MODEL SATU KOMPARTEMEN FARMAKOKINETIKA DAN DUA KOMPARTEMEN FARMAKOKINETIKA
MAKALAH FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI PENERAPAN NYERI DISUSUN OLEH
:
NAMA
: APRILLIA PRISKA NANDARI
NIM
: 1551009
KELAS
: FARMASI 2A
INSTITUT KESEHATAN MEDISTRA LUBUK PAKAM FAKULTAS FARMASI T.A 2016/2017
KATA PENGHANTAR
Assalamualaikum.wr.wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya makalah yang berjudul Kompartemen 1 dan kompartemen 2. Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih. Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.
Waalaikum salam.wr.wb
DAFTAR ISI KATA PENGHANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB II PEMBAHASAN
2.1. Model Satu Kompartemen 2.2. Pemberian obat secara injeksi intravena cepat 2.3. Penggunaan Infus Intravena Kontinyu 2.4. Penggunaan Ekstravaskuler 2.5. Perhitungan Data Urin 2.6. Perhitungan Dosis Intravena dan Ekstravaskular BAB III KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Kata " farmakokinetika" berasal dari kata-kata "pharmacon", kata Yunani untuk obat dan
racun, dan "kinetic". Jadi "farmakokinetika" adalah ilmu yang mempelajari kinetika obat, yang dalam hal ini berarti kinetika obat dalam tubuh. Proses-proses yang akan menentukan kinetika obat dalam tubuh meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Untuk memahami kinetika obat dalam tubuh tidak cukup hanya dengan menentukan dan mengetahui perkembangan kadar atau jumlah senyawa asalnya saja (unchanged compound), tetapi juga meliputi metabolitnya. Dalam suatu penelitian/studi farmakokinetika, perkembangan kadar/jumlah obat (senyawa asal dan atau metabolitnya) dalam tubuh dilakukan pada titik-titik waktu yang diskontinyu (misalnya pada waktu-waktu 30 menit, 1 jam, 2 jam, 3 jam, 6 jam dan 8 jam setelah pemberian obat), karena sampai dengan saat ini memang tidak mungkin untuk dapat menentukan kinetika obat dalam tubuh secara eksperimental dalam waktu yang kontinyu. Dengan demikian, data eksperimental yang akan kita peroleh hanyalah untuk waktu-waktu tersebut tadi. Jika data tersebut dibiarkan apa adanya, tidak banyak manfaat yang bisa ditarik. Oleh karena itu, dalam dunia farmakokinetika akan dijumpai apa yang disebut dengan "Model". Yang paling sering dipakai adalah model kompartemental, dimana keadaan tubuh direpresentasikan ke dalam bentuk kompartemen Dalam
makalah
ini
akan
dibahas
tentang
model
satu
kompartemen
dalam
farmakokinetika beserta parameter-parameter yang terkait dengan penggunaan bolus intravena, penggunaan infus intravena kontinyu dan penggunaan ekstravaskuler.
B.
Rumusan Masalah
1.
Jelaskan definisi model satu kompartemen dalam farmakokienetika!
2.
Jelaskan parameter-parameter yang dalam model farmakokinetika satu kompartemen !
C.
Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain :
1.
Untuk memberikan pemahaman labih lanjut tentang model dalam farmakokinetika khususnya model satu kompartemen.
2.
Menjelaskan kompartemen.
parameter-parameter
yang
terkait
dalam
model
farmakokinetika
satu
BAB II PEMBAHASAN
2.1.
Model Satu Kompartemen Menurut mode ini, tubuh dianggap sebagai satu kompartemen tempat obat menyebar
secara seketika dan merata ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Model ini terlalu disederhanakan sehingga untuk kebanyakan obat kurang tepat (Gunawan, et al , 2009). Prinsip pemakaian model kompartemen satu yaitu tubuh merupakan satu kompartemen dengan v olume = Vd, kadar obat setiap waktu dinyatakan dengan Cpo, fase distribusi cepat dan tak teramati. Eliminasi obat dari tubuh dianggap berlangsung menurut reaksi orde ke satu dengan tetapan laju eliminasi (Kel) yang meliputi tetapan kecepatan metabolisme (km) dan tetapan laju ekskresi (Ke) (Hasibuan, 2008). Pada model satu kompartemen terbuka, obat hanya dapat memasuki darah dan mempunyai volume distribusi kecil, atau juga dapat memasuki cairan ekstra sel atau bahkan menembus sehingga menghasilkan volume distribusi yang besar (Gibson, 1991). Pada model satu kompartemen terbuka terlihat seolah olah tidak ada fase distribusi, hal ini disebabkan distribusinya berlangsung cepat (Wulandari, 2009). Model kompartemen satu terbuka mempunyai anggapan bahwa perubahan kadar obat dalam plasma sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Model ini obat akan didstribusikan ke semua jaringan di dalam tubuh melalui sistem sirkulasi dan secara tepat berkeseimbangan di dalam tubuh. Tetapi, model ini tidak menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan adalah sama pada berbagai waktu. Di samping itu DB juga tidak dapat ditentukan secara langsung, tetapi dapat ditentukan konsentrasi obatnya dengan menggunakan darah. Volume distribusi, Vd adalah volume dalam tubuh dimana obat tersebut larut (Wirasuta & Niruri, 2007). Gambar diatas diumpamakan obat disuntikkan secara langsung ke dalam kompartemen ini (misalnya injeksi intravena) dan mendistribusikan ke seluruh kompartemen. Konsentrasi obat pada waktu nol (Co) dapat dihitung dengan cara besarnya dosis obat (D) dibagi dengan besarnya volume distribusi (Wirasuta & Niruri, 2007). Model kompartemen satu terbuka menganggap bahwa berbagai perubahan kadar obat di dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Tetapi, model ini tidak menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan tersebut adalah
sama pada berbagai waktu. Selain itu, konsentrasi obat dalam tubuh tidak dapat ditentukan secara langsung, tetapi dengan menggunakan cuplikan cairan tubuh seperti darah (Hasibuan, 2008). Fase distribusi adalah waktu yang dibutuhkan obat untuk memasuki tapak kerja dalam jaringan ekstravaskular dan mencapai kesetimbangan. Istilah farmakokinetikanya adalah v olume distribusi, yang dihitung dengan cara membagi dosis obat yang diberikan dengan konsentrasi obat yang tercapai dalam plasma. Volume distribusi adalah volume obat yang terlarut di dalam tubuh. Obat dengan Vd yang besar lebih terpusat dalam jaringan ekstravaskular dan sedikit di dalam intravaskular. Jika suatu obat terikat dengan protein plasma dalam jumlah besar atau tinggal dalam vaskular, maka Vd menjadi lebih kecil. Oleh karena itu, ikatan obat dengan protein plasma atau jaringan perifer secara bermakna akan mempengaruhi Vd (Hasibuan, 2008). Tiap obat mempunyai Vd yang konstan. Pada penyakit tertentu, Vd dapat berubah jika distribusi obat berubah. Sebagai contoh dalam keadaan edema, jumlah total cairan tubuh dan cairan ekstravaskular meningkat. Keadaan ini dicerminkan dengan harga Vd yang lebih besar untuk obat yang mempunyai kelarutan tinggi dalam air. Begitu pula, perubahan berat badan dan massa tubuh yang kecil (secara normal terjadi sehubungan dengan umur) dapat mempengaruhi Vd (Hasibuan, 2008). 2.2.
Pemberian obat secara injeksi intravena cepat Jika suatu obat diberikan dalam bentuk injeksi intravena cepat (iv bolus), seluruh dosis
obat masuk tubuh dengan segera. Dalam hal ini tidak terjadi absorpsi obat, dimana obat akan didistribusikan bersama sistem sirkulasi sistemik dan secara cepat berkesetimbangan di dalam tubuh. Dalam model ini juga dianggap bahwa berbagai perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Tetapi, model ini tidak menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan tersebut adalah sama pada berbagai waktu. Jumlah obat di dalam tubuh tidak dapat ditentukan secara langsung, melainkan dengan
menentukan
konsentrasi
obat
dalam
plasma/darah
setiap
satuan
waktu
dan
mengalikannya dengan volume distribusinya ”Vd”, yaitu volume dalam tubuh dinama obat tersebut melarut (Wirasuta & Niruri, 2007). Obat yang memiliki dosis besar diberikan melalui pembuluh darah berjalan dalam waktu singkat, biasanya dalam waktu 1 sampai 30 menit. Bolus IV umumnya digunakan ketika kerja yang cepat dari obat yang dibutuhkan, seperti dalam keadaan darurat, ketika obat-obatan yang
tak dapat dicairkan, seperti kebanyakan obat kemoterapi kanker dan ketika tujuan terapi untuk mencapai tingkat kadar obat maksimum dalam aliran darah pasien. Bolus IV biasanya tidak digunakan untuk pasien yang mengalami penurunan kinerja jantung, penurunan pengeluaran urin, penurunan kinerja paru-paru, atau edema sistemik. Pasien tersebut mengalami penurunan toleransi terhadap obat (Wulansari, 2009). Jika suatu obat diberikan dalam bentuk injeksi intravenus cepat (bolus intravenus), seluruh dosis obat masuk tubuh dengan segera, kinetika obat diasumsikan berdasarkan kompartemen satu terbuka. Oleh karena itu laju absorbsi obat diabaikan dalam perhitungan. Dalam banyak hal, obat tersebut didistribusikan ke semua jaringan di dalam tubuh melalui sistem sirkulasi dan secara cepat berkesetimbangan di dalam tubuh. Model kompartemen satu terbuka secara skematik ditunjukkan pada gambar : Keterangan: D = dosis intra vena bolus Vd= volume distribusi Cb= konsentrasi obat di dalam darah Ku= konstanta laju ekskresi melalui urin Km= konstanta laju metabolisme Kel= Ku + Km (Hasibuan, 2008). 2.3.
Penggunaan Infus Intravena Kontinyu
Pada pemberian infus yang kontinyu atau dosis berulang, akan terjadi peningkatan kadar obat (akumulasi) sampai tercapai keadaan mantap ( steady state), dimana kadar obat tidak lagi meningkat (stabil) karena kecepatan eliminasi obat dalam tubuh telah menyamai kecepatan masuknya obat dalam tubuh. Kadar mantap atau kadar steady state (Css) dicapai setelah 4-5x waktu paruh obat. tss
= 5 x t1/2
t90%ss
= 3,3 x t1/2
Dosis muat ( Loading dose =DL) ialah dosis yang dimaksudkan untuk mencapai Css (Css adalah kadar terapi = Cther ) DL
= Css,max x Vd = Css,max x Vd/F
(IV) (Oral)
DL biasanya diberikan untuk obat yang t1/2nya relatif terlelu panjang dibandingkan dengan waktu yang diinginkan untuk mencapai kadar terapi, misalnya : -
Tetrasiklin (t1/2 ≈ 12 jam).
-
Digoksin (t1/2 ≈ 36 jam), tetapi digitalisasi biasanya dibagi dalam 3-4 dosis yang diberikan selama 1-2 hari.
-
Likodain (t1/2 ≈ 1 jam) untuk aritmia setelah anfark miokard (perlu efek yang segera).
-
Antimikroba (perlu langsung mencapai kadar terapi) (Gunawan, 2009). Dewasa ini beberapa macam obat diberikan secara infus yang kontinyu untuk mendapatkan konsentrasi obat di dalam plasma darah yang konstan (obat - obatnya : teofilin, insulin,tolazoline (alpha-blocker), nitroprusid, lidokain, dopamin). Jika tidak dilakukan kalkulasi dari konsentrasi teofilin didalam plasma darah, ada kemungkinan konsentrasi ini menjadi rendah, seperti pada infus aminofilin : dosis yang diberikan biasanya 0,9 mg/kg/jam. Pada dosis ini konsentrasi steady state di dalam plasma darah adalah 10 ug/cc (Cahyadi, 1985). Dari daftar konsentrasi terapeutik, dapat kita lihat therapeutic rangenya : 7 — 20 ug/cc. Ini berarti bahwa 10 ug/cc itu termasuk therapeutic range yang rendah, dan ini mungkin oleh penderita asma bronkial dirasakan kurang menolong, terutama pada status asmatikus. Jika kita menghendaki konsentrasi steady state dari teofilin itu 15 ug/cc (15 mg/liter), maka : Infus yang kontinyu harus diawali dengan pemberian loading initial dose, sehingga konsentrasi teofilin dalam plasma darah menjadi 15 ug/cc (Cahyadi, 1985). 2.4.
Penggunaan Ekstravaskuler
Pada pemberian obat secara ekstravaskular (oral, rektal,dan lain-lain), obat akan masuk ke dalam sistem peredaran darah secara perlahan-lahan melalui suatu proses absorpsi sampai mencapai puncaknya, kemudian akan turun. Pemberian secara ekstravaskular umumnya obat mengalami absorpsi. Setelah obat masuk dalam sirkulasi sistemik, obat akan didistribusikan, sebagian mengalami pengikatan dengan protein plasma dan sebagian dalam bentuk bebas. Obat bebas selanjutnya didistribusikan sampai ditempat kerjanya dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi obat diekskresikan dari dalam tubuh melalui organ-organ ekskresi, terutama ginjal. Seluruh proses yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi disebut proses farmakokinetik dan proses ini berjalan serentak (Wulandari, 2009). Obatobat yang kinetiknya diterangkan dengan model 1-kompartemen terbuka dengan proses absorpsi
dan eliminasi mengikuti orde-pertama setelah pemberian ekstravaskuler jumlahnya cukup banyak, misalnya bentuk sediaan per oral (Wulandari, 2009). 2.5.
Perhitungan Data Urin A. Pemberian Intravaskuler
·
Jumlah obat yang dieksresi ke dalam urin Du : Jumlah obat yang dieksresi melalui urin t
: Waktu
Ke : tetapan kecepatan eksresi renal Db : Jumah obat yang berada di dalam tubuh ·
Metode eksresi urin kumulatif Du : Jumlah kumulatif obat yang dieksresi melalui urin B. Pemberian Ekstravaskuler
·
Kecepatan Eksresi Obat) dDu/dt : Kecepatan eksresi obat setiap saat ke dalam urin
·
F
: Ketersediaan hayati
Dev
: Dosis obat yang diberikan secara ekstravaskuler
Ka
: Tetapan kecepatan absorpsi
K
: Tetapan kecepatan eliminasi
Ke
: Tetapan kecepatan eksresi
Metode Eksresi Urin Kumulatif 2.6.
Perhitungan Dosis Intravena dan Ekstravaskular 1. Perhitungan Dosis Intravena Dinf : Dosis intravena F
: Ketersediaan hayati
S
: Salt factor
2. Perhitungan Dosis Ekstravaskular Per oral : Dpo : Dosis per oral F
: Ketersediaan hayati
Vd : Volume distribusi K
: Tetapan kecepatan eliminasi (Hakim, 2007)
2.Kompartemen dua Kurva obat dalam plasma dengan waktu pada model 2 kompartemen terdiri dari 2 bagian: 1. Fase distribusi 2. Fase eliminasi Pada fase distribusi , menggambarkan distribusi obat dari kompartemen sentral ke kompartemen jaringan. Sedangkan pada fase eliminasi , merupakan fase obat mulai keluar dari tubuh, pada fase ini mengikuti kinetika orde 1, dan akan terlihat garis lurus pada grafik.
Persamaan untuk model 2 kompartemen:
Pada model 2 kompartemen ini, untuk menghitung berbagai parameter farmakokinetik biasanya digunakan metoda yang disebut dengan Metoda Residual . Metode ini dilakukan dengan membuat grafik berdasarkan data yang diberikan, boleh dibuat dengan komputer ataupun secara manual. Untuk mempelajari metode residual (cara manual) kamu cukup menyediakan:
Kertas grafik Penggaris Kalkulator Pulpen/pensil Niat *loh
Kertas grafik di sini boleh menggunakan kertas grafik biasa atau kertas semilog. Contoh soal: 100 mg obat diberikan secara IV pada seorang pria dewasa dengan berat 70 kg, berikut data waktu dengan konsentrasi obat dalam plasma:
Langkah-langkah yang perlu kamu lakukan : 1. buat grafik waktu (x) vs log Cp (y)
Karena saya menggunakan kertas grafik biasa, maka dicari log Cp dulu baru dimasukkan ke grafik. Sedangkan jika menggunakan kertas semilog maka Cp bisa langsung diplot ke grafik tanpa dicari dulu lognya.
maka akan didapat grafik seperti ini:
Perhatikan grafik, garis yang berwarna hitam adalah fase distribusi dan garis berwarna merah adalah fase eliminasi. Bagaimana cara kita membedakan antara kedua fase?
Pada metode residual biasanya digunakan 3 atau 4 titik terakhir sebagai fase eliminasi. Seperti yang telah disebutkan tadi, bahwa fase eliminasi mengikuti kinetika orde 1, sehingga akan terbentuk garis lurus. Pada kurva ini terlihat garis lurus dari menit ke 4 hingga menit ke 16, sehingga garis dari menit ke 4 – menit ke 16 ini disebut fase eliminasi. 2. tentukan kadar ekstrapolasi pada fase distribusi (Cp’)
Langkah selanjutnya, kamu tarik garis lurus dari titik -titik fase eliminasi ke sumbu y seperti gambar di bawah: (garis ini kita sebut garis p)
Lalu, kan tadi pada fase distribusi ada 5 titik waktu yaitu menit 0,25; 0,5; 1,0; 1,5; dan 2,0 Pada masing-masing titik ini kamu tarik garis lurus ke bawah sampai ke garis p yang tadi. Maka akan kita dapat 5 titik baru, angka pada 5 titik ini disebut dengan log Cp’.
Kemudian cari Cp’ dari nilai log Cp’ tadi dengan cara meng-antilogkan nilai log Cp’, sehingga didapat:
Nilai Cp’ ini menggambarkan kadar obat dalam tubuh karena eliminasi tahap awal.
3. tentukan kadar residual (Cp-Cp’)
Lalu, cari selisih nilai Cp dengan nilai Cp’. Boleh dengan Cp-Cp’ atau Cp’-Cp, prinsipnya angka yang besar dikurangi angka yang kecil, jadinya seperti ini:
Next, kamu log kan nilai selisih tadi:
4. buat grafik waktu (x) vs log (Cp-Cp’) (y)
Kamu plotkan nilai log Cp-Cp ini ke grafik tadi, sehingga didapat 1 garis lurus lagi:
5. cari regresi untuk:
a. fase distribusi waktu vs log (Cp-Cp’) b. fase eliminasi waktu vs log Cp agar lebih mudah lihat tabel di bawah:
maka akan didapat masing-masing persamaan regresi untuk kedua fase: a. distribusi: y = 1,673 – 0,803x b. eliminasi: y = 1,178 – 0,091x kembali ke persamaan yang akan kita cari tadi:
a. distribusi
pada saat distribusi, eliminasi obat hampir mendekati nol, sehingga persamaan pada fase ini menjadi:
karena mengikuti kinetika orde 1, maka:
sehingga, – log A = 1,673 maka A = antilog 1,673 = 47 – a = 0,803 x 2,303 = 1,85 b. eliminasi
pada saat eliminasi, distribusi obat akan mendekati nol, sehingga persamaan saat fase ini menjadi:
karena mengikuti kinetika orde 1, maka:
sehingga, – log B = 1,178 maka B = antilog 1,178 = 15 – b = 0,901 x 2,303 = 0,21 maka akan didapat persamaan akhir.
BAB III KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan : 1.
Menurut mode ini, tubuh dianggap sebagai satu kompartemen tempat obat menyebar secara seketika dan merata ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Pada model satu kompartemen terbuka terlihat seolah olah tidak ada fase distribusi, hal ini disebabkan distribusinya berlangsung cepat. Model ini terlalu disederhanakan sehingga untuk kebanyakan obat kurang tepat.
2.
Prinsip pemakaian model kompartemen satu yaitu tubuh merupakan satu kompartemen dengan volume = Vd, kadar obat setiap waktu dinyatakan dengan Cpo, fase distribusi cepat dan tak teramati. Eliminasi obat dari tubuh dianggap berlangsung menurut reaksi orde ke satu dengan tetapan laju eliminasi (K el) yang meliputi tetapan kecepatan metabolisme (km) dan tetapan laju ekskresi (K e).
DAFTAR PUSTAKA
Cahyadi, Yeyet, 1985, Pengantar Farmakokinetika, Cermin Dunia Kedokteran, No : 37 Gunawan, Sulistia Gan, Rianto Setiabudy, Nafrialdi & Elisabeth, 2009, Farmakologi dan Terapi, Ed : V, FKUI, Jakarta Hakim, L.,2007, Farmakokinetika, UGM Press : Yogyakarta. Hasibuan, Poppy Anjelisa Z., 2008, Pemantauan Efektivitas Terapi Gentamisin Dosis Berganda Bolus Intravenus Terhadap Infeksi Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis, Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara , Medan Wirasuta, I Made Agus Gelgel & Rasmaya Niruri, 2007, Buku Ajar Toksikologi Umum, Jurusan Farmasi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana Wulandari, Retno, 2009, Profil Farmakokinetik Teofilin Yang Diberikan Secara Bersamaan Dengan Jus Jambu Biji ( Psidium Guajava L.) Pada Kelinci Jantan, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah, Surakarta Wulansari, N., 2009, Pengaruh Perasan Buah Apel (Maulus Domestica Borkh) Fuji Rrc Terhadap Farmakokinetika Parasetamol Yang Diberikan Bersama Secara Oral Pada Kelinci Jantan, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta : Surakarta.