Pemikiran Politik Indonesia Cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadi suatu bangsa yang merdeka untuk pertama kalinya dirumuskan pada akhir tahun duapuluhan dan diawal tahun tigapuluhan dimana saat itu pergerakan nasionalis mengalami kematangan yang baru sebelum mereka kehilangan beberapa pemimpinnya pada pertengahan tahun tigapuluhan dan akhir tahun tigapuluhan akibat kekerasan dan kekejaman Belanda. Dengan adanya cita-cita tersebut, dengan sendirinya menimbulkan berbagai pemikiran dan gagasan tentang bagaimana menjadi suatu bangsa yang berdaulat dan memiliki pemerintahan sendiri. Setelah pemerintahan atas Indonesia berpindah dari pemerintah Belanda ke tangan pemerintahan militerisme Jepang yang sangat kejam dan menyengsarakan rakyat Indonesia, mulailah timbul rasa kebangsaan untuk melakukan perubahan bagi rakyat Indonesia, hal ini seperti yang ditulis dalam teks Manifesto Politik November 1945 yang mengatakan, Maka pada saat itu timbullah pada rakyat kita kesadaran baru, perasaan kebangsaan yang lebih tajam daripada di waktu yang lalu. Dua tokoh Proklamator kemerdekaan bangsa yaitu Soekarno & Hatta, memiliki ciri masingmasing dalam pemikiran dan gagasannya mengenai suatu bangsa yang merdeka. Di satu pihak, Soekarno lebih menekankan kepada persatuan dan kebesaran bangsa yang dapat mengobarkan semangat kebangsaan, di lain pihak Hatta lebih menekankan tentang kemakmuran dan demokrasi bagi rakyat Indonesia. Pemikiran dari kedua tokoh tersebut memang memiliki sudut pandang yang berbeda, tetapi pada hakikatnya, kedua pemikiran tersebut memiliki banyak kesamaan, dan perbedaan yang terdapat dari keduanya saling melengkapi bagaikan suatu gembok dengan kuncinya. Pemikiran kebangsaan Soekarno, dituangkannya dengan membentuk suatu partai politik yang telah dicita-citakannya sejak lama, yaitu Party National Indonesia (Partai Nasional Indonesia). Partai ini didirikan pada tahun 1927 saat mana rakyat masih kebingungan karena pembasmian komunisme di Indonesia. Pada tahun 1930, Soekarno dituduh oleh pemerintah Belanda akan melakukan pemberontakan yang kemudian ditangkap dan diadili di Pengadilan Negeri bandung. Pada pengadilan tersebut beliau menyampaikan pidato pembelaannya yang mengobarkan semangat nasionalisme bangsa, PNI mengerti akan hal ini. PNI mengerti, bahwa di dalam kesadaran nasionaliteit , inilah letaknya daya dan budaya yang nanti bisa membukakan kenikmatan hari kemudian. Kebudayaan politik di Indonesia pada dasarnya bersumber dari tingkah laku, pola dan interaksi yang majemuk, Menurut Herbert Feith dan Lance Castle s dalam buku ”Pemikiran Politik” Indonesia 1945 1965” ada lima aliran pemikiran politik yang mewarnai perpolitikan di Indoensia, yakni: nasionalisme
radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme demokrat, dan komunisme. Kelima aliran pemikiran inilah yang membentuk budaya politik dan sistem politik di Indonesia dari masa lampau sampai masa sekarang, dengan berbagai perubahan y ang terjadi di Indonesia. Membicarakan Budaya politik di Indonesia tak lepas dari pemikiran politik yang secara historis mewarnai perpolitikan di Indonesia.
Secara garis besar perpolitikan di Indonesia dibagi menjadi 3 periode yaitu : Per iode pemikiran politik tradisional, pemikiran politik pada masa pergerakan, dan pemikiran politik pada masa sesudah kemerdekaan. Periode Pemikiran Politik Tradisional
Koentraraningrat menyebutkan Yang menjadi ciri per iode politik tradisional adalah Kepemimpinan masyarakat tradisional kesatuan-keasatuan sosialnya yang mempunyai bentuk kepemimpinan masyarakat negara kuno, dengan penduduk ribuan atau puluhan ribu orang, membutuhkan syarat kempemimpinan yang tidak cukup hanya kewibawaan saja me lainkan juga harus memiliki kepandaian dalam berbagai aspek kehibupan. Salah satu budaya politik yang berkembang pada budaya politik tradisional adalah paham kekuasaan religius, Frans Mangnis Suseno menyebutkan Inti paham kekuasaan religius ialah bahwa hakikat kekuasaan disini kekuasaan politik, bersifat adiduniawi dan adimanusiawi. Raja merupakan medium yang menghubungkan mikrokosmos manusia dengan mikrokosmos Tuhan. Pemikiran Politik Pada Masa Pergerakan
Pemikiran pada masa pergerakan kemerdekaan beberapa tokoh meuncul dalam upaya kemerdekaan Indonesia, diantara tokohnya yaitu : Sukarno, Mohammad Hatta, Natsir, Sutan Syahrir & Tan Malaka. Para tokoh inilah yang mewarnai aktivitas politik pada masa pergerakan. Pemikrian politik yang paling dominan pada masa pergerakan adalah pemikiran sosialisme demokrat yang pada waktu itu wacana sosialisme demokrat di gagas oleh Soetan Syahrir dan Mohammad Hatta dalam wadah Partai So sial Demokrat (PSI) pada waktu itu. Pemikiran-pemikiran Bung Hatta untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan kolonialisme Belanda adalah : 1. Non-koperasi, menurut Hatta cara inilah satu-satunya yang harus ditempuh untuk mencapai kemerdekaan, bagi Hatta non-koperasi berarti antara lain menolak duduk dalam dewan-dewan perwakilan yang didirikan oleh pihak kolonial, baik dipusat maupun di daerah. Non koperasi juga berarti menolak bekerja di lingkungan peme rintahan kolonialisme. 2. Percaya Pada Diri Sendiri, untuk bisa melawan organisasi dan kekuatan kolonialisme perlu dibangun rasa keyakinan dan kepercayaan pada diri sendiri. Kepercayaan pada diri sendiri yang semakin terkikis oleh kebijakan represif kolonialisme Belanda, rakyat telah lama kena pukau ketidakmampuan dirinya, kata Hatta. Ini harus dibalikan, harus percaya tentang kemampuannya. 3. Persatuan, persatuan yang mempersatukan segenap kekuatan dalam melawan kekuatan penjajah, untuk itu menurut Hatta perlu lebih dahulu aksi massa, pembentukan kekuasaan yang bisa dicapai lewat propaganda untuk menegakan persatuan dan solidaritas, kepercayaan diri dan kesadaran diri. Pemikiran Politik Setelah Masa Kemerdekaan dan Saat Ini
Aliran politik Indonesia menurut Herbert Feith dan Lance Castles dalam buku ”Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965”. yang mewarnai perpolitikan di Indoensia, yakni:
1. Komunisme yang mengambil konsep-konsep langsung maupun tidak langsung dari Barat, walaupun mereka seringkali menggunakan ideom politik dan mendapat dukungan kuat dari kalangan abangan tradisional. Komunisme mengambil bentuk utama sebagai kekuatan politik dalm Partai Komunis Indonesia. 2. Sosialisme Demokrat yang juga mengambil inspirasi dari pemikiran barat. Aliran ini muncul dalam Partai Sosialis Indonesia. 3. Islam yang terbagi menjadi dua varian: kelompok Islam Reformis (dalam bahasa Feith)- atau Modernis dalam istilah yang digunakan secara umum- yang berpusat pada Partai Masjumi, ser ta kelompok Islam konservatif –atau sering disebut tradisionalis- yang berpusat pada Nadhatul Ulama. 4. Nasionalisme Radikal, aliran yang muncul sebagai respon terhadap kolonialisme dan berpusat pada Partai nasionalis Indonesia (PNI). 5. Tradisionalisme Jawa, penganut tradisi-tradisi Jawa. Pemunculan aliran ini agak kontroversial karena aliran ini tidak muncul sebagai kekuatan politik formal yang kongkret, melainkan sangat mempengaruhi cara pandang aktor-aktor politik dalam Partai Indonesia Raya (PIR), kelompok-kelompok Teosufis (kebatinan) dan sangat berpengaruh dalam birokrasi pemerintahan (pamong Praja). Aliran pemikiran ini dalam pemilu 1955 direfleksikan melalui partai-partai peserta pemilu, diantaranya : - Komunisme (Partai Komunis Indonesia / PKI) - Nasionalisme radikal (PNI) - Islam (Masyumi, NU) - Tradisionalisme Jawa (PNI, NU, PKI), - Sosialisme demokrat (PSI, Masyumi, PNI). Aliran pemikiran tersebut pada pemilu 2009 warna ideologi kepartaian di Indonesia tinggal dua corak. Yakni : 1. Nasionalis yang direpresentasi PDI-P, Partai Golkar,dan Partai Demokrat, dan partai lain. 2. Islam yang diwakili PPP, PBB, PKS, dan partai lain. Dua faktor yang memungkinkan keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai dalam diri seseorang yaitu sampai nilai-nilai itu berhasil tertanam di dalam dirinya dengan baik. Kedua faktor itu adalah: 1. Emosional psikologis, faktor yang berasal dari hatinya 2. Rasio, faktor yang berasal dari otaknya Jikalau kedua faktor tersebut dalam diri seseorang kompatibel dengan nilai-nilai Pancasila maka pada saat itu terjadilah pembudayaan Pancasila itu dengan sendirinya. Tentu saja tidak hanya kedua faktor tersebut. Segi lain pula yang patut diperhaikan dalam proses pembudayaan adalah masalah waktu. Pembudayaan tidak berlangsung secara instan dalam diri seseorang namun melalui suatu proses yang tentunya membutuhkan tahapan-tahapan yang adalah pengenalan-pemahaman-penilaian-penghayatan-pengamalan. Faktor kronologis ini berlangsung berbeda untuk setiap kelompok usia. Melepaskan kebiasaan yang telah menjadi kebudayaan yang lama merupakan suatu hal yang berat, namun hal tersebutlah yang diperlukan oleh bangsa Indonesia. Sekarang ini bangsa kita memerlukan
suatu transformasi budaya sehingga membentuk budaya yang memberikan ciri Ideal kepada setiap Individu yakni berciri seperti manusia yang lebih Pancasilais. Transformasi iu memerlukan tahapantahapan pemahaman dan penghayatan yang mendalam yang terkandung di dalam nilai-nilai yang menuntut perubahan atau pembaharuan. Keberhasilan atau kegagalan pembudayaan dan beserta segala prosesnya akan menentukan jalannya perkembangan politik yang ditempuh oleh bangsa Indonesia di masa depan.
- http://dahli-ahmad.blogspot.com/2011/05/pemikiran-politik-indonesia_02.html