BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sindroma kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan intertisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen
osteofisial
yang
tertutup.
Peningkatan
tekanan
intra
kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut berisi otot, saraf dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual yang dibungkus
oleh epimisium. Ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi,
paresis, pucat, disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak. Paling sering disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas. Sindroma Kompartemen dapat di klasifikasikan berdasarkan etiologinya yaitu penurunan volume kompartemen dan peningkatan tekanan struktur kompartemen serta lamanya gejala yaitu akut dan kronik. Penyebab umum terjadinya sindroma kompartemen akut adalah fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan pada arteri dan luka bakar. Sedangkan sindroma kompartemen kronik biasa terjadi akibat melakukan aktivitas yang berulang-ulang, misalnya pelari jarak jauh, pemain basket, pemain sepak bola dan militer. 1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Apa yang dimaksud dengan sindroma kompartemen? 2. Bagaimana kasus sindroma kompartemen di dunia khususnya di indonesia? 3. Apa penyebab munculnya sindrom kompartemen? 4. Bagaimana manifestasi klinis dari sindrom kompartemen? 5. Bagaimana patofisiologi dari sindrom kompartemen? 6. Bagaimana penatalaksanaan untuk penyakit sindrome kompartemen? 7. Apa
saja
pemeriksaan
diagnostik
untuk
mendeteksi
sindrom
kompartemen?
1
8. Bagaimana asuhan keperawatan yang akan diberikan pada penderita sindrome kompartemen? 1.3
TUJUAN 1. Tujuan umum Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Muskulokeletal 2 dan untuk menambah wawasan para pembaca tentang penyakit sindrome kompartemen. 2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui definisi dari sindrome kompartemen. b. Untuk mengetahui bagaimana prevalensi dari kasus sindrome kompartemen. c. Untuk mengetahui etiologi dari sindrome kompartemen. d. Untuk mengetahui bagaimana tanda dan gejala dari sindrome kompartemen. e. Untuk mengetahui patofisiologi dari sindrome kompartemen. f. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan yang tepat untuk kasus sindrome kompartemen. g. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik yang digunakan untuk kasus sindrome kompartemen. h. Untuk mengetahui bagaimana pemberian asuhan keperawatan pada pasien penderita sindrome kompartemen.
2
BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 PENGERTIAN Sindrom kompartemen adalah kondisi yang menyakitkan yang terjadi saat tekanan di dalam otot membangun ke tingkat yang berbahaya. Tekanan ini bisa menurunkan aliran darah, yang mencegah nutrisi dan oksigen mencapai sel saraf dan otot. Sindrom
Kompartemen
merupakan
suatu
kondisi
yang
bisa
mengakibatkan kecacatan hingga mengancam jiwa akibat terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasia yang tertutup. Sebagian besar terjadi pada daerah lengan bawah dan kaki. Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan. (ENA,2000:533) 2.2 PREVALENSI Di Amerika, ektremitas bawah distal anterior adalah yang paling banyak dipelajari untuk sindrom kompartemen. Dianggap sebagai yang kedua paling sering untuk trauma sekitar 2-12%. Dari penelitian McQueen (2000), sindrom kompartemen lebih sering didiagnosa pada pria dari pada wanita, tapi hal ini memiliki bias, dimana pria lebih sering mengalami luka trauma. McQueen memeriksa 164 pasien yang didiagnosis sindrom kompartemen, 69% berhubungan dengan fraktur dan sebagian adalah fraktur tibia. Ellis pada tahun 1958 melaporkan bahwa 2 % iskemi. kontraktur terjadi pada fraktur tibia. Detmer dkk melaporkan bahwa sindrom kompartemen bilateral terjadi pada 82% pasien yang menderita sindrom kompartemen kronis. Sindrom kompartemen akut sering terjadi akibat trauma, terutama di daerah tungkai bawah dan tungkai atas. Pada tahun 1981, Delee dan Stiehl menemukan bahwa 6 % pasien dengan fraktur tibia terbuka berkembang menjadi sindrom kompartemen, sedangkan 1,2 % fraktur tibia tertutup.
3
2.3 ETIOLOGI Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang kemudian memicu timbulnya sindrom kompartemen, yaitu antara lain: 1. Penurunan volume kompartemen Kondisi ini disebabkan oleh: a. Penutupan defek fascia b. Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas 2. Peningkatan tekanan eksternal a. Balutan yang terlalu ketat b. Berbaring di atas lengan c. Gips 3. Peningkatan tekanan pada struktur komparteman Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain: a. Pendarahan atau Trauma vaskuler b. Peningkatan permeabilitas kapiler c. Penggunaan otot yang berlebihan d. Luka bakar e. Operasi f. Gigitan ular g. Obstruksi vena Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah.
2.4 MANIFESTASI KLINIS 1. Pain (nyeri) : nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering. 2. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah tersebut.
4
3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi ) 4. Parestesia (rasa kesemutan) 5. Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom. 2.5 KLASIFIKASI Berikut
merupakan
klasifikasi
sindrom
kompartemen
berdasar
penyebabnya : 1. Sindrom kompartemen Intrinsik : merupakan sindrom kompartemen yang berasal dari dalam tubuh,seperti : pendarahan,fraktur. 2. Sindrom kompartemen ekstrinsik : merupakan sindrome kompartemen yang berasal dari luar tubuh : gift, penekanan lengan terlalu lama. Berdasarkan Keparahannya 1.
Sindrom kompartemen akut Sindrom kompartemen akut biasanya berkembang setelah mengalami luka parah, seperti kecelakaan mobil atau patah tulang. Jarang, ia berkembang setelah cedera yang relatif kecil.
Kondisi yang mungkin timbul pada sindrom kompartemen akut meliputi: 1.
Sebuah fraktur.
2.
Otot yang memar parah. Jenis cedera ini bisa terjadi saat sepeda motor jatuh di kaki pengendara, atau pemain sepak bola dipukul di kaki dengan helm pemain lain.
3.
Terbangun kembali aliran darah setelah diblokir sirkulasi. Hal ini bisa terjadi setelah seorang dokter bedah memperbaiki pembuluh darah yang rusak yang telah diblokir selama beberapa jam. Sebuah pembuluh darah juga bisa tersumbat saat tidur. Berbaring terlalu lama di posisi yang menghalangi pembuluh darah, lalu bergerak atau bangun dapat menyebabkan kondisi ini. Sebagian besar orang sehat secara alami akan bergerak saat darah mengalir ke anggota badan yang tersumbat saat tidur. Perkembangan sindrom kompartemen
5
dengan cara ini biasanya terjadi pada orang-orang yang mengalami gangguan neurologis. Hal ini bisa terjadi setelah keracunan parah dengan alkohol atau obat lain. 4.
Crush luka.
5.
Penggunaan steroid anabolik. Mengambil steroid adalah faktor yang mungkin terjadi pada sindrom kompartemen. Membungkus perban. Pemain dan perban yang ketat dapat
6.
menyebabkan
sindrom
kompartemen.
Jika
gejala
sindrom
kompartemen berkembang, lepaskan atau lepaskan perban yang menyempit. Jika Anda memiliki pemain, segera hubungi dokter Anda. 2.6 PATOFISIOLOGI Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia. Tanpa
memperhatikan
penyebabnya,
peningkatan
tekanan
jaringan
menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan terus meningkat hingga tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler, menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, sehingga tekanan (pressure) dalam kompartemen makin meningkat. Penekanan saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat. Metsen menpelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intrakompartemen, tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut. 2.7 KOMPLIKASI Komplikasi terjadi akibat trauma permanen yang mengenai otot dan syaraf yang dapat mengurangi fungsinya. Apabila sindrom kompartemen lebih dari 8 jam dapat mengakibatkan nekrosis dari syaraf dan otot dalam kompartemen. Syaraf dapat beregenerasi sedangkan otot tidak sehingga jika 6
terjadi infark tidak dapat pulih kembali dan digantikan dengan jaringan fibrosa yang tidak elastis yaitu kontraktur iskemik Volkmann, yaitu kelanjutan dari sindrom kompartemen akut yang tidak mendapat terapi selama lebih dari beberapa minggu atau bulan. Kira-kira 1-10% dari semua kasus sindrom kompartemen berkembang menjadi kontraktur volkmann. Kontraktur volkamann Iskemia berat yang berlangsung selama 6-8 jam dapat menyebabkan kematian otot dan nervus, yang kemudian menyebabkan terjadinya kontraktur Volkmann. Kontraktur Volkmann adalah deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan bawah. Disebabkan oleh iskemia yang biasanya disebabkan oleh peningkatan tekanan (sindrom kompartemen). Trauma vaskuler menyebabkan infark otot dan kematian serat otot, kemudian otot digantikan oleh jaringan ikat. Sedangkan komplikasi sistemik yang dapat timbul dari sindroma kompartemen meliputi gagal ginjal akut, sepsis dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) yang fatal jika terjadi sepsis kegagalan organ secara multi sistem. Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera, akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain: a. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen b. Kontraktur
volkman,
merupakan
kerusakan
otot
yang
disebabkan
oleh terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan bawa. c. Trauma vascular d. Gagal ginjal akut e. Sepsis f. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
7
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG a.
Laboratorium : 1.
Comprehensive metabolic panel (CMP) Sekelompok tes darah yang memberikan gambaran keseluruhan keseimbangan kimia tubuh dan metabolisme. Metabolisme mengacu pada semua proses fisik dan kimia dalam tubuh yang menggunakan energi.
2. Complete blood cell count (CBC) Pemeriksaan komponen darah secara lengkap yakni kadar : Hemoglobin, Hematokrit, Leukosit (White Blood Cell / WBC), Trombosit (platelet), Eritrosit (Red Blood Cell / RBC), Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC), Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR), Hitung Jenis Leukosit (Diff Count), Platelet Disribution Width (PDW), Red Cell Distribution Width (RDW). 3.
Amylase and lipase assessment
4.
Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) bila pasien diberi heparin
5.
Cardiac marker test (tes penanda jantung)
6.
Urinalisis and urine drug screen
7.
Pengukuran level serum laktat
8.
Arterial blood gas (ABG): cara cepat untuk mengukur deficit pH, laktat dan basa.
9.
Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin
10. Serum myoglobin 11. Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak membantu dalam menentukan terapi pasiennya. 12. Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat mengarah ke diagnosis rhabdomyolisis.
8
b.
Imaging : 1.
Rontgen : pada ekstremitas yang terkena.
2.
USG: USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi Deep Vein Thrombosis (DVT).
2.9 PENATALAKSANAAN Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi. a. Terapi 1. Terapi Medikal/ Non bedah Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi: a.
Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemi.
b.
Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut kontriksi dilepas.
c.
Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat perkembangan sindroma kompartemen
d.
Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah
e.
Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.
9
2.
Terapi Bedah Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30 mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi otot. Jika tekanannya < 30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal. Pada tungkai bawah fasciotomi dapat berarti membuka keempat kompartemen, kalau perlu dengan mengeksisi satu segmen fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis otot dapat dilakukan debridemen jika jaringan sehat luka dapat dijahit (tanpa regangan ) atau dilakukan pencangkokan kulit. Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi, antara lain : a) Adanya tanda - tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat. b) Gambaran klinik yang meragukan dengan resiko tinggi ( pasien koma, pasien dengan c) Masalah psikiatrik dan dibawah pengaruh narkoba ), dengan tekanan jaringan > 30 mmHg pada pasien yang diharapkan memiliki tekanan jaringan yang normal. Bila ada indikasi operasi dekompresi harus segera dilakukan karena penundaan akan meningkatkan kemungkinan kerusakan jaringan intrakompartemen sebagaimana terjadinya komplikasi. Waktu adalah inti dari diagnosis dan terapi sindrom kompartemen.
10
Kerusakan nervus permanen mulai setelah 6 jam terjadinya hipertensi intrakompartemen. Jika dicurigai adanya sindrom kompartemen, pengukuran dan konsultasi yang diperlukan harus segera dilakukan secepatnya. Beberapa teknik telah diterapkan untuk operasi dekompresi untuk semua sindrom kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan tanpa torniket untuk mencegah terjadinya periode iskemia yang berkepanjangan dan operator juga dapat memperkirakan derajat dari sirkulasi lokal yang akan didekompresi. Setiap yang berpotensi mambatasi ruang termasuk kulit dibuka di sepanjang daerah kompartemen, semua kelompok otot harus lunak pada palpasi setelah prosedur selesai. Debridemen otot harus seminimal mungkin selama operasi dekompresi kecuali terdapat otot yang telah nekrosis. a. Fasciotomi untuk sindrom kompartemen akut : Teknik Tarlow Incisi lateral dibuat mulai dari distal garis intertrocanterik sampai ke epikondilus lateral. Dieksisi subkutaneus digunakan untuk mengekspos daerah iliotibial dan dibuat insisi lurus sejajar dengan insisi kulit sepanjang fascia iliotibial. Perlahan lahan dibuka sampai vastus lateralis dan septum intermuskular terlihat, perdarahan ditangani bila ada. Insisi 1 - 5 cm dibuat pada septum intermuskular lateral perpanjangan ke proksimal dan distal. Setelah kompartemen anterior dan posterior terbuka,
tekanan
kompartemen
medial
diukur.
Jika
meningkat dibuat insisi setengah medial untuk membebaskan kompartemen adductor. 1) Facsiotomi kompartemen tungkai bawah : a) Fibulektomi : Prosedur radikal dan jarang dilakukan dan jika ada, termasuk indikasi pada sindrom kompartemen akut. Insisi
11
tunggal dapat digunakan untuk jaringan lunak pada ekstremitas. Teknik insisi ganda lebih aman dan efektif. b) Fasciotomi insisi tunggal ( darvey, Rorabeck dan Fowler ) : Dibuat insisi lateral, longitudinal pada garis fibula, sepanjang mulai dari distal caput fibula sampai 3 - 4 cm proksimal malleolus lateralis. Kulit dibuka pada bagian anterior dan jangan sampai melukai nervus peroneal superficial.
Dibuat
fasciotomi
longitudinal
pada
kompartemen anterior dan lateral. Berikutnya kulit dibuka ke
bagian
kompartemen
posterior posterior
dan
dilakukan
superficial.
fasciotomi
Batas
antara
kompartemen superficial dan lateral dan interval ini diperluas ke atas dengan memotong soleus dari fibula. Otot dan pembuluh darah peroneal ditarik ke belakang, kemudian diidentifikasi fascia otot tibialis posterior ke fibula dan dilakukan insisi secara longitudinal. Insisi sepanjang 20 - 25 cm dibuat pada kompartemen anterior, setengah antara fibula dan caput tibia. Diseksi subkutaneus digunakan untuk mengekspos fascia kompartemen. Insisi transversal dibuat pada septum intermuskular lateral dan identifikasi nervus peroneal superficial pada bagian posterior septum. Buka kompartemen anterior kearah proksimal dan distal pada garis tibialis anterior. Kemudian dilakukan fasciotomi pada kompartemen lateral ke arah proksimal dan distal pada garis tubulus fibula. Insisi kedua dibuat secara longitudinal 1 cm dibelakang garis posterior tibia. Digunakan diseksi subkutaneus yang luas untuk mengidentifikasi fascia. Dibuat insisi transversal untuk mengidentifikasi septum antara kompartemen posterior profunda dan superficial. Kemudian dibuka fascia gastrocsoleus sepanjang kompartemen. Dibuat
12
insisi lain pada otot fleksor digitorum longus dan dibebaskan seluruh kompartemen otot tibialis posterior. Jika terjadi peningkatan tekanan pada kompartemen ini segera dibuka. 2) Fasciotomi pada lengan bawah : a. Pendekatan Volar ( Henry ) Dekompresi kompartemen fleksor volar profunda dan superficial dapat dilakukan dengan insisi tunggal. Insisi kulit dimulai dari proksimal ke fossa antecubiti sampai ke palmar pada daerah tunnel carpal. Tekanan kompartemen
dapat
diukur
selama
operasi
untuk
mengkonfirmasi dekompresi, tidak ada penggunaan torniket. Insisi kulit mulai dari medial ke tendon bicep bersebelahan dengan siku kemudian ke sisi radial tangan dan
diperpanjangan
brachioradialis
ke
dilanjutkan
arah
distal
sepanjang
ke
palmar.
Kemudian
kompartemen fleksor superficial di insisi mulai titik 1 atau 2 cm diatas siku ke arah bawah sampai pergelangan tangan. Kemudian
nervus
radialis
diidentifikasi
dibawah
brachioradialis, keduanya kemudian ditarik ke arah radial. Kemudian fleksor carpi radialis dan arteri radialis ditarik ke sisi ulnar yang akan mengekspos fleksor digitorum profundus, fleksor pollicis longus, pronatus quadratus dan pronator teres. Karena sindrom kompartemen biasanya melibatkan
kompartemen
fleksor
profunda
harus
dilakukan dekompresi fascia disekitar otot tersebut untuk memastikan bahwa dekompresi yang adekuat telah dilakukan. b. Pendekatan Volar Ulnar Pendekatan volar ulnar dilakukan dengan cara yang sama dengan pendekatan Henry. Lengan disupinasikan
13
dan insisi mulai dari medial bagian atas tendon bicep melewati lipatan siku terus ke bawah melewati garis ulnar lengan bawah dan sampai ke carpal tunnel sepanjang lipatan thenar. Fascia superficial pada fleksor carpi ulnaris di insisi ke atas sampai ke aponeurosis siku dan ke carpal tunnel ke arah distal. Kemudian dicari batas antara fleksor carpi ulnaris dan fleksor digitorum sublimis. Pada dasar fleksor digitorum sublimis terdapat arteri dan nervus ulnaris yang harus dicari dan dilindungi. Fascia pada kompartemen fleksor profunda kemudian di insisi. c. Pendekatan Dorsal Setelah kompartemen superficial dan fleksor profunda lengan bawah didekompresi, harus diputuskan apakah perlu dilakukan fasciotomi dorsal ( ekstensor ). Hal ini lebih baik ditentukan dengan pengukuran tekanan kompartemen intraoperatif setelah dilakukan fasciotomi kompartemen fleksor. Jika terjadi peningkatan tekanan pada
kompartemen
dorsal
yang
terus
meningkat,
fasciotomi harus dilakukan dengan posisi lengan bawah pronasi. Insisi lurus dari epikondilus lateral sampai garis tengah pergelangan tangan, batas antara ekstensor carpi radialis brevis dan ekstensor digitorum komunis di identifikasi kemudian dilakukan fasciotomi.
14
BAB III ASKEP 3.1 PENGKAJIAN 1. Identitas/data umum Meliputi nama, umur, agama,pendidikan, pekerjaan, alamat, suku bangsa : morbiditas kompartemen sindrom abdomen tidak tergantung pada perbedaan ras, seksual, dan usia 2. Keluhan utama Nyeri yang timbul misalnya : saat aktivitas, terutama saat olehraga. 3. Riwayat Kesehatan Sekarang Keluhan yang muncul adalah terdapat salah satu pembengkakan pada lengan atas, lengan bawah, tungkai atas dan tungkai bawah. Dengan ciri-ciri parestesia pada tangan atau kaki, denyut nadi tidak teraba pada bagian yang mengalami kompartemen sindrom. Kehilangan fungsi motorik (gerak) pada bagian yang mengalami kompartemen sindrom, dan adanya riwayat fraktur 4. Riwayat Penyakit Dahulu Kaji riwayat obesitas, DM, riwayat pemasangan gips 5. Riwayat Kesehatan Keluarga Kaji riwayat keluarga obesitas, riwayat hepatitis, 6. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan umum: Lemah b. Pemeriksaan fisik Persistem : 1) B1 (Breath/Sitem respirasi) Dispnea, hipoksia, hiperkarbia, sianosis. 2) B2 (Blood/ Sistem Cardiovaskuler) Bradikardia, distensi vena jugularis, asidosis , penurunan curah jantung, tekanan darah menurun, MAP : menurun, CRT > 5 detik 3) B3 (Brain/Sistem Persyarafan) Gelisah, penurunan kesadaran, nyeri kepala.kejang 4) B4 (Bladder/Sistem perkemihan)
15
Oliguria, anuria. 5) B5 (Bowel/Sistem pencernaan) Hematemesis, melena, mual, muntah, distensi abdomen.
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI a. Diagnosa pre operatif : 1. Nyeri akut b.d agen injury fisik, terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cidera pada jaringan, alat traksi atau imobilisasi (Nanda,2005). INTERVENSI
NOC
a) Kaji lokasi, intensitas dan Klien tipe
nyeri
reaksi
verbal
mampu Setelah
atau mengontrol
karakteristik nyeri. b) Observasi
NIC
nyeri,
dilakukan klien tindakan
non melaporkan
keperawatan
tentang nyeri berkurang, selama 120 menit
ketidaknyamanan.
skala
nyeri adanya
c) Atur posisi klien lebih berkurang, tinggi
(15-45)
dan ekspresi
laporan
klien
nyeri
wajah berkurang.
dukung ekstermitas yang rileks,
TTV
sakit.
batas
dalam
d) Ajarkan teknik relaksasi normal nafas dalam. e) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
2. Kerusakan mobilitas fisik b.d nyeri atau ketidaknyamanan, kerusakan muskuloskeletal, terapi pembatasan aktivitas dan penurunan kekuatan atau tahanan (Nanda, 2009). INTERVENSI
NOC
a) Kaji derajat immobilitas Meningkatkan yang
dihasilkan
oleh atau
NIC Setelah dilakukan
16
cidera atau pengobatan mempertahankan
tindakan
dan perhatikan persepsi mobilitas
pada keperawatan
klien
yang selama
terhadap tingkat
immobilisasi. b) Motivasi
tinggi
klien
maupun menit
untuk mampu
atau
aktif
pada mobilitas
ekstermitas yang sakit. c) Berikan/
bantu
klien
mampu
melakukan rentang gerak melakukan pasif
120
menunjukkan tanpa tingkat mobilitas
bantuan.
yang optimal.
dalam
mobilisasi dengan kursi roda,
kruk
tongkat
sesegera mungkin.
3. Ansietas b/d kurang pengetahuan terhadap prosedur operasi (Nanda,2009). INTERVENSI a) Berikan
serta
kenyataan normalitas cemas
NOC
NIC
akui Klien rilaks dan
Setelah
atau melaporkan
dilakukan
perasaan ansietas menurun
yang
dialami sampai
klien.
dapat
keperawatan
klien
selama
120
mengakui
menit,
klien
ditangani,
b) Dorong
ekspresi dapat
ketakutan klien
tindakan
dan
c) Berikan informasi akurat mendiskusikan
memiliki rentang respon
tentang prosedur operasi rasa takut, klien
adaptif(tidak
dan
cemas)
perkembangan dapat
kesehatan. d) Motivasi
menunjukkan penggunaan rentang perasaan
menejemen stress, contoh yang tepat. : relaksasi napas dalam, bimbingan imajinasi, dan visualisasi.
17
e) Bimbing
klien
untuk
berdoa menurut agama/ kepercayaan yang dianut sebelum
operasi
dilakukan.
b. Diagnosa intra operasi : 1. Resiko infeksi b.d port de entry (Nanda, 2005). INTERVENSI a) Lakukan
cuci
NOC
tangan TTV dalam batas Setelah
dengan prinsip steril. b) Sterilisasi sekitar
pada
normal
tidak dilakukan
area muncul
pembedahan tanda
menggunakan,
NIC
infeksi keperawatan
savlon, seperti
betadine.
tanda- tindakan
tumor, selama
rubor, dolor, color 120menit klien
c) Tutup
dengan sampai nekrotik
memperkecil area yang
tidak
terjadi
infeksi.
dilakukan insisi dengan duk steril. d) Lakukan tindakan operatif berprinsip
steril
untuk
setiap tindakan dan alat yang dipergunakan harus dalam keadaan steril. e) Amati tanda – tanda vital.
2. Resiko perdarahan b.d efek samping terkait terapi (pembedahan) INTERVENSI
NOC
NIC
a) Monitor tanda – tanda Tanda vital dalam Setelah
18
vital
secara
terus
– batas
menerus.
normal, dilakukan
perdarahan
b) Persiapkan
pemakaian berhenti,
couter bipolar.
akral keperawatan
teraba hangat.
c) Pantau
jumlah
perdarahan yang keluar. d) Pantau
tindakan
jumlah
selama
120
menit
tidak
terjadi
cairan
perdarahan
masuk ke dalam tubuh. e) Kaji
tanda
–
tanda
perdarahan.
c. Diagnosa Post operasi : 1. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran (Nanda, 2009). INTERVENSI
NOC
NIC
a) Bebaskan klien dari alat – Klien sampai di Setelah alat operasi. b) Pastikan
ruang pulih sadar dilakukan
posisi
klien dalam
kondisi tindakan
sejajar dari kepala hingga aman atau bebas keperawatan kaki
sebelum dari cedera. Tidak selama
dipindahkan.
120
ada laporan klien menit
c) Pindahkan
klien terjatuh
menggunakan long spine brankar.
klien
dari tidak
terjadi
cedera.
board secara bersamaan. d) Naikkan
pengaman
brankar dan perhatikan jalan yang akan dilalui, pastikan sesuai prosedur. 2. Gangguan perfusi jaringan perifer b.d penurunan atau interupsi aliran darah, cedera vaskuler langsung, edema (Muttaqin, 2012). INTERVENSI
NOC
NIC
19
a) Lepaskan perhiasan dari Perabaan ekstremitas yang sakit
hangat,
kulit Setelah sensasi dilakukan
b) Evaluasi adanya kualitas normal, nadi
perifer
distal stabil,
TTV tindakan haluaran keperawatan
terhadap cidera melalui urin adekuat
selama
120
palpasi.
menit
klien
c) Kaji aliran perifer, warna kulit pada fraktur
gangguan
d) Awasi TTV, perhatikan tanda
sianosis,
tidak mengalami
pucat,
perfusi jaringan perifer
kulit dingin e) Lakukan
kajian
neuromuskulair, perhatikan
adanya
perubahan fungsi motorik atau sensorik
3.3 EVALUASI 1. Klien mampu mengontrol nyeri, klien melaporkan nyeri berkurang, skala nyeri berkurang, ekspresi wajah rileks, dan TTV dalam batas normal. 2. Klien mampu mempertahankan mobilitas pada tingkat yang tinggi maupun mampu melakukan mobilitas tanpa bantuan. 3. Klien rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai dapat ditangani, klien dapat mengakui dan mendiskusikan rasa takut, klien dapat menunjukkan rentang perasaan yang tepat. 4. Tidak muncul tanda-tanda infeksi seperti tumor, rubor, dolor, color sampai nekrotik 5. Klien sampai di ruang perawatan pulih dan dalam kondisi aman atau bebas dari cedera. Tidak ada laporan klien terjatuh dari brankar. 6. Perabaan kulit hangat, sensasi normal, TTV stabil, haluaran urin adekuat.
20
BAB IV PENANGANAN KEGAWATDARURATAN Pada kondisi pasien tertentu juga akan terjadi kegawatdaruratan yang tentunya akan mengancam nyawa sehingga perlu dilakukan tindakan untuk menyelamatkan pasien. Tindakan tersebut seperti : a. Singkirkan semua tekanan dari luar. b. Hilangkan hal-hal yang mengganggu sirkulasi. c. Hindarkan penggunaan kompres es, karena akan mengakibatkan vaso kontriksi. d. Hindarkan meninggikan ekstremitas : bisa memperburuk aliran arteri. e. Siapkan dan bantu hal-hal yang dapat meminimalisasi fraktur jika diindikasikan. f. Berikan analgetik bila diinstruksikan. g. Siapkan
untuk
operasi
fasciotomi
untuk
memperbaiki
fungsi
neuromuscular. h. Berikan pengetahuan pada pasien dan keluarga
21
BAB V PENUTUP 5.1 KESIMPULAN Sindrom kompartemen dapat terjadi pada kasus trauma yang disertai fraktur, paling sering di tungkai bawah. Sindrom kompartemen tidak memiliki tanda dan gejala khusus, tanda dan gejalanya sering diduga berasal dari trauma primer. Tanda dan gejala serta mekanisme terjadinya sindrom kompartemen sangat perlu dipahami agar dapat didiagnosis dalam periode emasnya. Tindakan definitif terbaik dekompresi kompartemen tungkai bawah adalah fasiotomi dengan teknik insisi ganda. 5.2 SARAN Berdasarkan kesimpulan di atas, kami ingin memberikan saran sebagai berikut : a. Pada perawat Agar meningkatkan kualitas dalam pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien dengan kompartemen sindrom dan meningkatkan pengetahuan dengan membaca buku-buku dan mengikuti seminar serta menindaklanjuti masalah yang belum teratasi. b. Pada mahasiswa Diharapkan dapat melaksanakan teknik komunikasi terpeutik dan melakukan pengkajian agar kualitas pengumpulan data dapat lebih baik sehingga dapat melaksanakan asuhan keperawatan dengan baik. c. Pada klien dan keluarga Diharapkan klien dapat melaksanakan anjuran dan penatalaksanaan pengobatan dan diit yang telah diinstruksikan oleh perawat dan dokter.
22
DAFTAR PUSTAKA 1. Antall, Gloria, dkk. 2004. The Use Guade Imagery To Manage Pain In An Elderly Orthopedic Population. Orthopaedic nursing;23,5; proquest research library pg.335 2. Muttaqin, Arif. 2012. Buku saku gangguan muskuluskeletal aplikasi pada praktik klinik keperawatan. Jakarta : Salemba Medika 3. Petrus Aprianto.2017. Sindrome kompartemen akut tungkai bawah vol.44 no.06. Riau. 4. http:/anakkomik.blogspot.co.id/2010/01/sindromakompartemen.html?m=1 diakses tanggal : 16/11/2017 jam :10.30 5. http:/nurse-carewithlove.blogspot.co.id/2016/05/sindrom-kompartemenkonsep-gejala.html?m=1 diakses tanggal : 16/11/2017
jam: 10.34
6. https://masperawat.wordpress.com/2009/03/05/sindrome-kompartemen/ diakses tanggal: 16/11/2017 jam :10.45
23
24