LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH DASAR (GKP 1201) MODUL 6 INTERPRETASI VISUAL KENAMPAKAN FISIOGRAFI SECARA STEREOSKOPIS BERDASARKAN FOTO UDARA PANKROMATIK HITAM PUTIH
DISUSUN OLEH : Nama
: Lilik Andriyani
NIM
: 13/348106/GE/07576
Prodi
: Pembangunan Pembangunan Wilayah
Jadwal Praktikum : Kamis, 11.00 – 13.00 13.00 WIB Asisten
: 1. Gerry Kristian 2. Inneke K. Haryana
LABORATURIUM PENGINDERAAN JAUH DASAR FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2014
MODUL 6 INTERPRETASI VISUAL KENAMPAKAN FISIOGRAFI SECARA STEREOSKOPIS BERDASARKAN FOTO UDARA PANKROMATIK HITAM PUTIH
I.
TUJUAN Melatih kemampuan mahasiswa dalam melakukan delineasi satuan-satuan fisiografi secara stereoskopis
II.
ALAT DAN BAHAN Alat : 1. 2. 3. 4. 5.
Stereoskop Kertas transparansi Kertas HVS Pensil warna OHP Marker
Bahan : 1. Dua buah foto udara pankromatik hitam-putih pulau St. Eustachius skala 1:40.000
III. DASAR TEORI Foto udara dapat digunakan untuk pengamatan secara tiga dimensi atau pengamatan ini disebut dengan pengamatan stereoskopik dengan bantuan alat stereoskop. Asas stereoskop adalah persepsi kedalaman. Bila kita memandang satu obyek, dua mata kita akan fokus atau memusat pada satu titik, yaitu pada obyek yang kita pandang itu. Bila kita memandang dengan mengunakan binokuler maka dua sumbu optik mata kita bertemu pada obyek yang kita pandang itu dengan sutu sudut yang disebut sudut paralaks. Ligterink (1972) dalam Sutanto (1987) mengemukakan empat syarat untuk pengamatan stereoskopik, yaitu :
Pasangan foto (bertampalan)
udara
harus
menggambarkan
daerah
yang
sama
Sumbu kamera pada saat pemotretan kurang lebih terletak pada satu bidang vertikal. Untuk penyadapan data metrik maka masing-masing foto udara harus vertikal atau mendekati vertikal. Perbandingan antara basis udara dan tinggi terbang (base heightratio,B/H) tertentu. Bila nilai B/H < 0,02 maka kita masih dapat melakukan pengamatan stereoskopik, akan tetapi kesan kedalamannya tidak lebih dari kesan kedalaman yang diperole dengan mengamati satu lembar foto. Nilai B/H yang ideal beum diketahui, akan tetapi adanaya tidak jauh dari 0,25.
Skala foto yang berapasan harus seragam. Perbedaan skala hingga 15% masih bisa digunakan akan tetapi untuk melakukan pengukuran teliti perlu diupayakan agar perbedaanya tidak melebihi 5%. Kenampakan tiga dimensi memudahkan pengenalan obyek yang tergambar pada foto. Lebih dari itu, kenampakan tiga dimensi membuahkan model medan yang
baik sekali berbeda denga peta dengan model simbolik, model ini merupakan model ikonik karena obyek yang tergambar tampak mirip ujud aslinya. Model ini sangat membantu dalam memahami obyek daerah, atau gejala secara spasial. Selain itu relief permukaan bumi akan terlihat jelas sehingga pengamatan secara stereoskopik dapat memudahkan untuk kalsifikasi bentang lahan. Kenampakan relief kenampakan bumi atau fisiografi merupakan landasan penting dalam kajian-kajian yang terkait dengan sumber daya lahan. Pemahaman tentang aspek fisiografi menempati posisi penting dalam kajian-kajian geografi fisik (hidrologi, geomorfologi), geologi, dan pertanian (tanah). Meskipun demikian, observasi langsung di lapangan tidak selalu menghasilkan deskripsi yang akurat tentang relief medan yang dihadapi, karena terbatasnya jarak pandang manusia. Pengenalan kenampakan fisiografi kadang-kadang lebih efektif bila dilakukan dengan bantuan citra penginderaan jauh, karena citra mampu menyajikan susunan keruangan ( spatial arangement ) fenomena relief dengan lebih utuh dan kontekstual artinya ada keterkaitan dengan fenomena lainnya. Salah satu jenis citra yang sangat efektif dalam menyajikan kenampakan fisiografi ialah foto udara, karena dapat diamati secara stereoskopis. (Sutanto. 1986) Kenampakan fisiografi yang tergambar pada foto udara tidak selalu tepat menyajikan kenyataan di lapangan. Kekasaran relief yang tampak pada foto juga dipengaruhi oleh tingkat perbesaran vertikal (vertical exaggeration). Perbesaran vertikal terkait erat dengan rasio antara basisi udara (B) dan tinggi terbang (H), atau sering dinyatakan dengan base-height ratio. Semakin besar base-height ratio, semakin besar pula perbesaran vertikalnya, dan kenampakan relief yang tidak terlalu kasar menjadi semakin kasar, lereng-lereng menjadi semakin curam, dan lembahlembah menjadi semakin dalam. Hal ini sangat membantu dalam observasi relief mikro suatu wilayah, namun dapat pula menyesatkan bila hasil dijadikan basis pemodelan untuk kajian lingkungan, misalnya pendugaan besarnya erosi atau kehilangan tanah. Interpretasi satuan-satuan fisiografi, apalagi yang lebih spesifik seperti misalnya satuan batuan (litologi) dan bentuk lahan, unsur-unsur interpretasi yang digunakan tidaklah persis sama dengan unsur interpretasi pada penutup lahan. Unsur rona/warna menjadi tidak penting, karena hal ini bersifat tidak konsisten untuk satu satuan fisiografi yang sama. Tekstur perlu diperhatikan (dari bentuk, ukuran, dan bayangan/kesan ketinggian) ialah bayangan, karena hal ini mampu menonjolkan kesan relief yang ada. Pola, situs, dan asosiasi merupakan unsur-unsur paling penting untuk membedakan satu kenampakan fisiografi dari kenampakan lainnya ( Purwadi, 2001). Penarikan batas satuan-satuan biasanya dilakukan pada (a) perubahan kemiringan lereng secara umum, (b) perubahan pola aliran dan/atau kerapatan alur, dan (c) perubahan pola kesan ketinggian. Disamping itu, adanya pola penutup/penggunaan lahan kadang-kadang juga dapat membantu dalam pembedaan batas satuan fisiografi, meskipun untuk beberapa wilayah yang telah dieksploitasi secara eksesif hal ini justru dapat menyesatkan.
Dalam klasifikasi fisiografi secara sederhana (yang lebih tepat disebut sebagai klasifikasi relief), permukaan bumi dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu (setiap contoh diusahakan proporsionalnya terhadap yang lain): a. dataran: kenampakan datar-landai, kemiringan kurang atau sama dengan 3%. b. berombak: beda tinggi titik tertinggi dengan terendah kurang dari 50 meter, kemiringan 3-8%, pengulangan cukup besar. c. bergelombang: beda tinggi titik tertinggi dan terendah maksimal 100 meter, pengulangan cukup besar, kemiringan 8-15%
d. berbukit: kadang-kadang dirinci menjadi berbukit kecil, berbukit sedang, dan berbukit, kemiringan lebih dari 15%, beda tinggi dan terendah kurang dari 300 meter.
e. bergunung: kemiringan lebih dari 15%, beda tinggi titik tertinggi dan terendah lebih dari 300 meter.
Selain itu, ada pula klasifikasi lain, yang lebih mengarah pada klasifikasi bentuk lahan dan bentang lahan, yang sangat memperhatikan pola. Misalnya, adanya pola aliran radial sentrifugal dapat ditafsirkan sebagai gunung api (volkan), apabila reliefnya bergunung. Contoh lain, pola berbukit kecil membulat seperti kubah dengan frekuensi pengulangan yang sangat tinggi dan pola aliran yang tidak jelas (kadang-kadang ada arus sungai, tiba-tiba hilang atau terputus) merupakan perbukitan karst.
IV. CARA KERJA Menyiapkan alat dan bahan
Mengatur posisi dua buah foto udara pankromatik pulau St. Eustachius yang bertampalan sedemikian rupa sehingga pusat foto kiri, pusat pindahan foto kanan, pusat pindahan foto kiri, dan pusat foto kanan berada di satu garis lurus
Mengamati dengan seksama kenampakan keseluruhan pulau tersebut tanpa mendelineasi terlebih dahulu
Mendelineasi foto udara tersebut pada kertas transparansi meliputi pola aliran, bentuklahan serta membagi kenampakan menjadi medan yang datar atau tidak datar yang dibagi lagi menjadi bergunung, berbukit, bergelombang, dan berombak
Mendeliniasi foto udara pulau St. Eustachius tersebut dari kertas tansparansi ke kertas HVS dengan memberi la out dan warna V.
HASIL PEMBELAJARAN
Peta tentatif kenampakan fisiografi pulau St. Eustachius pada kertas transparansi (terlampir) Peta tentatif kenampakan fisiografi pulau St. Eustachius pada kertas HVS (terlampir)
LAMPIRAN
VI. PEMBAHASAN VII.
KESIMPULAN
VIII.DAFTAR PUSTAKA Danoedoro, Projo, dkk. 2014. Pedoman Praktikum Penginderaan Jauh Dasar . Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Purwadhi, Sri Hardiyanti. 2008. Pengantar Interpretasi Citra Penginderaan Jauh. Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN dan Jurusan Geografi Universitas Negeri Semarang Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh, Jilid 1 dan 2, Gadjah Mada University Press Yogyakarta.