adat setempat, raja pertama di wilayah itu adalah perempuan. Dalam pengurusan pemerintahan keseharian, raja tersebut mengangkat perwakilan yang adalah seorang laki-laki dan disebut dengan Loro. Jadi, kekuasaan untuk pengurusan pemerintahan dilakukan oleh Loro yang laki-laki, namun pemilik kuasa sebenarnya adalah raja perempuan yang tak mengurusi pemerintahan secara langsung. ○
Desa Lorotolus, Kecamatan Wewiku
Warga Desa Lorotolus merupakan suku campuran. Sebagian besar berasal dari Lorosae. Desa ini memang berbatasan dengan Lorosae. Menariknya, Lorotolus menerapkan sistem biarki. Para tua adat terdiri atas kaum perempuan dan laki-laki yang duduk bersama di panggung rumah adat setiap kali membahas persoalan-persoalan adat. Tua adat perempuan dan lakilaki memiliki suara dan pendapat yang setara; bahkan dalam
membicarakan adat istiadat termasuk menceritakannya pada orang yang mempelajarinya, tua adat perempuan lebih cermat dan tegas. Keputusan rembuk adat disampaikan oleh tua adat laki-laki.
2
Pamali: hal yang dilarang dan, jika dilanggar, akan mengakibatkan bencana.
90
91
perempuan. Setiap perempuan dapat dan perlu mengemukakan pendapatnya. Setelah disepakati, mereka melaksanakannya bersama. Sementara kaum laki-laki memberikan dukungan dan menjaga kaum perempuan dengan turut serta dalam menerapkan langkah-langkah yang disepakati. Perjuangan panjang kaum perempuan Fatumnasi membuahkan hasil dengan dibatalkannya lokasi upacara adat menjadi penambangan. ○
Desa Boti, Boti, Kecamatan Kecamatan Kie Kie
Desa Boti terletak dalam wilayah TTS di tengah gununggemunung yang hijau dipenuhi pepohonan. Desa Boti yang beranggotakan 174 KK per 2018 terbagi menjadi dua: Boti Luar
dan Boti Dalam. Warga Boti Luar lebih plural dan terbuka terhadap kemajuan dan kebudayaan baru. Boti Dalam memegang tradisi dan budaya nenek moyang mereka dengan tetap menghargai perkembangan kemajuan kebudayaan dari luar. Sistem organisasi Boti berdasarkan biarki dengan laki-laki ditempatkan pada posisi atas sebagai penanggung jawab atas anggota keluarga dan klan. Kaum perempuan berada pada posisi setelah laki-laki. Boti memandang kehidupan sosial kemasyarakatan seperti kehidupan dalam keluarga sehingga, dalam keseharian, setiap persoalan yang dialami anak ditanyakan kepada ibu terlebih dahulu, yakni kaum perempuan. Jika ibu tak dapat memberikan saran dan/atau pendapat, barulah kemudian diajukan pada bapak. Kaum perempuan di Boti ditempatkan sebagai alam semesta yang memberi kehidupan sehingga harus dirawat dan dijaga, juga dipatuhi. Kaum laki-laki, sebagaimana bapak, ditempatkan sebagai yang menaungi dan melindungi. Dalam garis keturunan, Boti menganut sistem patrilineal sehingga nama fam diturunkan dari bapak. Sementara, untuk
tempat tinggal pasangan baru, Boti menerapkan bilokal. Tidak ada larangan bagi warga Boti Dalam laki-laki maupun perempuan untuk memiliki pasangan dari warga Boti Luar atau dari luar desa Boti sekalipun. Namun demikian, pasangan baru menikah itu harus tinggal di lingkungan keluarga dan klan Boti Dalam. Jadi, Boti Dalam menerapkan sistem kawin masuk bagi perempuan dan laki-laki.
• Kabupaten Malaka
Kabupaten Malaka merupakan daerah dataran yang dekat dengan pantai. Di wilayah ini, masyarakat masih percaya bahwa nenek moyang mereka adalah buaya. Hal ini kemudian mempersulit penanganan buaya-buaya yang mengancam keselamatan warga dengan memasuki area permukiman. Pemerintah lokal dan segenap jajarannya tidak bisa serta-merta membunuh buaya yang masuk karena merupakan pamali2. Sebagian besar wilayah di kabupaten ini, dulunya, merupakan bagian dari Kerajaan Malaka yang menganut sistem garis keturunan matrilineal. Hal ini berkaitan dengan sejarah nenek moyang mereka yang dituturkan secara lisan. Menurut tutur adat setempat, raja pertama di wilayah itu adalah perempuan. Dalam pengurusan pemerintahan keseharian, raja tersebut mengangkat perwakilan yang adalah seorang laki-laki dan disebut dengan Loro. Jadi, kekuasaan untuk pengurusan pemerintahan dilakukan oleh Loro yang laki-laki, namun pemilik kuasa sebenarnya adalah raja perempuan yang tak mengurusi pemerintahan secara langsung. ○
Desa Lorotolus, Kecamatan Wewiku
Warga Desa Lorotolus merupakan suku campuran. Sebagian besar berasal dari Lorosae. Desa ini memang berbatasan dengan Lorosae. Menariknya, Lorotolus menerapkan sistem biarki. Para tua adat terdiri atas kaum perempuan dan laki-laki yang duduk bersama di panggung rumah adat setiap kali membahas persoalan-persoalan adat. Tua adat perempuan dan lakilaki memiliki suara dan pendapat yang setara; bahkan dalam
membicarakan adat istiadat termasuk menceritakannya pada orang yang mempelajarinya, tua adat perempuan lebih cermat dan tegas. Keputusan rembuk adat disampaikan oleh tua adat laki-laki.
2
Pamali: hal yang dilarang dan, jika dilanggar, akan mengakibatkan bencana.
92
93
Dalam upacara adat, tua adat perempuanlah yang boleh menghaturkan persembahan di situs-situs rumah adat. Pula yang menyiapkan dan memberikan sirih pinang dalam wadah khususnya pada tamu dan warga ketika upacara adat berlangsung adalah tua adat perempuan. Sirih pinang merupakan lambang penghormatan paling tinggi dalam masyarakat adat di Pulau Timor. Jadi, perempuan mendapatkan kehormatan yang paling tinggi dengan menyiapkan dan memberikan sirih pinang. Biarki ini juga tampak dalam pembagian kerja penyiapan berbagai upacara adat. Berbagai tugas seperti menyembelih hewan ternak, memasak makanan, menyiapkan peralatan dan prasarana, menyediakan kayu bakar, bakar, tutur adat , dan lain-lain dilakukan oleh perempuan dan laki-laki berdasarkan kemampuan dan keahlian. Tak menutup kemungkinan perempuan menyembelih hewan ternak, seperti ayam. Hewan ternak besar, sapi, kerbau, kambing, disembelih oleh laki-laki atas dasar kemampuan. Meski sistem organisasi masyarakat yang diterapkan adalah biarki, sistem garis keturunan di desa ini menganut patrilineal, penurunan nama fam dari bapak. Pengaturan tempat tinggal pun berdasarkan patrilokal; pasangan baru tinggal di dalam keluarga
dan klan laki-laki. Dusun Laran, Desa Wehali, Wehali, Kecamatan Malaka Tengah Tengah Dusun Laran merupakan pusat lokasi Kerajaan Wehali yang kini menjadi kelurahan. Desa ini menganut sistem garis keturunan ○
matrilineal, nama fam anak dari ibu. Namun demikian, pada praktiknya, nama fam bapak tidaklah benar-benar hilang
dalam keluarga. Selalu saja, ada satu anak yang mengikuti garis keturunan bapak jika keluarga tersebut memiliki lebih dari satu anak. Jika hanya satu anak, nama fam anak tetap mengikuti ibu.
Jadi, sebenarnya, matrilineal yang diterapkan tidaklah yang menghilangkan garis keturunan bapak sepenuhnya. Praktik garis keturunan yang mengandung unsur bilenal tersebut mengimbas pada pengaturan tempat tinggal bagi anak-anak. Dasar pengaturannya adalah matrilokal; pasangan baru tinggal di
lingkungan keluarga dan klan pihak perempuan. Salah satu anak
yang mengikuti garis keturunan Bapak, pada saat dewasa, akan tinggal bersama keluarga bapak untuk mempelajari adat istiadat dan kebudayaan keluarga bapak. Selama masa kanak-kanak dan remaja, anak bernama fam bapak masih tinggal dalam lingkungan
keluarga ibu dengan selalu dikunjungi dan diperhatikan keluarga dari pihak bapak. Model penerapan garis keturunan matrilineal yang demikian ini, bagi warga setempat, memungkinkan persambungan tali kekeluargaan dan silahturahmi yang tak putus antara keluarga bapak dan ibu meski kedua orang tua anak-anak tersebut telah tiada. Ikatan kekeluargaan antara bapak dan ibu terus disambungkan oleh anak-anak mereka. Hal ini juga mengakibatkan persebaran nilai-nilai kebudayaan dan memungkinkan terjadinya percampuran kebudayaan kebudayaan yang lebih luas karena bagaimanapun anak yang mengikuti garis keturunan bapak pernah tinggal dan mengalami keseharian kebudayaan keluarga ibu. Ketika ia berpindah tempat tinggal di lingkungan keluarga dan klan bapak, pengalaman dan nilai-nilai kebudayaan keluarga dan klan ibu yang melesap dalam dirinya itu tetap akan dipraktikkan secara adaptif dengan kebudayaan dari keluarga dan klan bapak.
Dalam hal kuasa, desa ini menerapkan sistem patriarki. Hal ini tampak ketika mendampingi orang-orang yang mempelajari kebudayaan setempat, kaum adat laki-lakilah yang berperan. Perempuan tetap mendapat tempat kehormatan yang tinggi dalam hal menghaturkan dan merawat tempat upacara adat harian di rumah adat, menyiapkan sirih pinang dan memberikannya pada tamu atau orang-orang yang datang ke rumah adat. ○
Desa Kamanasa, Kamanasa, Kecamatan Malaka Tengah Tengah
Desa Kamanasa sebagai bagian wilayah Kerajaan Malaka menganut sistem garis keturunan matrilineal. Kekuasaan tetaplah menganut sistem patriarki meski perempuan tetap dapat mengambil keputusan dalam berbagai perkara. Uniknya, ada pengaturan penempatan ruang bagi perempuan dan lakilaki ketika pertemuan dalam rumah. Perempuan duduk di ruang dalam, sementara laki-laki di ruang depan. Ketika memberikan putusan, perempuan menyampaikannya pada laki-laki. Kemudian,
92
93
Dalam upacara adat, tua adat perempuanlah yang boleh menghaturkan persembahan di situs-situs rumah adat. Pula yang menyiapkan dan memberikan sirih pinang dalam wadah khususnya pada tamu dan warga ketika upacara adat berlangsung adalah tua adat perempuan. Sirih pinang merupakan lambang penghormatan paling tinggi dalam masyarakat adat di Pulau Timor. Jadi, perempuan mendapatkan kehormatan yang paling tinggi dengan menyiapkan dan memberikan sirih pinang. Biarki ini juga tampak dalam pembagian kerja penyiapan berbagai upacara adat. Berbagai tugas seperti menyembelih hewan ternak, memasak makanan, menyiapkan peralatan dan prasarana, menyediakan kayu bakar, bakar, tutur adat , dan lain-lain dilakukan oleh perempuan dan laki-laki berdasarkan kemampuan dan keahlian. Tak menutup kemungkinan perempuan menyembelih hewan ternak, seperti ayam. Hewan ternak besar, sapi, kerbau, kambing, disembelih oleh laki-laki atas dasar kemampuan. Meski sistem organisasi masyarakat yang diterapkan adalah biarki, sistem garis keturunan di desa ini menganut patrilineal, penurunan nama fam dari bapak. Pengaturan tempat tinggal pun berdasarkan patrilokal; pasangan baru tinggal di dalam keluarga
dan klan laki-laki. Dusun Laran, Desa Wehali, Wehali, Kecamatan Malaka Tengah Tengah Dusun Laran merupakan pusat lokasi Kerajaan Wehali yang kini menjadi kelurahan. Desa ini menganut sistem garis keturunan ○
matrilineal, nama fam anak dari ibu. Namun demikian, pada praktiknya, nama fam bapak tidaklah benar-benar hilang
dalam keluarga. Selalu saja, ada satu anak yang mengikuti garis keturunan bapak jika keluarga tersebut memiliki lebih dari satu anak. Jika hanya satu anak, nama fam anak tetap mengikuti ibu.
Jadi, sebenarnya, matrilineal yang diterapkan tidaklah yang menghilangkan garis keturunan bapak sepenuhnya. Praktik garis keturunan yang mengandung unsur bilenal tersebut mengimbas pada pengaturan tempat tinggal bagi anak-anak. Dasar pengaturannya adalah matrilokal; pasangan baru tinggal di
lingkungan keluarga dan klan pihak perempuan. Salah satu anak
yang mengikuti garis keturunan Bapak, pada saat dewasa, akan tinggal bersama keluarga bapak untuk mempelajari adat istiadat dan kebudayaan keluarga bapak. Selama masa kanak-kanak dan remaja, anak bernama fam bapak masih tinggal dalam lingkungan
keluarga ibu dengan selalu dikunjungi dan diperhatikan keluarga dari pihak bapak. Model penerapan garis keturunan matrilineal yang demikian ini, bagi warga setempat, memungkinkan persambungan tali kekeluargaan dan silahturahmi yang tak putus antara keluarga bapak dan ibu meski kedua orang tua anak-anak tersebut telah tiada. Ikatan kekeluargaan antara bapak dan ibu terus disambungkan oleh anak-anak mereka. Hal ini juga mengakibatkan persebaran nilai-nilai kebudayaan dan memungkinkan terjadinya percampuran kebudayaan kebudayaan yang lebih luas karena bagaimanapun anak yang mengikuti garis keturunan bapak pernah tinggal dan mengalami keseharian kebudayaan keluarga ibu. Ketika ia berpindah tempat tinggal di lingkungan keluarga dan klan bapak, pengalaman dan nilai-nilai kebudayaan keluarga dan klan ibu yang melesap dalam dirinya itu tetap akan dipraktikkan secara adaptif dengan kebudayaan dari keluarga dan klan bapak.
Dalam hal kuasa, desa ini menerapkan sistem patriarki. Hal ini tampak ketika mendampingi orang-orang yang mempelajari kebudayaan setempat, kaum adat laki-lakilah yang berperan. Perempuan tetap mendapat tempat kehormatan yang tinggi dalam hal menghaturkan dan merawat tempat upacara adat harian di rumah adat, menyiapkan sirih pinang dan memberikannya pada tamu atau orang-orang yang datang ke rumah adat. ○
Desa Kamanasa, Kamanasa, Kecamatan Malaka Tengah Tengah
Desa Kamanasa sebagai bagian wilayah Kerajaan Malaka menganut sistem garis keturunan matrilineal. Kekuasaan tetaplah menganut sistem patriarki meski perempuan tetap dapat mengambil keputusan dalam berbagai perkara. Uniknya, ada pengaturan penempatan ruang bagi perempuan dan lakilaki ketika pertemuan dalam rumah. Perempuan duduk di ruang dalam, sementara laki-laki di ruang depan. Ketika memberikan putusan, perempuan menyampaikannya pada laki-laki. Kemudian,
94
95
laki-laki menyampaikannya pada pihak yang membutuhkan putusan tersebut. Untuk tempat tinggal pasangan yang baru menikah, desa ini menganut patrilokal. Ada pula hal penting yang mengatur perilaku perempuan dalam berumah tangga. Ketika suami pergi untuk beberapa waktu, perempuan yang tinggal di rumah harus menunggu dengan pintu yang selalu terbuka. Ini sebagai penanda bahwa sang istri selalu setia menunggu kepulangan suaminya. Bagi warga di lingkungan tersebut, ini juga menjadi penanda bahwa laki-laki pimpinan rumah tersebut sedang pergi dan belum kembali sehingga lingkungan turut menjaga keamanan para penghuni rumah tersebut. Jika keunikan budaya ini diterapkan dalam lingkungan yang menyepakati perilaku tersebut, tentunya warga di lingkungan setempat akan saling menjaga. Hanya saja, kebiasaan yang menjadi keunikan budaya tersebut tidak bisa diterapkan pada lingkungan lain karena pintu yang selalu terbuka ketika suami tidak di rumah justru mengundang bahaya bagi penghuni di dalamnya. Pula, perlu ditelaah ulang jika terjadi pengembangan daerah yang memungkinkan ada banyak warga dari berbagai daerah dan budaya lain turut tinggal di wilayah tersebut. Warga yang bercampur ini mungkin tidak memahami serta menyepakati keunikan budaya itu, sehingga justru hadir kesalahpahaman yang mengakibatkan perilaku yang mengancam keselamatan penghuni rumah yang ditinggal kepala rumah tangganya. Namun demikian, dalam proses perkembangan itu, kebijaksanaan para pelaku dan pemimpin adat sebagai pemilik budaya juga mengiringi, pun didukung oleh pemerintah daerah setempat. Dengan demikian, tidak terjadi dampak yang berkebalikan dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh kebudayaan tersebut. • Kabupaten Rote Ndao
Kabupaten Rote Ndao terletak di Pulau Rote yang lokasinya di bagian paling selatan dan termasuk wilayah yang dekat dengan perbatasan NKRI dan Australia. Sebagai wilayah perbatasan, kemungkinan berbagai unsur luar yang tidak sesuai dengan NKRI dan budaya lokal memasuki wilayah ini sangatlah besar.
Hal ini disadari oleh warga setempat sehingga mereka amat waspada terhadap hal-hal baru dan tidak biasa. Contohnya: saat saya berjalan bersama Bapak Ben, kepala keluarga tempat kami menginap, ke rumah Kepala Desa Holoama, Kecamatan Lobalain, beberapa warga yang kami temui dalam perjalanan selalu melihat saya sebagai orang yang asing dan bertanya kepada Bapak Ben tentang tujuan kami dengan tatapan bertanya-tanya ke arah saya. Pak Ben pun dengan sigap menjelaskan tujuan kami ke rumah kepala desa untuk melaporkan keberadaan saya dan dua teman lainnya yang sedang melakukan penelitian. Kewaspadaan ini juga mewujud dalam bantuk penyampaian berita-berita dari luar tentang berbagai pengaruh asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan setempat dengan sangat cepat, bahkan meskipun hal itu sendiri belum memasuki wilayah Rote Ndao. Contohnya, berita tentang kehadiran kelompok-kelompok anarkis di lokasi lain. Kabar ini disebarkan disertai dengan ciriciri orang-orang dalam kelompok tersebut. Secara tidak langsung warga diharapkan mencermati kehadiran orang-orang asing yang baru di wilayah masing-masing untuk mencegah terjadinya berbagai tindakan yang mengganggu keamanan dan ketertiban bersama. Contoh lain yang kami alami langsung adalah pemeriksaan identitas tiap orang yang masuk ke pasar pagi oleh petugas kepolisian setempat, entah itu pedagang, pembeli, sopir angkutan umum, dsb. Pemeriksaan ini terjadi sehari setelah kami menerima cerita tentang kehadiran kelompok anarkis itu, sekaligus merupakan bagian dari penjagaan keamanan menjelang pesta demokrasi (pemilu) di negeri ini. Desa Holoama sendiri menerapkan sistem organisasi masyarakat masyarakat patriarki serta berbagai kaitannya: patrilineal dan patrilokal. Desa Holoama dulunya merupakan Kerajaan Lelain yang kini sebagian besar penduduknya beragama Nasrani. Sekarang ini, sudah banyak upacara adat yang terkikis dan tidak dilaksanakan. Satu-satunya upacara adat yang masih dilangsungkan adalah
94
95
laki-laki menyampaikannya pada pihak yang membutuhkan putusan tersebut. Untuk tempat tinggal pasangan yang baru menikah, desa ini menganut patrilokal. Ada pula hal penting yang mengatur perilaku perempuan dalam berumah tangga. Ketika suami pergi untuk beberapa waktu, perempuan yang tinggal di rumah harus menunggu dengan pintu yang selalu terbuka. Ini sebagai penanda bahwa sang istri selalu setia menunggu kepulangan suaminya. Bagi warga di lingkungan tersebut, ini juga menjadi penanda bahwa laki-laki pimpinan rumah tersebut sedang pergi dan belum kembali sehingga lingkungan turut menjaga keamanan para penghuni rumah tersebut. Jika keunikan budaya ini diterapkan dalam lingkungan yang menyepakati perilaku tersebut, tentunya warga di lingkungan setempat akan saling menjaga. Hanya saja, kebiasaan yang menjadi keunikan budaya tersebut tidak bisa diterapkan pada lingkungan lain karena pintu yang selalu terbuka ketika suami tidak di rumah justru mengundang bahaya bagi penghuni di dalamnya. Pula, perlu ditelaah ulang jika terjadi pengembangan daerah yang memungkinkan ada banyak warga dari berbagai daerah dan budaya lain turut tinggal di wilayah tersebut. Warga yang bercampur ini mungkin tidak memahami serta menyepakati keunikan budaya itu, sehingga justru hadir kesalahpahaman yang mengakibatkan perilaku yang mengancam keselamatan penghuni rumah yang ditinggal kepala rumah tangganya. Namun demikian, dalam proses perkembangan itu, kebijaksanaan para pelaku dan pemimpin adat sebagai pemilik budaya juga mengiringi, pun didukung oleh pemerintah daerah setempat. Dengan demikian, tidak terjadi dampak yang berkebalikan dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh kebudayaan tersebut. • Kabupaten Rote Ndao
Kabupaten Rote Ndao terletak di Pulau Rote yang lokasinya di bagian paling selatan dan termasuk wilayah yang dekat dengan perbatasan NKRI dan Australia. Sebagai wilayah perbatasan, kemungkinan berbagai unsur luar yang tidak sesuai dengan NKRI dan budaya lokal memasuki wilayah ini sangatlah besar.
Hal ini disadari oleh warga setempat sehingga mereka amat waspada terhadap hal-hal baru dan tidak biasa. Contohnya: saat saya berjalan bersama Bapak Ben, kepala keluarga tempat kami menginap, ke rumah Kepala Desa Holoama, Kecamatan Lobalain, beberapa warga yang kami temui dalam perjalanan selalu melihat saya sebagai orang yang asing dan bertanya kepada Bapak Ben tentang tujuan kami dengan tatapan bertanya-tanya ke arah saya. Pak Ben pun dengan sigap menjelaskan tujuan kami ke rumah kepala desa untuk melaporkan keberadaan saya dan dua teman lainnya yang sedang melakukan penelitian. Kewaspadaan ini juga mewujud dalam bantuk penyampaian berita-berita dari luar tentang berbagai pengaruh asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan setempat dengan sangat cepat, bahkan meskipun hal itu sendiri belum memasuki wilayah Rote Ndao. Contohnya, berita tentang kehadiran kelompok-kelompok anarkis di lokasi lain. Kabar ini disebarkan disertai dengan ciriciri orang-orang dalam kelompok tersebut. Secara tidak langsung warga diharapkan mencermati kehadiran orang-orang asing yang baru di wilayah masing-masing untuk mencegah terjadinya berbagai tindakan yang mengganggu keamanan dan ketertiban bersama. Contoh lain yang kami alami langsung adalah pemeriksaan identitas tiap orang yang masuk ke pasar pagi oleh petugas kepolisian setempat, entah itu pedagang, pembeli, sopir angkutan umum, dsb. Pemeriksaan ini terjadi sehari setelah kami menerima cerita tentang kehadiran kelompok anarkis itu, sekaligus merupakan bagian dari penjagaan keamanan menjelang pesta demokrasi (pemilu) di negeri ini. Desa Holoama sendiri menerapkan sistem organisasi masyarakat masyarakat patriarki serta berbagai kaitannya: patrilineal dan patrilokal. Desa Holoama dulunya merupakan Kerajaan Lelain yang kini sebagian besar penduduknya beragama Nasrani. Sekarang ini, sudah banyak upacara adat yang terkikis dan tidak dilaksanakan. Satu-satunya upacara adat yang masih dilangsungkan adalah
96
97
upacara kematian. Ini pun tidak lagi dilaksanakan secara penuh. Setelah upacara kubur selesai dilaksanakan, dilanjutkan dengan upacara Mete, yaitu pemanjatan doa bagi orang yang meninggal selama rentang waktu 40 hari dengan hari-hari penting pada upacara 3 hari, 7 hari, 9 hari, 20 hari, dan 40 hari. Menurut adat,
selama hari-hari tersebut upacara Mete melibatkan tidak hanya keluarga, tetapi juga seluruh warga. Dengan pertimbangan kebutuhan biaya yang besar bagi keluarga yang berduka karena harus menyediakan air panas (kopi dan teh) serta kudapan, upacara ini kemudian hanya melibatkan pihak keluarga yang berduka. Pada hari ke-40, barulah upacara Mete dilaksanakan dengan melibatkan seluruh warga dan dilakukan tutur adat oleh Manasonggo yang hanya laki-laki, kemudian diikuti potong hewan ternak. Upacara Mete di hari ke-40 ini diadakan meriah dengan adanya berbagai permainan warga (main cincin dan kartu), juga acara menyanyi, pukul gong, kebalai (tarian tradisi warga setempat), dan makan hewan ternak yang dipotong. Hal ini menandakan hari perpisahan antara yang meninggal dengan keluarga yang masih hidup. Diharapkan keluarga yang ditinggalkan tidak lagi berduka karena kehilangan anggotanya dan melanjutkan hidup dengan bersemangat bersama warga sekitarnya.
Rangkuman dan Simpulan
Dari paparan penerapan sistem organisasi masyarakat, garis keturunan, dan pengaturan lokasi tinggal pasangan keluarga baru di atas, dapatlah diketahui bahwa ada kombinasi penerapan sistem. Tidak selalu sistem organisasi kemasyarakatan yang matri- atau patri- diikuti dengan berbagai hal yang berkaitan (misalnya, sistem organisasi kemasyarakatan patriarki pasti diikuti dengan patrilineal dan patrilokal). Bahkan dapat terjadi sistem berimbang antara posisi perempuan dengan laki-laki berupa biarki, bilineal, dan bilokal yang penerapannya dapat berkombinasi berkombina si juga dengan sistem matri- dan patri-. Kombinasitersebut,selain dipengaruhiolehperkembanganzaman Kombinasi dan pengorganisasian masyarakat dalam sistem pemerintahan modern sesuai ketetapan negara, juga ditentukan oleh adanya leksibilitas dengan kondisi yang berlangsung, sehingga dapat
terjadi perbedaan antara dasar sistem yang ditetapkan dengan yang dipraktikkan. Misalnya, dasar sistem yang ditetapkan adalah matrilineal, namun pada praktiknya, tetap ada keturunan yang mengikuti garis bapak dengan berbagai kandungan nilai budaya dan kekerabatan yang dipertahankan.
Meski sangat kental dengan kepemimpinan laki-laki, tidak ada larangan bagi kaum perempuan—dan bahkan didorong—
Kesetaraan gender dalam sistem kemasyarakatan sebenarnya
untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan,
Yang menjadi dasar adalah hubungan kekuasaan sebagaimana diterakan Mansour Fakih (2008: 6), “... mendiskusikan soal gender pada dasarnya berarti membahas hubungan kekuasaan
menempuh pendidikan setinggi-tingginya, juga bekerja di linilini produktif. Hal ini tampak nyata dengan adanya dua orang
kepala desa perempuan dari total 82 desa di Rote Ndao. Kedua kepala desa perempuan itu tidak merasa dipinggirkan atau tidak didengar suaranya oleh 80 kepala desa laki-laki lainnya. Sering kali, justru kedua kepala desa perempuan itulah yang dimintai pendapat lebih dulu dalam rapat pertemuan para kepala desa di Kantor Kabupaten Rote Ndao.
tidak hanya melihat peran dan fungsi gender dalam masyarakat.
yang sifatnya sangat pribadi, yakni menyangkut dan melibatkan individu kita masing-masing serta mengguggat privilege yang
kita miliki dan sedang kita nikmati selama ini”. Dengan menelisik hubungan kekuasaan yang berlangsung dalam sistem yang disepakati maupun yang dipraktikkan, tampak bahwa masyarakat melihat dan menyadari adanya keseimbangan gender yang berlangsung.
96
97
upacara kematian. Ini pun tidak lagi dilaksanakan secara penuh. Setelah upacara kubur selesai dilaksanakan, dilanjutkan dengan upacara Mete, yaitu pemanjatan doa bagi orang yang meninggal selama rentang waktu 40 hari dengan hari-hari penting pada upacara 3 hari, 7 hari, 9 hari, 20 hari, dan 40 hari. Menurut adat,
selama hari-hari tersebut upacara Mete melibatkan tidak hanya keluarga, tetapi juga seluruh warga. Dengan pertimbangan kebutuhan biaya yang besar bagi keluarga yang berduka karena harus menyediakan air panas (kopi dan teh) serta kudapan, upacara ini kemudian hanya melibatkan pihak keluarga yang berduka. Pada hari ke-40, barulah upacara Mete dilaksanakan dengan melibatkan seluruh warga dan dilakukan tutur adat oleh Manasonggo yang hanya laki-laki, kemudian diikuti potong hewan ternak. Upacara Mete di hari ke-40 ini diadakan meriah dengan adanya berbagai permainan warga (main cincin dan kartu), juga acara menyanyi, pukul gong, kebalai (tarian tradisi warga setempat), dan makan hewan ternak yang dipotong. Hal ini menandakan hari perpisahan antara yang meninggal dengan keluarga yang masih hidup. Diharapkan keluarga yang ditinggalkan tidak lagi berduka karena kehilangan anggotanya dan melanjutkan hidup dengan bersemangat bersama warga sekitarnya.
Rangkuman dan Simpulan
Dari paparan penerapan sistem organisasi masyarakat, garis keturunan, dan pengaturan lokasi tinggal pasangan keluarga baru di atas, dapatlah diketahui bahwa ada kombinasi penerapan sistem. Tidak selalu sistem organisasi kemasyarakatan yang matri- atau patri- diikuti dengan berbagai hal yang berkaitan (misalnya, sistem organisasi kemasyarakatan patriarki pasti diikuti dengan patrilineal dan patrilokal). Bahkan dapat terjadi sistem berimbang antara posisi perempuan dengan laki-laki berupa biarki, bilineal, dan bilokal yang penerapannya dapat berkombinasi berkombina si juga dengan sistem matri- dan patri-. Kombinasitersebut,selain dipengaruhiolehperkembanganzaman Kombinasi dan pengorganisasian masyarakat dalam sistem pemerintahan modern sesuai ketetapan negara, juga ditentukan oleh adanya leksibilitas dengan kondisi yang berlangsung, sehingga dapat
terjadi perbedaan antara dasar sistem yang ditetapkan dengan yang dipraktikkan. Misalnya, dasar sistem yang ditetapkan adalah matrilineal, namun pada praktiknya, tetap ada keturunan yang mengikuti garis bapak dengan berbagai kandungan nilai budaya dan kekerabatan yang dipertahankan.
Meski sangat kental dengan kepemimpinan laki-laki, tidak ada larangan bagi kaum perempuan—dan bahkan didorong—
Kesetaraan gender dalam sistem kemasyarakatan sebenarnya
untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan,
Yang menjadi dasar adalah hubungan kekuasaan sebagaimana diterakan Mansour Fakih (2008: 6), “... mendiskusikan soal gender pada dasarnya berarti membahas hubungan kekuasaan
menempuh pendidikan setinggi-tingginya, juga bekerja di linilini produktif. Hal ini tampak nyata dengan adanya dua orang
kepala desa perempuan dari total 82 desa di Rote Ndao. Kedua kepala desa perempuan itu tidak merasa dipinggirkan atau tidak didengar suaranya oleh 80 kepala desa laki-laki lainnya. Sering kali, justru kedua kepala desa perempuan itulah yang dimintai pendapat lebih dulu dalam rapat pertemuan para kepala desa di Kantor Kabupaten Rote Ndao.
tidak hanya melihat peran dan fungsi gender dalam masyarakat.
yang sifatnya sangat pribadi, yakni menyangkut dan melibatkan individu kita masing-masing serta mengguggat privilege yang
kita miliki dan sedang kita nikmati selama ini”. Dengan menelisik hubungan kekuasaan yang berlangsung dalam sistem yang disepakati maupun yang dipraktikkan, tampak bahwa masyarakat melihat dan menyadari adanya keseimbangan gender yang berlangsung.
98
99
Jika masyarakat setempat meyakini bahwa sistem yang diterapkan
perempuan di Kota Kefamenanu dalam hal kekerasan yang banyak
telah memenuhi kesetaraan gender sehingga mampu memfasilitasi peran dan fungsi antara perempuan dan laki-laki secara setara
dialami perempuan terjadi pada struktur masyarakat campuran, antara masyarakat adat dan modern, yang sedang dalam masa peralihan (dari tradisional menuju modern).
dalam bidang dan tugas yang berbeda, kemudian perlu dilihat lebih lanjut kehadiran ketidakadilan gender dalam berbagai bentuknya. Lagi-lagi, Mansour Fakih memberikan tengara tentang bentuk-bentuk ketidakadilan gender (2008: 13), “... marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak burden, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender”. Ada enam bentuk marginalisasi gender yang meliputi marginalisasi ekonomi, subordinasi, stereotipe/label negatif, kekerasan, beban kerja lebih, sosialisasi ideologi nilai.
Jika melihat paparan 11 desa di atas, marginalisasi gender justru dijaga agar tidak terjadi. Adanya aturan-aturan adat yang melindungi perempuan dari kekerasan, pemosisian yang setara antara perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan politik sesuai adat masing-masing desa, perlindungan terhadap pelabelan negatif, pembagian beban kerja yang berdasarkan kompetensi & interest , serta penyebarluasan ideologi nilai
peran gender telah diberlangsungkan. Satu-satunya hal yang tampak jelas adalah pemiskinan ekonomi. Hal ini terjadi bukan karena aspek ketidakadilan gender dalam masyarakat adat, tapi merupakan pemiskinan struktural yang dialami secara merata dalam satu desa tertentu. Jika melepaskan aspek pemiskinan ekonomi tersebut dan berfokus
pada sistem organisasi masyarakat adat, dapatlah dikatakan ada keseimbangan secara ekonomi dalam rumah tangga dan masyarakat adat karena kesadaran memberlangsungkan kerja bersama antara perempuan dan laki-laki dalam sebuah keluarga baik pada lini yang memberikan penghasilan ekonomi secara langsung (bekerja pada sektor-sektor produktif oleh perempuan
dan laki-laki atau salah satunya), maupun pada sektor domestik dan merawat anak-anak. Marginalisasi gender yang tampak di Kota Atambua atau sempat pula diceritakan oleh seorang aktivis
Ada sosialiasi ideologi nilai-nilai kesetaraan gender yang tak berlangsung sehingga perlindungan terhadap perempuan yang dulunya diterakan dalam aturan-aturan adat melemah, bahkan hilang, dan digantikan dengan hal-hal modern. Salah satu tengara yang tampak jelas adalah situasi di mana adat istiadat yang bersisa hanya berupa upacara adat dengan tutur silsilah tanpa menyertakan tutur adat yang lebih komprehensif dengan berbagai kandungan nilai dan makna ilosois dalam b erbagai aturan adat.
Minimnya sosialisasi ideologi nilai-nilai adat ini didukung pula oleh tingkat aktivitas yang tinggi dalam struktur masyarakat modern sehingga kesempatan dan kemauan belajar adat istiadat menjadi hal yang liyan, khususnya bagi generasi muda.
98
99
Jika masyarakat setempat meyakini bahwa sistem yang diterapkan
perempuan di Kota Kefamenanu dalam hal kekerasan yang banyak
telah memenuhi kesetaraan gender sehingga mampu memfasilitasi peran dan fungsi antara perempuan dan laki-laki secara setara
dialami perempuan terjadi pada struktur masyarakat campuran, antara masyarakat adat dan modern, yang sedang dalam masa peralihan (dari tradisional menuju modern).
dalam bidang dan tugas yang berbeda, kemudian perlu dilihat lebih lanjut kehadiran ketidakadilan gender dalam berbagai bentuknya. Lagi-lagi, Mansour Fakih memberikan tengara tentang bentuk-bentuk ketidakadilan gender (2008: 13), “... marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak burden, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender”. Ada enam bentuk marginalisasi gender yang meliputi marginalisasi ekonomi, subordinasi, stereotipe/label negatif, kekerasan, beban kerja lebih, sosialisasi ideologi nilai.
Jika melihat paparan 11 desa di atas, marginalisasi gender justru dijaga agar tidak terjadi. Adanya aturan-aturan adat yang melindungi perempuan dari kekerasan, pemosisian yang setara antara perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan politik sesuai adat masing-masing desa, perlindungan terhadap
Ada sosialiasi ideologi nilai-nilai kesetaraan gender yang tak berlangsung sehingga perlindungan terhadap perempuan yang dulunya diterakan dalam aturan-aturan adat melemah, bahkan hilang, dan digantikan dengan hal-hal modern. Salah satu tengara yang tampak jelas adalah situasi di mana adat istiadat yang bersisa hanya berupa upacara adat dengan tutur silsilah tanpa menyertakan tutur adat yang lebih komprehensif dengan berbagai kandungan nilai dan makna ilosois dalam b erbagai aturan adat.
Minimnya sosialisasi ideologi nilai-nilai adat ini didukung pula oleh tingkat aktivitas yang tinggi dalam struktur masyarakat modern sehingga kesempatan dan kemauan belajar adat istiadat menjadi hal yang liyan, khususnya bagi generasi muda.
pelabelan negatif, pembagian beban kerja yang berdasarkan kompetensi & interest , serta penyebarluasan ideologi nilai
peran gender telah diberlangsungkan. Satu-satunya hal yang tampak jelas adalah pemiskinan ekonomi. Hal ini terjadi bukan karena aspek ketidakadilan gender dalam masyarakat adat, tapi merupakan pemiskinan struktural yang dialami secara merata dalam satu desa tertentu. Jika melepaskan aspek pemiskinan ekonomi tersebut dan berfokus
pada sistem organisasi masyarakat adat, dapatlah dikatakan ada keseimbangan secara ekonomi dalam rumah tangga dan masyarakat adat karena kesadaran memberlangsungkan kerja bersama antara perempuan dan laki-laki dalam sebuah keluarga baik pada lini yang memberikan penghasilan ekonomi secara langsung (bekerja pada sektor-sektor produktif oleh perempuan
dan laki-laki atau salah satunya), maupun pada sektor domestik dan merawat anak-anak. Marginalisasi gender yang tampak di Kota Atambua atau sempat pula diceritakan oleh seorang aktivis
100
101
Referensi:: Referensi
Bandel, Katrin. 2016. Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial. Yogyakarta: Yo gyakarta: Sanata Dharma University Press.
https://www.theguardian.com/world/2011/jan/18/indiahttps://www.theguardian.com/w orld/2011/jan/18/indiakhasi-women-politics-bouissou diunduh 28 April 2018.
Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Yo gyakarta: INSISTPress.
h t t p s : / / w w w. w. i n d e p e n d e n t . c o . u k / n e ws ws / l o n g _ r e a d s /
Rachman, Noer Fauzi dan Mia Siscawati. 2014. Masyarakat Hukum Adat adalah Penyandang Hak, Subjek Hukum, dan Pemilik Wilayah Adatnya.
Yogyakarta: Yo gyakarta: INSISTPress. Kinship Terminology. Terminology. White, Leslie A. 1939. A Problem in Kinship https://anthrosource.onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1525/
aa.1939.41.4.02a00040 diunduh 28 April 2018. http://www.deinisimenurutparaahli.com/pengertian-patrilineal-dan-
matrilineal/ diunduh 28 April 2018. http://www.deinisimenurutparaahli.com/pengertian-patrilokal/
diunduh 28 April 2018. http://www.deinisimenurutparaahli.com/pengertian-matrilokal-dan-
contohnya/ diunduh 28 April 2018. https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2455554/6-adat-
matrilineal-yang-masih-berlaku-sampai-saat-ini diunduh 28 April 2018. https://www.merdeka.com/khas/garis-keturunan-matrilineal-hanyadianut-lima-suku-di-dunia-2ovaq0u.html dianut-lima-suku-di-dunia-2ov aq0u.html diunduh 28 April 2018. https://www.kompasiana.com/ho https://www .kompasiana.com/honey95t/mengenal-sistemney95t/mengenal-sistemkekerabatan-patrilineal-dan-matrilineal_54fd224fa33311043d50f8b7
diunduh 28 April 2018. http://chachanomarisu.blogspot.co.id/2012/11/pengertian-patrilinelmatrilineal-dan.html diunduh 28 April 2018. https://stellaaprianii12.wordpress.com/2015/12/05/mengenalsistem-kekerabatan-patrilineal-dan-matrilineal/ diunduh 28 April 2018. http://jurnalpertekkom.blogspot.co.id/2013/02/sistem-patrilinealdan-matrilineal.html diunduh 28 April 2018. https://www.britannica.com/topic/matrilineal-society diunduh 28 April 2018.
international-womens-day-matriarchy-matriarchal-societywomen-feminism-culture-matrilineal-elephant-a8243046.html
diunduh 28 April 2018. https://libcom.org/history/engels-was-right-early-humankinship-was-matrilineal diunduh 28 April 2018. http://www.mother-god.com/matriarchy.html diunduh 28 April 2018. http://www.mother-god.com/matriarchal-history.html diunduh 28 April 2018. https://www.thoughtco.com/patrilineal-vs-matrilinealsuccession-3529192 diunduh 28 April 2018. http://www.organisasi.org http://www.org anisasi.org diakses 7 Mei 2018.
100
101
Referensi:: Referensi
Bandel, Katrin. 2016. Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial. Yogyakarta: Yo gyakarta: Sanata Dharma University Press.
https://www.theguardian.com/world/2011/jan/18/indiahttps://www.theguardian.com/w orld/2011/jan/18/indiakhasi-women-politics-bouissou diunduh 28 April 2018.
Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Yo gyakarta: INSISTPress.
h t t p s : / / w w w. w. i n d e p e n d e n t . c o . u k / n e ws ws / l o n g _ r e a d s /
Rachman, Noer Fauzi dan Mia Siscawati. 2014. Masyarakat Hukum Adat adalah Penyandang Hak, Subjek Hukum, dan Pemilik Wilayah Adatnya.
Yogyakarta: Yo gyakarta: INSISTPress. Kinship Terminology. Terminology. White, Leslie A. 1939. A Problem in Kinship https://anthrosource.onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1525/
aa.1939.41.4.02a00040 diunduh 28 April 2018. http://www.deinisimenurutparaahli.com/pengertian-patrilineal-dan-
matrilineal/ diunduh 28 April 2018. http://www.deinisimenurutparaahli.com/pengertian-patrilokal/
diunduh 28 April 2018.
international-womens-day-matriarchy-matriarchal-societywomen-feminism-culture-matrilineal-elephant-a8243046.html
diunduh 28 April 2018. https://libcom.org/history/engels-was-right-early-humankinship-was-matrilineal diunduh 28 April 2018. http://www.mother-god.com/matriarchy.html diunduh 28 April 2018. http://www.mother-god.com/matriarchal-history.html diunduh 28 April 2018. https://www.thoughtco.com/patrilineal-vs-matrilinealsuccession-3529192 diunduh 28 April 2018. http://www.organisasi.org http://www.org anisasi.org diakses 7 Mei 2018.
http://www.deinisimenurutparaahli.com/pengertian-matrilokal-dan-
contohnya/ diunduh 28 April 2018. https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2455554/6-adat-
matrilineal-yang-masih-berlaku-sampai-saat-ini diunduh 28 April 2018. https://www.merdeka.com/khas/garis-keturunan-matrilineal-hanyadianut-lima-suku-di-dunia-2ovaq0u.html dianut-lima-suku-di-dunia-2ov aq0u.html diunduh 28 April 2018. https://www.kompasiana.com/ho https://www .kompasiana.com/honey95t/mengenal-sistemney95t/mengenal-sistemkekerabatan-patrilineal-dan-matrilineal_54fd224fa33311043d50f8b7
diunduh 28 April 2018. http://chachanomarisu.blogspot.co.id/2012/11/pengertian-patrilinelmatrilineal-dan.html diunduh 28 April 2018. https://stellaaprianii12.wordpress.com/2015/12/05/mengenalsistem-kekerabatan-patrilineal-dan-matrilineal/ diunduh 28 April 2018. http://jurnalpertekkom.blogspot.co.id/2013/02/sistem-patrilinealdan-matrilineal.html diunduh 28 April 2018. https://www.britannica.com/topic/matrilineal-society diunduh 28 April 2018.
102
103
CATATAN MEMBACA: NTT Sebagaimana Dikisahkan Peneliti Asing Sita Magira
Tulisan ini fokus membaca dua penelitian yang dilakukan oleh dua antropolog. Penelitian pertama berjudul Bui Hangi – The Deity’s Human Wife. Analysis of a Myth from Pura, Eastern Indonesia yang disusun oleh Susanne Rodemeier dan diterbitkan oleh Anthropos Institut 1. Penelitian kedua berjudul Red Cocks and Black Hens Gendered Symbolism, Kinship and Social Practice in the Ngada Highlands Highlands yang disusun oleh Susanne ӧöter dan
diterbitkan oleh Brill2. Dari sekitar dua puluh judul penelitian yang terkumpul, saya memilih dua penelitian itu karena keduanya fokus, antara lain, pada bagaimana simbol dan mitos berperan
dalam pembagian peran antara perempuan dan laki-laki di dua wilayah di NTT tersebut. Adanya kesamaan fokus di antara dua penelitian yang dilakukan
Sebagai satu-satunya anggota tim penelitian yang tidak dapat ikut dalam penelitian lapangan, saya mendapat tugas untuk mengumpulkan dan membaca berbagai hasil penelitian terkait NTT (Nusa Tenggara Timur) yang dilakukan oleh peneliti-peneliti asing dan diterbitkan di berbagai jurnal akademis luar negeri. Tulisan-tulisan yang terkumpul diniatkan menjadi referensi demi
memperkayaa temuan-temuan tim di lapangan. memperkay Saat diminta untuk membuat tulisan untuk buku ini, saya memilih untuk fokus melakukan pembacaan atas berbagai
hasil penelitian tersebut. Pilihan itu diambil dengan beberapa pertimbangan. Pertama, menarik (setidaknya bagi saya) untuk mengetahui bagaimana peneliti asing menampilkan NTT dalam tulisan-tulisan mereka. Ini berhubungan dengan beberapa poin. Salah satunya adalah hal apa saja hal terkait NTT yang menarik bagi para peneliti asing dan mengapa hal tersebut menarik di mata mereka. Kedua, ada rasa skeptis terkait cara para peneliti asing tersebut mengisahkan NTT. Skeptisisme yang jelas tidak bisa dilepaskan dari wacana kolonialisme dan relasi kuasa antara Barat-Timur. Di titik tertentu, saya berasumsi bahwa bias bisa saja hadir dalam metode dan hasil penelitian mereka hingga perlu dilakukan pembacaan untuk memeriksa asumsi tersebut.
di lokasi berbeda ini diharapkan bisa memberi simpulan yang sifatnya lebih umum tentang hubungan antara simbol dan mitos
dalam proses pembagian peran antara perempuan dan laki-laki di NTT. Namun, perlu digarisbawahi bahwa simpulan tersebut tidak lantas dapat dianggap berlaku bagi seluruh wilayah di NTT. Kesamaan fokus keduanya juga memudahkan saya untuk
melakukan pembacaan terhadap persoalan yang diangkat oleh dua penelitian tersebut, temuan-temuan yang dianggap menarik, serta cara peneliti mendekati subjek penelitiannya sekaligus menampilkannya dalam tulisan. Hal lain yang kiranya perlu diketahui adalah baik Pura maupun Ngada tidak termasuk dalam 15 wilayah yang dikunjungi oleh tim peneliti lapangan.
1
Rodeimer, Susanne. 2009. “Bui Hangi – The Deity’s Human Wife. Analysis of a Myth from Pura, Eastern Indonesia” dalam Anthropos Bd. 104, H.2 , hal. 469482. Anthropos Institut. Diunduh lewat http://www.jstor.org/stable/40467186 http://www.jstor.org/stable/40467186 pada Senin, 12 Maret 2018 pukul 20:15:27 2 Schrӧter, Susanne. 2005. “Red cocks and black hens Gendered symbolism, kinship and social practice in the Ngada highlands” dalam Bijdragen tot de Taal, Land-en Volkenkunde Vol. 161, No. 2/3, hal. 318-349. Brill. Diunduh lewat http:// www.jstor.or www.j stor.org/stable/27868231 g/stable/27868231 pada Senin, 12 Maret 2018 pukul 20:06:19
102
103
CATATAN MEMBACA: NTT Sebagaimana Dikisahkan Peneliti Asing Sita Magira
Tulisan ini fokus membaca dua penelitian yang dilakukan oleh dua antropolog. Penelitian pertama berjudul Bui Hangi – The Deity’s Human Wife. Analysis of a Myth from Pura, Eastern Indonesia yang disusun oleh Susanne Rodemeier dan diterbitkan oleh Anthropos Institut 1. Penelitian kedua berjudul Red Cocks and Black Hens Gendered Symbolism, Kinship and Social Practice in the Ngada Highlands Highlands yang disusun oleh Susanne ӧöter dan
diterbitkan oleh Brill2. Dari sekitar dua puluh judul penelitian yang terkumpul, saya memilih dua penelitian itu karena keduanya fokus, antara lain, pada bagaimana simbol dan mitos berperan
dalam pembagian peran antara perempuan dan laki-laki di dua wilayah di NTT tersebut. Adanya kesamaan fokus di antara dua penelitian yang dilakukan
Sebagai satu-satunya anggota tim penelitian yang tidak dapat ikut dalam penelitian lapangan, saya mendapat tugas untuk mengumpulkan dan membaca berbagai hasil penelitian terkait NTT (Nusa Tenggara Timur) yang dilakukan oleh peneliti-peneliti asing dan diterbitkan di berbagai jurnal akademis luar negeri. Tulisan-tulisan yang terkumpul diniatkan menjadi referensi demi
memperkayaa temuan-temuan tim di lapangan. memperkay Saat diminta untuk membuat tulisan untuk buku ini, saya memilih untuk fokus melakukan pembacaan atas berbagai
hasil penelitian tersebut. Pilihan itu diambil dengan beberapa pertimbangan. Pertama, menarik (setidaknya bagi saya) untuk mengetahui bagaimana peneliti asing menampilkan NTT dalam tulisan-tulisan mereka. Ini berhubungan dengan beberapa poin. Salah satunya adalah hal apa saja hal terkait NTT yang menarik bagi para peneliti asing dan mengapa hal tersebut menarik di mata mereka. Kedua, ada rasa skeptis terkait cara para peneliti asing tersebut mengisahkan NTT. Skeptisisme yang jelas tidak bisa dilepaskan dari wacana kolonialisme dan relasi kuasa antara Barat-Timur. Di titik tertentu, saya berasumsi bahwa bias bisa saja hadir dalam metode dan hasil penelitian mereka hingga perlu dilakukan pembacaan untuk memeriksa asumsi tersebut.
di lokasi berbeda ini diharapkan bisa memberi simpulan yang sifatnya lebih umum tentang hubungan antara simbol dan mitos
dalam proses pembagian peran antara perempuan dan laki-laki di NTT. Namun, perlu digarisbawahi bahwa simpulan tersebut tidak lantas dapat dianggap berlaku bagi seluruh wilayah di NTT. Kesamaan fokus keduanya juga memudahkan saya untuk
melakukan pembacaan terhadap persoalan yang diangkat oleh dua penelitian tersebut, temuan-temuan yang dianggap menarik, serta cara peneliti mendekati subjek penelitiannya sekaligus menampilkannya dalam tulisan. Hal lain yang kiranya perlu diketahui adalah baik Pura maupun Ngada tidak termasuk dalam 15 wilayah yang dikunjungi oleh tim peneliti lapangan.
1
Rodeimer, Susanne. 2009. “Bui Hangi – The Deity’s Human Wife. Analysis of a Myth from Pura, Eastern Indonesia” dalam Anthropos Bd. 104, H.2 , hal. 469482. Anthropos Institut. Diunduh lewat http://www.jstor.org/stable/40467186 http://www.jstor.org/stable/40467186 pada Senin, 12 Maret 2018 pukul 20:15:27 2 Schrӧter, Susanne. 2005. “Red cocks and black hens Gendered symbolism, kinship and social practice in the Ngada highlands” dalam Bijdragen tot de Taal, Land-en Volkenkunde Vol. 161, No. 2/3, hal. 318-349. Brill. Diunduh lewat http:// www.jstor.or www.j stor.org/stable/27868231 g/stable/27868231 pada Senin, 12 Maret 2018 pukul 20:06:19
104
105
Pun masing-masing wilayah memiliki sistem kekerabatan yang berbeda. Pura bersistem patrilineal, sedangkan Ngada matrilineal. Tulisan ini diharapkan bisa memperkaya pengetahuan tentang wilayah lain di luar area penelitian lapangan sekaligus menjadi pembanding bagi pembahasan-pembahasan terkait simbol dan mitos dalam kaitannya dengan posisi serta peran perempuan dan laki-laki yang mungkin disinggung oleh tulisan lain dalam buku ini.
Simbol dan Mitos Perempuan Perempuan dan Laki-Laki Laki-Laki (1)
Rodemeier memulai tulisannya dengan mengisahkan kembali cerita Bui Hangi. Dalam bahasa Indonesia, Bui Hangi berarti Bui, Sang Ayam. Bui Hangi adalah kisah tentang anak perempuan dari Desa Dolabang Atas di Pura yang menikah dengan dewa gunungdewa air. Kisah Bui Hangi bermula dari musim paceklik di Desa Dolabang yang membuat Olangki (ayah Bui) pergi ke desa Reta untuk meminta beras. Setahun kemudian, Olangki kembali lagi ke Reta untuk membayar utangnya. Dalam perjalanan pulang, dia melewati Gunung Maru. Di dekat puncak Maru, Olangki berusaha memanah babi hutan tapi tidak berhasil. Alih-alih mendapat buruan, Olangki malah kehausan karena panas. Tidak tahan dengan panas dan rasa haus, Olangki lantas meminta bantuan dewa gunung. Sambil menancapkan panahnya ke tanah, Olangki memohon, “Jika aku mendapatkan air yang cukup untuk minum saat ini dan air yang cukup untuk ladangku, aku berjanji akan mempersembahkan putriku sebagai gantinya.” Tiba-tiba air keluar dari tanah tempat panah tertancap bersamaan dengan datangnya awan yang menghasilkan hujan lebat. Paham bahwa ia telah membuat janji yang keliru, Olangki bergegas pulang. Sesampainya Olangki di rumah, tanah longsor mengancam desa. Demi menyelamatkan desanya, Olangki menyampaikan kepada istrinya agar mereka membawa anak mereka, Bui, ke gunung untuk diserahkan sebagai istri bagi sang dewa. Mereka meyakini
bahwa hal tersebut adalah satu-satunya cara untuk menghentikan tanah longsor. Pagi harinya, Bui dibawa oleh ibunya menuju ke puncak gunung setelah ia didandani sebagai pengantin dan malam sebelumnya mereka sekeluarga makan besar bersama. Hujan berhenti di tiap titik perjalanan Bui dan ibunya. Setelah mereka hampir sampai di kedung yang terletak di dataran Gunung Maru, Bui berkata ia melihat api dan asap di sekitaran lereng gunung. Ibunya kaget mendengar hal tersebut sebab ia tidak melihat api sama sekali. Saat ibunya berusaha mencari api yang dimaksud, Bui menghilang di dekat kedung. Berpikir bahwa anak perempuannyaa telah hilang untuk selamanya, ibu Bui duduk dan perempuanny menyanyikan senandung duka cita. Saat itu juga, di permukaan kolam mengapung serumpun batang bambu. Ibu Bui mengambil salah satu batang untuk membantunya berjalan pulang. Keesokan harinya, Olangki melihat pedang sakti tepat di lokasi penyimpanan batang bambu tersebut. Olangki kemudian paham bahwa mimpinya semalam benar. Olangki bermimpi Bui menjelaskan bahwa serumpun batang bambu yang mengapung di kedung itu merupakan mahar yang diberikan oleh dewa gunung untuk memperistri dirinya. Syukur, ibu Bui telah mengambil satu batang bambu yang mengapung. Dalam semalam saja, batang tersebut telah berubah menjadi kelewang (pedang) sakti yang jika ditancapkan ke tanah akan memunculkan air. air. Setahun kemudian, menjelang upacara Makan Baru, Olangki meminta istrinya untuk naik ke gunung mengundang Bui. Bui kemudian hadir dalam upacara tersebut bersama dengan anak hasil perkawinannya dengan dewa gunung yang dibungkus dengan kain sehingga tidak dapat dilihat siapa pun. Sebelum Bui ikut menari dalam upacara, ia menggantung kain yang berisi anaknya di rumah ibunya dan berpesan kepada ibunya untuk tidak melihat anak itu walaupun ia menangis. Ibu Bui yang tertidur saat Bui sedang di pesta, tiba-tiba terbangun oleh suara aneh dari dalam kain. Suara itu terdengar seperti ikan ketimbang bayi. Ibu Bui bingung dan melihat ke dalam kain.
104
105
Pun masing-masing wilayah memiliki sistem kekerabatan yang berbeda. Pura bersistem patrilineal, sedangkan Ngada matrilineal. Tulisan ini diharapkan bisa memperkaya pengetahuan tentang wilayah lain di luar area penelitian lapangan sekaligus menjadi pembanding bagi pembahasan-pembahasan terkait simbol dan mitos dalam kaitannya dengan posisi serta peran perempuan dan laki-laki yang mungkin disinggung oleh tulisan lain dalam buku ini.
Simbol dan Mitos Perempuan Perempuan dan Laki-Laki Laki-Laki (1)
Rodemeier memulai tulisannya dengan mengisahkan kembali cerita Bui Hangi. Dalam bahasa Indonesia, Bui Hangi berarti Bui, Sang Ayam. Bui Hangi adalah kisah tentang anak perempuan dari Desa Dolabang Atas di Pura yang menikah dengan dewa gunungdewa air. Kisah Bui Hangi bermula dari musim paceklik di Desa Dolabang yang membuat Olangki (ayah Bui) pergi ke desa Reta untuk meminta beras. Setahun kemudian, Olangki kembali lagi ke Reta untuk membayar utangnya. Dalam perjalanan pulang, dia melewati Gunung Maru. Di dekat puncak Maru, Olangki berusaha memanah babi hutan tapi tidak berhasil. Alih-alih mendapat buruan, Olangki malah kehausan karena panas. Tidak tahan dengan panas dan rasa haus, Olangki lantas meminta bantuan dewa gunung. Sambil menancapkan panahnya ke tanah, Olangki memohon, “Jika aku mendapatkan air yang cukup untuk minum saat ini dan air yang cukup untuk ladangku, aku berjanji akan mempersembahkan putriku sebagai gantinya.” Tiba-tiba air keluar dari tanah tempat panah tertancap bersamaan dengan datangnya awan yang menghasilkan hujan lebat. Paham bahwa ia telah membuat janji yang keliru, Olangki bergegas pulang. Sesampainya Olangki di rumah, tanah longsor mengancam desa. Demi menyelamatkan desanya, Olangki menyampaikan kepada istrinya agar mereka membawa anak mereka, Bui, ke gunung untuk diserahkan sebagai istri bagi sang dewa. Mereka meyakini
bahwa hal tersebut adalah satu-satunya cara untuk menghentikan tanah longsor. Pagi harinya, Bui dibawa oleh ibunya menuju ke puncak gunung setelah ia didandani sebagai pengantin dan malam sebelumnya mereka sekeluarga makan besar bersama. Hujan berhenti di tiap titik perjalanan Bui dan ibunya. Setelah mereka hampir sampai di kedung yang terletak di dataran Gunung Maru, Bui berkata ia melihat api dan asap di sekitaran lereng gunung. Ibunya kaget mendengar hal tersebut sebab ia tidak melihat api sama sekali. Saat ibunya berusaha mencari api yang dimaksud, Bui menghilang di dekat kedung. Berpikir bahwa anak perempuannyaa telah hilang untuk selamanya, ibu Bui duduk dan perempuanny menyanyikan senandung duka cita. Saat itu juga, di permukaan kolam mengapung serumpun batang bambu. Ibu Bui mengambil salah satu batang untuk membantunya berjalan pulang. Keesokan harinya, Olangki melihat pedang sakti tepat di lokasi penyimpanan batang bambu tersebut. Olangki kemudian paham bahwa mimpinya semalam benar. Olangki bermimpi Bui menjelaskan bahwa serumpun batang bambu yang mengapung di kedung itu merupakan mahar yang diberikan oleh dewa gunung untuk memperistri dirinya. Syukur, ibu Bui telah mengambil satu batang bambu yang mengapung. Dalam semalam saja, batang tersebut telah berubah menjadi kelewang (pedang) sakti yang jika ditancapkan ke tanah akan memunculkan air. air. Setahun kemudian, menjelang upacara Makan Baru, Olangki meminta istrinya untuk naik ke gunung mengundang Bui. Bui kemudian hadir dalam upacara tersebut bersama dengan anak hasil perkawinannya dengan dewa gunung yang dibungkus dengan kain sehingga tidak dapat dilihat siapa pun. Sebelum Bui ikut menari dalam upacara, ia menggantung kain yang berisi anaknya di rumah ibunya dan berpesan kepada ibunya untuk tidak melihat anak itu walaupun ia menangis. Ibu Bui yang tertidur saat Bui sedang di pesta, tiba-tiba terbangun oleh suara aneh dari dalam kain. Suara itu terdengar seperti ikan ketimbang bayi. Ibu Bui bingung dan melihat ke dalam kain.
106
107
Bukannya bayi, ia justru melihat ikan merah besar. Tanpa pikir panjang, ia mengambil mata ikan tersebut dan memakannya. Pada saat itu, Bui merasakan rasa sakit di payudaranya. Bui lantas berlari pulang ke rumah ibunya dan menemukan ikan yang sudah terluka. Bui sangat marah sebab ibunya telah menyakiti anaknya. Sejak itu, Bui tidak pernah mengunjungi kedua orang tuanya lagi. Bui berjalan pulang ke arah gunung menuju sebuah gua bernama Bitu Era lalu menutupnya dari dalam dengan sebuah batu besar. Sekali lagi, Bui menjelaskan apa yang terjadi kepada ayahnya dan menjanjikan bahwa generasi berikut dari keluarga Olangki tidak akan mengalami kelaparan atau kekeringan.3 Hingga hari ini, kisah Bui Hangi tidak hanya hidup lewat penceritaan kembali tapi juga lewat ritual mengorbankan seekor ayam di dekat kedung tempat Bui pertama kali menghilang. Sering kali ritual korban ayam ini dilakukan saat ada yang mengambil kayu, bambu, atau buah-buahan dari hutan di gunung tanpa permisi kepada Bui. Akibatnya, musim hujan tertunda. Siapa pun, tidak hanya keluarga Bui, bisa melakukan ritual tersebut untuk meminta pertolongan Bui. Menurut Rodemeier, ada beberapa hal terkait posisi dan peran perempuan dan laki-laki yang bisa diihat dari kisah Bui Hangi. Pertama, kisah tersebut menyimbolka menyimbolkan n proses “penyerahan “penyerahan”” anak perempuan sebagai pengantin. Dalam kasus Bui, ia diserahkan demi kepentingan ayahnya dan desanya. Saat proses penyerahan Bui kepada dewa gunung, Bui ditemani oleh ibunya. Rodemeier mengaitkan ini dengan aturan-aturan adat tentang pernikahan di Pura. Ibu pengantin perempuan memimpin dan mengantarkan anaknya ke tempat tinggal pengantin laki-laki. Kepatuhan ibu Bui kepada perintah suaminya untuk “menyerahkan” Bui kepada
dewa gunung, serta tidak adanya penolakan Bui terhadap pilihan ayahnya, ayahny a, menunjukkan kekuasaan mutlak yang mungkin dimiliki oleh laki-laki di Pura. Kedua, dalam kisah Bui Hangi, sang ayah merupakan orang yang perkataannya didengarkan oleh dewa gunung sekaligus pihak yang diberikan wasiat oleh Bui tentang apa yang terjadi dan bagaimana harus menyikapinya. Dalam tulisannya, Rodeimer membaca hal ini menyiratkan bahwa kemampuan supranatural umumnya dimiliki oleh laki-laki. Selaini itu, Rodeimer mengelaborasi soal mulut panas yang berarti seseorang yang jika mengatakan sesuatu, maka perkataan bisa segera terjadi, seperti ayah Bui yang permohonannya segera dikabulkan dewa. Lain halnya dengan perempuan, jarang mereka bermulut panas. Menurut Rodeimer, kultur adat Pura menganggap kehadiran perempuan dalam upacara-upacara adat tidak sepenting kehadiran lakilaki. Perempuan sering kali sekadar membantu menyiapkan upacara dengan melakukan kerja-kerja dapur. Meski begitu, dalam perbincangan perempuan tetap harus menyampaikan pendapatnya dan laki-lakilah yang menentukan apakah mereka akan menerima pendapat tersebut atau mengabaikannya. Artinya, pernyataan perempuan akan disaring atau bahkan diredam oleh laki-laki, dan karenanya perempuan jadi terkondisikan untuk menahan ucapan. Lebih lanjut dalam cerita, tokoh ibu Bui hanya mengambil satu batang bambu dari kolam (bukan semuanya karena ia tidak mengerti bahwa itu mahar dari dewa gunung) serta melanggar larangan Bui dengan menengok ke dalam kain dan memakan mata ikan. Hal itu menyimbolkan bahwa komunikasi dengan dewa bukanlah persoalan yang mudah bagi perempuan. Perempuan sering kali tidak memahami isyarat isyarat atau bahasa supranatural. Di luar soal poin-poin di atas yang tampak memosisikan perempuan inferior terhadap laki-laki, ada hal menarik lain yang
Dirangkum dan dialihbahasakan dari Bui Hangi – The Deity’s Human Wife. Analysis of a Myth from Pura, Eastern Indonesia oleh Susanne Rodemeier. Rodemeier mendengarkan kisah Bui Hangi dari anak laki-laki tertua dari keturunan laki-laki tertua keluarga Olangki yang masih hidup dan menetap di desa Dolabang Atas, Pura. 3
tersirat dari kisah Bui Hangi. Misalnya, hingga hari ini, orangorang masih melalukan ritual pengorbanan ayam untuk meminta pertolongan Bui saat ada yang melanggar tabu hingga berakibat
106
107
Bukannya bayi, ia justru melihat ikan merah besar. Tanpa pikir panjang, ia mengambil mata ikan tersebut dan memakannya. Pada saat itu, Bui merasakan rasa sakit di payudaranya. Bui lantas berlari pulang ke rumah ibunya dan menemukan ikan yang sudah terluka. Bui sangat marah sebab ibunya telah menyakiti anaknya. Sejak itu, Bui tidak pernah mengunjungi kedua orang tuanya lagi. Bui berjalan pulang ke arah gunung menuju sebuah gua bernama Bitu Era lalu menutupnya dari dalam dengan sebuah batu besar. Sekali lagi, Bui menjelaskan apa yang terjadi kepada ayahnya dan menjanjikan bahwa generasi berikut dari keluarga Olangki tidak akan mengalami kelaparan atau kekeringan.3 Hingga hari ini, kisah Bui Hangi tidak hanya hidup lewat penceritaan kembali tapi juga lewat ritual mengorbankan seekor ayam di dekat kedung tempat Bui pertama kali menghilang. Sering kali ritual korban ayam ini dilakukan saat ada yang mengambil kayu, bambu, atau buah-buahan dari hutan di gunung tanpa permisi kepada Bui. Akibatnya, musim hujan tertunda. Siapa pun, tidak hanya keluarga Bui, bisa melakukan ritual tersebut untuk meminta pertolongan Bui. Menurut Rodemeier, ada beberapa hal terkait posisi dan peran perempuan dan laki-laki yang bisa diihat dari kisah Bui Hangi. Pertama, kisah tersebut menyimbolka menyimbolkan n proses “penyerahan “penyerahan”” anak perempuan sebagai pengantin. Dalam kasus Bui, ia diserahkan demi kepentingan ayahnya dan desanya. Saat proses penyerahan Bui kepada dewa gunung, Bui ditemani oleh ibunya. Rodemeier mengaitkan ini dengan aturan-aturan adat tentang pernikahan di Pura. Ibu pengantin perempuan memimpin dan mengantarkan anaknya ke tempat tinggal pengantin laki-laki. Kepatuhan ibu Bui kepada perintah suaminya untuk “menyerahkan” Bui kepada
dewa gunung, serta tidak adanya penolakan Bui terhadap pilihan ayahnya, ayahny a, menunjukkan kekuasaan mutlak yang mungkin dimiliki oleh laki-laki di Pura. Kedua, dalam kisah Bui Hangi, sang ayah merupakan orang yang perkataannya didengarkan oleh dewa gunung sekaligus pihak yang diberikan wasiat oleh Bui tentang apa yang terjadi dan bagaimana harus menyikapinya. Dalam tulisannya, Rodeimer membaca hal ini menyiratkan bahwa kemampuan supranatural umumnya dimiliki oleh laki-laki. Selaini itu, Rodeimer mengelaborasi soal mulut panas yang berarti seseorang yang jika mengatakan sesuatu, maka perkataan bisa segera terjadi, seperti ayah Bui yang permohonannya segera dikabulkan dewa. Lain halnya dengan perempuan, jarang mereka bermulut panas. Menurut Rodeimer, kultur adat Pura menganggap kehadiran perempuan dalam upacara-upacara adat tidak sepenting kehadiran lakilaki. Perempuan sering kali sekadar membantu menyiapkan upacara dengan melakukan kerja-kerja dapur. Meski begitu, dalam perbincangan perempuan tetap harus menyampaikan pendapatnya dan laki-lakilah yang menentukan apakah mereka akan menerima pendapat tersebut atau mengabaikannya. Artinya, pernyataan perempuan akan disaring atau bahkan diredam oleh laki-laki, dan karenanya perempuan jadi terkondisikan untuk menahan ucapan. Lebih lanjut dalam cerita, tokoh ibu Bui hanya mengambil satu batang bambu dari kolam (bukan semuanya karena ia tidak mengerti bahwa itu mahar dari dewa gunung) serta melanggar larangan Bui dengan menengok ke dalam kain dan memakan mata ikan. Hal itu menyimbolkan bahwa komunikasi dengan dewa bukanlah persoalan yang mudah bagi perempuan. Perempuan sering kali tidak memahami isyarat isyarat atau bahasa supranatural. Di luar soal poin-poin di atas yang tampak memosisikan perempuan inferior terhadap laki-laki, ada hal menarik lain yang
Dirangkum dan dialihbahasakan dari Bui Hangi – The Deity’s Human Wife. Analysis of a Myth from Pura, Eastern Indonesia oleh Susanne Rodemeier. 3
Rodemeier mendengarkan kisah Bui Hangi dari anak laki-laki tertua dari keturunan laki-laki tertua keluarga Olangki yang masih hidup dan menetap di desa Dolabang Atas, Pura.
tersirat dari kisah Bui Hangi. Misalnya, hingga hari ini, orangorang masih melalukan ritual pengorbanan ayam untuk meminta pertolongan Bui saat ada yang melanggar tabu hingga berakibat
108
109
musim hujan tertunda. Kemampuan untuk menurunkan hujan ada pada dewa gunung (suami Bui) bukan Bui. Tapi kesalahan orang kampung kepada Bui-lah yang membuat musim hujan jadi tertunda. Pun dengan meminta pertolongan kepada Bui, musim hujan datang. Ini menyiratkan bahwa Bui punya posisi kuat untuk memengaruhi suaminya. Bui bisa membuat suaminya mengurungkan hujan sekaligus bisa memintanya untuk menurunkan hujan. Ini mengilustrasikan bahwa perempuan setidaknya tetap memiliki kuasa dalam relasi dengan suami. Di samping itu, meski inti dari kisah Bui Hangi adalah penyerahan anak perempuan sebagai pengantin bagi dewa gunung, di kehidupan sehari-hari perempuanlah yang justru mendapatkan manfaat terbesar dari mitos ini. Mitos ini membuat perempuan
tidak perlu sibuk bolak-balik mengambil air dari sumur/sumber air. Di Pura, perempuan (dan anak-anak) bertugas mengambil air untuk kebutuhan rumah tangga. Tugas ini cukup berat sebab mereka harus mengangkat air dan berjalan bolak-balik dari sumber air ke rumah. Diserahkannya Bui kepada dewa gunung setidaknya menjamin ketersediaan air di desa dan membuat siklus musim hujan tidak tertunda. Pun jika musim hujan terlambat datang dan air menipis, mereka bisa menancapkan pedang sakti ke tanah dan air akan keluar. Atau di saat musim hujan datang tapi persediaan air tidak cukup, penduduk paham bahwa Bui mungkin marah karena ada yang melanggar tabu. Upacara mengorbankan ayam lantas dilakukan dan hujan akan turun kembali.
Simbol dan Mitos Perempuan dan Laki-Laki (2) Dalam tulisannya, Schröter membahas soal simbol laki-laki dan
perempuan di Ngada secara khusus dalam satu sub-bab.4 Leluhur di Ngada, sepasang suami istri, menurut catatannya, disimbolkan lewat tempat ibadah yang terbuat dari kayu. Ngadhu, tempat ibadah laki-laki, adalah tiang berbentuk makhluk yang memakai rok dari rumbia. Di bawah rok tersembunyi pahatan wajah. Sedangkan di bagian atas tiang juga ada igur lain yang kepalanya
dihiasi dengan ornamen menyerupai pejuang dan tangannya memegang pedang dan tombak. Tiang itu merupakan perwujudan dari leluhur juga takhta bagi kekuatan spiritualnya. Dalam proses pembangunan ngadhu, orang harus mengorbankan berbagai binatang antara lain anak babi, anak anjing, dan anak ayam yang dikubur hidup-hidup dan dipercaya dapat menjadi tempat penyimpanan energi. Selain itu, ngadhu juga butuh persembahan berkala. Sesaji tersebut antara lain berupa beras, daging, sopi, darah, dan berbagai binatang yang sering dikorbankan dalam ritual-ritual penting macam ayam, babi, dan kerbau air. air. Dari berbagai binatang yang dikorbankan, kerbau air adalah yang paling penting sekaligus dipercaya sebagai perwujudan dari lakilaki dan cerminan kekuatan maskulin. Kerbau sendiri merupakan satu-satunya hewan ternak yang sering kali membunuh pemiliknya. Para tetua di Ngada juga menekankan bahwa kerbau yang identik dengan maskulinitas memiliki karakteristik yang bejat. Berdasar sejarah lisan, kerbau dipercaya akan berubah menjadi laki-laki saat malam datang lalu menggoda istri atau anak pemiliknya. Leluhur laki-laki Ngada, selain gemar bertarung juga sering memerkosa. Kerbau lantas diidentikkan dengan leluhur laki-laki. Binatang dengan kekuatan seperti itu menurut kepercayaan kepercay aan orang-orang di Ngada harus dikorbankan di ngadhu dengan tata cara tertentu.
Isi sub-bab tersebut penulis rangkum dan alihbahasakan untuk mendapatkan gambaran tentang sistem simbol dan mitos di Ngada dalam kaitannya dengan peran perempuan laki-laki. 4
108
109
musim hujan tertunda. Kemampuan untuk menurunkan hujan ada pada dewa gunung (suami Bui) bukan Bui. Tapi kesalahan orang kampung kepada Bui-lah yang membuat musim hujan jadi tertunda. Pun dengan meminta pertolongan kepada Bui, musim hujan datang. Ini menyiratkan bahwa Bui punya posisi kuat untuk memengaruhi suaminya. Bui bisa membuat suaminya mengurungkan hujan sekaligus bisa memintanya untuk menurunkan hujan. Ini mengilustrasikan bahwa perempuan setidaknya tetap memiliki kuasa dalam relasi dengan suami. Di samping itu, meski inti dari kisah Bui Hangi adalah penyerahan anak perempuan sebagai pengantin bagi dewa gunung, di kehidupan sehari-hari perempuanlah yang justru mendapatkan manfaat terbesar dari mitos ini. Mitos ini membuat perempuan
tidak perlu sibuk bolak-balik mengambil air dari sumur/sumber air. Di Pura, perempuan (dan anak-anak) bertugas mengambil air untuk kebutuhan rumah tangga. Tugas ini cukup berat sebab mereka harus mengangkat air dan berjalan bolak-balik dari sumber air ke rumah. Diserahkannya Bui kepada dewa gunung setidaknya menjamin ketersediaan air di desa dan membuat siklus musim hujan tidak tertunda. Pun jika musim hujan terlambat datang dan air menipis, mereka bisa menancapkan pedang sakti ke tanah dan air akan keluar. Atau di saat musim hujan datang tapi persediaan air tidak cukup, penduduk paham bahwa Bui mungkin marah karena ada yang melanggar tabu. Upacara mengorbankan ayam lantas dilakukan dan hujan akan turun kembali.
Simbol dan Mitos Perempuan dan Laki-Laki (2) Dalam tulisannya, Schröter membahas soal simbol laki-laki dan
perempuan di Ngada secara khusus dalam satu sub-bab.4 Leluhur di Ngada, sepasang suami istri, menurut catatannya, disimbolkan lewat tempat ibadah yang terbuat dari kayu. Ngadhu, tempat ibadah laki-laki, adalah tiang berbentuk makhluk yang memakai rok dari rumbia. Di bawah rok tersembunyi pahatan wajah. Sedangkan di bagian atas tiang juga ada igur lain yang kepalanya
dihiasi dengan ornamen menyerupai pejuang dan tangannya memegang pedang dan tombak. Tiang itu merupakan perwujudan dari leluhur juga takhta bagi kekuatan spiritualnya. Dalam proses pembangunan ngadhu, orang harus mengorbankan berbagai binatang antara lain anak babi, anak anjing, dan anak ayam yang dikubur hidup-hidup dan dipercaya dapat menjadi tempat penyimpanan energi. Selain itu, ngadhu juga butuh persembahan berkala. Sesaji tersebut antara lain berupa beras, daging, sopi, darah, dan berbagai binatang yang sering dikorbankan dalam ritual-ritual penting macam ayam, babi, dan kerbau air. air. Dari berbagai binatang yang dikorbankan, kerbau air adalah yang paling penting sekaligus dipercaya sebagai perwujudan dari lakilaki dan cerminan kekuatan maskulin. Kerbau sendiri merupakan satu-satunya hewan ternak yang sering kali membunuh pemiliknya. Para tetua di Ngada juga menekankan bahwa kerbau yang identik dengan maskulinitas memiliki karakteristik yang bejat. Berdasar sejarah lisan, kerbau dipercaya akan berubah menjadi laki-laki saat malam datang lalu menggoda istri atau anak pemiliknya. Leluhur laki-laki Ngada, selain gemar bertarung juga sering memerkosa. Kerbau lantas diidentikkan dengan leluhur laki-laki. Binatang dengan kekuatan seperti itu menurut kepercayaan kepercay aan orang-orang di Ngada harus dikorbankan di ngadhu dengan tata cara tertentu.
Isi sub-bab tersebut penulis rangkum dan alihbahasakan untuk mendapatkan gambaran tentang sistem simbol dan mitos di Ngada dalam kaitannya dengan peran perempuan laki-laki. 4
110
111
Membangun ngadhu adalah tugas laki-laki. Seorang peramal akan membimbing para laki-laki mendapatkan pohon yang tepat. Setelah melakukan ritual, mereka lalu memotong dan memahat pohon itu. Sembari menyanyi dan menari, mereka membawa igur yang terbuat dari kayu ke tempat upacara. Saat para laki-
laki memasuki desa, perempuan diminta untuk masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Perempuan tidak diizinkan untuk menyaksikan kekuatan maskulin yang memasuki desa sebab dikhawatirkan arwah para leluhur akan merasuki para laki-laki sehingga mereka akan mengejar lalu memerkosa perempuan. Jika hal tersebut terjadi, perempuan bisa sakit parah atau bahkan mati. Adapun Bhaga, tempat ibadah perempuan, merupakan pasangan dari ngadhu. Bhaga berbentuk seperti rumah kecil yang cukup untuk satu hingga dua orang untuk duduk dan melaksanakan ritual untuk leluhur perempuan. Bhaga juga butuh diberi sesajen berupa darah tapi tidak butuh ritual khusus. Bhaga menyimbolk menyimbolkan an bukan saja kekuatan spiritual perempuan tapi juga perlindungan, asal-usul suatu klan yang berasal dari tubuh perempuan, dan nilainilai kekeluargaan. Bhaga adalah miniatur dari oné sa’o (dapur) yang merupakan bagian paling sakral di dalam rumah besar/ upacara (sa’o méze) serta pusat spiritual. Oné sa’o didominasi oleh tanah (lapu lapu)) dan merupakan ruang yang sangat feminin sebab memasak adalah pekerjaan perempuan. Selain itu, ruang tersebut merupakan tempat transformasi dan tempat perjalanan menuju ke dunia lain. Di dalam oné sa’o ini pulalah para leluhur
dipercaya beristirahat, beristirahat, persembahan atau korban disiapkan, dan para tetua berkumpul saat ada keputusan penting yang harus dibuat. Di dalamnya, berbagai ritual dilakukan dan benda-benda sakral disimpan: sau ga’é (pedang), (pedang), su’a tana (tongkat gali), bhoka tua (labu yang dilumuri sopi), dan lawo butu (kain tenun sakral). Sa’o méze diatur oleh perempuan yang mendapatkan rumah itu
dari ibunya dan tinggal di sana bersama dengan orang tuanya, suaminya, dan anak-anaknya, serta kadang dengan paman atau
bibi dari pihak ibu dan saudara-saudaranya saudara-saudaranya yang belum menikah. Saudara perempuannya yang telah menikah akan membangun rumah sendiri di tanah matrilineal tersebut sedangkan saudara laki-laki yang sudah menikah akan tinggal bersama istri. Rumah saudara perempuannya itu dinamakan sa’o dhoro dan sangat berbeda dengan sa’o méze. Bukan saja secara bentuk dan visual tapi juga dari sisi penggunaan. Hanya sa’o méze yang digunakan sebagai tempat berkumpul, tempat pemujaan, tempat tinggal serta pusat dari garis keturunan. Sampai di sini, tampak jelas bahwa Ngada memiliki struktur kekerabatan matrilineal. Schröter menyatakan bawa struktur kekerabatan matrilineal di
Ngada menguntungkan perempuan. Begitu pula simbol serta mitos di Ngada umumnya menyiratkan bahwa perempuan menjadi titik penting dalam masyarakat Ngada sebab mereka diasosiasikan dengan simbol terpenting sekaligus dianggap sebagai penjaga keberlangsungan keturunan. Namun, Schröter
memperhatikan ada berbagai aspek kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan struktur tersebut dan lebih menguntungkan laki-laki, misalnya terkait kekuasaan, politik, dan pengetahuan. Pengetahuan terkait garis keturunan, sejarah tempat-tempat tertentu, dan perkara adat dikategorikan sebagai pengetahuan laki-laki. Oleh karena itu, bagian-bagian utama dalam upacara macam menyanyi, berdoa, menyampaikan bacaan adat, dan mengisahkan mitos-mitos mitos-mitos dilakukan oleh laki-laki. Dalam proses transfer pengetahuan yang disistematisasi dalam upacara ini, perempuan tidak menjadi bagian aktif meski tetap hadir dan turut mendapatkan informasi itu. Di sisi lain, saat bersinggungan
dengan pengetahuan medis, perempuan punya posisi yang setara dengan laki-laki. Perempuan dapat menjadi penyembuh seperti laki-laki. Perempuan bahkan secara khusus dikenal sebagai dukun beranak dan ru’u (penyembuh yang punya kekuatan untuk menyebabkan sakit sekaligus menyembuhkan). Secara khusus menyembuhkan sakit. ru’u lebih sering membantu menyembuhkan
110
111
Membangun ngadhu adalah tugas laki-laki. Seorang peramal akan membimbing para laki-laki mendapatkan pohon yang tepat. Setelah melakukan ritual, mereka lalu memotong dan memahat pohon itu. Sembari menyanyi dan menari, mereka membawa igur yang terbuat dari kayu ke tempat upacara. Saat para laki-
laki memasuki desa, perempuan diminta untuk masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Perempuan tidak diizinkan untuk menyaksikan kekuatan maskulin yang memasuki desa sebab dikhawatirkan arwah para leluhur akan merasuki para laki-laki sehingga mereka akan mengejar lalu memerkosa perempuan. Jika hal tersebut terjadi, perempuan bisa sakit parah atau bahkan mati. Adapun Bhaga, tempat ibadah perempuan, merupakan pasangan dari ngadhu. Bhaga berbentuk seperti rumah kecil yang cukup untuk satu hingga dua orang untuk duduk dan melaksanakan ritual untuk leluhur perempuan. Bhaga juga butuh diberi sesajen berupa darah tapi tidak butuh ritual khusus. Bhaga menyimbolk menyimbolkan an bukan saja kekuatan spiritual perempuan tapi juga perlindungan, asal-usul suatu klan yang berasal dari tubuh perempuan, dan nilainilai kekeluargaan. Bhaga adalah miniatur dari oné sa’o (dapur) yang merupakan bagian paling sakral di dalam rumah besar/ upacara (sa’o méze) serta pusat spiritual. Oné sa’o didominasi oleh tanah (lapu lapu)) dan merupakan ruang yang sangat feminin sebab memasak adalah pekerjaan perempuan. Selain itu, ruang tersebut merupakan tempat transformasi dan tempat perjalanan menuju ke dunia lain. Di dalam oné sa’o ini pulalah para leluhur
dipercaya beristirahat, beristirahat, persembahan atau korban disiapkan, dan para tetua berkumpul saat ada keputusan penting yang harus dibuat. Di dalamnya, berbagai ritual dilakukan dan benda-benda sakral disimpan: sau ga’é (pedang), (pedang), su’a tana (tongkat gali), bhoka tua (labu yang dilumuri sopi), dan lawo butu (kain tenun sakral). Sa’o méze diatur oleh perempuan yang mendapatkan rumah itu
dari ibunya dan tinggal di sana bersama dengan orang tuanya, suaminya, dan anak-anaknya, serta kadang dengan paman atau
bibi dari pihak ibu dan saudara-saudaranya saudara-saudaranya yang belum menikah. Saudara perempuannya yang telah menikah akan membangun rumah sendiri di tanah matrilineal tersebut sedangkan saudara laki-laki yang sudah menikah akan tinggal bersama istri. Rumah saudara perempuannya itu dinamakan sa’o dhoro dan sangat berbeda dengan sa’o méze. Bukan saja secara bentuk dan visual tapi juga dari sisi penggunaan. Hanya sa’o méze yang digunakan sebagai tempat berkumpul, tempat pemujaan, tempat tinggal serta pusat dari garis keturunan. Sampai di sini, tampak jelas bahwa Ngada memiliki struktur kekerabatan matrilineal. Schröter menyatakan bawa struktur kekerabatan matrilineal di
Ngada menguntungkan perempuan. Begitu pula simbol serta mitos di Ngada umumnya menyiratkan bahwa perempuan menjadi titik penting dalam masyarakat Ngada sebab mereka diasosiasikan dengan simbol terpenting sekaligus dianggap sebagai penjaga keberlangsungan keturunan. Namun, Schröter
memperhatikan ada berbagai aspek kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan struktur tersebut dan lebih menguntungkan laki-laki, misalnya terkait kekuasaan, politik, dan pengetahuan. Pengetahuan terkait garis keturunan, sejarah tempat-tempat tertentu, dan perkara adat dikategorikan sebagai pengetahuan laki-laki. Oleh karena itu, bagian-bagian utama dalam upacara macam menyanyi, berdoa, menyampaikan bacaan adat, dan mengisahkan mitos-mitos mitos-mitos dilakukan oleh laki-laki. Dalam proses transfer pengetahuan yang disistematisasi dalam upacara ini, perempuan tidak menjadi bagian aktif meski tetap hadir dan turut mendapatkan informasi itu. Di sisi lain, saat bersinggungan
dengan pengetahuan medis, perempuan punya posisi yang setara dengan laki-laki. Perempuan dapat menjadi penyembuh seperti laki-laki. Perempuan bahkan secara khusus dikenal sebagai dukun beranak dan ru’u (penyembuh yang punya kekuatan untuk menyebabkan sakit sekaligus menyembuhkan). Secara khusus menyembuhkan sakit. ru’u lebih sering membantu menyembuhkan
112
113
Dalam
praktik
hidup
sehari-hari,
setidaknya
berdasar
pengalaman Schröter, tidaklah benar bahwa pengetahuan lakilaki dianggap lebih unggul daripada perempuan. Schröter justru
menemukan bahwa perempuan memiliki pengetahuan yang jauh lebih komprehensif dibanding laki-laki. Perempuan, misalnya,
mengetahui detail-detail dan versi yang lebih mendalam tentang berbagai kisah baik itu terkait dengan keluarganya atau desanya. Laki-laki, sebaliknya, sekadar mengetahui versi resmi dari kisah-kisah tersebut. Saat berbincang dengan lakilaki, katakanlah, seseorang bisa mengetahui versi resmi tentang sejarah keluarganya tetapi hanya perempuanlah yang mampu menceritakan kisah-kisah di luar versi resmi tersebut (misalnya, terkait dengan masalah dan skandal keluarga). Laki-laki juga menjadi pemuka adat dan memimpin upacara korban. Upacara adat yang besar dan penting umumnya dipimpin dan hanya diikuti oleh laki-laki. Perempuan kadang ikut menari dalam berbagai upacara tapi secara umum mereka bertugas untuk memasak untuk upacara atau menyaksikan upacara sebagai penonton. Mosa laki yang merupakan kepala desa tradisional (setara dengan kepala desa) adalah laki-laki dan sedikit sekali lembaga lain yang setara dengan mosa laki. Jika diamati, laki-laki juga tampak mendominasi beragam pertemuan. Lakilaki sering berkumpul untuk membahas soalsoal politik sementara perempuan memasak dan menyiapkan makanan untuk mereka di dapur. Namun, saat ditelisik lebih jauh, tidak ada peraturan yang melarang perempuan
untuk bergabung dalam pertemuan tersebut dan menyampaikan pendapatnya. Saat perempuan hadir dalam pertemuan, mereka juga tidak segan menyampaikan pendapat dan laki-laki tidak tampak menyepelekan pendapat mereka. Perempuan yang lebih tua juga punya posisi dan suara yang penting dalam pertemuan dan proses pengambilan keputusan. Ada aturan khusus di Ngada bahwa laki-laki tidak boleh mengambil keputusan tanpa meminta saran dari perempuan di rumah. Merunut penjelasan Schröter, secara sederhana dapat dikatakan
bahwa struktur kekerabatan di Ngada menguntungkan perempuan, sedangkan struktur kekuasaan politik dan ritual cenderung memberikan manfaat bagi laki-laki. Namun, Schröter
paham bahwa orang-orang Ngada tidak sepakat dengan interpretasi macam itu. Pada dasarnya, mereka menekankan adanya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Kesetaraan gender adalah bagian utama dalam kebudayaan Ngada. Orangorang Ngada percaya pada prinsip berbeda dalam kesetaraan. Perbedaan itu sekaligus menjadi alasan mengapa satu sama lain tidak boleh saling mendominasi. Hal ini misalnya tampak pada pembagian kerja seperti laki-laki mengerjakan kerajinan dari kayu sedang perempuan dari kain; laki-laki identik dengan perang sedang perempuan dengan damai; laki-laki bertugas
memimpin upacara adat sedang perempuan bertugas memasak di dapur untuk upacara tersebut. Laki-laki disimbolkan dengan manu toro (ayam jantan merah) sedang perempuan adalah lalu mite (ayam betina hitam); leluhur perempuan
dan leluhur laki-laki duduk bersebelah-sebelahan; dewi
tanah (Nitu) dipuja dalam doa yang sama dengan dewa surga (Déva).
112
113
Dalam
praktik
hidup
sehari-hari,
setidaknya
berdasar
pengalaman Schröter, tidaklah benar bahwa pengetahuan lakilaki dianggap lebih unggul daripada perempuan. Schröter justru
menemukan bahwa perempuan memiliki pengetahuan yang jauh lebih komprehensif dibanding laki-laki. Perempuan, misalnya,
mengetahui detail-detail dan versi yang lebih mendalam tentang berbagai kisah baik itu terkait dengan keluarganya atau desanya. Laki-laki, sebaliknya, sekadar mengetahui versi resmi dari kisah-kisah tersebut. Saat berbincang dengan lakilaki, katakanlah, seseorang bisa mengetahui versi resmi tentang sejarah keluarganya tetapi hanya perempuanlah yang mampu menceritakan kisah-kisah di luar versi resmi tersebut (misalnya, terkait dengan masalah dan skandal keluarga). Laki-laki juga menjadi pemuka adat dan memimpin upacara korban. Upacara adat yang besar dan penting umumnya dipimpin dan hanya diikuti oleh laki-laki. Perempuan kadang ikut menari dalam berbagai upacara tapi secara umum mereka bertugas untuk memasak untuk upacara atau menyaksikan upacara sebagai penonton. Mosa laki yang merupakan kepala desa tradisional (setara dengan kepala desa) adalah laki-laki dan sedikit sekali lembaga lain yang setara dengan mosa laki. Jika diamati, laki-laki juga tampak mendominasi beragam pertemuan. Lakilaki sering berkumpul untuk membahas soalsoal politik sementara perempuan memasak dan menyiapkan makanan untuk mereka di dapur. Namun, saat ditelisik lebih jauh, tidak ada peraturan yang melarang perempuan
untuk bergabung dalam pertemuan tersebut dan menyampaikan pendapatnya. Saat perempuan hadir dalam pertemuan, mereka juga tidak segan menyampaikan pendapat dan laki-laki tidak tampak menyepelekan pendapat mereka. Perempuan yang lebih tua juga punya posisi dan suara yang penting dalam pertemuan dan proses pengambilan keputusan. Ada aturan khusus di Ngada bahwa laki-laki tidak boleh mengambil keputusan tanpa meminta saran dari perempuan di rumah. Merunut penjelasan Schröter, secara sederhana dapat dikatakan
bahwa struktur kekerabatan di Ngada menguntungkan perempuan, sedangkan struktur kekuasaan politik dan ritual cenderung memberikan manfaat bagi laki-laki. Namun, Schröter
paham bahwa orang-orang Ngada tidak sepakat dengan interpretasi macam itu. Pada dasarnya, mereka menekankan adanya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Kesetaraan gender adalah bagian utama dalam kebudayaan Ngada. Orangorang Ngada percaya pada prinsip berbeda dalam kesetaraan. Perbedaan itu sekaligus menjadi alasan mengapa satu sama lain tidak boleh saling mendominasi. Hal ini misalnya tampak pada pembagian kerja seperti laki-laki mengerjakan kerajinan dari kayu sedang perempuan dari kain; laki-laki identik dengan perang sedang perempuan dengan damai; laki-laki bertugas
memimpin upacara adat sedang perempuan bertugas memasak di dapur untuk upacara tersebut. Laki-laki disimbolkan dengan manu toro (ayam jantan merah) sedang perempuan adalah lalu mite (ayam betina hitam); leluhur perempuan
dan leluhur laki-laki duduk bersebelah-sebelahan; dewi
tanah (Nitu) dipuja dalam doa yang sama dengan dewa surga (Déva).
114
115
Untuk Dicatat dan Dipikirkan
Dari mempelajari dua penelitian tersebut, ada beberapa hal yang menjadi catatan dan pikiran saya. Pertama, mengapa simbol dan mitos menjadi hal yang sama-sama menarik bagi kedua peneliti? Dalam penelitian mereka, saya tidak mendapatkan alasan eksplisit di balik hal tersebut. Namun, jika boleh menebak, saya pikir ketertarikan itu hadir karena simbol dan mitos memang begitu lekat dalam kehidupan masyarakat Pura dan Ngada, atau mungkin NTT secara umum. Kemungkinan besar selama masa penelitian, mereka sering terpapar oleh berbagai simbol dan mitos sehingga tergerak untuk mencari tahu makna di baliknya dan akhirnya memilih mengkaji beberapa yang paling berkesan. Ketertarikan atas simbol dan mitos ini saya perhatikan juga ada pada kawan-kawan saya yang melakukan penelitian lapangan di NTT. Sepulang dari lapangan, salah satu hal yang sering mereka ceritakan adalah berbagai simbol dan mitos yang mereka temui. Di titik tertentu, barangkali bentuk visual atau objek yang asing dan kisah-kisah yang belum pernah kita dengar sebelumny sebelumnyaa memang punya kekuatan untuk membekas di pikiran dan menggerakkan kita untuk mempelajarinya. Itulah mengapa simbol dan mitos tetap punya daya tarik untuk dikaji lagi dan lagi atau paling tidak untuk diceritakan berulang kali. Tak terkecuali terkecuali bagi Rodemeier Rodemeier dan Schöter serta tim penelitian buku ini.
yang mengakui bahwa perempuan di Pura boleh mengambil peran laki-laki dalam urusan ritual/upacara sakral saat laki-laki pemilik peran tersebut sudah meninggal atau pindah.5 Rodemeier menyinggung soal adanya perdagangan perempuan di Pura. Hal ini dikaitkannya dengan kisah Bui Hangi yang dipersembahkan kepada dewa gunung demi limpahan air dan makanan. Pada masa lalu, perempuan juga dipertukarkan dengan makanan, air, dan benda-benda kebutuhan hidup lainnya. Rodemeier melakukan wawancara dengan beberapa perempuan yang ingat saat mereka masih muat di dalam keranjang dan kakak laki-laki akan menukar mereka dengan makanan dari desa sekitar. Di desa-desa itulah para perempuan tersebut menikah dan melahirkan anak di kemudian hari. Makanan atau bendabenda yang dipertukarkan dipertukarkan setara setara dengan mahar. mahar. Rodemeier menyertakan informasi bahwa hari ini barter semacam itu
dianggap sebagai sesuatu yang memalukan sehingga orang-orang di Pura kurang senang membahasnya. Pun ia menuliskan bahwa pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk menjalankan hukum antiperbudakan dengan menempatkan petugas militer dan “penghuni” tetap (baca: penjajahan) pada tahun 1906. Berbeda dengan Rodemeier yang bisa dikatakan cenderung mengelaborasi bagaimana perempuan di Pura mengalami kesulitan dalam kaitannya dengan tradisi lokal, Schröter lebih
Kedua, mengapa kedua penelitian sama-sama fokus pada
(meminjam istilah mereka) persoalan gender di masing-masing wilayah? Rodemeier tidak menjabarkan pun tidak menyiratkan alasan di balik ketertarikannya. Yang pasti, dalam uraiannya, Rodemeier sering kali menunjukkan bahwa perempuan dinomorduakan dalam konteks masyarakat Pura. Namun, ia juga merangkum poin-poin yang menyiratkan bahwa posisi perempuan tetap dianggap penting, misalnya, lewat ilustrasi bagaimana Bui bisa mempengaruhi suaminya untuk melakukan apa yang ia minta (hal yang masih berlaku hingga sekarang;
perempuan punya kemampuan memengaruhi kehendak suami). Selain itu, Rodeimer menuliskan pernyataan laki-laki setempat
banyak menggali sistem matrilineal yang berlaku di Ngada, bagaimana sistem itu berpengaruh pada peran perempuan dan laki-laki Ngada. Pada akhir tulisannya, Schröter sampai
pada kesimpulan bahwa ada simetri gender dalam masyarakat Ngada. Ada pembagian kuasa dan peran perempuan dan lakilaki di Ngada. Simbol-simbol perempuan dan laki-laki saling Namun, Rodemeier juga mencatat bahwa selama 20 tahun masa penelitiannya, hanya sekali ia mengalami situasi di mana perempuan memimpin ritual untuk berkomunikasi berkomunik asi dengan dewa. Itulah mengapa ia tetap menggarisbawahi bahwa perempuan sering kali dihindarkan dari tanggung jawab melakukan ritual yang berhubungan dengan dewa. Beberapa cara yang ditempuh adalah dengan menunda pelaksanaan ritual atau laki-laki yang menetap di kota dipaksa untuk pulang ke desa demi memimpin ritual tersebut (Rodemeier: 2009). 5
114
115
Untuk Dicatat dan Dipikirkan
Dari mempelajari dua penelitian tersebut, ada beberapa hal yang menjadi catatan dan pikiran saya. Pertama, mengapa simbol dan mitos menjadi hal yang sama-sama menarik bagi kedua peneliti? Dalam penelitian mereka, saya tidak mendapatkan alasan eksplisit di balik hal tersebut. Namun, jika boleh menebak, saya pikir ketertarikan itu hadir karena simbol dan mitos memang begitu lekat dalam kehidupan masyarakat Pura dan Ngada, atau mungkin NTT secara umum. Kemungkinan besar selama masa penelitian, mereka sering terpapar oleh berbagai simbol dan mitos sehingga tergerak untuk mencari tahu makna di baliknya dan akhirnya memilih mengkaji beberapa yang paling berkesan. Ketertarikan atas simbol dan mitos ini saya perhatikan juga ada pada kawan-kawan saya yang melakukan penelitian lapangan di NTT. Sepulang dari lapangan, salah satu hal yang sering mereka ceritakan adalah berbagai simbol dan mitos yang mereka temui. Di titik tertentu, barangkali bentuk visual atau objek yang asing dan kisah-kisah yang belum pernah kita dengar sebelumny sebelumnyaa memang punya kekuatan untuk membekas di pikiran dan menggerakkan kita untuk mempelajarinya. Itulah mengapa simbol dan mitos tetap punya daya tarik untuk dikaji lagi dan lagi atau paling tidak untuk diceritakan berulang kali. Tak terkecuali terkecuali bagi Rodemeier Rodemeier dan Schöter serta tim penelitian buku ini.
yang mengakui bahwa perempuan di Pura boleh mengambil peran laki-laki dalam urusan ritual/upacara sakral saat laki-laki pemilik peran tersebut sudah meninggal atau pindah.5 Rodemeier menyinggung soal adanya perdagangan perempuan di Pura. Hal ini dikaitkannya dengan kisah Bui Hangi yang dipersembahkan kepada dewa gunung demi limpahan air dan makanan. Pada masa lalu, perempuan juga dipertukarkan dengan makanan, air, dan benda-benda kebutuhan hidup lainnya. Rodemeier melakukan wawancara dengan beberapa perempuan yang ingat saat mereka masih muat di dalam keranjang dan kakak laki-laki akan menukar mereka dengan makanan dari desa sekitar. Di desa-desa itulah para perempuan tersebut menikah dan melahirkan anak di kemudian hari. Makanan atau bendabenda yang dipertukarkan dipertukarkan setara setara dengan mahar. mahar. Rodemeier menyertakan informasi bahwa hari ini barter semacam itu
dianggap sebagai sesuatu yang memalukan sehingga orang-orang di Pura kurang senang membahasnya. Pun ia menuliskan bahwa pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk menjalankan hukum antiperbudakan dengan menempatkan petugas militer dan “penghuni” tetap (baca: penjajahan) pada tahun 1906. Berbeda dengan Rodemeier yang bisa dikatakan cenderung mengelaborasi bagaimana perempuan di Pura mengalami kesulitan dalam kaitannya dengan tradisi lokal, Schröter lebih
Kedua, mengapa kedua penelitian sama-sama fokus pada
(meminjam istilah mereka) persoalan gender di masing-masing wilayah? Rodemeier tidak menjabarkan pun tidak menyiratkan alasan di balik ketertarikannya. Yang pasti, dalam uraiannya, Rodemeier sering kali menunjukkan bahwa perempuan dinomorduakan dalam konteks masyarakat Pura. Namun, ia juga merangkum poin-poin yang menyiratkan bahwa posisi perempuan tetap dianggap penting, misalnya, lewat ilustrasi bagaimana Bui bisa mempengaruhi suaminya untuk melakukan apa yang ia minta (hal yang masih berlaku hingga sekarang;
perempuan punya kemampuan memengaruhi kehendak suami). Selain itu, Rodeimer menuliskan pernyataan laki-laki setempat
banyak menggali sistem matrilineal yang berlaku di Ngada, bagaimana sistem itu berpengaruh pada peran perempuan dan laki-laki Ngada. Pada akhir tulisannya, Schröter sampai
pada kesimpulan bahwa ada simetri gender dalam masyarakat Ngada. Ada pembagian kuasa dan peran perempuan dan lakilaki di Ngada. Simbol-simbol perempuan dan laki-laki saling Namun, Rodemeier juga mencatat bahwa selama 20 tahun masa penelitiannya, hanya sekali ia mengalami situasi di mana perempuan memimpin ritual untuk berkomunikasi berkomunik asi dengan dewa. Itulah mengapa ia tetap menggarisbawahi bahwa perempuan sering kali dihindarkan dari tanggung jawab melakukan ritual yang berhubungan dengan dewa. Beberapa cara yang ditempuh adalah dengan menunda pelaksanaan ritual atau laki-laki yang menetap di kota dipaksa untuk pulang ke desa demi memimpin ritual tersebut (Rodemeier: 2009). 5
116
117
melengkapi. Wacana lokal mengenai kesetaraan gender hadir dan berlaku di Ngada. Dalam banyak hal, perempuan punya posisi yang diuntungkan, khususnya dalam struktur kekerabatan. Membaca penelitian Schröter, saya pikir alasannya mengkaji
topik ini bukan hanya demi mengetahui wacana gender lokal di Ngada tapi juga untuk menunjukkan bahwa ada masyarakat dengan sistem gender simetris. Lebih lanjut, Schröter juga bisa
dibilang berusaha menguji wacana kekuasaan dalam struktur pengetahuan Barat. Sesuatu yang tampak dalam kutipan berikut ini: Classifying Ngada gender relationships makes it easy to suggest that kinship structure privileges women, while political and ritual structures favour men. This its in well with western discourse on power. Recalling the prevalence as something akin to a ‘second sex’ as proposed in a European context by Simone de Beauvoir The Ngada, however, neither share this western emphasis on the division of labour, nor do they agree with such interpretations. Indigenous discourse stresses equality, even in cases where westerners would fail to see it (2009: 340). Menurut Schröter, masyarakat Ngada sesuai dengan kriteria
masyarakat non-patriarkis jika ditinjau dari lima hal: produksi, reproduksi dan seksualitas, politik, tatanan simbolis dan religius, serta sistem kekerabatan. Contohnya, secara ekonomi perempuan Ngada sangat mandiri dan tidak bergantung pada laki-laki. Perempuan Ngada bukan saja memiliki akses pada alat produksi tapi juga memiliki tanah dan rumah. Dari sisi sistem kekerabatan, misalnya, perempuan mendapatkan keuntungan sebab garis keturunan matrilineal memungkinkan perempuan untuk menjalankan jejaring kekerabatan yang mereka inginkan. Tempat tinggal yang menyatu atau dekat dengan orang tua mereka juga memungkinkan perempuan untuk mengelola hubungan keluarganya. Adapun politik di Ngada tetap dianggap sebagai ruang laki-laki khususnya soal ritual/upacara adat.
116
117
melengkapi. Wacana lokal mengenai kesetaraan gender hadir dan berlaku di Ngada. Dalam banyak hal, perempuan punya posisi yang diuntungkan, khususnya dalam struktur kekerabatan. Membaca penelitian Schröter, saya pikir alasannya mengkaji
topik ini bukan hanya demi mengetahui wacana gender lokal di Ngada tapi juga untuk menunjukkan bahwa ada masyarakat dengan sistem gender simetris. Lebih lanjut, Schröter juga bisa
dibilang berusaha menguji wacana kekuasaan dalam struktur pengetahuan Barat. Sesuatu yang tampak dalam kutipan berikut ini: Classifying Ngada gender relationships makes it easy to suggest that kinship structure privileges women, while political and ritual structures favour men. This its in well with western discourse on power. Recalling the prevalence as something akin to a ‘second sex’ as proposed in a European context by Simone de Beauvoir The Ngada, however, neither share this western emphasis on the division of labour, nor do they agree with such interpretations. Indigenous discourse stresses equality, even in cases where westerners would fail to see it (2009: 340). Menurut Schröter, masyarakat Ngada sesuai dengan kriteria
masyarakat non-patriarkis jika ditinjau dari lima hal: produksi, reproduksi dan seksualitas, politik, tatanan simbolis dan religius, serta sistem kekerabatan. Contohnya, secara ekonomi perempuan Ngada sangat mandiri dan tidak bergantung pada laki-laki. Perempuan Ngada bukan saja memiliki akses pada alat produksi tapi juga memiliki tanah dan rumah. Dari sisi sistem kekerabatan, misalnya, perempuan mendapatkan keuntungan sebab garis keturunan matrilineal memungkinkan perempuan untuk menjalankan jejaring kekerabatan yang mereka inginkan. Tempat tinggal yang menyatu atau dekat dengan orang tua mereka juga memungkinkan perempuan untuk mengelola hubungan keluarganya. Adapun politik di Ngada tetap dianggap sebagai ruang laki-laki khususnya soal ritual/upacara adat.
118
119
Namun, sebab Ngada sangat menghargai kesetaraan, dominasi laki-laki dalam lingkup politik tidak bersifat mutlak. Pendapat
perempuan harus tetap dipertimbangkan dan perempuan yang sudah tua memiliki kuasa yang setara dengan laki-laki dalam menyampaikan menyampai kan pendapat dan mengambil keputusan. Poin ketiga adalah soal kolonialisme dan misionaris. Pura dan Ngada sama-sama pernah menjadi target misionaris Katolik sekaligus pernah dijajah oleh Belanda. Bedanya, jika sebagian besar penduduk Pura menganut Kristen, hampir semua penduduk Ngada menganut Katolik. Penduduk Pura mulai memeluk Kristen (yang disebarkan oleh misionaris Calvinis) sejak tahun 1910-an sedangkan penduduk Ngada telah menjadi target dari misionaris Katolik Societas Verbi Divini Divini (SVD) di sekitar tahun yang sama. Terkait Pura, misionaris Katolik berusaha untuk masuk ke sana sejak abad ke-16 namun tidak berhasil sebab sebagian besar penduduk memilih untuk memeluk Islam dan melakukan penolakan terhadap misi tersebut. Pendudukan Belanda sendiri berlangsung di dua wilayah itu pada waktu yang hampir bersamaan. Belanda mulai menempatkan petugas militernya di Alor (Pura masuk dalam wilayah Alor) sejak tahun 1906 sedangkan Captain Christoffel berhasil menaklukkan Ngada pada tahun 1907 dan pada 1909 administrasi Belanda mulai
menguasai Ngada. Pertanyaannya, bagaimana kolonialisme dan ajaran agama berpengaruh pada kehidupan masyarakat Pura dan Ngada? Rodemeier menuliskan soal misionaris Kristen yang meminta orang-orang di Pura untuk berhenti memuja dewa-dewa dan menghancurkan benda-benda sakral mereka. Pedang sakti seperti yang ada dalam kisah Bui Hangi adalah salah satu benda sakral yang dilarang oleh para misionaris Kristen. Para laki-laki lalu membuang pedang-pedang sakti mereka ke laut. Sebagai akibatnya, di musim kering, masyarakat Pura yang kesulitan air tidak lagi bisa menggunakan pedang-pedang tersebut untuk menggali tanah. Perempuan dan anak-anak yang dulunya bisa
berhenti dari tugas mengangkat air, harus kembali menjalankan tugas mereka. Sekali lagi perempuan dan anak-anak harus bolakbalik dari sumber air ke rumah demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Fenomena lain yang terekam oleh Rodemeier adalah ketakutan masyarakat Pura kepada para leluhur. Sebelum datangnya Kristen, masyarakat masyarak at tidak memiliki ketakutan tersebut sebab mereka tahu bagaimana “menenangkan” leluhur dengan memberikan sesaji. Pemberian sesaji kemudian dilarang oleh misionaris Kristen. Sebagai konsekuensinya, pengetahuan tentang menangani kekuatan supranatural pun menghilang. Yang tersisa hari ini hanyalah rasa cemas dan ketakutan saat berurusan dengan leluhur. Umumnya,, orang-orang di Pura hanya akan mendatangi tempatUmumnya tempat sakral tertentu saat mereka benar-benar membutuhkan bantuan dari para leluhur. Sedangkan untuk urusan kolonialisme, sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, Rodemeier mencatat bahwa Belanda menjalankan hukum antiperbudakan di masa pendudukannya sehingga orang-orang di Pura mulai berhenti menukarkan anak perempuan mereka dengan bahan makanan atau benda-benda kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain, Schröter menjabarkan bagaimana kekuasaan kolonial berpengaruh pada tata sosial di Ngada. Menurut Schröter yang
merujuk pada catatan Paul Arndt (1954: 50) dan cerita dari warga setempat, Ngada mengalami perubahan dari sistem kekerabatan patrilineal ke sistem kekerabatan matrilineal. Sebelum masa kolonial, Ngada adalah masyarakat petarung. Orang-orang hidup di lereng-lereng gunung sehingga mereka bisa mengawasi jika ada musuh yang datang menyerang. Dinding-dinding batu mengelilingi pemukiman mereka; ladang dan mata air sering kali
letaknya sangat jauh dan berjalan kaki merupakan hal yang sulit dan berbahaya. Dalam situasi seperti itu, laki-laki bertugas untuk menjaga perempuan dan melindungi mereka dari serangan.
118
119
Namun, sebab Ngada sangat menghargai kesetaraan, dominasi laki-laki dalam lingkup politik tidak bersifat mutlak. Pendapat
perempuan harus tetap dipertimbangkan dan perempuan yang sudah tua memiliki kuasa yang setara dengan laki-laki dalam menyampaikan menyampai kan pendapat dan mengambil keputusan. Poin ketiga adalah soal kolonialisme dan misionaris. Pura dan Ngada sama-sama pernah menjadi target misionaris Katolik sekaligus pernah dijajah oleh Belanda. Bedanya, jika sebagian besar penduduk Pura menganut Kristen, hampir semua penduduk Ngada menganut Katolik. Penduduk Pura mulai memeluk Kristen (yang disebarkan oleh misionaris Calvinis) sejak tahun 1910-an sedangkan penduduk Ngada telah menjadi target dari misionaris Katolik Societas Verbi Divini Divini (SVD) di sekitar tahun yang sama. Terkait Pura, misionaris Katolik berusaha untuk masuk ke sana sejak abad ke-16 namun tidak berhasil sebab sebagian besar penduduk memilih untuk memeluk Islam dan melakukan penolakan terhadap misi tersebut. Pendudukan Belanda sendiri berlangsung di dua wilayah itu pada waktu yang hampir bersamaan. Belanda mulai menempatkan petugas militernya di Alor (Pura masuk dalam wilayah Alor) sejak tahun 1906 sedangkan Captain Christoffel berhasil menaklukkan Ngada pada tahun 1907 dan pada 1909 administrasi Belanda mulai
menguasai Ngada. Pertanyaannya, bagaimana kolonialisme dan ajaran agama berpengaruh pada kehidupan masyarakat Pura dan Ngada? Rodemeier menuliskan soal misionaris Kristen yang meminta orang-orang di Pura untuk berhenti memuja dewa-dewa dan menghancurkan benda-benda sakral mereka. Pedang sakti seperti yang ada dalam kisah Bui Hangi adalah salah satu benda sakral yang dilarang oleh para misionaris Kristen. Para laki-laki lalu membuang pedang-pedang sakti mereka ke laut. Sebagai akibatnya, di musim kering, masyarakat Pura yang kesulitan air tidak lagi bisa menggunakan pedang-pedang tersebut untuk menggali tanah. Perempuan dan anak-anak yang dulunya bisa
berhenti dari tugas mengangkat air, harus kembali menjalankan tugas mereka. Sekali lagi perempuan dan anak-anak harus bolakbalik dari sumber air ke rumah demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Fenomena lain yang terekam oleh Rodemeier adalah ketakutan masyarakat Pura kepada para leluhur. Sebelum datangnya Kristen, masyarakat masyarak at tidak memiliki ketakutan tersebut sebab mereka tahu bagaimana “menenangkan” leluhur dengan memberikan sesaji. Pemberian sesaji kemudian dilarang oleh misionaris Kristen. Sebagai konsekuensinya, pengetahuan tentang menangani kekuatan supranatural pun menghilang. Yang tersisa hari ini hanyalah rasa cemas dan ketakutan saat berurusan dengan leluhur. Umumnya,, orang-orang di Pura hanya akan mendatangi tempatUmumnya tempat sakral tertentu saat mereka benar-benar membutuhkan bantuan dari para leluhur. Sedangkan untuk urusan kolonialisme, sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, Rodemeier mencatat bahwa Belanda menjalankan hukum antiperbudakan di masa pendudukannya sehingga orang-orang di Pura mulai berhenti menukarkan anak perempuan mereka dengan bahan makanan atau benda-benda kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain, Schröter menjabarkan bagaimana kekuasaan kolonial berpengaruh pada tata sosial di Ngada. Menurut Schröter yang
merujuk pada catatan Paul Arndt (1954: 50) dan cerita dari warga setempat, Ngada mengalami perubahan dari sistem kekerabatan patrilineal ke sistem kekerabatan matrilineal. Sebelum masa kolonial, Ngada adalah masyarakat petarung. Orang-orang hidup di lereng-lereng gunung sehingga mereka bisa mengawasi jika ada musuh yang datang menyerang. Dinding-dinding batu mengelilingi pemukiman mereka; ladang dan mata air sering kali
letaknya sangat jauh dan berjalan kaki merupakan hal yang sulit dan berbahaya. Dalam situasi seperti itu, laki-laki bertugas untuk menjaga perempuan dan melindungi mereka dari serangan.
120
121
Laki-laki yang ideal pada masa itu adalah pemimpin perang, yang menyukai kekerasan dan agresif. Laki-laki seperti itu umumnya
melakukan poligami. Mereka mendapatkan perempuan dengan memberikan hadiah atau kerbau air dan sejumlah emas. Yang dianggap sebagai laki-laki yang kuat adalah mereka yang memiliki kekuatan ekonomi untuk mendapatkan lebih dari satu istri. Hanya laki-laki miskin yang menikah secara matrilineal dan tinggal di rumah mertuanya hingga ia mampu membayar mahar. Anak yang lahir selama masa itu akan dimasukkan dalam garis keturunan ibunya. Beberapa laki-laki tidak dapat membayar maharnya dan menetap di rumah mertua untuk selamanya. Ketika Belanda menduduki Ngada, para laki-laki yang berkuasa tadi kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kekayaan mereka. Perbudakan dan perdagangan perempuan tidak lagi diizinkan dan para laki-laki yang berkuasa tadi tidak lagi boleh mengeksploitasi pengikutnya. Walau budaya patriarkat mulai terkikis, kelompok-kelompok laki-laki yang berkuasa tadi tidak lantas menghilang tapi sekadar berkurang. Misalnya, Misalnya, laki-laki yang berkuasa tadi tidak lagi memimpin pemberontakan tapi mulai memelihara babi dan kerbau. Kekayaan mereka diinvestasikan dalam bentuk perternakan hewan. Hal itu sekaligus menjadi penanda baru bagi status sosial seseorang. Orang berlomba-lomba menyembelih hewan ternak mereka di upacara besar. Semakin banyak yang mereka korbankan, semakin dipandang penting pula dirinya, keturunannya, atau bahkan desanya. Setelahnya, mulut kerbau dan babi akan digantung di bagian depan rumah sebagai pengingat akan kemakmuran rumah tersebut bagi generasi mendatang. Barulah pada tahun 1970-an, menurut Schröter orang di Ngada mulai berhenti
menimbun uang atau barang-barang berharga. Mereka juga mulai berhenti memberi mahar yang terlalu tinggi. Cukup dengan barter barang kebutuhan, makan besar bagi sanak saudara dan tetangga. Orang-orang Ngada bahkan mulai mengganti ideologi pernikahan mereka dan bangga menyatakan bahwa mereka tidak
lagi menjual anak perempuan mereka seperti yang dilakukan oleh nenek moyang mereka dahulu.6 Adapun pengaruh Katolik di Ngada tampak pada usaha para pemuka agama Katolik untuk membebaskan perempuan dan mengajarkan soal etika gender Katolik. Schröter mengaku
tiap melakukan wawancara dengan pastor, pasti mereka akan menyinggung soal eksploitasi yang dialami oleh perempuan Ngada. Eksploitasi yang dimaksud berpusat pada pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki. Perempuan memang memiliki porsi kerja yang sangat besar dibanding laki-laki. Sebagai ilustrasi, perempuan bekerja dari sejak bangun tidur hingga sebelum tidur. Perempuan bangun paling pagi dan tidur paling malam. Mereka memasak di dapur, merawat anak, mengurus ternak, mencuci piring, mencuci baju, mengambil air dari sumber air yang letaknya cukup jauh. Bukan hanya itu, mereka juga masih harus bekerja di luar rumah, misalnya menanam, menyiangi, dan memanen di ladang. Kerja sehari-hari merupakan tugas perempuan dan jika mereka tidak dapat melakukan tugas tersebut karena satu dan lain hal, mereka akan meminta anaknya, khususnya anak perempuan, untuk membantu. Jarang sekali perempuan meminta bantuan laki-laki untuk melakukan tugas-tugas tersebut. Laki-laki biasanya telah memiliki tugas sendiri, seperti membersihkan dan menggali lahan, membangun dan memperbaiki rumah. Beban kerja yang besar pada perempuan umumnya hanya terjadi dalam pola hidup tradisional. Pola yang sangat berbeda berlaku bagi keluarga yang telah terlibat dalam industri ekonomi modern, misalnya, laki-laki bekerja sebagai buruh di pembangunan jalan, sopir, atau tukang kayu. Meski beban kerja perempuan di sektor tradisional berat, Schröter melaporkan bahwa dari hasil
obrolannya dengan perempuan-perempuan Ngada, sebagian besar dari mereka memilih untuk bekerja keras sebab tidak ingin
6
Dirangkum dan dialihbahasakan dari tulisan Schröter.
120
121
Laki-laki yang ideal pada masa itu adalah pemimpin perang, yang menyukai kekerasan dan agresif. Laki-laki seperti itu umumnya
melakukan poligami. Mereka mendapatkan perempuan dengan memberikan hadiah atau kerbau air dan sejumlah emas. Yang dianggap sebagai laki-laki yang kuat adalah mereka yang memiliki kekuatan ekonomi untuk mendapatkan lebih dari satu istri. Hanya laki-laki miskin yang menikah secara matrilineal dan tinggal di rumah mertuanya hingga ia mampu membayar mahar. Anak yang lahir selama masa itu akan dimasukkan dalam garis keturunan ibunya. Beberapa laki-laki tidak dapat membayar maharnya dan menetap di rumah mertua untuk selamanya. Ketika Belanda menduduki Ngada, para laki-laki yang berkuasa tadi kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kekayaan mereka. Perbudakan dan perdagangan perempuan tidak lagi diizinkan dan para laki-laki yang berkuasa tadi tidak lagi boleh mengeksploitasi pengikutnya. Walau budaya patriarkat mulai terkikis, kelompok-kelompok laki-laki yang berkuasa tadi tidak lantas menghilang tapi sekadar berkurang. Misalnya, Misalnya, laki-laki yang berkuasa tadi tidak lagi memimpin pemberontakan tapi mulai memelihara babi dan kerbau. Kekayaan mereka diinvestasikan dalam bentuk perternakan hewan. Hal itu sekaligus menjadi penanda baru bagi status sosial seseorang. Orang berlomba-lomba menyembelih hewan ternak mereka di upacara besar. Semakin banyak yang mereka korbankan, semakin dipandang penting pula dirinya, keturunannya, atau bahkan desanya. Setelahnya, mulut kerbau dan babi akan digantung di bagian depan rumah sebagai pengingat akan kemakmuran rumah tersebut bagi generasi mendatang. Barulah pada tahun 1970-an, menurut Schröter orang di Ngada mulai berhenti
menimbun uang atau barang-barang berharga. Mereka juga mulai berhenti memberi mahar yang terlalu tinggi. Cukup dengan barter barang kebutuhan, makan besar bagi sanak saudara dan tetangga. Orang-orang Ngada bahkan mulai mengganti ideologi pernikahan mereka dan bangga menyatakan bahwa mereka tidak
lagi menjual anak perempuan mereka seperti yang dilakukan oleh nenek moyang mereka dahulu.6 Adapun pengaruh Katolik di Ngada tampak pada usaha para pemuka agama Katolik untuk membebaskan perempuan dan mengajarkan soal etika gender Katolik. Schröter mengaku
tiap melakukan wawancara dengan pastor, pasti mereka akan menyinggung soal eksploitasi yang dialami oleh perempuan Ngada. Eksploitasi yang dimaksud berpusat pada pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki. Perempuan memang memiliki porsi kerja yang sangat besar dibanding laki-laki. Sebagai ilustrasi, perempuan bekerja dari sejak bangun tidur hingga sebelum tidur. Perempuan bangun paling pagi dan tidur paling malam. Mereka memasak di dapur, merawat anak, mengurus ternak, mencuci piring, mencuci baju, mengambil air dari sumber air yang letaknya cukup jauh. Bukan hanya itu, mereka juga masih harus bekerja di luar rumah, misalnya menanam, menyiangi, dan memanen di ladang. Kerja sehari-hari merupakan tugas perempuan dan jika mereka tidak dapat melakukan tugas tersebut karena satu dan lain hal, mereka akan meminta anaknya, khususnya anak perempuan, untuk membantu. Jarang sekali perempuan meminta bantuan laki-laki untuk melakukan tugas-tugas tersebut. Laki-laki biasanya telah memiliki tugas sendiri, seperti membersihkan dan menggali lahan, membangun dan memperbaiki rumah. Beban kerja yang besar pada perempuan umumnya hanya terjadi dalam pola hidup tradisional. Pola yang sangat berbeda berlaku bagi keluarga yang telah terlibat dalam industri ekonomi modern, misalnya, laki-laki bekerja sebagai buruh di pembangunan jalan, sopir, atau tukang kayu. Meski beban kerja perempuan di sektor tradisional berat, Schröter melaporkan bahwa dari hasil
obrolannya dengan perempuan-perempuan Ngada, sebagian besar dari mereka memilih untuk bekerja keras sebab tidak ingin
6
Dirangkum dan dialihbahasakan dari tulisan Schröter.
122
123
tergantung pada suami mereka. Hanya dengan begitu mereka bisa menjadi independen dan tidak perlu takut kalau-kalau suami mereka meninggalkan mereka. Terkait dengan penjabaran di atas, saya mencatat bahwa saat menyinggung soal kekuasaan kolonial Belanda, baik
pandangan perempuan Ngada tentang bekerja keras sebagai bentuk kemandirian ekonomi. Pandangan yang sangat berbeda dengan pandangan pastor Katolik yang melihat bahwa kerja keras yang dilakukan oleh perempuan Ngada adalah bentuk eksploitasi dan karenanya mereka butuh dibebaskan serta diajari etika gender Katolik.
Rodemeier pun Schröter cenderung menunjukkan bagaimana
kekuasaan tersebut mengubah kehidupan masyarakat di Pura dan Ngada dari melakukan praktik (meminjam istilah mereka) perdagangan/perbudakan perempuan menjadi tidak. Dengan hanya menampilkan hal tersebut saat menyinggung kolonialisme yang dalam sejarahnya selalu mengakibatkan berbagai perubahan besar dalam tatanan sosial, Rodemeier dan Schröter seolah menyederhanakan dampak dari kolonialisme. Belum lagi fakta
bahwa hilangnya praktik perdagangan/perbudakan perempuan adalah sesuatu yang baik, walau Rodemeier dan Schröter tidak
melakukan (atau bahkan menyiratkan) proses penilaian baik dan buruk hal tersebut dalam tulisan masing-masing. Di titik ini, menurut saya, keduanya riskan menimbulkan anggapan yang bias tentang kolonialisme Belanda di kedua wilayah tersebut. Orang jadi bisa memandang bahwa bahwa kolonialisme Belanda Belanda setidaknya membawa perubahan yang baik bagi masyarakat di Pura dan Ngada. Itu sedikit berbeda dengan pembahasan mereka tentang pengaruh misionaris di Pura dan Ngada. Rodemeier dan Schröter
tampak lebih kritis saat menjabarkan perubahan-perubahan masyarakat masyarak at yang disebabkan oleh misionaris Kristen dan Katolik. Sebagai contoh, Rodemeier menunjukkan bagaimana ajaran dan larangan dari gereja Kristen membuat orang-orang Pura berhenti menggunakan pedang sakti mereka sehingga perempuan dan anak-anak harus bekerja keras mengangkat air lagi, khususnya saat kekeringan. Atau bagaimana larangan memberikan sesaji yang dikeluarkan oleh gereja membuat masyarakat Pura jadi ketakutan dengan leluhurnya dan gagap saat harus berkomunikasi dengan mereka. Schröter juga dengan kritis menghadirkan
Pandangan kritis Rodemeier dan Schröter itu menarik bagi
saya. Sayangnya, di dalam tulisan masing-masing, mereka luput menunjukkan bagaimana hubungan antara kolonialisme dan misionaris. Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa ada hubungan yang cukup kompleks antara kolonialisme dan misionaris. Kita tentu ingat dengan semboyan gold, glory, gospel yang popular itu. Namun, Rodemeier dan Schröter sama sekali
tidak meluangkan waktu untuk sedikit saja membahas kelindan di antara keduanya. Luputnya pembahasan tentang hubungan di antara keduanya mengesankan bahwa kolonialisme dan misi penyebaran agama adalah dua hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dalam konteks Pura dan Ngada dan karenanya sejarah serta dampak keduanya bisa dibahas secara terpisah. Padahal kita tahu bahwa perkaranya tidak sesederhana itu.**
122
123
tergantung pada suami mereka. Hanya dengan begitu mereka bisa menjadi independen dan tidak perlu takut kalau-kalau suami mereka meninggalkan mereka. Terkait dengan penjabaran di atas, saya mencatat bahwa saat menyinggung soal kekuasaan kolonial Belanda, baik
pandangan perempuan Ngada tentang bekerja keras sebagai bentuk kemandirian ekonomi. Pandangan yang sangat berbeda dengan pandangan pastor Katolik yang melihat bahwa kerja keras yang dilakukan oleh perempuan Ngada adalah bentuk eksploitasi dan karenanya mereka butuh dibebaskan serta diajari etika gender Katolik.
Rodemeier pun Schröter cenderung menunjukkan bagaimana
kekuasaan tersebut mengubah kehidupan masyarakat di Pura dan Ngada dari melakukan praktik (meminjam istilah mereka) perdagangan/perbudakan perempuan menjadi tidak. Dengan hanya menampilkan hal tersebut saat menyinggung kolonialisme yang dalam sejarahnya selalu mengakibatkan berbagai perubahan besar dalam tatanan sosial, Rodemeier dan Schröter seolah menyederhanakan dampak dari kolonialisme. Belum lagi fakta
bahwa hilangnya praktik perdagangan/perbudakan perempuan adalah sesuatu yang baik, walau Rodemeier dan Schröter tidak
melakukan (atau bahkan menyiratkan) proses penilaian baik dan buruk hal tersebut dalam tulisan masing-masing. Di titik ini, menurut saya, keduanya riskan menimbulkan anggapan yang bias tentang kolonialisme Belanda di kedua wilayah tersebut. Orang jadi bisa memandang bahwa bahwa kolonialisme Belanda Belanda setidaknya membawa perubahan yang baik bagi masyarakat di Pura dan Ngada.
Pandangan kritis Rodemeier dan Schröter itu menarik bagi
saya. Sayangnya, di dalam tulisan masing-masing, mereka luput menunjukkan bagaimana hubungan antara kolonialisme dan misionaris. Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa ada hubungan yang cukup kompleks antara kolonialisme dan misionaris. Kita tentu ingat dengan semboyan gold, glory, gospel yang popular itu. Namun, Rodemeier dan Schröter sama sekali
tidak meluangkan waktu untuk sedikit saja membahas kelindan di antara keduanya. Luputnya pembahasan tentang hubungan di antara keduanya mengesankan bahwa kolonialisme dan misi penyebaran agama adalah dua hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dalam konteks Pura dan Ngada dan karenanya sejarah serta dampak keduanya bisa dibahas secara terpisah. Padahal kita tahu bahwa perkaranya tidak sesederhana itu.**
Itu sedikit berbeda dengan pembahasan mereka tentang pengaruh misionaris di Pura dan Ngada. Rodemeier dan Schröter
tampak lebih kritis saat menjabarkan perubahan-perubahan masyarakat masyarak at yang disebabkan oleh misionaris Kristen dan Katolik. Sebagai contoh, Rodemeier menunjukkan bagaimana ajaran dan larangan dari gereja Kristen membuat orang-orang Pura berhenti menggunakan pedang sakti mereka sehingga perempuan dan anak-anak harus bekerja keras mengangkat air lagi, khususnya saat kekeringan. Atau bagaimana larangan memberikan sesaji yang dikeluarkan oleh gereja membuat masyarakat Pura jadi ketakutan dengan leluhurnya dan gagap saat harus berkomunikasi dengan mereka. Schröter juga dengan kritis menghadirkan
125
Kordinator Produksi Ferial Aiff Peneliti Agung Firmanto Budiharto, Amarawati Ayuningtyas, Ferial Aiff, Jameela Khan, Opée Wardhany, Wardhany, Sita Magira Penyunting
Maria Puspitasari Munthe Ilustrasi
Irindhita Laras Putri Desain
Irindhita Laras Putri Transkripsi
Alit Mranani, Fredy Hendra, Paschalis Serty Canny Widarsi, Uniph Kahi
KOLOFON
Penerjemah
Idaman Andarmosoko, Maria Puspitasari Munthe Ucapan Terima Kasih Alfred W Djami, Antonia Lika Rasi, Birmingham Open Media, Dicky Senda, Fallo Dance, Feny Adu, Filo Loe, Herman Efriyanto Tanouf, Herman Seran, Jude D’Lorenzo Taolin, Lanny Koroh,
Laurensius Koli, Marina Fiola Fernandez, Martina Habo, Martinus Seran, Matius Anin, Maun Anato Moeira, Olvianus Dodi Lado, Pah Sae, Romo Jimmy, Toni Leik, Usif Nama Benu, Yakobus, Yohanes Usiit, Yopie Liliweri, serta keluarga besar di Pulau Timor Barat &
Pulau Rote yang tidak dapat kami sebutkan seluruhnya. Kritik dan Saran
[email protected] Didukung oleh
Diproduksi oleh www.lifepatch.org
125
Kordinator Produksi Ferial Aiff Peneliti Agung Firmanto Budiharto, Amarawati Ayuningtyas, Ferial Aiff, Jameela Khan, Opée Wardhany, Wardhany, Sita Magira Penyunting
Maria Puspitasari Munthe Ilustrasi
Irindhita Laras Putri Desain
Irindhita Laras Putri Transkripsi
Alit Mranani, Fredy Hendra, Paschalis Serty Canny Widarsi, Uniph Kahi
KOLOFON
Penerjemah
Idaman Andarmosoko, Maria Puspitasari Munthe Ucapan Terima Kasih Alfred W Djami, Antonia Lika Rasi, Birmingham Open Media, Dicky Senda, Fallo Dance, Feny Adu, Filo Loe, Herman Efriyanto Tanouf, Herman Seran, Jude D’Lorenzo Taolin, Lanny Koroh,
Laurensius Koli, Marina Fiola Fernandez, Martina Habo, Martinus Seran, Matius Anin, Maun Anato Moeira, Olvianus Dodi Lado, Pah Sae, Romo Jimmy, Toni Leik, Usif Nama Benu, Yakobus, Yohanes Usiit, Yopie Liliweri, serta keluarga besar di Pulau Timor Barat &
Pulau Rote yang tidak dapat kami sebutkan seluruhnya. Kritik dan Saran
[email protected] Didukung oleh
Diproduksi oleh www.lifepatch.org