DASAR TEORI Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari penyerapan, penyaluran dan pengurangan obat. Deskripsi tentang penyaluran dan pengurangan obat obat sangat penting untuk merubah permintaan dosis pada individu dan kelompok pasien. Pada fase farmakokinetika,
obat
mengalami
proses
ADME
yaitu
absorpsi,
distribusi,
biotransformasi (metabolisme) dan ekskresi yang berjalan secara stimulant langsung atau tak langsung meliputi perjalanan suatu obat melintasi sel membrane (Shargel & Yu, 1988). Model Farmakokinetik merupakan suatu hubungan matematik yang menggambarkan pe perub rubahan konsen sentra trasi ter terhadap adap waktu aktu dalam lam siste istem m yang ang dipe iperik riksa (Mu (Mutsch tschle lerr, 1991). Para aramete meterr dari ari model menggambarkan faktor-faktor yang dipercaya penting dalam penentuan observasi dari konsentrasi atau efek obat. Parameter tersebut terdiri dari parameter primer yang meliputi volume terdistribusi (Vd), klerens (Cl) dan kecepatan absorbsi (Ka) dan parameter sekunder yang meliputi kecepatan eliminasi (K) dan waktu paruh (T1/2), serta parameter-parameter turunan. (Aiache,1993) Model farmakokinetik berguna untuk (Shargel & Yu, 1988): a) Memperkirakan
kadar
obat
dalam
plasma,
jaringan
dan
urine
pada
berbagai pengaturan dosis b) b) Menghitung pengaturan dosis optimum untuk tiap penderita secara individual c) Memperkirakan kemungkinan akumulasi obat dngan aktivitas farmakologi atau metabolit – metabolit d) Menghibungakan kemungkinan konsentrasi obat dengan aktivitas farmakologik atau toksikologik e) Menilai perubahan laju atau tingkat availabilitas antar formulasi f) Menggambarkan perubahan faal atau penyakit yang mempengaruhi absorbsi, distribusi dan eliminasi g) Menjelaskan interaksi obat Obat berada dalam keadaan dinamik dalam tubuh. Efek obat dalam tubuh pada dasarnya merupakan akibat interaksi obat dengan reseptornya; maka secara teoritis intensitas efek obat, baik efek terapi maupun efek toksik, tergantung dari kadar obat di tempat reseptor atau tempat kerjanya. Oleh karena kadar obat di tempat kerja belum dapat diukur, maka sebagai penggantinya diambil kadar obat dalam plasma atau serum yang umumnya dalam keseimbangan dengan kadarnya di tempat kerja. Pada kebanyakan obat, terdapat hubungan linear antara efek farmakologik obat dengan kadarnya dalam plasma atau serum. Tetapi tidak demikian halnya antara efek dengan
dosis obat. Hal ini disebabkan karena kadar obat dalam plasma ditentukan tidak hanya oleh dosis obat, tetapi juga oleh faktor-faktor farmakokinetik yang ternyata sangat bervariasi antar individu. kompartemen adalah suatu kesatuan yang dapat digambarkan dengan
suatu
volume
tertentu
dan
suatu
konsentrasi.
Suatu
model
kompartemen dapat digunakan untuk mengetahui dan memprediksi nasib obat dalam tubuh. Dalam sistem kompartemen, obat dianggap didistribusi secara merata, dengan aliran darah dan afinitas obat yang sama. Secara konsepsual, obat bergerak masuk dan keluar kompartemen secara dinamik. Model merupakan suatu sistem terbuka jika obat dapat dieliminasi dari sistem tersebut. Model kompartemen mana yang cocok untuk suatu obat tergantung obatnya dan dapat diperkirakan dari profil hasil pemplotan data kadar obat dalam plasma terhadap waktu pada kertas semil og. Adapun Model kompartemen yaitu:
Model kompartemen satu terbuka model ini menganggap bahwa berbagai perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. -etapi model ini tidak menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan tersebut adalah sama dengan berbagai waktu. Di samping itu, obat didalam tubuh juga tidak
ditentukan
secara
langsung,
tetapi
dapat
ditentukan
konsentrasi obatnya dengan menggunakan cuplikan cairan tubuh (shargel,1988) Jika tubuh diasumsikan sebagai satu kompartemen, tidak berarti ba hwa kadar obat sama di dalam setiap jaringan atau organ, namun asumsi yang berlaku pada model tersebut ialah bahwa perubahan kadar obat di dalam darah mencerminkan perubahan kadar obat di jaringan. Laju eliminasi & metabolisme serta ekskresi obat dari tubuh setiap saat sebanding dengan jumlah atau ka da r ob at yang tersisa di dalam tubuh pada saat itu (Ritschel, 1992)
Model 2 kompartemen Pada model dua kompartemen, tubuh dianggap terdiri atas dua kompartemen yaitu kompartemen sentral dan kompartemen perifer. Kompartemen sentral meliputi darah dan berbagai jaringan yang banyak dialiri darah seperti jantung, paru, hati, ginjal dan kelenjar-kelenjar endokrin. Obat tersebar dan mencapai kesetimbangan dengan cepat dalam kompartemen ini. Kompartemen perifer adalah berbagai jaringan yang kurang dialiri darah misalnya otot, kulit, dan jaringan lemak sehingga
obat lambat masuk kedalamnya. Model dua kompartemen ini pada prinsipnya sama dengan model satu kompartemen, bedanya terdapat dalam proses distribusi karena adanya kompartemen perifer; eliminasi tetap dari kompartemen sentral (Oktavia, 2009)
Model 3 kompartemen Kompartemen perifer dibagi atas kompartemen perifer yang dangkal (kompartemen 2) dan kompartemen perifer yang dalam (kompartemen 3). Untuk perhitungan regimen dosis klinik, biasanya digunakan model 1 kompartemen untuk pemberian peroral dan kompartemen 2 untuk pemberian intravena. Pada pemberian bolus intravena, biasanya fase distribusi terlihat jelas (menandakan 2 kompartemen), sedangkan pada pemberian oral, fase distribusinya sering tertutup oleh fase absorpsi. Dalam model kompartemen terbuka, tubuh diasumsikan sebagai kompartemen terbuka, seluruh kompartemen badan dianggap sebagai kompartemen sentral. Dalam hal ini kompartemen sentral didefinisikan sebagai jumlah seluruh bagian tubuh (organ dan jaringan atau bagian lainnya) dimana kadar obat segera berada dalam kesetimbangan dengan yang ada dalam plasma/darah pe rilaku
ob at
da lam
si stem
bi ol ogi
da pat
di ga mba rka n
de nga n
kompartemen satu atau kompartemen dua. Kadang-kadang perlu untuk menggunakan
multikompartemen,
dimulai
dengan
determinasiapakah
data
eksperimen cocok atau pas untuk model kompartemen satu dan jikat i d a k p a s c o b a d a p a t m e n c o b a m o d e l y a n g m e m u a s k a n . S e b e n a r n y a tubuhmanusia
adalah
model
kompartemen
multimillion
( m u l t i k o m p a r t e m e n ) , mengingat konsentrasi obat tiap organel berbeda-beda. (Hakim,L.,2014) Waktu pengambilan obat dalam media cairan hayati (waktu sampling) dan perkiraan model kompartemen memiliki hubungan keterkaitan. Keterkaitan kedua faktor ini sedemikian rupa sehingga apabila terjadi kesalahan waktu pengambilan cuplikan,
maka
dapat
menyebabkan
kesalahan
pula
pada
penentuan
model
kompartemen. Untuk menghindari kesalahan dalam penetapan model farmakokinetik, terutama untuk obat yang diberikan secara intravena, waktu sampling hendaknya dilakukan sedini mungkin sesudah pemberian obat. Untuk percobaan pendahuluan lama pengambilan cuplikan perlu diperhatikan. Jika sebagai cuplikan digunakan darah, pencuplikan dilakukan 3-5 kali T ½ eliminasi obat karena diasumsikan kadar obat yang dapat dianalisis pada waktu tersebut mencapai 90-95% kadar obat total. Jika digunakan
urin, pencuplikan dilakukan 7-10 kali T 1/2 eliminasi obat berdasarkan asumsi bahwa pada waktu tersebut kadar obat yang diekskresikan sudah mencapai 99% kadar obat total.
PEMBAHASAN Pada percobaan pertama dilakukan pembuatan kurva baku paracetamol, dengan membuat seri kadar larutan baku dari stock PCT yaitu 50, 100, 150 dan 200 ppm. Masing-masing seri kadar larutan baku dari stock PCT yang sudah direaksikan dengan beberapa pereaksi, dilakukan pembacaan absorbansi pada λ 435 nm dengan spektrofotometer. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan serapan pada masing-masing seri larutan baku. Dari percobaan ini diperoleh absorbansi dari setiap seri konsentrasi 50, 100, 150 dan 200 ppm secara berurutan yaitu 0,587, 0,724, 0,973 dan 1,181. Menurut hukum Lambeert-Beer nilai absorbansi yang berada dalam rentan 0,2-0,8 menunjukkan hasil pengukuran yang telah dilakukan memiliki kesalahan yang paling minimal (wijianto,B. Dkk. 2013) Hukum Lambert Beer berlaku dengan baik bila larutannya tidak terlalu encer ataupun pekat (Widjaja dan Laksmiani,2010). Dari hasil percobaan, pada pembacaan absorbansi 1 & 2 telah memenuhi hukum Lambeert-Beer, sedangkan pada absorbansi ke 3 & 4 belum memenuhi hukum Lambeert-Beer. Kemungkinan hal ini terjadi dikarenakan kesalahan dalam pengaturan ke absorbabsi nol, kesalahan pada waktu pembacaan nilai absorbansi atau transmitans , kurang bersihnya kuvet pada waktu pembilasan sehingga dapat mempengaruhi serapan pada larutan berikutnya. Persamaan regresi linier dari kurva baku parasetamol dari percobaan ini adalah y=0,3585+0,004062x. dengan nilai koefisien korelasi atau R sebesar 0,994. Menurut literatur nilai R>0,9 – 1 diketahui memiliki arti bahwa hubungan antarvariabel sangat tinggi, kuat sekali dan dapat diandalkan (Sarwono, 2010). Oleh sebab itu, persamaan garis kurva baku ini layak digunakan untuk menentukan kadar parasetamol dalam sampel darah. Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP). (Lusiana Darsono 2002) Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit fenasetin dan telah digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 1995). Parasetamol mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung (Sartono,1993). Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung, 2011) Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati,
sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati.(Lusiana Darsono 2002) Pada percobaan kedua, dilakukan penetapan kadar paracetamol dalam cairan hayati. Cairan hayati diambil dari hewan uji yaitu kelinci, yang sebelumnya bulu-bulu kelinci sekitar 2-3 cm dari telinga dicukur bersih, hal ini untuk mempermudah pengambilan darah, karena bila bulu tersebut tidak dihilangkan, maka darah yang keluar dapat merembes ke bulu-bulu dan juga untuk menghindari penjendalan di bulu bulu tersebut yang berakibat darah yang terambil sedikit. Pengambilan darah dilakukan dengan cara menyayat pembuluh vena marginalis pada telinga kelinci, diambil bagian telinga kelinci karena letak vena dekat dengan permukaan kulit sehingga darah mudah didapat dan resiko kematiannya kecil. Darah menjadi pilihan utama dalam farmakokinetika karena: 1. Darah merupakan tempat paling mudah dan cepat dicapai obat, serta paling logis bagi penetapan kadar obat dalam tubuh, karena darah mentransportasikan obat dari tempat absorbsi, mendistribusikan ke jaringan sasaran, serta menghantarkan ke organ eliminasi. 2. Bagi kebanyakan obat, bentuk obat yang tidak pernah berubah merupakan senyawa yang memiliki aktivitas farmakologis. Oleh karena itu, analisis obat dalam cuplikan darah akan memberikan suatu indikasi langsung beruap kadarnya yang mencapai sirkulasi. Pengambilan darah pertama digunakan sebagai blangko yang berguna untuk mendukung salah satu syarat metode analisis yaitu selektivitas/ spesivitas. Setelah kelinci diberi obat PCT secara oral, dilakukan pengambilan darah yang kedua. Pada pemberian per oral obat tidak langsung masuk ke pembuluh darah, tetapi obat harus masuk ke lambung terlebih dahulu dan diabsropsi pada lambung atau usus tergantung pH obat tersebut. Pencuplikan darah dilakukan pada menit ke 0,15, 30,45, 60, dan 75. Reagen-reagen yang ditambahkan pada sampel darah kelinci meliputi TCA, supernatant, HCl 6N, NaNO2 10 % dan asam sulfamat 15%. Penambahan TCA atau Trichloroacetat acid pada sampel darah bertujuan untuk mengendapkan makro-molekul di dalam darah, salah satunya adalah protein. TCA akan menyebabkan produk yang
mengandung peptida dan asam amino akan larut dalam TCA, sedangkan protein yang tidak terhidrolisis akan mengendap (wijianto,B.dkk.2013) obat akan berinteraksi dengan protein plasma untuk membentuk suatu kompleks makromolekul yang dikenal dengan ikatan obat-protein. Pengikatan ini dapat dianggap sebagai suatu cara untuk menyimpan obat karena bagian yang terikat tidak dirombak atau disekresi, segera bila kadar obat menurun, komplek obat-protein pecah dan obat terlepas kembali. Ikatan obat dengan protein mempengaruhi Vd. Parameter volume distribusi atau Vd merupakan parameter primer yang dapat digunakan untuk menjelaskan kinetika distribusi dan eliminasi parasetamol. Volume distribusi dapat dianggap sebagai volume dimana obat terlarut (Hakim, 2010). Jika suatu obat terikat oleh protein plasma dalam jumlah besar, atau tinggal
dalam vaskuler, maka Cp˚ menjadi lebih tinggi yang mengakibatkan Vd lebih kecil. (Hakim, 2010; Shargel, and Yu, 2005).
Kurang lebih 65% SMZ terikat pada protein plasma. Nilai Vd yang relatif besar menunjukkan bahwa jumlah SMZ dalam kompartemen jaringan atau ekstravaskuler juga relatif besar.
Pengambilan cuplikan selanjutnya dimaksudkan untuk mendapatkan profil distribusi dan eliminasi obat PCT dalam tubuh kelinci.
Oktavia, RW., 2009, “Pengaruh Seduhan Teh Hijau (Camellia sinensis) Terhadap Farmakokinetika Parasetamol Yang Diberikan Bersama Secara Oral Pada Kelinci Jantan”, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah: Surakarta. Shargel, L., dan Yu, AB., 1988, Biofarmasetika Dan Farmakokinetika Terapan, Airlangga University Press: Surabaya. Mutschler, E., 1991,Dinamika Obat, Edisi V, 88, Penerbit ITB, Bandung.
Wijayanto,B.dkk.” Traditional Medicine 178 Journal,” PENGARUH JUS BUAH DURIAN ( Durio
zibethinus
Murr.)
TERHADAP
PROFIL
FARMAKOKINETIK
PARASETAMOL PADA TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus L.) JANTAN GALURWISTAR.18(3)178-186