"1 "PENDAHULUAN "
"Tujuan Instruksional Umum "Setelah mengikuti mata kuliah ini "
"(TIU) "mahasiswa dapat menjelaskan dan "
" "membedakan teknik-teknik pengolahan "
" "berbagai bahan pakan ternak dan pada"
" "akhirnya menentukan strategi untuk "
" "mempertahankan mutu serta "
" "meningkatkan nilai nutrisi bahan "
" "pakan. "
"Tujuan Instruksional Khusus "Setelah mengikuti kuliah pendahuluan"
"(TIK) "mahasiswa dapat menjelaskan "
" "pengertian dan membedakan "
" "teknik-teknik teknologi pengolahan "
" "berbagai pakan, manajemen pengolahan"
" "dan pengawetan pakan minimal 90% "
" "benar. "
Uraian:
1.1. Pengertian dan Tujuan Pengolahan Pakan
Pengolahan pakan merupakan suatu kegiatan untuk mengubah pakan
tunggal atau campuran menjadi bahan pakan baru atau pakan olahan. Bahan
pakan baru yang dihasilkan dari proses pengolahan diharapkan mengalami
peningkatan kualitas. Proses pengolahan pakan ini mempunyai beberapa
tujuan, diantaranya adalah :
1.1.1. Untuk meningkatkan kualitas bahan
Bahan pakan yang kualitasnya rendah (kandungan serat kasarnya tinggi
dan kandungan protein kasarnya rendah) dapat ditingkatkan kualitasnya
melalui pengolahan baik secara mekanik, fisik, biologi, kimia maupun
gabungan berbagai cara pengolahan
1.1.2. Memudahkan penyimpanan
Pengolahan pada bahan pakan dapat menjadikan suatu bahan pakan lebih
kecil ukurannya dan lebih homogen sehingga memudahkan dalam penyimpanan.
1.1.3. Pengawetan
Pengolahan dapat digunakan untuk tujuan pengawetan sehingga dapat
mempertahankan kualitas dari bahan pakan
1.1.4. Untuk meningkatkan palatabilitas
Palatabilitas pakan dapat ditingkatkan melalui proses pengolahan
pakan yang sesuai dengan jenis, umur dan fase hidup ternak
1.1.5. Untuk meningkatkan efisiensi pakan
Peningkatan kualitas pakan melalui proses pengolahan akan
meningkatkan produktivitas ternak yang mencerminkan peningkatan efisiensi
pakan.
1.1.6. Untuk memudahkan handling dan mixing pada pembuatan pakan jadi.
Pembuatan pakan jadi meliputi tahapan persiapan bahan pakan,
penimbangan bahan pakan, penggilingan bahan pakan, pencampuran dan
pengemasan pakan jadi. Pengaturan tahapan proses pengolahan pakan tersebut
akan menghasilkan kualitas pakan jadi yang meningkat.
1.2. Cara Pengolahan pakan
Pemilihan terhadap cara pengolahan yang tepat terhadap bahan pakan
perlu dilakukan sehingga pengolahan yang dilakukan akan benar-benar
bermanfaat meningkatkan kualitas nutrisinya. Secara umum, pengolahan pakan
dapat dilakukan melalui 5 macam cara :
1.2.1. Pengolahan mekanik
1.2.2. Pengolahan fisik
1.2.3. Pengolahan kimia
1.2.4. Pengolahan Biologi
1.2.5. Gabungan dari keempat cara diatas
1.2.1. Pengolahan Mekanik
Pengolahan mekanik merupakan suatu upaya untuk mengubah sifat pakan
melalui proses mekanik. Pengolahan mekanik mencakup :
Dehulling
Dehulling adalah proses pengolahan untuk melepaskan atau memecahkan
kulit luar biji-bijian, kacang-kacangan atau buah-buahan. Bahan pakan yang
telah mengalami proses dehulling akan terpisah antara kulit dengan bijinya.
Kulit yang dihasilkan dari proses dehulling ini merupakan limbah pertanian
yang berpotensi sebagai bahan pakan, hanya saja kualitasnya yang rendah
memerlukan cara pengolahan lebih lanjut untuk dapat dipergunakan sebagai
bahan pakan.
Grinding
Grinding adalah pengolahan pakan dengan cara memperkecil partikel-
partikel bahan sehingga dapat meningkatkan luas permukaan bahan. Ukuran
partikel yang diperoleh sesuai dengan ukuran saringan yang dipakai pada
mesin grinder. Tipe mesin grinder yang biasa dipakai adalah : diskmikll,
hammermill dan rollermill. Perbedaan ketiga tipe mesin yang digunakan
terletak pada bentuk dan cara penghancuran bahan. Diskmill mempunyai alat
penghancur berupa lempengan yang dapat menggerus dan mengoyak bahan pakan
sehingga hancur. Hammer mill berbentuk palu yang memukul bahan pakan
sehingga hancur sedangkan rollermill berbentuk silinder yang menekan bahan
pakan.
Rolling
Rolling adalah proses menekan bahan ke dalam pencetak berbentuk
silinder. Proses pengolahan pakan dengan cara rolling tanpa penambahan uap
air disebut dry rolling. Proses pengolahan pakan dengan cara rolling dan
diberi uap air selama 1 – 8 menit disebut steam rolling. Fungsi dari cara
pengolahan ini adalah untuk memperlunak bahan dan meningkatkan
palatabilitas
Chopping
Chopping adalah proses pengolahan bahan pakan (biasanya hijauan untuk
ternak ruminansia) dengan cara pencacahan atau pemotongan dengan panjang
antara 2 – 5 cm. Fungsi dari Chopping adalah memperkecil ukuran bahan dan
menghindari sifat memilih dari ternak.
1.2.2. Pengolahan Fisik
Pengolahan fisik merupakan upaya mengubah sifat pakan melalui proses
atau perlakuan perubahan temperatur sehingga pakan pada akhir proses akan
mengalami penurunan kandungan air. Besarnya temperatur dan lama proses
pengolahan harus diperhatikan untuk mencegah hal-hal sebagai berikut :
- Terjadinya kerusakan asam amino esensial (terutama Lysin dan Methionin)
- Perubahan sifat kimia dan fisik pati menjadi bentuk seperti gelatin
- Merusak vitamin yang thermolabil (Vitamin B dan C)
- Merusak ikatan lemak tak jenuh
Keuntungan pengolahan fisik ini adalah :
- memperpanjang masa simpan bahan pakan
- menginaktifkan beberapa zat antinutrisi (contoh : antitrypsin dalam
kedelai mentah dan HCN dalam ubikayu)
Tipe pengolahan fisik ada 2, yaitu : alami dan buatan (artificial)
Tipe pengolahan alami dengan menggunakan kekuatan alam yaitu panas
matahari dan angin (Sun drying). Keuntungan tipe pengolahan ini adalah
proses pengeringan dengan biaya murah dan memperoleh sinar ultraviolet yang
dapat membantu mengurangi pertumbuhan mikrobia yang merugikan (pada proses
yang sesuai). Intensitas panas matahari yang optimal kurang lebih 40(C
sampai 50(C pada pukul 09.00 sampai dengan 15.00 (kondisi terik). Kelemahan
tipe pengolahan ini adalah proses tergantung cuaca, perlu banyak tenaga,
tempat yang luas dan waktu yang lama.
Tipe pengolahan buatan dengan bantuan mesin pengering (oven, pengering
terowongan (tunnel), pengering berputar dan lainnya). Kelebihan tipe
pengolahan ini adalah hemat tempat, waktu dan tenaga. Kelemahan yang perlu
diperhatikan dalam tipe pengolahan ini adalah :
- Hilangnya zat-zat yang sifatnya volatile
- Terjadinya perubahan sifat fisik dan kimia bahan
- Kemungkinan hilangnya vitamin yang thermolabil
1.2.3. Pengolahan Kimia
Pengolahan kimia merupakan upaya mengubah sifat pakan melalui
penambahan bahan kimia. Pengolahan kimia dapat dilakukan dengan penambahan
alkali, dan penambahan asam.
Penambahan alkali
Perlakuan alkali menyebabkan suasana basa dengan pH > 7,0
dengan menggunakan bahan kimia alkali seperti NaOH, KOH, Ca(OH)2, ammonia
anhydrous (gas atau cairan), urea, garam ammonium ataupun bahan lain
(manure ayam, feses, urine, abu gosok). Perlakuan alkali diperlukan pada
bahan pakan limbah pertanian dengan kandungan serat kasar yang tinggi
selain adanya ikatan (-1,4 glycosida juga terjadi lignifikasi dari bagian
selulosa yang menyebabkan sukar dicerna.
Terdapat 2 cara perlakuan kimia dengan alkali, yaitu :
- Cara basah (cara perendaman)
- Cara kering (cara penyemprotan)
Pengolahan dengan penambahan alkali mampu meningkatkan koefisien cerna,
disebabkan :
- Larutnya sebagian silikat dan lignin
- Bengkaknya jaringan akibat lepasnya sebagian ikatan hydrogen diantara
molekul selulosa
- Terhidrolisisnya ikatan ester pada gugus asam uronat diantara
selulosa dan hemiselulosa yang memudahkan penetrasi enzim pencernaan
Pengolahan alkali dapat juga dilakukan dengan penambahan amonia yang
digunakan sebagai fungisidal dan bakterisida sehingga dapat berfungsi
sebagai pengawet. Amonia dapat berikatan dengan gugus asetat dari bahan
pakan (jerami) menjadi garam ammonium asetat dan dapat menjadi sumber
nitrogen bagi mikrobia rumen.
Keuntungan dari proses amoniasi :
- Menambah kandungan protein kasar (ekivalen 3 – 10%) dalam bentuk
nitrogen bukan protein (NPN)
- Meningkatkan jumlah zat makanan tercerna (TDN = Total Digestible
Nutrient sebesar 3 – 23 %)
- Meningkatkan konsumsi pakan 20 – 27%
- Mencegah tumbuhnya jamur
- Tidak ada residu mineral pada produk amoniasi
Penambahan asam
Perlakuan asam menyebabkan suasana basa dengan pH < 5,0 dengan
menggunakan bahan kimia asam (asam kuat, asam organic dll). Keuntungan
perlakuan asam, yaitu :
- Meningkatkan kualitas bahan pakan yang rendah kualitasnya, mampu
merenggangkan/ memecah ikatan serat kasar dan protein kasar yang sulit
dicerna
- Meningkatkan konsumsi pakan konsentrat berkualitas rendah (meningkat
dari 10% menjadi 50%)
- Meningkatkan potensi kecernaan dinding sel pakan konsentrat sumber
energi
Kelemahan perlakuan asam adalah :
- Bahan kimia yang digunakan bersifat korosif, kadang –kadang bersifat
toksik dan adanya residu mineral
- Produk yang dihasilkan bersifat asam sehingga perlu diangin-anginkan
sebelum diberikan ke ternak
1.2.4. Pengolahan Biologi
Pengolahan bahan pakan secara biologi dilakukan dengan enzim melalui
bantuan mikrobia yang sesuai yang disebut proses fermentasi. Umumnya
mikrobia yang digunakan adalah mikrobia selulolitik (untuk mendegradasi
serat kasar), mikrobia yang dapat mendegradasi keratin (protein sulit
dicerna), atau mikrobia yang mampu mengeliminasi zat antinutrisi (tannin,
mimosin dan lainnya). Kelebihan perlakuan secara biologis ini adalah waktu
singkat dan efisien, tidak tergantung cuaca tetapi perlu kondisi yang
optimum bagi pertumbuhan mikrobia (suhu, kelembaban, pH dan lainnya).
Pengolahan secara biologi juga dapat dilakukan dengan penambahan
preparat enzim langsung. Penambahan enzim secara langsung biasanya
dilakukan dengan menggunakan enzim kasar (Crude enzim) sehingga waktu yang
dibutuhkan singkat dan efisien tetapi preparat enzim yang digunakan mahal.
1.2.5. Pengolahan secara gabungan
Pengolahan gabungan adalah pengolahan yang dilakukan dengan
menggabungkan beberapa cara pengolahan (mekanik, fisik, kimia dan biologi).
Pengolahan gabungan ini dilakukan pada bahan pakan yang kualitasnya sangat
rendah dan atau bahan yang kandungan zat antinutrisinya tinggi. Contoh :
Perlakuan awal penggilingan pada bahan pakan akan memperluas permukaan
bahan yang kemudian jika dilakukan pengolahan secara biologi (fermentasi)
akan sangat memudahkan penetrasi enzim mikrobia.
Rangkuman:
Tujuan pengolahan pakan:
1. Pengawetan pakan
2. Penyesuaian ukuran dengan kebutuhan
3. Mengatur kadar air bahan
4. Menjadikan limbah lebih kompak
5. Meningkatkan palatabilitas
6. Meningkatkan/menstabilkan nilai nutrisi
7. Mengurangi bau, jamur, salmonella
8. Suplementasi dan proteksi nutrisi
Strategi pengolahan pakan:
1. Pengolahan mekanik
2. Pengolahan fisik
3. Pengolahan kimia
4. Pengolahan biologi
5. Gabungan dari keempat cara di atas
Tugas:
1. Buatlah penjelasan tentang perbedaan pengolahan dan pengawetan.
Apa
manfaat, fungsi dan tujuan kedua jenis proses tersebut?
2. Berikan contoh teknologi untuk masing-masing strategi pengolahan
pada
pakan hijauan maupun bijian.
Referensi:
Pfost, H.B. 1964. Feed Production Handbook. Feed Production School Inc.
Kansas
City
McEllhiary,R.R. 1994 Feed Manufacturing Technology IV. Am. Feed Industry
Assoc.
Inc. Arlington
"2 "STRATEGI PENGOLAHAN BIJIAN "
"Tujuan Instruksional Umum "Setelah mengikuti mata kuliah ini "
"(TIU) "mahasiswa dapat menjelaskan dan "
" "membedakan teknik-teknik pengolahan "
" "berbagai bahan pakan ternak dan pada"
" "akhirnya menentukan strategi untuk "
" "mempertahankan mutu serta "
" "meningkatkan nilai nutrisi bahan "
" "pakan. "
"Tujuan Instruksional Khusus "Setelah mengikuti kuliah dengan sub "
"(TIK) "pokok bahasan strategi pengolahan "
" "bijian, mahasiswa dapat menjelaskan "
" "dan membedakan teknik-teknik "
" "pengolahan pakan bijian dan "
" "konsentrat secara runut mulai dari "
" "penggilingan sampai dengan "
" "pengemasan minimal 90% benar. "
Uraian:
Pengelolaan pakan merupakan upaya aplikasi teknologi dan strategi
sejak penerimaan bahan pakan hingga ke penyimpanan dan distribusinya.
Strategi diupayakan agar dapat mengantisipasi sifat fisik dan sifat kimia
bahan/pakan serta mempertahankan kualitasnya agar tetap sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan (pengolahan, penyebaran dan penggunaan).
Prinsip pengelolaan adalah
menjaga kebersihan dan kemurnian bahan,
menekan kerusakan akibat proses eksternal (hama & lingkungan)dan
internal (kimia),
menekan pertumbuhan dan kontaminasi organisme, serta
pengaturan ketepatan waktu proses penyimpanan dan siklus produksi.
2.1. Penerimaan (pengadaan bahan pakan)
Bagian penerimaan dimulai dari area lalu lintas kendaraan/mobil atau
truk ditempatkan; terletak di luar area pembongkaran. Tahap ini meliputi
menerima, mengeringkan, membersihkan, menyimpan, dan mengelola bahan pakan
/ material sampai dengan tahap berikutnya. Pengelolaan pada tahap ini
ditujukan untuk semua bahan baku / material yang termasuk
jugapenerimaan/pengadaan kantong kosong dan persediaan lain. Proses
diakhiri diakhiri sampai pada saat material ditempatkan; ditempatkan
sementara dimanapun baik di (dalam) bak/peti [gudang/penyimpanan] atau di
(dalam) gudang penerima, termasuk juga pekerjaan mengelola dan atau
mengkondisikan semua material sesuai keperluan.
Di dalam penanganan bahan pakan, terkait langkah-langkah pengangkutan
& distribusi serta pengepakan, dan penyimpanan. Faktor yang berpengaruh
terhadap keberhasilan manajemen pakan adalah:
(a) Densitas dan kadar air
(b) Kapabilitas operator dan fasilitas pendukung
(c) Pilihan metode/cara
(d) Diskripsi layanan
Dalam pengelolaan pakan, kategori bahan menjadi pertimbangan utama dalam
penetapan teknologi dan strategi pengelolaannya. Untuk kemudian dilanjutkan
sebagai dasar dalam perencanaan dan penjadwalan. Perencanaan dan
penjadwalan hendaknya mempertimbangkan aspek berikut:
Banyaknya macam bahan yang akan digunakan,
Tipe dan karakteristik bahan,
Sirkulasi (penerimaan-penggunaan),
Sistem transportasi dan jumlah setiap pengiriman,
Proses tambahan/pendahuluan,
Antisipasi terhadap pemanfaatan bahan, dan
Efisiensi dan pembiayaan
Penanganan bahan/pakan secara ideal dapat dilakukan dengan mengikuti
model manajemen dasar, yaitu: mulai dari mengapa, kemudian apa, dimana dan
kapan, selanjutnya bagaimana dan siapa (Ilustrasi 1). Mengapa penting atau
tidak penting untuk melakukan sesuatu, misalnya pengadaan bahan pakan,
perawatan mesin, formulasi ransum dll, merupakan langkah awal proses
pengelolaan bahan pakan. Jika memang hal tersebut dipandang penting,
kemudian apa yang akan dilakukan merupakan langkah berikut yang harus
diatur strateginya, apakah melakukan survey untuk pengadaan material, atau
langsung memesan / membeli. Tahap ini harus mempertimbangkan tentang aspek
karakteristik bahan, jumlah dan tipe dari material. Material menyangkut
faktor tipe material seperti padat, cair, gas; karakteristik seperti
bentuk, demensi, suhu, dll; serta jumlah minimum/maksimum, bulanan/tahunan,
dll.
Ilustrasi 1. Model manajemen dasar penanganan bahan pakan
Gerak/pergerakan material adalah aspek kapan dan dimana. Dalam hal ini
faktor yang harus diperhatikan adalah:
sumber, menyangkut scope (daerah, tempat, dll) dan route (datar,
melingkar, dll);
logistik, seperti di dalam/luar pabrik, load/unload level, load/unload
method,
karakteristik pergerakan, seperti jarak, frekuensi, kecepatan, urutan;
serta
tipe pergerakan, seperti transporting, conveying, elevating,
transfering
Pemahaman atas material dan pergerakan serta pertimbangan atas bagaimana
dan siapa merupakan dasar penetapan metode penanganan. Dalam hal ini
faktor yang harus diperhitungkan adalah:
unit penanganan yang meliputi jumlah, berat, kontainer, load support,
dll;
peralatan yang meliputi kapasitas, karakteristik, tipe, fungsi, biaya;
man power yang meliputi cost/time, number/time serta time/movement
Model pengananan juga harus mempertimbangkan kendala fisik seperti area,
ketinggian, ukuran pintu, kapasitas/kemampuan lantai, elevator,
pergudangan, dll.
2.2. Pengolahan Material
Proses pengolahan material dimulai dengan pengelolaan material yang
disimpan di (dalam) bak / peti [gudang /penyimpanan]. Termasuk di dalamnya
pengurangan ukuran material, pengepresan kering (crimping) dan pembuatan
kepingan-kepingan kecil kering (flaking). Pengelolaan juga meliputi semua
tahapan bergeraknya material ke dan dari peralatan prosesing yang berakhir
sebagai bahan setengah jadi yang ditempatkan / disimpan di dalam bak/peti
(bin) siap untuk dikemas atau juga didistribusikan langsung kepada
konsumen.
2.3. Pencampuran
Bagian ini dimulai dengan pengelolaan material yang akan digunakan
pada berbagai proporsi ransum dan pencampurannya di dalam bak/peti atau di
dalam gudang. Proses pergerakan semua material yang digunakan di dalam
pencampuran juga termasuk aspek yang dikelola. Semua proses penimbangan
juga termasuk di dalam tahap ini seperti halnya fungsi pencampuran yang
mencakup penambahan cairan. Tahap ini diakhiri ketika pakan yang dicampur
ditempatkan dalam partai besar ke dalam bak/peti yang besar (bins),
bak/peti pengemas (sacking bins), atau bak/peti penyimpan (holding bins)
untuk melanjutkan proses berikutnya..
2.4. Pembuatan Pellet
Tahap ini meliputi pembuatan pellet (pelleting), pengepresan
(extrusion), dan pencetakan (blocking). Produksi dimulai dengan mencampur
pakan dari dalam bak/peti penyimpanan yang terletak di atas mesin pembuatan
pellet (pellet mills), mesin pengepres/penekan (extruders), atau mesin
pencetak (blockers) dan semua aktivitas yang berhubungan dengan operasional
sistem tersebut serta pergerakan pakan ke tempat pencurahan bahan jadi
(bulk load out) atau bak/peti pengemas (sacking bins).
Pelet merupakan bentuk bahan pakan yang dipadatkan sedemikian rupa
dari bahan konsentrat atau hijauan dengan tujuan untuk mengurangi sifat
keambaan pakan (Parker, 1988). Patrick dan Schaible (1979) menjelaskan
keuntungan pakan bentuk pelet adalah meningkatkan konsumsi dan efisiensi
pakan, meningkatkan kadar energi metabolis pakan, membunuh bakteri patogen,
menurunkan jumlah pakan yang tercecer, memperpanjang lama penyimpanan,
menjamin keseimbangan zat-zat nutrisi pakan dan mencegah oksidasi vitamin.
Stevent (1981) menjelaskan lebih lanjut keuntungan pakan bentuk pelet
adalah 1) meningkatkan densitas pakan sehingga mengurangi keambaan,
mengurangi tempat penyimpanan, menekan biaya transportasi, memudahkan
penanganan dan penyajian pakan; 2) densitas yang tinggi akan meningkatkan
konsumsi pakan dan mengurangi pakan yang tercecer; 3) mencegah "de-mixing"
yaitu peruraian kembali komponen penyusun pelet sehingga konsumsi pakan
sesuai dengan kebutuhan standar.
Ada dua cara yang dapat ditempuh dalam pembuatan pakan berbentuk
pelet, yaitu secara manual dan atau dengan menggunakan mesin (feedmill).
Pembuatan pakan secara manual dilakukan dengan menggunakan alat-alat yang
sederhana. Alat yang dipergunakan adalah sekop (paddle) atau drum yang
dirancang dengan mengunakan prinsip kerja mixer.
Cara yang kedua dengan menggunakan mesin. Mesin pembuat pakan ini
terdiri atas mesin-mesin penggiling (hammermill), mesin penimbang
(weigher), mesin pemusing (cyclone), mesin pengangkat/pemindah bahan
(auger, elevator), mesin penghembus (blower), mesin pencampur (mixer), dan
mesin pembuat pelet. Untuk pembuatan pelet menggunakan alat blower, boiler,
mash bin, cooler, die, screw conveyor, mixer, vibrator dan transporter.
2.4.1. Proses Pengolahan Pelet
Proses pengolahan pelet terdiri dari 3 tahap, yaitu pengolahan
pendahuluan, pembuatan pelet dan perlakuan akhir.
Pengolahan Pendahuluan
Proses pendahuluan ditujukan untuk pemecahan dan pemisahan bahan-bahan
pencemar atau kotoran dari bahan yang akan digunakan. Setelah seluruh bahan
baku disiapkan, tahap selanjutnya adalah menggiling bahan baku tersebut.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan ukuran partikel yang seragam--berbentuk
tepung (mash). Peralatan yang digunakan adalah mesin penggiling atau
penghalus yang bisa digerakkan motor listrik atau motor bakar yang bahan
bakarnya bisa berupa bensin atau solar. Alat ini dikenal dengan nama disk
mill dan hammer mill.
Bahan baku berupa jagung kuning, dedak, bungkil kedelai dan bungkil
kelapa digiling halus. Sementara itu, tepung ikan tidak perlu digiling lagi
karena bahan baku ini sudah dalam bentuk tepung. Lain halnya jika
menggunakan ikan lokal yang sudah dikeringkan, tetapi belum digiling
menjadi tepung. Dengan membuat bahan baku menjadi partikel yang lebih
kecil, laju oksidasi kemungkinan bisa berlangsung lebih cepat. Untuk itu
diperlukan cara untuk menekan laju oksidasi, yakni dengan menambahkan
antioksidan ke dalam bahan tepung tersebut, baik saat penggilingan maupun
setelah menjadi tepung.
Seluruh bahan yang telah digiling, ditimbang dengan menggunakan
timbangan duduk. Pastikan berat setiap bahan sesuai dengan keperluannya.
Selanjutnya, bahan – bahan tersebut dicampurkan. Pencampuran bisa
menggunakan berbagai macam mesin pengaduk (mixer), tipe vertikal, tipe
horisontal, drum mixer dan mixer yang biasa digunakan untuk mengaduk beton
atau beton molen. Pencampuran bahan – bahan baku pakan bisa juga digunakan
secara manual dengan menggunakan cangkul atau sekop dan beralaskan papan.
Untuk bahan baku dengan jumlah sedikit, terlebih dahulu dilakukan pre-
mixing atau pencampuran awal. Bahan yang dicampur pada tahap awal meliputi
vitamin, mineral, kalsium karbonat, asam amino kristal, pemacu pertumbuhan,
koksidiostat dan antioksidan. Penimbangan bahan – bahan ini harus dilakukan
dengan timbangan yang mempunyai tingkat ketelitian tinggi.
Setidaknya diperlukan waktu 15 menit untuk mencampur bahan pakan
dengan menggunakan mesin pencampur jenis beton molen supaya diperoleh
campuran yang merata. Apabila digunakan mixer horisontal, diperlukan waktu
pencampuran lebih singkat.
Tahap akhir pencampuran adalah menambahkan bahan baku cairan, yaitu
minyak kelapa dengan menggunakan sprayer atau penyemprot sambil terus
dilakukan pengadukan. Jika dalam formula pakan diperlukan bahan baku cair,
sebaiknya alat yang digunakan berupa beton molen. Beton molen ini umumnya
mempunyai dua kapasitas volume. Ini berbeda halnya dengan mixer jenis lain
yang mempunyai kapasitas beragam, hingga 1.000 kg campuran pakan setiap
kali pengadukan.
2.4.2. Pembuatan Pelet
Pembuatan pelet terdiri dari proses pencetakan, pendinginan dan
pengeringan. Perlakuan akhir terdiri dari proses sortasi, pengepakan dan
pergudangan (Tjokroadikoesoemo, 1986). Menurut Parker (1988), proses
penting dalam pembuatan pelet adalah pencampuran (mixing), pengaliran uap
(conditioning), pencetakan (extruding) dan pendinginan (cooling).
Proses Pencetakan
Proses kondisioning adalah proses pemanasan dengan uap air pada bahan
yang ditujukan untuk gelatinisasi agar terjadi perekatan antar partikel
bahan penyusun sehingga penampakan pelet menjadi kompak, durasinya mantap,
tekstur dan kekerasannya bagus (Parker, 1988). Proses kondisioning
ditujukan untuk gelatinisasi dan melunakkan bahan agar mempermudah
pencetakan. Disamping itu juga bertujuan untuk membuat :
Pakan menjadi steril, terbebas dari kuman atau bibit penyakit.
Menjadikan pati dari bahan baku yang ada sebagai perekat.
Pakan menjadi lebih lunak sehingga ternak mudah mencernanya.
Menciptakan aroma pakan yang lebih merangsang nafsu makan ternak.
Kondisioning dilakukan dengan bantuan steam boiler yang uapnya
diarahkan ke dalam campuran pakan. Apabila penguapan dilakukan dengan mixer
jenis beton molen, proses penguapan dilakukan sambil mengaduk campuran
pakan tersebut. Penguapan tidak boleh dilakukan di atas suhu yang
diizinkan, yaitu sekitar 80°C. Pengukusan dengan suhu terlalu tinggi dalam
waktu yang lama akan merusak atau setidaknya mengurangi kandungan beberapa
nutrisi dalam pakan, khususnya vitamin dan asam amino. Dalam proses
pembuatan pakan ayam ras pedaging, penguapan tidak mutlak diperlukan.
Walker (1984) menjelaskan bahwa selama proses kondisioning terjadi
penurunan kandungan bahan kering sampai 20% akibat peningkatan kadar air
bahan dan menguapnya sebagian bahan organik. Proses kondisioning akan
optimal bila kadar air bahan berkisar 15 – 18% (Parker, 1988). Winarno
(1986) menjelaskan lebih lanjut bahwa kadar air yang lebih dari 20% akan
menurunkan kekentalan larutan gel hasil gelatinisasi.
Efek lain dari proses kondisioning yaitu menguapnya asam lemak rantai
pendek, denaturasi protein, kerusakan vitamin bahkan terjadinya reaksi
"Maillard" (Haris dan Kramas, 1986). Reaksi 'Maillard' yaitu polimerisasi
gula pereduksi dengan asam amino primer membentuk senyawa melanoidin
berwarna coklat, proses ini terjadi akibat adanya pemanasan (Muller, 1988).
Warna coklat pada bahan ini menurut Muller (1988) menurunkan mutu
penampakan warna pelet. Nikersond dan Louis (1978) menambahkan bahwa
pemanasan dapat menyebabkan dehidrasi pada gula. Gula yang terdehidrasi
membentuk polimer sesama gula yang diikuti oleh gugus amina membentuk
senyawa coklat.
Gelatinasi merupakan sumber perekat alami pada proses "peleting"
(Parker, 1988). Pencetakan merupakan tahap pemadatan bentuk melalui alat
extruder. Dinyatakan dalam Dharmala Group (1986) bahwa temperatur bahan
sebelum masuk ke dalam mesin pencetak sekitar 80°C dengan kelembaban
12–15%.
Sistem kerja mesin pencetak sederhana adalah dengan mendorong bahan
campuran pakan di dalam sebuah tabung besi atau baja dengan menggunakan
ulir (screw) menuju cetakan (die) berupa pelat berbentuk lingkaran dengan
lubang – lubang berdiameter 2 – 3 mm, sehingga pakan akan keluar dari
cetakan tersebut dalam bentuk pelet. Kelemahan sistem ini adalah
diperlukannya tambahan air sebanyak 10 – 20% ke dalam campuran pakan,
sehingga diperlukan pengeringan setelah proses pencetakan tersebut.
Penambahan air dimaksudkan untuk membuat campuran atau adonan pakan menjadi
lunak, sehingga bisa keluar melalui cetakan. Jika dipaksakan tanpa
menambahkan air ke dalam campuran, mesin akan macet. Di samping itu, pelet
yang keluar dari mesin pencetak biasanya kurang padat.
Berbeda dengan mesin sederhana, system kerja mesin yang biasa
digunakan di industri pakan adalah dengan cara menekan atau menggiling
bahan baku pakan dengan menggunakan roda baja (roller) pada cetakan (die).
Pelet yang keluar dari cetakan tersebut kepadatannya sangat baik.
Selama proses kondisioning terjadi peningkatan suhu dan kadar air
dalam bahan sehingga perlu dilakukan pendinginan dan pengeringan (Walker,
1984). Proses pendinginan (cooling) merupakan proses penurunan temperatur
pelet dengan menggunakan aliran udara sehingga pelet menjadi lebih kering
dan keras. Proses ini meliputi pendinginan butiran-butiran pelet yang sudah
terbentuk, agar kuat dan tidak mudah pecah. Pengeringan dan pendinginan
dilakukan pada tahap ini untuk menghindarkan pelet itu dari serangan jamur
selama penyimpanan
Pengeringan pada intinya adalah mengeluarkan kandungan air di dalam
pakan menjadi kurang dari 14%, sesuai dengan syarat mutu pakan ternak pada
umumnya. Proses pengeringan perlu dilakukan apabila pencetakan dilakukan
dengan mesin sederhana. Jika pencetakan dilakukan dengan mesin pelet sistem
kering, cukup dikering anginkan saja hingga uap panasnya hilang, sehingga
pelet menjadi kering dan tidak mudah berubah kembali ke bentuk tepung.
Proses pengeringan bisa dilakukan dengan penjemuran di bawah terik
sinar matahari atau menggunakan mesin. Keduanya memiliki kelebihan dan
kekurangan. Penjemuran secara alami tentu sangat tergantung kepada cuaca,
higienitas atau kebersihan pakan harus dijaga dengan baik, jangan sampai
tercemar debu atau kotoran dan gangguan hewan atau unggas yang
dikhawatirkan akan membawa penyakit. Jika alat yang digunakan mesin
pengering, tentu akan memerlukan biaya investasi dan biaya operasional yang
cukup tinggi.
2.4.3. Perlakuan Akhir
Penentuan ukuran pelet disesuaikan dengan jenis ternak. Dinyatakan
dalam Pasifik (1981) bahwa diameter pelet untuk sapi perah dan sapi
pedaging adalah 1,9 cm (0,75 inci), untuk anak babi 1,5 cm (0,59 inci) dan
babi masa pertumbuhan 1,6 cm (0,62 inci), untuk ayam pedaging periode
starter dan finisher 1,2 cm (0,48 inci). Garis tengah pelet untuk pakan
dengan konsentrasi protein tinggi adalah 1,7 cm (0,67 inci) dan 0,97 cm
(0,38 inci) untuk pakan yang mengandung urea.
2.5. Pengemasan
Produksi dimulai dari pakan jadi yang ditempatkan di dalam bak/peti
pengemas yang biasanya diletakkan di atas mesin pengemas. Penimbangan
(weighing), penjahitan (sewing), penumpukan di atas pallet (palletizing)
dan pergerakan kemasan pakan ke tempat penyimpanan termasuk di dalam tahap
ini.
Setiap bahan memiliki karakteristik yang didasarkan atas sifat fisik,
kimia dan biologis. Dari sifat-sifat tersebut, mekanisme kerusakan bahan
dapat diketahui, seperti: serangan makroorganisme (kutu, dll), kontaminasi
mikroorganisme (bakteri, yeast, dll), reaksi kimia (misalnya, enzim),
perubahan fisik (pengerutan, dll). Pengemasan dan penyimpanan diperlukan
untuk memenuhi berbagai tujuan, antara lain: untuk menghambat /mencegah
penurunan kualitas/nilai gizi, memberikan proteksi/melindungi produk dari
kontaminasi lingkungan, memberikan aspek estetika selama proses perlakuan
(handling) dan distribusi. Berbagai cara penanganan yang dilakukan untuk
mengatasi kerusakan tersebut, akan menentukan teknik dan macam bahan
pengemas. Hal ini dimaksudkan agar supaya fungsi dan tujuan dari pengemasan
dapat tercapai.
Syarat bahan pengemas:
a) Transparans dan ada penampakan permukaan,
b) Pengendalian terhadap transfer atau penetrasi air,
c) Pengendalian terhadap transfer gas,
d) Daya tahan terhadap variasi suhu yang luas,
e) Tidak mengandung senyawa beracun,
f) Proteksi terhadap kerusakan fisik (keremukan, dll), dan
g) Harga rendah
Macam bahan pengemas :
Kertas (zak, karton), bahan selulosa (karung, dll), logam (aluminium,
stainless steel, pelat timah, dll), gelas, keramik, karet, plastik, dll.
Masing-masing bahan pengemas memiliki kelebihan dan kekurangan, berkaitan
dengan fleksibiltas, reaksi dengan bahan yang dikemas, ketahanan terhadap
lingkungan, dll. Derivat bahan plastik , seperti polyethylene,
polypropilene, polyvinylchloride, polystirene, polyamide, polycarbonate,
dll merupakan bahan pengemas populer saat ini karena hampir dapat memenuhi
segala persyaratan untuk bahan pengemas.
Pengemasan dalam industri pakan merupakan proses lanjutan dari
pengolahan bahan. Pengemasan produk dimaksudkan untuk meningkatkan
fleksibilitas penanganan produk baik dalam distribusi, penyimpanan maupun
penggunaan. Tahapan penting yang perlu diperhatikan dalam pengemasan adalah
pengisian, penimbangan, penutupan kemasan, kemudian pengecekan kemasan,
pelabelan, untuk dilanjutkan ke penyimpanan dan distribusi.
Beberapa hal yang perlu dijadikan bahan pertimbangan dalam strategi
penentuan konstruksi kemasan:
Konstruksi bahan pengemas hendaknya memberikan kemudahan selama proses
pengemasan. Kemasan dari bahan kayu, kertas, derivat plastik dan atau
kombinasinya merupakan bahan yang popular untuk pengemas produk pakan
ternak. Pemakaian bahan tsb disesuaikan dengan bentuk dan macam produk
yang akan dikemas. Berbagai bentuk kantung yang ada memiliki
spesifikasi kegunaan dan kemudahan misal: valve bags untuk
powder/tepung halus, SOM mudah dalam pengisian dan penutupan, DFB
(double fould bag) -mudah pengisian, rapat, kuat.
Konstruksi pengemas harus mendukung dan menjamin kelancaran proses
pengisian kemasan, yang diukur dari akurasi volume dan atau berat,
sedikitnya material yang tercecer, banyaknya kantung/menit. Akurasi
isi dilakukan dengan pengukuran volume (m3/bag) atau penimbangan
(kg/bag) yang diukur secara gross weight atau nett weight.
Konstruksi juga harus memberikan kemudahan dalam proses penutupan
kantong/kemasan baik berupa jahitan dan atau pengeleman, serta
menjamin kerapatan kemasan. Kegalan proses penutupan (jahitan tidak
sempurna/tidak tepat) biasanya menjadi penyebab bocor/pecahnya
kemasan.
Konstruksi hendaknya bisa mempermudah pengecekan untuk menjamin
ketepatan isi dan kemasan.
Konstruksi kemasan hendaknya mempermudah pelabelan. Label kemasan
harus menunjukkan merk dagang, isi, informasi & petunjuk bagi
pengguna, serta jaminan mutu.
Pada proses pengemasan, tugas dan fungsi operator sangat bervariasi
tergantung pada sistem dan peralatan yang digunakan. Secara umum tugas dan
fungsi operator adalah mengoperasikan berbagai katub pengisi dan sistem
conveyor; meng-adjust fungsi alat, memilih dan menyediakan kemasan; men-
setting kode untuk kemasan; mencatat berbagai informasi dalam pengemasan;
inspeksi visual dari kontaminan; identifikasi kemasan dengan label, tags,
dll; mengecek dan meng-adjust alau ukur dan kemasan; mengambil sample untuk
kontrol kualitas; menjaga kebersihan peralatan dan lokasi pengemasan.
Penjadwalan operasi perlu dilakukan untuk menjamin: ketepatan jumlah
dan waktu; dasar informasi untuk operator, sebagai catatan apa, kapan oleh
siapa produk tsb dikemas; serta sebagai informasi aktual akan jumlah produk
yang terkemas. Quality control dalam proses pengemasan adalah tugas
operator. Fungsi quality control pada pengemasan adalah:
produk dikemas dari tanki/silo yang benar;
kantong dan label/tag yang digunakan benar;
produk bebas dari kontaminasi;
pengambilan sample untuk QC sesuai dengan syarat dan prosedur yang
berlaku;
berat kemasan ada dalam batas toleransi;
jahitan atau lem benar-benar menutup kemasan;
kemasan dalam dan luar bersih;
kode pada kemasan benar dan terlihat jelas pada setiap kemasan;
seleksi/pemeriksaan ulang dilakukan secara cermat; serta
laporan kegiatan operator ditulis secara cermat.
Berbeda dengan sistem pengangkutan dan distribusi, produk tak terkemas
biasanya diakhiri dengan penyimpanan dalam tanki-tanki penyimpan atau
bin, sedangkan untuk produk terkemas penyimpanan dilakukan di gudang. Pada
produk kemasan, proses pengemasan biasanya dilakukan secara berurutan dalam
sistem aliran bahan pada sistem ban berjalan. Produk akhir yang telah
terkemas, ditata pada palet untuk dipindah tempatkan. Penggunaan palet/alas
akan memudahkan proses distribusi (bongkar-muat), penghitungan
(jumlah/palet), menghindari kerusakan fisik kemasan (robek, benturan, dll),
mempermudah penumpukan dalam gudang, mempermudah proses pengawasan,
meningkatkan efisiensi sistem pergudangan dan mengurangi tenaga kerja.
2.6. Pergudangan dan Pemuatan
Tahap ini melibatkan pergerakan semua produk jadi dari gudang atau
tangki/tank curah dan pemuatan ke dalam truk untuk pengiriman. Gudang
merupakan tempat terakhir sebelum produk dimanfaatkan. Bentuk fisik,
peralatan serta sistem bongkar muat & penyimpanan merupakan aspek penting
dalam pergudangan. Managemen penyimpanan merupakan aspek terkait dengan
gudang, fasilitas dan sumber daya manusia yang akan menentukan keberhasilan
mempertahankan kualitas produk yang disimpan sesuai dengan tujuan dan
fungsi penyimpanan. Bentuk fisik gudang yang meliputi konstruksi dinding,
lantai, dan atap sangat berpengaruh dalam pengelolaan produk pada saat
penyimpanan. Konstruksi gudang secara umum harus dapat melindungi produk
dari kerusakan akibat proses eksternal (lingkungan dan
makro/mikrobiologis), memberikan kemudahan dalam proses bongkar-muat, serta
menjamin kelancaran proses lainnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Dinding gudang hendaknya rapat, kuat, cukup ventilasi dan mudah
pemeliharaannya,
Atap gudang hendaknya dapat melindungi material dari panas dan hujan,
bentuk atap hendaknya menjamin kelancaran sirkulasi udara,
Lantai gudang hendaknya rapat, padat dan kuat sehingga dapat
mempermudah sistem pengaliran/pengaturan material; mempermudah
pergerakan alat/peralatan dalam gudang; mencegah berkembangnya
makroorganisme(tikus, dll), mudah dibersihkan,
Layout dari gudang hendaknya dibuat dengan mempertimbangkan sistem
transportasi dan pergerakan dalam gudang,
Lebar dan letak pintu hendaknya disesuaikan dengan sistem transportasi
utama yang dipergunakan (railway, truck). Penempatan dan design yang
tepat akan menjamin utilitas alat dan ruang secara efektif dan
efisien.
Fasilitas dalam gudang yang meliputi alat dan peralatan hendaknya
menjamin kelancaran pergerakan, pengamanan, penyimpanan material. Rak,
Pallet, lift-truk merupakan alat pokok dalam gudang.
Sistem penyimpanan apakah all in all out, first in first out, sistem
pencatatan dan pengawasan hendaknya terdiskripsi dengan baik untuk
menjamin kemanfaatan aktifitas penyimpanan.
Managemen penyimpanan: adalah upaya untuk merencanakan, mengatur dan
mengevaluasi komponen yang ada (gudang, fasilitas dan sistem) yang
disesuaikan dengan kemampuan sumber daya manusia yang tersedia, sehingga
diperoleh hasil yang maksimal.
Pengelolaan personel (karyawan/tamu)
1. Seluruh karyawan feedmill harus terlatih.
2. Selain karyawan tidak diijinkan memasuki areal feedmill.
3. Tamu / pengunjung harus disediakan pakaian penutup, sepatu boot, topi
pengaman
yang disanitasi.
4. Petugas yang bekerja di areal penerimaan bahan baku tidak diperbolehkan
memasuki areal barang jadi dan sebaliknya untuk mencegah pencemaran
silang.
Rangkuman:
Teknologi pengolahan dan pengelolaan pakan bijian secara runut dibagi
dalam enam tahapan yang dimulai dari penerimaan bahan, proses pengolahan
bahan baku, pencampuran, proses peleting hingga pengemasan dan
penyimpanannya. Proses pengolahan umumnya meliputi proses pengolahan secara
fisik mekanik (grinding, mixing, peleting, shaking).
Tugas:
1. Diskusikan secara kelompok faktor apa saja yang mempengaruhi
kualitas pelet, bagaimana cara meningkatkan kualitasnya, bagaimana
standar penilaian kualitas pelet terhadap durability dan hardness ?
2. Diskusikan secara kelompok apa fungsi binder pada pembuatan pelet.
Bagaimana proses/reaksi kimia yang terjadi?
3. Apa yang dimaksud dengan gelatinisasi?
(Rumuskan hasil diskusi menjadi suatu makalah)
Referensi :
Pfost, H.B. 1964. Feed Production Handbook. Feed Production School Inc.
Kansas city
McEllhiary,R.R. 1994 Feed Manufacturing Technology IV. Am.Feed Industry
Assoc. Inc. Arlington
Harding,H.A.1978. Manajemen Produksi (Seri Manajenen No.35). Penerbit Balai
Aksasra. Jakarta.
Romindo Primavetcom. RPAN Seminar (A New Concept in Poultry Feed
Technology). Romindo Primavetcom Co. Jakarta. Unpublished.
Pujaningsih,R.I. 2006. Pengelolaan Pakan Bijian. Cetakan 1. Penerbit Alif
Press. Semarang.
"3 "STRATEGI PENGOLAHAN HIJAUAN "
"Tujuan Instruksional Umum "Setelah mengikuti mata kuliah ini "
"(TIU) "mahasiswa dapat menjelaskan dan "
" "membedakan teknik-teknik pengolahan "
" "berbagai bahan pakan ternak dan pada"
" "akhirnya menentukan strategi untuk "
" "mempertahankan mutu serta "
" "meningkatkan nilai nutrisi bahan "
" "pakan. "
"Tujuan Instruksional Khusus "Setelah mengikuti kuliah sub pokok "
"(TIK) "bahasan strategi pengolahan hijauan,"
" "mahasiswa dapat menjelaskan tentang "
" "teknologi pengolahan dan pengawetan "
" "hijauan pakan secara pengeringan, "
" "biologis, fermentasi, pembuatan "
" "silase dan pembuatan wafer minimal "
" "90% benar. "
Uraian:
3.1. Pengawetan Segar Hijauan Pakan
3.1.1. Pengertian Awetan Segar Hijauan Pakan
Di negara-negara tropis yang mempunyai 2 musim, persediaan
hijauan mempunyai fluktuasi yang berbeda. Musim penghujan merupakan musim
yang banyak akan hijauan pakan dan bahkan sering berlebih, sedangkan pada
musim kemarau merupakan musim paceklik, dimana hijauan yang ada mempunyai
kualitas yang rendah.
Di negara-negara subtropis yang mempunyai 4 musim, banyak dibuat
hijauan awetan kering yang disebut "hay" atau "hooi" untuk menghadapi
musim salju, dimana pada musim tersebut hijauan segar tidak akan
didapatkan. Di negara tropis hijauan awetan kering kurang populer, karena
hijauan pakan boleh dikatakan memang tersedia sepanjang tahun. Namun
kenyataannya pada musim kemarau, lebih-lebih kemarau panjang, hijauan
pakan sulit didapatkan dan kalaupun ada hijauan tersebut mempunyai kualitas
yang sangat rendah. Alternatif untuk mengatasi kekurangan hijauan pakan,
dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain adalah sebagai berikut :
- Membeli hijauan pakan dari daerah lain
- Mengurangi jumlah ternak yang dipelihara pada saat kekurangan hijauan
pakan
- Mengawetkan hijauan yang berlebih untuk digunakan pada saat kekurangan
hijauan pakan
- Menanam lebih dari 1 jenis hijauan pakan untuk meratakan puncak-puncak
produksi
- Menjaga kesuburan tanah semaksimal mungkin
Disamping itu untuk menghindari kelangkaan pakan, perlu diupayakan
cara-cara pengadaan hijauan dengan kualitas yang baik untuk penyediaannya
sepanjang tahun. Cara – cara ini dapat dilakukan melalui sistim
pengawetan dan pengolahan. Sistim pengawetan dapat dilakukan melalui
pembuatan silase (awetan hijauan segar) dan hay (awetan hijauan kering),
sedangkan pengolahan dapat dilakukan dengan pengolahan secara fisik
(pencacahan, penggilingan atau pemanasan), secara kimia (perlakuan alkali
dan amoniasi) dan secara biologi yang umumnya dilakukan fermentasi
menggunakan jasa mikrobia selulolitik.
Silase adalah hasil awetan segar hijauan pakan setelah mengalami proses
ensilase yang berlangsung dalam suasana asam dan anaerob, hijauan pakan
disimpan dalam keadaan segar (KA = 60 -70%) di dalam suatu tempat yang
disebut silo. Prinsip pembuatan silase adalah mempercepat terjadinya
suasana asam dengan cara menyimpan hijauan segar (kadar air = 60-70 %)
dalam kondisi anaerob. Adapun tujuan pembuatan silase ini adalah untuk
:
- Persediaan pakan yang dpt digunakan pada saat kekurangan hijauan pakan
- Menampung kelebihan produksi hijauan pakan
- Memanfaatkan hijauan pakan pada saat pertumbuhan terbaik yang belum
dimanfaatkan secara langsung
- Mendayagunakan limbah pertanian (agricultural waste product) maupun
hasil ikutan pertanian (agricultural by- product)
Beberapa persyaratan hijauan makanan ternak yang baik digunakan untuk
bahan silase adalah sebagai berikut :
- Mengandung cukup substrat yang fermentabel dalam bentuk WSC (water
soluble carbohydrates= karbohidrat terlarut). Glukosa dan fruktosa
(WSC) pada rumput-rumputan, dengan konsentrasi 10 - 30 g/kg BK.
Disakarida berupa sukrosa terdapat sekitar 20 - 80 g/kg BK.
- Buffering capasity rendah (kemampuan mempertahankan pH rendah).
"Buffering Capacity" bahan pakan leguminosa lebih tinggi dibanding
rumput, sehingga dalam pembuatan silase perlu diperhatikan.
- Kandungan bahan kering (BK) pada keadaan segar di atas 200 g/kg
(>20 %)
- Penambahan bahan karbohidariat mudah dicerna (5-10 %), seperti
bekatul, tetes atau onggok dapat dilakukan untuk mempercepat
terjadinya suasana asam.
Prinsip Dasar Pembuatan Silase
Silase merupakan hasil awetan segar hijauan makanan ternak setelah
mengalami proses fermentasi yang disebut "ensilase" dan berlangsung dalam
kondisi anaerob. Hijauan makanan ternak disimpan dalam keadaan segar (KA =
60 -70%) di dalam suatu tempat yang disebut "silo".
Prinsip pembuatan silase adalah mempercepat terjadinya kondisi
anaerob dan suasana asam dengan proses "ensilase". Dalam proses ensilase
akan dihasilkan asam laktat yang kemudian akan membuat kondisi hijauan
makanan ternak di dalam silo menjadi bersifat asam dan menjadi awet, karena
semua mikrobia termasuk mikrobia pembusuk akan mati. Proses ensilase akan
berakhir setelah suasana menjadi asam (pH kurang dari 4,2).
3.1.2. Metode Pembuatan Silase
Silase dapat dibuat dengan beberapa metode :
3.1.2.1. Metode Panas (Belanda)
Rumput yang sudah dipotong-potong ditumpuk di dalam silo, diusahakan
selapis demi selapis, diratakan dan dipadatkan, proses penumpukan dan
pemadatan lebih kurang 7 hari. Sebagai penutup digunakan lapisan tanah
setebal 50 – 6-0 cm. Bila rumput mulai melayu, maka lubang akan mengempis
dan masuk ke dalam lubang. Di sekeliling lubang sebaiknya dibuat parit
agar air tidak masuk ke lubang. Untuk menjaga kualitas silase, dapat
dilakukan dengan pemadatan yang sempurna, drainase yang baik dan
penghindaran dari air yang masuk ke luabang, penutupan lubang harus lebih
tinggi dari tanah sekitarnya. Pembukaan silase metode ini dilakukan
minimal setelah 4 bulan. Lubang silo bisa berbentuk silindris atau kotak
dengan ukuran 2 – 4 meter, dan dalam 2 m.
3.1.2.2. Metode Dingin (asam)
Pada metode ini diperlukan silo yang berdinding tembok atau kayu,
hijauan harus secepat mungkin dimasukkan dalam silo. Pengisisan dan
pemadatan maksimal 1–3 hari . Pemadatan harus dilakukan benar-benar
sempurna, lapisan demi lapisan. Setelah semua bahan masuk, silo harus
ditutup rapat dan bila perlu diberi pemberat. Prinsip metode dingin ini
adalah, dengan diselesaikannya pemasukan bahan dalam waktu singkat dan
pemadatan yang sempurnya, maka dalam proses ensilasenya tidak terjadi
panas dan tetap dingin. Jika hijauan yang dibuat silase kurang mengandung
bahan karbohidrat, bisa ditambah bahan karbohidrat dengan tujuan untuk
mempercepat terbentuknya suasana asam. Suasana asam terbentuk akibat
fermentasi dari karbohidrat. Untuk mempercepat suasana asam juga bisa
dilakuakn dengan penambahan bahan-bahan kimia seperti : asam fosfat,
natrium bisulfat, campuran HCl encer dll. Banyaknya bahan tambahan
(tetes, tepung jagung) yang ditambahkan dalam pembuatan silase sekitar 2 –
4 % dari bahan silase (rumput dan atau legum). Untuk legum bahan aditif
bisa lebih banyak 1 – 2 % dibanding rumput. Untuk aditif dedak halus atau
bekatul, bisa sampai 10 % dari bahan silase.
3.1.2.3. Metode Finlandia
Pada metode ini juga dibutuhkan silo yang baik. Hijauan harus secepatnya
dimasukkan dan dipadatkan ke dalam silo. Tiap lapisan dibasahi dengan HCl
BJ 1,17 (33,5%). Banyaknya HCl yang ditambahkan harus dapat menciptakan
suasana asam dengan pH antara 3,5 - 4. Pemakaian HCl sebanyak 1 liter/
100 kg bahan seilase. Sebelum disiramkan pada rumput harus diencerkan
dengan air sebanyak 6 kali. Bila silo berukuran garis tengah 6 meter, maka
selapis timbunan dibutuhkan 300 kg rumput yang harus disiram 18 liter HCl
yang telah diencerkan. Bila penimbunan tidak dapat selesai sehari, maka
timbunan harus ditutup rapat-rapat (dengan karung goni atau plastik). Bila
timbunan rumput sudah cukup (berlapis-lapis) kemudian ditutup dengan
tanah setebal 60 cm dan diberi beban. Setelah masak, silase akan mengempis
sampai setengahnya. Karena itu penimbunan hendaknya setinggi 2 kali tinggi
silo. Silase yang dibuat dengan cara ini akan bermutu tinggi dan berbau
sedap, sehingga disukai ternak. Untuk sapi dapat diberikan 20 – 30 kg
silase. Sebaiknya ditambah hooi atau jerami.
3.1.2.4. Silo (Tempat Pembuatan Silase)
Silo berasal dari bahasa Yunani "Siro" yang berarti tempat untuk
menyimpan biji-bijian. Silo yang dimaksud disini adalah merupakan tempat
atau wadah untuk membuat silase. Bahan dari silo bervariasi, bisa dari
plastik, drum, bus beton, kayu dan atau semen permanen. Pembuatan silo
dapat dilakukan secara permanen, semi permanen atau tidak permanen, hal ini
tergantung situasi dan kondisi serta kebutuhan. Menurut letak dan
bentuknya, silo dibedakan menjadi beberapa bentuk :
Stack atau Penc Silo
Silo atau tempat silase ini berbentuk bulat atau persegi dan terbuat dari
bahan yang tidak permanen, hijauan ditimbun diatas tanah
Tower Silo
Silo model tower terletak di atas tanah, berbentuk menara, bisa bulat
atau persegi, terbuat dari kayu atau beton dan hijauan ditimbun di
dalamnya.
Pit / Trench Silo
Silo ini berbentuk silinder dan berada di dalam tanah (permukaan sejajar
dengan permukaan tanah), bahan hijuan disimpan di dalam lubang di tanah
Clamp Silo
Silo ini merupakan bentuk gabungan antara stack dan pit silo, sehingga
letaknya sebagian di dalam tanah dan sebagian muncul di atas tanah.
Sebagian besar silase berada di atas tanah .
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan silase :
- Lama pekerjaan tidak boleh lebih dari 3 hari
- Bahan silase harus ditumpuk rapi/ dipadatkan
- Setelah proses ensilase selesai, pH harus dipertahankan kurang dari
4,2 (pH lebih dari 4,8 akan terjadi pembusukan dan peragian)
- Suhu optimum untuk bakteri asam laktat 25 - 35oC
3.1.2.5. Peralatan yang Digunakan untuk Membuat Silase
Beberapa peralatan yang digunakan dalam pembuatan silase ini adalah
sebagai berikut:
- Tempat silase (silo), bisa terbuat dari plastik ukuran besar
atau bis beton diameter 80 – 100 cm dsb.
- Alat pemotong, berupa pisau besar atau choper
- Timbangan
- Lak ban/ isolasi besar dan tali rafia/ tali karet (dari ban dalam
bekas)
Adapun bahan-bahan yang dapat digunakan dalam pembuatan silase adalah :
- Hijauan pakan yang dapat dibuat silase adalah berupa rumput, legume
dan hijauan jagung
- Bahan pengawet/ tambahan/ pelengkap dapat berupa bekatul, onggok dan
tetes
Prosedur pembuatan silase :
- Hijauan / rumput (yang sudah dilayukan dengan kadar air + 65 %)
dipotong-potong (5 -10 cm),
- Hijauan atau rumput ditimbang dan dicampur dengan 5 % bahan pelengkap
(bekatul/ tetes atau onggok) sampai homogen
- Dimasukkan dalam tempat (silo) dan dipadatkan dan kemudian ditutup
rapat, disimpan/ diperam dengan aman (tidak kena air dan jauh dari
serangga)
Tahap pembuatan silase :
- Tahap pengisian
o hijauan pakan dipotong-potong dilayukan
o Bahan/hijauan pakan dicampur dengan bahan pengawet / tambahan /
pelengkap
o Masukkan ke dalam silo dipadatkan
- Tahap penutupan
Bahan dalam pembuatan silase :
Bahan dasar/pokok
0. Rumput potong
1. Rumput lapangan
2. Leguminosa
3. Campuran rumput dan leguminosa
4. Limbah pertanian
Bahan tambahan/pelengkap
5. Penambahan asam mineral untuk menimbulkan millieu asam (larutan Cl,
asam propionat, asam semut, dll)
6. Penambahan asam organik (gula tebu, molasse)
7. Penambahan asam laktat
8. Penambahan ubi-ubian (kentang, ketela pohon, dll)
Untuk membuat silase, harus diupayakan terbentuknya keadaan hampa udara
(anaerob) dan suasana asam.
Keadaan hampa udara, dapat dilakukan dengan :
9. Tempat yang tertutup rapat
10. Penimbunan hijauan pakan yang dipadatkan
11. Pemadatan yang baik memperkecil kantong udara dan hijauan pakan
sebaiknya dipotong-2. Silo yang tidak rapat menyebabkan tumbuhnya
jamur.
Suasana asam pH diupayakan turun menjadi ( 4. Penurunan pH dpt dilakukan
secara langsung atau tidak langsung.
12. Langsung, dengan penambahan bahan kimia (Na-bisulfat, sulfur
dioksida, asam klorida)
13. Tidak langsung, dengan penambahan bahan sumber karbohidrat : tetes
(3%), dedak halus (5%), menir (3,5%), onggok (3%)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan silase :
- pH harus dipertahankan kurang dari 4,2 (pH lebih dari 4,8 ensilase
gagal & terjadi peragian)
- Suhu optimum untuk bakteri asam laktat 25 - 35oC
- Lama pekerjaan tidak boleh lebih dari 3 hari
- Bahan silase harus ditumpuk rapi/dipadatkan
Penilaian hasil pembuatan silase secara organoleptis berdasarkan skor
terhadap warna,bau, tekstur, ada/tidaknya jamur dan penggumpalan, serta pH
dapat dilihat dalam Tabel Skor di atas.
Ciri-ciri silase yang baik :
- Rasa dan bau asam
- Warna hijau seperti daun direbus
- Tekstur hijauan seperti bahan asal
- Tidak berjamur, berlendir atau menggumpal
- Secara kimiawi : banyak mengandung asam laktat, N amonia rendah
(<10%), tidak mengandung asam butirat
- pH rendah (4,2 - 4,8)
Secara organoleptis, silase dapat dievaluasi berdasarkan skor terhadap
bau, warna, tekstur, ada/tidaknya jamur dan penggumpalan. Adapun cara
pembuatan skor dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
"Kriteria "Karakteristik "Skor "
"Bau dan rasa "sangat busuk & merangsang "1 - 3 "
" "sedang "4 - 6 "
" "asam "7 - 9 "
"Tekstur "lembek "1 - 3 "
" "sedang "4 - 6 "
" "seperti hijauan segar "7 - 9 "
"Warna "tanpa warna hijauan "1 - 3 "
" "hijau kecoklatan "4 - 6 "
" "hijau seperti daun direbus "7 - 9 "
"Jamur "banyak "1 - 3 "
" "sedikit "4 - 6 "
" "tidak ada "7 - 9 "
"Penggumpalan "Menyeluruh "1 - 3 "
" "tengah "4 - 6 "
" "tepi "7 - 9 "
3.2. AMONIASI (Perlakuan dengan Alkali)
3.2.1. Pengertian Amoniasi
Amoniasi adalah salah satu bentuk perlakuan kimiawi (menggunakan urea)
yang telah banyak dilakukan untuk meningkatkan nilai gizi dan kecernaan
limbah berserat tinggi. Amoniasi merupakan salah satu perlakuan kimia yang
bersifat alkalis dan dapat melarutkan hemiselulosa, lignin dan silika,
saponifikasi asam uronat dan ester asam asetat menetralisasi asam nitrat
bebas serta dapat mengurangi kandungan lignin dinding sel. Turunnya
kristalinitas selulosa akan mernudahkan penetrasi enzim selulosa mikrobia
rumen (Van Soest, 1982).
Urea adalah bahan padat yang berbentuk kristal bersifat alkali yang
dibuat secara sintesis dengan menggabungkan gas amonia dan C02. Gas
amoniak tidak mudah menyala dan tidak merusak metal. Di udara bebas, NH3
akan terikat oleh H2O lalu membentuk NH4OH. Urea bila ditambah air dan bila
terdapat mikroorganisme yang mengeluarkan enzim urease, maka akan
diuraikan menjadi amonia dankarbondioksida. Amonia yang terbentuk sebagian
akan terfiksasi dalam jaringan bahan yang diamoniasi sehingga meningkatkan
kadar protein kasar.
Amonia yang dihasilkan pada proses amoniasi menyebabkan perubahan
komposisi dan struktur dinding sel yang berperan untuk membebaskan ikatan
antara lignin dengan selulosa dan hemiselulosa. Reaksi kimia yang terjadi
(dengan memotong jembatan hidrogen) rnenyebabkan mengembangnya jaringan dan
meningkatkan fleksibilitas dinding sel hingga memudahkan penetrasi
(penerobosan) oleh enzim selulase yang dihasilkan oleh mikroorganisme.
Tingkat pemberian amonia yang optimal untuk amoniasi adalah 3 - 5 %
(setara dengan urea 5,3 - 8,8%) dari bahan kering. Pemberian amonia kurang
dari 3% tidak berpengaruh pada kecernaan, jadi hanya berfungsi sebagai
bahan pengawet. Pemberian amonia lebih dari 5% akan terbuang karena bahan
tidak mampu menyerap amonia. Amoniasi dengan urea dapat meningkatkan daya
cerna setelah dilakukan penyimpanan selarna 21 hari.
Amonia yang digunakan dapat berupa gas, larutan atau amonia yang
berasal darl pemecahan urea. Urea dengan rumus molekul CO(NH2)2 adalah
sumber nitrogen yang murah, bersifat higroskopis, berbentuk kristal padat
dan mudah larut dalam air. Urea digunakan sebagai sumber amonia karena
bersifat alkali dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan karena mudah
hilang menguap dan dapat difiksasi oleh tanaman dan mikrobia. Proses
amoniasi suatu bahan dipengaruhl oleh beberapa faktor antara lain yaitu
dosis amonia, temperatur lingkungan, lama penyimpanan, kadar air dari bahan
yang diamoniasikan serta macam dan kualitas bahan yang dipakai.
Pada temperatur diatas 300C proses amoniasi membutuhkan waktu sekitar
3 minggu sedangkan pada temperatur yang lebih rendah membutuhkan waktu 4-6
minggu. Temperatur yang paling baik yaitu 600C. Semakin tinggi temperatur
maka proses amoniasi akan berjalan semakin cepat. Kadar air yang optimal
untuk proses amoniasi adalah 30-50%.
Prinsip Dasar
Amoniasi merupakan salah satu perlakuan kimiawi dengan menggunakan
urea yang bersifat alkalis yang dapat melarutkan hemiselulosa. Perlakuan
alkali dapat mendelignifikasi dengan cara memutuskan ikatan ester antara
lignin dengan selulosa dan hemiselulosa serta pembengkakan selulosa,
sehingga menurunkan kristalinitasnya. Daya kerja alkali terhadap bahan
berserat pada prinsipnya adalah :
- Memutuskan sebagian ikatan antara selulosa dan hemiseslulosa dengan
lignin dan silika
- "Esterifikasi" gugus asetil dengan membentuk asam uronat
- Merombak struktur dinding sel, melalui pengembangan jaringan serat,
yang pada gilirannya akan memudahkan penetrasi (perombakan) molekul
oleh enzim selulase mikroorganisme.
3.2.2. Beberapa Metode Pengolahan Dengan Amoniak
Sesuai dengan perkernbangannya seJak tahun 1972 pengolahan jerami dengan
amoniak mempunyai beberapa metode yang telah dikembangkan oleh para
peneliti.
Metode Air Amoniak
Teknik ini ditemukan pertarna kali oleh Waiss pada tahun1972 di
Amerika Serikat kemudian diperbaiki oleh Hart pada tahun 1975. Metode ini
adalah untuk mengolah jerami dalam bentuk "bal persegi panjang" dengan
kepadatan sedang. Untuk mengolah jerami padi metode ini, prinsipnya adalah
sebagai berikut :
Campuran anoniak dan air dalam bentuk larutan (NH40H) disemprotkan di atas
tumpukan jerami yang disimpan di atas.lembaran plastik. Dosis amoniak yang
digunakan adalah 4 sampai 7 % dari berat kering jerami. Air yang
dipergunakan ad.alah 30 % dari berat kering jerami. Larutan amoniak yang
digunakan adalah 34 sampai 37 % dari berat kering jerami padi. Setelah
selesai penyiraman tumpukan ditutup dengan lembaran plastik dan kedua
lembaran ini di pertautkan hingga jerami tersebut tertutup rapat dan kedap
udara.
Pemerarman jerami dibiarkan berlangsung selarna kurang lebih 30 hari
pada temperatur udara luar. Setelah 30 hari jerami sudah matang, tutup
plastik dibuka dan dibiarkan diudara terbuka selama paling sedikit 2 hari
agar amoniak yang tidak terserap oleh jerami dapat lepas ke udara bebas.
Setelah di angin-anginkan selama 2 hari dimana bau anioniak me adi ke
coklat-coklat sudah hilang jerami telah berubah warna dan sudah dapat
diberikan kepada ternak..
Metode Norwegia
Metode ini adalah juga untuk mengolah jerami atau rumput dalam bentuk
bal empat persegi panjang yang dipak dengan kepadatan sedang. Teknik ini
diternukan pertama kali pada tahun 1978 oleh Sundstol. Untuk mengolah
jerami metode ini, prinsipnya adalah sebagai berikut :
Suatu campuran amoniak cair dan gas diInjeksikan ke dalarn tumpukan bal
jerami yang telah ditutup (dibungkus) dengan lembaran plastik polyethylene
yang kedap udara. Injeksi ini dilakukan melalui pipa metal yang berlubang-
lubang yang ditempatkan kira-kira dibagian 3 perempat dari atas tumpukan
bal jerarni. Amoniak cair akan menjadi gas seluruhnya dan merasuk keseluruh
bagian jerami yang terkurung dalam, tutup lembaran plastik. Dengan adanya
panas yang dhasilkan oleh perubahan fisik amoniak dari cair menjadi gas
maka amoniak akan diserap oleh bagian lembab jerami masuk ke dalam pori-
pori jerami (berfiksasi). Dosis amoniak yang dipergunakan bervariasi
antara 3 – 4 % dari berat kering jerami.
Team peneliti dari Cemagref, Montoldre bersama tim peneliti dari INRA,
Theix, Perancis, telah memperbaiki metode ini dengan maksud agar lebih
praktis, cepat dalam injeksi dan menghindarkan adanya bagian-bagian jerami
yang gosong akibat terlalu banyak terkena amoniak. Teknik yang digunakan
tidak lagi menggunakan pipa-pipa metalik yang diselipkan dalam tumpukan
jerami, tapi dengan menggunakan ember atau bak penampung amoniak cair yang
diletakkan di bagian bawah tumpukan jerami. Amoniak cair dalam bak
penampungan tersebut sedikit demi sedikit menjadi gas dan berfiksasi ke
dalam jerami.
Setelah injeksi, tumpukan jerami harus tetap tertutup dalam plastik
dan benar-benar kedap udara agar tidak ada gas amoniak yang keluar. Lama
proses "pernerarnan" ini adalah 4 sampai 8 minggu tergantung pada keadaan
temperatur udara dimana proses ini dilakukan. Di negara-negara yang
iklimnya lebih panas lama pemeraman dapat dipersingkat. Setelah batas waktu
terlewati, tutup plastik dapat dibuka dan tumpukan jerami dibiarkan terbuka
paling sedikit 2 hari agar amoniak yang tidak terserap oleh jerami (ekses)
dapat lepas ke udara bebas. Jerarni padi yang telah diolah dengan cara ini
berwarna kuning tua sampai coklat dan strukturnya empuk dan renyah dan
sudah dapat diberikan kepada ternak.
Metode Pelepasan Amoniak
Teknik lainnya ialah dengan metode pelepasan amoniak yang berasal dari
urea atas dasar pengaruh panas dan tekanan yang ditemukan oleh Bergner pada
tahun 1974 di Jerman, atau melalui proses "urease" yang ditemukan oleh Van
der Merwe pada tahun 1976 di Afrika selatan. Khususnya untuk jerami padi
clan pengolahan dengan menggabungkan kedua prinsip tersebut di atas yaitu
proses urcape clan panas yang dapat melepas gas amoniak dari urea. Teknik
ini pertama kali ditemukan oleh Dolberg pada tahun 1981 di Bangladesh.
Prinsipnya sebagai berikut :
Dibuat suatu lubang (silo) dalam tanah yang di dasarnya dihamparkan
lembaran plastik. Di atas lembaran plastik tersebut ditebarkan jerami
sampai penuh, kalau perlu dipadatkan dengan diinjak-injak agar dapat
menampung lebih banyak jerami didalamnya. Urea sebanyak 5 kg, dilarutkan
dalarn air sebanyak kurang lebih 50 liter untuk tiap 100 gram jerami, lalu
larutan tersebut disirarnkan secara merata ke atas tumpukan jerami. Setelah
selesai penyiraman larutan urea, bagian atas tumpukan jerami di tutup
dengan lembaran plastik lalu ditimbun dengan tanah dengan ketebalan kurang
lebih 30 cm. Pemeraman jerami dalarn lubang ini dibiarkan selama kira-kira
1 bulan lalu dibuka d an.kemudian dapat diberikan kepada ternak. Bila
sulit membuat, lubang, karena khawatir terendam terutama di daerah rendah,
proses ini dapat juga dilakukan di atas tanah. Jerami diberi alas plastik
lalu ditumpuk sampai ketinggian tertentu. Urea dilarutkan dalarn air dengan
perbandingan 50 gram urea 1 liter air untuk 1 kg. jerami. Larutan urea ini
disiramkan perlahan-lahan di atas tumpukan jerami sampai merata. Setelah
selesai penyiraman, tumpukan jerami tersebut dibungkus dengan lembaran-
lembaran plastik dan diikat dengan tali sekelilingnya. Setelah 3 minggu
bungkusan plastik sudah dapat dibuka, bilamana jerami sudah kecoklat-
coklatan dan berbau amoniak menyengat, berarti jerami sudah matang. Sama
halnya dengan rne tode terdahulu, setelah diangin-anginkan selama 2, baru
diberikan pada ternak.
Metode Kontainer Kedap Udara
Teknik ini mula-mula ditemukan oleh Cordesse pada tahun 1981 (Peneliti
dari Ecole Nationale Superieure Agronomique, Montpellier) bekerja sama
dengan team peneliti dari INRA, Theix, Perancis. Teknik ini merupakan
suatu hasil penyempurnaan dari teknik-teknik terdahulu terutama
memanfaatkan panas yang berasal dari reaksi gas amoniak. Panas ini hilang
begitu sajapada metode atau teknik terdahulu hingga waktu'untuk proses
amoniasi yang diperlukan cukup lama 4 sampai 8 minggu. Metode ini disatu
pihak menggunakan sebuah kontainer yang kokoh kedap udara dan isothermis,
dilain pihak menggunakan sistem injeksi gas amoniak melalui temperatur
udara.
Kontainer kedap udara yang digunakan adalah kontainer bekas peti
pendingin yang berisolasi baik (cold storage mobil) yang biasa digunakan
untuk mengangkut makanan dingin antar kota. Pintu belakang dapat dibuka
seluruhnya untuk memudahkan memasukkan jerami dalarn bentuk bal. Sisi-sisi
belakang terbuka tersebut dilapisi dengan bahan film poliester untuk
pelapis kedap udara yang tahan terhadap gas amoniak. Pintunya diganti
dengan pintu kayu yang juga dilapisi dengan bahan film poliester, agar
lebih menjamin tidak adanya gas yang keluar pintu penutup ini dari sisi
terbuka tersebut dilapisi lagi dengan karet yang cukup supel. Kontainer ini
dilengkapi dengan sebuah keran untuk menginjeksi gas kedalamnya melalui
tekanan. Amoniak cair yang dibutuhkan untuk pengolahan disimpan dalarn
sebuah tangki tahan tekanan tinggi. Tangki ini juga dilengkapi keran khusus
yang mempunyai alat pengontrol. Dengan panas atmosfer, amoniak cair
dialirkan melalui sebuah selaiig yang cukup panjang kira-kira 10 meter.
Karena panas yang berasal dari temperatur luar sewaktu amoniak cair
mengalir ke dalarn kontainer. Dengan demikian maka amoniak yang masuk ke,
dalarn kontainer sudah berupa gas clan reaksinya menghasilkan panas. Jadi
tidak perlu adanya bak penampungan didalam kontainer.
Dengan teknik ini lama proses amoniasi dapat dipersingkat menjadi 6
sampai 13 hari saja, dibandingkan 4 sampai 8 minggu dengan teknik
terdahulu. Bila dosis amoniak yang digunakan 3 % waktu yang diperlukan
untuk proses amoniasi adalah 13 hari, tapi bila dosis amoniak 5 % dari
berat jerami maka waktu yang dip rlukan cukup 6 hari saja. Waktu ini masih
dapat dipersingkat lagi menjadi hanya 24 jam bila di dalarn kontainer
tersebut temperatur dapat ditingkatkan sampai 100o C.
Dewasa ini banyak kontainer kedap udara model lain yang di konstruksi
dan disesuaikan, untuk menarnpung segala bentuk dan ukuran jerami yang akan
diolah misalnya kontainer yang dibuat oleh Flemstoffe-Mad-Amby A/s buatan
Denmark dan Straw Feed Services Ltd. buatan Inggris.
3.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Pengolahan
Dosis Amoniak
Yang dimaksud dengan dosis amoniak adalah berat nitrogen yang
dipergunakan dibandingkan dengan berat kering jerami. Dosis optimal adalah
antara 3 - 5 % NH 3 dari berat kering jerami. Kurang dari 3 % tidak ada
pengaruhnya terhadap daya cerna matipun peningkatan kandungan protein
kasar, tapi amoniak ini hanya akan berfungsi sebagai bahan pengawet saja.
Bila lebih dari 5 %juga amoniak akan terbuang karena tidak mampu lagi
diserap olch jerami clan akan lepas ke udara bebas. Kerugiannya hanya
pemborosan amoniak yang berarti kerugian ekonomis saja.
Temperatur
Semakin tinggi temperatur alcan semakin singkat proses amoniasi ini
bedalan. Yang paling baik adalah antara 20 sampai 100 derajat celcius. Pada
temperatur rendah di bawah 0 oC proses amoniasi berjalan sangat lambat.
Tekanan
Tekanan ini tidak dapat berdiri sendiri biasanya kornbinasi dengan
temperatur. Tekanan dan temperatur tinggi misalnya 16,2 kg/cm2 dengan
temperatur 213'C alcan mencapai kandungan protein kasar clan daya cerna
tertinggi dalarn waktu hanya 4 menit.
Lama pengolahan
Yang dimaksud dengan lama pengolahan ialah waktu yang diperlukan
untuk proses amoniasi berlangsung. Waktu ini bervariasi pula sejalan dengan
temperatur yang berkisar 1 sampai 8 minggu, tergantung metode yang
dipergunakan. Yang tersingkat adalah bila menggunakan kontainer kedap udara
dengan pemanasan sampai 100 oC.
Kelembaban Jerami
Kelembaban ideal untuk mencapai kandungan protein kasar dan daya
cerna optimal adalah antara 30 sampai 50 %. Kurang dari 30 % dan lebih dari
50 % proses amoniasi kurang sempurna.
Jenis dan kualitas Jerami
Tiap jenis jerami rnisalnya jerami padi, jerami gandum sorghum,
jagung dan lain-lain mempunyai sifat fiksasi berbeda-beda bila diolah
dengan amoniak. Untuk peningkatan kandungan protein kasar misalnya :untuk
alfalfa jenis-jenis legume yang sudah tinggi kadar protein kasarnya tidak
dianjurkan untuk diolah dengan amoniak, karena pengariuhnya kecil sekali.
Untuk jenis hijauan kering berkadar protein tinggi dianjurkan menggunakan
dosis rendah (1 - 2 %) hanya untuk pengawet saja.
Peralatan yang Digunakan
Beberapa perlatan yang digunakan dalam pelaksanaan praktikum proses
amoniasi ini adalah sebagai berikut :
- Tempat bahan yang akan diamoniasi, terbuat dari plastik atau stoples,
dsb.
- Alat pemotong, berupa pisau besar atau choper
- Timbangan
- Gelas ukur
- Lak ban/ isolasi besar dan tali rafia
- Kertas label dan spidol
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah :
- Hijauan pakan berserat yang akan dibuat amoniasi, berupa jerami padi
- Urea
- Air
Prosedur pembuatan jerami amoniasi :
- Hijauan berserat/ jerami dipotong-potong (5 -10 cm),
- Hijauan kasar atau jerami yang telah diketahui BK nya ditimbang
- Menentukan urea yang akan digunakan untuk amoniasi jerami, dosis
sebesar 6 % x gram bahan kering jerami
- Urea dilarutkan air (yang telah diperhitungkan untuk membuat kadar air
jerami nantinya menjadi 50 %) secara homogen (sampai terlarut)
Sebagai Patokan :
- Mencampur larutan urea dengan jerami yang telah ditimbang, mis: 200 g.
- Dimasukkan dalam tempat amoniasi (plastik/ stoples) dan dipadatkan,
kemudian ditutup rapat, disimpan/ diperam dengan aman (tidak kena air
dan jauh dari serangga) selama 3 minggu.
Cara menghitung Kadar air agar sesuai yg dibutuhkan :
( a ( dapat dihitung; a merupakan jumlah air yang ditambahkan (dalam
ml)
Jumlah air yang ditambahkan ini dicampur dengan urea yang akan
ditambahkan dalam proses amoniasi.
3.3. FERMENTASI (Pengolahan Secara Biologi)
Prinsip Dasar
Fermentasi merupakan salah satu perlakuan biologi dengan menggunakan
jasa mikrobia selulolitik yang dapat mendegradasi bahan pakan
berserat/selulosa. Perlakuan biologi dengan fermentasi dapat menurunkan
serat dengan cara memutuskan ikatan lignoselulosa antara lignin dengan
selulosa dan hemiselulosa melalui enzim-enzim selulase yang diproduksi oleh
mikrobia selulolitik, sehingga dapat meningkatkan kecernaannya.
Wibowo (1990) menyatakan bahwa fermentasi diartikan sebagai
pembentukan energi melalui senyawa organik, sedangkan aplikasinya ke dalam
industri, fermentasi diartikan sebagai proses untuk mengubah bahan dasar
menjadi suatu produk oleh massa sel mikroorganisme. Menurut Winarno et al.
(1984), fermentasi dalam aplikasinya di dunia industri dapat diartikan
sebagai suatu proses untuk mengubah bahan dasar menjadi suatu produk oleh
sel-sel mikrobia dan fermentasi dapat mengakibatkan perubahan sifat
substrat.
Prinsip dalam fermentasi adalah pengaturan kondisi pertumbuhan
mikroorganisme secara optimal sehingga dicapai keadaan yang menghasilkan
laju pertumbuhan spesifik optimum. Fermentasi dapat terjadi karena adanya
aktivitas mikroorganisme penyebab fermentasi pada substrat organik yang
sesuai (Winarno et al, 1984) dan terjadinya fermentasi ini dapat
menyebabkan perubahan sifat bahan sebagai akibat pemecahan kandungan bahan
tersebut. Fermentasi merupakan teknik pengolahan yang relatif mudah, murah
dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Proses Fermentasi mempunyai
tujuan untuk menghasilkan suatu produk (bahan pakan) yg mempunyai kandungan
nutrisi, tekstur, biological availability yg lebih baik, disamping itu juga
sekaligus dapat menurunkan zat anti nutrisinya (jika ada).
Proses fermentasi jika ditinjau dari jenis mediumnya dibagi menjadi 3
macam :
"1. F. Medium Padat : "
" " Medium tdk larut, tapi cukup lembab utk keperluan m.b. (KA "
" "12 – 60 %) "
"2. F. Medium Semi Padat "
" "Medium tdk larut, kelembaban cukup (KA = 65 – 80 %) "
"3. F. Medium Cair "
" "Medium cair ( substrat larut dan atau tak larut (KA > 80 %) "
Sedangkan berdasarkan proses kerjanya, fermentasi dibagi menjadi 3 macam :
Batch Fermentation, yaitu proses fermentasi yang dilakukan dalam sebuah
tempat (wadah), satu kali proses fermentasi langsung panen (tidak terjadi
penambahan nutrient dan starter/ inokulum)
Fed Batch Fermentation, yaitu proses fermentasi yang dilakukan dalam
sebuah tempat (wadah), satu kali proses fermentasi dan pemanenan sekali,
tetapi dalam prosesnya (pemeraman) terjadi penambahan nutrient dan
starter/ inokulum dalam medium
Continuous Fermentation, yaitu proses fermentasi yang dilakukan dalam
sebuah tempat (wadah), proses fermentasi terjadi secara terus menerus dan
terjadi penambahan nutrient dan inokulum dalam prosesnya, serta pemanenan
dapat dilakukan berkali-kali
Menurut Soetrisnanto (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi
fermentasi adalah sebagai berikut : 1) Suhu, 2) Oksigen (kondisi aerob/
anaerob), 3) Kandungan air medium/substrat, 4) Jml dan macam Inokulum
(starter m.o), 5) PH medium (awal fermentasi), 6) Kandungan nutrisi
medium, 7) Jenis substrat. Substrat merupakan salah satu faktor yang cukup
penting dalam proses fermentasi dan menentukan efisien tidaknya proses
fermentasi itu dilakukan. Beberapa faktor yg mempengaruhi pemilihan
substrat adalah sebagai berikut :
1. Tersedia dan mudah didapat
Tersedia sepanjang tahun; jangan dari bahan yang musiman/ tersedia
terbatas
Dapat disimpan dalam beberapa bulan, mutu dan komposisinya relatif
tetap
2. Sifat fermentasi
Substrat harus dapat difermentasi
Mis: Produksi PST ( Trichoderma viridae dpt tumbuh baik pd substrat
Selulosa (jerami padi); tetapi tidak dapat tumbuh baik pada bungkil
kelapa
Menurut Priscote dan Dum (1959) yang disitasi oleh Suhadijono dan
Syamsiah (1988), mikroorganisme yang digunakan dalam industri diharapkan
mempunyai ciri-ciri antara lain mampu tumbuh cepat dalam substrat organik
dan mudah dibiakkan dalam jumlah besar; pada kondisi tertentu bersifat
konstan, dapat menghasilkan enzim yang diperlukan secara cepat dan segera
melakukan perubahan kimia terhadap substrat tertentu yang inginkan; mampu
melakukan transformasi-transformasi dan tahan bekerja pada kondisi
sekeliling yang sedikit mengalami perubahan.
Perubahan Kimia & Fisika selama FERMENTASI
Kapang AspergIllus niger merupakan salah satu jenis kapang yang
menghasilkan enzim-enzim ekstraseluler antara lain adalah amilase, selulase
dan amiloglukosidase. Enzim-enzim yang dikeluarkan oleh Aspergillus niger
berfungsi untuk memecah zat pati yang berada di dalam media. Kapang ini
merupakan kapang yang dapat tumbuh dengan cepat, tidak membahayakan karena
tidak menghasilkan mikotoksin dan penanganannya lebih mudah serta bersifat
aerobik sehingga membutuhkan oksigen dalam jumlah yang cukup (Raper dan
Fennell, 1977). Penggunaan A. niger dalam biokonversi produk-produk
pertanian telah lama banyak dilakukan, salah satunya dalam bidang
peternakan adalah fermentasi onggok dengan A . niger dapat meningkatkan
protein kasar sebesar 18 – 25 % (Kompiang, 1993). Perubahan kimia dan
fisika selama proses fermentasi dapat dilihat pada ilustrasi di atas.
Peralatan yang Digunakan
Beberapa peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan praktikum proses
fermentasi ini adalah sebagai berikut :
Tempat bahan yang akan difermentasi, berupa baki atau nampan.
Cawan petri, ose, lampu bunsen dan termometer
Autoclaf untuk sterilisasi medium
Timbangan
Gelas ukur dan ember plastik
Kertas label dan spidol
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah :
Bahan pakan yang akan di fermentasi, berupa kulit kopi, kulit ari
jagung (tumpi) dan atau onggok
Starter/ inokulum Aspergilus niger
Nasi dan atau PDA (potato dextro agar) (untuk perbanyakan A. Niger)
Air
Prosedur pembuatan bahan pakan fermentasi :
Memperbanyak starter, dengan menanam (mengkulturkan) starter pada
Nasi atau PDA yang telah disterilkan lebih dahulu. Metode perbanyakan
starter adalah sebagai berikut :
Ambil stok kultur (dalam tabung agar miring yang berisi kultur mikrobia),
kemudian
juga ambil cawan petri yang telah berisi PDA yang siap akan ditanami.
Pegang kedua-duanya dengan tangan kiri dan taruh 5 – 10 cm kedua mulut
tabung diatas lampu bunsen (untuk menghindari kontaminan). Tangan kanan
kemudian memegang ose (kawat dengan ujung yang melingkar kecil, fungsinya
untuk memindah mikrobia), mula-mula bakar ujung ose tersebut sampai
memerah, kemudian sebelum mengambil mikrobia pada stok kultur, dinginkan
dulu ose tersebut (bisa dengan cara menempelkan pada agar di stok kultur).
Cara memindah : mula-2 buka tutup tabung stok kultur dan medium APDA yang
akan ditanami, kedua mulut tabung tetap di atas api bunsen, kemudian bakar
kawat ose, setelah memerah dinginkan pada agar di tabung tersebut (kedua
mulut tabung tetap di atas bunsen); Setelah dingin, gores mikrobia yang
ada di tabung stok kultur dengan ose dan pindahkan dengan goresan zig zag
pada medium agar di cawan petri PDA baru, kemudian langsung ditutup lagi.
Kemudian diinkubasi pada suhu kamar sekitar 3 – 7 hari, setelah terlihat
tumbuh banyak, kemudian simpan pada refrigerator (suhu 5 – 10 0C). Tempat
pengkulturan bisa juga dilakukan dalam baki kecil dan ditutup dengan
plastik "Cling". Setelah medium tertutup dengan A. niger (+ 5 hari), maka
A. niger bersama mediumnya di keringkan pada suhu 40 0 C. Setelah kering
kemudian di gerus dengan Mortel dan disimpan sebagai stok starter.
Proses fermentasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Siapkan kultur mikrobia yang sesuai, misalkan : mikrobia selulolitik
(Aspergilus niger). Siapkan substrat yang akan diberi kultur (misalnya :
onggok, kulit kopi, tumpi atau dedak, dsb. ), bila perlu di sterilisasi
dulu denagn autoklaf atau minimal dikukus selama 30 – 60 menit, untuk
menghindari kontaminan. Atur kadar air substrat sekitar 60 – 70 %, agar
proses fermentasi berjalan optimal, pH disusuaikan habitat mikrobia/
starter, untuk A. niger, pH dibuat sedikit asam (4,5 – 5) (karena A. niger
menyukai sedikit asam). Inokulasi substrat dengan starter mikrobia dengan
persetase sebesar 2,5 - 5 % (berat/ berat % BK bahan). Cara inokulasi
dilakukan dengan menabur starter yang telah dilarutkan dengan aquadest
steril pada medium produksi/ substrat yang telah di taruh dalam baki/
nampan, dengan persentase tersebut di atas, kemudian untuk mengurangi
kontaminan, nampan ditutup plastik "Cling", kalau perlu plastik dilubangi
kecil-kecil. Kemudian disimpan (diinkubasi) selama 7 – 14 hari pada tempat
yang cukup bersih. Termometer disisipkan dalam nampan untuk mengetahui
perubahan suhu selama fermentasi.
3.4. Pembentukan Wafer (wafering)
Wafer atau cube merupakan pengembangan dari bentuk pengepakan hay.
Wafer mempunyai kelebihan seperti halnya bentuk pakan pellet tanpa
mempunyai kelemahan terhadap penekanan produksi lemak susu. Apabila untuk
membuat pellet perlu dilakukan penggilingan terhadap bahan pakan, hay
dipotong-potong terlebih dahulu dengan panjang sekitar 1,5 inchi sebelum
dibentuk menjadi wafer. Oleh karenanya, panjang serat biasana tetap
mencukupi untuk mempertahankan uji lemak secara normal meskipun terdapat
beberapa laporan yang menyatakan bahwa produksi lemak susu sedikit tertekan
apabila ternak mengkonsumsi wafer sebagai pakan kasar tunggal.
Wafer yang tersedia secara komersial mempunyai ukuran potongan
melintang sebesar 1,25 x 1,25 inchi dengan ketebalan sekitar 2 - 3 inchi.
Wafer mempunyai kepadatan sebesar 25 lb per feet persegi. Kepadatan
tersebut dua kali lebih besar dibandingkan hay yang dibentuk menjadi bale
dengan berat sebesar 100 lb. Oleh karena itu, apabila dibandingkan dengan
hay yang dibentuk menjadi bale, maka penyimpanan wafer membutuhkan tempat
yang lebih kecil dan berat yang dapat diangkut per unit volume menjadi
lebih besar saat diangkut. Selain itu, kekompakan dan kecilnya ukuran wafer
menyebabkan penanganan terhadap bahan pakan yang bersifat amba (bulk
handling) dengan peralatan mekanik mampu menurunkan kebutuhan tenaga kerja
untuk pengapalan, penyimpanan dan pemberian pakan.
Dengan kualitas yang sama, konsumsi BK wafer alfalfa pada sapi
laktasi rata-rata 20% lebih besar dibandingkan konsumsi hay yang dibentuk
menjadi bale. Peningkatan produksi susu, berkurangnya limbah, rendahnya
biaya transportasi dan menurunnya kebutuhan tempat untuk penyimpanan
memberikan kontribusi yang besar terhadap popularitas hay. Wafer pucuk tebu
dibuat dengan proses pengeringan cepat (fast drying) untuk menurunkan kadar
air hingga 10%. Pada proses ini, reduksi ukuran partikel tidak sebesar pada
proses pelleting; sehingga pemberian pakan ini untuk sapi perah tidak
memiliki efek negatif pada produksi lemak susu (Minson, 1962).
Peralatan untuk membuat wafer yang tersedia secara komersial
membutuhkan hay yang berada di lapang dengan kandungan air sebesar 10% saat
dibuat menjadi wafer. Saat hay masuk ke dalam mesin, air ditambahkan
sehingga KA menjadi sebesar 14 - 15% sebelum dilakukan pemotongan dan
pengepresan menjadi wafer. Air membantu dalam proses pengikatan saat
dilakukan pengepresan. Wafer dibiarkan mengering dan mendingin selama
semalam pada lantai semen dan ditumpuk setinggi 3 feet sebelum dilakukan
penyimpanan untuk meminimisasi pemanasan yang berlanjut dan menghindari
terjadinya kebakaran spontan. Hay kering mudah dibuat pada daerah semiarid,
tetapi sangat sulit dibuat pada daerah yang sering terjadi hujan dan
mempunyai kelembaban tinggi.
3.5. Pembuatan Hay
Hay adalah tanaman hijauan pakan ternak, berupa rumput-
rumputan/leguminosa yang disimpan dalam bentuk kering berkadar air: 20-30%.
Pembuatan Hay bertujuan untuk menyeragamkan waktu panen agar tidak
mengganggu pertumbuhan pada periode berikutnya, sebab tanaman yang seragam
akan memilik daya cerna yang lebih tinggi. Tujuan khusus pembuatan Hay
adalah agar tanaman hijauan (pada waktu panen yang berlebihan) dapat
disimpan untuk jangka waktu tertentu sehingga dapat mengatasi kesulitan
dalam mendapatkan pakan hijauan pada musim kemarau.
Ada 2 metode pembuatan Hay yang dapat diterapkan yaitu:
3.5.1. Metode Hamparan
Merupakan metode sederhana, dilakukan dengan cara menghamparkan
hijauan yang sudah dipotong di lapangan terbuka di bawah sinar matahari.
Setiap hari hamparan di balik-balik hingga kering. Hay yang dibuat dengan
cara ini biasanya memiliki kadar air: 20 - 30% (tanda: warna kecoklat-
coklatan).
3.5.2. Metode Pod
Dilakukan dengan menggunakan semacam rak sebagai tempat menyimpan
hijauan yang telah dijemur selama 1 - 3 hari (kadar air ± 50%). Hijauan
yang akan diolah harus dipanen saat menjelang berbunga (berkadar protein
tinggi, serat kasar dan kandungan air optimal), sehingga hay yang diperoleh
tidak berjamur (tidak berwarna "gosong") yang akan menyebabkan turunnya
palatabilitas dan kualitas.
Rangkuman:
Prinsip pembuatan silase adalah mempercepat terjadinya kondisi
anaerob dan suasana asam dengan proses "ensilase". Dalam proses ensilase
akan dihasilkan asam laktat yang kemudian akan membuat kondisi hijauan
makanan ternak di dalam silo menjadi bersifat asam dan menjadi awet, karena
semua mikrobia termasuk mikrobia pembusuk akan mati. Proses ensilase akan
berakhir setelah suasana menjadi asam (pH kurang dari 4,2).
Amoniasi merupakan salah satu perlakuan kimiawi dengan menggunakan
urea yang bersifat alkalis yang dapat melarutkan hemiselulosa. Perlakuan
alkali dapat mendelignifikasi dengan cara memutuskan ikatan ester antara
lignin dengan selulosa dan hemiselulosa serta pembengkakan selulosa,
sehingga menurunkan kristalinitasnya. Daya kerja alkali terhadap bahan
berserat pada prinsipnya adalah :
- Memutuskan sebagian ikatan antara selulosa dan hemiseslulosa dengan
lignin dan silika
- "Esterifikasi" gugus asetil dengan membentuk asam uronat
- Merombak struktur dinding sel, melalui pengembangan jaringan serat,
yang pada gilirannya akan memudahkan penetrasi (perombakan) molekul
oleh enzim selulase mikroorganisme.
Prinsip dalam fermentasi adalah pengaturan kondisi pertumbuhan
mikroorganisme secara optimal sehingga dicapai keadaan yang menghasilkan
laju pertumbuhan spesifik optimum. Fermentasi dapat terjadi karena adanya
aktivitas mikroorganisme penyebab fermentasi pada substrat organik yang
sesuai dan terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat
bahan sebagai akibat pemecahan kandungan bahan tersebut.
Tugas:
1. Diskusikan dengan kelompok metode penilaian kualitas hay.
2. Apa yang dimaksud dengan metode basah dan metode kering pada
proses
amoniasi?
3. Bagaimanakah kriteria hijauan yang layak untuk difermentasi
sebagai
pakan ternak?
Referensi:
McEllhiary,R.R. 1994 Feed Manufacturing Technology IV. Am.Feed Industry
Assoc. Inc. Arlington
Harding,H.A.1978. Manajemen Produksi (Seri Manajenen No.35). Penerbit Balai
Aksasra. Jakarta.
"4 "STRATEGI PENGOLAHAN LIMBAH "
"Tujuan Instruksional Umum "Setelah mengikuti mata kuliah ini "
"(TIU) "mahasiswa dapat menjelaskan dan "
" "membedakan teknik-teknik pengolahan "
" "berbagai bahan pakan ternak dan pada"
" "akhirnya menentukan strategi untuk "
" "mempertahankan mutu serta "
" "meningkatkan nilai nutrisi bahan "
" "pakan. "
"Tujuan Instruksional Khusus "Setelah mengikuti kuliah mahasiswa "
"(TIK) "dapat menjelaskan tentang prospek "
" "dan perkembangan teknologi "
" "pengolahan limbah pertanian dan "
" "industri untuk bahan pakan ternak "
" "minimal 80% benar. "
Uraian:
Agribisnis merupakan konsepsi sistem yang utuh, terintegrasi, dan
bersifat mega sektor, terdiri atas subsistem agribsinis hulu, subsistem
usaha tani (on farm), subsistem agribisnis hilir, dan subsistem jasa-jasa
penunjang. Ruang lingkup kegiatan pembangunan pengolahan dan pemasaran
hasil pertanian adalah pembangunan sistem dan usaha-usaha di bidang
pengolahan hasil pertanian yang meliputi kegiatan-kegiatan penanganan pasca
panen dan pengolahan produk yang menghasilkan produk segar, produk olahan
utama, produk ikutan, dan produk limbah, serta pembangunan pemasarannya,
baik pasar domestik maupun pasar internasional.
Data Departemen Perindustrian dan perdagangan memperlihatkan bahwa
pada tahun 1999 terdapat 2.075 unit usaha agro industri skala menengah dan
besar, yang menyerap tenaga kerja sekitar 950.000 orang, dengan nilai
produksi sebesar Rp. 41 trilyun dan nilai ekspor US $ 3 milyar.
Agroindustri yang menonjol adalah minyak sawit, minyak kelapa, kalengan
ikan, produk kakao, margarin, confectionary, kalengan buah-buahan, MSG,
pakan ternak, dan rokok. Selama masa krisis 1998 dan 1999 nilai produksinya
mengalami kenaikan sebesar 5,66%, nilai ekspor naik 13,67%, dan jumlah
tenaga kerja naik 2,11%. Selama masa itu, kelompok industri yang berkembang
adalah pengolahan berbasis kelapa sawit, ubi kayu, dan ikan; dan yang
bertahan antara lain adalah industri pengolahan tepung terigu, susu, dan
rokok.
Berbeda dari produk non-pertanian, produk pertanian memiliki
karakteristik khusus yaitu mudah rusak (perishable), beragam kualitas dan
kuantitas (variability), dan bulky dengan resiko fluktuasi harga yang cukup
tinggi. Untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk-produk
pertanian diperlukan pengembangan pengolahan dan industri hilirnya. Selama
ini peran agroindustri dalam perindustrian nasional cukup besar; pangsa
nilai tambahnya dalam industri non-migas sebesar 80,70 %, kesempatan kerja
74,90%, dan efek pengganda nilai tambah sebesar 3,23. Fakta ini menunjukkan
bahwa agroindustri yang bergerak di sektor makanan, perikanan, peternakan,
dan perkebunan merupakan sektor komplemen yang dapat dikembangkan untuk
mendorong pertumbuhan sektor pertanian dan perdesaan. Sektor agroindustri
ini merupakan pilar strategis pembangunan sektor pertanian (Badan Litbang
Deptan, Desember 2000).
Pembangunan berbagai industri sebagai sarana dalam pembangunan
ekonomi suatu negara, juga menimbulkan akibat samping yang tidak diinginkan
terhadap lingkungan karena dapat merusak keseimbangan sumber daya alam,
kelestarian dan daya dukung lingkungan. Awalnya, strategi pengolahan
lingkungan mengacu pada pendekatan kapasitas daya dukung (carrying capacity
approach). Konsep daya dukung ini kenyataannya sukar untuk diterapkan
karena kendala yang timbul dan seringkali harus dilakukan upaya perbaikan
kondisi lingkungan yang kemudian tercemar dan rusak, sehingga memerlukan
biaya tinggi.
Konsep strategi pengolahan lingkungan akhirnya berubah menjadi upaya
pemecahan masalah pencemaran dengan cara mengolah limbah yang terbentuk
(end of pipe treatment) dengan harapan kualitas lingkungan hidup bisa lebih
ditingkatkan. Cara ini kurang efektif karena membutuhkan lahan yang lebih
luas, waktu dan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan pengendalian
limbah secara preventif mulai dari awal proses produksi. Walaupun demikian
masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan masih terus berlangsung,
sehingga saat ini strategi pengolahan lingkungan berubah menjadi upaya
preventif atau pencegahan dan dikembangkan menjadi prinsip produksi bersih
(cleaner production) sebagai suatu stategi preventif yang operasional dan
terpadu.
Upaya untuk meningkatkan produktivitas ternak seringkali dihadapkan
pada kendala pemenuhan kebutuhan pakan yang belum memenuhi baik secara
kuantitas maupun kualitasnya. Penyediaan pakan yang murah dan berkualitas
serta berkesinambungan merupakan suatu tantangan yang cukup serius bagi
para peternak, baik ruminansia maupun non ruminansia. Oleh karena itu,
perkembangan dan keberhasilan suatu usaha peternakan sangat ditentukan oleh
adanya penyediaan pakan secara kontinyu sepanjang tahun dengan kualitas dan
kuantitas yang memadai. Kendala yang sering timbul dalam penyediaan pakan
ternak di daerah beriklim tropis termasuk Indonesia adalah pakan yang
berkualitas tinggi dengan harga yang murah.
Salah satu alternatif solusi untuk memenuhi harga yang murah adalah
penggunaan bahan-bahan pakan inkonvensional yang biasanya merupakan limbah-
limbah tanaman pertanian dan perkebunan, misalnya : jerami padi, jerami
jagung, pucuk tebu dan lain sebagainya. Disamping itu limbah pengolahan
biji-bijian dan pangan, misalnya : dedak padi, kulit cacao, dedak jagung,
polard, wheat brand, tumpi (kulit ari jagung), bulu ayam, darah (khususnya
di Sumatra barat), onggok dan sebagainya. Namun demikian, kendala
penggunaan bahan pakan inkonvensional pada umumnya adalah kandungan nutrisi
yang rendah. Oleh karena itu, untuk lebih mendayagunakannya, terutama untuk
peningkatan kandungan protein dan penurunan kadar serat kasarnya, perlu
dilakukan suatu perlakuan atau pengolahan untuk meningkatkan kualitasnya.
Upaya peningkatan kecernaan dan kualitas bahan pakan berserat telah
banyak dilakukan antara lain dengan perlakuan fisik, kimiawi, biologi serta
pengolahan gabungan antara kimiawi dan biologi. Pengolahan secara fisik dan
kimiawi akhir-akhir ini dirasa semakin tidak menguntungkan, karena selain
tidak ekonomis juga akan menimbulkan pencemaran tanah dan lingkungan. Oleh
karena itu pengolahan bahan pakan berserat secara biologi dengan
memanfaatkan jasa mikrobia selulolitik akhir-akhir ini dirasa paling tepat.
Namun demikian setiap cara pengolahan dan atau perlakuan terhadap suatu
bahan pakan seyogyanya dilakukan suatu percobaan atau penelitian, sehingga
pengolahan yang dilakukan benar-benar bermanfaat dan nyata akan
meningkatkan kecernaan dan kualitas nutrisinya.
Pengetahuan tentang bahan-bahan pakan dan pakan yang telah siap
dikonsumsi oleh ternak, masih terpaku pada pengadaan dan proses, namun
belum lebih jauh pada mutu dari kandungan nutrisinya. Teknologi pakan
ternak (ruminansia) meliputi kegiatan pengolahan bahan pakan, yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas nutrisi pakan, meningkatkan daya
cerna hewan ternak, dan dapat memperpanjang daya simpan bahan pakan tanpa
harus mengurangi mutun secara berarti. Dilain pihak pengembangan teknologi
pakan dari hijauan atau limbah pertanian secara aktif telah memberikan
sumbangan nyata terhadap penurunan potensi limbah pertanian yang terbuang.
Pengolahan bahan pakan secara fisik, seperti halnya pada perlakuan
pencacahan – pemotongan hijauan sebelum diberikan pada ternak akan membantu
memudahkan ternak untuk menkonsumsi dan mencerna. Sedangkan perlakuan
kimiawi, umumnya ditujukan terbatas pada upaya penambahan aditif atau
vitamin atau upaya lain seperti pemecahan dinding sel hijauan yang umumnya
mengandung khitin, selulosa dan hemiselulosa sehingga hijauan sulit dicerna
dan atau diproses oleh mikroba di dalam rumen (usus ternak), penambahan
proses kimiawi ini sangat sedikit diterapkan di perternak kecil, karena
adanya biaya tambahan yang tidak sedikit.
Pemanfaatan limbah pertanian seperti jerami padi sebagai pakan bukan
hal baru bagi petani peternak. Namun disadari, limbah pertanian tersebut
sebagai pakan tambahan tak akan mencukupi kebutuhan pokok hidup ternak
jenis ruminansia. Yakni jenis ternak herbivora yang mempunyai keunikan dan
keistimewaan mengonsumsi hijauan pakan dalam jumlah besar sebagai sumber
gizi dan energi utama dibanding dengan ternak nonruminansia (monogastrik).
Jenis ternak ruminansia besar, misalnya sapi dan kerbau. Sedang yang
termasuk ruminansia kecil, kambing dan domba. Tak disangkal pemanfaatan
limbah pertanian untuk pakan akan terus meningkat. Nilai pakan limbah
pertanian sangat tergantung pada macam limbah, varietas tanaman, pemupukan,
saat dan cara panen. Faktor pembatas tingkat pemanfaatan limbah pertanian
untuk ternak umumnya kegunaan bahan, kualitas yang rendah dan kurang
disukai ternak.
Atas dasar pertimbangan itu, perlu ditemukan upaya meningkatkan
pendayagunaan limbah pertanian untuk pakan ruminansia. Tujuannya memperoleh
sumber pakan alternatif yang murah, berasal dari sumber inkonvensional yang
mudah diperoleh, aman dipakai, dan menumbuhkan kreativitas petani peternak
sendiri untuk mengerjakannya.
Jerami padi sangat potensial dihasilkan oleh petani. Dari
inventarisasi limbah pertanian Jawa dan Bali diperoleh hasil produksi
limbah pertanian rata-rata 28,7 juta ton/tahun, dan 67,2% berupa jerami
padi. Khususnya di musim kemarau, jerami dapat didayagunakan untuk
mengatasi fluktuasi persediaan pakan. Peranan jerami padi merupakan salah
satu sumber pakan hijauan amat penting. Kondisi ini terlihat nyata terutama
pada daerah-daerah rawan kekeringan seperti di Kabupaten Grobogan, Blora,
Rembang, Wonogiri dan lain-lain.
Lazimnya, jerami padi yang digunakan untuk pakan dikeringkan secara
alami (natural drying). Memang proses pengeringan ini memiliki keuntungan.
Pertama tak begitu banyak memerlukan biaya. Kedua, kadar vitamin D dalam
hijauan yang dihasilkan relatif tinggi. Ketiga, pelaksanaannya lebih mudah,
yakni hanya dengan menggunakan sinar matahari.
4.1. Kualitas Jerami
Jerami sudah tak asing lagi bagi petani peternak di Indonesia. Hal
ini karena ketersediaannya cukup melimpah terutama pada saat panen raya
padi tiba. Jerami tersebut dimanfaatkan sebagai campuran atau makanan
ternak jika persediaan hijauan segar sudah tak mencukupi kebutuhan konsumsi
ternak. Kendala keterbatasan jerami sebagai pakan adalah minimnya kandungan
nutrisi dari limbah pertanian tersebut. Berdasarkan realita yang ada,
jerami umumnya mengandung energi netto yang rendah per satuan berat. Kadar
seratnya tinggi, yaitu dalam keadaan kering mengandung serat kasar lebih
dari 10%. Sehingga nilai hayati jerami padi sangat rendah. Daya cernanya
sekitar 40%, jumlah konsumsinya di bawah 2% bobot badan ternak, dan kadar
proteinnya 3-5%.
Rendahnya tingkat kecernaan jerami padi, karena ikatan yang terjadi
pada jerami padi (selulose dan hemiselulose) ini sulit dipecah oleh mikroba
rumen. Sehingga, jerami yang dikonsumsi ini pun sulit dicerna dan banyak
yang tak dimanfaatkan oleh pencernaan ruminansia. Dengan melihat komposisi
zat nutrisi jerami yang tergolong marginal itu, maka untuk mencapai hasil
optimal dalam penggemukan ternak ruminansia perlu juga ditambahkan dengan
pemberian makanan penguat (konsentrat).
4.2. Amoniasi Jerami
Sesungguhnya, perbaikan nilai gizi bisa dilakukan melalui pengolahan
limbah pertanian secara fisik, kimia, maupun mikrobiologi. Salah satu di
antaranya, untuk meningkatkan mutu jerami padi dengan melakukan inovasi
teknologi berupa amoniasi jerami. Prinsipnya, memberikan perlakuan khusus
kepada jerami dengan metode pengolahan menggunakan amoniak (NH3).
Fungsi amoniak di sini untuk menghancurkan ikatan lignin, selulosa
dan silika yang merupakan faktor penghambat utama daya cerna jerami.
Disamping itu, juga berperan memuaikan serat selulosa, memudahkan penetrasi
enzim selulosa dan mengangkat kandungan protein kasar melalui peresapan
nitrogen. Harapannya, dengan adanya jerami amoniasi, petani peternak dapat
meningkatkan pemanfaatan jerami hasil limbah pertanian sebagai pakan ternak
untuk menunjang tingkat produktivitas ternak.
Sumber amoniak potensial yang bisa dipergunakan adalah NH3 dalam
bentuk gas dan cair, NH3OH dalam bentuk larutan, dan urea dalam bentuk
padat. Dari ketiga sumber amoniak tersebut, urea mudah diperoleh dan
relatif murah harganya.
Teknologi pakan ternak (ruminansia) meliputi kegiatan pengolahan
bahan pakan, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas nutrisi pakan,
meningkatkan daya cerna hewan ternak, dan dapat memperpanjang daya simpan
bahan pakan tanpa harus mengurangi mutun secara berarti. Dilain pihak
pengembangan teknologi pakan dari hijauan atau limbah pertanian secara
aktif telah memberikan sumbangan nyata terhadap penurunan potensi limbah
pertanian yang terbuang.
4.3. Hidrolisis Jerami (Menggunakan asam kuat dan basa kuat)
Prinsip Dasar
Hidrolisis jerami menggunakan asam kuat dan basa kuat dilakukan dengan
tujuan peningkatan kualitas jerami dengan perlakuan kimia menggunakan asam
kuat dan basa kuat. Penggunaan asam kuat dan basa kuat akan menyebabkan
senyawa kompleks bahan pakan yang sulit dicerna terhidrolisis menjadi
komponen yang lebih sederhana.
Pengolahan jerami dengan asam kuat
Pengolahan jerami dengan asam kuat merupakan pengolahan dengan
menggunakan bahan kimia alkali, seperti : HCl, H2SO4, HNO3. Pengolahan
alkali dengan asam kuat menyebabkan kenaikan kecernaan disebabkan :
Larutnya sebagian silika dan lignin
Bengkaknya jaringan serat akibat lepasnya sebagian ikatan Hidrogen
diantara molekul glukosa
Terhidrolisanya ikatan ester pada gugus asam uronat diantara selulosa
dan hemiselulosa yang memudahkan enzim pencernaan yang dihasilkan
mikrobia rumen dapat menembus dan mencerna dinding sel.
Kelemahan penggunaan asam kuat untuk pengolahan jerami :
- Tidak ekonomis
- Residu asam kuat bersifat toksik
- Perlu upaya menetralkan pH sebelum diberikan pada ternak
Cara pengolahan :
1. Bahan diperkecil ukurannya
2. Pengukuran kadar air bahan dan mengusakan kadar air bahan menjadi 50 %
3. Asam kuat (2 – 10 % BK bahan) dilarutkan dalam air dan dicampur
dengan bahan selama 3 – 10 menit dalam suatu wadah yang tertutup
4. Kerusakan bahan dapat terjadi setelah 24 – 48 jam dibuka.
Pengolahan jerami dengan basa kuat
Pengolahan jerami dengan basa kuat merupakan pengolahan dengan
menggunakan bahan kimia alkali, seperti : NaOH, KOH. Pengolahan alkali
dengan basa kuat menyebabkan kenaikan kecernaan disebabkan :
- Larutnya sebagian silika dan lignin
- Bengkaknya jaringan serat akibat lepasnya sebagian ikata Hidrogen
diantara molekul glukosa
- Terhidrolisanya ikatan ester pada gugus asam uronat diantara selulosa
dan hemiselulosa yang memudahkan enzim pencernaan yang dihasilkan
mikrobia rumen dapat menembus dan mencerna dinding sel.
Kelemahan penggunaan basa kuat untuk pengolahan jerami :
- Tidak ekonomis
- Residu basa kuat menyebabkan gangguan dalam metabolisme mineral
- Perlu upaya menetralkan pH sebelum diberikan pada ternak
Cara pengolahan :
1. Bahan diperkecil ukurannya
2. Pengukuran kadar air bahan dan mengusakan kadar air bahan menjadi 50 %
3. Basa kuat (2 – 10 % BK bahan) dilarutkan dalam air dan dicampur dengan
bahan selama 3 – 10 menit dalam suatu wadah yang tertutup
4. Kerusakan bahan dapat terjadi setelah 24 – 48 jam dibuka
Rangkuman:
Pemanfaatan limbah pertanian seperti jerami padi sebagai pakan bukan
hal baru bagi petani peternak. Namun disadari, limbah pertanian tersebut
sebagai pakan tambahan tak akan mencukupi kebutuhan pokok hidup ternak
jenis ruminansia. Yakni jenis ternak herbivora yang mempunyai keunikan dan
keistimewaan mengonsumsi hijauan pakan dalam jumlah besar sebagai sumber
gizi dan energi utama dibanding dengan ternak nonruminansia (monogastrik).
Upaya peningkatan kecernaan dan kualitas bahan pakan berserat telah
banyak dilakukan antara lain dengan perlakuan fisik, kimiawi, biologi serta
pengolahan gabungan antara kimiawi dan biologi. Pengolahan secara fisik dan
kimiawi akhir-akhir ini dirasa semakin tidak menguntungkan, karena selain
tidak ekonomis juga akan menimbulkan pencemaran tanah dan lingkungan. Oleh
karena itu pengolahan bahan pakan berserat secara biologi dengan
memanfaatkan jasa mikrobia selulolitik akhir-akhir ini dirasa paling tepat.
Namun demikian setiap cara pengolahan dan atau perlakuan terhadap suatu
bahan pakan seyogyanya dilakukan suatu percobaan atau penelitian, sehingga
pengolahan yang dilakukan benar-benar bermanfaat dan nyata akan
meningkatkan kecernaan dan kualitas nutrisinya.
Tugas:
1. Apakah yang dimaksudkan dengan limbah. Apa yang dimaksudkan dengan
limbah pertanian. Berikan 5 contoh limbah pertanian!
2. Jelaskan apa yang dimaksudkan dengan pengolahan limbah. Berikan 3 contoh
cara pengolahan limbah pertanian/industri.
3. Apa perbedaan fermilus dengan sijebol?
4. Permasalahan apa saja yang terdapat pada limbah pertanian/industri?
Bagaimana
solusi pemecahan masalahnya secara prinsip?
Referensi:
Nurtjahya, E., Rumetor, SD., Salamena, JF., Hernawan, E., Darwati, S., dan
Soenarno, SM. 2003. Pemanfaatan Limbah Ternak Ruminansia untuk
Mengurangi Pencemaran Lingkungan. Makalah Pengantar Falsafah Sains.
Program Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian Bogor
Yuwono, SD. 2002. Penerapan life cycle assessment pada pemanfaatan limbah
pertanian menjadi furfural. Jurnal IPTEKS.
-----------------------
87 gram urea + 1 liter air + 1 kg jerami (dng kadar air 30 %)
(% KA hijauan x gram hijauan) + a
% Kadar Air yg Dibutuhkan = -------------------------------------- x 100%
(40%) Gram Hijauan + a
Aktif dari fase Lag Atau dengan perkembangan Spora
Protein dlm tbh mikrobia mengalami Aktivasi (enzim-2 mulai aktif)
Memanfaatkan gula sederhana dari substrat (utk Pertumbuhan)
Mensintesa Ensim-2 utama
Memecah komponen yg lebih komplek
Pati (KH) – Lemak - Protein
Terjadi perubahan persentase pada kandungan zat hasil fermentasi akibat
penurunan KH/ minyak/ lemak
(BK total material hasil fermentasi turun)
Peningkatan Protein yang nyata hanya terjadi bila ada Fixasi N dari Udara