Merajut Kembali Arah Pemikiran dan Pergerakan untuk Indonesia

Logo Penerbit Dari Tamalanrea untuk Indonesia Menautkan Serpih Pemikiran Anggota dan Alumni HMI Cabang Makassar Timur Copyright @2016, Yayasan ....... Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penernit Buku ..., 2016 Profile and address

Pengantar: Andri Morteza Sambutan: Eka Sastra Editor: Yusran Darmawan

Design sampul: Irfan Syaputra Grafis dan lay out: Darmadi Tariah ISBN: ....

Daftar Isi

Sambutan: Eka Sastra Pengantar: Andri Morteza Catatan Editor: Yusran Darmawan

Kemodernan & Keindonesiaan Memanfaatkan Momentum Emas Perekonomian Melalui Penguatan Kewirausahaan Eka Sastra Strategi Revitalisasi JKN Muhammad Arief Rosyid Hasan Merajut Kembali Arah Pemikiran dan Pergerakan untuk Indonesia Thaufan Malaka Meneropong Masa Depan Hutan Indonesia Emban Mas’ud Peluang & Tantangan Sektor Pertanian di Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Masluki

1

3 17

25 37

45

Bisnis Sosial sebagai Praktek Kapitalisme Kiri Serpian Agus

61

Desa Membangun Indonesia Hari Suharto Manggesara

73

Sisi Gelap Etnisitas Helmi Ayuradi Miharja

83

Meneropong Kesehatan Masyarakat di Indonesia Mashuri

99

Kebangkitan Pemimpin Pelayan A. Zulkarnain

117

Reproduksi Status Sosial Masyarakat di Sulawesi Selatan Rahmat Munawar

125

Ke-Islam-an & Ke-HMI-an

135

Konsep Tuhan Menurut Jalaluddin Rumi Muhammad Nur Jabir

137

HMI, Deradikalisasi, dan Kontra-Terorisme Mawardin

147

Menjaga Rumah Kita, HMI Muhammad Arief Rosyid Hasan

165

HMI dan Tanggung Jawab Sosial Perspektif Farmasis Anshar Saud

171

Meretas HMI di Halaman Depan Indonesia Ade Saktiawan

179

Kisah Klasik Adam-Hawa serta Cita-Cita Futuristik Gender 187 Andi Sri Wulandani Karena Hidup Adalah Naskah Yang Luhur Putri Rezi Ananda

203

Mengenang Lafran Pane, Batara Guru dari Sipirok Dhihram Tenrisau

211

Mencegah Laju Gerakan Ekstrimis M. Mario Hikmat A.

217

Revolusi Mental ala HMI Agussalim

221

Sambutan Eka Sastra

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent vitae maximus neque, nec posuere felis. Proin enim magna, ultricies in ultrices rhoncus, placerat et dolor. In varius arcu nec metus dignissim, sed finibus arcu feugiat. Suspendisse potenti. Nunc dapibus ligula ullamcorper massa porta, at congue eros pharetra. Mauris id elementum arcu, et tincidunt diam. Nam imperdiet enim sagittis, interdum nulla consectetur, varius massa. Maecenas id metus molestie, sollicitudin mi a, laoreet nulla. Aliquam erat volutpat. Proin ultricies urna dolor, et viverra libero aliquam nec. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. In quis ligula posuere, aliquet odio vel, iaculis ante. Nullam sollicitudin neque non laoreet commodo. Vivamus convallis hendrerit ullamcorper. Fusce at rhoncus elit, ac tempus leo. Suspendisse lobortis arcu sit amet condimentum bibendum. Donec tincidunt eleifend nisl vitae eleifend. In dignissim metus sed est placerat accumsan. Curabitur efficitur suscipit nulla ac malesuada. Donec aliquam id purus ac interdum. Aliquam elit lacus, tempor a augue rutrum, viverra varius augue. Aliquam hendrerit diam tellus, at dignissim mi aliquet non. Nulla ex eros, placerat sit amet commodo vel, rutrum et enim. Suspendisse convallis, ipsum in dignissim placerat, nisi risus luctus arcu, non fringilla quam ligula et lorem. Cras rutrum sem sapien, sit amet rutrum libero varius vitae. Donec interdum sed ex eget molestie. Mauris porta molestie felis sit amet faucibus. Nullam vitae dapibus nunc, ut luctus quam. Nam nec dui luctus, imperdiet diam pellentesque, iaculis est. Morbi eu felis ac tellus suscipit mattis at at ex. Vivamus nisi nunc, consequat quis volutpat vitae, accumsan et massa. Quisque pulvinar massa in tellus gravida feugiat. Sed at neque porta, consequat turpis luctus, maximus eros. Curabitur ante nisl, tincidunt nec tellus in, sagittis pulvinar orci. Praesent id maximus nulla, eu dignissim orci. Vestibulum ornare malesuada mollis. Nulla ex quam, scelerisque non aliquam gravida, imperdiet ac eros. Nunc vel risus diam. Nam arcu urna, fringilla ac scelerisque vitae, placerat nec dolor. Donec mollis tincidunt tellus vel feugiat. Maecenas blandit mauris elit. Duis viverra purus a lorem accumsan, vel consequat turpis sodales. In molestie viverra lacus, ut efficitur ligula pellentesque sit amet. Nam lobortis, magna vitae tincidunt auctor, nisi orci vehicula ipsum, eu ultrices tortor libero ac quam. Duis eget viverra est, sed tempor nunc. In eget lectus purus. Duis bibendum pellentesque metus, id bibendum ante euismod in. Vestibulum interdum commodo enim, eu pulvinar neque elementum vitae. Nam ornare nibh quis rutrum fringilla. Aliquam id metus venenatis, varius ante non, sagittis turpis. Suspendisse vulputate porttitor fermentum. In interdum nunc eu nulla luctus, sit amet dapibus justo dignissim. Donec aliquet vestibulum sem, non venenatis tellus lobortis posuere. Duis posuere sodales nisl vitae ullamcorper. Donec efficitur tempus justo id iaculis. Aliquam fringilla neque lorem, nec pretium magna luctus non. In in velit et eros dapibus condimentum. Suspendisse sollicitudin hendrerit tincidunt. Cras congue, nibh ac aliquam aliquet, ex massa ornare urna, condimentum viverra lectus tortor quis augue. Aliquam ac volutpat leo.

Pengantar Andri Morteza


Catatan Editor Yusran Darmawan


Kemodernan & Keindonesiaan

Memanfaatkan Momentum Emas Perekonomian Melalui Penguatan Kewirausahaan Eka Sastra

Krisis ekonomi dunia yang terjadi beruntun sejak tahun 2008 lalu sampai sekarang memberikan beberapa pelajaran berharga yang penting untuk kita pelajari. Integrasi perekonomian domestik dalam perekonomian dunia semakin meningkatkan derajat instabilitas dan kerentanan perekonomian domestik sebagaimana terbukti di beberapa negara termasuk Indonesia. Dalamnya integrasi ekonomi domestik dalam perekonomian dunia dan respon kebijakan yang ditempuh saat itu berpengaruh terhadap dalamnya dan meluasnya penetrasi krisis dalam negeri. Indonesia mampu mempertahankan momentum pertumbuhan tinggi hingga saat ini karena relatif rendahnya integrasi ekonomi Indonesia dalam perekonomian dunia, khususnya di bidang perdagangan. Selain itu, lambatnya pemulihan ekonomi di Amerika Serikat dan krisis utang di Eropa yang berkepanjangan mendorong perubahan peta ekonomi dunia dengan lahirnya Asia sebagai salah satu prime mover baru perekonomian dunia di tengah krisis yang terjadi. Indonesia sebagai bagian dari komunitas Asia dan TIMBRICS Club (Turkey, Indonesia, Mexico, Brazil, Rusia, India, China, and South Africa) memiliki peluang emas dengan kebangkitan Asia sebagai pusat ekonomi baru. Momentum emas tersebut harus dimanfaatkan dengan baik agar Indonesia menjadi salah satu bagian dari kekuatan ekonomi dunia dengan mengakselerasi modal yang ada dan menyelesaikan beberapa problem struktural yang ada saat ini.

3

Problem struktural mendasar yang dapat dilihat dari kinerja perekonomian Indonesia saat ini adalah masalah kualitas pertumbuhan yang sedang terjadi menyangkut inklusifitas dan keberlanjutan pertumbuhan yang tercipta. Rendahnya pertumbuhan sektor tradables (pertanian dan industri pengolahan) dibandingkan sektor non-tradables menjelaskan bahwa pertumbuhan yang tercipta tidak disumbangkan oleh sebagian besar penduduk Indonesia yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian dan industri pengolahan. Selain itu, dominasi Pulau Jawa dalam struktur pertumbuhan ekonomian nasional yaitu sebesar 57,5% menjelaskan belum tersebarnya lokomotif perekonomian nasional berdasarkan kawasan. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan beberapa gambaran tentang hal tersebut serta beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk semakin memperkuat perekonomian Indonesia agar dapat memanfaatkan peluang emas yang tercipta saat ini. Krisis Ekonomi Global dan Kebangkitan Asia Krisis ekonomi dunia yang terjadi beruntun sejak tahun 2008 sampai saat ini menyebabkan penurunan volume perdagangan dunia dan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Krisis yang dipicu oleh krisis perumahan di Amerika Serikat (subprime mortgage) pada tahun 2007 yang kemudian menjadi krisis keuangan di Amerika Serikat menyebar luas baik secara langsung maupun tidak langsung ke beberapa negara. Posisi Amerika Serikat sebagai perekonomian terbesar dunia yang terintegrasi erat dengan negara lain melalui jalur keuangan, investasi dan perdagangan menyebabkan dampak krisis yang mengglobal. Pertumbuhan perekonomian dunia tertekan menjadi 2,8 persen pada tahun 2008 dan melemah lagi menjadi 0,6 persen pada tahun 2009 yang disebabkan oleh penurunan pertumbuhan ekonomi di negara maju.

“Perekonomian dunia yang

selama ini didominasi oleh Amerika Serikat dan Eropa sebagai pusat ekonomi dunia perlahan-lahan mengalami pergeseran dengan lahirnya pusat-pusat perekonomian dunia yang lain.” Paket stimulus yang ditempuh oleh beberapa negara Eropa untuk mengurangi dampak krisis global di tahun 2008-2009 lalu yang tidak diiringi dengan manajemen fiskal yang baik di beberapa negara melahirkan masalah baru yaitu berlanjutnya krisis di kawasan Eropa dalam bentuk krisis utang. Perekonomian dunia

4

Dari Tamalanrea untuk Indonesia

Menautkan Serpih Pemikiran Anggota dan Alumni HMI Cabang Makassar Timur

sempat membaik pada tahun 2010 lalu dengan mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,3 persen tapi kemudian tertekan lagi pada tahun 2011 dan 2012 ini akibat lambatnya pemulihan ekonomi di Amerika Serikat dan berlanjutnya krisis utang Eropa. Bencana alam yang terjadi di Jepang serta pergolakan politik di Timur Tengah yang memicu kenaikan harga komoditas dunia menyebabkan pemulihan ekonomi berjalan melambat. Krisis utang Eropa ini bermula dari krisis utang Yunani yang kemudian merembet ke negara lain Portugal, Irlandia, dan Spanyol dan sekarang menyebar hampir seluruh negara-negara yang menggunakan mata uang EURO. Krisis utang di Eropa yang berlanjut saat ini menyebabkan perekonomian Eropa pada kwartal pertama 2012 mengalami resesi dengan mencatatkan pertumbuhan minus 0,1 persen. Yang lebih mengkhawatirkan dari krisis utang di Eropa adalah belum jelasnya pemulihan ekonomi di kawasan tersebut sampai saat ini dan dua perekonomian terbesar Eropa yaitu Jerman dan Perancis mengalami penurunan pertumbuhan menjadi masing-masing 0,5 persen dan 0,25 persen. Selama ini, perekonomian Eropa banyak didorong oleh Jerman dan Prancis yang merupakan perekonomian ke 4 dan 5 terbesar dunia. Meningkatnya angka pengangguran di Prancis pada kwartal dua 2012 ini menjadi 10,2 persen dan di Jerman sebesar 6,80 persen memberikan isyarat bahwa pemulihan ekonomi Eropa kemungkinan akan berjalan lama mengingat penurunan pertumbuhan yang terjadi di kawasan tersebut dan semakin menurunnya kapasitas Jerman dan Prancis sebagai lokomotif perekonomian di kawasan tersebut untuk mampu menstimulir pertumbuhan ekonomi Eropa. Lambatnya pemulihan ekonomi di Amerika Serikat dan krisis utang di Eropa di samping memicu penurunan pertumbuhan ekonomi dunia, juga memberi dampak pada perubahan peta ekonomi dunia. Perekonomian dunia yang selama ini didominasi oleh Amerika Serikat dan Eropa sebagai pusat ekonomi dunia perlahan-lahan mengalami pergeseran dengan lahirnya pusat-pusat perekonomian dunia yang lain. Selama ini muncul blok perdagangan baru yang dianggap sebagai lokomotif perekonomian dunia yaitu BRICS Club (Brazil, Rusia, India, China, and South Afrika) yang kemudian diperluas menjadi TIMBRICS Club (Turkey, Indonesia, Meksiko Brazil, Rusia, India, China, dan South Afrika,) mengingat kemampuan mereka dalam mempertahankan tingkat pertumbuhan di tengah terpaan krisis global yang terjadi. Pasar domestik yang relatif besar mampu dioptimalkan dengan mendorong konsumsi domestiknya sehingga negara-negara BRIC’s dapat mempertahankan tingkat pertumbuhannya di tengah krisis ekonomi dunia.


5

Kombinasi antara jumlah penduduk yang besar, dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi menyebabkan peningkatan jumlah kelas menengah yang kemudian menjadi potensi pasar domestik. Mengingat sebagian besar negara “TIMBRICS” berada di kawasan ASIA dan dengan jumlah penduduk sebesar 60 persen dari penduduk dunia, beberapa pengamat memprediksikan bahwa pusat pertumbuhan ekonomi dunia akan bergeser dari Amerika dan Eropa ke Asia. Asia dipercaya sebagai masa depan dunia, sebagai hemisfer baru dunia, dengan jumlah penduduk yang besar dan tingkat pertumbuhan yang tinggi yang dicerminkan oleh tiga negara dengan populasi terbesar di Asia yaitu China, India, dan Indonesia. Walaupun mengalami penurunan pertumbuhan sebagai dampak langsung maupun tidak langsung perlamabatan perekonomian dunia, tiga negara Asia tersebut tetap menunjukkan pertumbuhan yang relatif lebih tinggi dibanding Amerika Serikat dan Kawasan Eropa. China bahkan telah menjadi eksportir terbesar dunia dengan GDP kedua terbesar di dunia yaitu USD7,298,197 million, India sebagai perekonomian No 10 terbesar dunia dengan GDP sebesar USD1,826,811 USD dan Indonesia sebagai perekonomian 16 terbesar dunia dengan GDP sebesar USD846,450 million, mengalahkan Belanda di urutan ke 17 dunia1. Hal lain yang menyebabkan tingginya optimisme kepada ketiga negara tersebut di samping kemampuannya menjaga tingkat pertumbuhan tinggi secara bertahap adalah jumlah penduduknya yang sangat besar dan sumber daya alam yang dimilikinya. Total ketiga jumlah penduduk negara tersebut sebesar 2.785.954.861 atau sekitar 40 persen dari seluruh penduduk dunia dengan 67,3 persen merupakan usia produktif atau penduduk berusia 15-64 tahun yang tentu saja menjadi tulang punggung pergerakan ekonomi nasionalnya masing-masing. Dengan menjaga momentum pertumbuhan yang ada serta meningkatkan kualitas dan keberlanjutan pertumbuhannya, akan tercipta kelas menengah yang akan semakin membesar seiring perjalanan waktu yang apabila dikelola dengan baik akan mampu menjadi pasar domestik yang sangat besar. Pertanyaannya kemudian apakah Asia khususnya Indonesia, mampu memanfaatkan momentum emas yang sedang tersedia, ataukah akan bertahan di posisi negara yang terkena jebakan pendapatan menengah seperti pengalaman beberapa negara lain?

1. Bedasarkan daftar dari International Monetary Fund (IMF) untuk tahun 2011.

6



Momentum Emas Perekonomian Indonesia Ada beberapa catatan penting, mengapa saat ini layak dianggap sebagai momentum emas perekonomian Indonesia, yaitu : Pertama, seiring dengan krisis global yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa, telah terjadi pergeseran peta kekuatan perekonomian dunia yang awalnya berpusat di Amerika Serikat dan Eropa perlahan-lahan mulai menyebar dengan menempatkan Asia sebagai penggerak perekonomian dunia saat ini. Relatif tingginya pertumbuhan ekonomi Asia di tengah krisis ekonomi dunia khususnya di tiga negara besar Asia yaitu China, India, dan Indonesia sejak beberapa tahun lalu semakin menunjukkan pergeseran yang terjadi. Apabila ketiga negara tersebut dapat mempertahankan keberlanjutan pertumbuhan ekonominya, mensolidkan perekonomian domestik dan intra mereka, serta mempercepat transformasi strukturalnya, maka posisi tiga negara tersebut akan semakin kokoh dalam mengejar ketertinggalan mereka dari Amerika dan Eropa. Kedua, ketiga negara tersebut termasuk dalam 20 negara dengan GDP terbesar di dunia. China bahkan telah menjadi eksportir terbesar dunia dengan GDP kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dengan GDP sebesar USD 7,298,197 juta, India sebagai perekonomian nomor 10 terbesar dunia dengan GDP sebesar USD 1,826,811 juta dan Indonesia sebagai perekonomian 16 terbesar dunia dengan GDP sebesar USD 846,450 juta pada tahun 2011 lalu. Ketiga, total ketiga jumlah penduduk negara tersebut sebesar 2.785.954.861 atau sekitar 40 persen dari seluruh penduduk dunia dengan 67,3 persen merupakan usia produktif atau penduduk berusia 15-64 tahun yang tentu saja menjadi tulang punggung pergerakan ekonomi nasionalnya masing-masing. Indonesia sendiri merupakan negara dengan jumlah penduduk nomor 4 dunia dengan jumlah penduduk sebesar 237.641.326 di mana 66,1 persen adalah usia produktif dan 28,9 persen adalah penduduk usia muda atau di bawah 15 tahun. Hal ini dalam ekonomi sering disebut sebagai bonus demografi di mana jumlah penduduk usia produktifnya jauh lebih tinggi dari usia non produktif yang menjadi tanggungannya sehingga “beban ketergantungan” (dependency ratio) di Indonesia berada pada posisi terendah yang diperkirakan akan berakhir pada tahun 2040. Dapat dibayangkan kekuatan ekonomi yang tercipta apabila Indonesia mampu menciptakan kerangka kelembagaan ekonomi yang efisien dan barisan pengusaha (enterpreuners) yang profesional dan nasionalistik. Keempat, dengan kombinasi antara jumlah penduduk usia produktif yang besar


7

dan GDP yang bertumbuh pesat tiap tahunnya, akan tercipta ratusan juta kelas menengah tiap tahunnya di ketiga negara tersebut. Indonesia sendiri menjadi negara dengan pertumbuhan kelas menengah tercepat yaitu sebesar 37,7 persen atau sekitar 81 juta jiwa pada 2003 menjadi 56,6 persen atau sekitar 134 juta jiwa di tahun 2010. Pertumbuhan kelas menengah Indonesia sejak tahun 2003 tumbuh 65 persen atau sekitar 7,57 juta jiwa pertahun. Dapat dibayangkan besarnya potensi pasar domestik yang dimiliki oleh Indonesia, tidak heran apabila 56 persen sumber pertumbuhan adalah konsumsi masyarakat. Laporan Bank Dunia tahun 2011 dan Asian Development Bank di tahun yang sama menemukan hal yang sama yaitu kebangkitan kelas menengah Asia yang akan menjadi potensi pasar besar yang akan mengakselerasi perekonomian Asia. Kelima, sejak reformasi tahun 1998, Indonesia telah memilih demokrasi sebagai sistem politiknya dengan aransemen kelembagaan yang telah terkonsolidasi dengan 3 transisi kepemimpinan nasional secara damai, 1 melalui jalur pemilihan di tingkat DPR, 2 dipilih secara langsung tahun 2004 dan 2009. Pemilihan di tingkat lokal, kabupaten/ kota dan provinsi berikut DPRD-nya telah dilaksanakan secara damai dan berkala. Tentu saja masih banyak kekurangan terhadap sistem dan praktek demokrasi politik Indonesia saat ini, tapi kemampuan demokrasi dalam melahirkan ruang kritik dalam dirinya, pers yang bebas dan mandiri serta semakin meningkatnya jumlah kelas menengah Indonesia akan membuat sistem politik demokrasi yang lebih representatif, artikulatif dan profesional. Sistem politik yang demokratis merupakan salah satu intrumen kelembagaan penting untuk mendorong perkembangan ekonomi dan mengefisienkan biaya-biaya yang ada.

“Pembangunan yang dilak-

sanakan hari ini tidak boleh mengurangi hak generasi mendatang untuk menikmati hasil pembangunan.” Keenam, sumber daya alam (natural resources) yang dimiliki oleh Indonesia merupakan salah satu keuntungan sekaligus modal yang perlu dioptimalkan penggunaannya untuk kemakmuran rakyat. Yang perlu diatur dengan baik menyangkut manajemen pengelolaan dan penggunaan sumber daya alam yang lebih efisien, bertanggungjawab dan berkelanjutan. Pembangunan yang dilaksanakan hari ini tidak boleh mengurangi hak generasi mendatang untuk menikmati hasil pembangunan. Dengan proyeksi untuk menjadi negara besar, sumber daya

8



alam Indonesia harusnya diorientasikan untuk menjadi sumber energi dan bahan baku untuk industri domestik, tidak untuk diekspor untuk mensubsidi industri dan energi di negara lain. Ketujuh, sumber daya finansial (financial resources) yang tersedia: Fungsi intermediasi industri perbankan nasional menunjukkan perkembangan yang semakin baik ditunjukkan dengan pertumbuhan kredit pada tahun 2011 lalu sebesar 24,1% dengan loan to deposit ratio (LDR) meningkat dari 75,5% pada akhir tahun 2010 lalu menjadi 79,0 pada tahun 2011. Kualitas kredit juga mengalami peningkatan tercermin dari peningkatan kredit investasi yang mencapai 33,2% pada tahun 2011, lebih tinggi dari kredit konsumsi sebesar 24,1%. Selain itu, perkembangan sovereign credit rating Indonesia yang mengalami peningkatan status menjadi layak investasi dari MOODY’S menjadi Baa3, dan dari FITCH BBB- menunjukkan peningkatan kepercayaan investasi di Indonesia. Tidak heran apabila terjadi peningkatan realisasi penanaman modal di kwartal I 2012 baik Investasi Asing Langsung yang bertumbuh menjadi Rp51,5 T dan Penanaman Modal Dalam Negeri Langsung sebesar Rp 19,7 T. Kedelapan, Sumber Daya Sosial (social capital) yang semakin membaik; sumber daya sosial terkait dengan kelembagaan berikut nilai-nilai yang mendasari praktik sosial dalam sebuah masyarakat. Dalam pengertian ekonomi, sumber daya sosial lebih diorientasikan pada penciptaan dan penegakan aturan main. Indonesia telah memilih demokrasi sebagai sistem politiknya dengan sistem hukum dan peradilan yang independent, karena itu, aturan main disusun dalam kerangka demokratis dan melalui kelembagaan yang ada. Masih banyak ketidakpuasan atas penegakan hukum, tapi kebangkitan kekuatan publik yang tercermin dalam dukungan publik yang luas terhadap KPK menunjukkan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat dan penyelenggara negara untuk lebih menempatkan hukum sebagai kekuatan tertinggi yang mengatur aktifitas sosial, politik dan ekonomi masyarakat secara setara dan berkeadilan. Problem Struktural Perekonomian Indonesia sendiri sebagai bagian dari perekonomian global juga mendapatkan pengaruh dari krisis global yang terjadi baik secara langsung maupun tidak. Walaupun derajat keterhubungan perekonomian Indonesia dan dunia yang dapat diukur dari persentase ekspor terhadap GDP hanya sekitar 31%, tidak sedalam beberapa negara tetangga lain seperti Singapura 209%, Malaysia 97%, Thailand 78%, Vietnam 81%, tapi tetap saja perekonomian domestik Indonesia tetap terpengaruh krisis global yang sedang terjadi baik melalui jalur


9

perdagangan, keuangan maupun investasi. Hal ini dibuktikan dengan semakin menurunnya ekspor Indonesia terutama pada kwartal 2 tahun 2012 ini, di mana penerimaan ekspor menurun menjadi USD47,9 miliar sementara pengeluaran impor meningkat mencapai USD46,3 miliar. Dengan defisit jasa-jasa termasuk pendapatan dan transfer berjalan yang tetap tinggi yaitu sebesar USD8,5 miliar sehingga neraca transaksi berjalan mengalami defisit hingga mencapai USD 6,9 miliar2. Derajat keterhubungan Indonesia dengan dunia berdasarkan presentase export to GDP nya sama dengan keterhubungan perekonomian China dan perekonomian dunia yaitu sebesar 31%, bahkan lebih tinggi dari India yang hanya sebesar 25%, Brazil 12%, dan Afika Selatan sebesar 29%3. Semakin dalam hubungan antara perekonomian domestik dengan perekonomian global, derajat kerentanan perkonomian domestik terhadap perekonomian dunia semakin tinggi. Tentu saja hal ini bukan untuk memperkuat proteksionisme ekonomi Indonesia tapi sebuah realitas empiris yang dapat menjadi imperatif bagi pemerintah dan sektor usaha untuk lebih memperkuat daya saing perekonomian domestik baik dari sisi pelaku maupun pasar domestik terlebih dahulu untuk kemudian mengoptimalkan penetrasi ke pasar luar negeri. Perekonomian Indonesia sendiri mampu bertumbuh positif 4,6% pada tahun 2009, 6,2% pada tahun 2010, 6,5% pada tahun 2011 dan diproyeksikan sebesar 6,5% di tahun 2012 ini walaupun sampai saat ini masih di angka 6,4%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia ini merupakan pertumbuhan yang tertinggi di Kawasan Asia Tenggara, disusul Filipina sebesar 5,9% dan Malaysia 5,4%. Singapura dan Hong Kong sendiri mencatatkan pertumbuhan terendah di kawasan Asia Tenggara yaitu masing-masing 1,3% dan 1,1%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kwartal 2 ini lebih tinggi 0,1% dibanding kwartal 1 tahun 2012 ini dan lebih rendah 0,1% dibanding kwartal 2 tahun 2011 lalu yaitu sebesar 6,5%. Tentu saja kita harus mengapresiasi kerja keras pemerintah, dunia usaha Indonesia dan rakyat Indonesia yang mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi domestik di angka 6,4%, jauh di atas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2012 ini yaitu 3,5% dengan resiko ke bawah. Tapi bila mengamati lebih dalam, ada masalah kualitas pertumbuhan yang sedang kita hadapi yaitu dari

2. Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia dalam rangka HUT Proklamasi ke-67. 3. World Bank, Export of goods and service (% of GDP 2011)

10



sisi sektoral dan regional. Dari pertumbuhan tersebut, pertumbuhan tertinggi apabila dibandingkan tahun 2011 lalu (year on year) didominasi oleh sektor non tradable dan padat modal yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi yang tumbuh sebesar 10,1%, sektor perdagangan, hotel dan restoran 8,9% dan sektor konstruksi 7,3%. Sementara sektor tradable dan padat karya karena sebagian besar rakyat Indonesia bekerja dan menggantungkan hidupnya di sektor tersebut yaitu sektor pertanian hanya bertumbuh 4,0% dan sektor industri pengolahan bertumbuh 5,5%, dibawah pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini menjelaskan bahwa ada masalah pada kualitas pertumbuhan ekonomi nasional karena sebagian besar tenaga kerja kita bekerja di sektor pertanian dan industri pengolahan tapi tidak berpartisipasi dan menikmati pertumbuhan yang ada. Masalah yang kedua adalah dari sisi regional atau spasial, di mana struktur perekonomian Indonesia masih didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar 57,5%, kemudian diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 23,6%, Pulau Kalimantan 9,5%, Pulau Sulawesi 4,8% dan sisanya 4,6% di pulau-pulau lainnya.

“Harusnya pertumbuhan yang ada

didorong oleh sektor pertanian dan sektor industri sebagai lapangan kerja utama Indonesia yang kemudian mendorong terjadinya transformasi strukural atau peralihan tenaga kerja atau titik berat perekonomian dari pertanian ke industri kemudian masuk ke sektor jasa dan perdagangan.” Dua fakta ini yaitu ketimpangan struktural pendorong pertumbuhan dari sisi sektoral dan regional menjelaskan bahwa pertumbuhan yang ada belum mencerminkan pertumbuhan yang berkualitas, pertumbuhan yang partisipatif atau pertumbuhan yang bersumber dari kekuatan rakyat seluruhnya. Harusnya pertumbuhan yang ada didorong oleh sektor pertanian dan sektor industri sebagai lapangan kerja utama Indonesia yang kemudian mendorong terjadinya transformasi strukural atau peralihan tenaga kerja atau titik berat perekonomian dari pertanian ke industri kemudian masuk ke sektor jasa dan perdagangan. Pertumbuhan yang berkualitas juga harusnya di dorong oleh pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, tidak didominasi oleh Pulau Jawa.


11

Karena itu, ada beberapa agenda penting yang perlu untuk kita lakukan secara bersama-sama agar momentum kebangkitan Asia dan momentum emas Indonesia dapat kita manfaatkan sebaik-baiknya agar bangsa kita dapat menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia baru yang bertumbuh secara berkualitas dan berkelanjutan. Pertama, membangun dari desa dalam rangka penguatan ekonomi lokal-nasional. Selama ini pertumbuhan ekonomi Nasional bertumpu di kota-kota besar sehingga praktis desa yang harusnya menjadi ujung tombak perekonomian bangsa terabaikan. Selama ini, produksi dari desa yaitu pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan dikelola dengan cara yang tradisional untuk kemudian dijual baik di pasar lokal, nasional maupun ekspor tanpa mengalami pengolahan lebih lanjut. Kombinasi dari model produksi seperti ini melahirkan produktivitas yang rendah, dan nilai tambah yang juga rendah sehingga pendapatan di desa tetap rendah. Saatnya untuk mulai memperhatikan desa dengan segala kharakteristik lokalnya yang beragam, dengan produksinya yang juga beragam untuk memulai meningkatkan produksinya dan memikirkan teknologi pengolahan lanjutnya sehingga dapat memberikan tambahan pendapatan dan nilai tambah bagi masyarakat kita. Di Makassar ini, produksi yang paling banyak adalah padi, jagung, kedelai, palawija yang dijual di pasar lokal dan nasional sementara biji coklat, kopi, hasil perikanan dan kayu banyak di ekspor. Untuk membangun desa, yang dapat dilakukan adalah penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang banyak dihasilkan dari kampus-kampus untuk meningkatkan produksi padi masyarakat dengan peningkatan produktifitas perhektarenya dengan sistem tanam yang lebih rapat, penggunaan bibit yang baik dll. dan perawatan tanaman yang lebih baik. Untuk komoditas yang diekspor perlu dipikirkan pengolahan lebih lanjutnya, biji coklat diolah dengan teknologi sederhana sehingga menjadi pasta coklat, hasil perikanan dapat diolah lebih lanjut menjadi makanan laut dalam kemasan, rumput laut menjadi agar-agar melalui pendirian industri berbasis komoditas unggulan di masing-masing daerah. Dengan pola seperti ini, akan lahir struktur ekonomi yang lebih kuat, berkerakyatan dan bernilai tambah sehingga memberikan tambahan pendapatan bagi daerah dan masyarakatnya. Semua negara maju di dunia seperti Amerika, China, Korea Selatan maupun Jepang memulai dengan pengembangan perekonomiannya yang berbasis desa, kemudian mendirikan industri yang berbasis pertanian untuk kemudian melangkah ke produksi barang berteknologi tinggi secara bertahap.

12



Kedua, perbaikan kualitas manusia Indonesia dan mencetak generasi wirausahawan (enterpreuners) baru. Manusia adalah tujuan dan sekaligus alat untuk pencapaian pembangunan sehingga perbaikan kualitas manusia Indonesia secara berkelanjutan harus menjadi program dan kerja sama dari seluruh pihak, baik pemerintah, lembaga pendidikan, maupuan dunia usaha. Dengan kualitas manusia yang semakin meningkat, akan terjadi perbaikan kualitas kehidupan dan kesiapan tenaga kerja Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan ekonomi domestik dan global. Ada banyak peluang bisnis yang tersebar di masing-masing wilayah, hanya saja dibutuhkan wirausahawan baru yang mampu membaca peluang usaha, kreatif, inovatif dan berani mengambil resiko. Salah satu masalah mendasar di Indonesia adalah masih kurangnya wirausahawan, padahal wirausahawan yang inovatif, kreatif dan berani mengambil risiko adalah salah satu prasyarat dasar kemajuan ekonomi wilayah. Jumlah wirausahawan kita saat ini masih sekitar 3.707.205 orang atau sekitar 1,56% dari jumlah penduduk Indonesia. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang jumlahnya sebesar 12 %, Jepang 10%, Singapura 7%, Malaysia dan Thailand diatas 4% saat ini. Karena itu, lembaga pendidikan khususnya kampus dapat mendorong semangat kewirausahaan di kalangan mahasiswanya, dan untuk itu saya mengapresiasi Universitas Negeri Makassar yang telah menempatkan semangat kewirausahaan sebagai bagian integral dari visi yang akan dicapainya. Ketiga, penguatan kelembagaan (birokrasi, dunia usaha, sistem hukum dan perbankan). Di samping penyiapan pelaku usaha, desain kelembagaan juga sangat menentukan berkembang tidaknya perekonomian di satu wilayah. Indonesia membutuhkan desain kelembagaan yang efisien, efektif dan fungsional untuk memacu pertumbuhan ekonomi wilayah. Perlu saya sampaikan bahwa indeks daya saing Indonesia di tahun 2012 ini turun 4 poin walaupun masih tetap berada dalam 50 besar yaitu di urutan 46. Kelemahan terbesar terdapat pada kerangka institusional (ranking ke–72) yang masih banyak terpapar oleh kekhawatiran akan korupsi dan suap, kecurangan dari kalangan bisnis, dan biaya yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan dan kekerasan terhadap entitas ekonomi4. Untuk itu dibutuhkan penguatan kelembagaan dengan mengefisienkan birokrasi, memperkuat dunia usaha dengan nilai dan aturan main yang kuat, serta penguatan lembaga perbankan yang dapat diakses, terutama oleh wirausahawan baru. Keempat, membangun sistem ekonomi yang efisien dengan perbaikan sistem lo-

4. Arifin, Taslim; Untuk Apa Pertumbuhan, hal 7


13

gistik nasional. Masalah lain dalam perekonomian nasional adalah masih belum memadainya ketersediaan dan kualitas infrastruktur Indonesia. Indeks daya saing Indonesia di bidang infrastruktur masih tertinggal yaitu di rangking ke 78. Peringkat logistic performance index (LPI) berada di urutan 75, di bawah Malaysia (29), Thailand (35), Filipina (44), dan Vietnam (53) yang salah satunya disebabkan oleh infrastruktur transportasi yang tidak memadai. Hal ini menyebabkan perekonomian nasional tidak efisien, bahkan penelitian Universitas Indonesia menyebutkan biaya transportasi sebesar 66,8% dari total komponen biaya pengusaha. Penelitian ITB di tahun 2011 juga mengkonfirmasi hal yang sama di mana biaya logistik sebesar 27,02% dari GDP, bandingkan dengan Korea Selatan misalnya yang hanya 16,3%, Jepang 10,65% dan Amerika Serikat 9,9%. Untuk itu, dibutuhkan kesadaran bersama dari pemerintah dan dunia usaha untuk bersama-sama mencari jalan keluar dari masalah logistik Indonesia dengan memikirkan program dan pembiayaannya secara bersama-sama. Dari sisi APBN, perubahan subsidi harga menjadi subsidi langsung akan dapat menghemat subsidi energi dari Rp. 274,743 triliun saat ini yang dapat dipergunakan untuk membangun infrastruktur Indonesia. Selain itu, keterlibatan dunia usaha dalam pembangunan infrastruktur akan mempercepat pembangunan infrastrukur mengingat terbatasnya daya dukung APBN dan APBD dalam pembiayaan infrastruktur. Kelima, penguatan jaringan pengusaha nasional agar mampu bersaing di pasar dunia. Keberhasilan negara maju seperti Amerika, China, dan Jepang banyak ditentukan oleh keberhasilan pemerintahnya dalam memberdayakan dan memperkuat jaringan pengusahanya, baik di dalam maupun di luar negeri. Pemberdayaan dan penguatan jaringan pengusaha nasional bukanlah hal yang melanggar dictum ekonomi pasar, malah akan memperkuat sistem pasar dan persaingan yang ada. Keberhasilan perusahaan besar dunia seperti Exxon, Petro China , British Petroleum dan beberapa entitas bisnis lain banyak ditentukan oleh kemampuan pemerintahnya dalam bernegosiasi dagang dengan negara dan dunia usaha lain. Untuk itu, sudah saatnya memberdayakan dan mensinergikan pengusaha nasional sebagai satu kekuatan ekonomi nasional yang dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan menjadi pelaku usaha yang kompetitif di pasar dunia. Keenam, pengelolaan sumber daya yang lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan serta dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Dengan sumber daya yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia, Indonesia memiliki modal pembangunan. Sumber daya yang tersedia haruslah menjadi modal pembangunan sehingga harus dikelola secara lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan.

14



Pembangunan yang dilaksanakan hari ini, tidak boleh mengurangi hak generasi mendatang untuk menikmati sumber daya yang tersedia. Sumber daya tersebut harus menjadi bahan baku industri dan sumber energi domestik, karena itu penggunaannya haruslah mengedepankan prinsip domestik market orientation. Pengelolaan energi nasional menjadi masalah krusial mengingat kita sekarang ini menjadi net importer sumber energi khususnya minyak. Dibutuhkan perubahan penggunaan sumber daya energi dengan mendasarkan pada penggunaan sumber daya energi yang lebih murah, sehat, terbarukan dan tersedia di tanah air.

“Masalah

krusial yang ada saat ini karena struktur belanja negara yang kurang ekspansif karena masih didominasi belanja pegawai dan subsidi, khususnya energi.” Ketujuh, kebijakan fiskal yang lebih ekspansif. Dukungan kebijakan fiskal yang lebih ekspansif untuk percepatan pembangunan ekonomi nasional sangat dibutuhkan. Masalah krusial yang ada saat ini karena struktur belanja negara yang kurang ekspansif karena masih didominasi belanja pegawai dan subsidi, khususnya energi. Dibutuhkan perbaikan alokasi belanja negara melalui peningkatan efisiensi dan pengubahan paradigma subsidi dari dari subsidi harga menjadi subsidi langsung yang lebih efisien, efektif, tepat sasaran dan berkeadilan sosial. Ruang fiskal yang tercipta setelah melakukan perbaikan alokasi dan kualitas belanja dapat digunakan untuk pembiayaan sumber daya manusia dan perbaikan infastruktur nasional yang memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih berkualitas dan berkelanjutan. Dari Indonesia untuk Dunia Sebagai penutup, satu hal penting yang sering dilupakan bahwa semangat dagang sebagai sebuah modal sosial sebenarnya telah bertumbuh jauh sebelum berdirinya negara bangsa Indonesia. Sejak dahulu kala, para pendahulu kita adalah para wirausahawan yang berani, kreatif dan inovatif dalam keterbatasan zamannya. Setiap anak bangsa yang tersebar di seluruh pelosok tanah air pasti memiliki collective memory tentang bagaimana para leluhur mereka telah mempraktekkan semangat dagang sejak jaman dahulu kala. Keindahan dan kekayaan sumber daya alam Indonesia yang dipasarkan lintas negara oleh para wirausahanya telah mengundang pelaut Eropa yang dilengkapi dengan fasilitas dagang yang lebih


15

canggih seperti kapal besar bermesin uap, persenjataan yang lebih canggih dan didukung oleh negaranya untuk berdagang dengan kita.

“Kita

perlu mencetak jutaan wirausaha baru yang lebih professional, inovatif dan kreatif dan memperkuat barisan pengusaha kita agar lebih efisien dan kompetitif sehingga dapat bersaing dengan wirausahawan lain.” Awalnya hanya berdagang, tapi setelah itu memonopoli dan menjajah kita, sebuah praktek kolonial yang masih berlangsung saat ini dengan cara yang lebih halus. Untuk itu, kita harus mampu memperkuat barisan pengusaha kita dari untuk menjaga pasar domestik kita dari serbuan barang impor dari perusahaan asing di tanah air kita. Kita perlu mencetak jutaan wirausaha baru yang lebih professional, inovatif dan kreatif dan memperkuat barisan pengusaha kita agar lebih efisien dan kompetitif sehingga dapat bersaing dengan wirausahawan lain. Wirausahawan adalah pahlawan bangsa saat ini, kalau dulu para pendahulu kita mempertahankan sejengkal demi sejengkal tanah Indonesia dari serbuan penjajah asing dengan bambu runcing, tapi sekarang para wirausahawanlah yang mempertahankan pasar domestik kita dari serbuan penetrasi asing sejengkal demi sejengkal dengan keuletan dan keberanian yang dimilikinya. Karena itu, kita patut memberikan apresiasi kepada para wirausahawan kita, yang telah dengan gagah berani, penuh resiko untuk membuka peluang usaha yang mempekerjakan anak bangsa, membayar pajak dan menyelematkan perekonomian bangsa dari impor yang semakin mengancam.

Strategi Revitalisasi JKN Muhammad Arief Rosyid Hasan

Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) atau Universal Independent of Human Right pada pasal 25 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Pasal 28 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini sejalan dengan deklarasi HAM yang memberikan hak yang sama kepada seluruh manusia untuk dapat pelayanan kesehatan yang memadai. Cita-cita luhur bangsa untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya salah satunya melalui kebijakan yang tertuang pada UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 19 Oktober 2004. Selain itu ada pula turunan dari kebijakan tersebut yang menjelaskan lebih rinci dari UU SJSN yaitu kebijakan Peraturan Presiden Nomor 12 dan 111 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Bab demi bab yang terdapat di Perpres tersebut terdiri dari Ketentuan Umum yang berhubungan dengan Jaminan Kesehatan, peserta dan kepesertaan, pendaftaran peserta dan perubahan data kepesertaan, iuran, manfaat jaminan kesehatan, koordinasi manfaat, penyelenggaraan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan, kendali mutu dan biaya penyelenggaraan jaminan kesehatan, penanganan keluhan penyelesaian sengketa, dan ketentuan penutup.

17

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai kebijakan publik tentu melalui berbagai tahapan proses kebijakan seperti dalam kebijakan publik lainnya, yaitu melalui tahapan formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, monitoring dan evaluasi kebijakan, hasil serta dampak kebijakan. Proses analisis kebijakan sendiri melalui beberapa tahapan, yakni mulai dari mengidentifikasi masalah, agenda setting, formulasi proposal kebijakan, legitimasi kebijakan, implementasi, dan evaluasi terhadap kebijakan tersebut (Agustino, 2008). Menurut Edward III dalam Agustino (2008) disebutkan bahwa terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Model implementasi ini merupakan model implementasi kebijakan yang berprespektif top down, yaitu implementasi kebijakan yang dilakukan tersentralisasi dan dimulai dari aktor pusat dan keputusan pun diambil dari tingkat pusat. Peraturan Presiden Nomor 12 dan 111 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan merupakan produk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan jaminan kesehatan pada seluruh warga. Menurut Road Map Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional, Kemenkes 2011 menyatakan pelaksanaan JKN sendiri serentak dan secara bertahap akan mulai diimplementasikan per 1 Januari 2014 hingga batas waktu pencapaian 100% semua penduduk Indonesia memiliki jaminan kesehatannya sampai tahun 2019. Dengan adanya Jaminan Kesehatan Nasional nantinya akan memberikan akses pada masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, yang berimplikasi pada kebutuhan akan pelayanan kesehatan jauh lebih besar lagi. Namun, di satu sisi masih banyak pekerjaan rumah di bidang kesehatan di Indonesia hal ini tercermin dengan masih belum meratanya akses kesehatan di Indonesia baik dari sisi pemberi pelayanan kesehatan pelayanan, sumber daya manusia kesehatan dan lainnya. Peraturan Presiden Nomor 12 dan 111 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan ini tentu agar dapat berjalan dengan baik pada implementasinya memerlukan pula persiapan dalam hal regulasi yakni kelengkapan payung hukum berupa turunan aturan di bawahnya menjadi penting untuk segera dilengkapi. Adapun beberapa hal dari Peraturan Presiden Nomor 12 dan 111 tahun 2013 yang perlu lebih jauh diuraikan dan dijabarkan ke dalam bentuk peraturan turunan lainnya adalah sebagai mengacu pada kepesertaan dan paket manfaat pelayanan kesehatan.

18



Kebutuhan akan turunan kebijakan yang berkaitan dengan kepesertaan adalah jaminan kesehatan bagi pekerja warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, perubahan status kepesertaan dari bukan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan menjadi PBI, dan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara denda administratif. Adapun kebutuhan akan turunan di bawahnya yang berkaitan dengan paket manfaat pelayanan kesehatan adalah ketentuan mengenai tata cara pemberian pelayanan skrining kesehatan jenis penyakit dan waktu pelayanan skrining kesehatan, pelayanan kesehatan lain, jenis, dan plafon harga alat bantu kesehatan. Ada pula ketentuan tata cara HTA (Health Technology Assesment), ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan tingkat pertama dan rujukan, persyaratan penyelenggara pelayanan kesehatan, asosiasi fasilitas kesehatan, ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kegawat daruratan dan prosedur penggantian biaya pelayanan gawat darurat. Tak hanya itu, terdapat pula ketentuan mengenai penerapan sistem kendali mutu pelayanan jaminan kesehatan, ketentuan mengenai penerapan sistem kendali biaya dan ketentuan penyampaian pengaduan ketidakpuasan terhadap pelayanan jaminan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS. Kebijakan Kesehatan Mboi dalam Kemenkes RI (2012) menyebutkan tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya agar terwujud manusia Indonesia yang bermutu, sehat dan produktif. Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan dilaksanakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan. Upaya kesehatan masyarakat dilaksanakan pada sisi hulu untuk mempertahankan agar masyarakat tetap sehat dan tidak jatuh sakit, sedangkan upaya kesehatan perorangan dilaksanakan pada sisi hilir. Salah satu kebijakan kesehatan strategis yang dibuat adalah diberlakukannya JKN pada 1 Januari 2014. Kebijakan ini masuk ke dalam upaya kesehatan perorangan karena setiap peserta berhak memperoleh manfaat Jaminan Kesehatan yang bersifat pelayanan kesehatan perorangan, mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Jaminan Kesehatan Nasional merupakan suatu keharusan. Menurut Thabrany (2004), langkah yang ditempuh pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah langkah yang sa-


19

ngat tepat. Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN, disahkan untuk dapat memenuhi amanat UUD Tahun 1945. Berbagai alasan perlunya JKN adalah setiap saat kita sangat berpotensi mengalami risiko antara lain: dapat terjadi sakit berat, menjadi tua dan pensiun, tidak ada pendapatan-masa hidup bisa panjang.Sementara dukungan anak/keluarga lain tidak selalu ada dan tidak selalu cukup.

“Masyarakat kita umumnya

belum “insurance minded” terutama dalam asuransi kesehatan.” Pada umumnya masyarakat Indonesia masih berpikir praktis dan jangka pendek sehingga belum ada budaya menabung untuk dapat menanggulangi apabila ada musibah sakit. Masyarakat kita umumnya belum “insurance minded” terutama dalam asuransi kesehatan. Hal ini mungkin premi asuransi yang ada (komersial) mahal atau memang belum paham manfaat asuransi. Dengan demikian untuk menjamin agar semua risiko tersebut dapat teratasi tanpa adanya hambatan finansial maka Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat nasional, wajib, nirlaba, gotong royong, ekuitas, dan lain-lain merupakan jalan keluar untuk mengatasi risiko yang mungkin terjadi dalam kehidupan kita. Adapun prinsip-prinsip dari JKN sendiri adalah: 1. Prinsip kegotongroyongan. Prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme gotong royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotongroyongan ini jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi keseluruhan rakyat Indonesia. 2. Prinsip nirlaba. Pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan mencari laba (nirlaba) bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, akan tetapi tujuan utama penyelenggaraan jaminan sosial adalah untuk memenuhi kepentingan sebesar-besarnya peserta. Dana amanat, hasil pengembangannya, dan surplus anggaran akan dimanfaatkan untuk kepentingan peserta. 3. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efek-

20



4. 5.

6.

7.

tivitas. Prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya. Prinsip portabilitas dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip kepesertaan bersifat wajib. Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat,penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat mencakup seluruh rakyat. Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta. Prinsip hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

Revitalisasi JKN Komunikasi pada kesiapan Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional dinilai masih kurang. Kesulitan dalam pelaksanaan komunikasi pada kesiapan impelementasi Jaminan Kesehatan Nasional ini adalah pada penerima pesan, atau dalam hal ini subjek sosialisasi Perpres, yaitu provider pemberi pelayanan kesehatan, asosiasi profesi, dan masyarakat. Hal ini terjadi karena keberagaman masyarakat Indonesia dari letak geografis hingga tingkat pengetahuan, ekonomi dan budaya masyarakat. Selain itu dari sisi aturan tambahan masih adanya peraturan yang dinilai belum sejalan. Sumber daya baik dana/anggaran, sumber daya manusia maupun fasilitas serta sarana prasarana dapat dikatakan mampu dan cukup untuk kesiapan implementasi Jaminan Kesehatan Nasional dari sisi kesiapan berbagai kebijakan penunjang dalam implementasi nanti. Namun, sumber daya manusia dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk kesiapan implementasi Jaminan Kesehatan Nasional masih dinilai belum mencukupi dan belum merata. Begitu pula dengan dana atau ang-


21

garan yang dimiliki oleh pemerintah haruslah dikaji ulang terkait dengan jumlah iuran peserta yang ditanggung oleh pemerintah yang menjadi beban keuangan negara. Kemenkes dan BPJS Kesehatan mereka terdiri dari orang-orang yang kompeten di bidangnya dan mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga memiliki kemampuan untuk melaksanakannya karena telah sangat berpengalaman pada bidang jaminan kesehatan. Namun, persoalan yang dihadapi para pemangku kepentingan terhadap kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional khususnya Kementerian Keuangan, memiliki sikap yang menghambat kesiapan implementasi misalnya dapat dilihat dari terlambatnya pembuatan aturan tentang penetapan besaran iuran premi. Struktur Birokrasi pada kesiapan Jaminan Kesehatan melibatkan begitu banyak organisasi/institusi di dalamnya namun selalu terjalin koordinasi antara satu institusi dengan institusi lainnya melalui berbagai pertemuan yang mengundang berbagai stake holder. Tidak hanya itu saja, koordinasipun terjadi pada tingkat masing-masing institusi dengan membahas berbagai temuan yang harus diperbaiki dari pelaksanaan Perpres 12 dan 111 tahun 2013. Kesiapan implementasi Jaminan Kesehatan Nasional dari sisi kesiapan aturan tambahan demi kelancaran implementasi tidaklah memiliki hambatan berarti. Hambatan terjadi lebih pada implementasi Jaminan Kesehatan Nasional itu sendiri. Kesiapan implementasi dalam hal sosialisasi masih sangat kurang, selain itu adanya keterbatasan sosialisasi terutama di daerah karena adanya otonomi. Sedangkan pandangan dari sisi pengawasan dan evaluasi hambatannya adalah kebijakan belum dinilai bisa dijalankan secara lancar karna ada beberapa perbedaan dengan regulasi di bawahnya yang menimbulkan kerancuan. Selain itu masih perlu beberapa aturan tambahan yang perlu diterbitkan disesuaikan dengan kebutuhan untuk melancarkan jalannya impelementasi Perpres 12 dan 111 tahun 2013. Sosialisasi hendaknya dilakukan dengan menggunakan cara yang variatif lebih masif lagi baik media cetak, pertemuan langsung, media suara melalui radio maupun media visual melalui televisi. Selain itu bahasa yang digunakan dalam sosialisasi hendaknya menggunakan bahasa yang lebih sederhana dan lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas sehingga harapannya menjangkau dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Kemudian, pemberdayaan masyarakat pun perlu dilakukan dalam sosialisasi ini tidak hanya mengandalkan pemerintah namun juga menggerakan masyarakat itu sendiri melalui toga (tokoh agama) ataupun toma (tokoh masyarakat), kader kesehatan, organisasi kemasyarakata, LSM, organisasi kemahasiswaan ataupun kepemudaan, ibu-ibu PKK dan lain

22



sebagainya. Upaya ini harus dilakukan sedini mungkin agar terjadinya kesamaan pengetahuan masyarakat tentang JKN sejak dini sehingga harapan Universal Health Coverage pada tahun 2019 dapat tercapai. Perlunya upaya-upaya dari sekarang untuk mendorong pemerintah daerah dan swasta untuk mendirikan berbagai fasilitas pelayanan kesehatan untuk menantang kebutuhan akan pelayanan kesehatan ketika masa universal coverage tiba. Hal ini perlu disegerakan karena proses dalam pendirian bangunan fisik, kesiapan sumber daya manusia memerlukan proses yang tidak cepat. Perlu juga didorong pemerintah daerah dan pusat untuk memberikan izin seluas-luasnya untuk pengadaan fasilitas pelayanan kesehatan ini.

“Langkah lainnya adalah dikem-

balikannya aturan kewajiban calon tenaga kesehatan pada tiap universitas/perguruan tinggi/akademi tenaga kesehatan untuk mengabdi minimal 1 tahun di daerah atau wilayah yang kurang akan tenaga kesehatan.” Adapun beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi disparitas ketersediaan tenaga kesehatan dalam upaya akselerasi pembangunan kesehatan adalah mendorong pemerintah daerah dalam pengangkatan tenaga kesehatan memiliki semacam ikatan dinas yang mewajibkan tenaga kesehatan untuk tetap tinggal di daerah pengangkatan dan tidak mutasi ke daerah lain. Langkah lainnya adalah dikembalikannya aturan kewajiban calon tenaga kesehatan pada tiap universitas/perguruan tinggi/akademi tenaga kesehatan untuk mengabdi minimal 1 tahun di daerah atau wilayah yang kurang akan tenaga kesehatan. Dengan berbagai ber-bagai upaya ini harapannya dapat meminimalkan disparitas yang terjadi. Untuk mendorong adanya perbaikan terus menerus dan berkesinambungan maka pertemuan koordinasi pusat harus terus terjalin untuk perbaikan berbagai aturan yang dinilai belum sejalan dengan aturan lainnya ataupun aturan yang dinilai perlu dikeluarkan untuk kelancaran implementasi Perpres 12 dan 111 tahun 2013. Demikian pula pertemuan koordinasi pada tingkat organisasi harus terus diperkuat agar visi misi harapan Universal Coverage pada 2019 sesuai dengan Road Map dapat tercapai.


23

Merajut Kembali Arah Pemikiran dan Pergerakan untuk Indonesia Thaufan Malaka

I Tulisan ini dimaksudkan sebagai ijtihad filsafat politik kontemporer, memberi arah perdebatan dan perjuangan pemikiran politik kanan maupun kiri. Argumen yang saya hendak kembangkan adalah belajar dari transformasi kiri dan kanan. Keduanya melakukan revisi internal sehingga dimungkinkan tidak saling menegasi pada arah tujuan perubahan, bahkan memampukan kita untuk melihat lebih jernih masa depan yang hendak dituju. Terlalu naïf mendalami hanya satu permukaan pemikiran dan pergerakan, walaupun pemikiran dan pergerakan itu menawarkan seribu satu mimpi dan menjanjikan sejuta kebenaran. Tetapi, setiap orang seharusnya merasakan dan mencoba menyelami pergulatan-pergulatan intelektual dan perjuangan politik para filsuf, ideologi, bahkan agamawan yang ada di balik lahir dan berkembangnya suatu pemikiran dan pergerakan. Juga seharusnya gerakan dan kelompok politik yang ada didorong untuk lebih kosmopolit sekaligus radikal dan visioner, bukan sekterian dan partisan tanpa arah.

25

II Beberapa tahun silam ketika pertama kali menginjakan kaki di perguruan tinggi, saya beruntung membaca dua novel perlawanan yang mengiris-iris hati dan jantung yaitu novel MaTb karya penulis Rusia nominasi nobel Sastra Maxim Gorky yang diterjemahkan oleh Pram dengan judul Ibunda, dan novel Bumi Manusia oleh Pramudya Ananta Toer, salah satu penulis terbaik Asia dan kerap menjadi bahan studi poskolonial membaca konstelasi Indonesia. Bagian terpenting kedua novel itu adalah pesan moral tentang keberanian dan ikhtiar perlawanan yang harus membara, tak pernah lelah untuk melepaskan belenggu-belenggu mental terjajah, memperjuangkan keyakinan hidup, dan menegakkan keadilan di depan mata.

“... mari

bersama mengintensifkan proyek intelektual dan perjuangan ini dimulai pada penguatan level otonomi dan energi kreatif individu masing-masing ...” Tetapi, sesungguhnya keyakinan dan prinsip hidup yang diperjuangkan dengan semangat membara itu tak akan mampu bertahan di tengah hantaman waktu dan berhasil membawa perubahan jika tak diawali dari keluasan dan kematangan berpikir secara merdeka pada level individu untuk mengerti arah sejarah, lalu bertindak adil sejak dari dalam pikiran, bergerak dengan dorongan moral dan politik yang kuat dalam irama solidaritas pergerakan politik yang terorganisir di akar rumput dan juga upaya perbaikan dari dalam struktur kekuasaan. Tentu saja juga tak pernah stop dalam mengembangkan strategi perlawanan dan perjuangan yang lebih canggih. Tak bisa tidak demi Indonesia masa depan yang lebih kosmopolit dan meyakinkan, mari bersama mengintensifkan proyek intelektual dan perjuangan ini dimulai pada penguatan level otonomi dan energi kreatif individu masing-masing untuk mencoba memberi justifikasi teoretis nalar individu yang tercerahkan yang seharusnya dijalani dan potret gerakan politik yang paling ideal yang selayaknya diperjuangkan dalam konteks Indonesia kontemporer, yang memastikan arah pemikiran dan pergerakan politik kebaikan di negeri ini. III Dalam pandangan saya, fondasi historis-filosofis-teoretis gerakan sosial politik di

26



Indonesia bisa dianalisis di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di mana anakanak muda bangsa ini mulai mengenali identitas kebangsaannya yang terjajah dan tertindas di bawah kolonialisme, lalu bangkit mengorganisir kekuatan untuk melawan dan meraih kemerdekaan dan kedaulatannya sebagai manusia, bangsa dan negara. Jika kita membaca tetralogi Buru milik Pram, jejak-jejak kecil genealogis dan konstelasi Indonesia tentang ini bisa dikenali lebih baik. Di masa-masa awal abad itulah, sebagaimana dipotret oleh Ricklefs (2001) dan karya-karya Tan Malaka (1925;1926), bersemai dan bergolak pemikiran-pemikiran perlawanan dan pergerakan baik arus kiri maupun berwatak kanan hingga percampuran antara kiri dan kanan. Pikiran-pikiran dan pergerakan inilah yang melandasi perjuangan sosial politik bangsa ini pada awal fase kebangkitan nasional dan menjelang peralihan kekuasaan dan kemerdekaan Indonesia 1945. Beberapa tokoh-tokoh besar tercerahkan mengusung pemikiran dan berafiliasi dengan pergerakan politik tertentu yang bermimpi tentang Indonesia masa depan. Ada Sukarno dengan gerakan nasionalisnya yang kemudian mendamaikannya dengan kiri dan Islam dalam jargon nasakom. Tan Malaka dengan gerakan komunis internasionalnya yang sempat bergerilya politik hingga ke bawah tanah daratan Tiongkok dan Nippon, lalu menginisisasi lahirnya beberapa partai politik sebagai kritik atas kudeta Partai Komunis yang gagal taktis. Ia pula yang menuliskan dengan sangat rapi prinsip-prinsip sebuah Negara republik dalam bukunya Naar de Republiek Indonesia. Atau Cokroaminoto dengan gerakan Sjarikat Islamnya. Semaun dengan Sjarikat Islam yang beraroma kiri lalu mendirikan Partai Komunis Indonesia, Ahmad Dahlan dengan gerakan pembaharuan Muhammadiyahnya, dan Hasyim Asyari dengan gerakan Nahdatul Ulama yang mengorganisir kekuatan Islam tradisional di seantero Jawa dan banyak lagi. Belakangan di 1947 muncul pula gerakan Himpunan Mahasiswa Islam di Yogyakarta untuk mengakomodasi para mahasiswa Islam yang bisa menentukan arah masa depan negeri ini. Pola yang terlihat, tumbuhnya pemikiran dan gerakan politik di Indonesia ini ibarat warna pelangi dan bunga-bunga di taman yang indah, tentu saja dalam pandangan saya sangat ideal dan boleh dikata canggih dan visioner di zamannya, dan yang paling penting, jika merefleksikan sejarah peradaban-peradaban besar yang dilahirkan dari kontak dan dialektika pemikiran dan pergerakan yang bermutu, sesungguhnya hal ini bisa menjadi prakondisi pula yang sangat logis bagi lahir dan majunya peradaban Indonesia. Namun, dalam perjalanan sejarah paska kemerdekaan, mimpi-mimpi akan peradaban yang hebat ini pupus terutama di akhir era Orde Lama dan sepanjang


27

rezim Orde Baru. Individu-individu yang kritis-visioner, pemikiran-pemikiran besar yang dinamis dan gerakan-gerakan sosial politik apa pun didisiplinkan dengan senjata, dilumat dan digilas oleh kekuasaan elit, oleh kehadiran negara otoriter sehingga layu sebelum berkembang, tidak tumbuh dengan baik menjadi pelangi dan bunga-bunga peradaban yang lebih indah dan maju. Budaya berpikir menjadi lamban dan mandek. Yang ada hanya ketakutan dan keseragaman. Ini berdampak pada miskin dan reaksionernya dunia intelektualisme dan politik di Indonesia yang efek dominonya hingga saat ini. Yang tersisa adalah dendam satu faksi pemikiran dan gerakan atas perilaku zalim pemikiran dan gerakan lain. Dengan kata lain, jamak kita ketahui tokoh-tokoh dan gerakan politik nasional kita sejak dulu saling berselisih paham, dan dampak terburuknya saling menghabisi dengan menggunakan kekuasaan politik dan militer, dan atas nama ideologi gerakan dan faksi politik tertentu. Misalnya matinya Tan Malaka adalah akibat konflik politik di level elit bangsa ini. Pembunuhan massal di Indonesia menjelang naiknya rezim Orde Baru adalah perseteruan politik kekuasaan. Pola mematikan lawan dan perbedaan ini kemudian diadopsi oleh rezim otoriter Suharto untuk meneror rakyat dan bangkitnya intelektual di bawah rezimnya. Tanpa menafikan konteks bahwa rezim Suharto sesungguhnya trauma dengan dinamisnya pemikiran dan pergerakan politik yang telah tumbuh sejak dulu di Indonesia dan keyakinan Suharto pada ideologi pembangunanismenya yang mensyaratkan keamanan dan ketertiban. Namun tetap disayangkan jika etos berpikir Suhartoisme ini juga masih tersisa di negeri ini sebagai sebuah kebijakan politik atau malah obsesi yang tumbuh di tengah kita. Sebab revisi politik sesungguhnya hanya mengenal kritik revolusioner. Perjalanan pemikiran gerakan intelektual dan politik di Indonesia tentu tetap berakar pada tradisi yang ada di Indonesia, namun pemikiran dan pergerakan yang lebih canggih dan saling beriringan diawali dari tumbuhnya kesadaran nasionalisme dan pergerakan progresif anti kolonial di akhir abad 19 dan paruh awal abad-20 itu. Terdapat keinginan bersama untuk siap berkorban, untuk merdeka dan berdaulat. Jika berbasis agama atau nasionalis, semangatnya tetap perlawanan dan kemajuan. Pemikiran kiri dan kanan sangat progresif dan visioner, bahkan pemikiran tradisional yaitu semangat kearifan Jawaisme yang melandasi Budi Utomo mendapat tempat dan tetap terlihat relevan di zaman kebangkitan bangsa ini. Di era paska Reformasi hingga saat ini, pemikiran dan gerakan politik apapun kembali mulai bersemi dengan warna yang berbeda untuk menggugat kema-

28



panan dan menjemput masa depan demokratisasi politik di Indonesia. Tak terkecuali pemikiran dan gerakan kiri dan mereka yang terpinggirkan juga kembali ingin tampil di panggung politik dan dalam gerakan sosial politik nasional sebagai panggilan zaman yang lebih terbuka dan memberi tempat.

“Sayangnya, masih banyak ka-

langan dan kelompok yang tak bisa membaca zaman dan ketinggalan kereta masa depan sehingga reaksi-reaksi yang ada terlihat sangat tidak fair ...” Sayangnya, masih banyak kalangan dan kelompok yang tak bisa membaca zaman dan ketinggalan kereta masa depan sehingga reaksi-reaksi yang ada terlihat sangat tidak fair misalnya pembakaran buku, pembubaran diskusi, pengusiran kelompok minoritas, atau yang paling kekinian adalah sweeping simbol-simbol politik hatta hanya sekedar budaya pop. Mereka yang ketinggalan kereta ini oleh banyak peneliti seperti Robert Hefner, Sidney Jones, Merlyna Lim dan bahkan dalam wawancara saya belakangan di 2015 dengan mantan Menristek As Hikam disebut sebagai uncivil civil society. Kelompoknya jelas dan pendukungnya juga jelas, yaitu mereka yang berpikiran kaku dan tertutup. Padahal cara merespon pemikiran dan gerakan politik yang seharusnya di zaman kekinian kita adalah dengan membaca, berdiskusi atau memperlihatkan karya. Lalu berbesar hati berbeda, bertarung dan berkontribusi. Sederhana. IV Poin kritis saya adalah mengapa persemaian pemikiran dan gerakan politik terutama yang berhaluan radikal progresif seolah haram di negeri ini, bahkan setelah reformasi bergulir hingga detik ini? Mengapa cara pandang pemikiran dan gerakan yang mapan dan berkuasa demikian inferior, seolah mereka tak mampu berijtihad menemukan relevansi-relevansi terbaru pemikiran dan eksistensi mereka? Poin tambahan, mengapa agama selalu dibawa-bawa pula melegitimasi kemunduran berpikir mereka dan atau kepentingan politik mereka, bukankah Tuhan juga malu melihat makhluknya yang vulgar kebodohannya? Kritik ini harus dijawab pertama-tama dari posisi kematangan psikologis dan keluasan teoretis. Langkah awal yang harus dilakukan adalah tentu saja mereka


29

harus bangun dari tidur. Lalu meyakinkan diri mereka bahwa mereka semua sangat mungkin menjadi matang dan secara fair pasti mampu menjustifikasi pemikiran dan perjuangan mereka lebih baik, lebih mencerahkan, lebih menginspirasi untuk Indonesia yang lebih baik. Saya ingin menjawab pertanyaan di atas secara halus dengan mengemukakan suatu penjabaran teoretis untuk merajut arah pemikiran dan pergerakan yang lebih pasti dan dapat dipertimbangkan, pertama mempertemukan dan melampaui semangat kiri dan kanan, kedua kosmopolitanisasi Indonesia, ketiga perihal agama yang lebih universal dan terbuka. Penjabaran teoretis ini nantinya semoga tepat untuk menyemai kembali potensi progressif yang dimiliki oleh semua pemikiran dan gerakan baik di kanan maupun kiri, memastikan tujuan yang kosmopolit dan juga perihal agama dalam hal ini Islam secara spesial yang selalu diatasnamakan, untuk memberi arah masa depan yang sesungguhnya mungkin dan dapat dicapai. Ini sekaligus untuk memperkaya basis pemikiran gerakan sosial politik di Indonesia seperti terjadi di awal abad ke 20, di mana terpancar dengan kuat ragam politik emansipatoris yang lebih matang dan visioner. V Pertama, sesungguhnya politik kontemporer di seluruh dunia tak bisa lagi dilihat hanya dalam kaca mata doktrin politik yang demikian klasik sebagai problem determinisme ekonomi semata. Ekonomi tetap penting dipertimbangkan tetapi pertarungan politik bisa lahir di luar medan kepentingan ekonomi dan lebih dari kepentingan ekonomi itu sendiri untuk memenangkan kepentingan politik itu sendiri. Untuk memajukan demokrasi. Kepentingan politik ini beragam dan tak terbatas mewakili ragam kehidupan dan kemanusiaan. Upaya menyederhanakan dan memenjarakan semua problem sosial sebagai problem ekonomi seperti yang dikemukakan oleh Marxisme klasik dan pengikutnya hari ini adalah sekedar strategi dan semangat yang menggebu untuk menggebuk solidaritas sosial dan politik kita semua yang tertindas. Tak ada salahnya. Tetapi itu tak cukup dalam menangkap semangat zaman. Pedang Marxisme dipakai untuk bertempur, tetapi tak bisa menyamai pisau dapur Kantianisme membantu mengiris-ngiris kenyataan dan memastikan masakan yang enak bagi nalar dan moral manusia dan entitas politik yang lebih besar bernama negara.

30



Banyak pemikir-pemikir politik kontemporer yang malah mengaburkan batas pemisah antara basis dan suprastruktur, bahkan membalik asumsi dasar Marxime klasik, bahwa bukan ekonomi yang mendeterminasi politik, tetapi pertarungan politik hegemoniklah yang membangun dan memperluas lebih jauh basis struktur dari ekonomi misalnya Ernesto Laclau dan Moufee (1988). Atau dengan mudah basis filosofisnya digugat misalnya alternatif apa yang dilakukan oleh Gidden menemukan dualitas agen dan struktur bernama strukturasi. Hal lain adalah dinamika politik yang niscaya tampil dalam keragaman watak dan bentuk meniscayakan kemustahilan menangkap politik sebatas kepentingan kelas dan sentralitas aktor proletariat. Reduksi kelas hanya soal refleksi konteks sosial yang terbatas dan keberpihakan zaman, yang tentu saja, itu juga sangat penting.

“Sungguh

politik itu cair dalam identitas yang tak bisa hanya dimaknai secara primordial tetapi senantiasa berubah, dalam beragam momen dan konteks berbeda, dengan ambisi perubahan yang tak kalah revolusionernya.” Tetapi, jangan lupa bahwa aktor politik lebih dari sentralitas kelas proletariat yang juga meminta kita bersolidaritas dari tahun ke tahun, hari demi hari dari perubahan zaman yang tak menentu. Sungguh politik itu cair dalam identitas yang tak bisa hanya dimaknai secara primordial tetapi senantiasa berubah, dalam beragam momen dan konteks berbeda, dengan ambisi perubahan yang tak kalah revolusionernya. Subjek revolusioner yang banyak diterima dan diamini dalam iman pergerakan Marxisme klasik dan pengikut kontemporernya, sebagai permisalan, yang hanya terpaku pada kelas pekerja seperti diungkap di atas, sungguh sangat berbeda dengan realitas politik yang ada dan terjadi, punya ragam dimensi dan gradasi dinamis. Jika merefleksikan konteks Indonesia, kita melihat keragaman aktor yang juga punya ambisi perubahan sosial politik, katakanlah gerakan-gerakan sosial masyarakat sipil anti korupsi, HMI, Muhammadiyah, NU, Islam Liberal, gerakan revolusi demokrasi digital ala Qureta.com, Indoprogress.com, Jakartabeat.com, Tempo, Kompas, Komunitas WhatsApp, Pengguna Facebook dan Twitter, dan terakhir, walaupun meragukan, mungkin saja juga partai-partai politik yang ada saat ini dsb.


31

Tentang problem arah sejarah. Sesungguhnya sejarah penuh dengan proses dan kemungkinan, dipenuhi dengan perspektif. Ia tidak hanya bisa ditafsirkan unilinier dan monolitik. Habermas dari mazhab kritis misalnya merefleksikan jalannya sejarah dalam dinamika praksis komunikasi dan pentingnya konsensus yang selalu mungkin lahir dari proses deliberasi, berdiskusi dan bermusyawarah secara setara, bebas dan terbuka. Atau jika kita kembali kepada kearifan Immanuel Kant, sejarah sesungguhnya sebuah pertarungan politik yang harus tiba dan berpihak pada nalar manusia dan tatanan moral kosmopolit yang semakin dimungkinkan oleh entitas negara republik. Berbeda dengan Laclau dan Moufee, Post-Marxist, yang melihat keragaman aktor dan keserbamungkinan diskursus politik identitas dalam pertarungan politik-hegemonik yang abadi untuk memajukan perjuangan politik. Medan pertarungan politik sesungguhnya makin menjadi luas dan beragam, tetapi lebih menitikberatkan pada proses substantif bukan pada tujuan politik yang doktrinal. Implikasinya lebih jauh, membuka cara pandang yang luas, lebih menarik tentang kesejarahan yang terhampar terbuka serta serba mungkin dengan aktor tak terbatas. Nilai tawar argumentasi-argumentasi yang lebih beragam, terbuka, kaya dan lebih kontemporer akhirnya menjadi lebih relevan tetapi tak menafikan semangat untuk menumbangkan kezaliman dan menciptakan keadilan. Fakta empiris yang paling mengiris adalah zaman kehidupan kapitalisme modern yang mutakhir dan canggih hari ini, tak juga meledak membentuk tatanan baru yang doktrinal-ideal yaitu tatanan Komunisme atau belum tercapainya utopia-utopia pemikiran yang ada misalnya masyarakat komunikatif dan kosmopolit seperti banyak diwahyukan dalam Marxisme klasik dan juga pemikiran-pemikiran moderat kosmopolit progresif lainnya. Di sisi lain, kelas pekerja tak juga tiba pada puncak kesadaran kelasnya, dipolitisasi oleh kalangan mereka atau elit di atas, dan atau bahkan semakin hidup layak di negara-negara maju. Saat ini, negara-negara maju memproduksi kelas menengah yang makin lebih besar dari tahun ke tahun. Jepang misalnya hampir sempurna dihuni oleh kelas menengah jika diukur dari rata-rata tingkat pendapatan penduduknya. Mereka rasional dan kritis, tetapi tak berarti abai dengan perubahan sosial di sekitar mereka. Revolusi di negara kelas menengah rasional dan kritis ini bertransformasi menjadi revolusi permanen. Ini lebih berbahaya dan menjanjikan kemanusiaan dan kebahagiaan. Di negara-negara yang masih lamban perjuangan politiknya seperti negara-ne-

32



gara Asia Tenggara, persoalan terbesar hanya terletak pada elit politik yang penuh ketakutan dan pengusaha kapitalisnya sendiri tidak nasionalis, tidak dermawan, terlalu kuat terorganisir sehingga angkuh dan zalim. Jika kita melihat ke Barat, sejak tahun 1968 telah merebak gerakan sosial yang muncul di tengah masyarakat kapitalis maju. Banyak gerakan yang diinisiasi oleh gerakan mahasiswa, aktivis hak-hak sipil (civil rights) dan bahkan gerakan perempuan. Gerakan ini tidak terkait dengan kepentingan sempit kelas pekerja baik, dari segi aktor yang terlibat, maupun tuntutan mereka. Mereka ingin memajukan watak pergerakan politik yang ada. Kelas pekerja jika dimaknai secara sempit dan doktrinal bukanlah satu-satunya aktor revolusioner dalam perubahan sosial. Terlalu banyak kelompok perubahan yang merasa dipinggirkan oleh sistem dan kelompok dominan hari ini. Semua bergerak dalam nafas dan watak perlawanan yang spesial dan kontekstual. Sehingga naif membatasi hanya dalam satu dimensi kelas dan aktor. Akar perlawanan dan perubahan sosial di manapun itu dipicu oleh banyak faktor, tak hanya soal ekonomi pula, tapi juga nilai yang melampaui ekonomi misalnya pengakuan identitas. Tak hanya dipicu kemiskinan dan pengangguran, tetapi pembelaan eksistensi dan identitas, misalnya gerakan Zapatista di Amerika Latin. Ini relatif mirip ketika Hugo Chaves berkuasa di Venezuela karena persoalan kemiskinan, pengganguran dan juga masyarakat lokal yang terpinggirkan. Atau lihatlah Arab Spring, atau baru-baru ini di depan mata kita, gerakan HMI melawan mulut Saut Situmorang didorong lebih jauh di balik layar oleh seorang pengacara hukum bernama Agus Amri bersama kawan-kawanya. Menafsirkan progresivitas dalam bahasa kekinian, dan juga mentoleransi pemikiran dan gerakan politik yang ada, dan berbeda dengan kita bisa menjadi basis penting untuk memperluas demokrasi yang radikal dan bersandar pada keberagaman. Hanya dengan mengakui eksistensi kelompok lain, yang sedang berjuang, maka kita bersama-sama memajukan demokrasi politik di tengah kita. Politik harus diperjuangkan dalam bahasa yang lebih universal, dalam bahasa demokrasi dan keadilan. Masih banyak jalan dan kemungkinan memajukan kritik atas demokrasi saat ini, misalnya terlihat dalam proyek pemikiran Hebermas, Laclau dan Mouffe, Derrida, Deleuze dan Guattari, Zizek. Atau apa yang sedang dilakukan oleh gerakan organisasi masyarakat sipil NU, Muhammadiyah, Kelompok Anak Muda Cipayung di negeri ini. Banyak ruang kosong untuk mengukir dan memahat


33

banyak kemungkinan tujuan berdemokrasi dan arah sejarah menuju kosmopolitanisme.

“Pemikiran-pemikiran progressif dari

kanan hingga kiri sama pentingnya meradikalkan dan meluaskan cakrawala demokrasi kita.” Walhasil semua pemikiran dan gerakan-gerakan sosial politik di Indonesia sedang bertarung, dan juga bahkan berambisi pada perubahan-perubahan besar yang substantif. Bukan hanya pemikiran dan gerakan tertentu. Doktrin politik yang kaku dan doktrinal perlu dimajukan. Politik menjadi medan permainan dan pertarungan hegemonik yang abadi. Pemikiran-pemikiran progressif dari kanan hingga kiri sama pentingnya meradikalkan dan meluaskan cakrawala demokrasi kita. VI Apa yang ingin saya katakan dari uraian di atas adalah perjuangan di negeri kita belum selesai dan berakhir. Cara dan tujuan belum ideal. Cara-cara canggih dan strategis serta kontekstual untuk zaman kita yang dibangun dari fondasi pemikiran yang sangat filosofis dan abstrak masih harus dilakukan. Memadukan watak sosialis dan liberal transformatif pada pendalaman atas Marxisme, Kritisime Kant, Habermas, Post-Marxisme, dan Islam universal yang diintrodusir misalnya oleh Tariq Ramadan atau Sayyid Husain Nasr sangat perlu dan mendesak untuk dilakukan dan makin diintensifkan. Setelah kita mampu menyelesaikan problem nalar ini, tugas kita selanjutnya adalah memastikan tiba dan menegakan kekuasaaan wacana, kebudayaan dan politik di zaman kita ini di atas fundamen-fundamen filosofis ini. Baru kemudian kita dapat berpikir lebih jauh dan fokus pada kosmopolitanisasi individu, masyarakat dan Negara Indonesia. Yaitu suatu upaya mengintensifkan pemikiran-pemikiran yang canggih di level individu, komunitas, masyarakat dan bahkan negara untuk menghargai sesama manusia, siapa pun dia dalam jejaring global yang makin mengagumkan. Pemikiran kosmopolitanisme ini secara teoretis berakar pada pemikiran Yunani kuno, baik Stoicisme maupun Hellenisme, tradisi-tradisi agama di Timur dsb, tetapi mendapat penjabaran yang lebih modern oleh Immanuel Kant. Kosmopolitanisme Kant adalah upaya politik republik mencari alternatif arah sejarah

34



yang menciptakan ruang dan menjadikan manusia dapat berpikir merdeka dan otonom dan menjadi agen moral yang lebih terbuka. Ini dimungkinkan dengan kepastian hadirnya negara yang punya basis legalitas yang menjamin watak manusia sebagai makhluk moral yang bernalar merdeka. Dengan demikian harmoni yang dituju oleh eksistensi negara republik dan manusia inilah yang disebut kosmopolitanisme. Kosmpolitanisme adalah seperangkat praksis dan cara pandang yang maju yang memungkinkan dan memampukan warga negara untuk melihat jauh ke depan melampaui batas-batas lokalitasnya tetapi tetap berpijak pada lokalitasnya. Negara sangat beperan di sisi ini sebagai penyelenggara pemerintahan. Dari titik Kantian ini pula Habermas bertolak pada nalar politik praksis komunikasi dan ruang publiknya. Hanya saja Habermas selalu berpikir bahwa negara yang normatif berwajah republik ala Kantian itu tak pernah ideal, bahkan cenderung bergandengan tangan dengan mereka yang berduit dan merusak kehidupan sosial (life world) kita. Habermas senada dengan Kant pada pentingnya tatanan legal yang mengatur agar masyarakat sipil di ruang publik bisa bernegosiasi dengan kekuasaan dan untuk mencapai konsensus. Tetapi Habermas tak meyakini bahwa negara secara pasti selaras dengan nalar kosmoplitanisme manusia. Habermas percaya pada kosmopolitanisme deliberatif, yaitu upaya memenangkan kepentingan manusia dalam praksis komunikasi di ruang publik melepaskan diri dari intervensi negara dan modal untuk bisa secara bersama menjadi setara dan otonom. Belakangan pemikiran Habermas ini menjadi salah satu varian mutakhir wacana kosmopolitanisme. Di arus kiri, ada upaya memajukan cara berpikir Marxisme dan kaum kiri pada umumnya yang ketinggalan zaman seperti dilakukan oleh Ernesto Laclau. Laclau dengan sangat argumentatif lebih jauh meradikalkan demokrasi yang diinginkan bisa lahir dari cara kita memahami politik sebagai pertarungan hegemonik abadi tak berujung yang bisa dilakukan oleh siapapun dan kelompok manapun yang memiliki kepentingan politik masa depan. Kepentingan yang paling mendasar yang bisa diidentifikasi adalah kepentingan manusia dan kelompok apapun untuk hidup merdeka dan hidup setara dengan siapa pun dan kelompok manapun. Inilah salah satu target dan hak politik yang paling radikal. Tetapi saya tetap meyakini arah pertarungan hegemonik ini secara ideal adalah kosmopolitanisme sebagai watak zaman yang paling tampan dan elegan dilihat dari sisi mana pun. VII Di Eropa sana, Tariq Ramadan, cucu Hasan Albanna, di abad ke-21 ini seolah berjuang sendiri. Ia seolah tak punya kawan. Semua tiarap, takut kepada


35

fundamentalis dan konservatif, juga khawatir diklaim liberal. Tariq Ramadan harus membuat argument-argumen logis terhadap kelakuan pemeluk Islam fundamentalis dan sekaligus hyperliberalis yang mengacaukan tatanan dunia fisik yang kosmopolit dan teks Islam yang seharusnya universal. Masyarakat Eropa di mana ia berdebat dan berdialog adalah masyarakat rasional yang matang oleh zaman dan bisa belajar dari argumentasi yang dibangun. Sejauh ini saya melihat Tariq Ramadan sukses menjelaskan Islam yang modern; moderat dan elegan kepada Barat. Islam dalam pandangan Tariq Ramadan bisa sejajar, maju bahkan dapat melampaui cara berpikir Eropa dan Barat. Tetapi argumen-argumen Tariq Ramadan ini dengan mudah kembali harus dipermalukan oleh tafsir-tafsir dan perilaku-perilaku fundamentalis dan hyperliberalis Islam yang melakukan upaya-upaya yang bertentangan dengan tujuan Islam yaitu etika dan akhlaq pembebasan demi rahmatanlilalamin dsb.

“Persoalan utama Islam di dunia ini

lebih pada fundamentalisme Islam yang akarnya adalah kemalasan berpikir, membuka diri dan membaca buku lebih teliti.” Sedang Sayyid Husain Nasr di Amerika sana menjadi kiblat bagaimana sesungguhnya memahami hati dari Islam yaitu agama cinta yang selaras dengan semua peradaban dan agama-agama besar. Husain Nasr melakukan penelitian yang sangat mengagumkan menemukan wajah Islam tak berbeda dengan keagungan filsafat Yunani, tradisi Timur, tradisi Kristen dan bahkan Yahudi. Islam bisa mewadahi, berdamai dan berdampingan dengan siapa pun dan di zaman mana pun. Tradisi Islam melingkupi zaman ini sejak dan sampai kapan pun. Cukup dengan membuka mata dan hati. Persoalan utama Islam di dunia ini lebih pada fundamentalisme Islam yang akarnya adalah kemalasan berpikir, membuka diri dan membaca buku lebih teliti. Ini makin diperparah oleh kepentingan, keserakahan, dan kesombongan orang-orang yang serakah dan sombong di muka bumi ini yang memanfaatkan ketololan dan kedhaifan orang-orang fundamentalis. Pada kedua pemikir kontemporer ini, kita tak malu menjadi muslim dan melihat Islam yang tangguh, elegan dan kosmopolit.

36



Meneropong Masa Depan Hutan Indonesia Emban Mas’ud

Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia telah memberikan pelajaran kepada kita bagaimana paradigma pengelolaan hutan memberikan sumbangsih terhadap eksistensi hutan saat ini. Realitas kondisi hutan mengalami proses degradasi atau dengan kata lain wilayah hutan di Indonesia mengalami angka penurunan dari tahun ke tahun. Data Kementerian Kehutanan mengungkapkan bahwa laju degradasi kawasan hutan di Indonesia sebesar 0,4 juta hektar per tahun dalam kurun waktu 2009-2011 dan data Forest Watch Indonesia yang menyebutkan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia sebesar 1,1 juta hektar per tahun pada kurun waktu 2009-2013. Angka tersebut masih tergolong tinggi walaupun telah mengalami penurunan ketika Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan laju degradasi tertinggi. Data-data tersebut kemudian memunculkan pertanyaan filosofis, apa penyebab laju degradasi hutan di Indonesia tinggi? Apakah laju degradasi ini lahir secara spontan ataukan merupakan dampak yang terakumulasi secara sistemik? Siapa yang bertanggung terhadap permasalahan kerusakan hutan? Kenapa laju degradasi hutan masih tetap berproses? dan bagaimana permasalahan ini dapat dipecahkan? Awal tahun 1967 yang bertepatan dengan era orde baru, mekanisme kepemimpinan menganut paradigma sentralistik. Dampaknya terhadap sistem kelem-

37

bagaan kehutanan saat itu, hutan diposisikan sebagai objek eksploitasi. Hutan merupakan aset negara yang dijadikan sumber devisa negara. Pendekatan ini melahirkan sistem pengelolaan kawasan hutan berbasis Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Sistem yang memusatkan perhatian pada ekspor hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan negara.

“Di masa ini Indonesia mengala-

mi konversi lahan hutan menjadi pundi-pundi ekonomi bangsa namun di sisi lain angka hutan yang hilang diprediksikan hingga dua juta hektar per tahun.” Hal di atas menunjukkan kepada kita bahwa perekonomian pada masa orde baru turut ditopang oleh hutan sebagai fungsi produksinya. Sejarah lebih lanjut menjelaskan kepada kita bahwa hutan sekedar menjadi sapi perah yang tidak dirawat dengan baik sehingga jumlah lahan hutan hingga saat ini mengalami penurunan yang drastis. Hal ini merupakan masa kegelapan “dark age” pengelolaan hutan di Indonesia. Di masa ini Indonesia mengalami konversi lahan hutan menjadi pundi-pundi ekonomi bangsa namun di sisi lain angka hutan yang hilang diprediksikan hingga dua juta hektar per tahun. Eksploitasi secara besar-besaran kawasan hutan juga tercermin dari program-program unggulan pemerintah saat itu. Salah satu program tersebut adalah program Revolusi Hijau. Revolusi Hijau memberikan kenangan yang manis terhadap bangsa Indonesia karena sejarah mencatat bahwa bangsa ini pernah mengalami swasembada beras. Titik puncaknya adalah ketika keberhasilan Indonesia dalam swasembada pangan diberikan penghargaan oleh FAO pada tahun 1988. Sebagaimana dalam beragam literatur ekonomi menyatakan bahwa setiap aktivitas ekonomi manusia akan menghasilkan dampak eksternal atau yang biasa disebut dengan eksternalitas. Hal ini berlaku pada implementasi Revolusi Hijau. Tingkat kerusakan lingkungan yang cukup tinggi merupakan eksternalitas yang harus dibayar oleh bangsa ini. Selain itu, ketimpangan kesejahteraan turut memperparah realitas masyarakat utamanya masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan. Sistem bagi hasil masyarakat mengalami perubahan. Sistem panen yang awalnya dilakukan secara bersama-sama kini cenderung berubah menjadi sistem upah. Ketergantungan pada pupuk kimia dan zat kimia pembasmi hama juga berdampak pada tingginya biaya produksi yang harus ditanggung petani

38



(bahkan ketergantungan ini masih bisa dirasakan hingga saat ini). Runtuhnya era orde baru memberikan cahaya harapan bagi hutan untuk dapat melangkahkeluar dari zaman kegelapan. Layaknya sejarah peralihan zaman kegelapan menuju zaman pencerahan selalui ditandai dengan perubahan monumental. Indikasi cahaya harapan tersebut terletak pada arahan kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia berupa perubahan aturan kehutanan. Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 terbit memberikan pendekatan baru dalam tata kelola hutan di Indonesia. Pendekatan tersebut merupakan pendekatan desentralisasi. Implementasi UU No 41 Tahun 1999 pada masa awal mengalami banyak tantangan. Tantangan terbesar adalah proses adaptasi di berbagai bidang kelembagaan pemerintahan (termasuk sektor kehutanan) yang awalnya terbiasa dengan sistem terpusat (sentralistik) menjadi sistem desentralistik. Sistem yang diyakini dapat menghasilkan mekanisme demokrasi yang ideal bagi bangsa dan negara. Desentraliasi sistem pengelolaan hutan mulai terasa pada masa era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Stabilitas politik yang cenderung baik dan mampu diciptakan pada masa ini, menjadi faktor pendorong skema-skema pengelolaan hutan dapat direkonstruksi dan dikembangkan lebih baik. MS Ka’ban yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehutanan berhasil meletakkan pondasi tersebut melalui kebijakan yang mendukung beragam skim-skim pengelolaan hutan berbasis masyarakat seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Hutan Desa (HD). Penerapan sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang digaungkan melalui beragam promosi dalam rangka menguatkan kemenangan politik desentralisasi ternyata mengalami banyak kendala. Permasalahan krusial yang terjadi adalah kecenderungan pemerintah daerah menganggap desentralisasi sebagai postulat mutlak tanpa memperhatikan pondasi dasar yaitu UU No.41 Tahun 1999. Hal ini memicu konflik baru yaitu tumpang tindih kepentingan antara pusat dan daerah. Masa-masa awal desentralisasi ini ditandai dengan tingginya angka ijin pengelolaan hutan yang tidak terkendali yang diikuti dengan maraknya kasus konversi lahan hutan. Euforia desentraliasi yang tidak diikuti oleh pemahaman daerah tentang pentingnya hutan masih menjadikan hutan sebagai basis objek eksploitasi. Periode kepemimpinan kepala daerah menjadi pembatas dalam melihat hutan sebagai subjek kehidupan. Logikanya adalah untuk memanfaatkan hasil hutan melalui proses penanaman, perawatan dan mendapatkan panen ternyata membutuhkan


39

waktu yang cukup lama, bahkan melebihi masa kepemimpinan kepala daerah tersebut. Sebagai contoh, untuk memanen tanaman cepat tumbuh seperti tanaman jabon (Anthocephalus cadamba) membutuhkan waktu paling cepat lima tahun untuk menghasilkan panen kayu. Tuntutan keberhasilan pada masa periode menjadi alasan politik mengapa keputusan pengelolaan hutan (dalam hal ini merevitalisasi lahan hutan) dianggap tidak “feasible”. Permasalahan kehutanan tidak sekedar konflik kepentingan pusat vs daerah. Permasalahan antar daerah juga menjadi titik kritis pengelolaan hutan di Indonesia. Hal ini disebabkan dominannya kawasan hutan di wilayah pegunungan. Secara umum diketahui bahwa salah satu fungsi utama hutan adalah sebagai pelindung dan pengatur tata air. Hutan yang baik, utamanya di wilayah hulu/pegunungan/dataran tinggi menjamin ketersediaan air utamanya di wilayah hilir. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, baik itu di wilayah pegunungan maupun di wilayah pesisir, timbul konflik kepentingan terkait pentingnya eksistensi hutan.

“Hutan yang baik, utamanya di

wilayah hulu/pegunungan/dataran tinggi menjamin ketersediaan air utamanya di wilayah hilir.” Masyarakat wilayah pesisir menuntut terjaganya hutan agar ketersediaan air dapat terjaga sedangkan masyarakat wilayah pegunungan terdesak dengan urgensi pembangunan dan kesejahteraan. Masyarakat wilayah pegunungan merasakan adanya ketidakadilan terkait pemanfaatan lahan. Hutan dianggap sebagai penghambat laju perekonomian, apalagi dengan adanya kebijakan di bidang kehutanan yang dianggap membatasi pemanfaatan kawasan hutan, sedangkan wilayah pesisir menikmati dampak fungsi hutan sehingga mudah menjalankan perekonomiannya Belum adanya mekanisme simbiosis mutualisme antar kedua region tersebut turut menjadi andil tetap bertahannya laju kerusakan hutan di Indonesia. Perjalanan panjang kisah pengelolaan hutan yang diwarnai dengan gencarnya paradigma desentralistik ternyata belum berhasil menaklukkan penyebaran laju degradasi hutan di Indonesia. Kebijakan moratorium disusun sebagai salah satu langkah strategis menanggulangi permasalahan tersebut sekaligus mengakomodasi kepentingan global akibat isu perubahan iklim. Pembangunan hutan berbasis masyarakat (PHBM) yang sejatinya lahir untuk mendukung desentralisasi ternyata belum diakomodir secara efektif. Konsekuensinya adalah terciptanya

40



rumusan ide tidak sama dengan realitas. Pembangunan hutan berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan konsepsi yang lahir akibat tingginya angka kerusakan hutan yang dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di dalam maupun di sekitar kawasan hutan. Hal ini disebabkan oleh tingkat kemiskinan masyarakat tersebut sehingga memicu kegiatan perambahan dan perusakan kawasan hutan. Konsepsi ini merupakan inspirasi salah satu rimbawan Amerika Serikat bernama Giffort Pinchot yang menyatakan bahwa untuk menuntaskan masalah kehutanan maka yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah persoalan ekonomi masyarakat. Teladan inilah yang kemudian diadopsi dalam bentuk beragam skema pemberdayaan masyarakat di Indonesia dan diharapkan dapat menjadi insentif dalam menanggulangi angka kemiskinan masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Output PHBM kemudian diakomodasi oleh pemerintah dengan menerbitkan izin kelola lahan. Banyaknya izin pengelolaan skema-skema pemberdayaan masyarakat yang telah dikeluarkan oleh pemerintah ternyata masih berbanding terbalik dengan eksistensi jumlah luas hutan di Indonesia. Konsepsi ini ternyata belum mampu mengubah persepsi masyarakat dalam mengelola lahan. Daya tarik masyarakat untuk mengelola hutan secara berkelanjutan belum tinggi bahkan berdasarkan realitas di tingkat tapak masih banyak konflik tenurial. Data-data yang dihimpun oleh Tim Layanan Kehutanan Masyarakat (TLKM) selaku salah satu Non Government Organization (NGO) yang aktif mendorong perbaikan PHBM di Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa hampir seluruh kabupaten di Sulawesi Selatan mengalami konflik tenurial terkait pengelolaan kawasan hutan, namun memiliki skala eskalasi konflik yang berbeda-beda. Tantangan tersebut berlanjut dengan munculnya beragam isu baru di Indonesia yaitu pemanasan global, perubahan iklim, dan kebakaran hutan. Dampaknya bahkan terasa langsung seperti data yang dilansir oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang menyebutkan bahwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia berdampak pada meninggalnya 10 orang dan 503.000 orang terkena penyakit ISPA. Walaupun demikian, masih ada harapan terlaksananya pengelolaan hutan yang baik seperti kasus pembangunan Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng dan Hutan Rakyat di Kabupaten Gowa. Kini lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 memberikan dampak besar terhadap skema pengelolaan hutan di Indonesia. Aturan ini mencoba menekankan penguatan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai basis pengelola di tingkat tapak. Pembangunan KPH pada dasarnya akan mengikat seluruh


41

wilayah hutan di Indonesia atau dengan kata lain wilayah kawasan hutan negara akan dibagi habis menjadi wilayah KPH. Melalui KPH maka pertanggungjawaban atas pengelolaan hutan menjadi jelas. Sebagaimana diketahui bahwa awal terbentuknya UU No.41 Tahun 1999 merupakan cikal bakal terbentuknya dua fungsi besar dalam melaksanakan manajemen hutan yang efektif dan efisien. Fungsi pertama adalah fungsi administrasi dan yang kedua adalah fungsi pengelolaan. Fungsi pertama meletakkan pemerintah sebagai stakeholder yang berperan dalam fungsi administrasi dan KPH berperan dalam fungsi pengelolaan. Hal ini pun sesuai dengan pendapat dari ranah akademisi berbagai institusi di Indonesia bahkan berlanjut hingga pembahasan dalam skala nasional. Kompleksitas permasalahan pembangunan kehutanan yang terdiri dari beragam tipologi menghasilkan beberapa ruang kosong dalam penyusunan kelembagaan. Ruang kosong ini menjadi pertarungan baru dan menghasilkan dialektika. Salah satu hasil temuan Sahide, dkk (2016) yang dipublikasikan dalam jurnal internasional “International Forestry Review” menyatakan bahwa arah kebijakan politik dengan terbitnya aturan di atas adalah proses kebijakan yang tersentralisasi atau dalam artian bahwa arah pembangunan KPH saat ini kembali menuju penguatan sentralisasi.

“Kontestasi ini memberikan fakta bahwa

pembangunan sektor kehutanan di Indonesia masih berupaya mencari bentuk ideal.” Melalui wacana-wacana yang telah dipaparkan di atas maka terdeskripsikan dengan jelas bahwa ranah kerusakan hutan di Indonesia disebabkan oleh beragam permasalahan dimuali dari konflik tenurial (lahan), kurangnya sumberdaya manusia (tenaga kerja) yang memahami dengan baik tentang Sustainable Forest Management hingga pada tataran impelemntasi, hingga kondisi real (modal) masyarakat sekitar hutan masih sangat terbatas bahkan memiliki kecenderungan berada pada garis kemiskinan. Permasalahan-permasalahan ini merupakan buah hasil akumulasi permasalahan di masa lalu termasuk kontestasi pertarungan sentralisasi dengan desentralisasi di sektor kehutanan. Kontestasi ini memberikan fakta bahwa pembangunan sektor kehutanan di Indonesia masih berupaya mencari bentuk ideal. Harapannya, proses ini bagai kepompong yang berproses menjadi kupu-kupu, di mana kegagalan-kegagalan yang telah dilalui dapat dijadikan pembelajaran sehingga mampu menghasilkan model (atau berbagai model) yang tepat untuk negara Indonesia.

42



Krisis lingkungan global yang telah dihadapi pada ahirnya menjadi katalisator pengkajian ulang nilai-nilai sosial masyarakat Indonesia. Seperti yang pernah dikatakan Thomas Berry bahwa telah saatnya menemukan kembali manusia pada tingkat spesies. Hal ini berarti sudah saatnya menanggalkan pola pikir rasionalisme dan positivisme yang telah membawa kita kepada sistem-sistem ekonomi yang sedang berlangsung. Melalui cara pandang kapitalis ataupun sosialis keduanya lebih melihat bahwa kemajuan material dapat dicapai dengan memajukan industrialisasi tanpa perhitungan sama sekali terhadap modal bumi. Hal inipun senada dengan pernyataan Al Gore (mantan wakil presiden Amerika Serikat) yang menyatakan bahwa “semakin mendalam saya mencari akar dari krisis lingkungan, semakin saya yakin bahwa hal ini merupakan manifestasi luar dari krisis batin yaitu, karena tidak mempunyai kata yang baik, spiritual.” Saya kemudian mencoba menginterpretasikan bahwa penekanan utama Al Gore adalah letak penyimpangan pola pikir manusia adalah adanya krisis spiritual dalam artian manusia telah memahami dirinya terlepas dari alam. Kemudian Aldo Leopold dalam karyanya Land Ethic berupaya merefeksikan pengalaman hidupnya dan menyatakan bahwa “sesuatu adalah benar jika hal itu menuju pada kesatuan, stabilitas dan keindahan komunitas biotik. Adalah salah jika menuju ke arah lain.” Dalam konteks Islam, kesepahaman terkait cara berpikir tentang bagaimana mengelola alam seperti dalam hal ini sumberdaya hutan juga perlu dipertegas. Konsekuensi gambaran “manusia sebagai khalifah di muka bumi” bisa memiliki makna yang ambigu. Pemaknaan khalifah di muka bumi bisa diartikan bahwa Allah memberikan daulat kepada manusia sampai ke taraf wakil atas bumi yang dengan demikian bahwa Allah memberikan hak kepada manusia untuk mengatur lingkungan menurut kehendak mereka. Apabila hal ini dipahami secara antroposentris maka hasilnya bisa saja eksploitasi terhadap bumi. Di sisi lain, penulis lebih ingin menekankan bahwa poin pokok Islam dalam kedaulatan ini melebihi pemahaman mengenai kedudukan manusia sebagai wakil yang bersifat parasit. Allah memberikan kuasa atas ciptaan manusia buka sebagai hak mutlak sehingga bisa berbuat semaunya tetapi sebagai ujian terhadap ketakwaan, kesetiaan dan rasa syukur manusia terhadap Allah SWT. Melakukan perusakan terhadap bumi seperti merusak hutan berarti melanggar kehendakNya. Pentingnya konstruksi pemikiran yang dilandasi kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari ekosistem selayaknya menjadi dasar pemikiran bersama. Konstruksi pemikiran ini bergerak secara kolaboratif dan partisipatif pada setiap level


43

masyarakat utamanya stakeholder terkait. Konstruksi yang terpakai inilah yang diharapkan membentuk sistem perekonomian sehingga cita-cita masyarakat adil dan makmur dapat membumi.

“... belum ada gambaran utuh da-

lam menjustifikasi apakah politik sentralisasi atau desentralisasi di sektor kehutanan merupakan pilihan yang tepat.” Sebagai penutup penulis ingin menyatakan bahwa belum ada gambaran utuh dalam menjustifikasi apakah politik sentralisasi atau desentralisasi di sektor kehutanan merupakan pilihan yang tepat. Penulis hanya berupaya memberikan gambaran permasalahan kehutanan saat ini yang telah berdialektika. Harapannya melalui dialektika ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi dinamika pembangunan kehutanan Indonesia sehingga dapat menjadi salah satu bahan rujukan untuk mempermudah dalam memahami konteks pengelolaan hutan. Konteks yang disusun atas dasar kerangka berpikir holistik yang menempatkan manusia bagian dari alam, bukan sebagai penakluk namun sekaligus cara pandang pengelolaan sumberdaya alam yang mampu memberikan distribusi yang adil bagi masyarakat Indonesia. Hal ini sangat penting karena belum ada kesepahaman global dalam memperlakukan alam sebagaimana mestinya dan harapannya dapat menjadi peta gerakan baru dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya pengelolaan hutan di Indonesia.

Peluang & Tantangan Sektor Pertanian di Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Masluki

Perubahan berbagai dimensi sistem kehidupan di era modern mengharuskan adanya daya adaptasi kreatif dalam menciptakan mindset dan perilaku manusia untuk survive. Arus globalisasi dengan agenda free and trade market sebagai simbolisasi masyarakat ekonomi modern telah membawa perubahan besar terhadap tafsir perubahan sosio-ekonomi masyakat pada berbagai level, baik masyarakat kelas menengah ke atas maupun menengah ke bawah termasuk petani. Berbagai kesepakatan dibangun oleh berbagai negara yang tergabung dalam sebuah sistem dunia diharapkan mampu meregulasi pola-pola hubungan sosio-ekonomi masyarakat sehingga menciptakan keteraturan, hal ini sejalan dengan teori (Fukuyama, 2008), negara adalah satu-satunya kekuatan yang mampu melawan dominasi kapitalisme global. Disepakatinya Visi ASEAN 2020 pada bulan Desember 1997 di Kuala Lumpur menandai sebuah babak baru dalam sejarah integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Dalam deklarasi tersebut, pemimpin negara-negara ASEAN sepakat untuk mentransformasikan kawasan Asia Tenggara menjadi sebuah kawasan yang stabil, sejahtera dan kompetitif, didukung oleh pembangunan ekonomi yang seimbang, pengurangan angka kemiskinan dan kesenjangan sosio-ekonomi di antara negara-negara anggotanya. Berdasarkan data dari Divisi Populasi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) jumlah populasi penduduk di negara ASEAN mencapai 633,1 juta jiwa di tahun 2015 dengan populasi Indonesia mencapai

45

255,461,500 jiwa. Jumlah populasi tersebut merupakan pasar potensial khususnya produk-produk pertanian bahan pangan dan hortikultura. Lahirnya kesepakan masyarakat kawasan ASEAN untuk membentuk sebuah kawasan ekonomi yang terintegrasi dalam mengahadapi globalisasi ekonomi, merupakan langkah maju dalam membangun kekuatan ekonomi khususnya dikawasan asia tenggara. Peluang tersebut dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan dalam negara-negara yang tergabung didalamnya, tidak terkecuali Indonesia dengan mayoritas masyarakatnya menurut data BPS tahun 2013 jumlah penduduk Indonesia yaitu 31,7 juta jiwa hidup dan tergantung pada pertanian.

“... Masyarakat Ekonomi Asean

dapat menjadi mimpi buruk bagi sektor ril khususnya sektor pertanian, jika ditinjau dari sisi kesiapan masyarakat tani dalam memasuki era MEA.” Pada sisi lain, Masyarakat Ekonomi Asean dapat menjadi mimpi buruk bagi sektor ril khususnya sektor pertanian, jika ditinjau dari sisi kesiapan masyarakat tani dalam memasuki era MEA. Kondisi pertanian yang belum mencerminkan adanya kesetaraan dalam berbagai aspek dengan negera se-kawasan termasuk Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam. Penguatan sumberdaya manusia masyarakat tani, kelompok profesional seperti: teknisi, penyuluh, pendamping dan lapisan intelektual meliputi: peneliti, pakar, teknokrat, pemerintah, pengusaha yang bergerak dibidang pertanian, perbaikan infrastruktur, penguasaan teknologi tepat guna, pengembangan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) serta kelembagaan petani. Jika hal ini tidak mendapat perhatian yang serius tentunya akan menjadi mata rantai penghancuran sektor pertanian. Dominasi produk pertanian negara-negara lain akan siap membanjiri pasar nasional maupun lokal, sehingga produk pertanian dalam negeri akan tersingkir dari pasaran. Peluang Sektor Pertanian Pembentukan sebuah integrasi ekonomi kawasan ASEAN diharapkan mampu menciptakan peluang dalam menata komponen pasar produk pertanian yang lebih fair dengan sistem pola investasi dan kemitraan diantara negera-negara ASEAN. Dengan diberlakukannya sebuah sistem perekonomian asean akan

46



berdampak pada pembentukan biaya transaksi perdagangan lebih sehat dengan fasilitas perdagangan dan bisnis. Kawasan ASEAN tentunya turut meningkatkan daya saing sektor UKM yang lebih kreatif dan inovatif khususnya di sektor ril seperti pertanian. Di samping itu, pembentukan MEA juga akan memberikan kemudahan dan peningkatan akses pasar intra-ASEAN serta meningkatkan transparansi dan mempercepat penyesuaian peraturan-peraturan dan standarisasi domestik. Sehingga produk-produk pertanian dapat bersaing dengan standarisasi kualitas dan kuantitas barang. Diberlakukannya MEA tahun 2015 dapat memberikan peluang bagi negara-negara anggota ASEAN dalam memperluas cakupan skala ekonomi, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi, meningkatkan daya tarik sebagai tujuan bagi investor dan wisatawan peluang agribisnis (barang, jasa), mengurangi biaya transaksi perdagangan dan memperbaiki fasilitas perdagangan dan bisnis, memberikan kemudahan dan peningkatan akses pasar intra-ASEAN. Melalui kemudahan tersebut, produk-produk hasil pertanian dapat menjadi income besar dalam meningkatkan pendapatan masyarakat, terbukanya lapangan kerja potensial dan menjadi sumber devisa negara. Peluang Komoditas Lokal Spesifik Lokasi Kekayaan sumberdaya hayati di negara Indonesia jauh lebih beragam dibanding dengan negara ASEAN lainnya, sebagai contoh; tanaman sagu tumbuh baik dengan habitat dataran rendah, tanaman ini secara kesejarahan merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia bagian timur yang tumbuh secara spesifik lokasi di kawasan Papua, Ambon dan Sulawesi. Komoditi tersebut dapat menjadi solusi diversifikasi pangan nasional, dan tentunya dapat menjadi komoditi yang mampu memberikan nilai tawar lebih bila diekspor karena hanya tumbuh baik di negara Indonesia. Namun upaya untuk meningkatkan produksi sagu masih sangat rendah, ditandai dengan belum intensifnya teknologi budidaya yang dilakukan, pada sisi lain tingkat kebutuhan sagu terus mengalami peningkatan sedangkan alih fungsi lahan tanaman sagu terus-menerus meningkat dari tahun ketahun. Sehingga dikwatirkan komoditi tersebut akan punah dimasa yang akan datang jika tidak dilakukan budidaya secara intensif. Peluang pasar sagu olahan maupun non olahan semakin begitu diminati, terbukti dengan semakin bervariasinya produk olahan sagu. Upaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas sebaiknya dibangun industri pengolahan sagu berbasis sentra produksi hingga menjadi produk alternatif yang mampu memberi nilai lebih dengan keunikan tersendiri di pasar ASEAN.


47

Kekuatan Komoditi Unggulan Sebagai negara agraris Indonesia memiliki keunggulan dari segi luasan lahan dan potensi produktivitas lahan yang terbesar di Asia Tenggara. Dengan memanfaatkan sumberdaya lahan dan manusia yang besar tentunya peluang untuk mendominasi sektor pertanian di masa depan bukan sesuatu yang mustahil. Terlebih Indonesia punya sejarah pertanian yang pernah unggul pada tahun 1980-an berhasil meraih swasembada pangan dan berhasil menjadi negara pengekspor beras terbesar di dunia. Sebagai bangsa yang berdaulat, kita tentunya tidak ingin terlena dengan keberhasilan masa lalu. Apalagi terus-menerus menjadi negara konsumtif dengan tingkat impor produk-produk pertanian begitu tinggi sejak Indonesaa mengalami krisis moneter hingga saat ini mencapai angka US 14,90 miliar sepuluh tahun terakhir (BPS, 2013).

“Sebagai bangsa yang berdaulat, kita

tentunya tidak ingin terlena dengan keberhasilan masa lalu.” Beberapa komoditi memiliki posisi tawar yang tinggi dalam AEC, misalnya kakao, Indonesia urutan ke 3 produsen kakao terbesar di dunia. Kakao merupakan komoditi unggulan yang potensial dikembangkan di daerah-daerah yang memiliki daya adaptasi dan kesesuaian agroklimatnya. Sulawesi merupakan salah satu dari 6 provinsi yang memberikan 75 % kontribusinya terhadap produk kakao Indonesia. Pencapaian tersebut membutuhkan ketersediaan dan keberlanjutan produk kakao, sehingga tingkat kepercayaan pasar semakin tinggi. Area Luwu Raya pada umumnya sangat sesuai untuk pertanaman kakao, namun pesimisme petani terhadap komoditi ini semakin meningkat dengan semakin rendahnya produksi diakibatkan karena serangan hama dan penyakit yang sulit dikendalikan. Kendala tersebut tentunya harus segera menemukan jalan keluarnya, melalui program pembuatan bibit yang tahan terhadap serangan hama dan penyakit tertentu, khususnya hama PBK dan VSD. Intensifikasi dengan teknologi budidaya tanaman juga dapat menjadi solusi dalam menangani persolan tersebut. Perlunya membangun industri pengolahan kakao yang berbasis sentra produksi, menjadi peluang besar dalam membangun daya saing dan peningkatan kesejahteraan petani dan pelaku usaha dibidang perkakaoan. Sehingga kakao dapat bangkit kembali menjadi komoditi unggul spesifik lokasi. Tantangan Pasar Produk Pertanian Konseskuensi terintegrasinya ekonomi wilayah ASEAN tentunya memberikan

48



dampak yang paradox bagi negara-negara yang tergabung di dalamnya, di satu sisi dapat menguntungkan, tapi di sisi lain dapat merugikan. Negara-negara ASEAN yang belum siap bersaing tentunya mengalami kerugian, khususnya sektor pertanian Indonesia. Masih tingginya angka impor produk pertanian, seperti impor beras pada tahun 2015 sebesar 1,5 juta ton dari Thailand, Vietnam, dan Myanmar, impor produk hortikultura dan peternakan dari Thailand, serta bahan-bahan pangan lainnya dari Malaysia menjadi gambaran umum bahwa negara kita belum mampu berkompetisi dalam ranah pasar ASEAN. Masih kurangnya usaha pertanian yang berbasis agroindustri belum memberikan harapan besar bagi tumbuhnya sektor jasa di bidang pertanian, dominannya bahan-bahan mentah dari produk perkebunan yang diekspor seperti Cruite Palm Oil (CPO) memberikan gambaran masih rendahnya margin produk pertanian dalam negeri. Begitupun dengan penguasaan teknologi berbasis tepat guna hanya dan hasil-hasil penelitian di bidang pertanian belum memberikan ekspektasi yang besar dalam mengembangkan teknologi di bidang pertanian. Kendala lain yang dihadapi oleh produk-produk pertanian dalam negeri tentunya dihapatkan pada kualitas dan hegenietasnya. Perbaikan kualitas dapat diperbaiki mulai dengan teknologi budidaya dan penanganan pascapanen yang memadai. Selain itu perlu penggunaan bahan organik dalam proses budadaya tanaman sebagai upaya untuk mengurangi residu bahan kimia pada produk pertanian dan mengurangi kerusakan lingkungan. Hal ini hanya dapat ditunjang dengan meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dalam mengadopsi dan menginovasi teknologi tepat guna dan ramah lingkungan. Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Lemahnya Sistem Perbenihan Kendala pertanian dari masa ke masa yaitu masih terbatasnya lahan produktif, dengan semakin ketatnya prasyarat pembukaan lahan baru dan pada sisi lain alih fungsi lahan pertanian semakin tinggi berdampak menurunnya produksi pertanian dari tahun ke tahun. Di Indonesia, petani hanya memiliki lahan pertanian dengan rata-rata (< 1 Ha). Lahan merupakan kendala paling mendasar di bidang pertanian, sebagai salah satu faktor produksi berdasarkan hasil penelitian di IPB dari tahun 2001 – 2010 luas lahan sawah yang mengalami alih fungsi sebesar 317,10 hektar. Alih fungi lahan sawah tentunya akan berdampak pada penurunan pendapatan petani. Luas lahan sawah tersebut telah beralih fungsi menjadi perumahan (30%), industri (65%), dan sisanya (5%) beralih fungsi penggunaan tanah lain (Widjanarko, 2006). Menambah lahan pertanian melebihi lahan pada era Orde Baru tentukan adalah sesuatu yang mustahil, sehingga


49

salah satunya salusi untuk dapat mempertahankan produktivitas lahan hanya dengan penguatan pada teknologi budidaya tanaman dengan memanfaatkan produk-produk hasil pemuliaan tanaman, rekayasa genetika, dan bioteknologi sebagai solusi mendasar dalam meningkatkan hasil pertanian. Dukungan teknologi belum optimal, sebagai contoh aspek perbenihan aspek perbenihan merupakan kendala utama dalam menghasilkan benih unggul, dominasi perusahaan benih unggul yang berasal dari Cina, Thailand, Filipina, Amerika Serikat, dan Malaysia. Ketergantungan benih unggul dari negara-negara importir perlu mendapat perhatian serius dengan memanfaatkan hasil-hasil penelitian dalam negeri baik itu lembaga pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi. Faktor perbenihan adalah penentu dalam menujang keberhasilan sebuah usaha budidaya, sehingga sudah saatnya mendorong kemandirian benih unggul dalam negeri sebagai upaya untuk memudahkan akses petani dan mengurangi keluarnya modal usaha pertanian yang hanya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan asing. Membangun laboratorium dan penangkaran benih berbasis pedesaan kedepan tentunya dapat mengurangi tingkat ketergantungan benih asing. Kompetisi Tenaga Kerja Profesional di Bidang Pertanian

“Ketergantungan benih unggul

dari negara-negara importir perlu mendapat perhatian serius dengan memanfaatkan hasil-hasil penelitian dalam negeri baik itu lembaga pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi.” Persaingan antara tenaga kerja terdidik dan terampil di zona MEA menjadi perhatian yang tidak kalah pentingnya, Indonesia dengan basis negara tropis dengan potensi kekayaan alam dikawasan asean tentunya menjadi medan magnet bagi investor asing dan pencari kerja dimasa yang akan datang. Semakin terbukanya peluang bagi tenaga kerja dari negara-negara asean memberikan ketakutan tersendiri bagi tenaga kerja dalam negeri, jika tidak mampu bersaing, hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri. Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan berbagai kebijakan lain yang mengamanatkan pemberian pelatihan kerja serta pembentukan Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang bertugas memberikan sertifikasi kompetensi kerja harus dioptimalkan, guna mempersiapkan tenaga kerja terampil, berkualitas, dan berdaya saing serta diakui oleh negara

50



ASEAN lainnya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Berdasarkan data dirjen ketenagakerjaan tahun 2015, negara-negara sekawasan telah mempersiapkan tenaga kerja terampil mereka, seperti di Filipina sejak Oktober 2015 sebanyak 1000 warganya telah mengikuti kursus bahasa Indonesia dan pada Maret 2016 akan diberi pelatihan GPRS serta belajar kebudayaan Indonesia hanya untuk menjadi sopir taksi di Indonesia. Ratusan pebisnis dari Thailand telah mengikuti kursus kilat bahasa Jawa untuk bisa masuk berbisnis di Jawa tanpa perantara. Sedangkan di Vietnam, ribuan guru sedang melaksanakan kursus bahasa Indonesia dan Budaya Indonesia untuk membuka kursus bahasa Inggris dan Mandarin di Indonesia. Ratusan konsultan keuangan dan akuntan di Singapura sedang belajar budaya Jawa, Bali, dan NTB untuk mendirikan lembaga konsultan keuangan di Indonesia. Sedangkan di Myanmar mulai Februari 2016 membuka pelatihan montir kendaraan bermotor dan servis HP untuk berekerja di Indonesia. Sebelum terlambat, peluang perguruan tinggi, pemerintah, dan pengusaha lokal untuk terus membenahi diri dalam menguasai teknologi dan skill lainnya, sehingga ke depan tenaga kerja pertanian dalam negeri dapat berkiprah di dalam dan di luar negeri, tidak menutup kemungkinan penyuluh pertanian, agronomist, dan tenaga profesional lainnya di bidang pertanian dari negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Filipina, Myanmar, dan Vietnam yang jauh lebih maju sektor pertaniannya dibanding Indonesia akan masuk untuk bersaing dan memenuhi permintaan tenaga kerja pertanian dalam negeri. Sehingga upaya untuk mempersiapkan para calon sarjana pertanian yang profesional dan handal di bidangnya mempersiapkan sumberdaya manusia dan infrasutruktur yang memadai guna membuka peluang lapangan kerja dan wirausaha yang siap bersaing di masa yang akan datang. Semoga dengan tulisan ini, semua stakeholder membenahi diri dalam menata kembali kejayaan pertanian. Memperkuat Kedaulatan Pangan Pangan merupakan komoditi yang sangat strategis di sektor pertanian dikarenakan pangan menjadi kebutuhan primer manusia sehingga berdampak langsung terhadap situasi ekonomi, sosial dan politik dalam suatu negara. Sebagai komoditi yang menjadi hak asasi manusia, sesuai dengan amanah konstitusi yang tertuang UU Pangan No. 18 tahun 2012 tentang pangan, pasal 2 menyebutkan asas penyelenggaraan pangan di Indonesia harus berdasarkan kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan, manfaat, pemerataan, keberlanjutan, dan keadilan. Makna di balik pemberlakuan undang-undang tersebut mengharuskan negara


51

tidak ketergantungan terhadap pangan dari luar. Ketahanan Nasional melalui kedaulatan pangan merupakan agenda yang perlu diapresiasi atas lahirnya beberapa peraturan, sebagai contoh dengan disahkannya UU no.6 tahun 2014 tentang Desa dalam poin g, h, dan i tertuang bahwa meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional, memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional, memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan (Wahyuningtyas, 2014). Meskipun secara eskplisit dan implisit tidak termaktub tentang kedaulatan pangan, namun undang-undang tersebut dapat memperkuat peran masyarakat desa yang ekonomi, sosial, dan budayanya ditopang oleh pertanian secara turun temurun. Subsektor pangan pernah membawa bangsa Indonesia dikenal seantero dunia ketika modernisasi di sektor pertanian melalui gerakan revolusi hijau dengan konsep intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi pada tahun 1980-an. Hasilnya sangat mengejutkan, ketika Indonesia berhasil meraih pencapaian tertinggi yaitu swasembada pangan dengan prestasi sebagai negara pengekspor beras terbesar di dunia. Melalui keberhasilan tersebut, suatu kewajaran ketika presiden Suharto didaulat sebagai bapak pembangunan sekaligus menjadi presiden terlama di Indonesia. Kejayaan masa Orde Baru selama 32 tahun menjadi master plan dalam pembangun Indonesia tidak dapat bertahan.

“Tanpa bahan pangan, disintegrasi

bangsa dapat menjadi persolan di masa yang akan datang.” Pada tahun 1998, saat Indonesia dilanda krisis moneter di mana inflasi mencapai 12,7% dan harga sembako melonjak naik yang berdampak pada stabilitas keamanan dan politik menjadi kacau balau, rakyat yang dalam kondisi lapar tentu akan berteriak dan mempertanyakan keberadaan dan peran pemerintah pada saat itu. Gerakan massa secara nasional yang tidak terkendali memaksa presiden Suharto meletakkan jabatannya. Sekilas kita merefleksikan dan menganalisa lebih dalam, seandainya harga pangan tidak melambung tinggi dan akses bahan pangan tersedia pada waktu itu, mungkin saja masyarakat tidak akan melakukan gerakan politik untuk mendorong terjadinya reformasi. Berdasarkan sejarah singkat di atas, tentu pangan adalah komoditas yang perlu dipertahankan eksistensinya. Banyak negara yang mampu berubah menjadi negara maju karena kemajuan sektor pertaniannya, sebut saja China, Jerman, Australia, dan New Zealand.

52



Tatkala ketersediaan pangan menjadi langka, maka rakyat bisa bertindak anarkis dan menurunkan rezim pemerintahan yang sedang berkuasa sebagaimana yang dialami di Mesir dan Aljazair. Tanpa bahan pangan, disintegrasi bangsa dapat menjadi persolan di masa yang akan datang. Pasca reformasi, kedaulatan pangan menjadi isu penting dalam mempertahankan stabilitas perekonomian bangsa. Beras sebagai komoditi pangan utama telah lama menjadi permasalahan bangsa. Impor beras sebagai solusi alternatif dalam menyelesaikan rendahnya produksi beras dan kurangnya stok dalam negeri masih terus membayangi berapa periode pemerintahan. Tercatat tahun 2012 pemerintah menargetkan kuota impor beras sebesar 1 juta ton, meskipun realisasinya hanya 670 ribu ton yang terdiri atas 600 ribu ton beras asal Vietnam dan 70 ribu ton beras asal India. Begitupun tahun 2013, meskipun tercatat ada penurunan kuota impor, namun impor tetap dilakukan dari Vietnam 18 ribu ton, India 24 ribu ton, Thailand 5297 ton, Pakistan sebesar 1500 ton dan negara lainnya 953 ton. Tahun 2014 produksi beras dalam negeri belum menunjukkan angka kecukupan, berdasarkan data BPS tahun 2014 terbukti masih dilakukannya impor beras sebesar 176.227 ton yang berasal dari Vietnam, Thailand, dan Myanmar. Sesuai dengan data Kementerian Perdagangan mencatat impor beras Indonesia dari negara lain masih mencapai 1,5 juta ton sepanjang tahun 2015. Tren di awal tahun 2016 belum ada kemajuan yang signifikan, dengan alasan menjaga ketersediaan stok dalam negeri dikarenakan ancaman kegagalan panen sebagai dampak dari el nino, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan berencana mengimpor beras asal Thailand dan Vietnam. Jika ditelaah secara mendalam, ketergantungan akan bahan pangan dari luar negeri khususnya beras masih menjadi persoalan mendasar beberapa tahun ke depan apabila tidak ada langkah-langkah solutif yang dilakukan untuk mencapai kecukupan maupun surplus beras dalam negeri. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah seperti menaikkan pembiayaan dalam RAPBN 2016, Untuk mendorong laju produksi pangan Pemerintahan Jokowi telah meningkatkan anggaran di sektor ini hingga mencapai Rp 32.85 triliun pada RAPBN 2016. Angka tersebut merupakan anggaran yang fantastis dengan harapan bahwa kedaulatan pangan dan bahkan swasembada pangan dapat dicapai pada tahun 2016. Persoalan pangan dalam negeri tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk menyelesaikannya, 1001 macam masalah yang dihadapi


53

petani maupun pejuang pangan lainnya dalam menjaga kedaulatan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani merupakan batu sandung yang siap menjatuhbangunkan perberasan dalam negeri. Pengalokasian anggaran dengan nilai besar diharapkan mampu pencetakan sawah baru seluas 200.600 hektar (ha), perluasan lahan kering untuk pertanian di luar Jawa 250.000 ha, rehabilitasi dan pengembangan irigasi tersier 400 ribu ha, pembangunan Toko Tani Indonesia sebanyak 1000 unit, optimalisasi dan pemulihan kesuburan untuk 275 ribu ha lahan, pembangunan 39 gudang untuk fasilitas pengolahan pasca panen di sentra produksi, pengembangan 75 desa pertanian organik, pengawalan dan pendampingan 1.000 desa mandiri benih (Kementan, 2016). Dinaikkannya anggaran pertanian pada sektor pertanian di era Jokowi-JK memberikan secercah harapan tentang masa depan pertanian, khususnya pangan. Target surplus bahan pangan melalui program upaya khusus (upsus) swasembada pangan dengan komoditi padi, kedelai, dan jagung terus dipicu untuk mengamankan stabilitas ekonomi dari ketergantungan akan bahan pangan dari luar negeri.

“Mengimpor beras pada saat stok da-

lam negeri mengalami surplus bukanlah tindakan yang bijak karena hanya akan berdampak merugikan petani dalam negeri.” Persoalan impor pangan tentunya tidak melulu dilakukan pemerintah, pelibatan pihak swasta dalam memainkan peran dalam pasar pangan perlu mendapatkan pengawasan secara intensif. Panjangnya rantai pasok dari petani ke konsumen semakin menyuburkan praktek kartel dalam pasar beras dalam negeri melalui invisible hand sebagai aktor utamanya dapat merusak harga beras dalam negeri. Mengimpor beras pada saat stok dalam negeri mengalami surplus bukanlah tindakan yang bijak karena hanya akan berdampak merugikan petani dalam negeri. Hal tersebut disebabkan karena harga beras ditingkat pasar nasional anjlok dan yang akan dirugikan petani dalam negeri. Masih lemahnya sistem tata niaga perberasan dalam negeri semakin memberikan peluang bagi para kartel untuk meraup keuntungan besar. Terbukti saat petani tengah melakukan panen raya pada berbagai provinsi, pihak berwajib berhasil menggagalkan 350 ton beras dari Vietnam yang masuk secara ilegal (Mediatani, 2016). Meskipun Indonesia telah tergabung dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), namun kesiapannya untuk bersaing secara bebas dengan negera-negara sekawasan dalam hal pangan masih perlu mendapat proteksi yang memadai. Kemandirian pangan sebagai bagian dari upaya menguatkan kedaulatan pangan

54



perlu mendapatkan perhatian yang lebih, baik dalam bentuk konsep dan prakteknya di lapangan. Membangun sektor pertanian yang kokoh mulai dari hulu ke hilir sudah seharusnya menjadi tanggungjawab stakeholder. Kemandirian dalam berbagai aspek, baik pada tingkatan lahan, benih, modal, tenaga kerja, teknologi dan infrastruktur pertanian menjadi fondasi utama dalam mewujudkan swasembada pangan. Menyerahkan produk pangan sepenuhnya ke mekanisme pasar hanya akan menghancurkan produk pangan dalam negeri. Belum lagi, berkembangnya wacana tentang rencana investor asing dari Cina dan Malaysia yang akan menginvestasikan dananya sebesar Rp. 20 Triliun untuk mengelola sawah sebesar 50 ribu ha di Subang, Jawa Barat (Tempo, 2013). Hal tersebut merupakan langkah mundur dalam meraih kedaulatan pangan. Meskipun status lahan hanya hak guna pakai, dikwatirkan akan semakin banyak investor di masa yang akan datang berinvestasi disektor ini dan menguasai sektor pertanian. Negara-negara ASEAN dan negara lainnya tentu melihat sektor pangan di Indonesia saat ini menjadi sangat strategis dengan jumlah penduduk 42,43 % dari total penduduk ASEAN. Data Produksi beras dalam negeri 45 juta ton pada tahun 2015, maka seharusnya Indonesia mengalami surplus 15 juta ton (BPS, 2015), tetapi pada sisi lain Indonesia masih mengimpor beras. Jika konsumsi angka konsumsi beras 114,12 kilogram (kg) per kapita per tahun, total konsumsi beras untuk 253 juta penduduk sekitar 30 juta ton. Disparitas data produksi antara instansi yang menangani persolan perberasan dalam negeri kembali dipertanyakan akurasinya. Kesenjangan data BPS, Bulog, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan dalam memastikan kondisi produski beras secara nasional menjadi ujian tersendiri dalam ketepatan metode pengambilan ubinan pada saat panen serta tingkat kejujuran stakeholder mulai dari tingkat daerah hingga ke tingkat pusat sehingga tidak menimbulkan swasembada semu. Koordinasi lintas sektoral secara komprehensif yang terkait dengan perberasan perlu dikuatkan ditengah semakin meningkatnya serbuan beras impor. Komoditi pangan selama puluhan tahun sejak Orde Baru yang hanya menggantungkan pada homogenisasi pangan hanya beras akan menjadi persolan yang semakin rumit, laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, di sisi lain peningkatan produksi stagnan, dan alih fungsi lahan sawah lebih besar dibanding dengan pembukaan lahan baru. Jika bangsa ini hanya menyandarkan diri terhadap beras sebagai satu-satunya komoditi pangan, sangat sulit merealisasikan swasembada pangan. Sumber-sumber bahan pangan lain perlu dikembangkan sebagai solusi dalam mengurangi angka konsumsi beras dalam negeri. Mengkampanyekan komoditi lain seperti ubi, sagu, talas, jagung dan


55

kedelai sebagai alternatif bahan pangan dapat menciptakan diversifikasi bahan pangan. Konsep tersebut dapat merubah paradigma masyarakat bahwa bukan hanya beras yang menjadi bahan pangan. Mengingat Negara Indonesia dengan beragama budaya dan komoditi pangan spesifik lokasi, bukan hal mustahil untuk mendorong heterogenitas bahan pangan dalam mewujudkan swasembada pangan dan mengurangi ketergantungan beras impor.

“Membangun pertanian berbasis

desa dengan pola teknologi terintegrasi dapat menjadi solusi dalam menangani lambannya tindak lanjut masalah pertanian khususnya tanaman pangan dengan teknologi spesifik lokasi.” Indonesia sebagai negara agraris perlu menyusun konsep tentang kemandirian teknologi dalam bidang pertanian, sehingga tidak terus menerus mengalami ketergantungan teknologi dari luar seperti; alsintan, benih unggul, pestisida, pupuk dan model usaha pertaniannya. Idealnya riset di bidang pertanian perlu dibangun di sentra-sentra produksi sehingga penyelesaian masalah tidak perlu menunggu waktu lama menunggu penyelesaiannya yang akan berdampak pada kerugian petani. Membangun pertanian berbasis desa dengan pola teknologi terintegrasi dapat menjadi solusi dalam menangani lambannya tindak lanjut masalah pertanian khususnya tanaman pangan dengan teknologi spesifik lokasi. Sebagai contoh hasil riset di bidang pertanian melalui bioteknologi dengan keunggulan tertentu seperti padi yang tahan terhadap cekaman salinitas, genangan, kekeringan, wereng dan memiliki respon pemupukan yang optimal. Jika hal tersebut diterapkan, petani tidak akan takut lagi dengan ancaman dampak la nina dan el nino, serangan hama penyakit, efisiensi pupuk dan tingginya salinitas tanah sehingga ancaman gagal panen dapat diminimalisir. Memperkuat Peran Buruh Tani Modernisasi pertanian sebagai indikator dalam mengukur tingkat kemajuan sektor pertanian suatu bangsa adalah sebuah determinisme sejarah pertanian di seluruh dunia. Semakin pesatnya pembangunan dan laju pertambahan populasi dunia mengharuskan adanya efesiensi dan efektivitas usaha sektor pertanian. Target produksi yang tinggi di tengah meroketnya kebutuhan akan bahan pangan tidak bisa dihindari sebagai konsekuensi atas dibukanya kran ekspor-impor produk pertanian. Tumbuh dan berkembangnya usaha pertanian sangat tergantung pada semakin besar adopsi teknologi usaha tani dalam mengelola sumber daya untuk

56



menghasilkan keuntungan yang maksimal. Realiasasi sistem pertanian berbasis agribisnis dari hulu ke hilir selalu mengedepankan adanya manajemen produksi sebagai bagian penting dari seluruh proses usaha tani modern. Untuk mencapai target produksi diperlukan optimalisasi sumberdaya lahan dalam meningkatkan produksi. Hal tersebut tidak bisa dicapai hanya dengan mengandalkan tenaga manusia maupun alat-alat pertanian tradisional. Hadirnya teknologi moderen sebagai sebuah keniscayaan untuk menjawab rendahnya produktivitas dan tingginya biaya produksi pertanian adalah sebuah keharusan dalam mengurangi tingkat kerugian petani. Hal ini diperkuat oleh semakin seriusnya pemerintah dalam menangani persoalan rendahnya produksi pertanian memalui alokasi anggaran APBN sebesar Rp. 3,325 triliun diperuntukkan untuk menyediakan bantuan alat mesin pertanian (alsintan) sebanyak 100.000 unit pada tahun 2016. Berdasarkan uraian draft pengajuan anggaran Kementerian Pertanian diajukan pada tahun 2016 terdiri dari 60.000 unit traktor roda dua, 2.000 unit traktor roda empat, 25.000 unit pompa air dan 5.000 unit rice transplanter. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk bekerja dan tergantung pada sektor pertanian, tentu tidak boleh apriori terhadap hadirnya teknologi sebagai produk dari ilmu pengetahuan. Di saat lahan pertanian semakin berkurang akibat alih fungsi lahan, satu-satunya cara untuk meningkatkan produksi adalah teknologi yang tepat guna. Sejarah telah mencatat bahwa mekanisasi di sektor pertanian telah merubah wajah dunia pertanian menjadi sektor potensial dalam meningkatkan devisa negara. Faktanya, penerapan mekanisasi pertanian di Pakistan mampu meningkatkan rata-rata 75% dari sektor pertanian (Salokhe dan N.Ramalingan, 1998). Kemudian di saat terjadi krisis tenaga kerja buruh tani di Korea Selatan sebagai dampak dari pergeseran dari negara agraris ke negara industri maju. Akibatnya, petani dituntut untuk meningkatkan produktivitas pangan melalui mekanisasi pertanian. Hasilnya menjadikan negara tersebut menjadi negara maju di bidang pertaniannya. Suksesnya mekanisasi di sektor pertanian melalui nawacita membangkitkan kembali Indonesia sebagai raksasa pangan dunia, dengan prestasi berhentinya impor beras, cabai, bawang merah dan gula sejak tahun 2015, faktanya belum mampu menyelesaikan permasalahan pada level masyarakat, khususnya buruh tani. Masuknya mesin-mesin pertanian menggantikan tenaga manusia dan alatalat pertanian tradisional akan berdampak pada hilangnya pekerjaan buruh tani sehingga meningkatkan angka pengangguran di pedesaan. Pada sisi lain tingkat pendidikan buruh tani yang rata-rata hanya tamatan SD tidak memiliki kemam-


57

puan untuk menguatkan organisasi dalam menyuarakan aspirasinya di ruang publik. Berdasarkan data BPS tahun 2014, penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,73 juta jiwa atau sekitar 10,96% dari jumlah penduduk yang mayoritas tinggal di desa sebanyak 62,6 % dengan profesi sebagai petani dan buruh tani. Nasib buruh tani dengan buruh pabrik dan buruh bangunan sangat berbeda, buruh tani merupakan komunitas pekerja yang sangat lemah. Sebagai perkerja di sektor informal, buruh tani tidak memiliki posisi tawar yang cukup kuat. Sistem kelembagaan yang belum terorganisir dalam memperjuangkan hak-haknya termasuk dalam sistem upah yang belum memenuhi standar Upah Minimum Regional (UMR). Hal tersebut disebabkan karena pekerjaan buruh tani masih sangat tergantung pada jenis pekerjaan dan musim tanam.

“Angka kemiskinan buruh tani di

pedesaan semakin diperparah oleh alih teknologi seperti mesin tanam, mesin panen dan serta jenis pekerjaan lainnya yang digantikan oleh tenaga mesin.” Faktanya kebanyakan buruh tani masih mengandalkan upah harian ataupun sistem borongan. Kondisi tersebut menyebabkan buruh tani terjerembab dalam lembah kemiskinan berkepanjangan. Data BPS tahun 2014 memperlihatkan rata-rata upah harian buruh tani hanya sebesar Rp. 45 ribu/hari. Angka tersebut tentu jauh dari angka kecukupan dengan melemahnya daya beli buruh tani di tengah melambungnya harga barang sembako dan biaya publik lainnya. Angka kemiskinan buruh tani di pedesaan semakin diperparah oleh alih teknologi seperti mesin tanam, mesin panen dan serta jenis pekerjaan lainnya yang digantikan oleh tenaga mesin. Jenis pekerjaan misalnya menanam digantikan dengan mesin tanam, memanen padi digantikan dengan mesin panen dan mengolah tanah secara konvensional digantikan dengan hand traktor. Pada sisi lain, agroindustri belum terbangun secara merata di sentra produksi khususnya pedesaan sebagai solusi atas penyerapan tenaga kerja di pedesaaan. Kesiapan industri pertanian dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sejak akhir tahun 2015 belum memberikan tanda-tanda semakin membaiknya nasib buruh tani di masa yang akan datang. Industri pertanian lebih dominan dibangun di perkotaan, itupun jumlahnya belum mampu menyerap semua produk pertanian dalam negeri menjadi barang jadi sehingga pilihannya adalah ekspor

58



bahan mentah. Di tengah meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya manusia terampil mengharuskan persaingan tenaga kerja dalam negeri pada semua sektor semakin ketat. Begitupun dengan buruh tani, untuk mampu bersaing dengan buruh tani yang terampil dan terorganisir dari negara-negara sekawasan di Asean membutuhkan kesiapan dari segi keterampilan dalam mengoperasikan mesin-mesin pertanian moderen dan menguatkan posisi tawar buruh tani melalui kelembagaan yang kuat dalam mengimbangi dominasi tenaga kerja pertanian di kawasan Asean. Buruh tani merupakan bagian dari pejuang pangan tanpa tanda jasa yang paling rendah dalam strata sosial masyarakat tani, olehnya itu perlu mendapat perhatian dan perlindungan yang memadai. Merumuskan kebijakan dan agenda strategis program pertanian modern harus memasukkan buruh tani sebagai variabel yang tidak bisa lepas dari kemajuan pertanian. Memberikan diversifikasi lapangan kerja bagi buruh tani melalui penyediaan lapangan kerja baru seperti home industry dan penyerapan buruh tani di industri besar serta pengelolaan lahan produktif merupakan langkah strategis dalam meningkatkan taraf kesejahteraan buruh tani. Hingga ujungnya, buruh tani menjadi pekerjaan mulia yang dapat memberikan sumbangsi bagi kesejahteraan keluarga, masyarakat dan bangsa. Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik, 2013. Badan Pusat Statistik, 2014. Badan Pusat Statistik, 2015. Fukuyama F,, 2008. Trust, Kebijakan-Kebijakan Sosial. Yogyakarta: Qolam. Kementrian Pertanian, 2016. Wahyuningtyas W., 2014. Masa Depan Kedaulatan Pangan Indonesia dalam UU No. 6 Tahun 2014. Widjanarko, dkk, 2006. Aspek Pertahanan Dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertnian (Sawah). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah : 22-23. Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN. Jakarta. www.academia.edu (Diakses, 14 Juli 2016).


59

60



Bisnis Sosial sebagai Praktek Kapitalisme Kiri Serpian Agus

Dunia mempunyai sejarah panjang terkait dengan masalah kemiskinan. Sampai pada saat ini, kemiskinan tetap menjadi perhatian bagi negara-negara maju maupun negara-negara berkembang. Data yang disajikan oleh Oxfam International bahwa hingga tahun 2015, kekayaan 62 orang paling kaya di dunia setara dengan kekayaan setengah penduduk dunia. Matrik yang terlampir memperlihatkan kemunduran beberapa tahun belakangan ini. Jika di tahun 2010 membutuhkan kekayaan 388 orang paling kaya untuk menyamakan kekayaan separuh penduduk dunia, maka sekarang hanya butuh 62 orang terkaya saja. Kemiskinan digolongkan sebagai permasalahan sosial yang dapat mengancam perdamaian. The Nobel Peace Prize berpandangan bahwa perdamaian abadi tidak akan dicapai kecuali kelompok populasi besar keluar dari kemiskinan. Anggapan tersebut cukup rasional karena tindak kekerasan lebih banyak terjadi di kelompok masyarakat miskin, terlebih lagi objek kekerasan sering ditujukan pada perempuan dan anak-anak. Kaum miskin menghadapi masalah-masalah finansial yang sangat berpengaruh pada aspek lainnya. Kemiskinan tidak selalu disebabkan oleh orang miskin. Yang dominan dalam permasalahan kemiskinan diakibatkan oleh kegagalan sistem sosial. Peluang-peluang yang didapatkan oleh orang miskin dalam mendapatkan akses yang baik tidak sebesar peluang yang dimiliki oleh orang kaya. Selain itu, pola bisnis kapi-

61

talistik yang tumbuh subur mengharuskan orang miskin bersaing dengan orang kaya. Sistem sosial seperti itu jelas memperlihatkan pola ketidakadilan dan orang miskin yang cenderung menjadi korban. Sistem Kerja Bisnis modern yang beraliran kapitalistik dalam prakteknya selalu menekankan pada peningkatan keuntungan sebesar-besarnya. Dalam bisnis model ini, prinsip kerja yang harus dijalankan adalah profit maximizing business (PMB). Prinsip tersebut mengharuskan setiap pengusaha bekerja untuk memaksimalkan keuntungan dalam menjalankan bisnis, tanpa harus serius memikirkan aspek sosial ataupun aspek lainnya. Melalui doktrin PMB, perusahaan menciptakan manajemen kerja yang efisien dalam menjalankan usaha, agar mampu mendapatkan profit yang maksimal dengan biaya produksi yang seminimal mungkin. Pilihan yang paling rasional untuk mencapai manajemen yang efisien tersebut yaitu dengan meminimalisir pekerja manusia yang tidak efisien, digantikan dengan mesin-mesin produksi.

“Praktek yang cenderung

anomali dalam aliran ini adalah menuntut negara untuk tidak banyak ikut campur dalam aktivitas pasar, namun di sisi lain banyak penganut aliran ini yang sering menggunakan negara untuk melancarkan praktek bisnisnya.” Setidaknya beberapa dekade belakangan ini prinsip-prinsip aliran ekonomi kapitalisme banyak direplikasi oleh negara-negara di dunia dengan cara yang adaptif. Aliran ini tumbuh subur dalam sebuah negara ditandai dengan adanya kecenderungan negara melakukan privatisasi pada banyak sektor. Praktek yang cenderung anomali dalam aliran ini adalah menuntut negara untuk tidak banyak ikut campur dalam aktivitas pasar, namun di sisi lain banyak penganut aliran ini yang sering menggunakan negara untuk melancarkan praktek bisnisnya. Kapitalisme merupakan aliran ekonomi yang melihat manusia sebagai makhluk satu dimensi saja, yaitu manusia hidup di dunia hanya untuk mengejar hasrat dalam mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Tidak seorang pun di dunia yang benar-benar ikhlas dalam memberi, tanpa mengharap adanya keuntungan. Penganut doktrin ini akan memilih untuk mengabdikan dirinya pada keuntu-

62



ngan, dengan cara berfikir transaksional, yang menggantungkan segala sesuatu pada penilaian untung atau rugi (secara materialis). Doktrin kapitalisme yang menganggap manusia sebagai makhluk satu dimensi, menjadikan pasar sebagai arena kompetisi berburu bahkan berebut keuntungan. Agar semua faktor-faktor produksi mampu diberdayakan secara optimal, maka seharusnya negara tidak ikut campur terlalu jauh dalam aktivitas pasar, sebab pasar mampu mengatur dirinya sendiri. Negara dibutuhkan hanya untuk menjaga kepentingan pengusaha agar arena persaingan dalam pasar dapat berjalan lancar tanpa intervensi dari pihak manapun. Semangat tersebut kemudian mendorong adanya pasar yang luas, tanpa harus dibatasai letak geografis sebuah negara. Pasar bebas yang kemudian menjadi istilah yang sangat digandrungi oleh pengikut kapitalisme. Dalam pasar bebas, logika kompetisi bekerja dengan baik, siapa yang tidak mampu bersaing maka mereka akan tersingkir. Kekuatan modal dan kemampuan strategik dalam mengakumulasi modal, adalah yang paling menentukan posisi seseorang dalam pasar bebas. Kehadiran kapitalisme sekarang ini dianggap mampu mendidik masyarakat dalam menjalankan bisnis yang baik, agar tercapai masyarakat yang mandiri. Masyarakat yang mampu mengatur dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kemandirian tersebut ditandai dengan kurangnya subsidi dari negara, pada akhirnya membentuk individu yang mampu untuk survive tanpa harus sepenuhnya bergantung pada negara. Kenyataannya, persaingan dalam bisnis kapitalistik cenderung tidak memberi ruang kepada kaum miskin untuk menikmati kesejahteraan melalui berbisnis. Yang mempunyai peran dominan dalam pasar bebas tersebut adalah mereka yang memiliki modal. Sedangkan kaum miskin tidak mempunyai kekuatan modal untuk menjalankan bisnisnya. Meskipun di negara-negara yang memeraktekkan kapitalisme mengalami kemajuan pembangunan, namun sayangnya masalah kemiskinan dan pengangguran tetap memperihatinkan. Kesenjangan antara kaum miskin dengan orang kaya jelas terlihat di tengah-tengah masyarakat. Hal tersebut nampak pada pola perputaran pendapatan pemilik modal dengan pendapatan buruh yang sangat jauh berbeda. Keuntungan yang didapatkan oleh pemilik modal dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dan masih tersedia selisih yang cukup banyak untuk digunakan dalam


63

memperbesar binisnya, sehingga mampu mendapatkan keuntungan yang lebih banyak di masa mendatang. Berbeda dengan pola perputaran pendapatan buruh yang hanya berhenti pada pemenuhan kebutuhan hidup. Sama halnya dengan orang-orang miskin yang menjalankan bisnisnya, keuntungan yang didapatkan hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Melihat fenomena tersebut, dengan mudah dapat disimpulkan siapa yang berada pada kualitas hidup yang lebih baik. Bisnis Sosial Manusia seharusnya dilihat sebagai makhluk multi dimensi. Berfikir, merasa, dan berinovasi. Manusia tidak hanya hidup untuk mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya tetapi juga mempunyai kepedulian sosial. Manusia mempunyai kecenderungan untuk peduli terhadap kondisi sosial yang ada di lingkungannya. Berfikir bagaimana menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial. Tentu lebih mudah menemukan jalan keluar atas permasalahan sosial jika difikirkan bersama.

“Permasalahan-permasalahan

sosial yang diakibatkan oleh bisnis kapitalistik menuntut adanya pola bisnis baru yang lebih memihak pada orang miskin. Bisnis sosial belakangan ini, dianggap sebagai pilihan yang cukup menarik.” Permasalahan-permasalahan sosial yang diakibatkan oleh bisnis kapitalistik menuntut adanya pola bisnis baru yang lebih memihak pada orang miskin. Bisnis sosial belakangan ini, dianggap sebagai pilihan yang cukup menarik. Konsep bisnis sosial dipopulerkan oleh Muhammad Yunus, sosok akademisi yang berasal dari Bangladesh. Yunus, saat itu menjabat sebagai dekan fakultas ekonomi di Universitas Chittagong, merasa aneh melihat kesenjangan atara teori ekonomi dengan realitas kemiskinan di Bangladesh. Teori-teori yang dikaji di kampus rupanya tidak mampu menjelaskan fenomena kemiskinan di Bangladesh. Dari keresahan tersebut, maka Yunus mencoba keluar dari ruang dekan dan kemudian turun langsung menghampiri gubuk-gubuk orang miskin di Desa Jobra. Setelah banyak menggali informasi, Yunus kemudian sampai pada kesimpulan bahwa masalah terbesar orang miskin adalah ketidaktersediaan modal usaha yang layak. Keahlian membuat kerajinan rotan yang dimiliki oleh warga miskin di Desa Jobra menjadi kekuatan untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan.

64



Sayangnya, untuk menjalankan usaha kerajinan tersebut, orang-orang miskin di Desa Jobra harus meminjam uang pada rentenir. Hasil penjualan yang didapatkan kemudian harus disisihkan untuk membayar pinjaman (plus bunganya) sehingga selisih yang bisa digunakan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup tanpa ada yang bisa ditabung. Mendapatkan pinjaman di bank pun begitu sulit, karena harus ada agunan, sedangkan kaum miskin tidak memiliki itu. Berangkat dari fenomena tersebut di atas, maka Yunus membangun konsep Grameen Bank untuk meningkatkan pendapatan orang-orang miskin. Grameen Bank adalah Bank yang memberi pinjaman kepada orang-orang miskin dengan bunga yang rendah dan tanpa agunan. Sehingga orang miskin mampu mengakses modal usaha tanpa harus terbebani dengan pembayaran utang yang besar. Disadari bahwa konsep tersebut sangat berisiko ketika diterapkan pada orangorang miskin. Muncul ketakutan akan ketidakmampuan orang miskin untuk membayar pinjamannya. Untuk menjauh dari masalah tersebut, Grameen Bank mensyarakat setiap peminjaman harus atas nama kelompok, meskipun pada kenyataannya uang pinjaman digunakan secara individu. Untuk mendapatkan pinjaman, orang-orang miskin tersebut harus mengumpulkan 5 anggota peminjam, selanjutnya melakukan kesepakatan ketika salah seorang anggota kelompok tidak mampu membayar maka kelompok tersebutlah yang akan membayarnya. Sehingga risiko tidak kembalinya modal dapat terselesaikan, sebab kelompok masyarakat tersebut akan saling mengawasi dan memotivasi untuk giat berusaha. Menguatkan Grameen Bank sebagai bisnis sosial, maka dibentuklah sistem kepemilikan saham bersama. Para peminjam (orang-orang miskin) secara otomatis menjadi pemilik saham di bank tersebut. Setiap akhir tahun pemilik saham mendapatkan pembagian keuntungan (deviden). Posisi pengelola pada bank ini hanya berstatus sebagai karyawan yang dipekerjakan oleh orang miskin (pemilik Grameen Bank) dan digaji secara professional melalui keuntungan yang diperoleh Grameen Bank. Muhammad Yunus berhasil memeraktekkan Grameen Bank di Desa Jobra. Keberhasilan tersebut menegaskan kalau bank untuk kaum miskin dapat diadakan. Pengelolaan bisnis yang melibatkan orang miskin sebagai pemilik perusahaan memperjelas keberpihakan bisnis ini pada orang miskin. Di samping itu, para pekerja tidak lagi berada pada posisi yang ditindas oleh korporasi (korban penghisapan nilai lebih). Bersandar pada keberhasilan Grameen Bank, maka bisnis sosial dapat diartikan


65

sebagai bisnis yang bertujuan untuk memberikan manfaat sosial kepada orang banyak. Bisnis ini lebih fokus menjadikan kemiskinan sebagai objeknya. Para pelaku bisnis sosial bekerja mencari keuntungan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial. Setidaknya, dalam menjalankan bisnis dengan misi sosial harus membertimbangkan model bisnis sosial yang solutif, profitable, dan sustainable. Perbedaan Bisnis Sosial dengan Bisnis Kapitalistik Bisnis kapitalistik sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sepenuhnya fokus pada profit maximizing business (PMB). Aspek tersebutlah yang membedakan bisnis sosial dengan bisnis kapitalistik, sebab dalam bisnis sosial fokus utamanya adalah tujuan-tujuan sosial. Keuntungan yang didapatkan dalam bisnis sosial ini adalah keuntungan-keuntungan sosial yang nilainya lebih tinggi dari keuntungan materialis.

“Ketika pengelolaan bisnis

fokus pada memaksimalkan keuntungan maka sangat berisiko untuk meninggalkan tujuan sosialnya.” Apakah bisnis sosial tidak dapat menerapkan PMB? Mungkin ini pertanyaan yang menarik, sebab sejatinya bisnis diartikan sebagai usaha mencari keuntungan dengan jalan menjual barang atau jasa. Tentu saja bisnis sosial tetap menerepkan prinsip bisnis secara umum, yaitu usaha mencari keuntungan. Yang seharusnya dihindari adalah fokus pada keuntungan maksimal. Jika PMB kemudian diterapkan dalam bisnis sosial, sangat riskan bagi pengelola untuk menjalankan bisnis sosial, karena konsentrasi bisnis akan terbagi dua pada tujuan yang tidak sejalan, yaitu antara memaksimalkan keuntungan dengan memaksimalkan kemanfaatan sosial. Kedua hal tersebut sangat sulit untuk disatukan. Ketika pengelolaan bisnis fokus pada memaksimalkan keuntungan maka sangat berisiko untuk meninggalkan tujuan sosialnya. Padahal tujuan sosial lah yang menjadi semangat munculnya usaha tersebut. Mengutamakan tujuan sosial bukan berarti menolak untuk mengusahakan keuntungan. Yang harus dihindari dalam bisnis sosial hanyalah praktek-praktek yang fokus berburu keuntungan saja, sementara usaha-usaha dalam memberi manfaat sosial dikesampingkan. Olehnya itu, keuntungan yang didapatkan dalam bisnis sosial berfungsi sebagai bahan bakar untuk menjalankan usaha dalam memberi manfaat sosial, agar usaha tersebut tetap berkelanjutan.

66



Bisnis Sosial Tipe I dan Bisnis Sosial Tipe II Yunus menjelaskan dua tipe bisnis sosial. Bisnis sosial tipe I adalah bisnis sosial yang kepemilikannya diserahkan sepenuhnya kepada orang miskin, sehingga keuntungan yang didapatkan dari usaha tersebut akan diberikan kepada orang miskin yang terlibat dalam bisnis tersebut. Contoh yang paling nyata dalam bisnis sosial tipe I ini adalah Grameen Bank, dimana orang miskin sebagai peminjam uang di Grameen Bank secara otomatis menjadi pemilik saham. Bisnis sosial tipe II adalah bisnis sosial yang kepemilikannya tetap berada ditangan satu orang atau sekelompok orang, namun keuntungannya ditujukan sepenuhnya untuk kemanfaatan sosial. Pada tipe II ini menuntut adanya seseorang atau sekelompok orang yang sadar sosial, kemudian membuat bisnis sosial yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan sosial di suatu daerah tertentu. Bisnis sosial tipe II tetap memegang prinsip kemaslahatan sosial jauh lebih utama dari pada memakasimalkan keuntungan bisnis. Keuntungan yang didapatkan dari berbisnis sekedar untuk menutupi biaya produksi agar bisnis tersebut tetap bisa berjalan. Contoh bisnis sosial yang pernah direalisasikan oleh Yunus adalah Grameen Veolia Water. Keinginan perusahaan multinasional Veolia Water untuk menyediakan air bersih bagi penduduk miskin direspon baik oleh Yunus. Veolia Water bersama Yunus kemudian menjalankan sebuah konsep penyediaan air bersih dengan harga murah di Desa Goalmari di Bangladesh. Desa tersebut merupakan wilayah yang kekurangan air bersih karena kandungan air di dalam tanah kurang bagus. Peneliti dari Grameen Shikkha menemukan adanya kandungan arsenikum pada air dalam tanah, sehingga berbahaya apabila diminum oleh warga. Munculnya harga atas air bersih yang dibebankan kepada warga adalah upaya untuk menjamin keberlangsungan misi sosial dari bisnis tersebut. Keuntungan yang didapatkan bertujuan untuk memenuhi biaya operasional Grameen Veolia Water. Bisnis tersebut tidak mendapatkan tuntutan untuk menghasilkan laba sebanyak-banyaknya. Kedua tipe bisnis sosial benar-benar berdasar pada kebutuhan masyarakat miskin. Menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial melalui jalan bisnis. Menciptakan bentuk bisnis yang menguntungkan tanpa harus mengorbankan kemanfaatan sosial.


67

Apakah Koperasi Merupakan Bisnis Sosial? Koperasi dapat diartikan sebagai organisasi bisnis yang dimiliki dan dijalankan oleh anggota organisasi secara kooperatif untuk kepentingan bersama. Pengelolaan koperasi berdasar pada nilai-nilai kekeluargaan dan kolektifitas. Makna koperasi seperti itu nampak bisa disebut sebagai bisnis sosial. Gerakan koperasi di Indonesia dipopulerkan oleh Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama Indonesia. Untuk lebih memantapkan gerakan koperasi maka lahirlah kongres koperasi pertama pada tanggal 12 juli 1947. Keseriusan Bung Hatta dalam membangun koperasi di Indonesia terlihat pada tulisan-tulisannya diberbagai media massa pada saat itu. Bagi Bung Hatta, koperasi adalah wujud ekonomi kerakyatan dalam bentuk usaha bersama dan berdasar pada asas kekeluargaan.

“... masih terdapat koperasi yang

betul-betul bekerja untuk menyelesaikan permasalahan sosial dan tidak terjebak pada fokus untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya” Melihat prinsip-prinsip koperasi, tentu kita bisa menyamakannya dengan bisnis sosial, namun dalam beberapa kasus koperasi di Indonesia sangat jauh berbeda dengan praktek bisnis sosial. Tidak semua koperasi berfokus untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial, namun cenderung terjebak pada prinsip PMB. Meski demikian, masih terdapat koperasi yang betul-betul bekerja untuk menyelesaikan permasalahan sosial dan tidak terjebak pada fokus untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Koperasi seperti itu dapat digolongkan sebagai bisnis sosial. Sebagai contoh, koperasi perempuan nelayan Fatimah Az Zahrah yang berada di Makassar. Nuraini, adalah sosok ibu yang kemudian tergerak ketika melihat kemiskinan dilingkungannya. Pendapatan nelayan yang tidak menentu membuat mereka sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup. Permasalahan yang mendasar yaitu sering sekali harga ikan hasil tangkapan nelayan dibeli murah oleh tengkulak. Para nelayan tidak dapat berbuat banyak karena terlilit utang pada tengkulak. Namun, jeratan kuasa tengkulak pada nelayan tidak sampai mengikat istri-istri nelayan. Nuraini kemudian mengajak para istri nelayan untuk menambah nilai jual ikan

68



tangkapan dengan mengolahnya menjadi produk makanan. Tentu banyak permasalahan yang didapatkan oleh Nuraini dalam membangun bisnis tersebut. Salah satunya adalah perlawanan atas dominasi tengkulak. Nuraini harus berhadapan langsung dengan tengkulak yang merasa pendapatannya diganggu. Kegigihan Nuraini dalam membebaskan keluarga nelayan dalam jerat kemiskinan kemudian membuahkan hasil. Para istri nelayan kini mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. Nelayan tidak takut lagi ikan tangkapannya dibeli murah atau hanya tinggal membusuk, karena sudah dapat diolah menjadi produk olahan makanan, seperti abon dan jajanan lainnya. Lebih dari aktivitas ekonomi, kelompok Koperasi Perempuan Nelayan Fatimah Az Zahrah kini mampu melaksanakan misi sosial di bidang-bindang lainnya. Seperti melaksanakan program santunan makan siang untuk orang-orang lansia tiap bulannya, membentuk sekolah perempuan dan pendampingan pada korban-korban KDRT. Dalam pertemuan dengan Ibu Nuraini, beliau menyampaikan bahwa usaha yang dijalankannya cenderung lebih fokus pada memberikan manfaat sosial bagi masyarakat. Aktivitas bisnis yang mencari keuntungan tidak boleh mengorbankan misi sosial. Capaian ini menjadi prototype koperasi yang dijalankan secara bisnis sosial. Mengedepankan kemanfaatan sosial dari pada keuntungan pribadi. Bisnis Sosial Adalah Praktek Kapitalime Kiri Bukan pekerjaan yang mudah untuk menjatuhkan klaim bahwa konsep bisnis sosial Muhammad Yunus adalah praktek kapitalisme kiri, karena dalam membaca karya Yunus kita akan membaca narasi pengalaman dalam membangun bisnis sosial. Sesekali pembaca akan menemukan kritik atas kapitalisme dan sosialisme, kemudian Yunus mengambil irisan dari kedua paham tersebut untuk menjelaskan di posisi mana ia berpijak. Di samping itu, istilah kapitalisme kiri tidak begitu lazim didengar. Untuk menguatkan dasar klaim tersebut maka butuh untuk mengumpulkan serpihan-serpihan ekonomi makro dalam pemikiran Muhammad Yunus. Usaha-usaha yang sangat serius dilakukan oleh kapitalisme yaitu mengurangi intervensi pemerintah dalam dunia bisnis, agar aktivitas ekonomi dapat berjalan dengan baik. Kapitalisme percaya jika setiap individu terlibat dalam kompetisi yang bebas maka mereka akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar, perekonomian pun berjalan dengan baik. Konsep tersebut menjadi pijakan bisnis

69

kapitalistik untuk mengerahkan semua kekuatannya dalam mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Logika berfikir tersebut yang menjadi poin kritikan Yunus atas kapitalisme, sebab tidak ada keadilan apabila orang miskin harus bersaing dengan orang kaya dalam kompetisi bebas.

“Berbeda dengan kapita-

lisme, sosialisme menawarkan praktik dan prinsip yang lebih mengedepankan kepentingan bersama.” Berbeda dengan kapitalisme, sosialisme menawarkan praktek dan prinsip yang lebih mengedepankan kepentingan bersama. Semua aktivitas ekonomi harus diatur oleh negara secara konkrit. Alat-alat produksi dikuasai oleh negara dan hak kepemilikan pribadi cenderung tidak diakui. Masa muda Yunus sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran ekonomi Marxis. Pandangannya yang progresif dengan tegas menolak cara-cara kuno yang konservatif. Namun Yunus tidak sepakat dengan aliran yang mengharuskan negara menetapkan standar praktik yang harus diikuti. Praktek sosialisme seperti ini yang sangat dikritik oleh Yunus. Seorang yang beraliran kiri juga pernah menuduh Yunus sebagai pembawa opium pada kaum miskin, agar mereka tidak terlibat dalam isu-isu politik yang lebih besar. Dengan pinjaman mikro, kaum miskin akan tertidur nyenyak dan tidak melakukan perlawanan. Semangat revolusioner kaum miskin akan hilang seiring berkembangnya Grameen. Namun, Yunus tidak begitu senang dengan “ismeisme” yang muluk-muluk, yang tidak mampu memberikan solusi teknis dalam menyelesaik kemiskinan. Meskipun kritikan Yunus untuk kapitalisme dan sosialime sangat sering ditemui, namun dalam prakteknya tetap memuat beberapa nilai-nilai penting yang ada dalam kedua aliran tersebut. Yunus tetap percaya pada kekuatan ekonomi pasar bebas dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah kemiskinan melalui jalan bisnis. Di sisi lain, Yunus tidak sepakat dengan laissez faire. Menurut Yunus, negara harus tetap melakukan intervensi dalam perekonomian untuk mendorong kesadaran sosial bagi pelaku bisnis. Akan tetapi, intervensi sosial yang seharusnya dilakukan oleh negara yaitu tanpa harus ikut campur terlalu jauh dalam praktek pengelolaan bisnis. Intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan untuk men-

70



dorong para pelaku bisnis supaya lebih sadar sosial. Bentuk kebijakan tersebut dapat berupa pemberian insentif kepada perusahaan yang sadar sosial agar mampu bersaing di pasar global. Yunus Juga meyakini bahwa untuk menghapuskan kemiskinan maka harus menempatkan kepentingan sosial di atas kepentingan pribadi. Sikap sosialis tersebut muncul sebagai penolakan atas tuduhan kapitalisme yang menganggap bahwa manusia hanyalah mahluk yang mengejar keuntungan pribadi. Praktek bisnis sosial yang sedikit kapitalistik namun sepenuhnya memihak kepada orang miskin membuat Yunus memposisikan Bisnis Sosial dalam gerakan politik kiri. Cara pandang tersebut menjadi dasar yang kuat untuk menjatuhkan klaim bahwa konsep bisnis sosial Muhammad Yunus adalah praktek kapitalisme kiri.


71

72



Desa Membangun Indonesia Hari Suharto Manggesara*

Kesadaran negara terhadap keberadaan penting desa sebagai lingkup pemerintahan terkecil di Indonesia mulai terbuka pasca pencabutan pasal 200 sampai pasal 216 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang kemudian melahirkan Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa yang disahkan oleh DPR pada 15 Januari 2014. Keberadaan UU tersebut menjadikan desa dengan segala perangkatnya memiliki kepastian hukum yang kuat dalam aktivitas kehidupan bernegara. UU No. 6 tahun 2014 atau yang lebih dikenal dengan UU Desa selain mengatur tentang tata kelola pemerintahan desa, aparat dan segala perangkat pemerintahan dan hukum di desa juga mengatur alur-proses pembangunan perekonomian dan peningkatan kualitas sumberdaya yang pada dasarnya mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Dan ini menjadi suplemen baru bagi pemberdayaan pemerintahan desa dalam membangun pemerataan pertumbuhan dan perekonomian ekonomi perdesaan. Secara umum, UU Desa mengatur materi mengenai asas pengaturan, kedudukan dan jenis desa, penataan desa, kewenangan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, hak dan kewajiban desa dan masyarakat desa, peraturan desa, keuangan desa dan aset desa, pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan, badan usaha milik desa, kerja sama desa, lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat desa, serta pembinaan dan pengawasan. Selain itu, UU ini juga mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk Desa Adat.

73

Implementasi UU Desa salah satu titik krusialnya terdapat pada pembahasan alokasi anggaran untuk desa yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dalam penjelasan pasal 72 ayat 2 tentang keuangan desa menetapkan anggaran yang langsung ke desa sebesar 10 persen dari dan diluar dana transfer daerah yang besarannya disesuaikan dengan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan kesulitan geografi. Maka berdasarkan hal ini, ditambah dengan pembagian dana Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari 10 persen Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), desa akan mengelola dana anggaran pada kisaran sekitar Rp. 1 Milyar pertahun.

“Dalam proses aktivi-

tas pemerintahan desa, kepala desa berwenang mengeluarkan peraturan-peraturan desa yang dianggap perlu atas persetujuan dan kesepakatan anggota BPD dalam forum musyawarah desa.” Di samping itu, UU Desa juga sudah memberikan jaminan kepada para kepala desa menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan. Juga dijelaskan tentang tugas, wewenang dan masa jabatan kepala desa serta perangkat institusi/kelembagaan desa lainnya seperti Badan Permusyawaratan Desa (lembaga perwakilan desa) dan kelembagaan lainnya. Dalam proses aktivitas pemerintahan desa, kepala desa berwenang mengeluarkan peraturan-peraturan desa yang dianggap perlu atas persetujuan dan kesepakatan anggota BPD dalam forum musyawarah desa. Berbagai kekhawatiran memang muncul dalam implementasi UU Desa yang baru berjalan efisien dan efektif di tahun 2015 khususnya yang terkait dengan penggunaan anggaran keuangan desa dimana kepala desa sepenuhnya menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Dengan besaran angka rupiah yang dikelolanya dalam satu tahun, maka akan menimbulkan kegamangan dari kalangan tertentu terhadap kesiapan dan kemampuan sumberdaya manusia yang ada di desa terkait kualitas SDM yang dimiliki dalam mengolah dan mengelola anggaran tersebut bagi kepentingan pembangunan desa dan masyarakatnya. Dalam perjalanannya kemudian, UU Desa dikelilingi oleh turunan aturan hukum pendukung lainnya baik berupa Peraturan Pemerintah dan Kementerian

74



terkait seperti Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian desa yang menjadi payung hukum bagi pemerintah desa dalam menjalankan amanat Undang-undang Desa tersebut dan menjadi alat antisipatif bagi kekhawatiran dalam proses aplikasinya. Penguatan pada pengawasan melalui proses pendampingan desa dalam menjalankan UU No. 6 tahun 2014 tertuang pada kebijakan pemerintah melalui Permendesa No. 3 tahun 2015 tentang Pendampingan Desa. Penguatan pada proses pendampingan inilah yang juga menjadi motivasi positif dan strategis bagi pemerintahan desa sehingga segala proses yang terjadi dalam pengejawantahan UU Desa tetap berada pada jalur hukum dan perundang-undangan yang berlaku sehingga diharapkan mampu menghilangkan dan meminimalisir segala penyimpangan yang dikuatirkan dapat terjadi. Konsep Community Development dalam UU Desa Undang-undang Desa dalam penerapannya menitikberatkan pada proses demokratisasi dalam setiap alur proses pengambilan keputusan yang dilaluinya. Program pembangunan desa difokuskan pada kebutuhan strategis pembangunan desa dan masyarakatnya berlandaskan pada ketersediaan sumberdaya lokal yang ada desa dan pemberdayaan masyarakat desa (partisipasi aktif ). Yang paling krusial sebenarnya adalah pada proses penyusunan perencanaan pembangunan desa baik yang sifatnya jangka pendek (tahunan) maupun jangka perenam tahunan sesuai dengan masa jabatan kepala desa. Program pembangunan desa tertuang dalam dokumen RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) dimana proses penyusunannya melibatkan secara aktif semua komponen masyarakat desa sehingga RPJMDes yang tersusun merupakan keinginan dan kebutuhan utama masyarakatnya serta menjadi prioritas pembangunan demi kemajuan kehidupan dan kesejahteraan warga desa. RPJMDes inilah yang kemudian diurai dalam bentuk pekerjaan fisik dan non fisik dalam pembangunan desa dan masyarakatnya. Demikian halnya dalam proses pelaksanaan pembangunan fisik sarana dan prasarana serta infrastruktur yang menjadi kebutuhan mendasar bagi warga desa seperti jalan, sekolah dan pasar desa harus melibatkan segala potensi yang ada di desa sehingga proses pembangunannya dilaksanakan oleh warga desa sendiri (swadaya dan kegotong-royongan) dan pada akhirnya segala sarana dan prasarana yang ada merupakan hasil karya lokal warga desa setempat karena perencanaan dan pelaksanaannya dilakukan sendiri oleh warga desa dari hasil musyawarah mufakat. Konsep pemberdayaan masyarakat dan partisipasi aktif warga lokal menjadi ruh pembangunan pedesaan yang merupakan aplikasi dari keberadaan Undang-undang No. 6 tahun 2014 tersebut.


75

Kebebasan dan keleluasaan pemerintah desa dalam mengatur dan menggunakan anggarannya sendiri telah mampu mendorong partisipasi aktif warga desa dalam memberikan kontribusi positif dalam proses pembangunan desa. Proses perencanaan pembangunan desa yang terumuskan dalam RPJMDesa adalah merupakan buah pikir dan kreatifitas ide dari para warga desa dan komponen kelembagaan yang ada dalam melihat prioritas pembangunan desa yang dibutuhkan untuk kemajuan masa depan desa dan masyarakatnya. Beberapa proses yang harus dilalui sebagai bagian dari penyusunan perencanaan pembangunan dalam dokumen RPJMDesa diantaranya tahapan kajian desa yang bertujuan untuk memperoleh data dan informasi terkini tentang kondisi desa dan warganya, musyawarah dusun dan musyawarah antar dusun untuk melihat kebutuhan strategis dusun serta musyawarah desa (musrenbang) yang diikuti oleh seluruh warga desa, tokoh masyarakat dan perwakilan kelompok masyarakat seperti kelompok perempuan, petani/nelayan, pemuda dan kelompok lainnya yang ada dalam masyarakat desa. Dalam forum musrenbang inilah pengambilan keputusan untuk perencanaan pembangunan desa dilakukan secara demokratis baik melalui mufakat maupun dengan suara terbanyak. Dokumen RPJMDesa ini kemudian dimusyawarahkan kembali guna penentuan program kerja prioritas pembangunan desa tahunan (jangka pendek selama satu tahun) yang dituangkan dalam dokumen RKPDesa (Rencana Kerja Pemerintahan Desa). Dalam dokumen inilah program pembangunan fisik dan non fisik desa tertuang sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan prioritas desa dan masyarakatnya demi peningkatan kuantitas dan kualitas sumberdaya tak terkecuali kualitas aparat pemerintahan desa. Program perencanaan pekerjaan dalam RKPDesa inilah yang kemudian dilakukan penganggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) sesuai dengan nominal anggaran dana desa untuk tahun berjalan. Keterbukan akses dan informasi warga desa terhadap penyusunan anggaran APBDesa menjadi sebuah keharusan sehingga proses pengawasan warga desa terhadap penggunaan anggaran dana desa tetap berada dalam kendali sehingga dapat meminimalisir penyelewengan dan penyimpangan anggaran yang bisa saja terjadi dan dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Dalam proses pelaksanaan pekerjaan fisik di desa seperti misalnya pekerjaan jalan maupun pekerjaan pembangunan asset/gedung, sangat ditekankan kepada pemerintah desa dan terkhusus kepada pelaksana kegiatan agar pekerjaan tersebut dilakukan oleh warga desa setempat secara swadaya dan tidak diserahkan kepada

76



pihak lain baik perorangan maupun perusahaan atau kontraktor (tidak dipihakketigakan). Oleh karena itu, setiap pekerjaan pembangunan di desa yang menggunakan anggaran dana desa diupayakan sebisa mungkin tidak melalui proses pelelangan. Hal ini bertujuan agar penggunaan anggaran pelaksanaan kegiatan dapat dimanfaatkan dan dinikmati sendiri oleh warga desa setempat dan menjadi lapangan kerja produktif demi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan warga desa. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui penggunaan anggaran dana desa dapat juga dilakukan melalui program pelatihan yang menjadi kebutuhan bagi peningkatan kesejahteraan hidup warga desa. Program inovatif dari penerapan teknologi tepat guna bagi pengelolaan sumberdaya alam dan peningkatan keterampilan dan pengetahuan kelompok usaha kecil dan menengah yang ada di desa juga menjadi pilihan prospektif dalam pengalokasian anggaran sehingga penggunaan dana desa menjadi tepat sasaran dan mendukung perkembangan aktivitas perekonomian desa bersangkutan. Demikian halnya dengan peningkatan kapasitas para aparatur pemerintahan desa yang juga harus menjadi perhatian dalam proses pembangunan desa agar roda pemerintahan desa dapat berjalan sesuai yang diharapkan secara efisien dan efektif.

“Pada akhirnya hara-

pan akan pembangunan komunitas (community development) melalui partisipasi aktif para warga desa sebagai subyek pembangunan akan mampu mendorong dan memberikan dukungan progresif bagi pembangunan bangsa dan Negara secara keseluruhan.” Tahapan dan proses kegiatan yang terjadi mulai dari tahap perencanaan sampai pada tahapan pelaksanaan kegiatan pembangunan dengan mengedepankan partisipasi aktif dan pengambilan keputusan secara musyawarah mufakat adalah merupakan bagian dari implementasi UU Desa yang harus terus dijaga, dikawal dan diawasi secara bersama-sama agar keberadaan payung hukum bagi desa tersebut dapat berjalan secara fungsional demi pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakat. Pada akhirnya harapan akan


77

pembangunan komunitas (community development) melalui partisipasi aktif para warga desa sebagai subyek pembangunan akan mampu mendorong dan memberikan dukungan progresif bagi pembangunan bangsa dan negara secara keseluruhan. BUMDesa: Ujung Tombak Perekonomian Desa Dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 terdapat pasal yang sangat strategis bagi arah peningkatan pembangunan desa menjadi desa mandiri secara ekonomi jika mampu terimplementasi secara sempurna yakni terdapat pada Bab X yang membahas tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) yang kemudian dibahas lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa (Permendesa Nomor 4 tahun 2015). BUMDesa pendiriannya melalui penerbitan Peraturan Desa tentang pendirian BUMDesa yang merupakan hasil kesepakatan warga desa melalui musyawarah desa. Keberadaan BUMDesa sebagai upaya menampung seluruh kegiatan di bidang ekonomi dan atau pelayanan umum yang dikelola oleh desa dan atau kerjasama antar-desa seperti termaktub secara gambling dalam Permendesa No. 4 tahun 2015 Bab II tentang Pendirian BUMDesa. Inisiatif pendirian BUMDesa harus berdasar pada beberapa faktor strategis seperti potensi usaha ekonomi lokal desa, ketersediaan sumberdaya alam desa dan kualitas sumberdaya manusia setempat khususnya dalam hal kemampuan dalam pengelolaan kelembagaan BUMDesa. BUMDesa menjadi lembaga otonomi tersendiri yang pengelolaannya terpisah dari aktivitas birokrasi dan pemerintahan desa yang dalam penyertaan modal awalnya berasal dari anggaran pembangunan desa yang termuat dalam APBDesa dan modal pihak ketiga/masyarakat desa setempat. Sebagai lembaga ekonomi desa, BUMDesa dapat mendirikan unit-unit usaha ekonomi baik berupa perseroan terbatas maupun lembaga keuangan mikro melalui kerjasama dan perjanjian permodalan yang sebagian besar modalnya adalah milik BUMDesa. Dalam aktivitasnya, para pengelola BUMDesa adalah merupakan hasil kesepakatan warga masyarakat desa dalam musyawarah desa untuk memilih dan menentukan para anggota pengelola. Pengendalian dan pengawasan aktivitas kegiatan BUMDesa diatur tersendiri dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang disusun bersama oleh tim penyusun yang dibentuk melalui peraturan desa. Beberapa klasifikasi jenis

usaha dan kegiatan BUMDesa berdasarkan Permendesa Nomor 4 tahun 2015 yakni berupa bisnis sosial (social business) yang memberikan pelayanan umum kepada masyarakat dengan memperoleh keuntungan finasial, bisnis penyewaan (renting), usaha perantara (brokering), bisnis produksi dan atau berdagang (trading) untuk kebutuhan masyarakat atau skala pasar yang lebih luas, bisnis keuangan (financial business) untuk memenuhi usaha skala mikro pelaku usaha ekonomi di desa, dan menjalankan usaha bersama (holding) sebagai induk dari unit usaha yang dikembangkan oleh masyarakat desa.

“Sebagai lembaga

ekonomi dalam wilayah desa maupun dalam wilayah kawasan pedesaan, BUMDesa diarahkan pada kepentingan peningkatan aktivitas dan kontinyuitas para pelaku usaha ekonomi lokal desa demi peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat desa dan juga sebagai upaya peningkatan anggaran dana desa sebagai pemasukan Pendapatan Asli Desa (PAD).” Sebagai lembaga ekonomi dalam wilayah desa maupun dalam wilayah kawasan pedesaan, BUMDesa diarahkan pada kepentingan peningkatan aktivitas dan kontinyuitas para pelaku usaha ekonomi lokal desa demi peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat desa dan juga sebagai upaya peningkatan anggaran dana desa sebagai pemasukan Pendapatan Asli Desa (PAD). Pada akhirnya, kehadiran BUMDesa diarahkan pada pembangunan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian lokal desa melalui pemberdayaan potensi-potensi sumberdaya yang menjadi asset dan kekayaan lokal desa baik berupa sumberdaya manusia maupun kekayaan sumberdaya alam yang berlandaskan pada konsep-konsep pemberdayaan, inovasi teknologi tepat guna, dan keberlanjutan pembangunan desa (sustainable development). Dalam proses perjalanannya sampai hari ini, beberapa lembaga BUMDesa yang mampu memainkan peran dan fungsinya secara maksimal diantaranya adalah BUMDesa Minggirsari di Blitar yang beberapa kali terpilih sebagai BUMDe-


79

sa terbaik nasional, itu karena mereka berhasil mengelola usaha simpan-pinjam maupun pengembangan usaha tani yang kini sudah ber-omset ratusan juta per bulan. Di Desa Pagedangan Banten BUMDesanya mengelola sentra kuliner dan tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) yang bisa menampung sampah dari 1.000 rumah tangga. Di Sulawesi Selatan, salah satu BUMDesa dengan pengelolaan yang baik terdapat di Desa Labbo Kecamatan Tompobulu Kabupaten Bantaeng dimana BUMDesa di Desa Labbo mengelola jasa air bersih untuk warga desa dengan menggunakan sistem perpipaan dan telah mampu melayani sebanyak 300 kepala keluarga dan pengguna dikenakan biaya bulanan sesuai dengan jumlah pemakaian melalui meteran yang terpasang di rumah pelanggan. Setiap kubik warga hanya membayar 250 rupiah dengan biaya administrasi bulanan 500 rupiah. Di tahun 2011 selama periode bulan Januari-Juli sudah berhasil memperoleh laba tujuh juta rupiah. Ada juga BUMDesa Pattondonsalu, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang yang bergerak di bidang kredit mikro (simpan pinjam dan kredit panen). Eksistensi BUMDesa yang dimandatkan oleh Undang-undang Desa menjadi badan usaha yang mampu menampung seluruh kegiatan bidang ekonomi dan atau pelayanan umum yang dikelola oleh desa dan atau kerjasama antar desa dapat tetap dipertahankan keberlanjutannya berlandaskan pada beberapa point penting dan strategis: • BUMDesa merupakan salah satu bentuk usaha ekonomi desa yang bersifat kolektif antara pemerintah desa dan masyarakat desa melalui unsur bisnis sosial dan bisnis ekonomi yang membutuhkan modal sosial (kerjasama, solidaritas, kepercayaan dan lainnya) untuk pengembangan usaha yang lebih luas dan lebih inklusif. • BUMDesa berkembang dalam politik inklusif melalui proses musyawarah desa sebagai forum tertinggi dalam pengambilan keputusan pengembangan usaha ekonomi desa. • BUMDesa melakukan transformasi terhadap program yang diinisiasi oleh pemerintah menjadi milik desa dan merupakan arena pembelajaran bagi warga desa dalam proses peningkatan kapasitas manajerial, kewirausahaan, tata kelola yang baik, kepemimpinan, kepercayaan dan kebersamaan (kolektif ). Desa : Self Governing Community Tanggal 12 desember 2015, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menggelar kegiatan rembug nasional. Kegiatan yang di-

80



hadiri oleh kelompok masyarakat sipil, organisasi profesi, kelompok akademisi, Pemerintah Daerah, Pemerintah desa dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia berkonsensus secara bersama-sama untuk mengawal implementasi UU Desa dengan paradigma Desa Membangun Indonesia. Ada sembilan konsensus yang dijadikan sebagai landasan strategis Desa membangun Indonesia, yaitu: 1. Pembaruan agraria dan penataan ruang yang berkeadilan harus menjadi landasan kebijakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa; 2. Bahwa Pembangunan dan Pemberdayaan masyarakat desa harus berbasis pada keadilan sosial ekologis untuk menjamin keselamatan masyarakat dan keberlanjutan kawasan pedesaan; 3. Bahwa transformasi perekonomian Desa harus diwujudkan melalui Lumbung Ekonomi Desa. Yaitu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam produksi, distribusi, dan melindungi sumber daya ekonomi Desa; 4. Partisipasi masyarakat yang berkualitas dan peningkatan kualitas demokrasi desa harus dijaga guna melahirkan kepemimpinan muda desa; 5. Bahwa dalam rangka mewujudkan desa inklusi, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa harus memastikan keterlibatan dan memberikan manfaat kepada masyarakat miskin, kaum disabilitas dan kelompok marginal; 6. Pemerintah dan pemerintah daerah harus melaksanakan secara konsisten UU Desa melalui pengakuan, pemajuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat, untuk ditingkatkan menjadi desa adat; 7. Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa harus menjamin akses perempuan desa terhadap sumber daya; 8. Pelayanan publik diselenggarakan dalam rangka pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Desa; 9. Memajukan desa dan masyarakat desa, pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan dan pemenuhan sistem informasi desa berbasis teknologi informasi secara merata dan berkeadilan. Sembilan landasan strategis tersebut sebagai bagian dari implementasi Undang-undang desa secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan proses pengawalannya dilakukan melalui fasilitasi, supervisi dan pendampingan baik yang dilakukan oleh institusi pemerintah, perguruan tinggi, perusahaan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Kegiatan pendampingan secara utuh mulai dari pengembangan kapasitas pemerintahan, mengorganisir dan membangun kesada-


81

ran kritis warga masyarakat, memperkuat organisasi-organisasi warga, memfasilitasi pembangunan partisipatif, memfasilitasi dan memperkuat musyawarah desa sebagai arena demokrasi dan akuntabilitas lokal, merajut jejaring dan kerjasama desa, inovasi teknologi tepat guna hingga mengisi ruang-ruang kosong di antara pemerintah dan masyarakat. Yang pada akhirnya bermuara pada memberdayakan desa sebagai self governing community yang maju, kuat, mandiri dan demokratis. Dalam hal ini, self governing community termaknai sebagai komunitas lokal yang membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan pranata lokal, bersifat swadaya dan otonom, tidak dibentuk oleh kekuatan eksternal dan tidak terikat secara struktural dengan organisasi eksternal. Dalam perjalanannya kemudian, implementasi Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa menemui beberapa hambatan dan tantangan baik yang bersifat internal maupun eksternal, diantaranya seperti kendala keterlambatan penyaluran anggaran dan daya serapan dana desa, resiko penyimpangan dan penyalahgunaan dana desa, sinkronisasi peraturan pemerintah dan kebijakan pendukung antara pusat dan daerah, persoalan kejelasan pembagian asset antara pemerintah daerah dan pemerintah desa, kematangan perencanaan pembangunan desa serta kesiapan kualitas sumberdaya manusia. Poin-poin inilah diantaranya yang harus menjadi perhatian serius semua pihak terkait dan diharapkan mendapatkan solusi strategis sehingga konsep dan program pemerintah dalam membangun Indonesia dari pinggiran (NAWACITA sebagai agenda prioritas point ketiga pemerintahan Jokowi-JK) dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan bersama. *) Penulis adalah Pendamping Desa pada Program Pembangunan Pengembangan Masyarakat Desa (P3MD) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

82



Sisi Gelap Etnisitas Helmi Ayuradi Miharja

Wacana etnisitas di Indonesia setelah kemerdekaan mengalami proses rekonstruksi seiring dengan semakin kuatnya negara terhadap masyarakat (Sjaf, 2014). Keberagaman etnik di Indonesia, isu dinamika etnisitas merupakan hal yang menarik diperbincangkan oleh para sarjana, birokrat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat pada umumya, baik dari sisi positif maupun sisi negatif. Dari sisi positifnya dapat dilihat dari keberagaman merupakan modal penting yang dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan bersama jika semua potensi dapat dipersatukan. Keberagaman suku bangsa/etnik memiliki pola kelebihan dan kekurangannya yang berbeda satu sama lain. Keberagaman entisitas yang terdapat di Indonesa, merupakan kajian menarik terutama berkaitan dengan isu kebangsaan dan budaya bangsa.Akan tetapi keragaman suku bangsa itu juga bisa menjadi potensi yang mengarah pada hal yang bersifat negatif, terutama menjadi sumber terjadinya berbagai konflik. Pemicu konflik antar etnik tercipta karena perasaan chauvinism atau sukuisme yang berlebihan sehingga terdapat superior dan inferior etnisitas terhadap kelompok etnik tertentu. Kelompok etnik saling merendahkan dengan berbagai kekurangannya, keadaan seperti ini disebut juga fenomena etnosentrisme. Kajian pembangunan daerah saat ini berkaitan dengan adanya etnisitas.Sebagai

83

contoh adalah pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) Provinsi Papua (2014) merupakan pembangunan wilayah untuk daerah tertinggal dengan menggunakan pola distribusi pembangunan wilayah adat. Sekitar 500 lebih suku di Papua menjadi modal utama dalam arus utama pembangunan Indonesia di wilayah timur.Pembangunan berbasis etnik (ethno development) sangat penting dalam berbagai sektor, agar kebhinekaan tetap terjaga dengan utuh, seperti sektor ekomi, politik, sosial-budaya. Pada sektor ekonomi (ekonomi etnik) seperti yang kemukakan Ida (2014) bahwa pembangunan ekonomi bangsa yang beridentitas dan berkeadilan sebenarnya tak bisa dilepaskan dengan eksistensi ekonomi berbasis etnik, apalagi di negara yang memiliki suku dan subkultur beragam seperti Indonesia. Namun di sisi lain terjadinya dominasi etnisitas seperti dalam temuan Sjaf (2012) bahwa adanya dominasi etnisitas dalam struktur ekonomi tercermin melalui struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut pengeluaran dan lapangan usaha dengan menekankan pada : a) relasi dominasi peguasaan lahan dan kepala keluarga berbasis etnik; b) dominasi buruh tani dari etnisitas tertentu sebagai cermin lapangan kerja di sektor pertanian; dan c) dominasi pelaku usaha berdasarkan etnisitas atas sektror (lapangan usaha).

“Indonesia dengan

masyarakat multi etnik juga membutuhkan sistem politik yang pro terhadap etnisitas sepetri yang termaktub dalam sila kelima yaitu keadalin sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Indonesia dengan masyarakat multi etnik juga membutuhkan sistem politik yang pro terhadap etnisitas sepetri yang termaktub dalam sila kelima yaitu keadalin sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Merujuk dari kajian tentang etnisitas sebelumnya, Sjaf (2014) menjelaskan bahwa sistem politik yang tepat diaplikasikan di Indonesia adalah sistem politik yang memberikan ruang kepada seluruh komponen anak bangsa yang memiliki ragam perbedaan latar belakang (etnik, agama, dan ras) untuk berkontribusi bagi perbaikan dan kejuan bangsa di negeri ini yaitu sistem politik demokrasi yang berasaskan pancasila bukan demokrasi liberal, karena demokrasi liberal bukan konteks yang tepat dalam masyarakat Indonesia yang plural dan multikultur.

84



Konsep demokrasi liberal tidak selamanya berlangsung sebagaimana gagasan idealnya. Mann (2005) dalam penelitiannya bahwa tipe dan system kolonial Eropa membentuk pola pemusnahan etnik seperti pembunuhan dalam bentuk penghapusan etnik. Meski ada pembunuhan secara khusus, namun polanya adalah penghapusan pribumi yangakan digantikan oleh pendatang. Sebagai contoh, tergusurnya suku asli penghuni Benua Australia, suku Aborigin yang terancam kondisinya karena masuknya kulit putih pada awal abad ke 14. Lebih lanjut Mann (2005) mengemukakan bahwa inilah sisi gelap demokrasi (The Dark Side of Democracy)5 . Sehingga yang terjadi adalah kelompok etnik yang beraneka ragam tidak dapat hidup dengan nyaman dan bebas. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Samuel Hutington (2007) bahwa dalam dunia baru ini, politik lokal adalah etnisitas dan politik global adalah peradaban. Tidak bisa dipungkiri, hal ini juga terjadi dalam pola penguasaan sumberdaya berbasis kelompok etnik. Seperti yang telah dijelaskan dalam penelitian Li (2012) di salah satu desa di Napu, kelompok etnik pendatang (Bugis) justru lebih banyak daripada kelompok etnik pribumi, jumlah penduduk etnik Bugis sekitar 63 persen dari jumlah penduduk tahun 2001.kedatangan orang-orang Bugis dirangsang olehadanya lahan datar dekat jalan baru, yang hendak dijual olehkepala desa. Namun terjadinya ekspansi kelompok etnik Bugis untuk menguasai sumberdaya agraria mengakibatkan kelompok etnik pribumi perlahan-lahan mulai tersingkir dan menjadi kelompok minoritas di tempat dimana dia berasal. Salah satu praktik penguasaan sumebrdaya agraria yang dijelaskan Li (2012) bahwa dengan terpilihnya anak lelaki Kepala Desa lama menjadi Kepala Desa pada tahun 2002 tidak terlepas dari dukungan suara etnik bugis, dukungan suara etnik Bugis yang ingin memastikan agar transaksi tanah dengan kepala desa lama tidak dimentahkan, sekitar setengah dari rumahtangga penduduk lama hampirtidak bertanah atau tidak memiliki tanah sama sekali mereka hidup dari upah memburuh pada petani Bugis dan mencari rotan di kawasan taman. Konflik lahan juga terjadi Poso seperti yang dijelaskan Pamuji, et.al (2008) bahwa peralihan lahan antara etnik asli dengan etnik pendatang erat kaitannya dengan konflik Poso yang disebabkan oleh kesenjangan ekonomi, teknologi dan pengetahuan di bidang pertanian, seperti yang terjadi pada komoditas kakao yang pada umumnya diperkenalkan oleh etnik Bugis dengan penanaman kakao dalam 5. Lihat Mann, Michael, The Dark Side of Democracy – Explaining Ethnic Cleansing, Cambridge: Cambridge University Press, 2005.


85

skala besar, memberikan dampak nyata terhadap meluasnya kesenjangan antar etnik di Poso. Di samping itu, tidak teraturnya dalam pengelolaan lahan ketika etnik asli mulai beralih ke jenis tanaman kakao seiring dengan meningkatnya kebutuhan etnik asli akan upacara daur hidup seperti perkawinan dan ekonomi di suatu sisi menyebabkan penjualaan lahan ke etnik pendatang marak terjadi. Penguasaan lahan pun terjadi oleh etnik pendatang dengan kemampuan modal yang dimilikinya. Lebih lanjut Pamuji, et.al (2008) menjelaskan bahwa persoalan tenurial adalah salah satu masalah krusial yang terjadi di desa-desa di Poso, seringkali berpusar pada soal ketimpangan, kesenjangan, maupun perebutan akses terkait dengan sumberdaya tertentu di desa. Namun disisi lain, perlu adanya pelestarian sumberdaya agraria agar konflik antar kelompok etnik tidak berkepanjangan. Studi kasus konflik etnisitas yang terjadi di Poso merupakan salah satu contoh konflik lahan berdasarkan kontestasi antar aktor yang sudah mengikatkan diri dalam kelompok etnisitas. Permasalahan konflik perbutan dan klaim lahan merupakan konflik agraria.Kajian agrarian mengkaji mengenai subyek dan obyek agrarian.Secara umum subyek agraria adalah subyek (berupa individu atau badan hukum) yang mempunyai kemampuan untuk mengakses dan mengkontrol lahan miliknya. Sedangkan obyek agrarian secara umum adalah lahan. Permasalahan agrarian merupakan permasalahan menara gading yang tak kunjung selesai. Utopia penyelesaian agraria menjadikan momok diskusi para ahli. Inti dari permasalahan agraria adalah siapa yang menguasai? Bagaimana pola penguasaan terhadap sumberdaya agraria? hak pemanfaatan dan pengelolaan terdistribusi secara adil? Isu permasalahan agrarian menjadi pertentangan antar etnik merupakan kajian yang menarik dengan melihat dari berbagai studi kasus di lapangan, bahwa konflik agraria secara komunal dipicu oleh konflik klaim suku dan etnik terhadap obyek agraria. Untuk melestarikan sumberdaya agraria pada masyarakat multi etnik dibutuhkan kerjasama antar kelompok etnik seperti yang dijelaskan Soetarto (2003) bahwa salah satu faktor penyebab implementasi tataguna lahan yang lestari terhambat pada masyarakat multi etnik dikarenakan tidak adanya penyatuan suatu inti kebudayaan yang berbeda. Namun demikian, tingkat pemisahan kebudayaan masing-masing didasarkan pada ketergantungan satu kelompok etnik pada etnik lainnya. Metode penanaman yang diterapkan pada persawahan misalnya, memaksa kedua kelompok untuk bekerja sama, dan dengan demikian memberikan kesempatan untuk menggabungkan dua inti kebudayaan yang berbeda menjadi

86



satu inti kolektif yang stabil. Hal ini kemudian memberikan potensi dengan corak yang khas dalam mengelola sumberdaya agraria pada masyarakat multi etnik. Poso merupakan daerah rawan intensitas konflik paling sering di Indonesia. Secara sosiologis, di Poso terdapat pluralisme etnisitas yang di dalamnya terdapat pengkutuban etnik, sehingga tercipta etnik dominan dan etnik resesif. Seiring dengan menguatnya paham desentralisasi, frekuensi konflik di Poso semakin kuat. Hal ini sebetulnya tidak berhubungan langsung dengan paham desentralisasi, akan tetapi paham desentralisasi menjadi salah satu akses terjadinya konflik di Poso. Desentralisasi merupakan pemahaman arti bahwa terdapat kewenangan daerah (devolusi) untuk mengelola sumberdaya alam. Sehingga pendatang yang bukan merupakan etnik asli menjadi terekslusi (terusir) secara perlahan dan menimbulkan gesekan di dalam kehidupan etnisitas tersebut. Salah satu pemicu gesekan antar etnik di Poso dikarenakan oleh dorongan ekonomi penguasaan sumberdaya. Berdasarkan penelitian yang saya lakukan tahun 2014, etnik yang dominan di Poso adalah Jawa, Bugis dan Poso itu sendiri. Ketiga etnik dominan di Poso mempunyai akses terhadap sumberdaya melalaui jejaring kuasa dan wewenang. Hal ini menjadikan benih benih kontestasi antara etnik pendatang dengan etnik asli. Terdapat dua ruang yang mempengaruhi terjadinya kontestasi perebutan sumberdaya terutama lahan di Poso. Pertama, adalah tataran atas yang merupakan ruang kebijakan, seiring dengan menguatnya civilization yang didengungkan melalui asas desentralisasi pada akhir tahun 1990-an menjadikan penguatan etnik dan kuasa lokal di setiap daerah di Indonesia. Kedua, adalah tataran lapangan yang merupakan praktek-praktek penguatan hak terhadap masyarakat lokal sebagai imbas gelombang desentralisasi menjadikan hak hak lokal yang sebelumnya meluruh dan tercerabut dikuatkan kembali melalui desentralisasi ala lokalitas. Etnisitas Secara etimologi etnisitas berasal dari kata Yunani yaitu ethnos yang berarti sebuah bangsa didefinisikan berdasarkan kesamaan sejarah, kesamaan tradisi dan kesamaan bahasa (Thomas dan Wareing, 2007). Etnisitas adalah konsep kultural yang terpusat pada kesamaan norma, nilai,kepercayaan, simbol dan praktik kultural. Terbentuknya suku bangsa bersandar padapenanda kultural yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang dalam kontekshistoris, sosial dan politis tertentu yang mendorong rasa memiliki yang sekurang-kurangnya didasarkan ada nenek moyang mitologis yang sama.


87

Etnisitas adalah konsep relasional yang berhubungan dengan kategori identifikasi diri dan askripsi sosial. Sedangkan konsepsi kulturalis adalah suatu usaha gagah beraniuntuk menghindari implikasi rasis yang melekat pada konsep ras yang terbentuk secara historis. Eriksen (1993) misalnya hanya mengatakan bahwa bahwa relasi-relasi antaretnik dapat berada dalam situasi keterbukaan atau ketertutupan, dominasi atau kesetaraan; bisa saja terdapat korelasi antara relasi inter-etnik dengan persoalan pembagian kerja. Koentjoroningrat(1993)mengatakan bahwa identitas itu sifatnya situasional dan bisa berubah. Sifat penanda identitas yang stuasional dan selalu dapat berubah ini tampak jelas dengan dimasukannya perbedaan agama ke dalam konstruksi identitas.

“Suku bangsa merupa-

kan ciri-ciri yang umum dan mendasar berkenaan dengan asal muasal manusia, yang digunakan sebagai identitas atau jati diri pribadi dan kelompoknya, yang tidak dapat dengan seenaknya dibuang atau ditiadakan.” Pengertian sukubangsa yang dikembangkan oleh Barth (1969) yang dilihat sebagai sebuah golongan sosial yang khusus. Kekhususan suku bangsa sebagai sebuah golongan sosial ditandai oleh ciri-cirinya, yaitu: diperoleh secara askriptif atau didapat begitu saja bersama dengan kelahirannya atau asalnya, dan yang muncul dalam interaksi berdasarkan atas pengakuan oleh warga suku bangsa yang bersangkutan dan oleh suku bangsa lainnya. Suku bangsa merupakan ciri-ciri yang umum dan mendasar berkenaan dengan asal muasal manusia, yang digunakan sebagai identitas atau jati diri pribadi dan kelompoknya, yang tidak dapat dengan seenaknya dibuang atau ditiadakan. Ciri-ciri itu hanya dapat disimpan atau tidak digunakan sebagai acuan bagi jatidiri dalam interaksi yang berlaku, karena ciri-ciri tersebut melekat seumur hidup bersama dengan keberadaannya sejak kelahirannya. Tiap bangsa memiliki budaya dan masyarakat pendukung tersendiri. Setiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai satu komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain,

88



bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat oleh orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan. Seorang warga dari suatu kebudayaan yang telah hidup dari hari ke hari di dalam lingkungan kebudayaannya biasanya tidak melihat lagi corak khas itu. Sebaliknya, terhadap kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama mengenai unsur-unsur yang berbeda mencolok dengan kebudayaan miliknya sendiri. Identitas Etnik dan Relasi Etnik Identitas seseorang sangat sangat mempengaruhi persepsi diri individu. Individu menjadikan identitas etnik sebagai sandaran dalam evaluasi diri. Kekuatan dan kelemahan diri umumnya ditentukan oleh status seseoang dalam kelompok acuannya, dan bagaimana menilai orang lain yang diluar kelompoknya. Ketika simbol–simbol keetnikan membentuk perasaan yang sangat kuat dalam diri individu, maka preferensinya kepada kelompok etniknya menjadi sangat kuat. Hubungan individu-individu yang bersangkutan dengan individu lain di luar kelompok etniknya menjadi terganggu karena umumnya inividu yang bersangkutan menolak penilaian dari individu etnik lain. Selanjutnya bersama-sama dengan individu lain dari suatu kelompok, mereka membuat kriteria yang dapat digunakan untuk melawan dan menolak penapat kelompok luar yang dominan Tajfel, (1981); Yagcioglu, (2004) dalam (Zakso dkk 2004). Relasi antar individu dengan individu lainnya senantiasa dimaknai sebagai tindakan individu yang memiliki interest mengakumulasi kesejahteraan (Mansyuri dan Hidayat dalam Sjaf 2012). Sjaf (2012) mengungkapkan hal yang berbeda dari fakta yang dikemukakan sebelumnya. Fenomena politik etnik di era desentralisasi melalui pilihan sistem demokrasi liberal (bukan demokrasi pancasila) menunjukkan tindakan aktor atau individu tidak berorientasi ekonomi. Melainkan tindakan aktor atau individu senantiasa embedded dengan struktur obyektifnya sebagai sesuatu yang ada dan nyata. Kelompok Etnik Menurut Barth (1969) kelompok etnik tidak selalu merupakan suatu tribe yang sederhana dengan budaya yang tersusun rapi serta wilayah teritorial yang definitif serta mudah dibedakan batas-batasnya satu sama lain. Batas kelompok etnik yang paling penting menurut Barth adalah batas-batas sosial, bukan teritorial. Kelompok etnik lebih didasarkan kepada pernyataan dan pengakuan yang berkesinambungan mengenai identifikasi dirinya.


89

Menurut Narroll (1964) dalam (Barth. 1988), kelompok etnik atau suku bangsa didefinisikan sebagai populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Dalam konteks menganalisis kelompok etnik ini adalah pentingnya asumsi bahwa mempertahankan batas etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi dengan sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial,dan bahasa. Asumsi ini juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya.Ini mengakibatkan seorang ahli antropologi berkesimpulan bahwa setiap kelompok etnik mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Ini terbentuk karena faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam kelompok tersebut. Kondisi seperti ini telah menghasilkan suku bangsa dan bangsa yang berbeda-beda di dunia. Ada dua konsep yang banyak digunakan dalam pembahasan tentang kelompok etnik yaitu etnik mayoritas dan etnik minoritas.Istilah mayoritas merujuk pada kelompok-kelompoketnik yang memegang kekuasaan sosial dan politik didalam sebuah negara dan istilah minoritas merujuk pada kelompok etnik yang kekuasaan sosial dan politiknya kecil atau tidak ada sama sekali (Thomas dan Wareing, 2007). Sedangkan menurut Aripin (2013) ada 3 definisi kelompok etnik, diantaranya: Pertama, suatu kelompok sosial yang mempunyai tradisi kebudayaan dan sejarah yang sama, dan karena kesamaan itulah mereka memiliki suatu identitas sebagai suatu subkelompok dalam suatu masyarakat yang luas. Kedua, suatu kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda, namun diantara para anggotanya merasa memiliki semacam subkultur yang sama. Ketiga, etnik merupakan suatu kelompok yang memiliki domain tertentu, yang kita sebut dengan ethnic domain. Pola Penguasaan Sumberdaya Agraria Secara etimologi, kata “agraria” berasal dari bahasa Latin ager yang berarti sebidang tanah, dalam bahasa Inggris acre. Dalam bahasa Latin agrarius berarti

90



yang ada hubungannya dengan tanah6.Menurut Sitorus dalam (Sihaloho, et, al. 2010) bahwa lingkup agraria terdiri dari lingkup obyek agraria dan lingkup subyek agraria. Beberapa sumber agraria dengan merujuk pada pasal 1 (ayat 2, 4, 5, 6) Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 perihal jenis-jenis sumber agraria adalah sebagai berikut7: • Tanah atau permukaan bumi. Jenis sumber agraria ini adalah modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan.Petani memerlukan tanah untuk lahan usaha tani. Sementara peternak memerlukan tanah untuk padang rumput. • Perairan. Jenis sumber agraria ini adalah modal alami utama dalam kegiatan perikanan; baik perikanan sungai maupun perikanan danau dan laut. Pada dasarnya perairan merupakan arena penangkapan ikan bagi komunitas nelayan.Hutan. Inti pengertian hutan disini adalah kesatuan flora dan fauna yang hidup dalam suatu wilayah di luar kategori tanah pertanian. Jenis sumber agraria ini secara historis adalah modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas-komunitas perhutanan. • Bahan tambang. Jenis sumber agraria ini meliputi ragam bahan tambang/ mineral yang terkandung di dalam tubuh bumi seperti minyak, gas, emas, bijih besi, timah, intan, batu-batu mulia, fosfat, pasir, batu, dan lain-lain. • Udara. Jenis sumber agraria ini tidak saja merujuk pada “ruang diatas bumi dan air” tetapi juga materi “udara” (CO2) itu sendiri. Arti penting materi udara sebagai sumber agraria baru semakin terasa belakangan ini, setelah polusi asap mesin atau kebakaran hutan mengganggu kenyamanan, keamanan, dan kesehatan manusia. Lebih lanjut Silhaloho, et.al (2010) memahami struktur agraria dengan aspek kehidupan masyarakat pedesaan maka konsep struktur agraria tidak lepas dari pola penguasaan sumber agraria (tanah) pola nafkah agraria, pola hubungan produksi agraria, distribusi asset agraria dan pola formasi asset/kapital. Pola penguasaan lahan menggambarkan struktur akses subyek agraria terhadap sumberdaya agraria. Pola penguasaan ini juga berhubungan dengan bagaimana subyek-subyek agraria dalam memanfaatkan suberdaya agraria yang ada. Istilah pembaruan agraria (agrarian reform) dalam arti restrukturisasi penguasaan 6. Lihat Sediono. M. P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari masa ke masa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, PT. Gramedia, 1984), hal.312. 7. ....


91

dan pemanfaatan sumber daya agraria sudah dikenal cukup lama, meski dalam bentuk dan sifat yang berbeda-beda, tergantung pada zaman dan negara tempat terjadinya pembaruan agraria tersebut8.

“Paling tidak inti dari pembaruan agrar-

ia adalah pemerataan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.” Hal ini mengingat setiap negara mempunyai struktur agraria dan sistem politik yang berbeda-beda, meskipun ada beberapa persamaan yang mendasar dalam pembaruan agraria itu. Paling tidak inti dari pembaruan agraria adalah pemerataan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Menurut Budimanta (2007) Pada saat perbedaan penguasaan atas sumber daya yang terwujud pada bidangbidang kegiatan ekonomi dan politik tersebut menunjukkan adanya saling ketergantungan atau saling menghidupi diantara pelaku ataupun kelompok-kelompok pelaku, maka hubungan antar kelompok/ pelaku akan tercipta. Selain itu hubungan antar kelompok menjadi mantap dan bahkan berkembang, sehingga potensi-potensi konflik antar kelompok yang terjadi dapat diredam. Sepeti yang dijelaskan Sihaloho et.al (2009) bahwa masih banyaknya petani miskin karena penguasaan lahannya sempit dan/atau karena tidak mampu menguasakan lahan secara produktif harus menjadikan program reforma agraria dan program revitalisasi perkebunan berada dalam sebuah rangkaian atau kerangka yang tidak dipisahkan. Bentuk Penguasaan Sumberdaya Agraria Secara umum tata kelola sumberdaya alam yang dilakukan oleh suatu komunitas adat mengenal adanya beragam status penguasaan dan pemanfaatannya. Bentuk dan status penguasaan sumberdaya alam dapat dibedakan atas empat kelompok: 1) milik umum (open access), 2) milik negara (state), 3) milik pribadi atau perorangan (private) dan 4) milik bersama (communal)9.

8. Gunawan Wiradi, Reforma Agraria: Perjalanan yang belum berakhir, Insist Pers, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000: hlm. 63

9. Lihat Hidayat Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kelembagaan Lokal Jurnal Sejarah Citra Lekha, vol. Xv, No. 1 Februari 2011: 19-32 ejournal.undip.ac.id/index.php/cilekha/article/download/3412/3067

92



Dalam prakteknya keempat bentuk penguasaan sumberdaya tersebut, sering terdapat tumpang tindih dan bervariasi, karena bentuk penguasaannya terkait dengan sistem sosial dan budaya serta pandangan dunia di mana sumberdaya itu berada. Menurut pandangan dunia beberapa etnik di Indonesia, tidak selamanya sumberdaya milik umum tidak ada pemiliknya, sumberdaya jenis ini dikuasai oleh suatu komunitas adat atau kelompok etnik. Menurut perspektif hukum positif, sumberdaya milik umum tidak dimiliki oleh siapapun, termasuk oleh komunitas adat. Sumberdaya milik umum seperti sungai, pantai, hutan dan pengembalaan ternak, setiap orang dapat memperoleh manfaat. Mengingat setiap orang dapat memperoleh akses yang sama, maka sumberdaya milik umum dieksploitasi dengan cara berlebihan10 . Pemanfaatan sumberdaya milik umum secara ekspolitatif bermuara pada terjadinya tragedy of common. Etnisitas dalam Penguasaan Sumberdaya Agraria Seperti yang dijelaskan Sjaf (2014) bahwa dominasi etnisitas dalam struktur ekonomi tercermin melalui struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut pengeluaran dan lapangan usaha dengan menekankan pada : a) relasi dominasi peguasaan lahan dan kepala keluarga berbasis etnik; b) dominasi buruh tani dari etnisitas tertentu sebagai cermin lapangan kerja di sektor pertanian; dan c) dominasi pelaku usaha berdasarkan etnisitas atas sekttor (lapangan usaha). Dominasi adalah suatu konsep yang menunjukkan adanya ciri utama dari suatu golongan yang mempunyai kekuatan yang berlebih atau besar dibandingkan dengan atau tidak terkalahkan oleh ciri utama dari sesuatu golongan lainnya yang biasanya dinamakan golongan minoritas (Budimanta, 2007). Lebih lanjut Bourdieu (1979) dalam Budimanta (2007) menjelaskan bahwa dominasi dapat terjadi karena adanya akumulasi modal yang dimiliki oleh pelaku. Pada saat perbedaan penguasaan atas sumberdaya yang terwujud pada bidangbidang kegiatan ekonomi dan politik tersebut menunjukkan adanya saling ketergantungan atau saling menghidupi daintara pelaku maupun kelompok-kelompok pelaku, maka hubungan antar kelompok/ pelaku dapat tercipta.Selain iru arena- arena interaksi yang menjembatani hbungan antar kelompok yang 10. Lihat Silver, Simon Cheryl & Defries S. Ruth, 1992. Satu Bumi Satu Masa Depan Perubahan Lingkungan Global Kita. Bandung: Rosdakarya. Akibat eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya milik umum dan milik bersama menjadi penyebab utama terjadi deforestasi, degradasi dan kerusakan sumberdaya alam di Indonesia.


93

mungkin terjadi dapat diredam (Budimanta, 2007).pembedaan khusus daerah pemukiman sepanjang garis etnik menyebabkan pembentukan inti kebudayaan yang kuat dengan karakter yang khas. Oleh karenanya, tidak ada suatu inti kebudayaan bersama dan akibatnya implementasi sistem tata guna tanah yang lestari terhambat. Namun demikian, tingkat pemisahan kebudayaan masing-masing didasarkan pada ketergantungan satu kelompok etnik pada yang lainnya. Metode penanaman yang diterapkan pada persawahan misalnya, memaksa kedua kelompok untuk bekerja sama, dan dengan demikian memberikan kesempatan untuk menggabungkan dua inti kebudayaan yang berbeda menjadi satu inti kolektif yang stabil (Soetarto 2003).

“Konflik agraria

berbeda dengan konflik sosial dalam hal relasi-relasi sosial terhadap ruang, meskipun tidak jarang konflik sosial merupakan manifestasi dari konflik agraria yang bersifat laten.” Mengingat bahwa ruang seisinya merupakan tempat pertemuan berbagai kepentingan, konflik agraria merupakan konsekuensi logis yangtidak terhindarkan. Konflik agraria berbeda dengan konflik sosial dalam hal relasi-relasi sosial terhadap ruang, meskipun tidak jarang konflik sosial merupakan manifestasi dari konflik agraria yang bersifat laten. Konflik sektarian inter kelompok yang murni disebabkan oleh perbedaan atauperseteruan sektarian mungkin dapat dijembatani dengan dialog, akan tetapi konflik etnik yang disebabkan oleh perebutan sumberdaya agraria sebagai ruang hidup mungkin tidak selesai dengan dialog untuk saling memahami dan menghargai etnisitas masing-masing. Dalam beberapa hal, apa yang tampak sebagai konflik yang berdimensi horizontal sesungguhnya merupakan konflik struktural ketika pihak yang terlibatberelasi dengan kekuatan modal dan/atau politik yang lebih besar (STPN 2012). Seperti yang dijelaskan Syahyuti (2001) Gejala polarisasi penguasaan tanah saat ini, khususnya untuk tanah dalam desa, mengarah kepada Suku Bugis. Proses ini terjadi melalui mekanisme pasar, bukan kekuasaan berlandaskan nilai-nilai tradisional. Perbedaan strategi usaha tani dan struktur ekonomi ru-

94



mah tangga antar suku sangat memungkinkan hal ini terjadi.Suku Kaili dan Kulawi dibebani oleh kewajiban prosesi budaya yang membutuhkan biaya yang besar untuk pesta perkawinan dan selamatan kematian. Ketimpangan struktur ekonomi rumah tangga telah mendorong terjadinya ketimpangan akses terhadap tanah, yang pada gilirannya akan lebih memperburuk kondisi ekonomi mereka di masa depan. Struktur akses terhadap sumber-sumber agraria dan keterjaminan keamanan sosial ekonomi pada gilirannya menentukan bagaimana tiap orang memperlakukan tanahnya sebagai sumber ekonomi terpenting.Mereka yang menguasai tanah lebih sempit dan keamanan sosial ekonomi kurang terjamin menyulitkan dalam menanam tanaman kakao yang masa panen awalnya perlu waktu lama (4-5 tahun). Hal ini banyak ditemukan pada Suku Kaili Taa di Sintuwu yang sampai sekarang sulit untuk mengkonversi sawahnya menjadi kebun kakao karena sawah yang dikuasainya terbatas hanya untuk memenuhi konsumsi sendiri. Apabila sebagian sawah dijadikan kebun kakao, maka mereka khawatir sawah yang tersisa tidak mencukupi untuk kebutuhan beras mereka. Pada saat bersamaan anggota kerabat yang lain juga tidak dapat lagi diandalkan untuk mendapatkan tanah yang baru, karena masing-masing juga telah banyak yang menjual tanah-tanahnya sehingga sisa tanah yang dikuasainya hanya cukup untuk kebutuhan mereka masing-masing. Lebih lanjut Li (2012) mengatakan, salah satu desa di Napu, kelompok etnik pendatang (Bugis) justru lebih banyak daripada kelompok etnik pribumi, jumlah penduduk etnik Bugis sekitar 63 persen dari jumlah penduduk tahun 2001. Kedatangan orang-orang Bugis dipengaruhi adanya lahan datar dekat jalan baru, yang hendak dijual oleh kepala desa. Namun terjadinya ekspansi kelompok etnik Bugis untuk menguasai sumberdaya agraria mengakibatkan kelompok etnik pribumi perlahan-lahan mulai tersingkir dan menjadi kelompok minoritas di tempat dimana dia berasal. Salah satu praktik penguasaan sumberdaya agararia yang dijelaskan Li (2012) bahwa dengan terpilihnya anak lelaki kepala desa lama menjadi kepala desa baru pada tahun 2002 tidak terlepas dari dukungan suara etnik bugis, dukungan suara etnik Bugis yang ingin memastikan agar transaksi tanah dengan kepala desa lama tidak dimentahkan, sekitar setengah dari rumah tangga penduduk lama hampirtidak bertanah atau tidak memiliki tanah sama sekali (dengan metode survei Tahun 2001, Li 2012), mereka hidup dari upah memburuh pada petani Bugis dan mencarirotan di kawasan taman. Seperti yang dikemukakan Rudiatin (2012) menemukan ada fenomena kegia-


95

tan-kegiatan ekonomi di Desa Aji (Kepulauan Sebatik) tidak dapat dilepaskan dari lingkungan serta iklim yang kemudian mempengaruhi kondisi sosial, etnisitas, politik lokal dan bilateral. Pilihan utama yang dipilih oleh masyarakat perbatasan bertransaksi melalui pasar tanpa lokasi. Seorang pelaku pasar untuk masuk daam suatu jaringan perdagangan, mereka akan mengidentifikasi dirinya dalam satu etnik tertentu seperti misalnya etnik Bugis, Jawa, Tidung dan Timor. Fenomena yang lain lagi bisa kemudian dilihat dari perkawinan antar etnik, banyak terjadi di kawasan perbatasan dan di desa Aji Kuning. Seperti yang telah di gambarkan Eriksen (1993) dengan istilah etnisitas yang bergerak keluar dari batas-batasnya, sehingga identitas etnik sebagai identitas budaya tidak lagi dianggap identitas etnik sebagaimana identitas etnik yang melekat sebelumnya. Hal inilah yang mendasari Geertz (2000:245) dalam pernyataanya bahwa kita membutuhkan suatu varitas politik baru mengisyaratkan adanya cara pandang baru dalam memperlakukan etnik. Sebagai negeri yang sarat dengan beban kultural, Indonesia sesungguhnya sangat berhasil menata dirinya sendiri untuk masing-masing etnik menjadi bagian dari kesatuan yang lebih luas. DAFTAR PUSTAKA Aripin N. 2013. Relasi Etnik Menjelang Pemilukada Sulawesi Selatan 2013 di Kota Makassar [Skripsi]. Makasar (ID): Universitas Hassanudin. Barth F.1969. Ethnic Groups and Boundaries. Boston (UK): Little Brown. Budimanta A. 2007. Kekuasaan dan Penguaaan Sumber Daya Alam.Jakarta (ID): ICSD. Wiradi G. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang belum berakhir. Yogyakarta (ID): Insist Pers, KPA dan Pustaka Pelajar. Hidayat.2011. Pengelolaan sumber daya alam berbasis kelembagaan lokal. Jurnal Sejarah Citra Lekha. 15(1):19-32. Kusnadi. 2001. “Negara, Kelompok Etnik, dan Konflik Sosial”, dalam KOMPAS, 4 Maret, hal. 29.

Harian

Li TM. 2012. The Will To Improve. Tangeran Selatan (ID): Marjin Kiri.. Lubis, Zulkifli B. 2005. Kanalisasi Ketegangan Etnik dan Kompetisi Budaya dalam Sektor.Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI, Volume I No. 1. Mann M.2005.The Dark Side of Democracy–Explaining Ethnic Cleansing. Cambridge

96



(US): Cambridge University Press. Marzuki M. 2010. Perspektif Etnik Situasional dalam Komunikasi Politik Anggota Daripada pada Wilayah Multi Etnik. Jurnal Academica Fisip.2(2). Pamuji MN, Horiba A, Miqdad M, Gogali N, Sipasulta L.2008. Success Story Mekanisme Komunitas dalam Penanganan dan Pencegahan Konflik: Studi Kasus di Desa Wayame (Ambon) dan Desa Tangkura (Poso). Laporan Penelitian. Rahman NF.2013. Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria yang kronis, Sistemik, dan Meluas. Jurnal BHUMI. 37(2). Rudiatin E. 2012. Integrasi Ekonomi Lokal Di Perbatasan (Suatu Kajian Mengenai Ekonomi Masyarakat Desa Aji Kuning Pulau Sebatik-Nunukan Kalimantan Timur, Perbatasan Indonesia-Sabah Malaysia) [DISERTASI].UI.Depok. Sarumpaet, Budi Ali Mukmin. 2012. Politik Identitas Etnik Dalam Kontestasi Politik Lokal. Jurnal kewarganegaraan. Volume 19. Nomor 02. Satria Arif. 2000. Modernisasi Perikanan dan Mobilitas Sosial Nelayan: Studi Kasus Kelurahan Krapyar Lor Kodya Pekalongan Jawa Tengah [tesis]. Bogor [ID]:Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sjaf, S. 2012. Pembentukan Identitas Etnik di Arena Ekonomi Politik Lokal. Journal. IPB. Vol 6, No 2. Sjaf, S. 2014. Politik etnik: Dinamika Politik Lokal Di Kendari, YOI. Jakarta. Sihaloho, Martua. Heru Purwandari, Anton Supriyadi 2009. Reforma Agraria di Bidang Pertanian: Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria Dan Diferensiasi Kesejahtteraan Komunitas Pekebun di Lebak Banten .Jurnal Sodality VOL.3, No.1 Sihaloho, Martua. Purwandari, Heru, Mardianingsi, D,I. 2010. Reforma Agraria dan Revitalisasi Pertanian di Idonesia. Jurnal Sodality. Vol. 4, No. 1. Simon Cheryl & Defries S. Ruth, 1992. Satu Bumi Satu Masa Depan Perubahan Lingkungan Global Kita. Bandung: Rosdakarya. Soetarto, Endriatmo 2003. “Inti Kebudayaan” dalam Masyarakat Multietnik dan Dampaknya pada Pengelolaan Sumber Daya Agraria. Seri Naskah Diskusi STORMA A. No. 10. STPN, 2012. Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 (Hasil Penelitian Sistematis STPN, 2012) Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada


97

Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Syahyuti 2002. Ikatan Genealogis dan Pembentukan Struktur Agraria: Kasus pada Masyarakat Pinggiran Hutan di Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Jurnal Aktiga. Vol. 20/ No.1.

98



Meneropong Kesehatan Masyarakat di Indonesia Mashuri

Indonesia dengan jumlah penduduk kurang lebih 200an juta lebih, merupakan salah satu dari sedikit negara yang memiliki suku bangsa yang paling banyak di muka bumi dan paling beragam. Berangkat dari kondisi tersebut, tidak mengherankan jika akhirnya bangsa ini memiliki 748 bahasa daerah yang merupakan sebagai bahasa ibu. Jumlah yang tidak sedikit tersebut juga diikuti dengan berbagai bentuk kebudayaan yang berada dalam masing-masing suku bangsa di Indonesia. Jika merujuk pada batasan dari kebudayaan, yang merupakan hasil cipta dari rasa dan karsa, maka bisa dibayangkan bagaimana kebudayaan di Indonesia, baik secara kuantitas hingga kualitas jika dihubungkan dengan jumlah dari suku bangsa Indonesia tentunya. Dari sekian banyak kebudayaan di Indonesia, sebuah pertanyaan kemudian muncul di benak penulis, bagaimana kebudayaan yang demikian banyak tersebut jika dihubungkan dengan kesehatan masyarakat di Indonesia? Dengan pertanyaan lebih spesifik, bagaimana peran budaya yang berada pada masyarakat yang memiliki bahasa ibu sebanyak 748 jenis itu terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia khususnya? Hal ini cukup menarik untuk dibahas. Bercermin pada tingkat keberagaman suku bangsa yang mendiami langit di Indonesia, penulis percaya, memiliki pengaruh terhadap kesehatan masyarakat di Indonesia. Selain itu menyoal hubungan budaya dan kesehatan masyarakat, penulis juga tidak bisa melepaskan faktor lain

99

yang baik secara langsung maupun tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat, yaitu; Institusi Pendidikan dalam hal ini kampus yang akhirnya melahirkan berbagai jenis tenaga kesehatan dan negara dalam hal ini institusi yang bertanggung jawab langsung terhadap kesehatan atau lebih dikenal dengan Kementerian Kesehatan. Budaya dan Kesehatan Berbicara tentang budaya dan pengaruhnya terhadap kesehatan masyarakat tidak bisa lepas dari teori culture-determinism. Dua ahli yang mengemukakan itu dari sekian banyak ahli budaya adalah Melville J Herskovits dan Bronislaw Malinowski. Menurut mereka segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Tentunya termasuk segala hasil cipta, rasa dan karsa yang berhubungan dengan kesehatan itu sendiri. Hal tersebut kemudian termasuk juga dengan kebudayaan yang turun temurun atau Herskovits dikenal dengan istilah superorganic.

“Etnomedicine sendiri

merupakan cabang dari etnobotani, dimana itu merupakan salah satu bentuk penyelesaian masalah kesehatan yang memakai pendekatan tradisional, contohnya ramuan jamu atau praktek pijat.” Lebih lanjut akhirnya hubungan antara budaya dan kesehatan itu sendiri berujung pada berbagai istilah, yang paling terkenal adalan etnomedicine. Etnomedicine sendiri merupakan cabang dari etnobotani, dimana itu merupakan salah satu bentuk penyelesaian masalah kesehatan yang memakai pendekatan tradisional, contohnya ramuan jamu atau praktek pijat. Yang menarik kemudian ialah, untuk konteks Indonesia yang notabene merupakan negara tropis dan memiliki dua musim, memiliki terminologi sendiri dalam memaknai konsep sehat-sakit. Ini menjadi penting mengingat etnomedicine yang berkembang di Indonesia, sangat berhubungan dengan konsep sehat-sakit tersebut. Sebagai contoh, konsep sehat yang berkembang dihampir seluruh wilayah peolosok Indonesia adalah ketika seseorang “masih” mampu melakukan segala hal dan kondisi batinnya baik-baik saja.

100



Artinya selama seseorang masih produktif dan berperan secara sosial, dia, dikatakan sehat. Atau contoh lain, seorang anak dikatakan sehat selama dia masih memiliki nafsu makan yang besar dan masih bergairah untuk bermain/bergerak. Akhirnya bisa disimpulkan, untuk orang dewasa, sehat ialah mampu bekerja dalam keadaan senang dan untuk anak-anak adalah masih mau makan dan senang bermain. Bagaimana dengan konsep sakit? Secara garis besar, di Indonesia, penyebab suatu penyakit bisa disebabkan oleh dua hal. Yang pertama, penyebabnya diri sendiri, atau konsep personalistik. Penyebab diri sendiri lebih erat hubungannya dengan sesuatu hal yang gaib (menurut kepercayaan kebanyakan masyarakat kita). Mulai dari mahluk supernatural( hantu, dan atau roh leluhur) hingga perbuatan manusia yang lain (dukun sihir). Dan karena hubungannya dengan diri sendiri serta berkaitan dengan hal yang gaib, bentuk penanganannya pun lebih banyak dititikberatkan pada aspek keparcayaan. Mulai dari berbagai aktifitas sehari-hari yang dipercaya mampu mencegah kondisi tersebut, misalnya prilaku cuci kaki sebelum masuk rumah pada masyarakat jawa yang dipercaya mampu mencegah/ menghilangkan ruh jahat yang dijumpai dijalan untuk ikut masuk ke rumah, hingga membutuhkan peran orang lain sebagi perantara dalam menghilangkan/ atau pengobati dari kondisi sakit tersebut, misalnya dukun. Yang kedua, sakit disebabkan karena lingkungan/alam, atau dikenal dengan konsep naturalistik. Karena Indonesia merupakan negara yang subur, atau meminjam adigium Gemah Ripah Loh Jenawi, maka sebagian besar aktifitas masyarakat kita berada diluar rumah. Dalam artian potensi untuk menjadi sakit karena cuaca, keracunan makanan, bisa beracun, hingga kecelakaan, merupakan sesuatu hal yang niscaya bisa dialami. Bentuk penangannanyapun beragam di Indonesia, bisa cara yang sederhana atau yang paling ekstrim. Misalnya untuk penyakit masuk angin, bagi masyarakat kita ini merupakan sakit yang ringan, dan bentuk penanganannyapun sederhana, cukup dengan pemijatan/kerokan, dan atau meminum ramuan jamu untuk menghangatkan kembali tubuh sehingga besar harapan kemudian angin yang masuk tadi bisa keluar. Atau penanganan yang paling ekstrim bisa dilihat pada orang Marind-Anim yang mendiami Selatan Papua. Ketika ada orang Marind-Anim yang mengalami sakit, dan kemudian menurut dukun setempat karena guna-guna. Dan itu dikarenakan telah terjadi ketidakseimbangan antara masyarakat yang mendiami daerah tersebut dengan kemampuan alam dalam menampung mereka, maka mereka parcaya akan datang orang kuat (Tikanem) yang akan melakukan pembunuhan


101

terhadap warga dari masing-masing kampung secara berurutan sebanyak lima orang (Dumatubun, 2001). Coba bandingkan dengan konsep sehat-sakit yang dikembangkan oleh WHO, sebagai salah satu organisasi international yang kosentrasi pada permasalahan kesehatan di dunia. Sehat adalah suatu keadaan lengkap fisik, mental, dan kesejahtraan sosial dan bukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan (WHO, 1948). Artinya, jika mengacu pada definisi diatas, bisa jadi hampir seluruh masyarakat dunia, atau khususnya Indonesia dalam kondisi tidak sehat. Karena jika ditelusuri lebih jauh, WHO akhirnya menitikberatkan definisi tersebut dalam kesehatan fisik dan psikis(jiwa). Walau disaat bersamaan WHO juga menafikkan konsep sehat-sakit secara naturalistik, yang merupakan kesepakatan masing-masing dari sebagian besar suku bangsa yang ada di Indonesia. Ini tentunya tidak begitu mengherankan, hal yang senada dengan WHO dalam menterjemahkan segala hal yang berhubungan dengan kesehatan ialah Bank Dunia sebagai sesama lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-bangsa. Karena jika mengacu pada data Bank Dunia, karakteristik sebuah negara yang tersebar hanya ditentukan oleh populasi penduduk, persentasi pertumbuhan penduduk tiap tahun, angka kematian bayi tiap tahun perseribu kelahiran hidup, persentasi angkatan kerja pertanian tiap tahun, pendapatan kotor nasional perkapita, dan jumlah akademisi/tehnisi yang terlibat dalam penelitian per 100.000 penduduk (Bank Dunia: World Development Report 1988). Sehingga bisa dikatakan secara global mereka (lembaga-lembaga dunia) mengenyampingkan keberadaan etnomedicine itu sendiri, dengan sendirinya akhirnya juga tidak mengakui praktek yang berhubungan dengan kesehatan baik dalam rangka pencegahan maupun pengobatan. Walau tidak semua konsep etnomedicine berdampak positif pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia, bukan berarti akhirnya kita, sebagai masyarakat yang mendiami ribuan pulau dan beragam suku bangsa tadi kemudian bisa dengan sewenang-wenang meninggalkan budaya leluhur yang berhubungan dengan kesehatan itu sendiri. Ambil contoh salah satu ritual untuk ibu pasca melahirkan (nifas) yang dilakukan di Mentawai. Pada masa nifas, seorang ibu diwajibkan mengkonsumsi untuk minum cairan hasil fermentasi dari sagu (dengan kadar tertentu) walau belakangan sudah diganti dengan minuman bir hitam (dengan kadar tertentu) kemudian dicampur dengan sebutir telur ayam kampung selama seminggu. Ritual ini dipercaya mampu mencegah si ibu dari gangguan roh-roh halus yang mengan-

102



cam. Salah satu bukti kegagalan roh halus ketika mencoba masuk dalam tubuh ibu, ialah ketika ada peningkatan jumlah darah yang keluar. Namun begitu, ternyata ramuan tadi secara tidak sengaja, justru berdampak positif terhadap kesehatan ibu dan si jabang bayi, mulai dari membantu proses pembersihan darah sisa persalinan hinga bisa memulihkan kembali tenaga si ibu yang banyak terkuras ketika melahirkan. Selain itu ternyata ramuan tersebut juga mampu meningkatkan jumlah produksi Air Susu Ibu (ASI), dan akhirnya ini sangat membantu si jabang bayi dalam peningkatan kualitas ASI Eksklusif di masa 1000 hari pertumbuhan otaknya. Atau contoh lain yang dipraktekkan oleh ibu-ibu di Nusa Tenggara Barat. Untuk mengatasi penyakit yang banyak diderita anak-anak mereka, apa lagi ketika musim buah tiba ialah buang air besar yang berlebihan dan encer. Untuk ibu-ibu di NTB memberikan pucuk daun jambu yang sebelumnya dikunyah kepada si anak yang menderita penyakit tadi. Ritual ini dipercaya mampu menghilangkan ruh-ruh jahat yang masuk melalui buah-buahan tadi. Dan disaat bersamaan justru praktek tersebut juga sejalan dengan khasiat dari daun jambu batu tadi, untuk mengatasi diare. Atau bisa juga peran para sanro (dukun) yang juga banyak berfungsi di suku Bugis bukan? Berangkat dari kondisi di atas, menurut penulis agak berlebihan kiranya ketika kita dengan sewenang-wenang kemudian beranggapan bahwa masyarakat Indonesia mengalami sakit seperti terminologi yang dibangun oleh WHO. Karena sepakat atau tidak, masyarakat kita terdahulu selalu mempunyai cara dalam mengatasi berbagai permasalahan, khususnya kesehatan itu sendiri. Dalam artian, jangan sampai karena kita terjebak pada jargon perkembangan teknologi pengobatan dewasa ini, dan akhirnya secara serampangan menghilangkan atau bahkan tidak mengakui bentuk-bentuk pengobatan atau pencegahan terhadap masalah kesehatan yang sejak dahulu kala diberlakukan di Indonesia. Tentunya ini tidak berlaku pada varian penyakit yang baru ditemukan beserta bentuk penanganannya. Karena secara garis besar permasalahan kesehatan secara tradisional yang dipercaya di Indonesia hanya berhubungan pada 3 hal; Manusia, Lingkungan, dan Tuhan(pencipta). Artinya ketika ketiganya mengalami keseimbangan, tentunya kita (manusia) akan sehat, setidaknya ini dipercaya oleh leluhur kita sejak dari dahulu kala. Peran Perguruan Tinggi terhadap Kesehatan Masyarakat Setelah mengetahui peran budaya terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat, hal yang cukup penting lainnya adalah mengulik peran Perguruan Ting-


103

gi. Karena seperti yang kita ketahui bersama, Perguruan Tinggi juga memiliki peran yang tidak sedikit dalam mempengaruhi peningkatan derajat kesehatan masyarakat itu sendiri. Menyusul trend menjamurnya perguruan tinggi yang akhirnya melahirkan sarjana yang berhubungan dengan kesehatan, kembali lagi kualitas para alumnilah yang akhirnya bisa membedakan antara satu dengan yang lain. Dan berbicara tentang kualitas Perguruan Tinggi, kita tidak bisa lepas dengan kurikulum yang berlaku dalam unversitas tersebut. Kali ini penulis lebih spesifik dengan Perguruan Tinggi yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat, dan atau yang akhirnya memberi gelar dari alumninya sebagai Sarjana Kesehatan Masyarakat. Jika mengacu pada kesepakatan pemberlakuan kurikulum standart program studi kesehatan masyarakat Indonesia, yang tertuang dalam kesepakatan bersama Direktur Eksekutif Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia (AIPTKMI) dan Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) pada rapat kerja AIPTKMI IX di Padang, adalah kurikulum standar prodi Sarjana Kesehatan Masyarakat minimal 144 sks, dengan komposisi: Pertama, mata kuliah wajob program studi (70 persen) yang terdiri atas mata kuliah wajib program studi sarjana kesehatan masyarakat sebanyak 86 SKS dan muatan local sebanyak 15 SKS. Kedua, mata kuliah wajib peminatan, sebanyak 30 persen. Dari 86 SKS atau 35 mata kuliah tersebut yang wajib, hanya 5 – 10 mata kuliah atau 25 hingga 35 SKS yang bisa dikatakan berhubungan dan atau bersentuhan langsung dengan masyarakat. Jika akhirnya dengan mata kuliah wajib muatan lokal dan wajib peminatan yang bisa jadi jika hal tadi berhubungan erat dengan masyarakat, akhirnya hanya maksimal pada angka 50 % saja dari total keseluruhan mata kuliah yang diberlakukan pada seluruh Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta dari Sabang hingga Marauke yang melahirkan Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Sekilas jumlah tersebut adalah ideal, setidaknya kemungkinan besar ini yang berkembang pada peserta RAKERNAS AIPTKMI IX di Padang. Namun jika dua kilas, jumlah sks yang paling maksimal hanya 20 % dari total mata kuliah wajib program studi sebenarnya sangat memprihatinkan. Karena jika berangkat dari harapan seorang SKM nantinya bisa berperan efektif dan maksimal di tengah masyarakat, menurut hemat penulis, bobot mata kuliah yang berhubungan langsung dengan masyarakat dan atau bermuatan lokal wajib hukumnya mengalami penambahan.

104



Setidaknya bisa berkolaborasi pada berbagai budaya konteks ke Indonesiaan. Dalam artian, ketika mata kuliah muatan lokal ditambah atau dikurangi jumlah SKS-nya, sedikit banyak berpengaruh pada sudut pandang dari setiap calon SKM nantinya, sebagai seorang problem solver dan bukan malah menjadi problem maker. Selain itu jika kita bersepakat bahwa seorang SKM dituntut harus mampu survive dalam setiap mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat, adalah tidak adil jika sebelumnya para calon SKM dilengkapi dengan “senjata” yang bisa digunakan dalam segala medan. Ini kita belum berbicara tentang bentuk mata kuliah yang sifatnya aplikatif dan di saat bersamaan berfungsi di tengah masyarakat. Pun itu kita hanya lihat dalam beberapa mata kuliah saja. Bisa dibayangkan kemudian, jika seorang SKM yang nantinya “terjebak” ditengah masyarakat dan disaat bersamaan dituntut untuk mampu menyelesaikan berbagai permasalahan kesehatan masyarakat namun hanya bermodalkan pengetahuan yang aplikatif dari mata kuliah yang didapatkan di bangku kuliah berharap bisa efektif dan maksimal. Salah satu atau bahkan bisa jadi hanya satu satunya mata kuliah yang aplikatif dan disaat bersamaan berfungsi di tengah masyarakat (setidaknya ini yang diharapkan oleh para pendidik di Perguruan Tinggi) adalah Praktek Belajar Lapangan (PBL). Hampir diseluruh Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta, dan sependek yang penulis tahu, PBL yang diberlakukan setidaknya memenuhi empat aspek, yaitu: sosialisasi sekaligus pengumpulan data, identifikasi masalah sekaligus prioritasi masalah, intervensi, dan yang terakhir evaluasi. Dengan catatan terlepas dari berapa bagian pelaksanaan PBL tersebut, empat aspek diatas harus berurut dalam pelaksanaannya. Untuk durasi, mahasiswa yang melakukan PBL biasanya bersama masyarakat selama satu hingga dua minggu untuk setiap aspek atau lebih. Kita ambil durasi terlama dalam pelaksanaan setiap aspek, yaitu dua minggu. Artinya untuk mata kuliah PBL dibutuhkan waktu sekitar dua bulan waktu kalender. Pertanyaannya kemudian dengan waktu sesingkat itu, kira-kira apa yang ada dalam kapala masing-masing pihak, baik pengelola Perguruan Tinggi maupun mahasiswa. Bisa jadi bagi pengelola Perguruan Tinggi, setidaknya mata kuliah PBL terlaksana dan tidak ada complain dari masyarakat yang mendiami lokasi PBL. Hal yang tidak jauh berbeda bisa jadi juga dialami oleh mahasiswa sebagai peserta PBL. Di sinilah letak persoalannya, karena hanya dengan berharap waktu seminggu hingga dua minggu kemudian mahasiswa atau calon SKM memperoleh data yang valid ketika memenuhi aspek pengumpulan data, bukankah ini sesuatu


105

yang mustahil? Meski para pengelola mata kuliah PBL bisa berdalih pada tools yang digunakan adalah rapid survey, sekali lagi yang perlu diingat metode tersebut sangat berpotensi pada adanya gap informasi permasalahan yang terjadi pada masyarakat sebenarnya. Sehingga pun, memasuki tahapan selanjutnya yang berupa identifikasi masalah dan sekaligus penentuan bobot masalah untuk tujuan prioritasi masalah akhirnya hanya terjebak pada persoalan yang artificial saja, dan bahkan permasalahan kesehatan masyarakat yang terungkap dalam rapid survei, hanya menyesuaikan dengan keinginan dari Perguruan Tinggi/Kampus. Karena daftar pertanyaan dalam rapid survei sebelumnya adalah disusun oleh pihak Kampus dan atau pengelola mata kuliah tersebut. Dan begitu seterusnya hingga evaluasi. Dalam artian masyarakat dipandang sebagai obyek untuk sekedar mengukuhkan posisi Kampus seperti sebuah Menara Gading yang (seolah) mengetahui segala permasalahan masyarakat hampir mirip dengan konsep The Garden School ciptaan Epikuros. Jangan heran jika kemudian pada tahapan intervensi mata kuliah tersebut hanya berbentuk kegiatan yang untuk mengugurkan kewajiban (saja), misalnya membersihkan halaman, membuat tanaman obat keluarga, atau bahkan mengecat tempat sampah. Dan akhirnya calon SKM semakin tercerabut dari trah sebenarnya. Atau apakah ini yang diinginkan oleh Kampus? Entahlah. Selain itu RAKERNAS AIPTKMI IX di Padang, juga melahirkan sebuah formula kompetensi seorang SKM yang nantinya diharapkan mampu diterjemahkan dalam setiap kurikulum yang berlaku di masing-masing Perguruan Tinggi. Terdapat delapan kompetensi, antara lain: (1) Kemampuan mengkaji dan menganalisis situasi, (2) Kemampuan mengembangkan perencanaan program dan kebijakan, (3) Kemampuan berkomunikasi secara efektif, (4) Kemampuan memahami budaya setempat, (5) Kemampuan memberdayakan masyarakat, (6) Penguasaan terhadap dasar-dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat, (7) Perencanaan keuangan dan keterampilan manajerial, (8) Kemampuan memimpin dan berfikir sistem. Sekali lagi, kompetensi dasar di atas seolah begitu sempurna. Begitu sempurna, karena jika betul runutan kompetensi itu dikuasai seperti sejatinya makna dari setiap kata yang dipadupadankan dalam masing-masing kompetensi. Akhirnya kampus mampu mengembalikan trah serta meninggalkan menara gading dan memilih lebih membumi seperti konsep academia yang dibangun oleh Plato atau Lyceum yang dibangun oleh Aristoteles. Namun itu hanya kondisi seolah-olah. Karena paduan dari kumpulan kompetensi diatas akhirnya semakin mengaburkan kedirian seorang SKM itu sendiri akhirnya. Maksud saya, seharusnya calon SKM terlebih dahulu dipetakan berdasarkan keinginannya dalam berperan se-

106



bagai seorang problem solver yang nantinya berada di dalam masyarakat atau di luar masyarakat. Dengan catatan delapan kompetensi dasar tersebut, harus dipilah berdasarkan hubungannya dengan masyarakat. Sehingga tercipta kelompok kompetensi dasar yang harus dikuasai untuk SKM yang nantinya berada didalam masyarakat dan diluar masyarakat.

“Akan menjadi

sangat lucu jika sebelumnya calon SKM tidak diperkenalkan dengan berbagai konsep pemberdayaan itu sendiri, tiba-tiba mereka dipaksa untuk “paham” konsep responbilitas kebutuhan budaya dan mesti menerima itu sebagai sebuah konsekuensi pemberdayaan.” Sebagai contoh, pada kompetensi kemampuan memberdayakan masyarakat. Untuk kompetensi ini ada delapan topik yang wajib dikuasai oleh seorang SKM. Misalnya interaksi dengan berbagai latar belakang orang. Bukankah ini sesuatu yang cukup menggembirakan sekaligus membuat penulis dan bisa jadi kita semua menjadi terbahak-bahak. Bagaimana tidak, di satu sisi, seorang SKM diharapkan mampu untuk mengembangkan berbagai strategi pemberdayaan, namun di sisi lain, mereka (calon SKM) tidak pernah diperkenalkan atau bahkan mempraktekkan konsep pemberdayaan itu sendiri. Bukankah ini sebuah kesewenang-wenangan. Ini belum termasuk apakah mereka mengetahui atau bahkan mengenal siapa itu sosok Robert Chambers. Sama halnya dengan topik responsibilitas kebutuhan budaya dalam kesehatan sebagai konsekuensi pemberdayaan. Akan menjadi sangat lucu jika sebelumnya calon SKM tidak diperkenalkan dengan berbagai konsep pemberdayaan itu sendiri, tiba-tiba mereka dipaksa untuk “paham” konsep responbilitas kebutuhan budaya dan mesti menerima itu sebagai sebuah konsekuensi pemberdayaan. Bukankah ini cukup menggelikan? Ternyata, yang saya gambarkan di atas bukan tanpa alasan. Misalnya, kenapa antara rangkaian mata kuliah yang tidak sinkron dengan delapan kompetensi


107

dasar bermuara pada niatan awal dari para peserta RAKERNAS AIPTKMI IX di Padang. Karena di akhir acara tersebut, mereka bersepakat untuk menyusun sebuah formula pertanyaan untuk seorang SKM memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR). Sekedar informasi, STR untuk tenaga kesehatan menjadi wajib setelah keluarnya UU No. 36 Tahun 2014. Namun pertanyaannya ialah, apakah pantas kemudian itu diberlakukan pada calon SKM, yang nota bene masih mengalami kegamangan akan identitas kedirian dalam hubungannya dengan ilmu itu sendiri. Dalam artian, mensejajarkan SKM dengan tenaga kesehatan lain yang notabene sudah menjadi sebuah profesi adalah bentuk kekejaman dan atau bagian dari sebuah sesat fikir dalam kadar terendah. Kejam, karena di saat unsur pembentuk dari seorang SKM atau meminjam bahasa peserta RAKERNAS AIPTKMI IX di Padang adalah kompetensi, masih sangat premature dan syarat akan kelemahan, kemudian coba dipersandingkan dengan tenaga kesehatan seperti dokter. Adalah salah satu bentuk sesat fikir, karena memposisikan SKM sejajar dengan dokter mirip dengan mencari kesamaan antara sesuatu dan yang bukan dirinya (hukum nonkontradiksi). Kita belum berbicara tentang hal ihwal dari STR tersebut adalah sebagai salah satu prasyarat untuk seorang tenaga kesehatan untuk membuka praktek. Dan kita akhirnya tidak bisa terhindar pada kondisi memaknai RAKERNAS AIPTKMI IX di Padang sebagai sebuah dagelan yang menghasilkan lelucon-lelucon yang segar namun satir. Pertanyaan lanjutannya kemudian, jika perguruan tinggi atau kampus tidak mampu berperan pada mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat apalagi meningkatkan pengetahuan mahasiswa atau calon SKM, bagaimana akhirnya dengan calon SKM tadi? Di sinilah organisasi kemahasiswaan berperan dan menjadi sebuah ruang kuliah alternatif selain yang formal dan setiap mata kuliahnya memiliki Satuan Kredit Semester (SKS) berjumlah 4. Berjumlah 4 SKS dengan rincian 2 SKS teori dan 2 SKS praktek. Salah satu organisasi kemahasiswaan berbasis agama yang cukup terkenal bahkan paling besar pengaruhnya pada perkembangan bangsa ini adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Melalui berbagai kegiatan yang coba diterjemahkan oleh masing-masing bidang mulai dari tingkat pengurus besar hingga pengurus tingkat komisariat, lebih banyak diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan kemasyarakatan, apalagi yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Melalui lembaga kekaryaan atau lebih dikenal dengan Lembaga Kesehatan Ma-

108



hasiswa Islam (LKMI), peran HMI untuk bidang kesehatan lebih terasa. Melalui LKMI, mahasiswa dari masing-masing fakultas yang berhubungan dengan kesehatan kemudian berhimpun untuk sekedar melakukan hal kecil namun setidaknya memberikan sumbangsih terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat berbasis kebutuhan masing-masing cabang yang tersebar di seluruh Indonesia (selama LKMI msih menjadi bagian dari HMI di tingkat cabang). Karena kegiatan mereka masih merupakan bentuk sumbangan terkecil, maka peran LKMI untuk ke depannya diharapkan mampu lebih maksimal dengan, mengedepankan profesionalisme masing-masing keilmuan kesehatan yang ada di masing-masing Perguruan Tinggi. Selain itu, inisiatif juga dibutuhkan. Dalam artian, untuk memenuhi 2 SKS pada ruang kuliah alternatif tadi, seorang mahasiswa yag tergabung dalam HMI tetap dituntut untuk lebih inisiatif dalam mengelola berbagai pengetahuan. Sehingga berbagai kekosongan yang didapatkan pada ruang kuliah formal mampu diisi dalam ruang kuliah alternatif tadi, atau dengan kata lain dengan bergabung di HMI tidak dengan serta merta menjadi tahu akan banyak hal jika tidak diikuti dengan usaha sendiri yang maksimal. Sekali lagi, di sinilah letak keunikan lain HMI. Karena sebagai sebuah organisasi mahasiswa yang berbasis agama, tidak menjadikan HMI menjelma menjadi sebuah organisasi yang eksklusif, dan ini tidak bisa lepas dari peran serta Nurcholis Madjid yang membawa HMI menjadi salah satu organisasi mahasiswa islam modern sekaligus tidak meninggalkan pengaruh ke Indonesiaan sebagai konteks tempat berkiprahnya organisasi ini. Negara dan Kesehatan Masyarakat Setelah melihat peran Budaya dan Perguruan Tinggi, ada baiknya kita juga memeriksa peran negara terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia. dan secara garis besar peran tersebut secara dejure berada dibawah koordinasi kementerian negara. Dalam artian, untuk mengatasi segala permasalahan kesehatan masyarakat sejatinya melibatkan berbagai pihak. Sehingga terbangun hubungan saling mendukung masing-masing sektor yang berada dalam berbagai kementrian untuk saling bekerjasama ketika berbicara permasalahan kesehatan masyarakat. Misalnya, dalam rangka menekan angka kematian ibu dan anak peran serta lembaga lain seperti Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional juga dibutuh-


109

kan. Atau misalnya, dalam rangka menekan angka jumlah ketergantungan terhadap obat-obatan terlarang (Narkoba) dibutuhkan peran lembaga lain seperti Badan Nasional Narkotika. Dan seterusnya. Walau tidak jarang, untuk tingkat lapangan terjadi tumpang tindih hingga overlap dari masing-masing institusi. Tapi tetap kembali lagi ini tidak bisa dilepaskan dari masing-masing tugas dan fungsi kelembagaan tersebut serta juga berhubungan dengan kualitas sumber daya manusia yang bekerja di lapangan. Sebelum berbicara lebih jauh terkait itu, ada baiknya, kita perhatikan lebih dalam Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2015-2019 (Renstra Kemenkes 2015-2019). Ini menurut penulis juga penting, selain disebabkan oleh latar belakang penulis merupakan Sarjana Kesehatan Masyarakat dan juga terlepas bagaimana dan seperti apa bentuk dari segala program dari level provinsi hingga kabupaten/kota yang ada di Indonesia, segala bentuk aktivitas yang berhubungan dengan Kesehatan Masyarakat salah satunya tidak bisa lepas dari Rencana Strategis Kementerian Kesehatan. Ini karena Kementerian Kesehatan bukanlah satu-satunya yang memiliki program berhubungan dengan kesehatan, dan masih ada lembaga negara yang lain juga memiliki rancana strategis yang serupa walau hubungan dengan kesehatan masyarakat secara tidak langsung. Selain itu, penyusunan rancana strategis masing-masing kementrian juga harus mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Seperti yang tertuang dalam pendahuluan: Renstra Kementerian Kesehatan merupakan dokumen perencanaan yang bersifat indikatif memuat program-program pembangunan kesehatan yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan dan menjadi acuan dalam penyusunan perencanaan tahunan. Penyusunan Renstra Kementerian Kesehatan dilaksanakan melalui pendekatan: teknokratik, politik, partisipatif, atas bawah (top-down), dan bawah-atas (bottom-up) ( Bab 1, Pendahuluan, Renstra Kemenkes 2015-2019). Maka penyusunannya memakai 5 pendekatan, yaitu: teknokratik, politik, partisipatif, atas-bawah, dan bawah-atas. Selain itu Program Indonesia Sehat juga bertumpu pada tiga pilar utama, yaitu: paradigma sehat, penguatan pelayanan kesehatan, dan jaminan kesehatan nasional (Bab 1, Pendahuluan, Renstra Kemenkes 2015-2019). Nah, pada bagian ke tiga ini, penulis akan mencoba fokus pada bagaimana pilar Program Indonesia Sehat tersebut pada tataran implementasi lapangan. Ini berdasarkan beberapa temuan kecil penulis ketika terlibat dalam sebuah penelitian kesehatan di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo pada antara bulan Februari hingga bulan Maret tahun 2015. Adapun metode penelitian itu adalah kualitatif.

110



Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan beberapa tenaga kesehatan (Nakes), terungkap beberapa informasi terkait pilar penguatan pelayanan kesehatan dan sistem jaminan kesehatan. Nakes banyak mengeluhkan terkait tuntutan profesional sebagai Nakes dan hak dari setelah mereka menunaikan kewajiban sebagai tenaga kesehatan. Yang mereka keluhkan, ketika kemudian mereka sebagai tenaga kesehatan diwajibkan untuk bertugas dan tinggal bersama masyarakat, disaat bersamaan ternyata negara atau dalam hal ini dinas kesehatan tidak memberikan jaminan keselamatan terhadap segala ancaman baik secara fisik maupun nonfisik yang mengintai Nakes tadi.

“Belum usai persoalan an-

caman yang mengintai para bidan PTT tadi, mereka kemudian kembali lagi harus diperhadapkan pada kondisi berkurangnya pemasukan mereka ketika menangani persalinan semenjak sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang berupa Jaminan Persalinan Universal (JAMPERSAL) bersatu dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan).” Maksud saya, ini dialami untuk Nakes yang berprofesi sebagai bidan desa di daerah terpencil. Kondisi ini diperparah dengan tuntutan untuk mereka (Nakes tadi) bertahan di lokasi tadi tidak lepas dari status mereka yang masih merupakan bidan Pegawai Tidak Tetap (Bidan PTT). Belum usai persoalan ancaman yang mengintai para bidan PTT tadi, mereka kemudian kembali lagi harus diperhadapkan pada kondisi berkurangnya pemasukan mereka ketika menangani persalinan semenjak sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang berupa Jaminan Persalinan Universal (JAMPERSAL) bersatu dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Sekedar informasi, untuk sekali penanganan persalinan ketika masih memakai sistem klaim JAMPERSAL, seorang bidan bisa mengantongi sebesar 600 – 800 ribu rupiah persekali tindakan bersalin. Sedangkan, sejak per 1 Januari 2014 yang di mana BPJS Kesehatan diberlakukan serentak di seluruh Indonesia, para bidan PTT tadi mendapatkan sisa 100-300 ribu saja. Walau sebenarnya jika mengacu pada Peraturan Mentri Kesehatan No. 59 Tahun 2014, besaran klaim


111

yang menjadi hak dari seorang Nakes dalam hal ini bidan adalah sebesar 600 ribu rupiah hanya untuk penanganan sekali persalinan normal dan menjadi 750 ribu rupiah jika penanganan pendarahan akibat keguguran. Ini belum termasuk dengan pemeriksaan ANC sebesar 25 ribu rupiah, pemeriksaan PNC sebesar 25 ribu rupiah, pelayanan tindakan paska persalinan (mis. placenta manual) 175 ribu rupiah, pelayanan pra rujukan pada komplikasi kebidanan dan neonatal 125 ribu rupiah, pelayanan KB pemasangan IUD/Implant 100 ribu rupiah dan suntik 15 ribu rupiah, atau Penanganan komplikasi KB paska persalinan 125 ribu rupiah. Dengan kata lain jika semua itu dilaksanakan oleh seorang ibu, mulai dari sebelum persalinan hingga paska persalinan, seorang bidan bisa mengantongi hingga satu juta rupiah bahkan lebih. Pertanyaanya kemudian untuk kasus yang dialami oleh Bidan PTT di Gorontalo Utara hanya sedikit yang diterima. Ternyata ini terkait dengan mekanisme klaim BPJS Kesehatan yang membutuhkan jalur lebih panjang. Jika sebelumnya, klaim JAMPERSAL untuk masing-masing Fasilitas Kesehatan (Faskes) menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan Jaminan Kesehatan Masyarakat dan Biaya Operasional Kesehatan, maka besaran anggaran klaim yang didapatkan berdasarkan rencana kerja Puskesmas. Dan ini sesuai dengan SK Menkes No. 515/Menkes/SK/III/2011 tentang Penerima dana Penyelenggaraan Jamkesmas dan Jampersal. Sehingga tidak mengherankan jalur mekanisme klaim lebih pendek, dalam artian untuk klaim JAMPERSAL bisa saja langsung ke Nakes setelah melalui persetujuan kepala Dinas Kesehatan serta sesuai dengan rencana kerja masing-masing fasilitas kesehatan tingkat pertama, dalam hal ini Puskesmas. Sedangkan untuk klaim BPJS Kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan Persalinan, alurnya lebih panjang. Alur lebih panjang, karena saat ini, dengan berlakunya program Jaminan Kesehatan Nasional per 1 Januari 2014, kehadiran lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial khususnya bidang Kesehatan dibutuhkan. Artinya jika dibanding dengan mekanisme JAMPERSAL yang dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) kemudian ke rekening Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan langsung ke rekening Nakes, klaim BPJS Kesehatan untuk pencairannya melalui kantor BPJS Kesehatan, kemudian ke KPPN, kemudian ke rekening kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, kemudian ke rekening puskesmas, dan akhirnya tiba pada Nakes. Tanpa bermaksud menuduh penyebab satu-satunya adalah panjangnya alur pencairan, namun kenyataan yang dialami oleh Nakes/bidan PTT di Gorontalo Utara seperti itu. Menyusul beredar rumor, bahwa ada pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo Utara yang terkesan tidak memperbolehkan Puskesmas

112



untuk memiliki rekening sendiri, ini tentunya tidak bisa juga dipungkiri akan pengaruhnya pada keadaan diatas. Atau bisa jadi larangan tersebut hanya berujung pada niatan beberapa oknum aparat negara untuk mempraktekkan tindakan pungutan liar. Sebagai catatan, adanya pungutan liar dari Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo Utara terhadap setiap pencairan klaim persalinan juga diakui oleh beberapa Nakes (nama responden dan puskesmas tempat bertugas dirahasiakan). Dalam artian ketika pemerintah, dalam hal ini kementrian kesehatan berharap adanya peningkatan pelayanan kesehatan dan di satu sisi menutup mata pada keadaan yang menimpa Nakes di Kabupaten Gorontalo Utara misalnya, justru hanya akan bertolakbelakang akhirnya. Selain itu sistem Jaminan Kesehatan Nasional juga akhirnya masih perlu ditinjau efektifitas dan efisiensinya dil apangan, sehingga akhirnya sedikit banyak akan berdampak pada peningkatan pelayanan kesehatan. Mungkin fenomena di atas masih terlalu capat jika dikatakan terjadi di seluruh Indonesia, namun bukan berarti pemerintah akhirnya menutup mata terhadap apa yang dialami oleh Nakes untuk tingkat pelosok, misalnya Poskesdes. Karena seperti yang kita ketahui, dengan PUKESMAS yang berjumlah 9655 Buah (Riset Fasilitas Kesehatan 2013) yang tersebar hingga di pelosok Indonesia, bukan hal yang mustahil kejadian yang dialami oleh Nakes di Kabupaten Gorontalo Utara adalah bukan yang satu-satunya. Ini kita belum berbicara tentang implementasi konsep Paradigma Sehat yang menjadi salah satu pilar utama dari Program Indonesia Sehat, misalnya angka capaian beberapa indikator dari Millenium Development Goal’s (MDG’s) yang tidak terpenuhi sehingga akhirnya negara kita harus masuk pada goals lain yaitu Sustainable Development Goal’s (SDG’s). ** Walau begitu, terlepas dari ke tiga kondisi di atas yang terkesan miris, dan parahnya terjadi di Indonesia, penulis tetap optimis pada pembangunan kesehatan khususnya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang ada di negara ini. Untuk itu, belajar dari tiga kondisi diatas, penulis mencoba memformulasikan beberapa rekomendasi yang berhubungan dengan peningkatan derajat kesehatan masyarakat untuk Indonesia. Penulis mulai dari aspek budaya. Karena sedemikian besar pengaruh budaya untuk konteks Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, ada baiknya kiranya kita dalam hal ini baik Nakes maupun masyarakat, tetap mengedepankan pilihan etnomedicine yang berdampak positif dalam berbagai bentuk penanganan masalah kesehatan masyarakat (baik upaya pencegahan


113

maupun pengobatan). Karena dengan begitu, penerimaan masyarakat terhadap berbagai program kesehatan menjadi lebih positif. Dan juga masyarakat menjadi lebih sadar akan berbagai nilai-nilai budaya yang ikut mempengaruhi segala aspek dalam lingkungan sekitar mereka. Serta juga menjaga sikap pikiran terbuka terhadap berbagai bentuk kemajuan teknologi yang saat ini merupakan hal yang niscaya. Untuk perguruan tinggi khususnya yang berhubungan langsung dengan kesehatan masyarakat, penulis berharap untuk mulai lebih jujur dalam membuat kurikulum yang tetap berbasis pada budaya lokal tanpa meninggalkan masyarakat yang selama ini hanya dijadikan obyek dari keilmuan kesehatan masyarakat. Artinya, ke depannya, penulis membayangkan suatu konsep kurikulum khususnya yang berbicara tentang kesehatan masyarakat akhirnya meletakkan masyarakat sebagai subyek dan bukannya sebagai obyek seperti yang dilakukan oleh perguruan tinggi selama ini. Ini bisa dimulai dengan memasukkan mata kuliah Participatory Rural Appraisal (PRA) misalnya.

“... perlu kiranya

masing-masing Nakes kembali bertanya kepada diri sendiri terkait apa yang dikerjakan hari ini, apakah itu panggilan jiwa atau merupakan tuntutan ekonomi.” Setidaknya mahasiswa yang merupakan calon SKM memahami akar sekaligus salah satu tools pemberdayaan besutan Robert Chambers tersebut. Dan untuk aplikatifnya, mahasiswa tadi bisa berada di tengah masyarakat untuk mempraktikkan PRA dengan catatan ini membutuhkan waktu lebih lama dari misalnya mata kuliah PBL. Mungkin ini sulit, mengingat memasukkan sebuah mata kuliah yang sebenarnya jika mau jujur masih tergolong baru di perguruan tinggi, membutuhkan proses panjang, namun tidak menjadikan itu bukan sesuatu yang penting, bukan? Selain itu, menurut penulis, ada baiknya semua pihak yang tergabung dalam AIPTKMI meninjau kembali pandangannya terkait relevansi STR terhadap SKM itu sendiri. Ini juga penting, mengingat dengan urutan kemampuan yang

114



kemudian berujung pada sebuah kompetensi adalah sebuah kekejaman dan salah satu bentuk sesat fikir. Karena, jika akhirnya delapan kompetensi itu, dan tertuang dalam setiap ujian kompetensi untuk setiap calon SKM baru, dijadikan dasar untuk memperoleh STR, akhirnya tidak menjadikan delapan kompetensi tersebut menjadi sempurna seperti kompetensi yang dimiliki oleh rekan Nakes yang sudah lebih dahulu dibuat. Dan juga, dengan mengikuti ujian kompetensi, tidak menjadikan seorang calon nakes tadi menjadi berguna di masyarakat apalagi yang memiliki STR untuk SKM. Sedangkan untuk negara, menurut hemat penulis dibutuhkan sebuah upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak dalam menjalankan Program Indonesia Sehat mulai dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota. Karena dengan begitu akhirnya, baik Puskesmas maupun Poskesdes yang merupakan ujung tombak dari bentuk Program Indonesia Sehat menjadi paham, sehingga bisa pilar utama peningkatan pelayanan kesehatan di tingkat terendah di negara ini menjadi maksimal. Selain itu, perlu kiranya masing-masing Nakes kembali bertanya kepada diri sendiri terkait apa yang dikerjakan hari ini, apakah itu panggilan jiwa atau merupakan tuntutan ekonomi. Sehingga diharapkan mampu memilah peran dan tanggung jawab sebagai aparatur sipil negara yang sesuai dengan undang-undang dan atau sebagai bagian dari keluarga dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonomi. Dengan catatan, perlu kiranya membedakan antara pemenuhan kebutuhan atau pemuas-an hasrat berkeinginan. Akhir kata, tulisan ini bukan bertujuan untuk menghakimi berbagai pihak terutama semua pihak yang terlibat dalam berbagai bentuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Ini semata-mata berangkat dari pengalaman penulis di umur yang masih sangat muda ini ketika berinteraksi dengan berbagai orang, budaya, dan organisasi. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika tulisan ini merupakan bagian dari sekelumit kegelisahan penulis ketika berinteraksi dengan berbagai hal selama ini.


115

116



Kebangkitan Pemimpin Pelayan A. Zulkarnain

Pembahasan kepemimpinan seusia dengan manusia itu sendiri. Kepemimpinan selalu dibutuhkan untuk terciptanya ketertiban dan sebagai panutan yang mampu mengayomi dan melindungi serta mampu berdiplomasi dengan komunitas yang lain. Naluri untuk menghadirkan pemimpin bukan hanya ada pada komunitas manusia, tapi juga dimiliki oleh komunitas binatang, misalnya komunitas semut, lebah, dan sebagainya (Alfan Alfian, 2009: 46). Pemimpin pelayan menjadi pemimpin bukan karena keinginan internal dirinya, tapi keinginan eksternal yang memintanya. Pemimpin pelayan memperlihatkan kinerja pelayanan yang membuat orang lain kagum dan memutuskan untuk mendorong seseorang tersebut menjadi pemimpin. Pasca reformasi dan berlakunya sistem pemilihan langsung, kita menyaksikan lahirnya pemimpin pelayan di beberapa daerah. Mereka muncul dengan berbagai latar belakang, ada yang akademisi, tentara, aktivis, pengusaha, birokrat dan juga politisi. Kebangkitan pemimpin pelayan semakin terlihat dalam satu dekade belakangan ini dengan hadirnya Joko Widodo (Jokowi) yang berawal di Solo, Tri Rismaharini di Surabaya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Jakarta, Ridwan Kamil di Bandung, Nurdin Abdullah di Bantaeng, Abdullah Azwar Anas di Banyuwangi, Suyoto di Bojonegoro, Yoyok Riyo Sudibyo di Batang, Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, Dedi Mulyadi di Purwakarta, dan lainnya. Dari beberapa pemimpin tersebut, lima yang pertama akan diulas dalam tulisan ini.

117

Dari Pelayan Menjadi Pemimpin Sebagaimana yang dijelaskan oleh Spears, bahwa perbedaan mendasar antara model kepemimpinan pelayan dengan model kepemimpinan yang lain adalah keinginan untuk melayani ada sebelum adanya keinginan untuk memimpin, makanya mereka yang memiliki kualitas kepemimpinan akan menjadi pemimpin karena cara tersebutlah yang paling efektif untuk melayani. Jadi seseorang terpilih menjadi pemimpin karena diminta oleh pengikutnya (Pasolong, 2008:65). Kepemimpinan pelayan merupakan ciri yang menonjol dari Joko Widodo (Jokowi). Hal tersebut terlihat dari biografi politiknya yang berangkat dari ketua pengrajin mebel (Asmindo) dan Kadin Solo. Jabatan tersebut ia peroleh setelah lama memberi perhatian dan pelayanan kepada para pengrajin agar juga bisa menembus pasar Eropa sebagaimana yang telah dilaluinya. Pada saat momentum Pilkada Solo 2005, teman-temannya para pengrajin mebel yang ada di Asmindo serta Kadin mendorong Jokowi untuk ikut mencalonkan diri. Sejarah masuknya Ridwan Kamil dalam politik juga terkait aktivitasnya dalam melayani masyarakat. Ridwan sebelumnya dikenal oleh warga Bandung sebagai pekerja sosial yang juga berprofesi sebagai dosen di ITB. Walikota yang merupakan jebolan jurusan Urban Design di UCLA Berkeley ini telah banyak melahirkan karya, misalnya, museum tsunami di Aceh, dan mesjid super indah di pinggiran kota Bandung yang bernama Al Irsyad. Ridwan Kamil juga merupakan aktor penting pada gerakan anak muda Bandung, BCCF (Bandung Creatif Community Forum) serta gerakan Urban Green. Kisah Tri Rismaharini di Surabaya juga adalah kisah tentang pelayanan. Sebelum dipercaya menjadi pemimpin di Kota Surabaya, Risma terlihat oleh masyarakat sebagai birokrat yang konsisten melayani. Jabatannya sebagai kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya, maupun Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya digunakan betul untuk membuat terobosan terbaik. Jauh sebelum Ahok masuk dalam dunia politik. Ia dan keluarganya sudah dikenal sebagai keluarga yang dermawan di kampungnya, sang ayah yang biasa disapa dengan nama Kim Nam, pernah memberikan ilustrasi kepada Ahok. Jika seseorang ingin membagikan uang 1 milyar kepada rakyat masing-masing 500 ribu rupiah, maka uang tersebut hanya akan cukup dibagi untuk 2000 orang. Tetapi jika uang tersebut digunakan untuk berpolitik, bayangkan jumlah uang di APBD yang bisa dikuasai untuk kepentingan rakyat. APBD kabupaten Belitung

118



Timur saja mencapai 200 milyar pada tahun 2005. Analisis ayah Ahok tersebut memperlihatkan semangat melayani yang begitu tinggi sebagai spirit masuk dalam aktivitas politik. Nurdin Abdullah didatangi oleh warga untuk “dipaksa” maju pada pilkada langsung pertama di Bumi Bantaeng karena masyarakat merasakan kebaikan dan pelayanan Nurdin sebagai Guru Besar dari kampus terbesar di Indonesia timur, Unhas, serta kemampuan Nurdin memberikan manfaat kepada warga atas beberapa bisnis yang ia bangun di tanah kelahirannya.

“Para pemimp-

in pelayan tidak pernah mempersulit bawahan dan masyarakat dengan hal yang prosedural, selama itu tidak melanggar aturan.” Pemimpin pelayan menjadikan melayani sebagai visi hidup untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Para pemimpin pelayan tidak pernah mempersulit bawahan dan masyarakat dengan hal yang prosedural, selama itu tidak melanggar aturan. Mereka meyakini bahwa pelayanan kepada masyarakat harus dilakukan secepat mungkin. Mereka bisa ditemui dimanapun oleh bawahannya untuk minta tanda tangan, termasuk kadang di pinggir jalan. Jadi prinsipnya lebih cepat lebih baik. Memimpin Berarti Menderita Dalam pandangan Ahmad Zulkifli (2012:8), servant leadership memaknai kepemimpinan bukan merupakan posisi dimana seorang pemimpin duduk menikmati penghormatan, penghargaan, sanjungan dari umat atau bawahannya, tetapi suatu posisi di mana seseorang harus selalu siap untuk berada di posisi paling rendah dan paling belakang. Pemimpin yang melayani harus bersedia kehilangan ‘hidupnya’ ataupun hak-hak istimewanya demi tercapainya kesejahteraan hidup orang-orang yang dipimpinnya, dan bukan sebaliknya, justru mengambil hak-hak, atau memeras tenaga bawahannya demi kesejahteraan hidup sang pemimpin. Demi mendahulukan kebahagiaan masyarakat luas, pemimpin pelayan ini rela


119

mengambil risiko apapun. Risma pernah mau dilengserkan oleh pihak DPRD karena membuat Perda kenaikan tarif pajak reklame. Itu dilakukan untuk menata Kota Surabaya, dan menghentikan cap Surabaya sebagai hutan belantara iklan. Saat ia menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya, Risma juga pernah menerima ancaman akan dibunuh karena menerapkan sistem lelang online yang transparan, e-procurement, yang pertama kali di Indonesia. Saat Risma akan menutup lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, Dolly, ia juga menerima ancaman serius, sehingga Risma sebelum berangkat ke lokasi penertiban, pamit kepada kelurganya dengan mengatakan “Kalau saya mati ikhlaskanlah”. Ahok juga nyaris dilengserkan oleh politisi di Kebun Sirih karena membongkar dana siluman UPS yang ada dalam rancangan APBD yang dilakukan oleh oknum DPRD bekerja sama dengan oknum Pemprov. Jokowi saat menjadi Walikota Solo berani pasang badan untuk melindungi rakyat, bahkan akhirnya dikatakan walikota bodoh oleh atasannya, gubernur dan juga Ketua PDIP Jawa Tengah, Bibit Waluyo karena menolak pembangunan mall baru di Solo. Risiko sebagai pemimpin juga diterima oleh Nurdin. Ambulans yang diadakannya untuk melayani masyarakat Bantaeng dan sekitarnya, awalnya selalu dilempari batu oleh orang yang tidak dikenal. Sampai suatu waktu, masyarakat merasakan manfaat yang signifikan dari program tersebut, maka teror pun berakhir. Beberapa LSM di Bandung pernah melakukan upaya pemerasan dan bahkan ancaman pembunuhan kepada Ridwan Kamil. LSM tersebut selalu mencari-cari kesalahan pemerintahannya dan melaporkannya pada aparat penegak hukum jika tidak mau memberikan apa yang diminta. Ridwan juga berani berbeda pendapat dengan partai pengusungnya terkait polemik pilkada langsung atau pilkada melalui DPRD. Pemimpin Tak Berjarak Herry Tjahjono menilai bahwa kepemimpinan modern menuntut model kepemimpinan yang melayani, bukan kepemimpinan gaya feodal, dimana pemimpin adalah “raja” yang harus dilayani (Kompas, 10 Februari 2016:7). Pemimpin pelayan telah memberikan contoh kepada pemimpin yang lain bahwa seorang leader harus mampu hidup ditengah derita rakyatnya. Jokowi, Ahok, Risma, Ridwan dan Nurdin bersedia kehilangan banyak hak istimewanya, termasuk standar keamanan dirinya sebagai pejabat demi untuk mendengar langsung berbagai keluhan rakyat. Mereka mengerti bahwa sela-

120



ma ini, rakyat kecil begitu kesulitan untuk hanya sekedar berjabat tangan atau bisa berfoto dan curhat dengan pemimpinnya. Makanya ia tidak menggunakan standar pengawalan yang kaku agar rakyat bisa lebih dekat dengannya. Dengan sikapnya tersebut, maka rakyat melihat bahwa pemimpin tersebut bukanlah orang lain, tapi dia merupakan bagian dari dirinya. Olehnya itu, ketika para servant leadership tersebut turun ke masyarakat, mereka akan disambut dengan penuh suka cita. Mereka seperti artis ibu kota yang dikerumuni oleh para fans berat. Masyarakat tidak hanya menyampaikan aspirasi, tapi juga ada yang minta selfie, jabat tangan, minta didoakan, minta tanda tangan, dan lainnya.

“Di mobilnya selalu

disiapkan hadiah untuk kaum miskin yang ditemuinya, seperti beras, gula, buku, dan sebagainya. Mereka juga menghilangkan hambatan prosedural dan birokratis yang membatasi warga bertemu pemimpinnya.” Para pemimpin pelayan senantiasa mendatangi warga. Ia masuk di kantor hanya sebentar, sisanya dihabiskan di jalanan, pemukiman kumuh, terminal, pasar, dan titik kaum miskin yang lain. Di mobilnya selalu disiapkan hadiah untuk kaum miskin yang ditemuinya, seperti beras, gula, buku, dan sebagainya. Mereka juga menghilangkan hambatan prosedural dan birokratis yang membatasi warga bertemu pemimpinnya. Pelayan Berbicara Dengan Karya Demi memberi kepuasan maksimal kepada masyarakat yang telah memberikan mandat saat pemilu, para pemimpin pelayan tersebut berlomba menciptakan inovasi. Mereka menerapkan sistem lelang jabatan untuk mengaplikasikan prinsip the right man in the right place. Mereka melahirkan inovasi berbasis teknologi sebagai syarat utama sistem pelayanan publik di kotanya. Mereka berjuang mewujudkan smart city yang hampir semua urusan pelayanan publik bisa diakses menggunakan smartphone. Sistem ini dimaksudkan untuk meredam aksi pencaloan yang selama ini sering terjadi. Hal tersebut juga menciptakan efisiensi dan efektivitas yang tinggi, kalau harus datang ke kantor, akan ada ongkos bensin, makan, termasuk biaya nego-nego. Pengeluaran bisa membengkak kalau mas-


121

yarakat disuruh balik lagi karena urusannya tidak bisa diselesaikan hari itu juga. Selanjutnya, mereka juga menjalankan program e-budgeting agar akuntabilitas atas anggaran dapat terwujud. Pemimpin pelayan tersebut membentuk unit reaksi cepat untuk merespon keluhan-keluhan masyarakat, seperti jalan rusak, banjir, orang sakit, ibu hamil, dan lainnya. Ada yang membentuk Pasukan Orange, Pasukan Ungu, Brigade Siaga Bencana, Pasukan Kebersihan, dll. Atas perjuangannya melayani, mereka dianugerahi berbagai penghargaan lokal dan internasional. Jokowi pernah masuk dalam tiga besar walikota terbaik di dunia. Nurdin berhasil membawa Bantaeng meraih piala Adipura, enam tahun berturut-turut. Risma membawa Surabaya meraih Adipura tujuh kali secara beruntun dan juga masuk dalam nominasi World Mayor Prize. Adapun, Ridwan Kamil pernah dinobatkan sebagai salah satu walikota terbaik se-ASEAN. Pemimpin pelayan akan selalu diberi bahkan ditambah kekuasaannya oleh rakyat. Risma menang dengan angka 86% pada saat maju sebagai incumbent di pilkada Surabaya 2015. Nurdin Abdullah menang telak sebesar 83% sebagai kandidat petahana pada tahun 2014. Adapun Jokowi dalam waktu 9 tahun bisa menjadi politisi paling penting di negeri ini yang berkantor di Istana Negara, dimana sebelumnya, pada 2012 juga sempat diberi amanah oleh warga DKI Jakarta sebagai gubernur. Para pemimpin pelayan yang berpolitik dan hidup untuk melayani berhasil mengubah sesuatu yang bagi sebagian orang mustahil untuk diubah. Risma mampu mengubah imej Surabaya yang dulunya kurang sopan bahkan kasar, sekarang menjadi ramah dan sopan. Mengubah Surabaya yang jorok dan panas, menjadi Surabaya yang indah dan hijau. Nurdin mengubah imej Bantaeng yang miskin menjadi Singapura kecilnya Indonesia. Ahok secara perlahan mengubah imej Jakarta sebagai kota banjir dengan melakukan normalisasi sungai, serta menjawab masalah kemacetan dengan membangun Simpan Susun Semanggi, MRT, Jalan Layang Non Tol, dan pengembangan Transjakarta. Jokowi saat menjabat sebagai walikota berhasil mengubah Solo sebagai kota yang jorok dan hanya sebagai kota transit menuju Jogja menjadi kota baru yang tertata dan peduli budaya dengan slogan “the soul of Java”. Sebagai presiden, sejak 2015 pertama kali dalam sejarah, alokasi dana untuk daerah lebih besar daripada pusat. Jokowi mengubah arah pembangunan yang sudah berjalan puluhan tahun, dari Jawa sentris menjadi nusantara sentris.

122



Pilkada Langsung dan Pemimpin Pelayan Hadirnya pemimpin daerah yang melayani, tidak muncul secara sim salabim. Mereka adalah anak-anak reformasi. Gerakan yang meruntuhkan rezim Orde Baru yang sentralistik, menjadi sistem pemerintahan yang terdesentralisasi. Salah satu bentuknya adalah masyarakat daerah sendiri yang menentukan pemimpinnya melalui pilkada secara langsung, bukan lagi pemilihan di DPRD. Sistem ini telah menciptakan model baru dari elite vote menjadi populer vote. Arena permainan politik telah bergeser dari ruang tertutup ke ruang terbuka (Amiruddin&Ahmad Zaini Bisri, 2006:25). Pilkada langsung menuntut partai politik untuk menawarkan kader bermutu yang layak dijual dalam proses pilkada karena sistemnya pembeli yang langsung memilih sendiri barang yang dibutuhkan. Pilkada langsung mewajibkan semua calon untuk mampu menawarkan model pelayanan terbaik kepada masayarkat, seperti kesehatan gratis, pendidikan gratis dan kebutuhan strategis lainnya. Pilkada langsung dan hadirnya pintu calon independen telah membuka ruang kepada siapapun untuk dipilih dan memilih. Bagi figur yang memiliki track record cemerlang di masyarakat, tidak perlu mengeluarkan dana yang banyak untuk berkampanye, karena karyanya merupakan kampanye yang sangat menyentuh hati rakyat.

“Masyarakat tahu

bahwa jabatan sebagai bupati di salah satu daerah termiskin di Sul-Sel saat itu, tentu akan melelahkan.” Kisah Nurdin Abdullah yang didatangi langsung oleh warga Bantaeng, kerukunan keluarga Bantaeng, bahkan terakhir ulama juga datang dengan mengucapkan kalimat yang sangat berkesan bagi Nurdin, “Kami hadir ini semata-mata untuk menurunkan bapak dari kenikmatan”. Masyarakat tahu bahwa jabatan sebagai bupati di salah satu daerah termiskin di Sul-Sel saat itu, tentu akan melelahkan. Nurdin harus meninggalkan sebagian kenikmatan yang telah dirasakannya sebagai guru besar di kampus bergengsi, Unhas, serta pengusaha sukses di bidang agribisnis. Ahok diusung untuk maju lagi pada Pilkada DKI 2017 dengan kekuatan mas-


123

yarakat yang tergabung dalam “Teman Ahok”. Mereka berhasil mengumpulkan satu juta KTP sebagai tanda keseriusan agar Ahok bisa terus memberi pelayanan dengan kekuasaannya sebagai orang nomor satu di DKI. Begitupun dengan Risma dan Ridwan, didatangi oleh warga untuk diminta maju dalam pilkada di daerahnya. Mereka diusung karena kebaikan yang sudah diberikan saat melakoni jabatan atau profesi sebelumnya. *** Fenomena pelayan publik menjadi pemimpin publik, sejatinya bukanlah hal baru di negeri ini. Elit politik pertama negeri ini merupakan kumpulan para pelayan yang kemudian ditunjuk oleh rakyat untuk menjadi pemimpin. Soekarno menjadi presiden dengan terlebih dahulu melakukan pendidikan politik kepada rakyat. Soekarno mendirikan sekolah rakyat, organisasi perjuangan dan juga partai politik untuk mendorong kesadaran rakyat tentang pentingnya persatuan dan keberanian untuk bisa lepas dari penjajahan. Atas sikapnya tersebut, Soekarno muda melalui hidupnya dengan keluar masuk penjara. Kisah yang sama diperlihatkan pula oleh Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan lainnya. Elit awal negeri ini, mulai presiden, wakil presiden maupun menteri adalah orang-orang yang telah mempertaruhkan hidupnya demi derajat manusia yang tak lagi dihinakan dalam penjajahan yang berlangsung ratusan tahun lamanya. Mereka sejatinya telah memberi teladan bahwa memimpin itu menderita. Dan pada derita tersebut mereka menemukan kebahagiaan. Kebahagiaan sebagai pelayan rakyat.

124



Reproduksi Status Sosial Masyarakat di Sulawesi Selatan Rahmat Munawar

Masyarakat Bugis di masa lalu, berkelompok berdasar kekerabatan. Rumpun keluarga disebut anang atau appang yang dikepalai oleh seorang ulu anang. Seiring dengan perkembangan populasi, kira-kira abad ke-13, maka terjadi persaingan dalam menguasai sebuah wilayah. Sehingga terjadi konflik antar komunitas rumpun keluarga. Situasi seperti ini dikenal dengan istilah Sianre Bale yaitu saling memangsa laksana ikan. Siapa yang kuat, dia yang menang. Disebutkan dalam naskah lontara bahwa, setelah hilangnya generasi terakhir Ilagaligo yang memerintah, maka selama tujuh pariama terjadi Sianre Bale. Hingga kedatangan tokoh yang kelak disebut Tomanurung. Dari sekian puluh Tomanurung yang tersebar, tak satupun yang menyebut dirinya Tomanurung. Namun, kedatangannya pada situasi yang tak menentu tersebut, menjadi solusi untuk menciptakan ketentraman. Inilah yang menjadi awal pembentukan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Sehubungan masih sederhananya pemerintahan, sempitnya wilayah dan relatif kurangnya penduduk, maka stratifikasi pada saat itu masih sederhana. Yaitu golongan Arung atau penguasa, yang hanya beberapa orang, dan golongan to sama. Yaitu rakyat kebanyakan, yang tak lain masih kerabat dari kepala rumpun. Belum ditemukan adanya budak (ata) di awal pembentukan kerajaan tersebut.

125

Seiring dengan semakin matangnya pemerintahan dan perkembangan penduduk, maka dirasa perlu untuk melakukan perluasan wilayah. Sehingga pada kurun 1500-1600, banyak sekali perang kecil kecilan yang terjadi di Sulawesi Selatan. Hal ini menjadi cikal kerajaan kerajan besar yang kelak menjadi kabupaten. Perang, mengukuhkan kekuasaan pemenang. Sementara yang kalah, menjadi budak. Maka dimulailah fase perbudakan di Sulawesi Selatan dalam kurun waktu tersebut.

“... kawin mawin an-

tara penguasa dengan penguasa lainnya, penguasa dengan rakyatnya dan seterusnya, menyebabkan mulai rumitnya model stratifikasi sosial yang berlaku.” Komunitas atau kerajaan kecil yang dikalahkan oleh kerajaan lainnya, maka tanahnya direbut. Orang orangnya dijadikan budak turunan (ata ri mana) yang terwariskan oleh trah penguasa. Konsekwensinya adalah perubahan stratifikasi sosial dengan penambahan kelas “ata”. Selanjutnya, kawin mawin antara penguasa dengan penguasa lainnya, penguasa dengan rakyatnya dan seterusnya, menyebabkan mulai rumitnya model stratifikasi sosial yang berlaku. Secara umum terbagi tiga yaitu golongan Anakarung yang mereprestasi golongan penguasa, To Sama yang merepresentasi golongan kebanyakan, dan Ata yang merepresentasi golongan kalah perang. Pada periode periode berikutnya, seseorang yang bukan Ata dapat saja menjadi Ata karena utang atau persoalan ekonomi. Namun, beda dengan Ata ri mana, Ata yang disebabkan persoalan ekonomi hanya berlaku temporer dan bersyarat. Dalam arti, ia menjadi Ata hingga utangnya lunas. Para penguasa dahulu selalu membanggakan dirinya bila memiliki banyak Ata. Sebab kepemilikan Ata merupakan simbol prestise dan prestasi ekonomi. Kaum Arung di masa lalu memang seringkali berbisnis. Apalagi tidak semua anakarung beruntung menjabat sebuah jabatan di masa lalu. Ketika kapitalisme tradisional menguat di Sulawesi Selatan di awal abad 18-19, bahkan orang merdeka ditangkapi untuk dijadikan budak (ata). Dalam suksesi, diutamakan mereka yang masih berdarah murni. Untuk itu,

126



maka disusunlah model stratifikasi sosial yang lebih rumit. Golongan Anakarung sebagai kelompok yang berkompetisi, terbagi menjadi Sengngeng, Rajeng, dan Cera/Sawi . Tiap sub terbagi lagi dengan perhitungan yang sangat detail. Demikian pula untuk golongan To Sama. Sedang golongan Ata lebih sederhana sebab reproduksi status sangat kurang. Reproduksi Status Dalam sistem kekerabatan, orang Bugis mengenal sistem bilateral, yaitu pengakuan keluarga dari kedua belah pihak. Namun dalam sistem pewarisan, dikenal sistem patrineal. Hal ini tertuang dalam pernyataan “Ambo’E mappabbati” yang berarti ayah yang mewariskan. Lelaki dari Anakarung bebas menikahi perempuan dari kelas apa saja. Sebaliknya, perempuan dari golongan Anakarung tidak boleh dinikahi dari derajat yang lebih rendah. Selain itu, masyarakat di Sulawesi Selatan khususnya orang Bugis mengenal sistem Patron-Klien (Jowa-Ajjoareng). Umumnya didasarkan pada relasi aristokrat dengan anggota kliennya. Sistem ini memberi ruang pada aristokrat untuk membarui status sosial keturunan mereka. Sebaliknya juga memperkecil ruang pada klien untuk meningkatkan status sosial keturunannya. Anak yang lahir dari pasangan anakarung lebih diutamakan dari pasangan yang tidak sederajat. Anak yang lahir dari ibu seorang Ratu dan ayah seorang budak, apalagi budak orang lain, sama sekali tidak mendapat hak istimewa kaum aristokrat. Ratu yang menikahi budak disebut Nasoppa Tekkeng (tertusuk tongkat). Akan tetapi, dimasa kapitalisme tradisional abad ke-18 dimulai, muncul kelas menengah ekonomi baru. Mereka menguasai sektor-sektor ekonomi, namun sektor politik tetap dalam kekuasaan golongan anakarung. Kelas menengah ekonomi baru ini mencoba untuk mereproduksi status dengan meningkatkan status melalui menikahi anak penguasa. Hal ini adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin terjadi sebelumnya. Untuk memediasi hal tersebut, maka hukum adat ditambahkan. Si pelamar dikenakan Melli Dara atau membeli darah. Jalannya yaitu membayar Dui Menre alias Uang Panaik. Agar ia dapat menikahi dan duduk berdampingan di pelaminan dengan perempuan yang derajatnya lebih tinggi. Pengaruh modernisasi menyebabkan praktek sistem Patron-Klien berlaku terbatas. Di era demokrasi ini memberi ruang yang sama pada keturunan kaum aristokrat dan klien untuk berkompetisi membangun status sosial baru. Hal-hal


127

yang menjadi sarana terciptanya proses reproduksi status antara lain, pendidikan, jabatan, dan prestasi ekonomi. Banyak kelompok aristokrat di awal dan pertengahan abad ke-20 menginvestasikan masa depan anaknya melalui pendidikan. Hal ini tidak terlepas dari politik etis Belanda beberapa puluh tahun sebelumnya, yang salah satu poinnya adalah pendidikan. Bagi pemerintah kolonial, pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan tenaga kerja yang memadai. Bagi pribumi (yang didominasi aristokrat), pendidikan menjadi sarana untuk bisa berkarir dibidang pemerintahan, terutama pasca pasifikasi yang membubarkan kerajaan. Setelah kemerdekaan, pos birokrasi di era Orde Lama didominasi oleh para aristokrat. Kita bisa melihat bupati-bupati pertama yang ada di Indonesia. Hal senada dapat dilihat dijajaran birokrasinya. Terjadi proses reduplikasi posisi politis pada generasi berikutnya. Hingga saat ini, jabatan birokrasi mampu melekatkan status sosial baru pada orang yang bersangkutan. Senada pendapat diatas, mengutip Bourdieu (dalam Harker dkk,ed 2009) : “Kebudayaan kelompok dominanlah yang mengontrol sumber-sumber ekonomi, sosial, politik yang diwujudkan di sekolah-sekolah, dan perwujudan ini bekerja sebagai strategi reproduksi bagi kelompok dominan”. Beberapa kasus kaum aristokrat yang tidak menempuh pendidikan dengan baik, akhirnya tidak dapat mengisi pos birokrasi. Sehingga mereka mengandalkan reproduksi status sosial pada diri dan keturunan pada ranah adat belaka. Perlahan, seiring perubahan sistem sosial ekonomi, mereka mulai terpinggirkan oleh penguasa dan pemilik modal. Baik kaum aristokrat maupun kaum kebanyakan, nampaknya belum sah prestasi ekonominya jika belum menunaikan ibadah haji. Sehingga, terjadi reproduksi status sosial setelah melaksanakan ibadah haji. Secara simbolik ditandai dengan penggunaan songkok haji, panggilan puang haji, hingga pemosisian ditempat duduk terdepan pada resepsi pernikahan. Pada acara pernikahan, selain sebagai ibadah sosial, ia juga sarana untuk menunjukkan prestise sebuah keluarga. Melalui parade kekuatan ekonomi politik yang menjadi bagian dari reproduksi status sosial. Pasca kemerdekaan, orang mulai ramai melaksanakan ibadah haji. Tak seperti sebelumnya, ibadah haji adalah sesuatu yang sangat sakral, dan kadang tinggal bertahun tahun di tanah suci untuk belajar agama Islam. Setelah kemerdekaan,

128



ibadah haji mulai bergeser. Orang tidak lagi naik haji sambil belajar agama Islam. Akan tetapi lebih untuk membuktikan prestasi ekonomi. Oleh karena itu, banyak orang pulang dari ibadah haji justru semakin berani memamerkan perhiasan emasnya dan kurang memahami ajaran agama itu sendiri. Pelekatan sapaan “Puang Haji” , pemosisian terdepan dalam resepsi pernikahan, pengutamaan dimasyarakat, cenderung menjadi hasil dari ibadah haji yang dipentingkan dalam mereproduksi status sosial di masyarakat. Besarnya mahar, uang naik dan uang belanja menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga mempelai perempuan. Demikian halnya bagi keluarga mempelai pria, meski harus susah payah mengumpulkan uang untuk menyelesaikan urusan biaya pernikahannya, namun sangat manjur membangun pencitraan pada status sosial yang baru. Budaya Bugis sarat dengan simbol status sosial. Warna baju pengantin, gelang yang digunakan dan berbagai atribut lainnya menunjukkan status sosial si pemakai. Demikian juga perhiasan emas yang menunjukkan prestasi ekonomi si pemakai. Pernikahan pun menjadi ajang untuk “pengingatan kembali status sosial” atau “penunjukan status sebenarnya” atau malah “reproduksi status sosial baru”. Dicantumkannya “nama-nama keramat” pada undangan sebagai orang yang turut mengundang, kemegahan pesta pernikahan, hingga pemosisian tempat duduk diresepsi pernikahan menjadi simbol status sosial tertentu. Gelar Tradisional Ada beberapa gelar yang jamak digunakan di Sulawesi selatan. Pertama, Baso untuk lelaki dan Besse untuk perempuan. Baso dan Besse, pada satu konteks adalah sapaan orang tua pada anak lelaki dan perempuan bangsawan. Pada konteks lain, ia adalah gelar yang melekat pada bangsawan kelas satu. Bahkan beberapa raja dan ratu menggunakan gelar ini. Namun dalam perkembangannya, gelar ini menjadi jamak. Sementara persilangan bangsawan tinggi Bugis dan Makassar, digelari “Bauq”. Sebenarnya sama saja dengan Baso/Besse, yang membedakan hanyalah tercampurnya darah karaeng dan puang. Sementara untuk bangsawan menengah dan rendah, digunakan gelar Ambo dan Indo. Hal menarik yaitu Datu. Untuk Luwu, Datu adalah jabatan. Sementara untuk daerah lain macam Soppeng dan Wajo, Datu bisa berarti jabatan, bisa juga berarti gelar kebangsawanan tertinggi. Di Luwu, hanya yang menjabat sebagai raja


129

yaitu Datu Luwu saja yang disebut Datu, meski punya saudara yang seayah dan seibu yang lain. Untuk Soppeng dan Wajo, meski tidak menjabat, tetapi bersaudara seayah seibu dengan yang menjabat Datu, maka juga digelari Datu. Gelar termutakhir yang baru muncul abad ke-20 adalah Andi. Gelar ini pada mulanya lahir dari pemutakhiran gelar setelah makin jamaknya pengguna gelar sebelumnya, seperti Baso dan Besse. Sehingga berdasar kesepakatan raja-raja se Sulawesi Selatan, maka disepakatilah pemberian gelar Andi ini. Untuk itu dibentuk tim di masing masing kerajaan yang disebut komisi stanboom. Tugasnya, meneliti silsilah dan derajat kebangsawan seseorang sebelum diberi gelar Andi.

“Orang Bugis Makassar

selalu percaya bahwa merekalah yang terbaik. Tetapi benar bahwa nanti di masa penjajahan Belanda, tepatnya tahun 1920-an dimulai penggunaan gelar Andi.” Beberapa orang berpendapat bahwa gelar Andi diberikan oleh Belanda. Ada yang keliru dengan pendapat ini. Bahwa karakter orang Bugis Makassar sangat percaya diri, kalau bisa dikatakan sedikit arogan. Dalam arti bahwa, tidak merasa bangga bila digelari oleh bangsa lain. Orang Bugis Makassar selalu percaya bahwa merekalah yang terbaik. Tetapi benar bahwa nanti di masa penjajahan Belanda, tepatnya tahun 1920-an dimulai penggunaan gelar Andi. Hal ini tidak lepas dari rencana pemerintah kolonial untuk melakukan kerja paksa untuk pembangunan proyek fisik, dan menghindari pemberontakan para raja raja yang kemungkinan merasa tersinggung bila keluarga dekatnya dipekerjakan. Untuk itu dilakukan klasifikasi terhadap keluarga dekat kerajaan oleh Komisi Stanboom yang menerbitkan stanboom yang menjadi dasar seseorang bebas kerja paksa. Belakang hari, gelar Andi pun masih dirasa tidak cukup untuk menjadi pembeda antara bangsawan tinggi, menengah dan rendah. Maka, ditambahkan lagi seperti Andi Baso/Andi Besse, dan Andi Bauq Pengklasifikasian bangsawan oleh komisi stanboom ini tidak berjalan sukses sepenuhnya. Dalam arti bahwa, ada unsur politik yang menyebabkan sebuah keluarga berhasil mereproduksi status atau sebaliknya.

130



Ada person yang layak diberi gelar Andi, akan tetapi tidak melapor di komisi stanboom. Alasan tidak melapor adalah sebuah alasan kerendahan hati khas Bugis, yaitu toh semua orang tahu. Benar, orang tahu, tetapi cucunya kelak akan gagal mereproduksi status sebab kakeknya tidak memasang gelar Andi meski berhak. Alasan lain misalnya person bersangkutan adalah orang dalam istana. Sehingga merasa tidak perlu berurusan dengan komisi stanboom. Tinggal di Istana berarti tidak memiliki gelar, sebab hanya raja sajalah yang berhak untuk menyandang gelar tersebut. Walhasil, keturunan person tersebut tidak menyandang gelar Andi meski ia masih layak dan keluarga dekat sang raja. Keterlibatan pada organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan di era 30-40an membuat gagasan tentang egaliterianisme lebih diterima ketimbang simbol simbol status tradisional. Sehingga, person yang bersangkutan, larut dalam gagasan egaliterianisme dan kemerdekaan yang menafikan simbol status tersebut. Akibatnya bukan pada dirinya, sebab meski demikian, ia tetap menerima perlakuan sesuai statusnya dimasyarakat meski tanpa simbol status tersebut. Akan tetapi hal itu berdampak pada keturunannya yang tentu akan merasa berat bila baru mau memasang gelarnya. Sebaliknya, ada pula yang tidak berhak menyandang gelar Andi namun berusaha mereproduksi statusnya melalui gelar adat tersebut. Apalagi sudah tidak ada lagi Komisi Stanboom sebagai lembaga resmi yang mengesahkan gelar. Pada masa sekarang, mulai jamak fenomena dimana hanya dari garis ibu saja yang berhak menyandang gelar tetapi ayahnya bukan, tetapi tetap menggunakan gelar Andi. Toh tak ada lagi yang menegur. Ada fenomena yang lebih parah. Sebagian keturunan Ata yang dimerdekakan pada awal republik terbentuk dan sudah sejahtera, mengklaim leluhurnya bukan Ata. Bahkan mengklaim leluhurnya raja dan malah menggunakan gelar simbol adat. Hal inilah yang memicu kasus pencurian nenek. Sesuatu yang sulit dikategorikan, apakah tindakan kriminal atau bukan. Pencurian Nenek Untuk mencuri nenek orang lain, dibutuhkan modal yang cukup serta jaringan pada “oknum” penyusun silsilah. Dengan upah yang besar maka dibuatlah silsilah baru. Caranya adalah, misalnya raja A punya 4 orang anak. Oleh si pembuat silsilah, menyisipkan nama ayah atau leluhur sang “manusia sukses” tersebut se-


131

bagai anak kelima. Sehingga ia mengklaim nenek orang lain sebagai neneknya. Terjadilah kasus pencurian nenek. Orang yang telah meninggal, diklaim sebagai leluhur. Dengan demikian ia punya legitimasi untuk melekatkan simbol baru, yakni simbol kebangsawanan. Muncullah istilah “Andi Nappa Petta Toni” (=barusan andi,dapat gelar petta pula). Kasus lain misalnya, seseorang yang sebenarnya terlahir dari selir raja. Kemudian “diupayakan” agar ibunya bukan selir, tetapi permaisuri. Sehingga jumlah anak kandung seorang permaisuri bertambah tanpa disadari oleh yang melahirkan. Hal ini dilakukan agar pada keturunan ketiga (cucu) mereka bersepupu satu kali, bisa berderajat sama. Hal ini akan menjadi masalah di masyarakat ketika misalnya diadakan pengangkatan tokoh adat. Pewaris yang berhak bisa jadi termarginalkan karena kelemahan dalam penguasaan ekonomi politik. Sementara seolah-olah pewaris ~karena kekuatan ekonomi politik dan silsilah barunya~ bisa jadi mengambil posisi. Untuk konteks ini, lembaga adat dipandang pada sisi reproduksi status sosial.

“Pada gilirannya status

sosial yang direproduksi dapat digunakan untuk menghegemoni dan mendominasi masyarakat.” Kasus ini memberikan kita pandangan bahwa ternyata untuk konteks tertentu, simbol kebangsawanan “masih laku” dijual untuk meningkatkan status sosial seseorang. Apalagi jika kasusnya adalah keturunan penguasa secara tradisional pada daerah tertentu. Pada gilirannya status sosial yang direproduksi dapat digunakan untuk menghegemoni dan mendominasi masyarakat. Kesimpulan Meski tidak sedahsyat seratus tahun lalu, simbol sosial kebangsawanan tetap dipertahankan untuk mereproduksi status sosial. Walaupun dalam prakteknya ada yang menyimpang dari hukum adat itu sendiri dan sebagian ada yang tetap konsisten. Namun masih banyak orang yang bangga dengan simbol aristokrasinya seperti bentuk rumah, gelar kebangsawanan atau parade pernikahannya yang rumit. Sementara hal tersebut sadar atau tidak telah mereproduksi status sosial baru bagi orang yang bersangkutan.

132



Di era reformasi ini, baik keturunan aristokrat maupun bukan, sama-sama mampu melakukan reproduksi status sosial. Bisa jadi reproduksinya itu justru semakin menurun atau meningkat. Namun faktor utama yang mampu meningkatkan prestise seseorang sehingga status sosialnya juga meningkat adalah pendidikan, jabatan birokrasi dan prestasi ekonomi. Kebangsawanan tidak lagi menjadi faktor utama dalam proses reproduksi status sosial. Tapi, untuk beberapa konteks, ternyata kebangsawanan masih efektif dalam membangun citra diri. Sehingga wajar jika ada bangsawan (tinggi) mampu melakukan reproduksi status sosial karena miskin atau kurang terdidik. Atau bisa jadi karena tidak berkarir dibirokrasi atau malah kurang sejahtera. Sementara ada masyarakat menengah bawah yang mampu meningkatkan status sosialnya karena pendidikan yang layak dan prestasi ekonomi. Seperti “Petta Haji Baco” yang dulunya cuma dipanggil “La Baco”.


133

Ke-Islam-an & Ke-HMI-an

Konsep Tuhan Menurut Jalaluddin Rumi Muhammad Nur Jabir

Berbicara mengenai Tuhan apalagi berusaha menemukan dan membuktikan keberadaan Tuhan tak akan pernah sirna dalam sejarah pemikiran manusia. Pikiran setiap manusia, jika bukan setiap saat, minimal pernah disibukkan mengenai pertanyaan tentang Tuhan. Tak heran jika kaum filsuf selalu mengambil porsi yang besar dalam menjelaskan persoalan Tuhan. Kita akan temukan berbagai macam gagasan tentang Tuhan di antara para pemikir. Kata Plato, sangat sulit menemukan pencipta alam ini, bahkan meskipun kita mampu menemukannya, sulit menjelaskan karekteristiknya. Plotinus juga mengatakan hal yang sama, manusia tak memiliki konsep tentang-Nya dan juga tak memiliki pengetahuan mengenai-Nya. Immanuel Kant, Tuhan tak dapat dibuktikan dan juga tak dapat ditolak melalui akal. Toshihiko Izutsu dalam menjelaskan tentang Tuhan mengatakan, kita mesti membedakan antara persoalan hakikat Tuhan dengan nama-nama dan sfat-sifat Tuhan. Maksudnya saat kita mengatakan bahwa Tuhan tak dapat diketahui dan tak dapat dipahami, sebenarnya kita sedang berbicara pada maqam zat dan hakikat Ilahi. Oleh karena itu kita dapat memahami Tuhan diluar dari maqam zat yaitu pada maqam nama-nama dan sifat-sifat Ilahi. Maulana Jalaluddin Rumi juga memberikan pandangan atas persoalan tersebut. Apakah manusia mampu memahami Tuhan atau tidak dan jika manusia mampu

137

memahami, aspek manakah dari Tuhan yang mampu dipahami oleh manusia? Apakah pemikiran Maulana Rumi dalam menjelaskan hakikat Tuhan lebih cendrung kepada aspek tasybih atau tanzih, atau menggabungan diantara keduanya.

“Penjelasan Maulana

Rumi dalam beragam karyanya dapat terlihat bahwa Rumi menjelaskan tentang Tuhan dalam beragam pemaknaan.” Antara Negasi dan Afirmasi Adapun maksud dari negasi adalah dalam pemaknaan penafian sedangkan afirmasi adalah menetapkan. Maulana Rumi terkadang dalam penjelasannya menafikan akal dalam memahami Tuhan dan terkadang mengafirmasi keberadaan Tuhan dengan akal. Penjelasan Maulana Rumi dalam beragam karyanya dapat terlihat bahwa Rumi menjelaskan tentang Tuhan dalam beragam pemaknaan. Maulana Rumi juga meyakini bahwa akal tak mampu memahami zat Ilahi. Bahkan mengenai kebagaimanaan Tuhan beserta sifat-sifatnya juga tak bisa dipahami dengan akal. Apalagi Tuhan tak bisa dibandingkan dengan makhluk apapun dalam memahami diri-Nya. Misalnya dalam memahami sesuatu di alam ini, biasanya kita membandingkan antara satu makhluk dengan makhluk lainnya sehingga melalui perbandingan ini kita akan memahami sesuatu, contohnya dalam memahami cahaya dengan membandingkannya dengan gelap, kebahagiaan melalui kesedihan, atau kenikmatan melalui penderitaan. Dan oleh karena Maulana Rumi meyakini Tuhan sebagai hakikat eksistensi dan tak ada sesuatu apapun yang keluar dari diri-Nya, sehingga tak ada sesuatu apapun yang berhadap-hadapan dengan diri-Nya yang akan menjadikan diri-Nya sebagai objek pengetahuan. Kata Maulana Rumi: Siapakah yang mampu menjelaskan perbuatan Tuhan yang tak ada menyerupai-Nya Bahkan ungkapanku pun adalah sebuah keterpaksaan (Bait 311, buku pertama) Tuhan menciptakan sedih dan derita sehingga nampaklah lawannya; baha-

138



gia, Maka segala yang tersembunyi akan nampak melalui lawannya, Oleh karena Tuhan tak ada lawannya, Dia tetap tersembunyi, Jadi cahaya yang terlihat lebih dahulu, lalu warna, Kemudian lawan atas lawannya akan nampak, Jadi kau memahami cahaya melalui lawannya cahaya, Sesuatu akan terpahami melalui lawan dari sesuatu, Cahaya Ilahi di alam eksternal tak ada lawannya, Sehingga tak ada yang dapat membantu memahami-Nya. (Bait 1130-1134, buku pertama) Selanjutnya Maulana Rumi menjelaskan, siapa yang meyakini telah memahami zat Ilahi, sebenarnya ia telah tertipu. Ia telah tertipu oleh nama-nama dan sifat-sifat. Pikiran adalah ciptaan dan tentu ciptaan tak kan identik dengan Tuhan sehingga mencintai Tuhan seperti ini sebenarnya adalah cinta terhadap fakultas wahmi kita sendiri. Jadi kebanyakan orang yang mengaku memahami nama-nama dan sifat-sifat Ilahi sebenarnya berasal dari wahm mereka sendiri. Sebagai contoh YangMaha-MemberiRezeki (arrazzaq) dipahami sebagai Tuhan yang memberikan rezeki pada seseorang namun hanya terbatas pada rezeki yang kita indrai seperti makan, minum, pakaian, dan yang semacamnya, tapi jarang memaknai satu bentuk jenis rezeki yang bersifat spiritual dan batin. Contoh lainnya memaknai Arrahman dan Arrahim hanya terbatas pada kasih sayang yang ia konsepsikan saja yaitu berupa kesenangan-kesenangan dirinya, sementara nama-nama dan sifat-sifat Ilahi bermakna umum. Sebab itu maksud dari makrifat nama-nama dan sifat-sifat Ilahi ialah mengaktualkan makna-maknanya, bukan sekedar ucapan bahasa dan atau yang dipersepsi melalui benak. Kata Maulana Rumi: Jika ia menyangka telah mencintai zat Ilahi, Namun nama-nama dan sifat-sifat zat Ilahi, bukanlah sangkaan, Pikiran dan persangkaan adalah ciptaan Tuhan dan lahir dari benak kita, Sementara Tuhan tak dilahirkan, dan bukan kelahiran, Mereka yang mencintai gambaran yang ia lukis sendiri, Sebenarnya ia mencintai pikirannya sendiri, Lalu kapan bisanya para pecinta Ilahi memiliki ihsan? (Bait 2757-2759, Buku 1) Hal lainnya Rumi menjelaskan bahwa alam ciptaan memiliki dimensi sementara alam amr tak memiliki dimensi, pastinya Tuhan sebagai pencipta alam amr lebih

Keislaman & Ke-HMI-an

139

tak berdimensi. Tuhan pencipta akal dan akal terdimensi, tentu Tuhan lebih tak berdimensi. Kata Rumi: Tuan! Ketahuilah alam immateri tanpa dimensi, Sebab itu alam amr-Nya lebih tak berdimensi, Akal tak berdimensi, dan Tuhan Yang Mengajarkan Quran, lebih tak berdimensi, dan melampaui akal dan ruh, Tak ada satu penciptaan apapun yang tak bergantung pada-Nya, Namun Tuan, kebergantungan itu tak ada kuantitas dan kualitasnya, Karena jiwa tak terpisah dan tak tersambung, Sementara sangkaan kita, tanpa keterpisahan dan ketersambungan tak kan ada memperoleh sesuatu. (Bait 3693-3694, Buku 4) Kebergantungan wujud-wujud alam kepada Tuhan ialah tanpa dimensi akan tetapi persepsi kita yang disebut dengan akal partikular atau wahm bersandar kepada keterpisahan, ketersambungan, dan terikat kepada kualitas-kualitas dan kuantitas-kuantitas. Sebab itu antara akal partikular tak identik dengan wujud Ilahi dan berdasarkan hal ini akal tak mampu memahami zat Ilahi. Kata Rumi: Kau mencari dalil selain dalil keterpisah dan ketersambungan, dan kau pun menemukannya, namun tetap saja tak menghilangkan dahaga. Jika kau jauh dari inti, carilah akar perkaranya, Hingga urat keberanianmu sampai kepada derajat ketersambungan (washl) Bagaimana mungkin akal menangkap kebergantungan? Sebab akal bersandar kepada keterpisahan dan ketersambungan, Itu sebabnya Musthafa berwasiat kepada kita:”jangan bahas zat Tuhan”. (Bait 3697-3700, Buku 4) Dengan demikian Rasulullah saw melarang kita memikirkan mengenai zat Tuhan. Oleh karena memikirkan tentang zat Tuhan, sebenarnya bukan memikirkan tentang zat Tuhan akan tetapi hanya sangkaan saja yang tak berdasar. Karena bagaimana mungkin ia memikirkan tentang zat Tuhan sementara masih ada ribuan hijab antara Tuhan dengan diri-Nya. Maulana Rumi juga meyakini bahwa akal bukan hanya tak mampu memaha-

140



mi zat Tuhan, bahkan tak mampu memahami hakikat nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Misalnya sifat Rahmat Ilahi yang tak terbatas tak seharusnya membandingkan dengan kasih sayang yang dimiliki oleh manusia yang bercampur dengan kesedihan dan penderitaan. Maksudnya kasih sayang yang dimiliki oleh manusia diawali dengan kesedihan yang dirasakan di dalam hatinya, dan saat itulah kasih sayang akan muncul dari dalam hatinya sedangkan sifat Ilahi adalah sejati yang tak diawali dengan kesedihan. Sebab itu akal manusia tak kan mampu memahami hakikat sifat-sifat Ilahi dan dipahami dari-Nya hanya efek-efek dari sifat-sifat tersebut.

“Menurut Rumi

selayaknya manusia datang ke singgasana perbuatan Ilahi jika manusia ingin memahami-Nya.” Dari beberapa pemaparan sebelumnya dapat dipahami bahwa Rumi meyakini akal manusia tak mampu memahami hakikat zat Tuhan termasuk sifat-sifat Ilahi. Selanjutnya setelah maqam zat dan sifat Ilahi adalah maqam perbuatan dan pada maqam inilah manusia mampu memahami Ilahi. Menurut Rumi selayaknya manusia datang ke singgasana perbuatan Ilahi jika manusia ingin memahami-Nya. Dalam pandangan Maulana Rumi, Tuhan memiliki dua jenis efek (tanda): ciptaan dan kalam. Manusia bisa memahami Tuhan melalui kalam-Nya. Jika ingin dicontohkan, Tuhan seperti pikiran manusia dan bahasa seperti kalam-Nya. Selama pikiran masih tersimpan di dalam benak, tak kan ada yang mampu memahami maksud kita. Namun setelah pikiran menjelma ke dalam bentuk bahasa, orang lain akan memahami pikiran kita melalui bahasa. Dalam kitab Matsnawi kita akan banyak menemukan pemisalan atau analogi dalam menggambarkan hakikat Ilahi. Suatu bentuk penggambaran bahwa zat senantiasa tersembunyi namun efek-efek dari-Nya dapat dirasakan. Tuhan seperti angin dan makhluk-Nya seperti debu. Meski angin tak dapat disaksikan namun kita bisa melihat debu yang diterpa oleh angin. Tuhan seperti musim semi dan makhluk-makhluk-Nya seperti kebun, meskipun kebun senantiasa terlihat dan musim semi menghijaukan kebun-kebun akan tetapi musim semi tetap tak terlihat.


141

Kata Rumi: Ketahuilah, bentuk dan makna bagai semak belukar dan akar, Bagai tutur dan kalam yang berasal dari pikiran, Kalimat ini berserta tutur berasal dari pikiran, Namun kau tak tahu dimanakah letak lautan pikiran, Oleh karena kau menyaksikan dengan lembut gelombang kalimat-kalimat, Tentu kau akan lihat lautannya pun dengan lembut dan mulia, Seperti gelombang pikiran yang berasal dari pengetahuan, Tentu kalam dan bentuk suara pun berasal darinya, Dari kalam nampaklah bentuk, lalu kembali sirna, Gelombang datang menerpanya mengembalikannya ke lautan, kemudian tenggelam. (Bait 1136-1140, Buku 1)

Hal yang menarik dari bait tersebut terkait dengan makna lembut. Lembut atau dalam bahasa arab disebut dengan lathif adalah salah satu nama dari nama-nama Tuhan. Seperti apakah makna lathif yang diinginkan oleh Rumi? Maulana Rumi memaknai lathif dengan cahaya yang sangat terang benderang, panas yang tak terbatas, makna tanpa ada kata dan kalam, lautan yang tak bertepi, dan Raja dengan kekuasaan tak terbatas. Segala perumpaan yang disampaikan oleh Maulana Rumi terkait dengan makna lathif untuk menggambarkan bahwa manusia tak kan mungkin mampu memahami hakikat makna dari lathif. Kata Rumi: Pencarian demi pencarian telah meliputi dirinya, Hāl datang dan aku tak tahu bagaimana, jika kau tahu katakan! Ada kondisi dan perkataan yang melampaui keduanya, Tenggelam dalam keindahan zat zuljalal, Begitu tenggelam, hingga tak mungkin lagi ada keterpisahan, Sehingga tak ada yang bisa memahami-Nya kecuali lautan. (Bait 2211-2213, Buku 1) Siapa yang menyaksikan kekuasaan Ilahi, ia disematkan kepada Ilahi, Siapa yang menyaksikan lautan, ia adalah ikan. (Bait 3139, Buku 2) Sebenarnya letak persoalan mengapa manusia tak mampu memahami hakikat Tuhan, pada persoalan ketidakterbatasan Tuhan. Tuhan sebagai hakikat terbatas

142



tentu tak kan pernah dijangkau oleh manusia yang memiliki aspek keterbatasan. Oleh karena itu, mesti ada perantara antara Tuhan dengan manusia sehingga manusia dapat memahami-Nya. Perantara tersebut sebelumnya telah dijelaskan oleh Rumi yaitu efek-efek Tuhan atau perbuatan Ilahi. Perintah dan larangan (amr wa nahy) bisa juga dikatakan sebagai salah satu dari perantara yang dimaksud oleh Rumi. Perintah dan larangan yang dimaksud oleh Rumi sebagai perantara memahami Tuhan, bukan hanya aspek syariat, namun lebih umum dari hal tersebut yaitu meliputi seluruh aspek perintah Tuhan. Sebab itu Maulana Rumi dalam membuktikan Tuhan tidak menggunakan argumentasi rasional sebab bagi Rumi Tuhan adalah wujud yang tetap dan azali sebab itu tak lagi butuh pembuktian rasional. Dan oleh karenanya manusialah yang mesti menaikkan maqamnya dan membuktikan dirinya disisi Tuhan. Kata Rumi: Bagaimanakah cara memperoleh tauhid? Membakar diri dan mensirnakan diri di sisi Tuhan yang absolut dan tunggal, Jika engkau menginginkan bagai siang yang terang benderang, Bakarlah eksistensimu yang seperti malam gelap gulita. (Bait 3009-3010, Buku 1) Berdasarkan definisi tentang syariat yang dijelaskan oleh Maulana Rumi, maka hadits Rasulullah saw, “Katakanlah tiada Tuhan selain Allah maka engkau akan menang” adalah perintah Ilahi dan termasuk amr wa nahy Ilahi. Tentu hadits tersebut terkait dengan aspek keyakinan dan akidah akan tetapi jika manusia mampu mengamalkan perintah tersebut, Tuhan akan menghampirinya dan ia akan diberikan pengalaman tentang kebertuhanan. Maulana Rumi dalam mengurai “La ilaha illallah” menggunakan pendekatan ‘aku dan kita’. Tahap “La” adalah tahap ‘aku dan kita’. Mereka yang masih berada ditahap “La” berarti masih berada dalam tahap ‘aku dan kita’ dan pada tahapan ini ke-aku-an masih aktual dalam diri kita. Maulana Rumi menyebut tahapan “La” yaitu ‘aku dan kita’ sebagai tahapan ketiadaan. Jika manusia berhasil keluar dari maqam “La” sebagai maqam ‘aku dan kita’ berarti manusia mampu keluar dari ketiadaan dirinya sehingga terkoneksi dengan hakikat eksistensi yaitu “illallah”. Pada saat inilah manusia sampai pada maqam fana yang menyaksikan segalanya sirna kecuali Tuhan dan pengalaman bersama Tuhan akan menjadikannya menjadi keabadian yang nyata.


143

Kata Rumi: Siapa yang fana di dalam zat Kami, hukuman “Kullu Syaiin Halikun” tak kan diberikan padanya, Karena ia berada di maqam ‘Illa’ dan telah melewati maqam ‘La’, siapa saja yang telah berada di maqam ‘Illa’, ia tak kan sirna, Siapa yang sampai di singgasana Ilahi, namun terperangkap pada ‘aku dan kita’, ia akan tertolak dan dalam ketiadaan. (Bait 3053-3050, Buku 1) Kehadiran Tuhan sebagai Fitrah Tuhan dalam pandangan Rumi adalah Tuhan yang ditemukan di dalam diri, bukan Tuhan yang dikonsepkan. Kata Rumi dalam syair sebelumnya, konsep berada di dalam pikiran dan pikiran adalah ciptaan kita. Sebab itu Tuhan bukan hal yang dipikirkan tapi Tuhan mesti ditemukan dan dirasakan. Meskipun sejak dahulu hingga saat ini Tuhan telah hadir di dalam diri kita namun kedekatan kita pada keindahan dunia membuat jiwa kita terhalangi dalam merasakan Tuhan. Dia hanya hadir sesekali dalam pikiran dengan rumusan-rumusan indah yang kita bangun sendiri melalui argumentasi-argumentasi, namun kita belum bisa memaknai kehadiran Tuhan di dalam diri kita.

“... konsekwensi makrifat

adalah memberikan pengaruh secara langsung ke dalam diri manusia. Dan oleh karena Tuhan adalah kesempurnaan dan kebaikan absolut, maka pengaruh yang akan diperoleh oleh manusia pun adalah kebaikan dan kesempurnaan.” Bukankah Tuhan yang kita inginkan adalah Tuhan yang mampu memberikan pengaruh ke dalam diri kita? Sebab jika Tuhan belum memberikan pengaruh ke dalam diri kita sebenarnya kita belum makrifat kepada Ilahi. Jadi konsekwensi makrifat adalah memberikan pengaruh secara langsung ke dalam diri manusia. Dan oleh karena Tuhan adalah kesempurnaan dan kebaikan absolut, maka pengaruh yang akan diperoleh oleh manusia pun adalah kebaikan dan kesempurnaan.

144



Berdasarkan hal tersebut Maulana Rumi meyakini bahwa keyakinan manusia terhadap Ilahi bersifat fitrawi yang bermakna telah ada di dalam kita bersamaan dengan penciptaan manusia. Inilah makna dan Aku tiupkan Ruh-Ku padanya yaitu terkait dengan fitrah manusia. Melalui fitrah tersebut manusia senantiasa mengingat dan rindu kembali ke tempat asalnya yaitu tempat primordial manusia ialah disisi Tuhan. Disanalah manusia bertemu dan bersialog dengan Tuhan, “bukankah Aku Tuhanmu. Benar, Engkaulah Tuhan kami”. Bait pertama Matsnawi dimulai dengan kisah kerinduan seruling ke tempat asalnya karena telah terpisah dari rumpun bambunya. Pesan yang ingin disampaikan oleh Rumi bahwa manusia, siapa pun itu, mesti memiliki jeritan hati karena telah terpisah dari singgasana eksistensinya yang paling batin. Namun suara mesin produksi massal begitu keras hingga kita tak lagi mampu mendengar jeritan batin kita yang paling dalam. Bagaimana mungkin hati yang merasa tahu, tak tahu bahwa setiap yang bergerak ada penggeraknya! Mengapa tak kau katakan siang dan malam, datang dan pergi silih berganti dengan sendirinya tanpa keinginan Tuhan! Wahai manusia lemah! Jika kau mencari rasionalitas, perhatikanlah aspek irrasional dalam dirimu, Wahai manusia yang kurang seni! Coba katakan, apakah bangunan yang ada tukang bangunannya yang lebih rasional daripada tanpa tukang bangunan? Duh Nak ... coba pikirkan! Apakah tulisan tanpa penulis yang lebih masuk akal atau tanpa penulis? Nak perhatikanlah, telinga seperti huruf ‫ ح‬dan mata seperti huruf ‫ ع‬dan mulut seperti huruf ‫ م‬, apakah mungkin tanpa pencipta? Apakah nyala lilin tanpa ada yang menyalakan akan menyala atau mesti ada yang menyalakan? Apakah karya lukisan yang indah bisa dihasilkan dari pelukis yang tanpa tangan dan buta? (Bait 364-371, Buku 6)


145

HMI, Deradikalisasi, dan Kontra-Terorisme Mawardin

Dunia Islam berharap besar kepada Indonesia di tengah menguatnya tren terorisme global atas dasar justifikasi agama, bersahutan dengan faktor-faktor korelatif perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional. Secara akademik, terorisme agama (religious terrorism), dipandang sebagai terorisme berdasarkan ideologi agama dengan menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak atau cara pikir golongan tertentu. Selain itu, ada karakteristik terorisme negara, terorisme separatis etno-nasionalis, terorisme revolusioner kiri, terorisme kera putih dan lain-lain. Dalam konteks itu, Hoffman (1998) menyatakan bahwa “the religious imperative for terrorism is the most important characteristic of terrorist activity today”. Sebut saja Islamic State of Iraq & Syria (ISIS) yang berdiri pada tahun 2013, kemudian menjadi Islamc State (IS) pada tahun 2014 (tulisan ini digunakan istilah ISIS yang terlanjur popular), adalah kelompok radikal Islam (sunni) trans-nasional yang tumbuh berkembang di atas landasan Wahabisme ultra puritan, dan berhaluan politik geras keras. Semangat radikalisme Islam trans-nasional tercermin pada ideologi politiknya yang bercita-cita mendirikan imperium kekhalifahan global secara ekstrem dan eksklusif. Secara keji(waan), kelompok ini selalu merasa diri paling benar, memandang orang lain salah, dan thaghut. Perilaku ISIS mengingatkan kita pada zaman Islam klasik, sekelompok Khawarij yang suka mengkafir-kafirkan (takfiri).

147

Atas landasan itu, maka kelompok apapun yang berada di luar golongan ISIS, sekalipun itu berpaham Sunni, lebih-lebih Syi’ah, apalagi yang memang tersertifikasi “kafir”, layak diganyangi. Tak pelak, khotbah takfiri berkumandang keras di mana-mana, warisan suci umat muslim pun dibumihanguskan oleh ISIS yang “buta” kebudayaan, hingga mewujud banalitas teror yang telah memakan korban jiwa dan harta benda. Bukan hanya Timur Tengah (terutama Irak dan Suriah), tapi juga menjalar ke pelbagai negara. Hal inilah yang diperingati oleh Buya Syafii Maarif, bahwa radikalisme merupakan satu langkah menuju terorisme. ISIS sebagai kekuatan non-negara (non-state actor) yang menakutkan tatapan ideologisnya, berbahasa (politik) radikal pro kekerasan, bergelimang teror, inilah yang disebut sebagai kelompok radikalisme-terorisme.

“Kelompok kekerasan

atas nama agama memang semacam duri dalam daging, atau hama yang merusak taman kerukunan antar beragama.” Kelompok kekerasan atas nama agama memang semacam duri dalam daging, atau hama yang merusak taman kerukunan antar beragama. Hampir semua agama punya kelompok sempalan yang radikal dan berbuat teror. Di kalangan penganut agama Yahudi sekitar abad pertama misalnya, ada kelompok Zealot yang menentang siapapun yang tak searus dengannya, sekalipun itu Yahudi, apalagi kerajaan Romawi yang memang menjadi musuh utamanya. Di era politik Yahudi kontemporer, ada Dewan Yesha, yang kerap berbuat onar di Tepi Barat wilayah Pestina dan di Yerusalem Timur. Juga Zionis-Yahudi yang seringkali menyiksa warga sipil Palestina. Di kalangan Kristen dikenal GIDI (Gereja Injili Di Indonesia), sebuah sekte Kristen radikal yang berperilaku intoleran tidak hanya kepada penganut agama lain (misalnya terlibat dalam Insiden Tolikara 2015) tapi juga sesama Kristen yang tidak sealiran. Di Amerika Serikat, ada kelompok Hutaree, “tentara Kristen”, yang selalu mengebom polisi dan melawan pemerintah Amerika Serikat. Di komunitas Hindu, ada Sikh yang berlumuran darah di India, sampai terorisme sekte Aum Shinrikyo di Jepang. Memang jumlah radikalis-teroris tidaklah sebanding dengan kelompok moderat-inklusif yang menjadi arus utama dalam pelbagai institusi agama, tapi keberadaan mereka sangat merepotkan. Karena itu perlu diatasi bersama oleh para elite lintas agama agar tidak menambah beban nasional. Memperhatikan anakanak bangsa yang ‘melamar’ ISIS misalnya, nampak tak semata dorongan agama,

148



bisa jadi karena faktor ekonomi, hasrat petualangan dan frustrasi berkepanjangan atas “kuburan” keadilan. Sebagian warga negara Indonesia yang terpikat dengan “produk” ISIS, yang dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan global dimasukkan dalam kotak itu. Apalagi dirangkai dengan isu-isu konflik Israel-Palestina, hegemoni budaya barat yang ekspansif dan kesenjangan ekonomi-politik yang membuat negara-negara berbasis muslim terpojok. Kendati memang tak bisa dipungkiri adanya realitas ketidakadilan global seperti itu, tapi tak berati kemudian disambut dengan bahasa kekerasan yang ngawur. Betapa tidak, keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi terganggu gara-gara kebrutalan ISISer. Korban yang berjatuhan pun sudah melebihi takaran akibat teror bom yang profanistik. Islam mengajarkan jihad untuk melawan hawa nafsu, bukan memuaskan nafsu teror dan kekerasan (qital). Mestinya jihad diarahkan secara konstruktif, melalui aktivitas sosial, ekonomi, pendidikan dan pemberdayaan umat, bukan secara destruktif dengan membunuh orang-orang tak berdosa secara ekstrem, apalagi kalau digiring ke sentimen SARA yang membuat keharmonisan antar umat beragama mengalami ketegangan tersembunyi. Dalam konteks itulah pesan Cak Munir sangat relevan dengan gejala ekstremitas kekinian (Islamlib.com, 13/09/2004) yang mengatakan, “Saya sepakat kalau Islam menjadi energi bagi kaum tertindas untuk melawan penindasan, tapi bukan dalam bentuk perang melawan agama tertentu. Misalnya saja, relasi kita menjadi miskin bukan karena ada Kristen, tapi lebih karena ada kekuasaan modal, struktur, dan lain-lain. Saya kira agama bisa menjadi energi bagi orang-orang yang melawan penindasan. Namun, perlu dicatat agama tidak lantas jadi alat manipulasi kekuasaan untuk menghantam lawan-lawan dengan simbol yang meneriakkan slogan kafir, murtad, atau yang lain”. Benar bahwa kelompok radikalis tidak sampai memenuhi “parliamentary threshold”, minus dukungan, tapi kekuatan propaganda opini, kemampuan teror, keluasan jaringan internasional dan “dana revolusi” yang besar sungguh mengancam stabilitas nasional di Indonesia. Terlebih kampanye ISIS yang beraroma perang suci telah menarik konstituen militan asal Indonesia. Seolah lihai mencium aroma pasar, ISIS pun menuai simpati lewat term jihad dan kekhalifahan Islam yang menarik para “jihaders”. Mistifikasi terhadap sosok Abu Bakar Al-Baghdadi yang dipandang sebagai “khalifah”, “juru selamat” guna mengakhiri prahara zaman melengkapi gaya marketing ala ISIS dalam lonceng perang metafisika. Kini, ISIS yang berkibar di bawah bendera panji-panji hitam dengan segala sel-


149

sel jaringannya telah menabuh genderang perang terhadap Indonesia. Sebagai bangsa berbasis muslim terbesar di dunia yang berhaluan moderat, Indonesia punya modalitas untuk menengahi arus pemikiran radikalisme yang meragakan terorisme. Secara hukum, dalam Perpu No. 15 tahun 2003 (pasal 6) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, disebutkan bahwa terorisme adalah tindakan seseorang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas internasional. Itu artinya, bahwa siapapun dia, apapun agama dan asal-usul suku dan bangsanya, darimana pun latar belakang organisasi dan komunitasnya, selama terpenuhi unsur-unsur terorisme sesuai landasan konstitutif, maka harus ditindak secara tegas melalui penegakan hukum. Dan tentu saja negara harus mengedepankan prinsip-prinsip indiskriminasi, independensi dan koordinatif dalam ruang demokrasi berbasis partisipasi publik. Juga tak ada tendensi dan pretensi untuk mendiskreditkan agama, suku dan kelompok-kelompok tertentu. Sasaran target aksi terorisme juga tak mengenal kategorisasi (calon) korban. Dan siapa pun yang tak seirama dengan kelompok irhabis (teroris), maka akan dihancurkan. Pokoknya semua dihantam, disapu-rata. Entah itu muslim maupun non-muslim, WNI dan bule, laki dan perempuan, kaum proletar dan borjuis, elite dan rakyat, jomblo maupun mantan-jomblo. Maka derita ancaman manakah yang kamu dustakan? Ini fakta terang benderang, bukan gosip remang-remang. Tak ada kamus hukum dan konstitusi di otak para takfiri-teroris, seperti dikatakan Brian McNair (1999), menyitir Junaedi (2013) bahwa teror adalah sebuah bentuk komunikasi politik, yang dilakukan di luar prosedur konstitusional. Para teroris mencari publisitas untuk membawa tujuan psikologis mereka. Para teroris menggunakan kekerasan untuk menghasilkan berbagai efek psikologis seperti demoralisasi musuh, mendemonstrasikan kekuatan gerakan mereka, mendapatkan simpati publik dan menciptakan ketakutan dan chaos. Untuk mencapai tujuan ini, para teroris harus mempublikasikan aksi mereka. Karena itu, ulah kelompok teroris yang kelebihan “hormon” jahilin (orang-orang jahil), tak cocok jadi penyampai risalah langitan (agama rahmatan lil ‘alamin). Alih-alih mendapat antusiasme penduduk bumi dan menggugah massa yang didakwahi, malah berbuah sindiran dan kutukan. Coba tataplah secara objektif, kelompok teror berkedok agama terus memperluas ceruk pasar, tak hanya men-

150



yasar simbol-simbol barat “kafir”, tapi mulai meneror bangunan kharismatik di Madinah (di sekitar lokasi Masjid Nabawi), Jeddah dan Qatif, bertepatan jelang idul fitri juli 2016. ISIS yang disebut sebagai pelaku serangan bom yang menyambar negeri petro dollar memang lebay amat sangat, melampaui batas. Serangan bom ISIS menyasar pula Istanbul, Ankara, Bursa dan kota-kota lainnya di Turki. Negeri bekas imperium Usman itu memang amat tersengat beberapa tahun terakhir karena ancaman yang serba kompleks, dibebani juga oleh rongrongan kelompok radikalis-separatis Kurdi. Jejak kudeta yang gagal atas kepemimpinan Presiden Turki Erdogan medio juli 2016 kian menambah sengatan politik Turki setelah “kenyang” dengan luapan bom ISIS. Ekspansi teror kelompok radikal-ekstrem sempalan Al-Qaeda itu terus meluas sampai ke Baghdad (Irak), Dhaka (Bangladesh) hingga melirik Zamrud Khatulistiwa. Indonesia pun tiba gilirannya menjadi “tumbal” globalisasi kekerasan yang dilancarkan oleh jejaring teror ISIS. Anak-anak bangsa juga tak sedikit yang terseret arus gelombang “ideologi maut”, menyerahkan jiwa dan raganya untuk ritual bom bunuh diri akibat terpapar gombalisasi bidadari yang sebenarnya cacat syar’i. Mulai dari ibukota negara Republik Indonesia Jakarta, 14 Januari 2016, aksi bom bunuh diri mengguncang kawasan Gedung Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat. “Malapetaka 14 Januari” buatan ISIS tentu memakan korban nyawa dan materil. Surabaya pada awal bulan ramadhan, Juni 2016 nyaris pula disambar bom. Kendati gagal, dan pelakunya ditangkap Densus 88 Anti-Teror, tapi kepanikan warga Kota Pahlawan itu sangat mencekam. Kemudian, jelang akhir bulan ramadhan (Selasa, 5 Juli 2016) aksi bom diri terjadi di Mapolres Solo – Jawa Tengah. Aksi teror bom itu menunjukkan bahwa ancaman terorisme seolah tiada akhir, terlebih bergabungnya sejumlah pentolan radikalis berkewarganegaraan Indonesia ke ISIS. Kendati “loyalis” ISIS Indonesia seperti Santoso alias Abu Wardah tewas dalam baku tembak dengan Satgas Tinombala (Senin, 18/7/2016) di Poso, Sulawesi Tengah, bukan berarti gerakan radikalisme-terorisme ikut memudar. Persoalan pokoknya adalah ideologi radikalisme yang menjasad terorisme, tentu akan terus “hidup” dan mengalami regenerasi. Tokoh muda ISIS asal Indonesia Bahrun Naim, yang diduga kuat sebagai arsitek bom Thamrin Jakarta sampai bom Solo jelang ‘idul fitri juli 2016 masih bermanuver di Suriah. Tak menutup kemungkinan aksi-aksi kelompok radikal yang tercerabut secara kultur dari “akar” nusantara itu akan merusak tatanan kebangsaan Indonesia ke depannya. Karena itu, strategi pencegahan pada aspek deradikalisasi maupun kontra radikalisme-terorisme perlu dilakukan secara massif, sistematis dan berkesinambungan.


151

Pencegahan terorisme melalui pendekatan keras (hard approach) seperti penegakan hukum, operasi intelijen dan kemiliteran memang perlu, tapi tak selalu, apalagi terlalu. Hal itu dibutuhkan manakala situasi terjepit di lapangan yang membutuhkan kecepatan aparat keamanan guna menghalau serangan kelompok teror, dan mencegah jatuhnya korban. Yang utama adalah pendekatan lunak (soft approach) melalui program deradikalisasi, penguatan sosial kultural, gerakan ekonomi dan pencerahan masyarakat agar “sianida” terorisme tidak meracuni otak khalayak ramai. Dan kedua pendekatan baik keras maupun lunak mesti berjalan secara simultan, dan menghormati asas-asas HAM, demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan. Tentu kita berharap besar kepada kelompok teroris yang sedang bergerilya menantang negara, meneror publik, agar kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Tak ada lagi baku tembak yang penuh bercak-bercak darah dan saling mencabut nyawa secara murahan. Kendati hal itu memang tak gampang. Itulah mengapa deradikalisasi itu penting, plus kontra-radikalisme terorisme. Sebagai sebuah konsep, deradikalisasi sudah tepat, walau ada juga sebagian pihak yang membully. Mungkin saja akibat ketidakpahaman akhirnya pembully jadi kesasar dan salah alamat, bercampur prasangka, lalu deradikalisasi dituding sebagai pendangkalan agama, proyek asing dan serba-serbi teori konspirasi lainnya. Padahal deradikalisasi itu dalam rangka membangun moderasi paham keagamaan agar tercipta cita rasa perdamaian.

“... kontra-radikalisme ditujukan

kepada kelompok pendukung, simpatisan dan masyarakat yang agar tidak terpengaruh dan terpapar hasutan kelompok radikal yang melegitimasi cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuannya.” Sasaran objek deradikalisasi itu diutamakan kepada mereka yang sudah terbius paham radikal-ekstrem pro kekerasan, seperti narapidana terorisme, keluarga dan sel-sel jaringannya, termasuk ratusan orang yang telah dideportasi dari negara-negara di Timur Tengah saat “migrasi jihad” ke Suriah. Sementara itu, kontra-radikalisme ditujukan kepada kelompok pendukung, simpatisan dan masyarakat yang agar tidak terpengaruh dan terpapar hasutan kelompok radikal yang melegitimasi cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuannya. Jadi, tak ada unsur pengeroposan lembaga keagamaan. Yang ada justru proyek bersama untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari terorisme. Demi keamanan kita bersa-

152



ma, sekaligus meluruskan kekeliruan berpikir anak-anak bangsa yang menempuh jalan teror yang justru kontra-produktif bagi pembangunan umat dan bangsa. Deradikalisasi secara bahasa berasal dari kata ”radikal” yang mendapat imbuhan ”de” dan akhiran ”sasi”. Kata deradikalisasi di ambil dari istilah bahasa Inggris “deradicalization” dengan kata dasarnya radical. Radikal sendiri berasal dari kata ”radix” dalam bahasa Latin artinya ”akar”. Maka yang dimaksud ”deradikalisasi” adalah sebuah langkah untuk merubah sikap dan cara pandang yang dianggap keras menjadi lunak, toleran, pluralis, moderat dan liberal. Deradikalisasi adalah segala upaya untuk menetralisir paham-paham radikal melalui pendekatan interdisipliner, seperti hukum, psikologi, agama, dan sosial-budaya bagi mereka yang dipengaruhi atau terekspose paham radikal dan/atau pro-kekerasan. Deradikalisasi terorisme diwujudkan dengan program reorientasi motivasi, re-edukasi, resosialisasi, serta mengupayakan kesejahteraan sosial dan kesetaraan dengan masyarakat lain bagi mereka yang pernah terlibat terorisme maupun bagi simpatisan, sehingga timbul rasa nasionalisme dan mau berpartisipasi dengan baik sebagai warga negara Indonesia. (lazuardi biru). Dalam konteks itulah, Ormas Islam, organisasi pergerakan mahasiswa, pemuda dan siapapun yang mau berpartisipasi dalam proyeksi kontra teror mesti turun gunung mengatasi carut marut persoalan terorisme. Lagi pula, aktor-aktor deradikalisasi memang lebih tepat dilaksanakan oleh kaum cendekiawan muslim dan kaum nasionalis yang terbiasa dengan iklim dialogis, keterbukaan dan penetrasi pemikiran. Dengan begitu, otak terorisme yang mengendap di kepalanya dapat dimusnahkan. Jauh sebelum ISIS naik daun di puncak teror global, Benazir Bhutto (2008) sudah mengungkapkan kegelisahan intelektualnya, bahwa Al-Qaeda dan Osama Bin Laden bukan saja membajak pesawat tetapi membajak agama Islam. Saat ini, ISIS lebih parah lagi ketimbang Al-Qaeda yang merupakan induknya, tak hanya membajak Islam tapi juga membajak nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban. Karena itu, motif dibelakangnya perlu dipelajari, lalu dinetralisir, terutama mencegah sedini mungkin melalui percikan-percikan intelektual, agar jangan sampai anak-anak bangsa terpukau dengan pemikiran radikal ISIS secara ejakulatif. Mengalahkan argumentasi pro kekerasan para teroris sangat selaras dengan semangat yang digelorakan oleh Hamoud al-Hittar - pelopor Komite untuk Dialog (Committee for Dialogue) Yaman bahwa “Jika anda mempelajari terorisme di dunia, Anda akan melihat bahwa ada teori intelektual di belakangnya. Dan segala bentuk ide intelektual juga bisa dikalahkan oleh intelektual”.


153

Berkarakter Islam Nusantara Daya kognisi dan kreasi kultural di bumi nusantara tak diragukan lagi kedigdayaannya menghalau cuaca kekerasan global. Apa yang disebut sebagai Islam ber-genre Nusantara sangat relevan di tengah transnasionalisasi gerakan Islam radikal yang mengancam masa depan republik kita. Konsep Islam Nusantara menjadi diskursus yang menarik karena dapat menjadi alternatif untuk menyukseskan program deradikalisasi. Memang terjadi polemik di kalangan aktivis Islam, lantaran diskursus Islam Nusantara dianggap oleh sebagian pihak sebagai “pendangkalan” makna Islam. Mungkin saja karena soal cover saja, yakni kata “nusantara”. Padahal Islam Nusantara adalah bagian dari transformasi nilai-nilai Islam dalam konteks keindonesiaan. Biasanya kelompok yang alergi dengan Islam Nusantara adalah kelompok ultra puritan yang beraliran Wahabisme. Yang kental dari Wahabi adalah semangat purifikasinya, ketus terhadap kearifan lokal, belum bisa “ngopi bareng” dengan Sufisme dan tradisi filsafat, serta tak (kenal) sayangi Syi’ah. Dalam konteks itulah, semangat dari Islam Nusantara diletakkan, yakni menjadi muslim sekaligus menjadi Indonesia (nusantara). Islam Nusantara merefleksikan sebuah pendekatan bagaimana menjadi muslim tanpa harus menjadi Taliban misalnya, keberislaman yang bersenyawa dengan keberagaman lokalitas kebudayaan. Sanadnya di bumi nusantara jelas, bagaimana di era dahulu, para Wali Songo di Pulau Jawa, Wali Pitu di Pulau Sulawesi ketika menyebarkan Islam, mengalami “ketegangan kreatif ” melalui dialog kebudayaan, mengedepankan isi, bukan cover. Berorientasi kemajuan (progresif ) sekaligus merawat tradisi. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah salah satu simpul kekuatan muslim moderat yang satu frekuensi dengan gegap gempita Islam Nusantara. Kalau kita tarik ke belakang, komitmen kebangsaan dan keberislaman Nusantara ala HMI tercermin pada haluan organisasi yang didirikan oleh Lafran Pane pada tanggal 5 Februari 1947 di Yogyakarta itu, sedari dulu bertujuan untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Insan Cita punya konstruksi keimanan dan keberislaman yang khos – dalam apa yang disebut – Islam mazhab HMI, seperti tergambar dalam uraian Azhari Akmal Tarigan (2007) khususnya tentang tauhid. Untuk mencegah klaim kebenaran yang membabi buta serta intoleransi terhadap sesama, maka HMI memajukan tauhid yang murni. Tauhid ala HMI (dan juga Islam secara umum) diungkap dalam kalimat La ilaha Illa Allah, tiada tuhan selain Tuhan, tiada god

154



selain God, atau tiada tuhan selain Allah. Ungkapan ini sering disebut dengan negasi (al-nafyu) dan afirmasi (al-isbat). Selanjutnya, Tarigan (2007) mengutip Cak Nur (sapaan Nurcholis Madjid), akibat proses negasi dan afirmasi ini akan “terungkap” entitas absolut yang dinamakan Tuhan Universal, Tuhan dari semua agama. Pada konteks ini, atas dasar pemahaman yang komprehensif, kita harus mengikuti pemikiran genuine Cak Nur tentang pembedaan aspek esoteris (al-bawathin) dan eksoteris (al-dzawahir) agama. Cak Nur juga mengatakan bahwa yang berbeda di dalam kehidupan keberagamaan adalah pada sisi eksoterisnya (syari’at), sedangkan dari sisi esoterisnya, semua agama mengajarkan monoteisme (tauhid) dan sikap pasrah (Islam) itu sendiri. Dalam bingkai Islam Nusantara, HMI sejak lama memancarkan nafas keislaman dan keindonesiaan sekaligus kemoderenan yang digelorakan cendekiawan muslim terkemuka Nurcholis Madjid. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) adalah pedoman para kader yang disusun oleh Nurcholis Madjid (bersama Sakib Mahmud dan Endang Saefudin Anshari). Seperti diulas Sidratahta (2006), dia (Nurcholis Madjid) merupakan arsitek pembaharuan HMI menjadi inklusif dan moderat. NDP HMI merupakan “ideologi politik” yang merupakan hasil gagasan dan ijtihadnya tentang pemikiran dan peradaban masyarakat Barat dan umat Islam di Timur. Disinilah relevansi dan signifikansi pemberdayaan HMI agar dapat berperan melalui kader maupun alumninya yang tersebar di sektor strategis. Modal kualitas intelektual berbasis ideologi NDP, serta modal kuantitas alumni HMI yang banyak menempati posisi penting dalam struktur lembaga negara maupun masyarakat sipil dapat dimaksimalisasikan sebagai agen deradikalisasi, dan promotor Islam cinta damai. Dalam perjalanan kiprah kebangsaan dan keislamannya, HMI tak bisa dipungkiri terdapat batu sandungan yang kadangkala memacetkan idealisme untuk membendung laju radikalisme-terorisme. Kita tak menutup mata adanya sejumlah alumni HMI yang garis keras semisal Abu Bakar Ba’syir, Fauzan Anshari dan fase radikalisme Panji Gumilang alias Abu Toto “NII” sebelum kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Harus diakui ada memang sedikit lepasan HMI yang terpikat dengan khotbah-khotbah kelompok radikal. Ada juga yang masih eksklusif dan intoleran, bahkan terlibat dalam kasus terorisme. Sebut saja, Agus Anton Figian (31), tersangka teroris yang ditangkap di Madiun (2012), yang diduga sebagai perakit bom adalah alumni HMI Cabang Jember (LK 1 1998, keluar dari HMI 1999). Di tengah tikungan jalan Agus Anton kemudian belok kanan ekstrem ke organisasi NII (Negara Islam Indonesia) “berkamuflase” NKA (Negara Karunia


155

Allah) yang kontra Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebhinekaan. Intoleransi sebagian anak-anak Hijau Hitam terlihat pada kelompok yang menamakan dirinya HMI Jakarta Raya yang ikut berunjuk rasa membubarkan acara Festival Belok Kiri di Jakarta, padahal diskusi semestinya ditanggapi dengan diskusi juga, bukan memberangus kebebasan mimbar akademik. Tapi noktah kecil itu tidak akan mampu menutupi warna kebangsaan HMI. Bisa jadi sebagian “ikhwan” yang di tengah tikungan berbelok arah ke jalan radikalisme-terorisme karena kadar hijau-hitamnya belum 100%. Padahal, keislaman dan keindonesiaan dalam HMI sudah tuntas dan tak perlu dipersoalkan. Artinya, nilai-nilai ke-HMI-an bagi mereka yang masih ekstrem belum mendarah-daging. Pasalnya, HMI tidak pernah menyuruh anggota dan kadernya berperilaku intoleran, berbuat teror, bertindak tiranik, mengkafirkan orang lain dan mengebom pusat-pusat publik, apalagi bom bunuh diri.

“Menyaksikan inti pola pengkader-

an HMI yang mengakomodasi semua wajah pemikiran Islam dengan iklim dialog yang terbuka dan dialektis, maka sangat sulit bagi kader HMI terseret ke perilaku ekstrem manakala nilai-nilai NDP didarah-dagingkan.” Menyaksikan inti pola pengkaderan HMI yang mengakomodasi semua wajah pemikiran Islam dengan iklim dialog yang terbuka dan dialektis, maka sangat sulit bagi kader HMI terseret ke perilaku ekstrem manakala nilai-nilai NDP didarah-dagingkan. Karena itu, spirit keislaman dan keindonesiaan HMI mesti diperkuat, diinternalisasi dan dijewantahkan melalui pemberdayaan khazanah Islam yang berkarakter moderat, inklusif, pluralis dan toleran, lalu dibumikan ke pentas kehidupan sosio-kutural kemasyarakatan dan kebangsaan. Secara pribadi, saya sebelumnya yang pernah mengikuti beberapa aliran yang cenderung garis keras mungkin akan jadi aktivis radikal kalau tak sempat ber-HMI. Mengapa demikian? Yang khas dari HMI adalah kita dituntut untuk berpikir secara filosofis, menggunakan pendekatan rasional, dan menghargai akal sehat. Maka, tak heran anakanak muda HMI tumbuh menjadi pribadi yang terbuka. Berbeda dengan organisasi yang timbuh di atas landasan Wahabi dimana agama tidak boleh didekati oleh akal, malah ditabukan. Semua santri hijau hitam dilatih untuk tak mener-

156



ima begitu saja sesuatu yang sifatnya status quo, tapi harus dibongkar dan diuji secara kritis dan mendalam. Semua tema dan aliran pemikiran Islam dibahas dengan kerangka berpikir ilmiah, bukan taqlid buta. Tak heran jika orang-orang HMI terlatih untuk berargumentasi dan berpikir kontemplatif serta progresif karena memang logika, filsafat, dan teori-teori sosial kritis adalah materi utama yang disuguhkan di pelbagai ruang-ruang training. Sementara di kutub salafi-wahabi, filsafat malah diharamkan. Karena itu pula, orang-orang HMI tak merasa canggung memakan pemikiran-pemikiran yang bersumber dari mana pun, entah itu barat, timur, kiri, kanan. Saking toleran dan liberalnya, orang non-muslim pun tak ada yang melarang ikut di ruang-ruang HMI, bersilaturraHMI lewat diskusi dan dialektika secara demokratis dan egaliter. Tak terlihat juga anak HMI yang meributkan soal perbedaan tafsir atas fikih justru seperti diistilahkan Kang Jalal, “Dahulukan Akhlak di Atas Fikih”. Jarang sekali saya saksikan anak HMI yang ekstrem radikal, kecuali yang “radikal-begadang” mungkin iya, saking bertenaganya energi diskusi. Di kalangan “generasi emas” HMI, kita bisa belajar dari “Pergulatan Iman” Cak Munir yang pernah mengikuti jalur beragama ekstrem yang “radikal” (Kurang lebih lima tahun, antara tahun 1984-1989), kemudian menjadi moderat setelah masuk jama’ah HMI Cabang Malang di bawah mentoring Malik Fajar. Suatu ketika, Malik Fajar (alumni HMI) mengatakan kepada Cak Munir, “Kau pelajari deh, Islam yang benar! Kalau kamu anak HMI, baca Nilai Identitas Kader (NIK). Nah, dari situ evaluasi apakah benar HMI untuk perang-perangan atau untuk menjalankan misi sosial?” Beberapa belas tahun kemudian, Munir mengutarakan relevansi yang ia peroleh dari diskusi mengenai NDP atau NIK itu dengan perjuangannya kepada Ulil Absar Abdalla, “Setelah saya (Munir, red) mempelajari (NIK itu), saya menemukan Islam mengakui bahwa dalam relasi sosial ada ketidakadilan. Ada yang menzalimi, ada yang dizalimi. Islam harus berpihak kepada yang dizalimi. Jadi, Islam tidak berpihak kepada Islam, tapi kepada yang dizalimi demi menciptakan keadilan. Dan, saya kira keadilan bukan untuk menciptakan eksklusivisme sebagaimana yang kita lihat. Temuan itu memang membuat saya terpisah dari komunitas ekstrem tempat saya pertama tumbuh. Kemudian saya menemukan komunitas baru yang bisa menerima perbedaan-perbedaan”. (Islamlib, 13/09/2004). HMI ibarat pelangi, mengandung pesona warna-warni pemikiran Islam. Realitas multi-warna itu yang membuat HMI menjadi organisasi yang dinamis. Segala macam lagu pengetahuan dinyanyikan bersama, dari yang beraliran klasik sam-


157

pai modern, campur sari. Pergaulan intelektual selalu berjalan sehat dan harmonis sekalipun santri yang mondok di komunitas hijau hitam berdatangan dari gen yang bermacam-macam. Kita akan melihat jama’ah HMI yang lahir dari tradisi NU, Muhammadiyah, Persis, Masyumi, Nasionalis, Salafi, Syarikat Islam, Al-Irsyad, Tarekat-Sufi, aliran kebatinan sampai Syi’ah hingga keturunan Darul Islam. Di HMI, kita bisa menatap Islam berwajah keindonesiaan. Karena itulah mungkin Lafran Pane menyediakan himpunan untuk menampung mozaik pemikiran Islam sehingga mereka bisa berjumpa, bertatap dan bertautan tanpa merasa paling pintar, namun justru sama-sama belajar. Maka, tak heran, HMI menjadi arena dialektis anak-anak muda muslim dari yang bercorak garis keras, garis lunak sampai tanpa garis. Lalu, terjadi pergaulan intelektual secara mesra dan asyik tanpa pernah memutlakkan pendapatnya sendiri, apalagi menghujat orang lain. Atas realitas keberagaman itu, HMI merepresentasikan umat Islam di Indonesia dalam potret yang mikroskopik. Dan HMI tidak berafiliasi pada kutub Islam tertentu, malahan justru mengcover kamar-kamar pemikiran ke dalam rumah besar HMI. Terhadap hal-hal menyangkut fikih-syari’ah, tak ada homogenisasi dan hegemonisasi mazhab, melainkan diberi ruang kepada para kader untuk memilih jalan peribadatannya masing-masing secara sadar, sepanjang Islami. Ruang-ruang pengkaderan HMI diisi oleh pemateri dan mentor dari beragam semesta keilmuan, mazhab berfikih, faksi berpikir, dan aliran keislaman. Tak ada sakralisasi terhadap pendapat pemateri. Semuanya didiskusikan secara serius melalui kerangka filsafat ilmu sebagai materi awal. Selanjutnya, masuk ke materi NDP. Dari NDP, para kader HMI diharapkan agar dapat menggabungkan antara visi keislaman, keindonesiaan, dan kemoderenan di jagad raya kehidupan. Mereka pun piawai ketika bicara tentang relasi Islam dengan politik, ekonomi dan kebudayaan, misalnya. Kader HMI tak mempermasalahkan Pancasila yang justru dipermasalahkan oleh kelompok takfiri. Malahan kelompok garis keras menganggap burung garuda sebagai thaghut dan berhala. Mata air NDP kemudian melahirkan mazhab berpikir yang khas di masing-masing cabang, misalnya Mazhab Mazhab Ciputat, Mazhab Malang, Mazhab Tamalanrea dan sebagainya. Hingga kini, HMI dengan segala bentuk dan manifestasi pemikirannya tetap mengawal NKRI, memelihara kebhinekaan dan mempertahankan ideologi Pancasila dari upaya-upaya kelompok ekstremis yang ingin mengubah haluan negara, seperti eksperimentasi ekstrem kiri - Partai Komunis Indonesia (PKI), dan kelompok-kelompok ekstrem kanan seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Negara Islam Indonesia (NII), Jama’ah Islamiyah (JI) dan sebagainya.

158



Keislaman, kebangsaan, dan kemodernan yang melekat pada kader HMI itulah yang membuat mereka menjadi pelintas batas agama dan mazhab. Di kedalaman samudra sufisme yang tak bisa direnangi dan direnungi oleh Wahabis akhirnya “terpaksa” menghujat yang bukan-bukan. Beda kalau memakai kacamata “tampan” HMI, pesona sufisme laksana paras KOHATI, penuh daya pikat dalam aras falsafati, sekalipun tidaklah seperti para Salikin di pertapaan tarekat, karena memang tak mudah. Hanya orang-orang khos, langitan. Namun demikian, paling tidak - HMI menerima warisan tradisional Islam itu, terlebih sufisme tasawuf sangat moderat, mementingkan isi, bukan cover. Ajaran cinta lebih ditonjolkan ketimbang formalisme yang sempit. Itulah sebabnya para pegiat sufi, atau pengagum sufi tak kaku bergaul dengan siapa pun, entah itu preman, rakyat biasa hingga elite politik sampai umat beragama lain. Malahan para sufi tidak mau menunjukkan identitasnya secara terbuka, takut tergelincir riya’, sombong dan ujub, malahan tak sedikit yang nyentrik, bahkan nyeleneh seperti lakon Malamatiyah, yang hanya bisa dicapai oleh mereka yang berkelas “Wali”. Dari situ, tokoh-tokoh seperti Jalaluddin Rumi, Imam Al-Ghazaly, Bahauddin Naqsyabandi, Mulla Sadra, Murtada Muthahari, dan lain-lain mendapat tempat di hati umat. Jihad ala HMI pun sangat luas, tak sekadar jihad mati (sebagai syuhada) di tengah perjalanan menegakkan firman Allah seperti Ahmad Wahib dan Cak Munir (an namuta fi sabilillah), tapi lebih dari itu, yakni jihad hidup (sebagai Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi) di jalan Allah (an nahya fi sabilillah). Mereka pun terpencar-pencar membumikan jihad dalam pelbagai lapangan kehidupan. Di dunia bisnis, kita mengenal Jusuf Kalla dan Fahmi Idris, di kancah pemikiran kita mengenal Nurcholis Madjid dan Syafii Maarif sebagai cendekiawan muslim yang pluralis dan multi-kultural, ada juga Akbar Tanjung, Marwah Daud Ibrahim dan Amien Rais sebagai politisi kawakan yang nasionalis. Di bidang advokasi terpancar sosok Munir sebagai aktivis HAM yang istiqomah membela kaum kaum mustad’afin (kaum lemah), juga Abdullah Hehamahua dan Abraham Samad sebagai pendekar anti-korupsi, begitu pula sebagai penjaga gawang konstitusi dikenal Yusril Ihza Mahendra, Mahfud MD, Hamdan Zoelva. Ada pula Gus Iful dan Kang Dedy Mulyadi sebagai pimpinan daerah yang berkebudayaan. Ada pula dokter juru damai terdapat Farid Husain, bersama Hamid Awaluddin dan Jusuf Kalla. Kalau pun mereka yang sudah sepuh itu uzur, malah telah, sedang dan akan muncul kaum muda-mudi. Dan banyak sekali yang lainnya, muda hingga tua. Tentu saja, semoga kita semua “husnul khatimah” di tapal batas perjuangan.


159

Lalu bagaimana HMI berdiri di tengah pusaran radikalisme-terorisme? Dan bagaimana mengoptimalkan peran HMI dalam deradikalisasi dan kontra-radikalisme terorisme? Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI menyebut ada 12 daerah dengan kategori zona merah tindakan terorisme. Menurut Kepala Subdit Kewaspadaan BNPT RI, Andi Intan Dulung (regional.kompas.com, 1 Juni 2016), hal tersebut diukur dari beberapa kasus terorisme di Indonesia, baik pelaku maupun korban, berasal dari provinsi ini. Keduabelas daerah yang juga masuk zona merah yakni Jawa Tengah, Aceh, Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, NTB, dan Bali. Paling tidak, di dua belas kawasan zona merah itu dapat dihalau lewat kekuatan organisasi HMI, yang terdiri dari sumber daya struktural seperti Badko (Badan Koordinasi), Cabang hingga Komisariat yang dapat mengambil peran strategis untuk ikut mengarus-utamakan Islam moderat di Indonesia. Dalam deradikalisasi, HMI dapat berperan di bidang dakwah melalui pemberdayaan Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI). “Mubaligh” HMI mesti meneguhkan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan untuk melawan faham-faham radikal dan pro-kekerasan. Energi intelektualitas dan spiritualitas yang tersimpan dalam NDP itu perlu dijadikan sumber cahaya untuk menerangi lorong gelap penempuh jalan radikalisme-terorisme. Bila perlu, HMI dapat membuat semacam buku kumpulan khutbah-khutbah aktual yang diperas dari NDP agar mimbar-mimbar ceramah tak hanya diisi materi yang konservatif dan memfosil. HMI juga bisa melakukan pemberdayaan ekonomi umat dan mengembangkan jiwa kewirausahaan dan pendampingan terhadap NAPI Terorisme. Dalam konteks kontra radikalisme-terorisme, HMI dapat mengadakan sosialisasi melalui pendidikan alternatif dan sekolah perdamaian akan bahaya pemikiran dan gerakan radikalisme-terorisme. Apalagi gejala radikalisme sudah mengepung kampus-kampus, bahkan tak sedikit mahasiswa maupun aktivis yang termakan ideologi radikal. Sudah saatnya HMI mengambil alih masjid kampus, tidak sekadar menampilkan kesalehan simbolik tapi kesalehan substantif. Dengan begitu, maka ruang-ruang mimbar jum’atan, pengajian dan diskusi mencerminkan semangat Islam yang moderat, menyajikan “dakwah progresif ”, mencetak khatib progresif, bukan yang provokatif, terlebih mengumbar kebencian. Masalah bangsa yang kompleks ini memang tidak akan tuntas dan beres dengan satu organisasi saja. Untuk itu, HMI dapat membangun koalisi besar menggandeng ormas Islam dan agama lain yang berpaham moderat seperti PMII, IMM,

160



GMKI, PMKRI, GMNI untuk bahu-membahu, meredam dan menjinakkan gerakan mahasiswa yang berpotensi radikal di kampus. Bila perlu mereka menguasai struktur lembaga kemahasiswaan di kampus, seperti Himpunan Jurusan, BEM, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan kelompok-kelompok diskusi serta pers mahasiswa agar nilai-nilai Islam moderat dapat ditransformasikan dalam kehidupan kampus, lalu disebarkan ke tengah-tengah masyarakat. Tapi tak adil juga kalau saya sekadar berharap-harap saja, tapi mengkritik yang membangun, agar nuansa politis dan “haus” kekuasaan yang dicap ke anak-anak HMI digeser ke arah intelektual. Kalaupun berpolitik di lembaga kemahasiswaan, ya itu tadi, dimanfaatkan sebagai wahana untuk menyampaikan pesan-pesan kedamaian, keadaban, kemanusiaan dan kemajuan.

“Intinya, memang

kita harus “merantau” secara intelektual, mengekspose pemikiran ke pelbagai dimensi, mencoba memaknai sesuatu secara multi-perspektif, agar horizon jadi luas dan menghargai cara pandang orang lain.” Di dunia maya, HMI dapat berperan secara konkret misalnya, membuat status facebook, twitter, path, whatsApp, dan lain-lain yang mengedepankan pengarus-utamaan gagasan Islam cinta damai, menulis sesuatu yang inspiratif, mendorong sikap positif dan optimis, sekaligus membangun kontra-narasi dan kontra-propaganda terhadap aneka status provokatif yang dibakar para aktivis radikal. Apalagi tak sedikit anak muda yang terkena “peluru” radikalisme melalui internet. Oleh karena itu, Insan Cita yang terbiasa menelaah pelbagai aliran agama dan teologi dalam sesi “Dialog Kebenaran” pada LK 1, dapat dijadikan rujukan guna menawarkan bahan perbandingan, pemikiran alternatif bagi mereka yang terlanjur menghisap opium kekerasan, sehingga tumbuh secara perlahan-lahan sikap toleran, tenggang rasa dan menghormati perbedaan. Sebenarnya orang yang dilabeli radikal atau fundamentalis itu karena tak ada bahan perbandingan dan pemikiran alternatif, hanya berkutat pada satu doktrin itu saja, hanya bergaul dengan satu aliran saja, akhirnya terkungkung dalam kesempitan berpikir, gampang menyalahkan orang lain, cepat tersinggung dan reaksioner


161

terhadap injeksi pemikiran bernafas pembaharuan. Beda halnya dengan kaum moderat, yang tumbuh di atas spektrum pergaulan yang multi-warna. Intinya, memang kita harus “merantau” secara intelektual, mengekspose pemikiran ke pelbagai dimensi, mencoba memaknai sesuatu secara multi-perspektif, agar horizon jadi luas dan menghargai cara pandang orang lain.

“Mazhab Tamalanrea

sebagai salah satu lapisan intelektual muda yang strategis kini dan akan datang mesti membatini tren zaman itu. Barangkali yang lebih tepat ke depannya, Mazhab Tamalanrea berposisi sebagai comblang peradaban nusantara, dan menengahi aneka benturan.” HMI yang terdiri dari ratusan cabang di pelbagai daerah sangatlah kaya akan kultur dan tradisi lokal masing-masing dari Sabang hingga Merauke. Kearifan lokal dapat direvitalisasi untuk menghadang kekerasan global. Kekhasan berpikir tiap cabang dapat diformulasikan secara kontekstual sesuai tantangan terdekat yang dihadapinya. Sebagai contoh, “Mazhab Tamalanrea” – sebuah garis berpikir kader dan alumni HMI Cabang Makassar Timur (Maktim) tampaknya akan dijemput sejarah, terdapat tanda-tanda terbitnya matahari kebangkitan dari timur nusantara. Mazhab Tamalanrea sebagai salah satu lapisan intelektual muda yang strategis kini dan akan datang mesti membatini tren zaman itu. Barangkali yang lebih tepat ke depannya, Mazhab Tamalanrea berposisi sebagai comblang peradaban nusantara, dan menengahi aneka benturan. Di tingkat lapangan, intelektual dan aktivis maupun alumni Maktim dapat berperan sebagai mediator konflik, advokator kebijakan, rekonsiliator dan jembatan peradaban, entah itu berbentuk entitas suku bangsa, lintas agama maupun peradaban dunia. Kita punya modal historis sebentuk lakon Jusuf Kalla yang kesohor sebagai tokoh perdamaian. Mazhab Tamalanrea tak berlebihan kiranya kalau bisa menginstitusionalisasi Jusuf Kalla, lalu kita berperan dalam skal tertentu sebagai “Jusufers Kolektif ”. Ada yang jadi pengusaha, pegiat resolusi konflik, politisi, agamawan. Bukan berarti mensakralisasi figur tertentu, tapi spiritnya yang kita serap. Lalu kita menjadi diri-sendiri secara otentik, belajar menggari kearifan dari pelbagai arah mata angin, diantaranya “alumni Mazhab Tamalanrea”: Jusuf Kalla.

162



Pada saat yang sama, kontra-radikalisme terorisme mesti digalakkan untuk ditujukan kepada anggota masyarakat yang belum terinfeksi virus radikal kekerasan. Harus diakui memang lebih baik mencegah berkecambahnya kalangan radikalis, daripada mengobatinya. Sebab ibarat opium, biasanya cenderung ketagihan. Itulah mengapa HMI punya peran penting disini agar setetes embun kemaslahatan yang dipancarkan tak sekadar memberi faedah bagi HMI, tapi juga umat Islam dan bangsa Indonesia, bahkan juga dunia. Apalagi dunia di sekitar kita sedang mengalami kegalauan stadium berat, terutama - meminjam kosmologi nusantara, ibarat menghadapi zaman kalabendu seperti kata Ronggowarsito dalam ramalan Jayabaya. Nah, saatnya “jimat” NDP dibatinkan kembali, lalu bertiwikrama, meninggalkan pantangan-pantangan berupa nafsu kekuasaan yang over-dosis, menjemput zaman kalasuba, meninggalkan aksi kekerasan dan vandalisme, menyalakan api harapan, berganti haluan baru yang lebih damai dan mendamaikan. Dalam konteks inilah signifikansi pemberdayaan HMI agar dapat menjadi inisiator perdamaian, bekerjasama dengan masyarakat secara aktif untuk menangkal penyebaran paham radikal, aksi-aksi atau tindakan-tindakan yang berbau kekerasan. Dengan demikian, kerjasama pencegahan terorisme di Indonesia ke depannya memang memerlukan sinergitas antara komponen masyarakt sipil, terutama kalangan muda, komunitas epistemik, intelektual lintas batas, berkoordinasi dengan aktor-aktor keamanan, pemerintah pusat maupun pemda untuk mewujudkan Indonesia yang aman, damai dan sejahtera lahir-batin. Dan HMI adalah mitra yang tepat untuk pengarus-utamaan Islam moderat kontra radikalisme terorisme. Sudahi bertapa, saatnya turun gunung lalu mengaum! Bahan Bacaan: Bhutto, Benazir. 2008. Rekonsiliasi Islam, Demokrasi dan Barat. Jakarta: BIP Kelompok Gramedia. Hoffman, Bruce. 1998. Inside Terrorism. New York: Columbia University Press. Junaedi, Fajar. 2013. Komunikasi Politik: Teori, Aplikasi dan Strategi di Indone sia. Yogyakarta: Litera. Kamasa, Frassminggi. 2015. Terorisme: Kebijakan Kontra Terorisme di Indone sia. Yogyakarta: Graha Ilmu.


163

Mukhtar, Sidratahta. (2006). HMI dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka. Tarigan, Akmal Azhari. 2007. Islam Mazhab HMI: Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Jakarta: Kultura. Tim Redaksi LP3ES [cetakan pertama]. 2007. Api Dilawan Air: Sosok dan Pemikiran Munir. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia bekerjasama dengan KASUM. Ulil Abshar Abdalla. 2004. Agama harus menjadi Maslahat bagi Manusia. dalam Willy Pramudia (ed.), Cak Munir, Engkau Tak Pernah Pergi. Jakarta: Gagas Media.

164



Menjaga Rumah Kita, HMI Muhammad Arief Rosyid Hasan

Sudah lebih satu dekade saya merasakan keluarga yang ramah, yang tak jauh berbeda dari apa yang saya rasakan di rumah sendiri. Berisi orang-orang hebat yang berani memikirkan orang banyak ketimbang dirinya sendiri. Mereka dengan gigih memperjuangkan apa yang pantas untuk diperjuangkan demi kemaslahatan orang-orang sekelilingnya. Seruan Nabi Muhammad SAW yakni, “manusia terbaik adalah mereka yang paling bermanfaat buat lingkungannya”, dipraktekkan dengan sangat baik. Sehingga tidak mengherankan banyak yang rela keluar dari “zona nyaman”, kemudian memilih jalan pengabdian yang mengharuskan mereka berkorban secara materi maupun nonmateri untuk kepentingan orang banyak. Adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang sejak awal memperkenalkan wajah kampus yang ramah dengan beragam pengetahuan baru di dalamnya.Di rumah ini banyak membuktikan tesis “berteman lebih dari saudara”, Islam yang penuh dengan nilai kebenaran dan bisa dipertanggungjawabkan (tidak sekedar agama turunan yang karena orangtua kita Islam sehingga serta merta kita menganut Islam, tanpa pernah tahu mempertanggungjawabkannya). Bukankah segala sesuatu harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya? Saya ingat betul masa-masa belajar di HMI Komisariat Kedokteran Gigi Unhas

165

dan Cabang Makassar Timur adalah masa-masa yang indah, yang tak akan pernah bisa dibayar berapapun harganya. Sampai ketika saya telah sampai di puncak proses sebagai Ketua Umum Pengurus Besar HMI periode 2013-2015. Capaian ini tentunya tak akan pernah ada tanpa proses sebelumnya. Seperti manusia yang tak mungkin bisa berlari tanpa pernah merangkak, berdiri, dan berjalan. Seperti sharing dengan senior-senior yang telah terpencar di sudut pilihannya masing-masing. Mereka yang masuk di jalur akademik sebagai dosen, di jalur pemerintahan sebagai eksekutif, legislatif, yudikatif, dan beragam pilihan lain dengan segala cerita suksesnya masing-masing. Sejak berdiri hingga sekarang, HMI secara terus-menerus melakukan pengkaderan dengan patokan nilai tersebut. Melalui pengkaderan tersebut, HMI saat ini memiliki sekitar 500.000 anggota dan Alumni HMI (KAHMI) berjumlah sekitar 6 juta orang. Alumni HMI tersebar di semua level, pada level kepemimpinan nasional, ada yang duduk sebagai wakil presiden, menteri, kepemimpinan daerah, seperti gubernur, bupati, hingga kepala desa. Alumni HMI juga tersebar tidak hanya di eksekutif tapi juga legislatif dan yudikatif, sebagai ketua DPR, ketua MPR, KetuaBPK, Ketua KPU, Ketua Bawaslu, dll. Mereka bersepakat bahwa kesuksesan itu tak akan pernah ada tanpa pernah terdidik di HMI.

“Bekal kecintaan ini lahir

dari alasan bagaimana kita mengaktualisasikan Islam yang hadir sebagai rahmat buat seluruh alam, khususnya Indonesia.” Bagi kami semua yang pernah belajar di rumah ini, sekecil apapun kontribusi kita di tempat masing-masing akan tumbuh subur dan akhirnya menjulang demi mengurai persoalan yang ada di tanah air yang sangat kita cintai ini. Bekal kecintaan ini lahir dari alasan bagaimana kita mengaktualisasikan Islam yang hadir sebagai rahmat buat seluruh alam, khususnya Indonesia. Tujuan besar tentu takkan bisa diwujudkan tanpa pernah mengawali langkah. Sekecil atau sependek apapun langkahnya akan sangat menentukan bagaimana langkah-langkah kita berikutnya. Tak ada yang kebetulan, setiap akibat meniscayakan adanya sebab sebelumnya.

166



HMI dengan segala macam dinamika di zamannya masing-masing tak pernah salah melahirkan bibit terbaik bangsa ini.Terkhusus kepada mereka yang tak pernah kehilangan ketulusan niat dan keteguhan ikhtiar untuk memperjuangkan cita-citanya. Sejak 1947, tak sedikit putra putri terbaik bangsa ini lahir dari rumah kita, HMI. Rumah yang tak akan pernah bosan mendidik mereka yang punya mimpi atau cita-cita. Mereka yang keluar setelah memperoleh bekal kualitas “insan cita” adalah mereka yang hari ini menikmatinya dengan segudang cerita sukses. Ini menjadi relevan dengan “HMI hanya sebagai alat (wasilah), bukan tujuan (ghayah)”. Dari rumah, kita belajar tentang apapun. Mengambil pelajaran dari sebuah kesalahan tanpa pernah merasa mapan. Siapapun yang salah membedakan alat dan tujuan akan menyebabkan disorientasi, yang akan berefek pada kegagalan untuk tiba di tujuannya yang mulia. Mereka yang gagal adalah mereka yang ingin instan dalam prosesnya. Mereka yang merasa jumawa atas apa yang sudah diraihnya. Mereka yang mengkapitalisasi rumahnya untuk kepentingan dirinya sendiri tanpa pernah berpikir apa yang mereka lakukan akan berdampak pada generasi selanjutnya. Atau mereka yang tak mampu menjadi figur ideal dengan lima kualitas insan cita seperti yang telah menjadi tujuan rumah kita, “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”. Dimana Nilai-Nilai HMI? Pada penyelenggaraan Kongres Ke-29 HMI di Pekanbaru, Riau, kegaduhan yang terjadi membawa keprihatinan mendalam. Gejala demoralisasi dan keterbelahan jamak terjadi dalam masyarakat kita dan dipertontonkan sehari-hari lewat media.Tetapi sangat disayangkan jika fenomena seperti itu juga terjadi di organisasi HMI, yang merupakan wadah para intelektual muda. Itulah kurang lebih intisari keprihatinan Sulastomo, Ketua Umum PB HMI 1963-1966 dalam sebuah kesempatan berdiskusi dengan beliau. Keprihatinan ini tentu saja mewakili banyak orang dan banyak kalangan. Keprihatinan seperti ini wajib direnungkan dan dijadikan bahan otokritik untuk perbaikan ke depan. Sebagai tambahan, bukan hanya kekerasan di arena kongres yang menjadi soal,


167

tetapi juga fenomena politik uang yang selama ini terjadi di jagad perpolitikan tanah air, rupa-rupanya sudah mulai pula menggejala dalam interaksi di HMI. Dalam setiap momentum politik HMI, isu jual beli suara, pilihan politik di barter dengan uang dan benda-benda berharga lainnya, termasuk menyewakan sekretariat dan memberangkatkan penggembira ke lokasi kongres sudah bukan rahasia lagi. Kebiasaan melangsungkan kongres yang molor sangat lama sepertinya telah mentradisi. Kegaduhan demi kegaduhan, membuat sulit para peserta untuk menyelesaikan kongres tepat waktu. Tidak ternilai dampak disebabkan berlarut-larutnya dua Kongres HMI terakhir, di Jakarta tahun 2013 selama sebulan dan di Pekanbaru beberapa bulan lalu, berlangsung selama dua minggu. Selain itu, fenomena demonstrasi bayaran atau pesanan, demonstrasi yang merusak fasilitas umum, prilaku pemerasan, dan sebagainya, juga patut menjadi keprihatinan bersama. Tidak bisa ditutupi lagi bahwa tindakan semacam ini juga seringkali dituduhkan kepada beberapa anggota HMI. Kendati hal seperti ini hanya dilakukan oleh segelintir orang, tapi prilakunya jelas-jelas mencoreng muka organisasi dan keluarga besar HMI. Dampak dari kisah memilukan tentang prilaku ini sangat cepat menyebar di media utama, online, maupun media sosial. Informasi yang buruk tersebut jelas merusak citra HMI, mengurangi kepercayaan organisasi di mata publik. Akibat paling nyata, adalah adanya kesulitan bagi pengurus, untuk melakukan perekrutan anggota baru.

“Penting untuk diketahui bah-

wa visi dan misi HMI tak pernah berubah sejak berdiri 5 Februari 1947, yakni untuk berkontribusi terhadap ummat dan bangsa. Sehingga HMI bukan hanya Himpunan Mahasiswa Islam, tapi harus selalu menjadi Harapan Masyarakat Islam dan Harapan Masyarakat Indonesia.” Apakah nilai-nilai ke-HMI-an sudah luntur sedemikian rupa? Penting untuk diketahui bahwa visi dan misi HMI tak pernah berubah sejak berdiri 5 Februari 1947, yakni untuk berkontribusi terhadap ummat dan bangsa. Sehingga HMI

168



bukan hanya Himpunan Mahasiswa Islam, tapi harus selalu menjadi Harapan Masyarakat Islam dan Harapan Masyarakat Indonesia. Bahkan dalam tafsir tujuan HMI, menyiratkan bahwa dalam diri kita sebagai manusia ada potensi dasar atau modal primordial. Potensi tersebutlah yang akan menjadikan setiap kader sebagai insan kamil (manusia sempurna) dengan 5 kualitas insan cita yakni insan akademis, pencipta, pengabdi, bernafaskan Islam, dan insan yang bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur. Kesadaran dan konsistensi sikap dalam mewujudkan tujuan HMI tersebut, sebelum lebih jauh berdampak terhadap masyarakat dan juga bangsa, tentu ukuran sederhananya pada kondisi HMI itu sendiri. Nama besar HMI tentu merupakan modal sosial politik yang relatif bisa dibanggakan. Namun kebanggaan tersebut bisa menjadi pisau bermata dua. Disatu satu sisi bisa menjadi pemicu prestasi dan prilaku baik, disisi lain bisa memunculkan sikap arogansi dan prilaku tidak terpuji. Arus Perubahan Dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) kerjasama Balitbang PB HMI dengan Bappenas pada pertengahan tahun 2015, tergambar pergeseran dari era analog ke era digital. Kompetensi dan profesionalisme harus melenting ke depan menjadi keunggulan. Karakter inward looking harus sudah bergeser menjadi outward looking, kebiasaan membangga-banggakan kedalam harus disertai dengan mempertontonkan keunggulan kita keluar. Doktrin keislaman-keindonesiaan yang melekat dalam diri anggota HMI seharusnya menjadi sumber kekuatan. Sikap islam yang toleran, moderat, dan modern menjadi perekat perbedaan dalam relasi hubungan interpersonal antar ummat beragama dan bangsa Indonesia. Energi ini yang harus diarahkan keluar agar tidak hanya milik HMI juga Indonesia, tetapi harus menjadi inspirasi negara-negara lain dalam mengelola perbedaannya, khususnya bagi negara mayoritas penduduk muslim yang selama ini banyak mengalami kondisi perang. Dengan kondisi seperti ini bukan hanya bangsa ini yang menaruh harapan besar terhadap HMI, tapi juga dunia dalam menyemai keberagaman. Dalam sebuah kesempatan berkunjung ke Konferensi untuk Palestina, Lebanon, saya menyampaikan hal yang sama. Dari hal tersebut apa yang dilakukan HMI selama ini mendapatkan apresiasi, bahkan di klaim sebagai organisasi mahasiswa Islam ter-


169

besar di dunia. Menjelang usia HMI ke 70 tahun pada tanggal 5 Februari 2017, tak hentinya kita merefleksikan apa yang sudah kita lalui juga memproyeksikan akan kemana kita. Bukan cuma mereka yang masih terlibat aktif di semua level kepengurusan, tapi juga bagi mereka yang pernah menjadi bagian dan pernah melewati proses di HMI. Segala keunggulan yang kita miliki disertai kekuatan membaca zaman dan komitmen untuk berubahlah yang membuat kita tak harus kehilangan harapan untuk masa depan HMI yang lebih baik. Usia baru harus berkonsekuensi pada kebaruan pikir juga sikap untuk menjadi arus kecil yang kemudian akan menjadi gelombang besar untuk perubahan HMI. Dengan mengurai persoalan-persoalan di HMI akan menjadi sebab demi akibat perbaikan ummat dan bangsa ini di masa depan. HMI adalah aset ummat dan bangsa, menjaga kejernihannya berarti menjaga sumber mata air pemimpin ummat dan bangsa. Jika tak mampu menjadi obor perubahan, minimal kita tidak menjadi bagian dari masalah yang ada. Libido kuasa dan hasrat untuk cepat sejahtera dipermak sebaik mungkin dengan bahasa yang santun dengan hiasan alasan yang dibenar-benarkan. Semakin lama menjadi budaya yang mengakar bahkan mengalir dari ketinggian ke tempat yang rendah. Resah dan pasrah adalah sebuah pengkhianatan akan kemanusiaan yang dari-Nya dititipkan sekian banyak potensi kesempurnaan. Mengkanalisasi resah kemudian tidak pasrah dengan terus berikhtiar adalah pilihan yang harus disegerakan, tak peduli sesempit dan segelap apapun jalannya. Memupuk optimisme dengan selalu memikul tanggungjawab sejarah akan masa depan bangsa tak bisa ditawar lagi. Melawan pesimisme dengan membangun budaya baru dan baik harus dilakukan secara gotong royong. Ketika semua berpikir untuk semua dan semua bekerja untuk semua. Semua menjadi subjek sehingga aktif memperjuangkan dan mempertahankan apa yang menjadi konsensus bersama atas kesamaan kiblat pada modal primordial akal sehat dan hati nurani. Misi Rasulullah untuk membangun peradaban memiliki tiga pilar utama yang dijalankan dengan kesungguhan niat sekaligus ikhtiar, yakni keilmuan, ketakwaan, dan akhlak mulia atau integritas. Dari ketiga hal inilah perubahan akan menemukan jalannya.(*)

170



HMI dan Tanggung Jawab Sosial Perspektif Farmasis Anshar Saud*

SEBUT saja namanya Cinta. Beliau seorang mahasiswi baru Farmasi Universitas Hasanuddin yang cerdas, berjilbab dan cantik. Hari itu, ia bergegas mendatangi seniornya. Baru saja ia menghadiri Maperca11 yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Farmasi Unhas Cabang Makassar Timur. Ia langsung jatuh simpati kepada korps berlambang perisai hijau- hitam itu. Mungkin pula ia jatuh hati kepada Rangga, sang senior yang tampak karismatik dengan peci dan berkalung gordon khas, yang beberapa saat lalu menjadi pembicara di acara tersebut. Intuisinya untuk mencari tahu apa yang diyakininya sebagai kebenaran bersambut. Sang senior dengan retorika yang pas tampak aktif mendengarkan dan bersiap-siap menjelaskan. “Tabe’12 kak, mauka’ tanya bagaimana menjadi anak HMI yang baik dan juga jadi anak farmasi yang baik sekaligus?”. Senior yang telah lulus semua jenjang pengkaderan ini tersenyum. “Dek, kalo ko sudah jadi anak HMI yang baik, otomatis ko jadi anak farmasi yang baik juga.” Dengan tangkas junior 11. Maperca: Masa perkenalan calon anggota. Biasanya diinisiasi oleh pengurus dan alumni HMI tingkat komisariat atau rayon. Tujuannya memperkenalkan HMI pada mahasiswa baru agar tertarik masuk organisasi ini 12. Tabe’ (bahasa Makassar): ungkapan sopan untuk meminta izin. Artinya sama dengan tabik (bahasa Melayu)

171

lanjut bertanya, “kalau begitu kader yang baik itu seperti apa kanda? Apakah ia berpuas diri begitu sampai pada kesuksesan pribadinya saja?” Sulit rasanya Rangga menjawab pertanyaan itu dengan kalimat yang ringkas-ringkas saja. Akhirnya ia memulai dengan menceritakan pengalaman Nurcholish Madjid13 dalam menuliskan Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP)14. Nilai-nilai dasar yang mempengaruhi cara berpikir dan pandangan anggota organisasi mahasiswa tertua di Indonesia ini. *** AHMAD Wahib dalam bukunya Pergolakan Pemikiran Islam15 menuliskan bahwa perjalanan Cak Nur ke universitas-universitas Amerika pada tahun 1968 yang menginspirasi Cak Nur untuk menuliskan NDP. Tidak, kata Cak Nur. Justru perjalanan ke Timur Tengah selama tiga bulan lebihlah yang menggerakkan ia untuk menuliskan nilai identitas kader ini. Tujuan muhibahnya adalah ingin menghayati dan melihat langsung wujud Islam dalam praktiknya di Timur Tengah. Uang hariannya selama satu bulan dua minggu dari pemerintah Amerika ia simpan. Digunakannya uang per diem itu untuk biaya berkeliling ke Timur Tengah. Dari Amerika ia tidak langsung pulang ke Indonesia, melainkan langsung ke Istanbul kemudian ke Lebanon. Dari situ ia ke Kuwait dan menuju Saudi Arabia16, dan terakhir ke Mesir. Sepulangnya dari berhaji bersama rombongan pengurus PB HMI pada tahun 13. Nurcholish Madjid. Ketua Umum Pengurus Besar HMI dua periode (1966-1971). Penggagas Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI. 14. NDP (Nilai-nilai Dasar Perjuangan): Pedoman perjuangan HMI yang mendasar dan sistematis. Ditetapkan pada Kongres X HMI di Palembang tahun 1971. Pada mulanya bernama NDI (Nilai Dasar Islam) yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid pada Kongres IX HMI di Malang tahun 1969. Selanjutnya Kongres IX menugaskan kepada Nurcholish Madjid, Endang Saifuddin Anshari dan Sakib Mahmud untuk menyempurnakannya. Lihat, Nurcholish Madjid, (1971), Latar Belakang Perumusan NDP-HMI, Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, Jakarta. 15. Lihat Djohan Effendi, Ismet Natsir (Ed), (2003), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, LP3ES, Jakarta. Buku ini merupakan catatan harian Ahmad Wahib (19421973), seorang alumni Kimia Universitas Gajah Mada. Seorang aktivis HMI yang berpikiran maju dan terbuka pada zamannya. Pemikir teologi, politik dan budaya. Meninggal pada 30 Maret 1973 karena tertabrak motor pada saat bertugas sebagai reporter Majalah TEMPO. 16. Pada saat pada di Riyadh, Saudi Arabia, Cak Nur diajak oleh kawan lamanya Dr. Mustafa mengajaknya ke Fakultas Farmasi Universitas Riyadh yang mengadakan wisuda. Disitu hadir Menteri Pendidikan Syekh Hasan bin Abdullah Ali, cucu Muhammad bin Abdul Wahab yang kemudian mengundang Cak Nur bersama 10 anggota PB HMI untuk berhaji pada musim haji yang akan datang.

172



1969 atas undangan Kerajaan Arab Saudi, ia semakin bersemangat untuk menulis tentang buku pedoman nilai-nilai dasar Islam yang digunakan pada saat pelatihan. Risalah kecil karyanya inilah yang menjadi cikal bakal NDP. Nilai-nilai dasar ini termaktub pada bagian kesimpulannya yang berisi poin-poin penting, yaitu17: Hidup yang benar dimulai dengan iman kepada Tuhan. Keinginan mendekat dengan kecintaan kepada-Nya dinamakan takwa. Iman dan takwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak. Nilai-nilai itu memancar dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan dan amal saleh. Iman dan takwa ini dipelihara dengan ibadah secara ikhlas. Dengan ibadah, manusia dididik untuk memiliki kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri. Sebab ia telah berbuat ikhlas, yaitu pemurnian pengabdian kepada Kebenaran semata. Kerja kemanusiaan atau amal saleh untuk kepentingan manusia dan masyarakat. Hal itu berarti usaha-usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan masyarakat kepada nilai-nilai yang baik, lebih maju dan lebih insani. Yaitu menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Usaha itu ialah “amar ma’ruf ”, di samping usaha lain untuk mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan atau nahi mungkar. Bentuk kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum tertindas dan kaum miskin. serta mengusahakan peningkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia. Kesadaran dan rasa tanggung jawab melahirkan jihad – sikap berjuang. Syarat keberhasilan perjuangan adalah barisan bangunan yang kokoh, bergotong-royong atas dasar kemanusiaan dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran, dan pengorbanan. Dan dengan jalan itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat. Tetapi justru demi kemanusiaan, mereka adalah manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang benar, mereka tidak memaksakannya kepada orang atau golongan lain. Kerja kemanusiaan atau amal saleh harus mengarah kepada kebenaran dan ke-

17. Nurcholish Madjid, Op.cit., (1971)


173

baikan. Manusia harus tahu arah yang benar dari perkembangan peradaban di segala bidang. Dengan ilmu pengetahuan yang didasari sikap terbuka. Kerja kemanusiaan atau amal saleh itu merupakan proses perkembangan yang permanen. Pejuang kemanusiaan berusaha mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Dengan perkataan lain, manusia harus mendalami dan selalu mempergunakan ilmu pengetahuan. Kerja kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan menghancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karunia Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami ilmu pengetahuan harus didasari oleh sikap terbuka. Mampu mengungkapkan perkembangan pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian mengambil dan mengamalkan di antaranya yang terbaik. Sehingga dengan demikian secara sederhana tugas hidup manusia adalah beriman, berilmu dan beramal. Pharmaceutical Care, Filosofi Farmasi Jika membaca kesimpulan NDP di atas, maka nyatalah bahwa setiap kader wajib untuk menelaah perkembangan peradaban di segala bidang. Wajar jika dengan mudah ditemui kader-kader yang generalis cum spesialis . Pertanyaan fundamental menyeruak, apa tanggung jawab sosial mahasiswa khususnya farmasis terhadap masyarakat?. Salah satu kewajiban moral farmasi kepada komunitas sekelilingnya adalah menjalankan Pharmaceutical Care.18 Perkembangan dan maturitas farmasi sebagai sebuah profesi memungkinkannya untuk bersumbangsih kepada masyarakat. Utamanya dalam mengurangi tingkat kematian dan kesakitan yang terkait dengan obat.19 Profesionalisasi farmasi akan tercapai hanya jika semua anggotanya menerima mandat sosial itu dalam menjamin keamanan obat dan terapi obat yang efektif hingga ke tingkat individu pasien.20

18. Lihat Hepler & Strand, (1990), Opportunities and Responsibilities in Pharmaceutical Care, American Journal of Hospital Pharmacy, Vol 47, pp 533-43. Beberapa ahli farmasi Indonesia menerjemahkan istilah ini menjadi “pelayanan kefarmasian”. Sementara pakar yang lain menggunakan “asuhan kefarmasian”. Penulis cenderung untuk tidak menerjemahkannya secara etiologis karena istilah ini telah mendunia. Telah dikenal sebagai mandat baru profesi farmasi. 19. Ibid, hal 533. 20. Ibid.

174



Perubahan dramatis sosial, ekonomi dan politik dunia telah jauh mengubah orientasi ilmu dan profesi kefarmasian. Dari paradigma yang berorientasi produk menjadi berpusat kepada pasien. Sejarawan farmasi Gregory Higby (1995) menggambarkan berbagai transisi era dalam praktik kefarmasian khususnya selama lima puluh tahun terakhir:21 1. Era “hitung dan tuang” (count and pour), 2. Era farmasi klinik, dan 3. Era pharmaceutical care Kini, setiap satu dari empat pasien yang dirawat di rumah sakit disebabkan oleh masalah terapi obat.22 Mayoritas dari hospitalisasi yang disebabkan masalah terkait obat ini sebenarnya merupakan hal yang dapat dicegah.23 Sehingga sangat dibutuhkan praktisi baru yang dapat menerapkan standar baru praktik farmasi. Filosofi praktisi yang memungkinkannya berkontribusi dalam terapi obat yang tepat, efektif, aman dan nyaman bagi semua pasien. Standar praktik ini dapat menghasilkan sebuah kontinum pelayanan berkualitas tinggi untuk yang dihasilkan dari riset melalui praktik nyata. Karena standar ini membawa solusi rasional untuk mengelola benefit dan risiko penggunaan obat.24 Hepler dan Strand (1990) menekankan bahwa ada dua aktivitas yang harus terjadi dalam pemberian pharmaceutical care. Pertama, farmasis menyediakan waktu untuk mendengarkan kemauan, preferensi dan kebutuhan pasien yang menyangkut kesehatan atau penyakitnya. Kedua, farmasis membuat komitmen untuk melanjutkan perawatan sedari awal. Dari kedua premis dasar ini timbullah pernyataan bahwa “pharmaceutical care is responsible provision of drug therapy for the purpose of achieving definite outcomes that improve a patient’s quality of Life.” 25

21. Lihat Higby, G. (1995). History of Pharmacy from Compounding to Caring. Dalam Knowlton, C., dan Penna, R., (Eds.) Pharmaceutical care (Chapter 2). New York: Van Nostrand Reinhold 22. Lihat Samoy, L.J., Zed, P.J., Wilbur, K., Balen, R.M., Abu-Laban, R.B., Robert, M. (2006). Drug-related Hospitalizations in a Tertiary Care Internal Medicine Service of Canadian Hospital: a Prospective Study. Pharmacotherapy, 26(11): 1578-86. 23. Howard, R.L., Avery, A.J., Slavenburg, S., et al. (2007). Which Drugs Cause Preventable Admissions to Hospital? A Systematic Review, Br J Clin Pharmacol. 63(2): 136-7. 24. Lihat Cipolle, R.J.,Strand, L., Morley, P. (2012). Pharmaceutical care Practice : The Patient Centered Approach to Medication Management. Minnesota: McGraw-Hill Medical. 25. Hepler & Strand, Op.cit., (1990), hal 533, 539


175

Istilah ini pertama kali digunakan untuk menggambarkan perawatan pasien yang membutuhkan dan menerima obat yang aman dan rasional dari farmasis. Meskipun tema ini telah digunakan beberapa kali sejak pertama kali diperkenalkan, tidak ada elaborasi yang substansial hingga Brodie, pada tahun 1981 menyarankan bahwa praktik ini termasuk penentuan obat yang dibutuhkan oleh individu. Tanggung jawab yang tidak hanya terbatas pada obat yang diperlukan tetapi juga pelayanan yang dibutuhkan (sebelum, selama dan setelah perawatan) untuk menjamin keamanan optimal dan terapi yang efektif.26

Gambar Pendekatan berpusat pada pasien27

Pharmaceutical Care, sama halnya dengan Medical Care, Dental Care dan Nursing Care. Ia merupakan salah satu komponen kunci dalam pelayanan kesehatan. Kolaborasi yang egaliter sejak dini dari pemberi layanan kesehatan ini sangat diperlukan. Alhamdulillah, di HMI Cabang Makassar Timur (Maktim), komunikasi dan kerja sama antar kader rumpun ilmu kesehatan telah sekian lama terjalin. Sudah beberapa generasi kader Korps Hijau-Hitam Kesehatan Unhas berhimpun dalam LKMI28 Maktim hingga berhasil mengusung salah satu kadernya menjadi Ketua Umum Pengurus Besar.29 26. Lihat Cipolle, R.J.,Strand, L., Morley, P. (2012). Pharmaceutical care Practice : The Patient Centered Approach to Medication Management. Minnesota: McGraw-Hill Medical 27. Ibid 28. LKMI: Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam. Sebuah organisasi otonom di dalam PB HMI untuk kader HMI dalam rumpun ilmu kesehatan. 29. M. Arief Rosyid Hasan. Dokter gigi, alumni Fakultas Kedokteran Gigi UNHAS. Ketua

176



Hingga kini, perjuangan organisasi dan kader-kadernya dalam segala bidang pengabdian ilmu terus bergulir. Ada baiknya kita mengingat kembali salah satu pesan Cak Nur dalam pengantarnya di NDP, “Ada dua syarat utama suksesnya perjuangan: Pertama, Keteguhan iman atau keyakinan kepada dasar, yaitu idealisme kuat, yang berarti harus memahami dasar perjuangan itu. Kedua, Ketepatan penelaahan kepada medan perjuangan agar dapat menetapkan langkah-langkah yang harus ditempuh, berupa program perjuangan atau kerja, yaitu ilmu yang luas.”30 Menjadi kader HMI berarti menjadi pejuang dalam memperteguh iman dan memperluas ilmu pengetahuan, untuk memberi arah perkembangan peradaban di segala bidang. Dimulai dari bidang keahlian masing-masing. Melalui proses berkesinambungan tak kenal henti dalam belajar, berkomitmen, dan bertindak.31 Semoga Allah menganugerahkan kita iman yang teguh dan ilmu pengetahuan yang luas. [] * Anshar Saud, lahir di Ujung Pandang, 30 Juni 1978. Salah satu pendiri dan Ketua Umum pertama HMI Komisariat Farmasi Universitas Hasanuddin (1999), Wasekum PAO HMI Cabang Makassar Timur (2000), dan Koordinator Wilayah Sulawesi – Bakornas LKMI (2001). Ia merupakan peserta terbaik pada National Advance Training HMI Badko Sulawesi (2002). Kini ia bertugas sebagai dosen pada almamaternya, Fakultas Farmasi UNHAS dan sedang berjuang menyelesaikan tesisnya pada program Magister Ilmu Kefarmasian Universitas Indonesia.

Umum PB HMI periode 2013-2015 30. Nurcholish Madjid, Op.cit., hal 2 31. Dikenal dengan istilah spiral ke atas (upward spiral) melalui tiga bagian: learn, commit and do. Membentuk rangkaian tidak putus ke atas yang bertambah besar dan senantiasa melalui tiga bagian tersebut. Spiral ke atas menghasilkan pertumbuhan, perubahan dan perbaikan secara kontinyu. Diperkenalkan oleh Stephen R Covey (1932-2012).


177

178



Meretas HMI di Halaman Depan Indonesia Ade Saktiawan

ADA sebuah fakta menarik dari buku Why Nations Fail yang ditulis Daron Acemoglu dan Robinson. Keduanya meneropong dan menyajikan data sejarah institusi-institusi di Amerika Serikat dalam menciptakan pemerataan ekonomi, kualitas pelayanan kesehatan dan kesejahteraan hingga di tapal batas wilayahnya. Seperti di Nogales, Arizona, dengan pendapatan per kapita rata-rata penduduknya kurang lebih USD 30.000 per tahun. Warga Nogales, Arizona juga mendapatkan kepastian pelayanan publik seperti jaminan kesehatan, infrastruktur jalan, sanitasi, listrik dll. Angka harapan hidup warga Nogales, Arizona berdasarkan standar global juga cukup tinggi dan tingkat partisipasi demokrasi sangat baik. Kondisi yang jauh berbeda di wilayah yang berhadapan langsung dengan Arizona ada di Nogales, Sonora, Mexico. Angka kematian bayi yang tinggi, prevalensi penyakit yang bebas hilir mudik, banyaknya remaja putus sekolah dan tingkat kriminalitas yang melangit. Pemerintahan yang korup dan macetnya sistem demokrasi menjadi lingkaran setan yang berakibat langsung pada rendahnya kualitas dan akses pelayanan publik. Lebih jauh dijelaskan bahwa demokrasi adalah pengalaman baru bagi warga Nogales, Sonora. Reformasi politik baru bergulir pada tahun 2000. Sebelumnya sistem politik Nogales, Sonora dikuasai oleh Paratido Revolucionario Institucional (PRI) yang (katanya) punya tradisi korup. Beragam perspektif dibangun untuk meretas penyebab gap tajam antara Nogales,

179

Arizona dengan Nogales, Sonora. Ada yang berpendapat bahwa faktor asal usul warganya yang berbeda, warga Nogales, Arizona berasal dari keturunan kaum migran Eropa sedangkan warga Nogales, Sonora merupakan keturunan Aztec. Pendapat ini pun terbantah, latar belakang sejarah warga kedua wilayah ini relatif sama. Terlihat dari budaya kuliner serta jenis musik yang sama. Penjelasan panjang diberikan dengan melihat sejarah terbentuknya sejumlah koloni di Amerika Utara dan Amerika Latin. Dari fakta ini, tak sulit menemukan bahwa ada kesamaan antara halaman depan Indonesia dengan wilayah Nogales, Sonora Mexico, setidaknya dalam hal keterbelakangan infrastruktur dan akses pelayanan publik. Kesamaan ini lebih dekat dibandingkan dengan wilayah negara tetangga yang berhadapan langsung dengan Indonesia seperti Singapura, Tawau, Sabah, Australia, dll.

“Untuk sebuah laku kepedulian,

ini bukan tentang jumlah penduduk, tetapi tentang ‘ketidakpantasan’ menjadi subaltern di pangkuan ibu Pertiwi.” Sebagai catatan, batas wilayah Indonesia tersebar di 10 kawasan (laut dan darat) dimana terdapat 92 pulau kecil-kecil yang jika tidak dijaga akan bernasib seperti Sipadan-Ligitan. Di Pulau Kalimantan sendiri membentang garis batas 2.004 km. Di beranda utara membentang batas 1.035 km yang dihuni tidak kurang dari 425.720 jiwa. Jumlah yang tersebar di 17 kecamatan ini tak cukup banyak dibandingkan total manusia Indonesia. Tetapi bernasib cukup lirih mengingat pertumbuhan kesejahteraan penduduknya jauh di bawah rata-rata ‘pertumbuhan’ masalahnya. Lihat saja kompleksitas masalah sosial, ekonomi, kesehatan dan kebudayaan berikut akibat turunannya. Untuk sebuah laku kepedulian, ini bukan tentang jumlah penduduk, tetapi tentang ‘ketidakpantasan’ menjadi subaltern di pangkuan ibu Pertiwi. Yah, ketidakpantasan didera banyak masalah yang nyaris pelik diurai benang kusutnya. Kajian Pusat Kajian Masyarakat Perbatasan Kalimantan Utara (Pikir Kaltara) menunjukkan tujuh isu utama di masyarakat perbatasan. Ketujuh isu itu yakni (1) ekonomi-politik dan sosial-budaya; (2) kemaritiman; (3) supremasi hukum; (4) nasionalisme dan pertahanan-keamanan; (5) kelembagaan dan kebijakan; (6) pengelolaan SDA dan keseimbangan ekologis; dan (7) kerjasama antar-negara. Secara fisik, dapat dilihat di antaranya disparitas pembangunan infrastruktur

180



yang mengakibatkan rendahnya aksesibilitas semua pihak (termasuk TNI-POLRI penjaga perbatasan), rendahnya ketahanan sosial dan kualitas sumberdaya manusia (masyarakat dan aparatur), maraknya kegiatan ekonomi ilegal, pelanggaran hukum, dan ketiadaan lembaga khusus pengelola seluruh aspek kehidupan perbatasan. Inilah wajah buruk perbatasan bahkan selama 17 tahun terakhir di era reformasi. Celakanya, ’keramaian’ ini terjadi di tengah gempuran rencana proyek multiaktivitas global, ASEAN Economic Community pada akhir 2015. Deraan masalah ini merupakan wujud kesalahkaprahan pengurus negara selama puluhan dekade. Tidak saja di irisan sejarah 32 tahun orde baru, tetapi juga di era rezim - Rudolf Mrázek menyebutnya “Indonesian Dandy”- kenecisan. Di orde kedua rezim ini, mudah kelihatan bahwa kekalutan itu dimulai ketika Security Approach dijadikan sebagai (satu-satunya) pendekatan dalam memperlakukan wilayah perbatasan Indonesia.Sebuah pendekatan kusam yang cukup terlambat disadari. Wilayah Terluar (Terbelakang) adalah sebutan yang ‘pas’ untuk perbatasan kala itu. Penyelenggara negara lupa bahwa selain menempatkan patok seadanya, angkatan perang berikut seabrek aksesoris pengamanan lainnya, ada hal lain yang wajib ‘diamankan’. Masyarakat perbatasan (juga) butuh listrik, akses jalan alih-alih beraspal, puskesmas (terakreditasi), hunian layak, pasar, dan segunung akses dasar penyambung hidup lainnya. Pengurus negara lupa, masyarakat perbatasan juga punya hak yang sama atas infrastruktur, pelayanan publik, partisipasi politik (bukan mobilisasi), kesejahteraan hingga hak atas kebudayaan bangsanya. Orde reformasi mulai ada niat baik, tentunya setelah rentetan tragedi yang mengancam keutuhan negara. Sebut saja pencaplokan wilayah, pelanggaran batas teritori, eksodus, perdagangan manusia, penyelundupan narkoba, illegal logging/ fishing, riak-riak makar sebagai bentuk protes, dsb. Singkatnya di era rezim kemeja putih, pendekatan yang lebih ramah digunakan dalam duet Security Approach-Prosperity Approach. Setidaknya ada dalam salah satu poin Nawacita, “Membangun Indonesia dari Depan”. Frasa “halaman depan” pun dipopulerkan sebagai ‘hiburan’ untuk mengaburkan fakta penganaktirian selama puluhan tahun. Tanpa bermaksud terburu-buru, tapi wajah perbatasan kini tak juga lebih baik. Masalah-masalah klasik belum juga terpecahkan. Buntutnya, ‘teror’ bagi keutuhan negara kembali gentayangan. Benar, regulasi berlapis untuk pengelolaan, pengembangan bahkan percepatan telah disahkan.Lembaga-lembaga seperti BNPP juga dibentuk. Bahkan tidak kurang dari 73 Dirjen yang tersebar di 15 Kementerian dibentuk. Tapi eksekusi teknisnya, masih terseok-seok atau bisa


181

dibilang punya banyak bottle-neck. Mengapa? Conductor dan ritme regulasi tidak diiringi komitmen kelembagaan dan minus kewenangan. Lihat saja eksekusi pendanaan dan pelaksanaan, tak ubahnya sekedar “mekanisme pengguguran kewajiban”, selain ego sektoral kelembagaan tentunya. Alhasil, arah, pendekatan dan strategi tidak bersinergi alih-alih terintegrasi. Artinya, fungsi kontrol di luar institusi normatif diperlukan. Masyarakat sebagai sasaran pembangunan perlu dilibatkan dalam beragam bentuk. Termasuk dalam wadah yang mandiri seperti organisasi kemasyarakatan atau kemahasiswaan/ kepemudaan. Seperti itu yang ’diamanahkan’ Civil Society bukan? Strategi Kebudayaan HMI Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) dalam rencana strategis 20152019 mengurai bahwa kawasan strategis (dan butuh di urus secara serius) halaman depan Indonesia yang berbatasan laut dan darat yaitu ada 13 Propinsi. Di antaranya Propinsi Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Papua Barat, Papua, dan Nusa Tenggara Timur.

“Amanah yang diberikan kepada

Badko yang berdiri sejak 1963 ini sangat ideal yaitu dengan mengkoordinasi beberapa Cabang, minimal Cabang-cabang dalam satu provinsi.” Di ke-13 kawasan strategis ini yang jika dikonversikan ke dalam kekuatan organisasi HMI, setidaknya ada sembilan Badan Koordinasi (Badko), puluhan cabang hingga komisariat yang dapat mengambil peran strategis untuk (ikut) mengurus halaman depan Indonesia. Belum lagi lembaga-lembaga semi-otonom (baca: lembaga profesi) HMI seperti Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam, Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam, Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam, Lembaga Teknologi Mahasiswa Islam, Lembaga Pers Mahasiswa Islam, dll. HMI memiliki struktur yang kuat dalam tiga jenjang pengurus besar, cabang dan komisariat. Ini adalah struktur pokok yang dalam perkembangannya bertambah dengan Badan Koordinator (Badko), Koordinator Komisariat (Korkom) dan lembaga-lembaga lainnya yaitu lembaga-lembaga kekaryaan, dan lembaga Kohati. Amanah yang diberikan kepada Badko yang berdiri sejak 1963 ini sangat ideal

182



yaitu dengan mengkoordinasi beberapa Cabang, minimal Cabang-cabang dalam satu provinsi. Dengan perangkat kelembagaan yang lengkap seperti ini, HMI semakin ‘menyempurna’ untuk (dituntut) hadir di halaman depan Indonesia. Diferensiasi kerja yang definitif dalam struktur yang kompleks dan rapi ini merupakan bukti bahwa HMI sangat fleksibel terhadap beragam persoalan, termasuk di luar pakem kelembagaan. Seperti ditegaskan Alfan Alfian, HMI dibangun atas dua unsur pokok yaitu struktur organisasi yang kokoh, dan kultur atau budaya organisasi yang kondusif bagi perkembangan HMI dari waktu ke waktu. Artinya, HMI memiliki infrastruktur kelembagaan yang modern. Misalnya, untuk persoalan pemerataan kesejahteraan yang belakangan mencuat terutama di negara-negara dunia ketiga, ada bidang partisipasi pembangunan nasional dan bidang partisipasi pembangunan daerah (PPD) di masing-masing tingkatan pengurus cabang. HMI cukup potensial mengambil peran, fungsi bahkan nilai tawar strategis di tiap tikungan masalah bangsa ini sebagai ikhtiar tanggungjawab terwujudnya masyarakat adil-makmur. Tak terkecuali ketika bangsa ini berpacu mengejar ketertinggalan, terlebih di sudut-sudut redup rumah NKRI yang nyaris tak berbentuk. Karenanya, tuntutan pengabdian akan peran HMI ini senada dengan kedua pilar historis HMI. Di halaman depan Indonesia, HMI (Harus) hadir! Tak diragukan lagi, HMI di bentangan zaman menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah di setiap babak pen/gen-ting perjalanan bangsa ini. Sebut saja, saat arus pendek di fase perang dingin oleh dua blok yang (sebenarnya) sudah (sama-sama) mencium aroma tambang dan energi di Papua, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Kalimantan. Pertarungan arus pendek ini nyaris menenggelamkan Indonesia (termasuk HMI) dalam perang saudara yang berkepanjangan nan barbar. Ditopang ketangguhan epistemologi, kemapanan usia organisasi berikut perangkat dasarnya, HMI mampu menjaga ritme. Alih-alih perang saudara, diterjang badai lintas ruang sepanjang perjalanannya, organisasi ini malah tumbuh makin dewasa, tangguh dalam gelombang ekstrim laut politik dengan visi jauh ke depan melampaui zamannya. Narasi ‘melankolis’ ini (kembali) dijelaskan dengan baik oleh Alfan Alfian. Alfian menulis, HMI benar-benar dihadapkan pada upaya untuk tetap eksis dan survive pada periode genting akhir 1950-an dan paruh pertama 1960-an ketika rezim kenecisan dengan mudah membubarkan partai-partai politik dan organisasi kemasyarakatan yang dianggap kontrarevolusioner. Sejarah mencatat bahwa lebih dari itu ternyata HMI juga berperan penting sebagai representasi mahasiswa Islam dalam keikutsertaannya mewarnai babak penting bangsa, yaitu ketika transisi politik terjadi pasca – Noorsena menyebutnya creeping coup d’etat (kudeta


183

merangkak) 1965 (Noorsena: 222). Artinya, tak begitu sulit bagi HMI untuk (mau) turun bel/meng-ajar di Halaman Depan Indonesia.

“Sebagai organisasi yang

matang oleh pergulatan dialektika sejarah dan akrab beragam diskursus, HMI tentu tak kekurangan perangkat lunak, apalagi soal metodologi pemecahan masalah.” Sebagai organisasi yang matang oleh pergulatan dialektika sejarah dan akrab beragam diskursus, HMI tentu tak kekurangan perangkat lunak, apalagi soal metodologi pemecahan masalah. Tetapi akan lebih “seksi” ketika metodologi mapan dikombinasikan dengan ‘metodologi’ masyarakat lokal. Sebut saja kecerdasan lokal. Di banyak kajian dijumpai bahwa pengetahuan lokal merupakan seperangkat nilai dan norma tentang bagaimana warga lokal memahami dan menjalani kehidupan. Sartini mencatat, pengetahuan lokal merupakan lahan subur untuk digali dan dikembangkan sebagai ‘wacana’ alternatif. Contoh, di Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi Tana‘ Ulen. Kawasan hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat. Selain itu, masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat mengembangkan kearifan lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, mengklasifikasi hutan dan pemanfaatannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera. Mereka juga mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada pertanian sederhana dan ramah lingkungan (Sartini, 2004:113). HMI boleh belajar dari kearifan ‘orang desa’ yang banyak tercecer di portal bangsa ini. Keluar dari patron ketokohan, (maaf ) Jakarta-sentris dan sejarah panjang kebesaran organisasi ini, ada alasan lain (baca: keniscayaan universal) mengapa HMI (harus) punya respon cepat terhadap dinamika Halaman Depan Indonesia. Satu dari Lima kualitas insan cita HMI adalah insan pengabdi. Tidakkah fakta lirih di halaman depan memanggil kader HMI untuk mengabdi? Satu dari dua misi HMI adalah kebangsaan, bukankah masalah di halaman depan bagian dari misi kebangsaan HMI? Sebagai organisasi kader, HMI kental intelektualitas. Tapi apa artinya intelektualitas melangit jika (ternyata) tak mampu memberi manfaat langsung terhadap masyarakatnya. Halaman depan menanti solusi memanusiakan. Bukankah ini merupakan jalur ikhtiar membumikan kualitas Insan Akademis?. Di Halaman Depan Indonesia, HMI (Harus) Hadir.

184



HMI telah lama (di)tenggelam(kan) di lautan gemerlap lampu kota. Karenanya, suara lirih dari pinggiran digantung di puncak batu cadas. Benar, di lautan kota ada banyak ‘mutiara’, tetapi diperebutkan jutaan aktor berkoloni. Maka sesekali harus menepi, sebelum suara itu (kembali) disambut oleh para pengincar di seberang. HMI sudah cukup kenyang akan dirkursus peradaban modern, bahkan mungkin menjadi terminal pesan melangit. Karenanya, ‘pesan’ masa lalu dikurung di kamar gelap takhayul. Maka sesering mungkin harus mengggali kepingan artefak di sisa reruntuhan peradaban ‘takhayul’, sebelum para pencipta ‘peradaban’ post-/modern (kembali) mengajari tentang masa lalu bangsa ini. *** Sumber Bacaan: Acemoglu, Daren dan James Robinson. 2014. Mengapa Negara Gagal; Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran dan Kemiskinan. Elex Media Kom putindo. Alfian, M. Alfan. 2013. HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) 1963-1966; Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara. Penerbit Buku Kompas. ----------Jumlah ini hanya mengacu pada data KPU Tahun 2014 tentang jumlah hak pilih di 17 Kecamatan ‘Perbatasan’ Kaltara pada Pilpres 2014. Kasenda, Peter. 2014. Sukarno Marxisme dan Leninisme (Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia). Komunitas Bambu. Peraturan BNPP No.1 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pengelolaan Per batasan Negara 2015-2019. Peraturan BNPP No.2 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Pengelolaan Per batasan Negara 2015-2019. PIKIR KALTARA (Pusat Kajian Masyarakat Perbatasan Kalimantan Utara) ada lah lembaga yang konsen melakukan studi dan pendampingan masya rakat perbatasan khususnya di Kalimantan Utara.


185

186



Kisah Klasik Adam-Hawa serta Cita-Cita Futuristik Gender Andi Sri Wulandani*

Manusia adalah apa yang ia pikirkan. Kalimat ini menjadi sangat populer di pikiran saya dan selalu menjadi semacam alarm bagi saya dalam hidup dan berkehidupan. Saya menemukan kalimat ini pertama kali diucapkan oleh Murtadha Muthahari dalam bukunya yang berjudul Manusia dan Alam Semesta, lalu saya menemukan kalimat ini lagi dalam buku Quantum Learning melalui ungkapan Goethe, “Jika kamu berpikir bisa, maka kamu bisa. Jika kamu berpikir tidak bisa, maka kamu tidak bisa”, kemudian kalimat ini muncul lagi ketika saya membaca sebuah buku berjudul Berpikir dan Berjiwa Besar (The Magic of Thinking Big) karya David J. Schwartz. Buku karangan Schwartz tersebut mengajak manusia untuk meyakini kekuatan pikirannya. Kalimat tersebut memang tak asing di telinga saya sejak tahun 2000. Saat itu saya masih menjadi mahasiswa baru di Universitas Hasanuddin. Setelah melalui pengkaderan pertama (Basic Training) di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tahun 2001, kalimat ini memang sudah sering saya dengar dari para senior HMI Cabang Makassar Timur. Meski penangkapan saya saat itu masih sayup-sayup, namun tidak mematahkan semangat saya untuk mencari tahu gagasan-gagasan cemerlang dari para senior tersebut. Saya pun menemukan jawabannya, bahwa manusia untuk menemukan rahasia atau misteri kehidupan ini, ia harus belajar. Karena dengan belajar, ia akan mengaktifkan kekuatan akalnya yang menjadi sarananya mencapai ilmu pengetahuan. Dari ilmu pengetahuan tersebut, manusia

187

akan bisa memecahkan banyak hal, tidak hanya menjadikannya cerdas berkehidupan namun menjadikannya pula memiliki keyakinan dalam hidup. Berpikir Esoterik Abad 20 ditandai dengan diperkenalkannya cara berpikir esoterik. Mempertanyakan tentang hakikat manusia dan hakikat alam semesta beserta penciptanya adalah karakter dari cara berpikir ini. Dari Wikipedia, esoterik dapat diartikan sebagai ilmu tentang akumulasi dari kebijaksanaan dari zaman ke zaman atau dapat pula diartikan sebagai suatu hal yang terdapat di luar daya tangkap dan daya pikir manusia biasa dan mewakilkan sebuah proses evolusi mahkhluk hidup dari suatu titik dasar : Bagaimana semesta dapat tercipta, bagaimana kinerjanya dan peran manusia di dalamnya.32 Pemikiran seperti ini cenderung melawan arus dominan. Sekitar tahun 1990-an, pembahasan hal-hal yang berbau keagamaan selalu diidentikkan dengan pembahasan yang berkaitan dengan kasat mata (lahiriah). Saya banyak menemukan kajian dan literatur tentang bagaimana bersyariat dengan topik yang dominan adalah bagaimana hukum suatu perbuatan yang kesemua itu akan mengarah ke seputar halal dan haram. Bahkan di tahun 1991, saya dan saudara saya memiliki buku koleksi tentang surga dan neraka. Dalam buku itu digambarkan bagaimana keadaan di neraka yang sangat menakutkan. Karena ketakutan yang sangat luar biasa, melihat sosok di neraka itu yang digambarkan seperti iblis berlidah panjang dan berekor panjang dengan gigi taring dan mata besar serta telinga yang cukup lebar seperti sosok Org di film Eragon atau Hobbit di film The Lord of The Ring, maka saya dan saudara saya memutuskan untuk menyembunyikan buku itu bertahun-tahun di sebuah laci lemari yang tak akan pernah kami buka selamanya. Sampai saat itu, buku itu entah dimana keberadaannya. Hampir tak ada pengalaman perdebatan seputar ketuhanan saat itu ataupun soal surga dan neraka. Sepanjang menjadi Islam di usia yang saat itu masih tergolong kanak-kanak, yang saya tahu bahwa jika tidak menaati Allah, siap-siaplah masuk neraka dan bertemu dengan makhluk yang ada di buku itu. Perkenalan pertama saya dengan cara berpikir esoterik adalah pada saat saya membaca karya Ratna Megawangi, yaitu buku Membiarkan Berbeda (1999) yang diterbitkan oleh Mizan. Sebelumnya saya membaca karya Mansour Fakih 32. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Esoteris_Esoterik, saya hanya mengambil dua dari beberapa pengertian esoterik yang disajikan Wikipedia, diakses tanggal 5 Juli 2016.

188



dalam Analisis Gender dan Transformasi Sosial (2001) penerbit Pustaka Pelajar. Ada karakteristik yang berbeda menurut saya antara Mansour Fakih dan Ratna Megawangi. Mansour Fakih memiliki cara pandang yang cenderung saya istilahkan dengan realisme sosial. Sedangkan Ratna Megawangi memiliki cara pandang yang saya istilahkan humanisme universal. Dua istilah kategorisasi ini saya pinjam dari seorang senior alumni sastra perancis yang darinya saya mengenal tentang seni. Menurutnya, aliran seni terbagi dua, yaitu aliran humanisme universal dan aliran realisme sosial. Seorang humanis universal memiliki keyakinan bahwa moralitas adalah sesuatu yang ada secara alamiah dalam diri manusia sedangkan seorang realisme sosial menjadikan realitas masyarakat sebagai inspirasi dalam membuat karya. Meminjam istilah dalam aliran seni tersebut, saya kemudian melekatkan pada karakter dua penulis di atas.

“Dunia harus dik-

upas secara tuntas, tidak hanya aspek materialnya, namun juga realitas batin yang ada di dalamnya. Manusia harus mencari tahu mengapa dunia diciptakan, siapa yang menciptakan, dan untuk apa manusia dan alam semesta ini diciptakan.” Ibu Ratna Megawangi menurut saya memiliki corak pandang yang melawan arus (against the stream). Dari beliau saya mengenal cara pandang dari sisi yang berbeda dan berupaya melihat segala sesuatu diluar kasat mata. Saya belajar untuk tidak melihat dunia dari sisi lahiriahnya saja dan tidak terjebak dalam penglihatan material. Dunia harus dikupas secara tuntas, tidak hanya aspek materialnya, namun juga realitas batin yang ada di dalamnya. Manusia harus mencari tahu mengapa dunia diciptakan, siapa yang menciptakan, dan untuk apa manusia dan alam semesta ini diciptakan. Jika dahulu kala para ilmuwan telah merampungkan teori-teori penciptaannya tentang alam semesta. Sebut saja lahirnya Teori Nebula atau kabut (Imanuel Kant, 1755) yang sangat populer itu sampai pada Teori Ledakan Maha Dahsyat


189

atau Big Bang (Georges Lemaitre) yang sangat familiar di ingatan kita karena telah kita pelajari dan tuntaskan di bangku sekolah dulu. Namun, semua teori penciptaan di atas belumlah sempurna jika tak membahas tentang asal usul manusia. Seiring dengan perkembangan pemikiran manusia, teori yang lahir bukan saja ingin mengusut tuntas tentang asal muasal penciptaan alam semesta, manusia juga mulai berpikir tentang dirinya, darimana ia ada dan untuk apa ia ada. Bahwa alam penciptaan ini terbentuk tanpa kebetulan, bahwa pasti ada sebab yang menjadi sebab mutlak semua ini ada dan ada tujuan yang menjadi arah kehidupan ini. Penyelidikan terhadap Asal Usul Manusia Saya bersyukur karena Ibu Megawangi telah mengenalkan saya pada Sachiko Murata, seorang muslimah asal Jepang yang juga adalah Professor Studi-studi agama di Amerika Serikat dan alumni Universitas Teheran, Iran. Sachiko Murata menulis Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam yang berjudul The Tao of Islam terbitan Mizan tahun 1999 (Cetakan ketujuh versi Bahasa Indonesia). Menurut Murata dalam buku tersebut: “Dalam pemikiran Islam, manusia ditempatkan di titik pusat, tapi bukan manusia yang dipandang secara objektif, melainkan yang dikenali secara kualitatif. Kaum Muslim mesti mencari pengetahuan untuk mengenal dan mengetahui Allah, kosmos, dan diri sendiri. Akhirnya, pengetahuan tertinggi terletak dalam pengenalan diri sendiri, karena “Barangsiapa mengenal dirinya sendiri, maka dia mengenal Tuhannya.” (1999:66).”

Dari apa yang diungkapkan Sachiko Murata, menegaskan bahwa untuk memahami alam semesta, manusia, bahkan Tuhan Pencipta, manusia harus memulai memahami dirinya sendiri dulu. Penyelidikan tentang asal usul “kedirian” manusia harus dilakukan. Ilmuwan yang sangat terkenal akan teorinya yang berbicara tentang asal usul manusia adalah Charles Darwin (1809-1882). Ia telah mengundang kontroversi sepanjang masa, melalui teori evolusinya yang mengatakan manusia berasal dari kera. Dua bukunya yang mengisahkan asal usul manusia dan seleksi alam, yaitu The Origin of Spesies (1859) dan The Descent of Man (1871) menjadi buku masterpiece Darwin. Menurutnya, manusia yang ada saat ini adalah hasil evolusi dari kera-kera besar bertahun-tahun lamanya dan mencapai bentuknya yang paling sempurna. Menariknya, di Ethiopia, telah ditemukan kerangka tulang kuno yang kemudian dinamai Lucy. Fosil ini diprediksi hidup sekitar 3,3 dan 3,5 juta

190



tahun yang lalu. Spesies ini diketahui sebagai evolusi kera dan dekat dengan ciri manusia.33 Kera sebagaimana binatang yang berekor dan berwajah buruk tentu ditolak habis-habisan oleh manusia yang senantiasa berpikir. Kera adalah hewan atau binatang. Menyukai pisang dan hidup di atas pohon. Sedangkan manusia tidak mutlak mengkonsumsi pisang, namun juga menyukai jenis makanan yang lain. Hidup manusia teratur di dalam sebuah rumah dan membutuhkan norma dan nilai sebagai pegangan hidupnya. Penelitian Darwin menggunakan spesies mammalia. Tentu saja ini tidak relevan dengan konteks manusia. Ini sangat bertentangan dengan kisah dari agama samawi atau agama Ibrahimik. Agama samawi atau agama ibrahimik merupakan agama yang dikenal monoteistik termasuk di antaranya Islam, Kristen, dan Yahudi. Samawi memiliki makna “berhubungan dengan langit,” sehingga agama samawi mengandung pengertian agama (dari) langit. Para pengikutnya meyakini agama samawi ini dibangun berdasarkan wahyu Allah melalui perantara malaikat kepada para Nabi dan Rasul yang kemudian disampaikan kepada umat manusia sebagai panduan jalan hidup mereka. Berbeda dengan agama samawi, di dunia ini dikenal pula agama ardhi yang dikenal cenderung politheistik. Agama ini berkembang berdasarkan budaya, daerah, dan pemikiran seseorang yang kemudian diterima secara global. Beberapa di antaranya adalah Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, Tao dan Zoroaster. Agama samawi menempatkan Adam dan Hawa (Eva) sebagai dua subjek penggagas peradaban manusia. Kisah mereka dituturkan dalam cerita-cerita bahkan teks agama. Agama ini meyakini bahwa Adam dan Hawa adalah orang tua dari semua manusia. Adam menurut agama ini adalah seorang nabi, bukan makhluk purba. Ia adalah makhluk penghuni surga yang berperadaban maju. Allah menunjuknya sebagai khalifah. Adam bukanlah hasil dari sebuah evolusi, ia tidak muncul sebagai hasil evolusi dari satu bentuk ke bentuk lain. Penciptaannya adalah sebuah mukjizat. Penciptaan Adam dan Hawa adalah tanpa orang tua sebagaimana penciptaan Nabi Isa tanpa seorang ayah. Ini tidak dapat dijelaskan melalui teori ilmiah biasa. Perumpamaan Isa di sisi Allah sama seperti Adam, Tuhan menciptakannya dari tanah kemudian berkata kepadanya “jadi!” maka “jadilah”. Adam dalam bahasa Ibrani ataupun Arab berarti tanah sebagaimana unsur pembentuknya. Berikut adalah beberapa ayat dalam Al Qur’an yang menggambarkan 33. Lihat http://m.solopos.com/2015/11/24/google-doodle-inilah-penjelasan-tentang-siapakah-lucy-si-australopithecus-663685 diakses 5 Juli 2016


191

kualitas-kualitas Adam sebagai manusia, Allah berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh, Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk” (QS Al-Hijr [15]: 28) “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah” (QS Sad [38] : 71). Meskipun dari tanah, namun penciptaan Adam adalah agung karena berasal dariNya: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan ruh (ciptaan)Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (QS Al-Hijr [15]:29). “Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah”, “kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani)”,”Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ruh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur” (QS As-Sajdah [32]: 7-9) Adam memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki makhluk lain, bahkan malaikat sekalipun. Disebutkan dalam ayat: “Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua benda ini, jika kamu yang benar!” (QS Al-Baqarah [2]:31). Satu-satunya yang keberatan akan penciptaan Adam adalah iblis. Menurut hampir semua ulama, iblis adalah salah satu dari bangsa jin dan bukan salah satu dari bangsa malaikat, karena dia diciptakan dari api. Sementara malaikat diciptakan dari cahaya. Akan tetapi, aoen-aeon kesalehannya menyebabkan dia mampu mendekati mereka. Karena itu, dia bisa bergaul bebas dengan para malaikat secara bebas (Murata,1999). Iblis yang diciptakan dari api keberatan dengan diciptakannya Adam yang berasal dari tanah, sehingga ia tidak mau sujud pada Adam sewaktu Allah memerintahkannya untuk sujud. Hal ini yang menyebabkan Allah mengusir iblis dari surga. Kualitas yang dinisbatkan kepada iblis begitu ia

192



muncul adalah penipu dan bermata satu. Rumi seringkali menyebut iblis sebagai makhluk bermata satu, seperti berikut ini : “Dengan dua mata, lihatlah awal dan akhir! Hati-hati, jangan sampai engkau bermata satu, seperti iblis terkutuk!”. (Megawangi,1999) Namun Allah berkata dalam FirmanNya, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir” (QS Al Baqarah [2]:34) Sebagaimana dalam Al Qur’an (QS 2:35-36), dalam kisah Alkitab pula, Adam dan Hawa awalnya ditempatkan di surga (Islam) atau Taman Eden, Firdaus (Kristen). Namun, karena iblis berhasil menggoda keduanya untuk mendekati sebuah pohon dan memakan buah khuldi, Adam dan Hawa akhirnya diturunkan ke bumi. Mitos Tulang Rusuk Penciptaan Adam dan Hawa ini disebut sebagai mitos. Mitos menurut para ahli adalah sekumpulan cerita yang diyakini kebenarannya dan menjadi sebuah dongeng. Menurut ajaran agama Samawi, anak-anak Adam dan Hawa dilahirkan secara kembar, yaitu setiap bayi lelaki dilahirkan bersamaan dengan seorang bayi perempuan (kembar). Adam menikahkan anak lelakinya dengan anak gadisnya yang tidak sekembar dengannya. Memang ada isyarat bahwa Hawa atau Eve (ummul basher, ibu umat manusia) diciptakan dari tulang rusuk Adam, namun isyarat ini diperoleh dari hadist: “Berilah perhatian yang baik terhadap wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang iga, dan yang paling bengkok dalam tulang iga adalah yang paling atas” (H.R.Muslim dari Jabir) Alkitab atau Kitab Injil juga menempatkan Hawa (Eve) pada urutan kedua yang diciptakan dari tulang rusuk setelah Adam dan keyakinan ini menjadi mendunia. Sebagaimana yang tertera dalam Alkitab (Ratna Megawangi: 1999): “And the rib, which the Lord God had taken from man, made he a woman, and brought her unto the man. And Adam said, this is now bone of my bones, and flesh of my flesh : she shall be called Woman, because she was taken out of


193

Man” (Genesis 2:22-23) (Dan tulang rusuk, yang Tuhan telah ambil dari pria, dijadikannya seorang wanita, dan dibawanya ke pria. Dan Adam berkata, Ini adalah tulang dari tulang belulang saya, dan daging dari daging saya: dia akan disebut Woman (wanita) karena dia dikeluarkan dari Pria (Man).)(1999:151) Implikasi Mitos Tulang Rusuk Konsepsi teologis yang menganggap Hawa berasal dari tulang rusuk Adam membawa implikasi psikologis, sosial budaya, ekonomi, politik bagi eksistensi perempuan. Hadits tersebut mengasumsikan perempuan sebagai the second creature atau the second sex (Simone De Beauvoir,1949). Semua agama samawi akhirnya dianggap misoginis, karena mengatakan wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam. Akhirmya laki-laki dianggap sebagai makhluk utama dan pertama, sedangkan perempuan adalah secondary creation. Pengaruh konsepsi teologis terhadap perempuan dapat disimak dalam pernyataan yang tertuang dalam buku Islam dan Hak Asasi Manusia karangan Musdah Mulia berikut ini : “Dialog antarpemuka agama: Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha mengenai kekerasan dalam rumah tangga (seterusnya disebut KDRT) di bandung pada tahun 1999 melahirkan suatu kesimpulan bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan sekedar merupakan masalah sosial, moral ataupun masalah hukum semata, melainkan juga masalah agama, tepatnya masalah interpretasi agama. Mengapa? Karena sejumlah kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, seperti penganiayaan suami terhadap isteri, menikahkan anak perempuan di bawah umur, sunat bagi anak perempuan, poligami, serta berbagai bentuk pelecehan seksual lainnya seringkali terjadi karena akibat interpretasi agama yang bias gender (2010:176).”

Kedudukan perempuan dalam agama-agama samawi sering ditafsirkan lebih rendah dari kedudukan laki-laki akibat adanya aturan-aturan yang dilegitimasi oleh ayat ataupun hadis. Semisal, ayat mengenai kepemimpinan dalam Islam (QS Al Nisa [4] : 34) yang selalu menjadi ayat kontroversial dalam wacana-wacana gender dan gerakan feminisme abad 20 serta ayat yang menyatakan derajat laki-laki lebih tinggi dari perempuan (QS Al-Baqarah [2]:228). “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain ……..”

194



(QS Al Nisa [4] : 34) “…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan (‘darajah’) kelebihan daripada istrinya” (QS Al-Baqarah [2];228) Dan yang paling memicu perdebatan adalah ayat tentang poligami. Disebutkan dalam penciptaan Adam dan Hawa bahwa dari diri Adam dipisahkanlah Hawa, maka Adam akan mencintai Hawa, karena mencintai bagian dari dirinya. Sedangkan Hawa akan cenderung kepada Adam, karena Adam adalah tempatnya berasal. Karena Hawa berasal dari tulang iga atau rusuk, maka ia merupakan bagian dari diri Adam. Adam atau yang diasosiasikan sebagai laki-laki dapat mencari “bagian-bagian (tulang rusuk)” dirinya yang lain lagi pada “Hawa-Hawa (perempuan-perempuan)” yang lain. Maka, inilah pembenaran yang selalu didengungkan oleh segelintir orang yang memudahkan praktik poligami. Selain itu adanya Sunnah Nabi Besar Muhammad SAW yang berpoligami, maka dijadikan dalil untuk memudahkan praktek poligami saat ini. Padahal hanya manusia yang adil yang dapat berpoligami dan tidak ada manusia yang paling baik selain Nabi Muhammad SAW. Interpretasi agama kemudian terinstitusionalisasi dalam sistem dan segala sendi kehidupan. Bukan hanya di dalam lingkungan rumah tangga perempuan menjadi tersubordinat, namun di ruang sosial pula. Dibatasinya ruang perempuan dalam politik dan kepemimpinan menjadikan perempuan tidak memiliki akses menentukan kebijakan dalam pemerintahan. Inilah salah satu yang diperjuangkan oleh para feminis. Dikondisikannya perempuan untuk sibuk di ranah domestik menjadikannya berwawasan minim dan dangkal pengetahuan. Akhirnya perempuan tidak memiliki ilmu yang kuat dan mental yang cakap untuk dapat eksis di ranah publik. Saya teringat sebuah cerita dari serorang narasumber bernama Ustad Andito di Latihan Khusus KOHATI (LKK) yang saya ikuti di Samarinda tahun 2004 silam. Ia bercerita bahwa laki-laki bisa cerdas dan berwawasan luas karena dibiasakan keluar rumah melihat dinamika kehidupan, sedangkan perempuan menjadi kurang berwawasan karena sehari-harinya hanya melihat ukuran ruangan (dalam rumah) yang itu-itu saja. Menurut saya ini benar. Sebagai seorang ibu rumah tangga, saya pun bisa terjebak dalam kepenatan jika aktivitas yang saya lakukan di rumah monoton. Apalagi jika berkutat habis-habisan (yang mungkin tiada habisnya) dengan pekerjaan rumah tangga semisal memasak, mencuci, menyapu, mengepel lantai, dan mengurusi anak-anak. Yakin saja bahwa ini akan


195

mengganggu psikologi perempuan yang akan berimbas pada keintiman pada pasangannya. Klop sudah. Agama mengajarkan agar istri patuh pada suami. Namun, interpretasi menjadikannya dipahami lebih luas lagi bahwa istri patuh kepada suami dalam hal apapun. Akhirnya semua hal yang diinginkan laki-laki harus disediakan oleh istri. Istri melayani suami dalam segala hal. Ada sebuah pameo yang menyatakan, bahwa “suami bekerja mulai dari terbitnya matahari sampai terbenamnya matahari. Sedangkan istri bekerja mulai dari terbitnya matahari sampai terbitnya lagi matahari”. Ini dikarenakan sang istri mulai sejak ia bangun, ia harus menyediakan makanan untuk seluruh keluarganya melalui proses yang tentu saja demikian panjang (ke pasar, mengolah bahan pangan, memasak, menyediakan, dan membersihkan kembali peralatan dapur). Belum lagi ia harus memastikan rumah (secara keseluruhan) harus dalam keadaan bersih dan tentunya yang sangat penting adalah mengurusi kebutuhan anak-anak, baik fisik maupun psikis mereka. Bisa dibayangkan bagaimana padatnya aktivitas istri. Malam hari, ketika sang suami telah terlelap, istri tetap harus waspada, menjaga anaknya yang mungkin saja masih bayi atau balita dan tentu saja harus siap sedia melayani suami. Karena agama melarang istri menolak permintaan suami atas itu dan jika suami ditolak, bukan hanya ancaman akan hukuman Tuhan yang akan menghantui si istri, namun konflik batin serupa perang dingin bernuansa psikologis akan melanda keduanya. Munculnya Feminisme dan Gender Karl Marx (1818-1883) menjadi idola bagi kaum muda karena pemikirannya yang dianggap revolusioner dan realistis. Sistem berpikir Marx berdasarkan pemahaman materialistis. Kritik-kritik Marx terhadap realitas sosial pun tajam. Menurut Marx, norma, hukum, moral, bahkan agama adalah sebuah produk sosial dan sifatnya relatif tergantung pada jenis relasi sosial dalam masyarakat. Basis pola relasi sosial yang dimaksud Marx adalah kondisi produksi masyarakat, alat yang dipakai masyarakat untuk memproduksi, dan pola relasi produksi dalam masyarakat berdasarkan kepemilikan alat-alat produksi. Konflik dalam masyarakat timbul karena adanya kelas yang memiliki alat produksi (borjuis)dan adanya kelas yang tidak memiliki alat produksi (proletar). Menurut Marx hubungan antara suami dan istri serupa dengan hubungan antara borjuis dan proletar. Sedangkan pendapat Engels (sahabat Marx) mengatakan

196



karena laki-laki mengontrol produksi untuk perdagangan, maka mereka mendominasi hubungan sosial dan politik dan perempuan direduksi menjadi bagian dari properti belaka. Sejak itulah dominasi laki-laki dimulai (Mansour Fakih, 2001).

“Penyadaran yang

perlu dilakukan adalah menghapus pengaruh opium atau candu agama, karena menurut Marx, agama dapat menciptakan lupa bagi kaum proletar untuk merubah kondisinya menjadi lebih baik.” Semangat Karl Marx menyebar luas melalui gerakan feminisme Marxis. Bagi feminis ini penindasan terhadap perempuan adalah kelanjutan dari sistem yang sifatnya eksploitatif yang berlangsung secara struktural. Penyadaran yang perlu dilakukan adalah menghapus pengaruh opium atau candu agama, karena menurut Marx, agama dapat menciptakan lupa bagi kaum proletar untuk merubah kondisinya menjadi lebih baik. Karena agama adalah hasil kreasi manusia dan aspek material lebih superior daripadanya. Marx dalam hal ini adalah penganut teori sosial konflik. Gender merupakan alat analisis sosial yang cenderung digunakan oleh para penganut teori ilmu sosial konflik. Feminis yang menganut teori sosial konflik terinspirasi dari pemikiran-pemikiran seperti Karl Marx (teori kelas), Antonio Gramsci (teori hegemoni), Gunder Frank (teori ketergantungan), Paulo Freire (teori pembebasan) dan Michael Foucault (teori kekuasaan). Feminis ini mengkritik ketidakadilan yang terjadi secara struktural dalam sistem. Mereka menganggap bahwa realitas sosial di masyarakat ini tidak bebas nilai. Ada “kepentingan” yang tengah “bermain” di dalam sistem sosial ini. Ada agenda terselubung yang sifatnya hidden yang tengah berlangsung. Masyarakat dikondisikan oleh kepentingan penguasa. Bahwa penguasa memiliki ideologi dan kepentingan yang menguntungkan pihaknya sendiri. Bahkan kepentingan-kepentingan tersebut juga turut mengkondisikan perempuan sampai pada wilayah domestik mereka. Parahnya, kepentingan dan ideologi itu menggunakan institusi-institusi dan norma-norma agama. Sehingga cara kerjanya sangat halus dan tidak dapat disadari oleh pemikiran awam. Kecurigaan ini mendasari sikap kritis para feminis penganut teori konflik.


197

Selain Marxis, feminisme radikal pun terlahir dari analisa gender dalam teori konflik. Sebenarnya awal lahirnya gerakan ini adalah untuk melawan seksisme dan pornografi di Barat tahun 1960-an. Namun, kemudian menjadi tereduksi dengan adanya anggapan bahwa ketidakadilan gender terjadi karena adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Akhirnya, laki-laki lah menjadi penyebab ketidakadilan itu. Sebagaimana kata radikal dari gerakan feminisme ini, cara berpikir feminis ini memang radix atau menuju pada akarnya. Hal yang ingin dicapai sebenanrnya dari gerakan feminis radikal ini adalah adanya otonomi pada diri perempuan. Cinta, pernikahan, kehamilan dan segala risiko biologis setelahnya merupakan akar ketidakberdayaan perempuan terhadap laki-laki. Sehingga upaya-upaya untuk keluar dari kondisi itu adalah langkah terbaik. Perempuan berhak menentukan dirinya bahkan orientasi seksualnya, sebab hubungan heteroseksual memiliki risiko menimbulkan perbedaan peran dan kelas yang lebih banyak merugikan perempuan. Berbeda dengan aliran marxis dan radikal, feminisme liberal tidak mempertanyakan tentang kepentingan penguasa dan ideologi patriarki, namun lebih kepada mengajak orang-orang untuk menghormati hak-hak dasar (natural rights) perempuan yang sama dengan laki-laki. Feminis ini mengajak perempuan untuk aktif dan berpartisipasi di ruang publik. Dengan asumsi dasar bahwa perempuan juga adalah makhluk yang rasional dan memiliki hak yang sama seperti dengan laki-laki. Domestifikasi terhadap perempuan justru menyebabkan perempuan menjadi cenderung emosional dan irasional, sehingga perempuan perlu meninggalkan hal-hal yang sifatnya tradisional ini. Feminisme sendiri secara umum tidak memiliki konsep tunggal. Menurut Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, feminis dari Asia Selatan, feminisme sangat bergantung dari ruang dan konteks yang menjadi landasan pengalaman perempuan tersebut. Feminisme sendiri bertujuan untuk menciptakan keadilan bukan hanya bagi perempuan tetapi masyarakat pada umumnya. Itulah mengapa ada banyak aliran feminisme. Sebut saja Marxis, radikal, sosialis, dan liberal. Bahkan ada feminisme kulit hitam (Black Feminism). Gerakan ini didasari oleh perempuan-perempuan kulit hitam yang menginginkan keadilan. Adapula sebuah gerakan feminisme yang justru mengangungkan sifat feminin, yaitu Ekofeminisme. Menurut feminis ini, para feminis yang memperjuangkan kesetaraan sejajar dengan laki-laki justru akan terjebak dengan pengagungan terhadap sifat maskulin. Mereka hanya akan menjadi tiruan pria (male clone). Memang pada mulanya, asumsi lahirnya keseteraan gender, yaitu tidak adanya keragaman atau perbedaan esensial antara laki-laki dan perempuan. Kalaupun

198



ada perbedaan laki-laki dan perempuan hanya pada apa yang sering disebut 3M (menstruasi, melahirkan, dan menyusui). Konsep ibu bukan karena alam (nature), melainkan karena adanya sosialisasi atau konstruksi sosial (nurture) (Ratna Megawangi, 1999). Sifat feminin yang ada pada diri perempuan dianggap bukan sesuatu yang fitrah. Gender mengatakan bahwa sifat feminin tersebut adalah konstruksi sosial. Bahwa laki-laki dan perempuan dapat bertukar sifat. Hal ini berbeda dengan konsep Sex, yaitu konsep biologis yang mengatakan laki-laki dan perempuan memang berbeda, namun fisiknya saja yang berbeda. Saya teringat buku Female Brain dan Male Brain yang ditulis oleh Dr. Louann Brizendine. Di dalam buku tersebut dijelaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kecenderungan hormon yang berbeda. Laki-laki didominasi oleh hormon testosteron, sedangkan perempuan didominasi oleh hormon progesteron dan estrogen. Saya dapat mengambil kesimpulan bahwa perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan memberi perbedaan konsekuensi pada tubuhnya, baik pada hormon, fisik, maupun emosi. Perbedaan biologi ini tentu bukanlah kesia-siaan. Diberikannya perempuan rahim agar keberadaan manusia dapat dilestarikan. Menolak pengaktualannya, memiliki risiko memusnahkan umat manusia. Dewasa ini di tengah gempuran teknologi yang makin canggih tiap harinya, perempuan makin ditantang untuk memiliki “daya saing” tinggi, sebab ketinggalan adalah kalimat ketidakberdayaan dan ketidakberdayaan identik dengan kebodohan yang menjadi pemicu perempuan mudah dimanfaatkan, dikuasai, diekspolitasi, atau dijadikan objek spekulasi. Perempuan di tengah teknologi yang canggih dituntut untuk lebih mandiri menentukan dirinya, tak peduli sejarah apa yang pernah bertutur tentang kisahnya dan terjemahan pengetahuan apa yang selalu mendefinisikannya, ia memilih menjadi cyborg. Seperti pernyataan ini : “Feminis cyborg menarasikan usaha untuk memutus rantai Oedipal dan mitos-mitos dalam Genesis, peciptaan, yang selama ini menjadikan perempuan sebagai makhluk sekunder (diskursus tulang rusuk). Bagi Donna Jeanne Haraway, cyborg tidak memimpikan surga, karena dia tak berasal dari tanah, maka dia tak akan kembali menjadi tanah. Cyborg tak menyerah pada definisi perempuan yang dilahirkan, baik oleh sejarah, agama, dan bahkan paradigm pengetahuan modern. Karena mereka mengabarkan banyak laku bias dalam menerjemahkan makhluk sekunder ini (Dewi Candraningrum, 2013:161).”


199

Feminis cyborg adalah sebuah gagasan baru di abad yang makin modern dan serba cepat ini. Di saat berbagai wacana tentang penciptaan sibuk saling bantah satu sama lain. Cyborg memutus mitos tersebut, sebab wacana penciptaan baginya membawa bias gender. Islam Memandang Relasi Gender Penciptaan Adam dan Hawa sesungguhnya bukanlah sebuah kesia-siaan. Sebagaimana segala sesuatu di dunia ini berpasang-pasangan. Penelitian yang dilakukan Ibu Ratna Megawangi, bahkan penulis hebat seperti Sachiko Murata, mengumpamakan bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah berpasang-pasangan. Sebagaimana langit dan bumi, siang dan malam. Begitu pula laki-laki dan perempuan, Adam dan Hawa.

“Dahulu kala di Arab,

perempuan berusaha dihilangkan dengan cara dikubur hidup-hidup ketika ia lahir karena adanya rasa malu memiliki anak perempuan. Namun Rasulullah Nabi Besar Muhammad SAW datang membawa pencerahan melalui Islam. Sebenarnya Revolusi Gender telah dimulai sejak peristiwa tersebut.” Saat ini sudah banyak ulama dan ahli tafsir yang melakukan klarifikasi soal penciptaan Adam dan Hawa. Menurut mereka, kata Hawa yang selama ini dipersepsikan sebagai tulang rusuk tidak pernah disinggung di dalam Al Qur’an. Satu-satunya ayat dalam Al Qur’an yang mengisyaratkan asal-usul penciptaan perempuan adalah dalam Surah An Nisa’ ayat 1. Allah SWT tidak menciptakan Hawa dari Adam, tetapi dari substansi Adam. Kedua jiwa Adam dan Hawa awalnya berasal dari satu jiwa tunggal “primordial” yang kemudian menjadi pasangan (zawj). Bagaimana mungkin menyebut “kanan” jika tak ada “kiri”. Begitupula Hawa baru dapat disebut perempuan ketika ia sudah terpisah dari Adam. Lalu Adam diasosiasikanlah sebagai laki-laki. Awalnya sebelum terjadi pemisahan, Adam adalah manusia tunggal yang terbuat dari tanah. Dahulu kala di Arab, perempuan berusaha dihilangkan dengan cara dikubur hid-

200



up-hidup ketika ia lahir karena adanya rasa malu memiliki anak perempuan. Namun Rasulullah Nabi Besar Muhammad SAW datang membawa pencerahan melalui Islam. Sebenarnya Revolusi Gender telah dimulai sejak peristiwa tersebut. Islam, sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan secara menyeluruh mengenai hakikat penciptaan manusia, tujuan manusia diciptakan, hubungan antarmanusia, antargender, manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Asal kata Islam “salama” yang berarti selamat dan juga “silm dan salam” yang bermakna damai. Secara jelas mengaskan bahwa karakter dasar ajaran islam adalah menyebarkan perdamaian Bahkan tak ada satupun agama yang mengajarkan kebencian. Penyimpangan terjadi bukan karena agama, namun disebabkan agama telah dijadikan alat legitimasi untuk kepentingan tertentu. Sesengguhnya Allah SWT ttelah berfirman dalam Al Qur’an: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paaling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS Al-Hujurat [49] : 13) Semoga segala perjuangan kita tidak bertentangan dengan apa yang diinginkan Allah SWT terhadap nenek moyang manusia, Nabi Adam dan Hawa. Semoga kita memiliki keyakinan yang sama dengan itu. Wallahu A’lam bisshawwab. * Alumni Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Hasanuddin. Mantan Ketua Umum KOHATI Cabang Makassar Timur Periode 2004-2005. Pengurus KAHMI Wilayah Sulawesi Selatan 2016-2021. Pengurus MASIKA ICMI Sulawesi Selatan 2015-2018. Saat ini mendirikan Lembaga Kerja Penelitian Publik (LKPP). Daftar Pustaka Al Quranul Karim Candraningrum, Dewi. 2013. Dalam Aku bukanlah Dewi. Aku adalah Cyborg. Jurnal Perempuan. Vol. 18 No.3. Jakarta Selatan. Yayasan Jurnal Perem puan


201

De Porter, Bobby & Hernacki, Mike. 2001. Quantum Learning. Bandung. Kaifa Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pus taka Pelajar Megawangi, Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda. Bandung. Mizan Muthahari, Murtadha. 2002. Manusia dan Alam Semesta. Jakarta: Lentera Mulia, Musdah. 2010. Islam dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Naufan Pustaka Murata, Sachiko. 1999. The Tao of Islam. Bandung: Mizan Schwartz, David J. 1994. Berpikir dan Berjiwa Besar (The Magic of Thinking Big). Jakarta: Binarupa Aksara https://id.m.wikipedia.org/wiki/Esoteris_Esoterik, diakses tanggal 5 Juli 2016 http://m.solopos.com/2015/11/24/google-doodle-inilah-penjelasan-tentang siapakah-lucy-si-australopithecus-663685 diakses 5 Juli 2016

202



Karena Hidup Adalah Naskah Yang Luhur Putri Rezi Ananda

“Hati adalah Naskah Mata” – Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra Sebagai manusia, yang selalu merasa penuh khilaf. Kita akan selalu berhubungan dengan naskah-naskah. Baik itu dalam bentuk catatan amal kehidupan kita, sejarah kehidupan kita, hingga karya tangan kita. Tidaklah kurang jika saya bertutur “kadang, manusia mati saat hidup, hidup saat mati, hidup saat hidup dan mati saat mati, ataukah hidup saat hidup dan hidup saat mati” Izinkan saya menjelaskan maksud dari tutur itu, Manusia mati saat hidup, pernahkah kita menjumpai orang-orang yang kehidupannya tak dihargai oleh dirinya sendiri? Apakah lantas itu menjadikannya mati saat hidup, belum tentu. Ketika ia telah mengenal kebaikan namun kebaikan itu tak memberinya nilai, saat itulah dia telah mati. Manusia hidup saat mati, pernahkah kita mengenal tokoh-tokoh yang justru dikenal saat telah tiada? Sosok seperti ini umumnya dikenal melalui orang lain. Yah, saat orang-orang mulai memperkenalkan karya-karyanya. Sayangnya,

203

ia telah mati sebelum dikenal. Seperti tokoh Jane Austen yang karyanya justru diperkenalkan oleh kerabatnya saat ia telah tiada. Manusia hidup saat hidup dan mati saat mati, ini adalah kondisi manusia kebanyakan. Saat kita hidup kita akan berinteraksi dengan manusia lainnya. Tapi saat kita mati, kita akan dilupakan perlahan-lahan.

“Seperti baginda Nabi

Muhammad Saw yang selalu hidup dalam setiap fase kehidupan, bahkan sebelum ia dilahirkan.” Manusia hidup saat hidup dan hidup saat mati, manusia seperti ini punya pemahaman tentang nilai kehidupan, dan sepeninggalannya ia meniggalkan naskah-naskah yang menjadikan orang-orang tetap mengenalnya. Seperti baginda Nabi Muhammad Saw yang selalu hidup dalam setiap fase kehidupan, bahkan sebelum ia dilahirkan. Manusia kekinian memiliki kecondongan untuk ingin dikenal lihat saja bagaiamana orang-orang memperkenalkan dirinya, dengan status di sosial media, foto-foto selfie, atau mungkin video-video unik. Apakah hal itu bisa menjadikan kita hidup? Atau ada makna hidup lain yang perlu kita kenal. Jika kita hanya memperkenalkan sisi-sisi materi dari diri kita, maka respon yang kita dapatkanpun adalah respon materi. Hanya saja untuk membedakan mana yang didasari oleh unsur materi atau bukan cukup sulit. Sesulit membedakan dua ekor anjing yang lapar dan yang sudah kenyang, keduanya akan tetap menjulurkan lidah. Saat kita melakukan sesuatu atau mengkritik sesuatu itu adalah bukti kita hidup dengan orang lain sebagai responden. Hanya saja, apakah hal itu menunjukkan bahwa kita memahami makna hidup? Masih cukup sulit untuk menghukuminya, sesulit adu pendapat antara seorang gadis dan pasangannya, katanya lelaki selalu salah di mata gadis. Saat kita menyampaikan setiap berita, dan berharap orang lain akan menyampaikannya lagi kepada orang lain. Saat itu kita seperti presenter televisi tanpa upah, apakah kita sudah mengecek berita yang kita sebarkan? Menjadi penyebar informasi juga harus tabayyun. Meskipun sesulit membedakan gula merah yang terbuat dari aren atau dari kelapa.

204



Saat kita menjadi pengamat dari sebuah hal yang terjadi, kita akan membutuhkan waktu lebih untuk memahami fakta dan kemungkinan-kemungkinannya. Tapi itu akan menjadikan kita lebih bijaksana. Hanya saja banyak di antara manusia yang sangat reaksioner dalam menghadapi sesuatu. Di hadapan seorang pengamat dan manusia reaksioner, pesan “awas ada bom” akan berdampak berbeda jauh. Di hadapan pengamat, bom itu belum tentu ada dan kalau ada belum tentu meledak, atau bisa jadi akan tetap meledak pada waktunya. Tapi dihadapan reaksioner, bom itu sudah menimbulkan ledakan kepanikan sebelum terjadi ledakan sesungguhnya. Pada zaman dahulu, naskah-naskah amatlah penting, entah ditulis di atas batu atau pelepah. Bahkan hingga saat ini kita tetap mengabadikannya dan tetap menganggapnya penting. Mengapa naskah-naskah itu menjadi sangat penting? Mungkin saja karena pada zaman dahulu belum ada buku, komputer dan internet. Anggaplah naskah itu berasal dari 5000 tahun lalu, perubahan dari ilmu pengetahuan saat ini dan dulu sudah sangat jauh berbeda. Lantas apakah naskah-naskah yang ada saat ini juga akan menjadi sebuah peninggalan sejarah 5000 tahun yang akan datang? Naskah-naskah memiliki bentuk yang berbeda dari satu zaman ke zaman lain. Dan saat ini naskah-naskah dapat berbentuk data digital. Ada kalimat yang hanya menjadi status dan berlalu, ada naskah yang dibukukan dan bertahan. Cukup mudah untuk membuat sebuah status di sosial media, cukup mudah untuk mengomentari sebuah hal, dan sangat mudah mengabadikan suatu moment. Tapi, untuk bertanggungjawab atas hal tersebut akan cukup sulit. Mungkin itu alasan mengapa di era modern saat ini tak semua orang punya keingingan membukukan naskah-naskahnya dan hanya membiarkannya berlalu. Naskah demi naskah memiliki ide dari penulisnya. Dan setiap penulis memiliki tujuan tertentu dibaliknya. Tapi setiap naskah yang lahir adalah isi hati dan pikiran seseorang. Untuk memilah naskah demi naskah kita perlu kehati-hatian. Kata kehati-hatian disini akan bermakna perlunya kita mengecek kebenaran dari suatu naskah. Entah apa karena sebuah kebetulan, kata hati-hati yang dimaksudkan untuk waspada itu sama dengan tulisan kata hati yang dimaksudkan sebagai bagian yang penting di dalam diri seseorang, baik dari segi materi dan nonmateri. Karena hati di dalam tubuh akan menangkal racun-racun sedangkan hati dalam jiwa akan menangkal ketidakbenaran yang terlihat. Menaskahkan kehidupan kita yang terjadi ini memang tidaklah mudah, coba


205

saja ceritakan apa yang sedang kita lakukan sekarang. Apakah ketika seseorang membacanya ia dapat memahami kondisi yang sedang kita jelaskan? Ada peluang penafsiran lain terlahir ketika seseorang membaca naskah yang kita tuliskan. Tapi dengan membaca naskah kita akan mulai dekat dengan apa yang dimaksudkan. Seringkali pengetahuan yang kita peroleh bersumber dari naskah-naskah karya tangan orang terdahulu. Dan apakah dengan sekedar membacanya kita memahami maksud dari naskah itu? Kadang kita mengerti tapi kadang kita butuh seseorang untuk menafsirkan naskah itu. Karena naskah tidak dapat menjelaskan dirinya sendiri. Sebuah konsep yang arif mulai terlihat disini bagaimana sebuah naskah akan begitu lekat dengan orang yang berpengethuan untuk menjelaskannya. Mungkin karena sebuah naskah itu mengandung lebih dari sekedar kata-kata. Pernah suatu ketika di Kuil Yerussalem, dan seorang guru bertanya arti dari naskah kitab Taurat kepada murid-muridnya tak ada seorang muridpun yang tahu. Lalu Maryam kecil yang berusia sekitar enam tahun kala itu tengah menyapu kuil ditanyai, dan Maryam mampu menjawab dengan benar. Guru dan para murid dewasa lainnya heran bagaimana mungkin Maryam kecil mengetahuinya sedang ia tak diikutkan belajar. Maryam kecil menjawab bahwa Nabi Zakaria as mengajarinya, hadirin itu masih sangsi mengapa ia tidak sekedar tahu tapi ia memahi isi Taurat itu dengan sempurna, Maryam kecil menjelaskan bahwa Nabi Zakaria as mengajarkan pengetahuan tentang kitab Taurat melalui hatinya ke hati Maryam. Sebuah naskah selalu membutuhkan orang yang memahami naskah tersebut untuk menjelaskannya. Dan untuk sebuah naskah suci seperti kitab Taurat dibutuhkan hati yang suci juga untuk memahaminya, dan dibutuhkan orang yang suci untuk menjelaskannya. Tak kalah penting dengan perang orang-orang suci, kita pun memiliki peran untuk menaskahkan pengetahuan. Dan kita juga bertanggungjawab atas naskah yang kita tuliskan. Bagi orang-orang tertentu menulis status saja sudah cukup, tapi gerakan membuat naskah memiliki peran penting agar sebuah tulisan tak sekedar berlalu dalam status, dan sebuah ilmu tak lekang dimakan zaman. Sebagai manusia modern yang sibuk, kita akan menjumpai kesulitan dan halangan saat ingin menjadi bagian dari gerakan membuat naskah sesuai pengetahuan kita masing-masing. Namun seikat dengan sebuah rutinitas, saat sering berdiskusi tentang nilai kehidupan kita masih dekat dengan sebuah makna hidup. Saat waktu berdiskusi itu terganti dengan rutinitas kerja, kita mungkin akan

206



mulai asing dari nilai nilai yang dulu sering kita diskusikan, atau mungkin juga tetap memiliki waktu ekstra untuk ruang-ruang itu. Tapi dengan menaskahkan pengetahuan kita, akan selalu ada ruang nilai dalam keseharian kita. Karena kita dapat menuliskannya dimanapun dan kapanpun. Sebuah naskahpun tetap dapat memiliki feedback dari pembaca sehingga ruang diskusi akan terbuka dengan sendirinya.

“Karena sebuah pengeta-

huan yang di naskahkan akan butuh hati yang tulus agar mudah tersampaikan kepada hati-hati yang tulus lainnya.” Di era modern, menjadi manusia dengan banyak keahlian adalah tuntuntan. Namun, di era modern ini pula menjadi orang arif yang tetap hidup di saat hidup dan hidup di saat mati adalah fitrah. Menaskahkan hal penting adalah sulit, tapi menyusun huruf demi huruf akan lebih mudah jika kita melakukannya dengan hati yang tulus. Karena sebuah pengetahuan yang di naskahkan akan butuh hati yang tulus agar mudah tersampaikan kepada hati-hati yang tulus lainnya. Dalam tiap fase kehidupan, kita akan menjumpai banyak pelajaran yang dapat kita wariskan kepada generasi kita. Sebagaimana Ibnu Abdil Barr dari Anas bin Malik dalam silsilah ahadits ash shahihah no. 2026 meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabada “Ikatlah ilmu dengan tulisan”. Sebagai ummat Rasulullah saw tentunya ini sangat tepat dijadikan dasar mengapa perlu kita zmengandung nilai luhur yang bervariasi, dapat berupa keislaman dan keindonesiaan, ekonomi, politik, hukum, kenegaraan, sosial budaya, humaniora, sains, teknologi, medis, kesehatan masyarakat, pertanian, kehutanan, dan lingkungan hidup. Masih segar dalam ingatanku, bagaimana seorang adik bungsuku pernah bersurat. Kala itu ia masih berusia 5 tahun, dan dengan rapi kubuka amplop buatannya karena takut amplop itu rusak. Ungkapan sayang untuk hari lahir kakaknya dengan emoticon lucu buatannya. Tak kalah dengan si bungsu adikku yang satunya lagi masih berusia 6 tahun lebih menulis surat yang senada. Mereka benar-benar meneteskan airmataku. Tulisan yang indah. Saat belum tentu semua anak sudah bisa membaca, mereka justru menulis sebuah ungkapan tulus. Mereka mengajariku bahwa dengan menulis ketulusan sekecil apapun dapat tersampaikan. Dan sampai saat ini mereka masih sering menulis surat-surat cinta di hari lahirku. Sekarang mereka telah memasuki bangku SMP, dan mungkin saja


207

aku telah sedikit menaruh harapan terutama kepada si bungsu yang sangat rajin menulis surat-surat dan bermain boneka tentunya. Aku ingin mereka mengenal dunia tepat waktu tak sepertiku yang baru mencoba menaskahkan pikiran di usia yang tak selugu mereka. Kita mungkin sudah memasuki usia dewasa dan hasrat menaskahkah hidup dan ilmu yang kita pahami sudah tak sehits film AADC 2, tapi bukankah banyak orang-orang yang bermimpi diusia yang tak muda lagi dan sukses? Kata C.S. Lewis “Kamu tidak pernah terlalu tua untuk mengatur sebuah tujuan baru atau memimpikan sebuah mimpi baru”. Jadi kita tak punya alasan lagi untuk tidak melanjutkan harapan menaskahkan nilai-nilai kehidupan yang kita pahami. Beberapa tokoh yang sukses dengan mimpinya di usia yang tak lucu lagi seperti Ray Kroc yang membeli McDonalds’s di usia 55 tahun, dan Colonel Sanders menfranchisekan KFC di usia 62 tahun. Kita mungkin masih lebih muda dari mereka dan belum menulis ribuan kata tapi sudah tak semangat, Colonel Sanders sudah mengetuk lebih dari 1000 pintu rumah untuk menawarkan resep KFC. Menaskahkan kehidupan dan makna hidup yang kita jalani adalah pilihan kita masing-masing. Kita dapat membaginya dan dapat menyimpannya sendiri. Tapi setiap ilmu yang kita miliki memiliki hak untuk dinaskahkan dan disampaikan, semakin banyak orang yang menaskahkan pengetahuan sesuai bidang keilmuannya masing-masing maka semakin banyak orang yang akan mengambil pelajaran dari naskah itu, semakin banyak pula kebaikan-kebaikan yang tersampaikan. Dalam proses penyusununan, pencetakan, dan distribusi sebuah naskah, akan selalu ada kritik yang lahir. Dan itu akan menjadi tantangan tersendiri, ia dapat menjadikan kita semakin memahami dengan menjawab setiap kritikan yang ada dalam bentuk naskah kembali. Jadi, tunggu apalagi? Nyalakan laptop, ambil buku, dan rangkailah naskah hidupmu, agar orang akan mengenalmu dan ketulusanmu menjaga pengetahuan sekecil apapun itu. Karena hidup tak sekedar nafas. Tapi hidup adalah naskah yang luhur. Sebagai penutup perkenankan saya menaskahkan bait: Dinaskahkan, sang putri yang mendera kerinduan Tangisannya menggelapkan langit dan menggetarkan embun Ketabahan orang berilmu menembus ruang penderitaan Cinta kepada manusia adalah sesaat Namun cinta kepada nafas pengetahuan adalah selamanya Mendera rindu berpisah raga tak sehebat Rindu pada cahaya

208



Sang putri adalah naskah suci Buah dari pengetahuan sang cahaya Dan abdi setia menyimpan naskahnya (Naskah Suci) Kereta tua tiba dipagi hari Gadis kecil berlari menuju kereta Kereta berangkat Gadis kecil menanam bunga Kereta tua tiba di pagi hari Gadis kecil berlari menuju kereta Kereta berangkat Gadis kecil menanam bunga Kereta itu tak lagi beroperasi Gadis kecil itu tak lagi berlari Tapi taman bunga menaskahkah rindunya Pada seorang pejuang yang tak pernah kembali (Gadis Kecil)


209

210



Mengenang Lafran Pane, Batara Guru dari Sipirok Dhihram Tenrisau

Hikayatnya, seorang Batara Guru dalam kitab Nusantara terpanjang di dunia, La Galigo, meninggalkan dunia atas, yang gemerlap dan segala keindahan mahligai rama-rama para dewa-dewi. Keputusannya kemudian adalah menuju dunia tengah yang kosong. Dunia ini kemudian terisi oleh taburan benihnya dari tumbuhan, hewan, hingga para manusia yang merupakan keturunannya. Jauh setelah sureq itu diperdengarkan seantero dunia, ada sebuah cerita yang hampir serupa kisah Batara Guru. Seorang pemuda, anak dari borjuis Sipirok, dan tengah berdiri di atas menara gading pendidikan tinggi di Yogyakarta. Ia rela turun dari posisi nyamannya dan menyemai bibit bersama rekanannya. Bibit yang disemai pada tanggal 5 Februari 1948 itu bernama Himpunan Mahasiswa Islam. Siapa sangka bibit itu tumbuh menjadi pohon. Dengan misi keislaman rahmatan lil alamin dan keindonesiaan ia mulai tumbuh. Sama halnya dengan pohon yang baru tumbuh, ada-ada saja tantangan dan penghalang. Seperti yang diurai oleh Agus Salim Sitompul dalam kesepuluh fase itu, mulai dari masa agresi militer Belanda, fase pelopor orde baru, hinnga yang terakhir adalah fase reformasi. Tak terasa sampai hari ini HMI masih hidup. Usia 68 tahun–hampir seusia dengan republik ini–sangatlah cukup untuk merasakan

211

pahit-manis dalam pergulatan sebuah negara yang merangkak.34 Pohon itu kini berdiri dengan tegak semakin tinggi menjulang ke langit, akarnya kokoh menghujam ke bumi, rantingnya bercabang-cabang dan rimbun, buahnya ranum dan nikmat. Tidak ada seorangpun yang menyangka pohon itu, yang disemai bibitnya pada 5 Februari 1946 itu, kini dapat sebesar sekarang. Bahkan para generasi kini berteduh di dalam rimbunnya, dapat mencicipi manisnya buahnya yang nikmat.

“Organisasi ini telah meng-

hasilkan para patriot dan tokoh yang membanggakan bangsa.” Organisasi ini telah menghasilkan para patriot dan tokoh yang membanggakan bangsa. Tak ada yang tak mengenal Akbar Tanjung sebagai tokoh politik di Indonesia, Nurcholish Madjid sebagai cendekiawan Islam, Jusuf Kalla yang kini menjadi wakil presiden Indonesia, dan masih banyak lagi yang rasanya terlalu singkat untuk disampaikan di momen ini. Bahkan “anak kemarin sore” di himpunan ini dapat merasakannya. Tantangan HMI Sejak dahulu kala, Indonesia dan Nusantara adalah titik temu semua arus maritim perdagangan. Tak jarang itu menjadi negara ini selayaknya bak sampah Internasional. Segala hal dari luar dapat dengan mudah masuk di sini. Apalagi setelah munculnya globalisasi dengan salah satu ceruknya, MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Batas negara kini telah kabur, media informasi dan perekonomian menjadikannya terlipat dari satu ujung ke ujung lainnya lalu menyatukannya. Pengetahuan dan informasi bergerumul di setiap pagi, perangkat gadget yang kini ada di genggaman kita senantiasa terganti, mengganti konsumsi tempe dengan daging steak sebagai alasan nutrisi, hingga “kotak pandora” pelepas wabah dan penyakit yang disebut demokrasi. Demokrasi sepertinya menjadi impian, namun terkadang ia menjadi mimpi buruk jika tidak dipahami secara sepenuhnya. Seperti yang dikritik oleh budayawan Radhar Panca Dahana, Demokrasi memunculkan sosok thagut bin durjana. 34. lihat Agus Salim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, (Jakarta: Penerbit Misaka Galiza, 2006).

212



Jadilah demokrasi tersebut kedok untuk memeras rakyat, memperdaya sejarah, mengembalikan kehidupan bangsa pada tirani-feodal masa silam.35 Sekiranya penjabarannya anda bisa lihat di setiap headline koran ataupun melihat sejenak timeline media sosial dan layar televisi. Yang lebih mengerikan yaitu adalah generasi pelanjut bangsa ini: pemuda. Seharusnya Indonesia perlu berbangga karena negara ini diberkahi oleh bonus demografi, yaitu proyeksi akan penigkatan angkatan kerja dan pemuda yang oleh data BPS tahun 2013, menununjukkan sebanyak 62 juta jiwa atau sekitar 26% dari jumlah populasi Indonesia. Dengan adanya mereka, negeri ini sebenarnya dapat ditopang dan demokrasi bisa ditegakkan. Sayangnya mereka justru menjadi korban dari demokrasi salah kaprah, perilaku homo homuni lupus (manusia memakan manusia) menjadi imbasnya. Terorisme juga kelompok fundamentalisme radikal yang merekrut kaum muda tumbuh subur, terlebih setelah aksi mereka di Sarinah kemarin. Demokrasi dalam definisinya adalah superioritasan di atas yang lainnya. Nyantanya pelatihan dan perekrutannya masih terjadi di sepanjang bentangan negeri ini. Ironis ketika mengetahui basis perekrutannya berasal dari mahasiswa yang seharusnya berpikir kritis dan terbuka. Sama halnya dengan pengusiran saudara kita dari Ahmadiyah dan Syiah di berbagai daerah oleh kelompok yang mengklaim diri mengerti ajaran Islam. Sedih mendengar pelaporan korban tragedi 1965 ke Den Haag yang sebenarnya menjadi tamparan untuk bangsa kita. Sebagaimana juga beberapa spanduk dan poster yang mudah ditemui, “Awas Bahaya Laten Komunis”. Ada juga isu LGBTIQ yang kini masuk ranah intelektual. Terjadi bias informasi yang seakan mereka hendak menjangkiti virus kepada masyarakat. Kebencian dan homofobia bertebaran, padahal sesalah apapun mereka tetap saudara kita sebangsa, setanah air, dan sesama manusia. Melihat sejarah Nusantara, sebenarnya kita sudah lebih dulu mengenal dan memposisikan LGBTIQ seperti kisah Srikandi, perempuan yang berpakaian dan bersikap seperti laki-laki ataupun Candra Kirana yang menyamar menjadi Panji Semirang. Bissu, calabai, dan calalai dalam masyarakat Bugis. Di masyarakat Jawa dikenal istilah wandu. Di Jawa Timur ada budaya warok dan gemblak. Lingkungan Pesantern ada mairil dan dalaq. Hingga yang paling jelas yaitu pada Serat Centhini, kitab sastra Jawa yang

35. lihat esai “Konspirasi Trio “P”” Radhar Panca Dahana, Ekonomi Cukup–Kritik Budaya pada Kapitalisme,(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2015)


213

ditulis tahun 1814 M.36 Itulah potret demokrasi kita, demokrasi yang penuh prejudice dan judgement pada perbedaan, yang menurut Kanda Azyumardi Azra dalam pidato kebudayaan DKJ, mencabik-cabik “ingatan bersama”, memori kolektif (collective memory) tentang kebersamaan, solidaritas, rasa senasib, dan sepenanggungan yang membuat negara-bangsa eksis.37 Kita ribut dan menyikut saudara kita, di waktu yang sama kekayaan alam kita dikeruk oleh korporat asing juga TKI kita senantiasa disiksa. Bayangkan saja ketika 62 juta pemuda Indonesia mewariskan dendam itu lalu menurunkannya lagi ke anak-cucu-cicit mereka. Padahal sebagai negara bermayoritas Islam, sudah jelas tertera penerimaan terhadap perbedaan, seperti dalam Al-Qur’an : Dan di antara tanda-tanda (Kebesaran-)Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasa-bahasa dan warna (kulit) kamu. Sungguh dalam yang demikian itu ada bukti-bukti orang yang mengetahui (QS. Rum (30):22) Penguatan Kepemudaan Sudah tugas HMI sebagai pemersatu bangsa lewat pemberdayaan para pemuda. Pemuda mesti dilibatkan dalam usaha mempertahankan kedaulatan Indonesia dan menjaga toleransi. Untuk ukuran organisasi sebesar HMI, tentu permasalahan demokrasi dan kepemudaan itu bisa dengan mudah terselesaikan. Jumlah kader berjibun dengan jaringan yang tersebar dan kuat. Namun sepertinya pohon besar memang senantiasa menjadi sasaran angin yang keras. Teringat kata Sulastomo, Himpunan ini bisa dibilang sudah telat dengan berbagai momen dan jauh dari khitahnya.38 Jaringan dan kedekatan dengan kekuasaan membuat himpunan ini duduk manis, bergaya necis. Himpunan hanya sibuk dalam seremoni seakan harmoni, lalu dalam hitungan detik kelahi di dalam “rumah sendiri”. Merasa raksasa saat jadi jongos atau kacung para penguasa. Malu ketika para mahasiswa yang tidak berorganisasi bergiat melakukan petisi kemanusiaan. Malu ketika jarangnya kader himpunan yang melakukan bisnis 36. lihat Mohamad Guntur Romli, Islam Tanpa Diskriminasi,(Jakarta: Rehal Pustaka, 2013) 37. lihat pidato kebudayaan Azyumardi Azra “Pembebasan Sejarah dan Pembebasan Budaya” tahun 2001, Penyunting: Mirwan Andan & Martin Suryajaya, Imajinasi Kebudayaan,(Jakarta: Perhimpunan Koalisi Seni Indonesia, 2013) 38. lihat Opini Sulastomo “Kembali ke Khitah” Kompas edisi 29 Desember 2015

214



dan masih menggantungkan kehidupan pada senior-senior. Malu ketika mendengar tiadanya kader himpunan yang mendaftarkan diri ke program beasiswa di luar negeri. Malu ketika pengurus selevel cabang hingga pengurus besar tidak menerbitkan tulisan atau karya literasi lainnya. Malu tidak adanya perangkat himpunan ini yang melakukan pembasisan di masyarakat. Bahkan malu, ketika di kongres kemarin HMI diidentikkan dengan anarkisme dan vandalisme yang meresahkan masyarakat. Harus diakui organisasi ini masih berkocar-kacir dan sibuk berkonsolidasi di dalam, sedangkan dunia luar menanti dan menunggu kebangkitan kita sebagai organisasi tertua di negeri ini. Lafran Pane sebagai Ikon Kemunduran HMI ini banyak dianalisis salah satunya yaitu kehilangan tokoh panutan atau bisa juga dalam kajian budaya disebut ikon. Seorang pemikir dan pakar semiotika, Charles Sanders Peierce menjelaskan ikon sebagai hubungan kemiripan antara penanda dan pertanda, sebagai representasi sebuah keseluruhan identitas dari sebuah kelompok atau komunitas. Dengannya dapat ditemukan sesuatu yang layak ditiru. Dengan ikon, semangat perjuangan dapat terus digalakkan.39

“Penempatan Kanda

Lafran Pane sebagai pahlawan nasional tentu akan mengukuhkannya sebagai ikon himpunan kita, memberi energi untuk semangat yang hampir mati, serta meremajakan kembali pohon besar bernama Himpunan Mahasiswa Islam.” Adalah kado istimewa ketika di ulang tahun ke-68 HMI menyokong Lafran Pane sebagai salah satu pahlawan nasional. Tanpa berpretensi pengkultusan atau pemujaan yang berlebihan terhadap seseorang. Namun ini adalah sebagai salah satu upaya atas pelbagai masalah yang disebutkan di atas. Perlu rasanya kita sebagai kader himpunan untuk merealisasikan hal tersebut, ditengah kegamangan dan kegalauan yang mendarah daging di setiap partikel terkecil di tubuh HMI. Penempatan Kanda Lafran Pane sebagai pahlawan nasional tentu akan 39. lihat Fishwich, Marshall & Browne, Ray B., Icons of Popular Culture,(Bowling Green University Press,1987)


215

mengukuhkannya sebagai ikon himpunan kita, memberi energi untuk semangat yang hampir mati, serta meremajakan kembali pohon besar bernama Himpunan Mahasiswa Islam. Lafran Pane adalah penggagas besar, memelihara independensi, seorang intelektual, tidak haus kekuasaan, yang lebih penting dia memiliki kesederhanaan dan akhlak yang baik, mental ‘hipster’ sangat jarang untuk orang diposisi pendiri organisasi dengan kader terbesar di sebuah negara. Apalagi dialah yang mendirikan himpunan ini. Dia adalah Batara Guru yang di tangannya telah lahir banyak Sawerigading–dalam La Galigo, Sawerigading adalah seorang pelaut, anak dari Batara Guru yang memiliki keberanian dan kecerdasan–sebagai bukti bahwa Lafran Pane bekerja melampaui masa bakti juga batas usianya. Ini adalah dedikasi kita akan sejarah, sejarah yang melahirkan kita, sejarah yang membesarkan kita, sejarah yang membuat kita berhimpun. Ini adalah salah satu usaha, yang setidaknya bisa menjawab seperti dalam puisi Taufiq Ismail:40 Wahai yang tiada letih-letih menyampaikan makna keimanan Wahai yang bekerja keras menegakkan kembali nilai kejujuran Wahai yang tak henti-henti memberi teladan keikhlasan Wahai yang tanpa jemu menata semua perangkat ketertiban Wahai yang senantiasa mengorbankan optimisme dalam kesulitan Wahai yang tak mengelakkan tanggung-jawab dan pengorbanan Kami sangat memerlukan kalian

40. lihat Catatan Kebudayaan Taufiq Ismail “Semoga Negeri Kita Masih Disayangi Tuhan” majalah Sastra Horison edisi Ferbruari 2016.

216



Mencegah Laju Gerakan Ekstrimis M. Mario Hikmat A.

KEHIDUPAN bernegara hari-hari ini antara lain diwarnai menjamurnya kelompok gerakan ekstrimis yang mengatasnamakan agama di berbagai daerah di Indonesia, baik dari pelosok desa ataupun di tengah hiruk pikuk kota. Hadirnya gerakan ini kemudian memberikan pengaruh besar bagi kehidupan beragama di masyarakat. Tanggapan yang diberikan pun bermacam-macam. Ada yang sepakat dengan adanya gerakan ini, ada juga yang kemudian tidak sepakat dan anti terhadap agama, karena ada anggapan untuk apa beragama jika selalu mempromosikan kebencian dan saling tikam menikam antar sanak saudara. Hal ini diakibatkan karena kelompok gerakan ekstrimis ini menihilkan hak-hak orang lain yang memiliki pandangan keberagamaan yang berbeda dengan mereka. Berdasarkan penelitian Yayasan Wakaf Paramadina (YWP), dalam jangka waktu kurang lebih 19 tahun, kekerasan yang diakibatkan oleh gerakan ekstrim yang mengatasnamakan agama telah melibatkan korban jiwa lebih dari 55.000 orang di Indonesia. Di antaranya, 761 orang tewas, 1873 orang korban luka-luka dan sisanya adalah korban yang hilang dan harus mengungsi dari tempat tinggalnnya. Jumlah tersebut belum terhitung kerugian dari harta benda. Fenomena ini sangat jauh dari nilai kemanusiaan yang harusnya hadir di setiap agama. Benny Susetyo (2001) mengatakan, “Jika keberagamaan kita terjebak kepada bentuk formal, maka agama justru menjadi asing bagi kemanusiaan, karena

217

fungsi agama menjadi kabur. Agama yang seharusnya menjadi pembebas , malah terjebak pada aspek romantisme formal”. Model keberagamaan seperti ini lah yang sangat berpotensi melahirkan kelompok-kelompok ekstrim yang tindak tanduknya kerap berujung pada kekerasan . Gerakan ekstrim selalu diidentikan dengan tindakan kekerasan karena praktik-praktik yang sering mereka lakukan banyak merugikan masyarakat dari hal fisik, psikis maupun yang lain. Terjadinya kekerasan dari kelompok ini menurut Agus Purnomo (2009) dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, di antaranya karena faktor ekonomi, sosial-politik dan juga persoalan ideologi.

“Ketidakmampuan

memilah informasi dengan baik, penalaran yang kurang mumpuni dan miskinnya pengetahuan membuat orangorang seperti ini dijadikan target dalam perekrutan anggota untuk memenuhi kebutuhan kelompok tersebut.” Dalam konteks gerakan ekstrimis keagamaan, sangat erat kaitannya dengan sebuah ideologi. Ideologi merupakan doktrin yang menjadi daya penuntun bagi sebuah gerakan yang akan mengantarkan pada tujuan akhirnya. Ketika sebuah ideologi dijadikan sebagai sebuah landasan gerak maka ia akan mengantarkan kepada dua kemungkinan, yakni: pertama ideologi di formulasi dan ditaati untuk mencapai tujuan; kedua, ideologi dijadikan alat untuk mencapai tujuan politik tertentu. Dalam hal ini ideologi dijadikan sebagai symbol senjata dalam permainan politik. Oleh karena banyaknya faktor yang melatar belakangi munculnya gerakan ini maka dampak yang ditimbulkanpun juga bermacam-macam. Baik dari hal yang sifatnya individual seperti runtuhnya keyakinan tentang konsep keberagamaan atau yang lebih luas menyangkut masyarakat. Pemikiran yang sempit dan kerdil juga sangat mempengaruhi seseorang mengapa bisa terjebak dalam kelompok-kelompok gerakan ekstrim seperti ini. Ketidakmampuan memilah informasi dengan baik, penalaran yang kurang mumpuni dan miskinnya pengetahuan membuat orang-orang seperti ini dijadikan target dalam perekrutan anggota untuk memenuhi kebutuhan kelompok tersebut. Akibat dari minimnya pengetahuan dan daya kritis di banyak kalangan maka semakin mempermudah usaha doktrinasi kepada calon anggota agar tetap konsisten

218



berjuang bersama kelompok yang mereka anggap sebagai sumber kebenaran ini. Pada perkembangannya, ternyata gerakan ekstrim ini berdampak terhadap persoalan kesehatan masyarakat khususnya di Indonesia. Gerakan ini juga diduga menyebabkan meningkatnya angka kesakitan, kecacatan bahkan angka kematian di negeri ini seperti yang terjadi pada beberapa serangan terorisme di Indonesia. Dengan demikian menjadi sebuah keharusan bagi orang-orang yang terlibat aktif dalam penanganan permasalahan kesehatan masyarakat di Indonesia mewaspadai dan melaukan upaya untuk melawan gerakan ekstrim ini. Jika tidak ada upaya preventif secara serius dalam menyelesaikan masalah ini maka jangan heran ketika akan bertambah juga korban-korban yang akan menerima dampak buruk dari hadirnya gerakan ekstrim ini. Kerumitan dari permasalahan gerakan ekstrim ini kita sadari bahwa sangat susah untuk di selesaikan. Namun demikian bukan berarti tidak ada cara untuk menyelesaikannya. Dalam persfektif kesehatan masayarakat, segala bentuk penyakit harus dicegah kejadianya sebelum terjadi, karena mencegah itu lebih baik dan lebih mudah dilakukan daripada harus menangani sesuatu yang sudah terjadi. Terkait dengan persoalan gerakan ekstrim, upaya yang harus dilakukan adalah bagaimana mencegah agar orang-orang tidak mudah terpengaruh dan ter-doktrin sehingga memutuskan untuk bergabung dalam gerakan ekstrim ini. Untuk yang sudah tergabung maka hendaklah juga dilakukan upaya rehabilitasi agar kebencian-kebencian yang terbangun dalam pikiran mereka bisa segera di bumi hanguskan. Upaya pencegahan sejak dini dalam menanggapi persoalan gerakan ekstrim ini salah satu cara yang ditawarkan adalah dengan menumbuhkan daya kritis kepada anak-anak agar mereka tidak mudah terdoktrin oleh pahaman-pahaman yang menyebaban kecelakaan berpikir. Meningkatkan daya kritis agar bisa memilah-milah informasi dengan baik dan tidak mudah termakan informasi yang menyesatkan juga penting. Hal itu dapat memperkaya pemikiran mereka dalam melihat realitas keberagaman di masyarakat. Misalnya dengan memberikan bahwa segala bentuk perbedaan itu adalah kehendak rahmat dari Tuhan yang mesti dijaga, bukannya malah dijadikan landasan dalam menebar kebencian dan melakukan tindak kekerasan. Sudah sangat banyak gerakan ekstrim ini hadir di Indonesia, sudah banyak pula korban-korban yang menderita akibat dari gerakan ini yang tentunya sangat berdampak pada kondisi kesehatan masyarakat di Indonesia. Maka dari itu pencegahan sejak dini harus dilakukan dari sekarang. mari bersama-sama mencegah


219

laju gerakan penebar kebencian ini sehingga tidak ada lagi terdengar korban kesakitan, kecacatan atau kematian akibat gerakan-gerakan ekstrim ini..

220



Revolusi Mental ala HMI Agussalim

Pengabdian kepada masyarakat di kalangan mahasiswa menjadi isu yang menyedot perhatian banyak unsur selama setahun belakangan. Perhatian yang besar ini menggerakkan mahasiswa untuk berpikir tentang kontribusi yang konkret untuk masyarakat. Perhatian yang besar ini seringkali diarahkan menjadi suatu gerakan pengabdian kepada masyarakat. Gerakan ini muncul dipengaruhi juga oleh sentimen terhadap gerakan aksi massa yang dipandang sebagian besar mahasiswa tidak membawa pengaruh positif yang lebih besar ketimbang pengaruh negatif yang ditimbulkan. Gerakan aksi massa dinilai tidak memberikan pengaruh yang konkret kepada masyarakat. Malah dalam sebagian besar kasus aksi turun ke jalan, masyarakat merasa dirugikan akibat macet yang disebabkan oleh pemblokiran jalan oleh massa yang melakukan aksi. Pengabdian kepada masyarakat tidak pernah didefinisikan di literatur manapun. Semua orang paham bahwa pengabdian kepada masyarakat adalah serangkaian kegiatan atau program yang memberikan pengaruh positif kepada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Mengambil istilah kedokteran, yaitu “to improve the quality of life.” Definisi mengenai pengabdian kepada masyarakat masih relevan dengan devinisi tentang “community development” yang memiliki referensi yang melimpah dan dengan bermacam-macam definisi yang terus berkembang. Rendahnya kreativitas dan inovasi yang dilakukan oleh aparat daerah di setiap

221

wilayah otonomo menjadi alasan kenapa kaum intelektual harus membuat pemantik dan pemicu di tengah masyarakat. Hal ini dapat diamati dengan sedikitnya teladan (best practice) yang berhasil dikembangkan oleh daerah. Dari lebih dari 490 propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, hanya sedikit dari mereka yang berhasil mengembangkan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Lebih dari itu, banyak data menunjukkan bahwa daya serap APBD cenderung rendah dan banyak dana daerah yang sebenarnya dapat digunakan untuk menggerak sektor riil dan mempercepat pembangunan daerah sekarang ini cenderung ditempatkan di SBI.

“Mereka sering

menjadi takut dan ragu dalam mengambil diskresi. Kondisi seperti ini jika dibiarkan akan dapat menurunkan kreativitas, semangat inovasi, dan keberanian mengambil terobosan-terobosan demi kepentingan publik.” Rendahnya kepastian dalam penegakan hukum sering membuat para penyelenggara pemerintah di daerah mengalami keresahan dan ketakutan untuk mengambil inisiatif dan diskresi dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Banyak penyelenggara pemerintah yang mengambil “sifat pasif ” dan kurang “responsif ” terhadap pemenuhan kepentingan publik yang berkaitan dengan jabatannya. Mereka sering menjadi takut dan ragu dalam mengambil diskresi. Kondisi seperti ini jika dibiarkan akan dapat menurunkan kreativitas, semangat inovasi, dan keberanian mengambil terobosan-terobosan demi kepentingan publik. Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan pengabdian kepada masyarakat memiliki horison keragaman yang luas. Mahasiswa pun memiliki wadah untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat,salah satu wadah yaitu di Himpunan Mahasiswa Islam. Kegiatan yang dilakukan berupa implementasi teknologi dan transfer keilmuan atau profesi yang dipelajari di bangku kuliah kepada masyarakat. Pengabdian kepada masyarakat harus dimulai di radius terdekat tempat kita melakukan aktivitas sehari-hari. Paling sederhana adalah tetangga di lingkungan tempat tinggal. Dimulai dari lingkungan tempat tinggal kita, kemudian melebar ke satu desa atau kelurahan, ke desa atau kelurahan tetangga, ke satu kecamatan, ke kecamatan sebelah, ke satu kota atau kapubaten, ke kota atau kabupaten tetangga,

222



kemudian nanti akan makin luas lagi. Pemberdayaan masyarakat ditempatkan HMI sebagai mitra strategis bagi seluruh stakeholder di desa untuk membangun bangsa.sebagai organisasi mahasiswa, HMI mempunyai fungsi pengabdian untuk masyarakat. Memberdayakan desa sama artinya dengan membangun bangsa. Karena itulah, peranan HMI tidak lepas juga untuk menjaga mandat UU Desa yang ditetapkan 18 Desember 2013 lalu. UU Desa secara spesifik mengatur setidaknya lima hal yakni pembangunan desa,keuangan, asset, dan BUM desa, pembangunan kawasan perdesaan,kerja sama antar desa, serta lembaga kemasyarakatan desa. HMI untuk rakyat menekankan pada posisi strategis HMI sebagai organisasi pemuda terbesar yang memiliki potensi cukup besar dalam membangun kembali kepercayaan masyarakat atas negara. Relasi antar kepercayaan dan civil society dalam konteks demokrasi sangat erat karena dianggap bahwa civil society adalah alternatif yang tepat ketika pasar dan negara tidak lagi mendapatkan legitimasi yang kuat akibat keterbatasan mereka dalam memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat. Civil society dalam hal ini memiliki peluang untuk membangun modal social di tengah-tengah masyarakat yang selama ini terkikis oleh perselingkuhan negara dan pasar. Sebagai civil society, HMI diharapkan mampu mengembalikan kader-kadernya di tengah-tengah masyarakat. HMI harus menjadi pemberdaya dan membawa api perubahan dalam masyarakat. Ia harus bekerja untuk mendorong kekuatan sipil, peningkatan kapasitas, di berbagi bidang serta menjadi jembatan advokasi atas kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat. Kemandirian tidak memerlukan investasi material yang besar, tetapi cukup dengan menata mental yang memang harus di-setup ulang. Hal ini akan mudah jika kita menyadari posisi kita dalam perspektif Islam sebagai khalifah Allah di bumi. Pandangan diri (sense of self) sebagai khalifah Allah, tentunya akan terbangun kemampuan secara intrinsik, bahwa diri kita sendiri lebih bisa diharapkan untuk dapat menyelesaikan masalah dibandingkan dengan pihak lain. Tak perlu ada ketakutan untuk menghadapi orang atau pihak lain, apalagi masalah-masalah yang bisa dinalar secara normal. Di sini memang sedikit problem bagi Bangsa Indonesia, karena sejarah penjajahan yang panjang, membuat mentalitas mereka jatuh dan mereka tidak setara dalam hal kemampuan dengan bangsa-bangsa lain, terutama kepada Barat. Tetapi banyangan ini bisa dilenyapkan segera, jika bangsa ini menyadari perannya sebagai khalifah Allah di bumi.


223

Cerita dari Lapangan Desa Ugi yang terletak di Kecamatan Sabbangparu, Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan merupakan kawasan pertanian dan perkebunan. Sulitnya akses jalan menjadi keluhan yang kerap masyarakat Desa Ugi. Hal itu pun berujung pada munculnya masalah-masalah lain, termasuk persoalan dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan. Karena sulitnya akses jalan, masyarakat desa harus merogoh kocek dalam-dalam untuk biaya transportasi menuju puskesmas. Selain itu, masih terkait dengan pelayanan kesehatan, masyarakat desa juga harus menghadapi masalah seperti minimnya ketersediaan peralatan medis dan obat-obatan, serta tidak adanya privasi saat ibu melahirkan di ruang bersalin. Berbagai masalah tersebut pun berpengaruh pada status kesehatan para ibu dan bayi baru lahir di Desa Ugi. Selain faktor tersebut diatas, kebijakan pemerintah dalam menekan jumlah AKB dan AKI di Indonesia dianggap belum memadai ditandai dengan regulasi yang belum berpihak pada kebutuhan, ketersediaan dan pelayanan yang prima bagi masyarakat serta penganggaran yang belum sesuai dengan harapan. Menanggapi berbagai persoalan tersebut, sekelompok ibu di Kampung Ugi, salah satu kampung di desa tersebut, yang berprofesi baik sebagai petani maupun ibu rumah tangga pun mengambil tindakan. Bersama-sama, mereka berusaha meningkatkan pelayanan kesehatan serta memperbaiki status kesehatan para ibu dan bayi baru lahir. Mereka melakukan berbagai aksi sosial yang terorganisir, termasuk menyampaikan permasalahan kesehatan ibu dan bayi baru lahir kepada para pemangku kepentingan terkait seperti kepala desa, bidan, dan pengelola puskesmas sebagai penyedia layanan kesehatan. Melalui aksi tersebut, para ibu yang tergabung di dalam kelompok pegiat warga juga menuntut pihak-pihak tersebut untuk ambil bagian dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya, terutama ibu dan bayi baru lahir. Lima belas ibu pegiat warga tersebut awalnya merasa segan, malu, dan takut untuk menyampaikan keluhan mereka terkait berbagai persoalan kesehatan yang ada di Desa Ugi. Sebab, mereka tidak memiliki cukup pengalaman dalam berinteraksi dengan para pemangku kepentingan tersebut karna sebelumnya mereka tidak pernah terlibat sebagai kader Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) maupun posyandu. Latar belakang para ibu pegiat warga yang hanya lulusan sekolah dasar juga menjadi faktor munculnya rasa malu dan takut tersebut. Mahalnya biaya persalinan, sulitnya mendapat kendaraan untuk mengantar ibu

224



melahirkan ke puskesmas, terbatasnya peralatan medis dan obat-obatan memang dirasakan oleh setiap ibu di Desa Ugi, termasuk para ibu pegiat warga. Namun, karena ketakutan dan rasa malu yang mereka miliki, para pegiat warga pada awalnya hanya bisa memberi rasa simpati dan empati, tidak lebih. Rasa simpati dan empati mengenai kondisi para ibu dan bayi baru lahir, serta kekhawatiran para ibu hanya mereka sampaikan di forum rumpi di pos ronda kampung.

“Mereka percaya bawha

aksi yang dilakukan secara bersama-sama akan memberikan dampak perubahan yang lebih besar jika dibandingkan dengan aksi individu yang tidak terorganisir.” Kesadaran akan pentingnya melawan rasa takut dan malu tersebut sebenarnya telah dipahami betul oleh para ibu pegiat warga. Mereka tahu dan paham hanya dengan menyingkirkan rasa itu mereka dapat membantu dalam memperbaiki kondisi kesehatan ibu dan bayi baru lahir di Desa Ugi. Setelah membulatkan tekad, mereka pun sepakat untuk menemui para pemangku kepentingan di desa mereka secara bersama-sama. Mereka percaya bawha aksi yang dilakukan secara bersama-sama akan memberikan dampak perubahan yang lebih besar jika dibandingkan dengan aksi individu yang tidak terorganisir. Keberanian para ibu pegiat warga tersebut pun membawa dampak positif. Pada beberapa pertemuan yang mereka adakan dengan para pemangku kepentingan, para ibu mulai memberanikan diri untuk menyampaikan aspirasi mereka dalam meningkatkan kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang ada di desanya. Mereka juga mulai leluasa menyampaikan keluhan mereka dan berbagai cerita di lapangan kepada para elit desa dan pihak puskesmas. Bahkan, para ibu pegiat warga mulai berani menegur mereka jika lambat dalam memberi pelayanan dan merespon keluhan warga. Kelima belas ibu tersebut mulai aktif sebagai pegiat warga yang menaruh perhatian lebih untuk mengatasi permasalahan kesehatan ibu dan bayi baru lagir di desanya sejak bulan Oktober 2015, Program Transparansi untuk Pembangunan/ Transparency for Development (T4D) dengan advokasi isu Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir (KIBBLA) memberikan pendampingan kepada mereka yang dilakukan oleh fasilitator Pusat Telaah Informasi dan Regional (PATTIRO). Sejak saat


225

itu, mereka telah melakukan sejumlah aksi sosial seperti menemui bidan dan kepala desa untuk membahas solusi atas masalah kesehatan yang ada. Meskipun baru sebatas pada pertemuan-pertemuan singkat, aksi tersebut memberikan dampak yang sangat luas terutama dalam rangka peningkatan status kesehatan ibu dan bayi baru lahir di Desa Ugi. Aksi yang pertama para pegiat warga Desa Ugi lakukan adalah mengadakan pertemuan dengan bidan desa. Pada pertemuan tersebut, pegiat warga menyampaikan berbagai permasalahan yang mereka hadapi terkait pelayanan puskesmas terutama pelayanan ibu melahirkan seperti kurangnya privasi ibu melahirkan pada saat berada di ruang bersalin, minimnya ketersediaan obat dan peralatan medis, dan mahalnya biaya bersalin. Para pegiat warga juga menyampaikan kebutuhan mereka akan mobil ambulans tambahan karena armada yang telah ada saat itu belum bisa menjangkau seluruh masyarakat Desa Ugi karena letaknya yang jauh dari Puskesmas Kecamatan SabbangParu. Pihak Puskesmaspun langsung membawa hasil pertemuan ke dalam rapat evaluasi dengan kepala serta seluruh pemangku kepentingan di puskesmas. Aspirasi para ibu pegiat warga langsung mendapat respon dari pihak puskesmas. Dua bulan setelah pertemuan tersebut, perubahan mulai dirasakan oleh masyarakat. Pihak puskesmas sudah menyediakan partisi di ruang bersalin. Mereka pun menjaga kebersihan partisi dengan menggantinya secara reguler. Puskesmas pun tidak lagi kekurangan persediaan obat dan telah menyediakan peralatan baru seperti vacuum– alat penyedot – untuk membantu proses persalinan ibu. Tarif persalinan juga turun dari yang sebelumnya Rp450,000 menjadi Rp350,000. Puskesmas juga menambah armada mobil ambulans seperti permintaan para pegiat warga. Setelahnya, sebagai aksi sosial kedua, para pegiat warga memberanikan diri menemui Kepala Desa Ugi untuk menyampaikan masalah rusaknya akses jalan desa menuju puskesmas. Para pegiat warga mendorong pemerintah desa untuk segera memperbaiki kondisi jalan terutama jalan-jalan yang sudah tidak layak. Kepala desa dengan sigap langsung menanggapi aspirasi para ibu pegiat warga. Ia mengatakan siap mendukung setiap usulan yang mereka berikan, termasuk memasukan rencana perbaikan jalan di dua kampung terjauh tersebut ke dalam perencanaan penggunaan dana Alokasi Dana Desa (ADD) tahun 2016. Melihat keberhasilan yang mereka ciptakan, para ibu pegiat warga Desa Ugi berkomitmen untuk menularkan semagat kepedulian dan mengampanyekan pentingya kesehatan ibu dan bayi baru lahir ke seluruh warga Kampung Ugi dan masyarakat kampung lainnya di Desa Ugi. Selain itu semangat dan motivasi dari

226



Pegiat Warga, adalah sebuah peluang besar bagi pemerintah dalam meningkatkan Kesehatan ibu dan bayi baru lahir di desa dengan mendayagunakan Pegiat warga yang ada di desa sebagai kader yang dapat membantu mewujudkan hal tersebut. Menuju Masyarakat Madani Salah satu perubahan mendasar dalam konsep pemberdayaan ini adalah munculnya kelompok yang disebut sebagai “pemukim demokrasi”. Dalam konteks politik kebangsaan, merekalah warga negara baru. Mereka adalah generasi muda yang hanya merasakan demokrasi sejak dewasa. Mereka tumbuh remaja dengan menyaksikan pemilihan presiden langsung, iklan politik di media, kebebasan berpendapat hampir di mana saja. Mereka tidak memiliki referensi kehidupan dalam suasana otoriter Orde Baru, di mana pers dibungkam, partai politik dibonsai, serta pemilu yang semata menjadi “pesta” bagi penguasa, bukan pesta demokrasi yang sebenarnya.

“Dampak yang paling

besar akibat pergerakan dari politik dan ekonomi kepada masyarakat ini adalah berubahnya tujuan pertanggungjawaban politik dan ekonomi.” Tumbuh di masa keterbukaan, mereka mengalami berkembangnya keseimbangan baru dalam hubungan antara negara, pasar dan masyarakat sipil. Bersamaan dengan itu, pusat perhatian beralih dari state kepada society, yang berdampak pada penguatan masyarakat sipil. Dampak yang paling besar akibat pergerakan dari politik dan ekonomi kepada masyarakat ini adalah berubahnya tujuan pertanggungjawaban politik dan ekonomi. Sebagaimana bacaan Tornquist di atas, penguatan kelompok masyarakat akan membawa mereka mendaji penghulu bagi pemenuhunan dimensi politik dan ekonomi. Sehingga negara tak bisa lagi dipahami sebagai lembaga monolitik, namun bisa menjadi pelagan tarung bagi semua kepentingan yang mengemuka pada masyarakat. Maka akhirnya negara sebagai integrator bagi semua aktifitas politik warga maupun pasar sebagai integrator bagi semua aktifitas pemenuhan kebutuhan ekonomi, bukan hanya dituntut untuk lebih terbuka dan transparan dalam kinerja, melainkan dituntut untuk mempunyai tanggungjawab sosial, ter-


227

umata pemenuhan kebutuhan masyarakat secara lebih merata. Dalam skala yang lebih besar kemudian, tugas negara dalam menghadapi masyarakat baru tersebut adalah menfasilitasi masyarakat bertumbuh secara maksimal dengan semua potensi mereka. Fungsi fasilitator pertumbuhan sosial itulah yang akan mencegah terjadi ketegangan diametral antara negara dan masyarakat sipil yang biasanya terjadi di negara-negara demokrasi baru. Tujuan akhir dari platform ini adalah membangun optimisme di tengah masyarakat, sehingga mereka dapat berdaya dalam memahami bahwa proses demokratisasi di Indonesia harus terus dikuatkan dan diperdalam hingga berujung pada kesejahteraan. Demokrasi yang menjamin hak-hak mereka dan memberikan mereka ruang yang cukup dalam mengakses factor-faktor produksi demi hajat hidup mereka sendiri. Gagasan HMI membangun desa berarti membangun bangsa merupakan usaha untuk membangun masyrakat madani yang makmur, berdaya mandiri dan sejahtera yang berangkat dari penafsiran terhadap ketimpangan hasil-hasil pembangunan. Membangun dari desa adalah langkah konkret menuju bangsa yang dicita-citakan.

228




229

Merajut Kembali Arah Pemikiran dan Pergerakan untuk Indonesia

Recommend Documents