Mengusut Kasus 27 Juli 1996
Secara menyeluruh terungkap bahwa faktor utama yang menjadi perhatian utama Soeharto selama dia berkuasa selama tiga dasawarsa, yaitu menguasai pusat-pusat kekuasaan (mesin-mesin politiknya), antara lain awalnya insitusi ABRI, lembaga-lembaga politik penting (DPR/MPR) melalui Pemilu 1971 maupun pada pemilu-pemilu selanjutnya. Kemudian secara bertahap menanamkan orang-orangnya di birokrasi, seorang juga mulai menata organisasi Golkar sebagai mesin politiknya yang sangat diandalkan Soeharto (idak lepas dari peran ICMI, awal tahun 1990-an) di beberapa insitusi politik penting dan birokrasi pemerintahan. Termasuk pada pertengahan 1970-an merealisir dua partai dan membuat PPP dan PDI semaksimal mungkin menjadi terompet kepentingan Soeharto. Kemudian melalui ABRI, birokrasi dan Golkar (ABG) Soeharto mengontrol kekuasaannya ke seluruh penjuru tanah air. Strategi utama yang digunakan adalah mengendalikan pusat-pusat kekuasaan (pemerintahan dan insitusi politik penting DPR dan MPR) melalui orang-orangnya di ABRI, Birokrasi dan Golkar. Ini menyebabkan tujuan utama Soeharto untuk mendapat dukungan luas dari elite militer dan sipil serta mampu mengontrol masyarakat luas ke seluruh penjuru tanah air menjadi realitas yang tidak terbantahkan. Strategi tersebut diperkuat dengan kemampuan Soeharto menggunakan “bukti rasional“ yang ditunjukan melalui angka-angka suara pero;ehan pada Pemilu 1971 dan seterusnya. Akhirnya pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto “ menyatakan berhenti “, setelah Indonesia dihadapkan pada berbagai krisis yang masih terus bergolak sampai akhir 1999. Krisis Asia yang berdampak pada Indonesia, dan menyebabkan negara tersebut mengalami multi krisis yang demikian dashyat, agaknya tidak pernah diperhitungkan oleh rejim pemerintah Orde Baru. 1
Krisis Asia membawa hikmah yang luar biasa – yaitu berakhirnya kekuasaan Soeharto. Sampai pada awal tahun 1997, dirasakan kalau rakyat Indonesia sudah tak berdaya menghadapi kelaziman dan korupnya rezim Soeharto, sehingga tak satu pun orang di negeri ini yang akan berpikir bahwa setelah satu tahun dari masa pemilu tersebut, Soeharto akan jatuh dari tahtanya Soeharto memang kunci penting dari tatanan politik Orde Baru, namun ia tidak sendirian. Pengikut dan rejimnya masih bercokol di pemerintahan dan menggunakan beraneka “baju” politik lainnya, dan bahkan mereka pun umumnya gemar menggunakan kata-kata reformasi. Karena itu, turunnya Soeharto bukan berarti semuanya “selesai” , warisan politik Orde Baru dan pengaruhnya sampai kini. Ini merupakan bukti kuatnya pengaruh dari mesinmesin politik Orde Baru – yaitu ABRI, Birokrasi, dan Golkar (ABG). ( Zainuddin Djafar, 2005 : 148 – 150 ) Sidang MPR 1998 secara resmi menyeruhkan penyelidikan atas korupsi serta pengumpulan kekayaan negara untuk pribadi, khususnya yang terkait dengan Soeharto. Hari terakhir sidang ditandai dengan tewasnya lima belas mahasiswa ditembak mati oleh pasukan keamanan ketika mereka menyerbu gedung MPR/DPR serta kawasan Semanggi Soeharto berkomentar bahwa kekerasan yang disebabkan oleh pemerintah yang tidak mendengarkan harapan-harapan dan aspirasi mahasiswa itu terkesan menyedihkan dan ironis. Habibie sendiri tidak berminat dalam memburu dugaan-dugaan korupsi Soeharto, baik karena rasa hormat kepada mantan presiden itu serta karena ia menyadari bahwa penyelidikan seperti itu mungkin akan membuka kotak Pandora balas-dendam atas persekongkolan-persengkongkolan Orde Baru, termasuk persengkolan program-program bisnis pemerintah yang ia pimpin. Agar dapat mengendalikan setiap penyelidikan yang ia pimpin, ia pun memberhentikan Jaksa Agung Sujono Atmonegoto dan menggantikannya dengan Andi Muhammad Galib, perwira militer yang masih berdinas serta yang memiliki kesetiaan tanpa batas kepada Habibie. 2
Ketika semakin banyak muncul cerita di khalayak umum tentang ketamakan anak-anaknya. Soeharto pun berupaya membela diri. Muncul pada stasiun pemancar TV anak perempuannya pada September 1998, ia menyatakan tidak memiliki satu sen pun uang di rekening bank asing mana pun, dan menantang para pengecamnya untuk membuktikan hal sebaliknya. Pada November, ia menyerahkan pengawasan atas tujuh yayasan yang ia ketuai, dengan aset total lebih dari setengah miliar dollar kepada pemerintah. Tanggapan Habibie, atas tuntutan-tuntutan yang semakin menguat untuk menyelidiki kekayaan Soeharto adalah dengan membentuk komisi khusus. Upaya untuk memasukkan pengacara hak asasi manusia Adnan Buyung Nasution dalam komisi tersebut gagal ketika Habibie menolak untuk memberikan kekuasaan kepada komisi seperti yang diminta Nasution. Pada akhirnya, Galib sendiri yang memimpin panel tersebut, ia juga diperintahkan untuk memberikan laporan kepada Habibie jika penyelidikannya sudah rampung. Soeharto diinterogasi selama tiga jam pada 9 Desember 1998. Sebuah rekaman pembicaraan telpon pada hari berikutnya yang diduga antara Habibie dan Ghalib, tampaknya menunjukkan bahwa pemerintah tidak bersungguh-sungguh akan penyelidikan tersebut, dan bahwa Habibie malah mendorongnya agar mencegah kemungkinan orang lain main hakim sendiri. Dan tak heran pula jika penyelidikan Ghalib tidak menghasilkan bukti bahwa Soeharto memperoleh kekayaan lewat cara-cara tidak benar. Dengan terpilihnya Abdurrachman Wahid sebagai presiden pada Oktober 1999, menyusul pemilihan umum bebas Indonesia yang pertama sejak 1995, tekanan masyarakat bagi dibukanya kasus Soeharto menjadi terlalu besar untuk bisa diabaikan - meski ada pernyataan Wahid bahwa ia akan memaafkan mantan presiden itu jika dinyatakan bersalah. Jaksa Agung Marzuki Darusman pun memulai proses panjang dan lambat menghimpun bukti yang memberatkan Soeharto dan akhirnya berhasil awal Agustus 2000 3
mengajukan dakwaan-dakwaan yang diduga adalah tindak pidana korupsi sehubungan dengan manajemen yayasannya. Sifat dari dakwaan yang dikenakan, serta lambatnya kasus tersebut ditangani, menurut beberapa kalangan mengesankan bahwa Marzuki dan pemerintah yang ia wakili tidak begitu bersemangat dalam memburu mantan presiden itu secara sungguhsungguh. Dan para pengacara Soeharto menggunakan taktik mencegah klien mereka, yang dikenakan tahanan kota sejak April, diajukan ke pengadilan atas dalih kesehatannya yang menurun. ( R.E Elson, 2005 : 570 – 572 ). Era pemerintahan Megawati, Soerharto pun tidak tersentuh, Jaksa Agung M.A. Rachman tidak melakukan apa pun untuk menyelesaikan kasus ini. Soeharto acap tampil di muka umum, termasuk berziarah ke makam istrinya, di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah .( Jonar T.H. Situmorang , 2016 : 285 – 286 ) Menurut Aditjondro, sejarah KKN Soerharto dan keluarga Cendana yang panjang itu dapat disederhanakan ke dalam tuga babakan utama Gelombang pertama merupakan saudara-saudara laki, para keponakan dan saudarasaudara ipar Soeharto di perusahan-perusahan yang didirikan selama dekade pertama Soeharto berkuasa. Anak-anak Soeharto, juga mertuanya, ikut pula terlibat dalam urusan ini, namun terbatas sebagai pemegang saham pasif. Gelombang ke dua dimulai pada pertengahan tahun 1970-an hingga 1980an ketika anak-anak kandung Soeharto telah dewasa dan ingin menjadi pelaku bisnis aktif atau sekadar rent-seeker. Gelombang ketiga dimulai di akhir 1980-an hingga 1990-an dan merupakan free for all, ketiga ketika generasi keluarga Soeharto bergabung dalam praktek ( Muhammad Qoudari, 2005 : 332 ) Di samping alasan kesehatan menjadi dasar pertimbangan yang tidak memungkinkan untuk diadili. Juga menganggap Soeharto sangat berjasa bagi bangsa Indonesia, apalagi dengan kesuksesan dalam pembangunan. Jika dibandingkan dengan pendahulunya, yaitu Soekarno, tentu terlalu jauh beda perlakuan hukum yang diberikan, Soekarno tidak diberi kesempatan sedikit pun, dan mendapat tahanan politik yang mendapat penjagaan yang super 4
ketat, sehingga Soekarno tidak bisa berkutik. Sampai-sampai keluarga pun tidak sembarangan mengunjunginya. Hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh dan kharisma yang dimiliki Soeharto ( Jonar T.H. Situmorang , 2016 : 285 – 286 ) Transisi politik dari sebuah negara dengan pemerintahan otoriter negara dengan pemerintahan yang lebih demokratis di berbagai belahan dunia menyisakan beberapa persoalan pelik yang tidak mudah untuk diselesaikan. Samuel Huntington menyebutkan ada dua masalah penting dalam transisi politik. Pertama, bagaimana pemerintahan baru mengatasi “ masalah si penyiksa “ yaitu bagaimana memperlakukan pejabat-pejabat otoriter yang telah melanggar hak asasi manusia (HAM). Masalah kedua adalah bagaimana pemerintahan baru mengatasi “ masalah praetorian “ yakni bagaimana mengurangi keterlibatan militer dalam politik. Sedang Alferd Stephan mengemukakan bahwa dalam sebuah rezim yang berada dalam proses demokratisasi, tingkat kontestasi militer terbuka sangat dipengaruhi oleh sejauh mana terdapat pertikaian besar atau ketidaksepakatan yang mendasar antara militer dalam pemerintahan yang baru dalam sejumlah isu penting. Salah satu wilayah isu yang mengandung potensi konflik besar ialah bagaimana rezim baru menangani warisan pelanggaran HAM yang dilakukan rezim otoriter masa lalu. Trnasisi politik juga mengalami keadaan yang sama. Setelah Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden 21 Mei 1998 dan mengalihkan kekuasaan kepada Presiden BJ Habibie, muncul tuntutan dari keluarga korban didukung oleh organisasi nonpemerintah terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Rezim Orde Baru dengan bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran HAM berat (gross violation of human right). Termasuk dalam kategori pelanggaran berat HAM adalah kejahatan terhadap kemanusian (crimes against humanity). Pelanggaran HAM itu terjadi di berbagai daerah di Indonersia. Pengungkapan kebenaran dan pemberian keadilan kepada korban pelanggaran HAM masa lalu 5
merupakan tanggungjawab (state responsibility) sesuai norma hukum internasional maupun dari sebuah negara. ( Budiman Tanurejo, 2003 : 1 – 2 ) Pelanggaran HAM banyak terjadi dalam pemerintahan rezim Orde Baru dibawah Soeharto. Yang dimaksud dengan perlanggaran HAM Soeharto adalah pelanggaran HAM yang terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto, yakni sejak terbitnya Tap MPR NO XLIV tentang Pengangkatan Pengemban Tap MPRS No IX/MPRS / 1966 sebagai Presiden RI tanggal 27 Maret 1968 hingga pernyataan Soeharto berhenti sebagai Presiden tanggal 21 Mei 1998. Pelanggaran HAM itu melibatkan aparatur negara, terutama militer dan kepolisian Republik Indonesia. Sebuah kertas kerja yang disiapkan Internasional Crisis Group (ICG) memberikan gambaran bahwa pelanggaran HAM itu terjadi sebagai upaya rezim Orde Baru untuk mempertahankan diri dan upaya rezim untuk mempertahankan kesatuan nasional. Dalam upayanya mempertahankan diri dan mempertahankan kesatuan nasional, Soeharto melakukan langkah-langkah represi, walaupun dalam pelaksanaannya terjadi pelanggaran HAM, diantaranya pembunuhan orangorang komunis atau yang dituduh komunis dan simpatisannya pada tahun 1965. Pola itu masih diteruskan pada 12 September 1984 ketikia kelompok muslim di Tanjung Priok yang menentang penerapan asal tunggal Pancasila dihadapi dengan kekerasan oleh militer. Pihak militer Indonesia menilai massa Tanjung Priok telah melakukan agitasi yang tidak bertanggung jawab. Kekerasaan untuk mempertahankan rezim Orde Baru kembali dilakukan saat militer, polisi, dan ormas sipil menyerbu mimbar bebas yang dilakukan pendukung Ketua Umum PDI. Hasil Munas Megawati Soekarnoputri di Jalan Diponegoro No 58 Jakarta tanggal 27 Juli 1996. Penyerbuan kantor DPP PDI yang kemudian berimbas dengan kerusuhan sosial di sebagian wilayah Jakarta (kawasan Diponegoro, Matraman, Salemba dan Senin) mereflekasikan terjadinya titik balik yang besar dalam tahap akhir sejarah Orde Baru. Pengerasan perlawanan masyarakat yang disalurkan oleh warga
6
PDI yang dipimpin Megawati Soekarnoputri telah memarakan kampanye anti pemerintahan Soeharto di markas PDI di Jalan Diponegoro No 58. Mimbar bebas di halaman kantor DPP PDI itu mampu menarik banyak massa. Tokoh-tokoh politik yang menjadi lawan politik Soeharto juga mengecam dan menuntut penghapusan Dwi Fungsi ABRI, mengecam tindakan militer dalam pelbagai pelanggaran HAM, dan mengecam kebijakan pembangunan Soeharto. Dalam mimbar bebas itu juga dimunculkan isu bahwa sebanyak 2 juta buruh dibunuh Angkatan Darat pada tahun 1965 dan ajakan untuk melakukan mogok massal nasional. Mimbar bebas itu kemudian ditanggapi dengan pengambilalihan kantor dengan cara kekerasaan oleh Soeharto dan para pendukungnya. Militer dan kepolisian menyerbu mimbar bebas di kantor PDI. Penyerbuan dilangsungkan setelah sepekan sebelumnya, Soeharto mengumpulkan pejabat militer di rumahnya dan memberikan pengarahan bahwa mimbar bebas di kantor PDI merupakan awal untuk melakukan makar terhadap pemerintahan Soeharto. Penyerbuan itu telah mengakibatkan paling tidak lima orang tewas dan menurut laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM_ada 23 orang hilang. Kerusuhan itu yang terjadi setelah penyerbuan kantor DPP PDI itu mengakibatkan belasan gedung rusak dan terbakar karena serangan massa. Kerusuhan itu mengindikasikan bahwa kemarahan rakyat memang sudah mencapai puncaknya. Dalam penjelasannya kepada para duta besar negara asing, 5 Agustus 1996, pemerintahan Soeharto dan ABRI menilai bahwa mimbar bebas PDI telah dijadikan sebagai embrio dasar suatu kudeta. Mimbar bebas itu telah ditunggangi kelompok ektrim berideologi komunis. Untuk membenarkan skenario pemerintah itu, kemudian diadili aktivis Partai Rakyat Demokrat (PRD) dan pendukung Megawati yang bertahan di kantor DPP PDI tersebut. Aktivis PRD pada awalnya dituding ABRI sebagai otak dari kerusuhan 27 Juli 1996. Namun, dalam proses peradilan tak bisa dibuktikan bahwa PRD adalah otak kerusuhan menyusul penyerbuan kantor DPP PDI. Mereka dipersalahkan karena manifesto politik PRD yang tidak mencantumkan 7
Pancasila sebagai asas partai sebagai tindakan subversif (Budiman Tanuredjo, 2003 : 5 – 8 ) Presiden Habibie dihadapkan pada tuntutan untuk mengadili pihak-pihak yang menyerbu Kantor DPP PDI tanggal 27 Juli. Ketua Umum PDI Megawati Soekarnoputri mempertanyakan komitmen Habibie untuk membuka kasus 27 Juli 1998. Dalam Kabinet Reformasi Pembangunan yang dibentuk Habibie terdapat nama Kasospol ABRI Letjen Syarwan Hamid sebagai Menteri Dalam Negeri dan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung sebagai Menko Polkam. Konfigurasi politik dalam Kabinet Reformasi Pembangunan membuat Megawati pesimis bahwa Habibie akan mau menuntaskan Kasus 27 Juli 1996. Dalam pandangan Megawati, Feisal Tanjuang dan Syarwan Hamid memegang peranan sentral dalam kasus penyerbuan Kantor DPP PDI tanggal 27 Juli 1996. Penunjukan Syarwan Hamid sebagai Menteri Dalam Negeri menimbulkan resistensi yang sangat kuat dari kelompok oposisi yang dipimpin oleh Megawati. Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) kumpulan advokat yang memberikan bantuan kepada Megawati, meminta Syarwan Hamid untuk mengundurkan diri karena pada saat menjabat Kasospol, Syarwan tidak mendukung gerakan prodemokrasi maupun gerakan hak-hak asasi manusia. Syarwan juga menuding Partai Rakyat Demokratik (PRD) berada dibalik Kerusuhan 27 Juli 1996. Tuntutan mundur itu dfisampaikan Koordinatyor TPDI RO Tambunan saat bertemu dengan Syarwan Hamiid, tanggal 28 28 Mei 1998. Dalam pertemuan tersebut, Syarwan mengakui bahwa apa yang dilakukannya selama menjadi Kasospol hanya sebagai “ prajurit yang melakukan perintah. “ Jawaban dari Syarwan itu ditafsirkan Tambunan sebagai pengakuan dari Syarwan bahwa sikap politik Syarwan telah berubah. Perubahan sikap politik itu dilakukan Syarwan saat ia menjadi Wakil Ketua MPR/DPR ikut mendesak Soeharto mundur dengan segala resiko. Syarwan meminta TPDI untuk memahami posisi ini. Namun Syarwan menolak untuk mengundurkan 8
diri sebagai Menteri Dalam Negeri, kecuali jika Presiden Habibie tidak mempercainya lagi. Syarwan Hamid juga menyatakan resistensinya terhadap berbagai kelompok untuk mengungkapkan kembali Kasus 27 Juli 1996 dengan mengajak masyarakat agar melihat kedepan dan tidak menengok ke masa lampau. Dalam pandangan Syarwan, kebenaran politik adalah sesuatu tang relatif Syarwan mengajak semua pihak untuk tidak lagi mempersoalkan masa lalu yang masing bisa diperdebatkan. Pernyataan Syarwan Hamid itu mewakili salah satu pandangan dari militer tentang bagaimana masalah pelanggaran HAM masa lalu itu harus diselesaikan. Ada pandangan yang berpendapat bahwa pelanggaran HAM masa lalu itu bukan sebuah kejahatan karena militer menjalankan sebuah perintah yang sah dan legal. Dalam kategori yang dibuat Mayjen Saurip Kadi pandangan demikian adalah pandangan kelompok militer status quo. Sementara ada pandangan yang sebaliknya. Dengan digelarnya pengadilan terhadap anggota militer yang bersalah, militer akan memperoleh legitimasi dari masyarakat. Pandangan ini diwakili oleh kelompok reformis strategis. Pada massa kepemimpinan BJ Habibie ( 21 Mei 1998 – 19 Oktober 1999 ) hampir tak ada langkah yang berarti dalam pengungkapan kasus 27 Juli 1998. Bahkan, sejumlah perwira tinggi militer yang terlibat dalam kasus 27 Juli 1996 diangkat Habibie dalam Kabinet Reformasi Pembangunan yang dipimpin oleh Habibie. Habibie menunjuk enam jenderal militer dalam kabinetnya dan menempatkan kembali 14 menteri yang menolak bergabung dalam kabinet yang akan dibentuk Soeharto. Meskipun hampir tak ada langkah signifikan yang dilakukan Habibie, komunitas korban Kasus 27 Juli terus saja menekankan pemerintahan Habibie untuk menuntut pengungkapan kasus tersebut. Tuntutan itu dilakukan dengan menggelar aksi-aksi menggunakan sarana media-massa
9
untuk membentuk pendapat umum, hingga melancarkan gugatan kepada pemerintahan Orde Baru ke pengadilan. Penyelidikan kasus 27 Juli 1996 dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi ,Manusia, pada saat Orde Baru berkuasa. Kewenangan Komnas HAM masih terbatas karena hanya berdasarkan Keputusan Presiden No 50/1993. Motivasi pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus 27 Juli, menurut Ketua TPF Albert Hasibuan, adalah untuk mencek persis jumlah korban yang tewas. Albert Hasibuan mengatakan. “ Jadi, fokusnya adalah mencari korban dan bukan mencari motivasi dan penyerbuan itu .” Setelah kekuasaan Soeharto berakhir, Komnas HAM juga tak berpikir untuk menindaklanjuti Kasus 27 Juli yang tak jelas penyelesaiannya. Komnas HAM merasa bahwa Kasus 27 Juli telah ditangani Polisi dan tidak ada tuntutan dan komunitas korban untuk membuka kembali Kasus 27 Juli 1996. Tuntiutan untuk membuka kembali kasus 27 Juli dilakukan oleh Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI). TPDI adalah sebuah tim, yang terdiri dari para advokat yang ,menjadi kuasa hukum Megawati Soekarnoputri pada saat menghadapi tindakan represif politik dari rezim Soeharto. Selain, TPDI, fungsionaris DPP PDI juga mengambil langkah legal untuk mengungkapkan kasus 27 Juli 1996 itu. Sebagai tim advokat TPDI menempuh jalur legal-formal, seperti mrendatangi Mabes Polri, Puspom ABRI untuk menindaklanjuti kasus 27 Juli 1996. Anggota TPDI seperti Selestinus, Trimedya Panjaitan, RO Tambunan menggunakan media massa untuk terus menekan pemerintah untuk penuntasan Kasus 27 Juli 1996. Advokasi kasus 27 Juli itu praktis hanya melibatkan komunitas korban 27 Juli yang kemudian membentuk Forum Komunikasi Korban (FKK – 124 ) dan Gerakan 27 Juli, dan TPDI. Setelah terjadi pergantian kekuasaan dari Habibie kepada KH Abdurrachman Wahid dan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden baru muncul kembali harapan kasus 27 Juli bisa diungkapkan. Tampilnya 10
PDI perjuangan sebagai pemenang Pemilu pada 7 Juli 1999 membangkitkan semangat FKK-124 dan TPDI untuk kembali mempersoalkan kasus 27 Juli. Tiap tahun tanggal 27 Juli selalu diperingati dan dijadikan momentum untuk menuntut pemerintah menuntaskan kasus itu. Upaya untuk membongkar kasus 27 Juli 1996 mulai dilakukan ketika Kepala Polri Jenderal (Pol) Rusdihardjo menyatakan tekadnya untuk menyidik ulang kasus 27 Juli. Rusdihardjo mengakui, pada era Orde Baru, Polri kesulitan mengungkapkan kasus penyerbuan kantor DPP PDI karena ada intervensi dari pemerintahan Orde Baru untuk mengarahkan penyidik dengan mengorbankan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD). Rusdihardjo menggunakan istilah “ pesan sponsor .” Rusdihardjo meminta waktu tiga bulan untuk menuntaskan kasus 27 Juli. Dalam hubungan sipil-militer, penyelesaian perkara pelanggaran HAM. Penyelesaian melalui cara konvensional dengan pemeriksaan di kepolisian dan kemudian melibatkan Polisi Militer, merupakan kemenangan militer dalam menemukan mekanisme penyelesaian perkara pelanggaran HAM. Penyelesaian melalui Pengadilan Koneksitas dan Pengadilan Militer merupakan hak istimewa yang dimiliki militer. Penyelesaian melalui Pengadilan Militer akan lebih menguntungkan militer. Pilihan model penyelesaian yang lebih mengutungkan militer itulah yang membuat salah seorang korban Kasus 27 Juli, Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik, Budiman Sudjatmiko meragukan tekad Kapolri untuk menyelesaikan kasus itu. Bercermin pada kasus pelanggaran HAM Timtim, diperlukan tekanan internasional untuk menuntaskan Kasus 27 Juli 1986. Faktor tekanan internasional menjadi faktor determinan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Menurut Jaksa Agung Marzuki Darusman, dibukanya kembali Kasus 27 Juli 1996 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrachman paling tidak disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, ada tekanan publik yang sangat kuat 11
dari keluarga korban kasus 27 Juli. Kedua, adanya sikap politik baru dari Polri terhadap militer pasca pemisahan TNI/Polri melalui Ketetapan MPR No VI.MPR.2000. Dalam persepektif Polri, pemeriksaan Kasus 27 Juli 1996 yang akan mengarah kepada sejumlah petinggi militer secara tidak langsung akan memperlancar proses pemisahan Polri dari TNI. Ketiga, adanya perhatian dari Presiden Wahid dan adanya isyarat yang kuat dari Megawati bahwa kasus 27 Juli harus diungkapkan. Dengan upaya pengungkapan itu, Presiden Wahid, Wapres Megawati tetap ikut dalam kepresidenannya Pemeriksaan kasus 27 Juli itu kemudian terhenti setelah Abdurrachman merasa Megawati pun tidak terlalu antusias lagi dengan pengangkatan Kasus 27 Juli 1996 ( Budiman Tanuredjo, 2003 : 219 – 215 ) Dalam studi yang dilakukan Donnel dan Schmitter disebutkan bahwa militer berkepentingan agar pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan tidak diungkapkan kembali. Dalam stiap usaha untuk mengungkapkan masa lalu, militer akan selalu menunjukkan resistensinya dan melakukan berbagai upaya agar pelanggaran HAM masa lalu itu tidak diungkapkan. Pada awalnya, Mabes Polri mengambil langkah-langkah yang pasti untuk mengungkapkan Kasus 27 Juli 1996. Sebanyak 29 saksi dari jajaran militer dan 29 saksi dari jaran Polri, serta 92 saksi adalah warga sipil dari berbagai kelompok diperiksa oleh Mabes Polri. Banyaknya saksi yang diperiksa, termasuk anggota militer, memperlihatkan bobot Kasus 27 Juli 1996 tersebut sangatlah besar. Pemilihan mekanisme penyelesaian dengan cara konvensional mempunyai keterbatasan sehingga kejanggalan dan ketidakadilan pun terjadi. Mabes Polri dengan mudah menetapkan status tersangka, bahkan penahanan terhadap pelaku-pelaku sipil. Tokoh sipil yang ditahan itu antara lain Soerjadi, Buttu Hutapea, Alex Widya Siregar, serta tokoh Pemuda Pancasila Yorrys Raweyai. Namun terhadap tersangka dari pihak militer, tidak ada satu pun yang dikenai penahanan. Mereka hanya diperiksa sebagai skasi. Pejabat militer /Polri yang terlibat hanya dikenal sanksi internal, yakni pembebasan 12
dari jabatan. Iti dialami Brigjen (Pol) Abubakar Nata Prawira, mantan Kepala Polres, Jakarta Pusat, yang dibebaskan dari jabatannya sebagai Wakil Kepala Sekolah Pimpinan Polri karena terkait kasus penyerbuan Kantor DPP PDI. Delegitimasi juga dilakukan terhadap Kapolri Rusdihardjo dengan dikembangkan pendapat bahwa Rusdihardjo juga harus diperiksa, Tuntutan pemeriksaan terhadap Rusdihardjo itu masuk aksi karena pada saat Kasus 27 Juli 1996 terjadi, Rusdihardjo yang sedang menjabat Komandan Reserse sedang menjalankan tugas Deputi Operasi Kapolri. Di depan Komisi II DPR, Kapolri Jenderal Rusdihardjo mengeluhkan adanya pendapat yang dikembangkan di luar bahwa dirinya harus nonaktif sebagai Kepala Polri berkaitan dengan penuntasan Kasus 27 Juli. Menurut Rusdihardjo, isu yang dikembangkan adalah upaya untuk melemahkan semangat Polri menuntaskan kasus 27 Juli 1996. Menurut Rusdihardjo, isu yang dikembangkan adalah upaya untuk melemahkan semangat Polri menuntaskan kasus 27 Juli 1996. Penyelidikan Kasus 27 Juli 1996 tak berjalan lancar. Penyidik-penyidik Polri diteror untuk tidak melanjutkan penyidikan. Kepala Korps Reserse Mabes Polri Mayjen (Pol) Chaeruddin Ismail terpaksa menutup telponnya untuk menghindari ancaman. Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan, Polri melihat ada konspirasi oknum-oknum TNI AD dalam penyerbuan Kantor DPP PDI tanggal 27 Juli 1996. Teror terhadap penyidik Polri bisa dilihat sebagai upaya pejabat militer untuk tidak mengungkapkan lebih jauh Kasus 27 Juli 1996. Teror juga bisa dilihat sebagai ancaman nonkekerasaan terhadap otoritas sipil sebagaimana dikatakan SE Finer. Upaya Mabes Polri untuk mengungkapkan lebih jauh mengenai siapa pemberi komando dan pemegang komando tidak bisa dilakukan karena pejabat-pejabat militer yang menolak bertanggung jawab dan menyalahkan pihgak lain. Fragmentasi dalam tubuh Polri berkaitan dengan Kasus 27 Juli 1996 semakin kentara dengan pernyataan saling menyalahkan antara 13
kelompok militer yang bergerak di bidang inteljen dan kelompok yang bergerak di wilayah sosial politik. Rakor Polkam tanggal 25 Juli 1997 yang dipimpin oleh Menko Polkam Jenderal Soesilo Soedarman memutuskan bahwa para pelaku mimbar bebas akan dikenal tindakan hukum. Tugas tersebut diserahkan kepada aparat kepolisian dan kejaksaan. Pemerintah juga menganggap masalah dualisme kepengurusan di PDI adalah masalah internal PDI dan masalahnya diselesaikan secara hukum. Rakor Polkam tidak menyinggung soal pengambialihan Kantor DPP PDI. Karena keputusan Rakor Polkam adalah penindakan secara hukum, sejumlah petinggi ABRI berada di luar kota Jakarta pada saat Peristiwa 27 Juli 1996 meletus. Menhankam Edi Sudradjat sedang berburu di Bengkulu, Panglima ABRI Jernderal Feisal Tanjung sedang main golf entah dimana, Kasum ABRI Letjen Soeyono bertolak ke Sulawesi Utara untuk meninjau latihan ABRI. (BIA) Mayjen Syamsir Siregar memberikan petunjuk kepada jajaran inteljen bahwa masalah PDI diserahkan kepada kepolisian dan kejaksaan, BIA tidak lagi mencampuri urusan tersebut. Tidak adanya sejumlah petinggi ABRI pada saat terjadi pengambialihan Kantor DPP PDI memang menimbulkan pertanyaan. Apakah kepergian petinggi ABRI itu karena memang mereka sama sekali tidak mengetahui rencana pengambialihan kantor PDI tersebut ? Atau justru sebaliknya, Petinggi ABRI itu mengetahui rencana penyerbuan, lalu mencari alibi tidak berada di ibu kota supaya mengesankan tidak terlibat. Kepolisian maupun tim koneksitas belum bisa menemukan siapa pemberi perintah operasi pengambialihan Kantor DPP PDI. Polri maupunm Tim Koneksitas juga belum berhasil mengungkapkan apa yang disebut surat perintah operasi. Pada saat diperiksa, pejabat militer saling melempar tanggung jawab dan saling menuding di antara mereka sendiri.
14
Sumber-sumber militer yang dikutip Tempo 3 Desember 2000 menyebutkan, operasi penyerbuan kantor DPP PDI datang dari KSAD Jenderal R Hartono dan Kasosspol ABRI Letjen Syarwan Hamid. Pangdam Jaya Sutiyoso sebagai pangilma komando lapangan dengan dibantu Kapolda Metro Jaya Mayjen Hamami Nata. Soeyono mengemukakan, Syarwan Hamid pernah membuat surat perintah operasi pengambilalihan Kantor DPP PDI. Namun, surat itu kemudian ditarik kembali karena prosedurnya salah. Meskipun operasi itu adalah operasi sosial politik tetap harus ditandatangani oleh Panglima ABRI, Menurut Soeyono, Syarwan Hamid dan Sutiyoso harus bertanggung jawab Feisal Tanjung pernah melaporkan kepada Presiden Soeharto. Setelah dimarahi Presiden Soeharto, Feisal Tanjung memarahi Kepala BIA Mayjen Syamsir Siregar. Menurut Soeyono, Pangab mengira surat perintah operasi adalah operasi inteljen yang tak dilaporkan ke Pangab. Syamsir Siregar langsung mencari surat perintah operasi itu namun surat itu tak diketemukan. Mayjen Theo Sjafei, mantan Pangdam Udaya yang kemudian bergabung ke PDI Perjuangan, mengatakan, perintah operasi diterbitkan Syarwan Hamid dan ditarik kembali begitu keadaannya sudah besar. Pangdam Sutiyoso hanyalah pelaksana lapangan. Mantan Kepala Badan Inteljen ABRI Mayjen Syamsir Siregar secara tidak langsung menuding Syarwan harus bertanggung jawab, Menurut Syamsir, orang yang harus bertanggung jawab adalah orang yang mengurusi partai politik ketika itu. Orang yang banyak mengurusi parpol adalah Kasospol ABRI Syarwan Hamid. Syatwan membantah dirinya pernah mengeluarkan surat perintah operasi dan menyutuh Pangdam Sutiyoso. Syarwan mengatakan, “ Kalaupun pernah operasi itu ada, jangan menanyakan kepada saya, tapi carilah di Mabes ABRI. Saya ini bukan organisasi liar. Bila ada masalah perintah-perintah semua terdokumentasi.” Secara tidak langsung, Syarwan membenarkan 15
tindakan Sutiyoso untuk menghentikan mimbar bebas. Sutoyoso tidak bermain sendiri meski tidak ada perintah tertulis Argumentasi Syarwan Hamid iti didukung oleh Asisten Sosial Politik Kassospol ABRI Mayor Suwarno Adiwidjojo, Kodam Jaya memainkan peran maksimal dalam melaksanakan pengambialihan Kantor DPP PDI Asisten-asisten Pangdam Jaya datang ke kelurahan Johar Baru, Kramat Jati, Cengkareng untuk mencari massa, Senno Bella, seorang preman morfinis, direkut jadi koordinatot massa, dan berunding dengan pihak Kodam Jaya. Sutiyoso mengelak dari tuduhan bahwa Pandam Jaya harus bertanggung jawab dalam Kasus 27 Juli 1996. Peristiwa 27 Juli berawal dari sebuah analisa politik yang melahirkan prakarsa politik elite penguasa kemudian menghasilkan serangkaian kegiatan, yakni Kongres Medan sampai dengan terjadinya Peristiwa 27 Juli. Rangkaian kegiatan yang melahirkan Peristiwa 27 Juli merupakan permainan dan aksi politik penguasa pusat beserta komponen-komponen pendukungnya. Dalam pembicaraan melalui telpon dengan Soeyono, Sutiyoso mengaku sering mendapat campur tangan dari Syarwan Hamid dan Hartono. Subtansi pembicaraan yang sama pernah disampaikan Sutiyoso kepada Mien Sugandhi, mantan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita yang juga mertua Soeyono, Mien sempat menanyakan kepada Sutiyoso mengenai siapa yang memberi perintah pengambialihan Kantor DPP PDI dan Sutiyoso menjawab,” Siapa lagi kalau bukan KSAD (Hartono)” Sutiyoso juga mengakui bahwa dirinya yang memberikan izin kepada pendukung Megawati Soekarnoputri untuk melakukan aktivitas dan melakukan mimbar bebas. Izin itu disampaikan kepada fungsionaris PDI Soetardjo Soerjogoeritno, Haryanto Taslam, dan Sophan Sophiaan yang menemuinya di Markas Kodam Jaya tanggal 22 Juni 1996. Sutoyoso juga mengaku berada di lokasi kejadian setelah menerima laporan dari Kolonel Tritamtomo, Komandan Sektor 1 Pengamanan Jakarta Pusat dan Timur 16
Kuasa hukum Sutoyoso, Indra Salmun Lubis mempertegas siapa yang dituding kliennya. Menurut Lubis, mantan Presiden Soeharto dan mantan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung yang harus bertanggung jawab Presiden Soeharto mengetahui adanya rencana pengambilalihan Kantor DPP PDI tetapi tidak ada usaha Presiden untuk mencegah peristiwa itu. Presiden Soeharto membiarkan pengambilalihan kantor itu terjadi. Polri sempat berminat memanggil Soeharto, namun pemanggilan itu tidak pernah terlaksana. Tudingan terhadap Soeharto itu diperkuat dengan adanya pertemuan di rumah Soeharto pada tanggal 19 Juli 1996 malam. Pertemuan itu untuk membahas situasi politik secara umum termasuk kasus PDI. Hadir dalam pertemuan itu Soeharto, Pangab Feisal Tanjung, Kasum ABRI Soeyono, Kasospol Syarwan Hamid, KSAD Hartono, Pangdam Jaya Sutiyoso, Kapolri Dibyo Widodo, dan Kapolda Metro Jaya Hamami Nata Soeyono dan Hartono membantah ada perintah operasi dari dari Soeharto. Menurut Hartono, Soeharto hanya mengingatkan semua yang hadir untuk mewaspadai makar. Pangab Feisal Tanjung juga menegaskan tak pernah menerima perintah dari Soeharto. Ia juga mengaku tak pernah memberikan perintah kepada komando atau persenel ABRI untuk menyerbu. Ia juga tak pernah dilapori komando mengenai keterlibatan anggota TNI dalam penyerbuan. Namun, Feisal juga mengatakan, apabila ada anggota ABRI yang terlibat secara moral sebagai Panglima ABRI meminta maaf. Saling lempar tanggung jawab di antara petinggi ABRI terasa sangat memprihatinkan. Tajuk rencana harian Kompas 8 Mei 2000 misalnya menyebutkan persoalan dalam pelaksanaan Kongres Medan dan pengambilalihan kantor DPP PDI bukan soal persoalan operasi militer, melainkan operasi politik yang melibatkan militer. Karena itu, masih ada satu faktor sentral, terutama bagi kode kepribadian dan kode perilaku 17
perwira, ialah sikap ksatria. ( Budiman Tanurejo, 2003 : 225 – 232 dan Ikrar Nusa Bakti , 2000 : 137 – 151 ) Penyidikan Kasus 27 Juli 1996 yang dilakukan Mabes Polri kemudian diintervensi DPR dalam hal ini Komisi I yang membidangi pertahanan dan keamanan dan Komisi II yang membidangi masalah hukum. Komisi I dan Komisi II DPR memanggil pemerintah yang diwakili Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Yusril Ihza Mahendra, Kapolri Jenderal (Pol) Rusdihardjo, Jaksa Agung Muda Bidang Umum MA Rachman, Panglima TNI Laksamana Widodo AS untuk membicarakan masalah pemneriksaan Kasus 27 Juli 1996. Dalam pertemuan tertutup tanggal 28 Juni 2000, Komisi I dan III DPR mengubah arah penyidikan dari Polri menjadi penyidikan koneksitas. Ketua Komisi II Amin Arjoso mengakui bahwa perubahan arah penyidikan menjadi koneksitas semata-mata demi pertimbangan hukum. Tak mungkin proses penyidikan oleh Polri diteruskan karena dalam proses penyidikan terdapat bukt adanya keterlibatan militer. Namun kenyataannya proses penyidikan koneksitas itu karena sifatnya menjadi tertutup. Pemeriksaan – pemeriksaan di Puspom TNI hampir tak bisa diakses publik. Pemeriksaan oleh tim koneksitas itu sebenarnya dikontrol oleh DPR. Bahkan, dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus DPR) dibentuk Panitia Kerja (Panja) tentang Monitoring Tim Koneksitas Kasus 27 Juli 1996. Kemudian Ketua DPR Akbar Tanjung mengeluarkan surat keputusan No 100/PIMP/IV/2000-2001 tentang Penugasan kepada Panitia Kerja Untuk Memonitor Tim Koneksitas Kasus 27 Juli 1996. Panja itu beranggotakan sepuluh orang dan diketuai oleh Ishak Latuconsina dari Fraksi TNI/Polri.dengan anggota-anggotanya : Hamdan Zoelva, Permadi, Rodjil Ghufron, Amris Hasan, Hajrianto Tohari, Mashadi, Haryanto Taslam, Akil Mochtar dan Zain Badjeber.
18
Dalam laporannya kepada Pimpinan DPR tanggal 23 Oktober 2001, Panja melaporkan perkembangan penanganan kasus 27 Juli 1996. Hingga bulan Juli 2001, Tim koneksitas telah memeriksa 161 saksi ( 92 sipil, 19 TNI dan 19 Polri ). Ada 30 tersangka, yang terdiri dari kalangan militer ( Letkol Budi Parmana, Letkol Soeharto, Serma Ratiman, Letjen Syarwan Hamid, Majyen Zacky Anwar Makarim, Brigjen Syamsiar, Letkol Rusli, Letjen Sutiyoso, Kolonel Haryanto, Kolonel Tritamtomo, Kolonel Zul Effendi, Letkol Rudi Ambon dan Mayor Djoni Supritanti ; dari kalangan Polisi : Mayjen Hamami Nata, Brigjen Abubakar Nataprawira, Brigjen Hendro Subroto, Letkol Soenaryo, Mayor Sukardji, Kapten Seno dan Kapten Tukirin ; dan kalangan sipil M Tanjung, Rosid, Edi Kusworo, Pratomo Kunto Dwutio, Soerjadi, Buttu Hutapea, Romulus Sihombing, Harsoko Sudiro Alex Widya Siregar dan Jonathan Marpaung. Masalah teknis yuridis pembuktian yang rumit membuat proses pemeriksaan kasus 27 Juli 1998 berjalan amat lambat. Intervensi yang dilakukan DPR untuk mengoreksi arah penyidikan tidak membuat penanganan Kasus 27 Juli 1996 berjalan lebih baik. Pemeriksaan oleh tim koneksitas berlangsung lebih tertutup sehingga menyulitkan publik untuk mengetahui perkembangan penanganan Kasus 27 Juli 1996. Panitia Kerja (Panja) DPR yang dibuat untuk memonitor pemeriksaan tim koneksitas juga tidak efektif untuk mempercepat proses penyidikan Kasus 27 Juli 1998 ( Budiman Tanuredjo, 2003 : 235 – 238 ) Pemerintahan sipil dibawah Megawati Soekarnoputri dihadapkan pada apa yang disebut Orenflichter sebagai Hobson”s Choice yakni untuk memelihara demokrasi dan stabilitas pemerintahan yang sedang dibangunnya. Namun, pada sisi lain, Megawati dituntut oleh korban dan keluarga korban Kasus 27 Juli 1996 yang juga adalah konsituennya untuk memberikan keadilan dengan mengungkapkan Kasus 27 Juli. Sebagaimana dikatakan Huntington, Donnel, dan Schmitter, militer akan menunjukkan resistensinya terhadap berbagai upaya pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu. 19
Berkaitan dengan penyelesaian Kasus 27 Juli 1996, Megawati bertindak hati-hati dengan mengedepankan kalkulasi politik. Dengan dukungan di DPR yang tidak mayoritas dan kekuasaan yang belum sepenuhnya terkonsolidasi, Megawati sangat membutuhkan dukungan dari militer. Namun untuk mengakomodasi tuntutan dari korban Kasus 27 Juli 1996, Megawati menjajagi tingkat resistensi militer terhadap pengungkapan Kasus 27 Juli 1998. TPDI yang menjadi kuasa dari korban Kasus 27 Juuli 1998 beberapa kali menanyakan komitmen Megawati untuk menuntaskan Kasus 27 Juli 1996. Dalam pertemuan dengan TPDI, Megawati menyadari dirinya mempunyai tanggung jaweab moral terhadap korban Kasus 27 Juli 1996, namun Megawati juga masih membutuhkan waktu untuk mengetahui tingkat resistensi dari militer . Kepada TPDI, Megawati mengatakan penyelesaian Kasus 27 Juli 1996 tidak usah melibatkan semua prajurit. Akan tetapi cukup satu orang saja yang diadili, yakni mantan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung. Keinginan Megawati untuk menjerat mantan Panglima ABRI juga dibenarkan oleh seorang pimpinan DPP PDI Perjuangan. Militer keberatan atas permintaan Presiden Megawati untuk memeriksa Feisal Tanjung karena kalau Feisal Tanjung dimintai pertanggungjawaban itu berarti menggugat kebijakan TNI secara keseluruhan. Jika pemerintahan Feisal Tanjung dikabulkan, maka semua kebijakan TNI akan digugat oleh elemen masyarakat lainnya. Jaksa Agung juga sudah menemui Panglima TNI Widodo AS dan Jenderal Endriatono Sutarto untuk minta izin pemeriksaan Feisal Tanjung akan tetapi Mabes TNI tetap tidak mengizinkan. Karena ada resistensi dari Mabes TNI, Megawati memilih untuk mundur. Pemerintahan sipil Megawati lebih memilih untuk mengedepankan stabilitas dan memperoleh dukungan dari militer. Dalam hubungan sipil-militer 20
sebagaimana dikatakan Stepan, kontestasinya dengan pemerintahan sipil Megawati yang dibuktikan sikap Megawati yang mundur dan tidak memaksakan untuk meminta pertanggungjawaban dari Feisal Tanjung. Negoisasi dengan sejumlah jenderal yang terlibat dalam Kasus 27 Juli 1998 sudah dilakukan jauh sebelumnya. Petinggi partai yang berkuasa, PDI Perjuangan telah mencapai kesepakatan politik dengan sejumlah jenderal militer yang terlibat dalam Kasus 27 Juli 1996. Kesepakatan itu berisi militer akan mendukung pemerintahan sipil, sedang pemerintahan sipil berkomitmen untuk tidak mengungkapkan lebih jauh Kasus 27 Juli 1996. Menurut Ketua Gerakan Pem,uda 27 Juli Agus Siswantoro, pertemuan itu berlangsung di rumah Feisal Tanjung dan dihadiri Sekjen PDI Sutjipto dan Ketua PDIP Mayjen Theo Sjafei. Tabloid Adil memberitakan pertemuan di rumah Feisal Tanjung yang dihadiri tujuh jenderal yang menduduki posisi penting pada saat kasus 27 Juli terjadi. Selain tuan rumah Feisal Tanjung hadir juga Sutiyoso, Hamami Nata (mantan Kapolda Metro Jaya), Syarwan Hamid (mantan Kasospol), Syamsir Siregar (mantan kepla BIA), Letjen SB Yudhoyono (Mantan Kasdam Jaya) dan Abu Bakar Nataprawira (mantan Kepala Polres Jakarta Pusat). Dari PDI Perjuangan hadir Sekjen PDIP Sutjipto. Adil melaporkan pertemuan para jenderal TNI dengan Sutjipto berlangsung pada saat Megawati naik menjadi Presiden melalui Sidang Istimewa MPR, 23 Juli 2001. Agus mendapat informasi langsung dari Sutiyoso bahwa islah antara PDI Perjuangan dengan Sutiyoso dan sejumlah jenderal lain telah dilakukan Sebagaimana ditulis Tabloid Adil Sutiyoso mengatakan “ Lho mau nuntut apa lagi . Kami khan sudah islah dengan PDIP.” Upaya islah antara korban Kasus 27 Juli 1996 dengan sejumlah jenderal yang terlibat dalam Kasus 27 Juli juga diupayakan oleh anggota DPR dari PDI Perjuangan Permadi. Permadi mengakui telah mengupayakan islah 21
antara korban Kasus 27 Juli melalui Susilo Bambang Yudhoyono. Namun upaya itu gagal karena korban kasus 27 Juli itu terpecah. Permadi sendiri cenderung memilih jalur islah untuk menyelesaikan Kasus 27 Juli, namun langkah itu sulit karena korban 27 Juli terpecah-pecah. Setelah tercapai kesepakatan politik antara pemerintahan sipil Megawati dengan sejumlah jenderal militer, Megawati pun meminta semua pihak untuk tidak lagi mempersoalkan lagi kasus 27 Juli 1996. Mantan Koordinator TPDI RO Tambunan termasuk yang diminta Megawati untiuk tidak lagi mempersoalkan Kasus 27 Juli 1996. RO Tambunan mengatakan ,” Ada usaha Mega dan PDIP untuk membungkam saksi sejarah peristiwa tersebut. Misalnya, dengan memberikan santunan kepada korban 27 Juli masing-masing diberi Rp 10 juta. Santunan itu penuh dengan syarat Uang Rp 10 juta itu diperuntukan agar tidak lagi mengungkit-ungkit peristiwa 27 Jeli .” Anggota FKK-124 Thomas Resmol membenarkan bahwa dirinya menerima uang Rp 10 juta pada bukan Oktober 2001, tapi uang itu bukan uang islah. Thomas menerima dari Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta Agung Iman Sumanto. Setiap penerima menandatangani pernyataan yang intinya memaafkan militer dalam peristiwa 27 Juli. Wakil Sekjen PDIP Pramono Anung Wibowo membenarkan adanya keharusan menandatangani surat pernyataan. Sedang Noldi Manangke yang juga menerima uang Rp 10 juta itu diharuskan menandatangani surat pernyataan yang intinya bahwa keluarga korban menyerahkan penyelesaian kasus 27 kepada Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Surat pernyataan itu diberikan Agung Imam Sumanto. Pramono Anum membenarkan adanya pemberian uang Rp 10 juta. Namun uang itu diberikan karena permintaan korban dan diberikan oleh DPP PDI Perjuangan. DPP PDI Perjuangan berhasil mengumpulkan dana Rp 1,3 22
Milyar dan kemudian dibagikan kepada sekitar 130 korban. Selain uang dari DPP PDI juga ada uang dari Fraksi Perjuangan DPRD DKI Jakarta. Perlunya pemerintahan Megawati untuk mendapat dukungan militer juga diungkapkan Agus Siswantoro. Menurut Agus, dalam beberapa kali pertemuan dengan kader-kader PDI, Theo Sjafei yang juga pensiunan militer berpangkat mayor jenderal, menekankan perlunya PDIP bersahabat dengan militer. Kedekatan PDI Perjuangan dengan militer itu sudah tampak dari sikap PDI Perjuangan dalam kasus pemilihan Ketua DPR DKI Jakarta. Dalam pemilihan Ketua DPRD DKI Jakarta, Mayor Jenderal Edi Waluyo meraih kursi DPRD DKI Jakarta dengan memperoleh suata 40 suara dan kemudian dukungan PDI Perjuangan untuk Sutiyoso yang juga tersangka kasus 27 Juli sebagai Gibernur DKI Jakarta Ketua DPP PDI Perjuangan Roy BB Janis mengatakan, Sutiyoso tidak bersalah dalam Kasus 27 Juli 1996. Penasehat militer Megawati, Theo Sjafei juga berpendapat bahwa bagi Megawati, Sutiyoso tidak terlalu berarti karena dalam Kasus 27 Juli 1996, Sutiyoso bukanlah pengambil keputusann melainkan hanya pelaksana saja. Mantan Kasdam Jaya Susilo Bambang Yudhoyono juga dipercaya Megawati sebagai Menko Polkam . Berkaitan dengan dukungan DPP PDI Perjuangan dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri terhadap Sutiyoso untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta 2002 – 2007, politisi dari PDIP menganggap Sutiyoso tidaklah bersalah. Penempatan Sutiyoso justru akan memudahkan PDI Perjuangan menghadapi Pemilu 2004, Wakil Sekjen PDIP Pramono Agung mengatakan,” Megawati melihat Sutiyoso adalah bagian dari sistem waktu itu. Ia hanya menjalankan perintah.” Sutiyoso juga mempunyai komitmen untuk memenangkan PDIP pada Pemilu 2004. Dengan menempatkan Sutiyoso yang berstatus tersangka 23
sebagai Gubernur DKI Jakarta akan memudahkan DPP PDI untuk mengendalikan Sutiyoso. Anggota Komisi II DPR Amin Aryoso bahkan menganggap Sutiyoso telah berjasa karena telah membuka siapa sebenarnya otak di balik penyerbuan kantor DPP PDI tanggal 27 Juli 1996. Sutiyoso secara terus terang menyebut Soeharto sebagai pemerintah perintah untuk pengambilalihan Kantor DPP PDI Setelah penyebutan nama Soeharto, granat meledak di rumah dinas Sutiyoso. Tajuk Rencana Kompas 18 November 2000 termasuk yang memberikan kemungkinan bahwa granat ke rumah Sutiyoso berkaitan dengan keterangan Sutiyoso kepada penyidik Mabes Polri mengenai Kasus 27 Juli 1996. Keterangan Sutiyoso berbeda dengan keterangan saksi lain. Ia secara kategoris menyebut garis komando. Sutiyoso sendiri secara tidak langsung mengakui bahwa perannya hanya sekarang menerima perintah. Dalam penjelasan pers tertulis Sutiyoso mengatakan, “ akan sangat tragis dan bertentangan dengan rasa keadilan, jika resiko aliran kebijakan politik elite penguasa (pemerintah pusat dan komponen pendukungnya), hanya menjadi tanggung jawab insitusi dan orang per orang, pada level pelaksana operasional pemerintah di tingkat bawah.” Dalam pernyataan pers itu, Sutiyoso mau mengatakan, bahwa kasus 27 Juli tidak bisa hanya dibenakan kepada dirinya selaku Panglima Kodam Jaya karena ia kasus 27 Juuli adalah kebijakan dari pemerintah pusat. Hal lain yang mendekatkan PDIP dengan militer adalah kesamaan ideologi persatuan dan kesatuan yang selalu juga dikumandangkan oleh militer. Menurut Kusnanto Anggoro, pengamat militer dari CSIS, konservatisme Megawati dengan konservatisme TNI ( Budiman Tanuredjo, 2003 : 238 – 246 ) Mengenai kesamaan antara Megawati dengan TNI, ada penjelasan yang hampir serupa. Menurut Donni Edwin, adanya kesamaan pandangan antara Megawati dengan TNI tentang isu amandemen UUD 45 dan negara kesatuan 24
Megawati nampaknya menyimpan ilusi ideologis sentimental berkenan dengan masalah UUD 1945 dan negara kesatuan. Dalam pidato-pidato politiknya, Megawati secara implisit berkali-kali menegaskan sikapnya atas keabadian UUD 45 dan negara kesatuan, dua hal yang secara emosional dihubungkan dengan perjuangan Soekarno. Karena itu PDIP melakukan kampanye menolak proses amandemen UUD 45, sebagaimana dapat dibaca dalam spanduk yang beredart di Jakarta.” Rakyat Butuh Makan Bukan Amandemewn UUD.” Jargon serupa juga ditunjukan oleh kalangan militer setidaknya terlihat dari petisi-petisi yangh dibuat oleh purnawirawan yang tergabung dari Pepabri, Forum Komunikasi Pirnawirawan TNI/Polri dan Front Pembela Proklamasi 45. Tetapi berbeda dengan Megawati, para pensiunan jenderal memiliki agrenda yang lebih jelas tentang isu amandemen yaitu diantaranya mempertahankan keberadaan utusan golongan dan utusan daerah untuk mengakomodasi penghapusan fraksi TNI/Polri di parlemen. Sementara itu , pemahaman Megawati tentang negara kesatuan diterjemahkan dalam bentuk persepsi tentang ancaman besar gerakan separatis di Indonesia. Sebagai hasilnya Mehawati memberikan keleluasaan yang luas bagi militer untuk menyelesaikan persoalan-persaoalan di Aceh dan Papua sevara militer ( Donni Edwin , 2005 : 96 – 96 ) Tekanan-tekanan keras yang dilakukan FKK 124 terhadap fungsionaris TPDI ataupun anggota DPR dari Fraksi PDIP merepotkan DPP PDIP. FKK 124 merasa PDIP tidak lagi memperhatikan nasib korban Kasus 27 Juli . Pihak DPP PDIP maupun TPDI mencoba memberikan pemahaman kepada FKK bahwa PDIP baru saja menang dalam Pemilu sehingga belum mampu mengakomodasi semua pihak. Namun, sejumlah korban Kasus 27 Juli 1996 telah diakomodasi. Misalnya, Sandra Fertasari sebagai Wakil Ketua DPC Jakarta Pusat, Ucok HM Yusuf sebagai Wakil Bupati Sukabumi, Agung Imam Sumanto menjadi Ketua DPRD DKI Jakarta, Susilo Muslim menjadi anggota DPRD Jatim. Beberapa advokat anggota TPDI, seperti Treimedya Panjaitan, Tumbu Saraswati, Amin Aryoso, Mas Yunus Lamuda, Didi Supriyanto, Dwi Ria Latifa, menjadi anggota DPR. Sedang Petrus Selestinus 25
dan Alfian Husin menjadi anggota Komisi Peneriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Akomodasi politik kekuasaan yang dilakukan itu makin memperjelas apa yang dikatakan Harold Laswell mengenai politik yakni “ Who get what, when, how .” DPP PDI beberapa kali bertemu dengan FKK 124, khususnya mereka yang belum terakomodasi, DPP PDI menawarkan pekerjaan, namun tawaran ditolak. FKK 124 meminta dana santunan Rp 100 juta per orang. Dalam pertemuan dengan DPP PDIP sering terdengar ungkapan,” Sekarang kalian sudah kaya. Dulu miskin-miskin, sekarang sudah kaya, Masak kami kayak begini terus ,” DPP PDI akhirnya setuju untuk memberikan santunan Rp 120 juta, namun penyalurannya diserahkan kepada DPP PDI Jakarta. ( Budiman Tanuredjo, 2003 : 238 – 246 )
Tragedi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi semasa kekuasaan Orde Baru dan pada awal era reformasi merupakan memoria passionis atau kenangan duka yang menggugat. Tidak sedikit nyawa melayang dalam Tragedi Peristiwa 1965, Tragedi Tanjung Priok 1984, Tragedi Talangsari 1989, Tragedi Trisakti, Tragedi Mei 1998, dan seterusnya, Dari sanalah tercipta narasi perjuangan merenda ingatan, menampik amnesia atau pelupaan terhadap historia abscondita atau sejarah yang kelam, yang seakan tergembok rahasianya di balik dinding-dinding peristiwa masa lalu. Terhadap semua itu perlu adanya sikap melawan lupa dan menuntut kebenaran dan keadilan. Sebuah sikap kemudian tertransformasikan dalam upaya melawan lupa,mengandung kritik radikal terhadap bangunan kehidupan bangsa yang tampak rapuh akibat hegemoni kaum mafia di berbagai sendi kehidupan berbangsa melalui beragam praktik yang mengakibatkan rule of the game atau aturan pemerintah mudah dibengkokkan. Permainan tipu muslihat itu tampak pula menerpa penanganan berbagai kasus pelanggaran hak asasi 26
manusia. Parahnya lagi, maraknya tidak pelanggaran hak asasi manusia di masa awal era reformasi tidak membuat pemerintah Indonesia segera mengambil langkah-langkah efektif untuk menanganinya. Hingga saat ini pemerintah belum secara konsisten menjalankan langkah-langkah penyelesaian atas sejumlah peristiwa kekerasaan dan pelanggaran hak asasi seperti penyelidikan dan penghukuman terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Pada awal bergulirnya reformasi, upaya penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia menjadi upaya menonjol dari pemerintah. Terhadap sejumlah pelanggaran hak asasi manusia di masa rezim Soeharto, sejumlah tim penyelidik dibentuk untuk membuktikan adanya tidak kejahatan hak asasi manusia di masa lalu ataupun yang terjadi di masa transisi. Tetapi upayaupaya ini semakin melemah, terutama setelah lengsernya Presiden Abdurachman Wahid dari kursi kepresidenan. Hal itu disebabkan oleh banyak faktor antara lain semakin menguatnya penolakan dari insitusi militer berkaitan dengan upaya penyelidikan atas sejumlah perwira tinggi militer yang diduga terlibat pelanggaran hak asasi manusia, juga adanya perbedaan persepsi antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan DPR dalam menentukan adanya penggelaran sebuah penyelidikan, serta melemahnya tekanan politik parlemen terhadap presiden dan upaya-upaya penyelidikan.( Arief Priyadi, 2014 : 12 – 13 )
27
Penutup Megawati Soekarnoputri benar-benar seperti mega terus saja mengangkasa, meskipun badai selalu menempanya. Bahkan ketika pemerintah lewat ABRI dan Departemen Dalam Negeri, bahu-membahu bersama eksponen elit PDI berkehendak menggusur Megawati dari tampuk pimpinan PDI, putri sulung Soekarno itu justru makin melambung. Ketokohannya dalam pentas politik justru makin melangit Ia kini bukan sekedar seorang pemimpin partai nomor tiga, melainkan telah menjelma menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan, seorang politikus tangguh dengan massa pendukung yang militan. Upaya pemerintah untuk menenggelamkan Megawati melalui “ Kongres ” PDI di Medan, ternyata menjadi bumerang yang pahit bagi pemerintah sendiri. Bukan saja Megawati dan pendukungnya tetap kukuh, melainkan juga memunculkan dukungan yang makin kental dari berbagai eksponen kritis di luar PDI. Dan, upaya pendongkelan justru mencoreng muka pemerintah. Kemelut PDI psca “Kongres” Medan, telah mendorong lahirnya berbagai pemikiran yang inspiratif terhadap kebobrokan kondisi berkebangsaan dan berkenenegaraan di Indonesia. Muncul pernyataan keprihatinan “ Kembali 28
ke Cita-cita Luhur “ yang diteken oleh tokoh-tokoh terkemuka semacam Abdurrachman Wahid, Letjen (Purn) Kharis Suhud, Letjen (Purn) Bambang Triantoro, Dahlan Ranuwihardjo, dan Frans Seda. Sejumlah tokoh lainnya, Ali Sadikin dan Ny Soepeni juga melempar keprihatinan yang sama. Mereka memprihatinkan adanya kecenderungan kekerasaan dan ketidakadilan politik yang dipraktikan penguasa dan menyatakan dukungannya terhadap perjuangan Megawati. Sebelumnya, dukungan baik moral maupun material terus mengalir kepada Megawati. Aktivis dari 34 organisasi seperti LSM, ormas maupun partai baru, mendirikan wadah bernama Majelis Aksi Rakyat Indonesia (MARI) untuk mengkristalisasikan dukungan konkritnya. Tak ketinggalan, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di berbagai kota, menggalang aksi-aksi untuk menyatakan ketidaksukaan mereka atas perlakukan pemerintah terhadap Megawati dan PDI. Secara khusus, wakil-wakil mahasiswa itu mengadakan acara apel siaga mendukung Megawati di Monumen Proklamasi pada 4 Juli 1996. Berbagai dukungan itu agaknya akan semakin meluas m dan dengan sendirinya akan semakin melambungkan ketokohan Megawati di pentas politik nasional. Sisi inilah boleh jadi, yang tidak disadari oleh rejim yang berupaya menggencet Megawati saat ini. (Irawan Saptono dan Lukas Luwarso, 1996 : 124 – 125 ) Memang siapa mengira, Megawati ibu rumah tangga yang murah senyum itu, bakal menjadi figur pimpinan partai yang tangguh dan sangat diperhitungkan dalam percaturan politik Indonesia kontemporer. Ia muncul di pentas politik, sebagai Ketua Umum DPP PDI baru pada 1993. Setelah dua tahun menjadi ketua umum partai banteng dengan berbagai ganjalan dan guncangan, pada tahun 1996 ia malah dilambungkan tidak kepalang tanggung, dijagokan pendukungnya untuk menjadi Presiden RI mendatang. Harus diakui terhadap pencalonan Megawati sebagai presiden itu, sebagaian pengamat memang menganggap secara skeptis, atau menganggap sebagai “ tidak serius “. Namun terbukti, seperti terlihat dari ramainya liputan media 29
massa. Ide pencalonan itu ternyata mencuatkan polemik politik yang panas Bukan mustahil elit politik yang kini mapan dalam pelukan kekuasaan menjadi kebakaran jenggot. Dan memganggap Megawati sebagai “ ancaman serius “ di masa mendatang. Geger pemcalonan Megawati sebagai presiden periode 1998 – 2003 itu muncul dari secarik formulir yang beredar di lantai 9 gedung DPR RI markasnya fraksi PDI. Formulir itu berjudul “ Surat Pernyataan Pendapat dan Keinginan “. Isinya, berupa tiga keinginan atau pendapat dari anggota atau simpatisan PDI. Pertama, agar PDI mencalonkan Megawati sebagai Presiden RI dalam sidang umum MPR 1998 mendatang. Kedua, supaya PDI memperjuangkan sungguh-sungguh agar presiden dari wakil presiden dipilih dengan suara terbanyak Ketiga, agar calon presiden dan wakil presiden berkampanye menawarkan program pada waktu pemilu. Gagasan itu awalnya muncul dari kota kecil, Batang, Jawa Terngah. Menurut para penggagasnya, Megawati layak dicalonkan karena ia adalah figur pemimpin yang didukung oleh arus bawah, diakui ketokohannya, sabar dan tegar, serta dipercaya merupakan tokoh zaman yang diharapkan bisa membawa angin perubahan di Indonesia. “ Akan sangat lucu bagi PDI, yang aktivitasnya mendapat hambatan dari pihak eksternal, jika pada SU MPR 1998 justru menjadi epigon pihak eksternal itu, dengan mencalonkan figur presiden yang sama,” begitu antara lain bunyi pernyataan Forum Koordinasi Warga Pendukung Megawati (FKWPM). Formulir itu ternyata mendapat sambutan, tidak hanya di kalangan PDI tetapi juga masyarakat umum. Dan soal itu kemudian menjadi polemik nasional manakala anggota Fraksi PDI di Parlemen menggulirkannya lebih jauh. Di daerah-daerah masih banyak bertebaran para Soekarnois. Mereka adalah para pengagum Soekarno dan kini menumpahkan harapan ke putri Presiden pertama itu. Konon, di wilayah eks-kresidenan Pekalongan, Jawa Tengah, formulir serupa sudah beredar sejak awal Oktober 1996 lalu. Selebaran berjudul “ Koordinator Warga PDI Pendukung Megawati Soekarnoputri “, 30
itu diteken oleh 16 tokoh PDI berbagai daerah. Isinya dukungan terhadap Megawati untuk menjadi Presiden RI periode 1998 – 2003. Gendang sudah ditabuh. Para penabuh mengharapkan Megawati menarikan tarian politiknya. Namun Mega yang memang hobi menari, ternyata tidak mengikuti irama dan alunan gendang itu secara atraktif. Ia justru lebih banyak diam. Kepada pers yang terus-menerus mengejarnya untuk dimintai komentar seputar pencalonannya sebagai presiden.” Saya belum memikirkan soal pencalonan presiden, karena yang lebih mendesak adalah konsolidasi PDI menghadapi pemilu,” katanya diplomatis. Bisa jadi Megawati tahu benar budaya politik di Indonesia. Jangan pernah bicara soal kepresidenan selagi presidennya masih ada (Irawan Saptono dan Lukas Luwarso, 1996 : 126 – 128) Seperti diketahui Megawati naik ke tampuk Ketua Umum PDI berkat dukungan kuat arus bawah, pada Musyawarah Nasional PDI di Jakarta, Desember 1993 – akibat Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Surabaya gagal mencapai keputusan. Padahal saat itu pemerintah menghendaki Budi Hardjono yang tampil memimpin PDI menggantikan Soerjadi. Megawati yang naik ke ;puncak pimpinan PDI tanpa restu pemerintah ini jelas membuat gerah kalangan elit kekuasaan. Tak mengherankan upaya penjagalan dan gangguan dilakukan terhadap PDI. Adapun tujuan ganjalan dan gangguan pada PDI itu, adalah untuk mengcounter mulai menguatnya gerakan-gerakan civil society, khususnya terhadap massa PDI yang menjadikan Megawati sebagai simbol perlawanan Di samping itu, kharisma Soekarno yang disandang Mega menjadi faktor bertuah yang makin menebarkan “ketakutan“ di lingkaran pusat-pusat kekuasaan. Aktivitas politik Megawati menimbulkan rasa was-was, dianggap akan membangkitkan “ledakan partisipasi politik “ warga negara. Faktor darah Mega tadi, dikhawatirkan akan menjadi faktor utama yang bisa mengusik wilayah nostalgik massa pasif itu.
31
Sementara itu bagi kalangan masyarakat tertentu yang percaya adanya “ tanda-tanda zaman “, atau para penganut paranormal melihat kemunculan Megawati sebagai pertanda telah lahirnya seorang “Srikandi “ yang akan mengubah tradisi pemilu Golkar kalah dan partai banteng menjadi nomor satu. Bahlan kalangan kaum intelektual – yang percaya ramalan “Megatrend “ John Naisbitt, bahwa tahun 1990-an adalah era kepemimpinan wanita – menganggap tampilnya Megawati pas dengan tuntutan zaman. Lantas sebagian pengamat politik juga membandingkan Megawati dengan Corazon Aquino, ibu rumah tangga yang menjadi Presiden Philipina karena dukungan kekuatan rakyat (people’s power) Dengan berbagai atribut dan asumsi-asumsi yang disandangkan pada Megawati, terlebih-lebih melihat posisinya yang berada di pucuk pimpinan partai, maka sebagaian masyarakat terbersit harapan, putri Soekarno itu semakin aktif memainkan peran untuk lebih mempercepat perubahan politik Tentu sedikitnya, peran itu bisa ia mainkan adalah pada Pemilu 1997 serta SU MPR 1998 nanti. Saat ini Megawati memang tengah diuji kemampuan leadership-nya. Dan, kawah candradimuka yang menjadi batu ujiannya adalah memimpin partai yang terus dirudung kemelut dan terus diganggu oleh kekuasaan. Ia pertamatama harus bisa mengkonsolidasikan berbagai friksi pada partai yang dibentul dengan menfusikan beberapa partai politik – PNI, IPKI, Murba, Parkindo, Partai Katolik – pada 1973 itu. Pasti bukan soal mudah untuk mewujudkannya. Karena agenda konsolidasi itu bukan melulu urusan intern partai, melainkan mencakup segala “urusan negara“. PDI sebagai organisasi produk konsolidasi negara memang diciptakan dengan potensi ricuh. PDI, seperti halnya PPP, diadakan sebagai partai penguasa, Golkar. Manakala PDI masih dianggap sejalan dengan garis komando kekuasaan maka ia akan dibiarkan berkiprah. Namun jika ia mencoba “menawar kekuasaan“ maka ia harus menghadapi “:recokan“ alat negara, yakni ABRI dan birokrasi. 32
Dan negara tampaknya sengaja memelihara berbagai friksi dan konflik di PDI sebagai contoh kasus kepada rakyat bahwa jika rakyat ingin tertib dan aman maka Golkar lah tempatnya. Di luar Golkar, situasi benart-benar kacau, kisruh dan penuh pertentangan, itu sebabnya trade mark PDI sebagai partai “bermasalah” sengaja terus dipelihara penguasa. Melenyapkan kesan itu, adalah tugas besar Megawati. Megawati yang memiliki modal-kharisma sebagai keluarga Soekarno dianggap mampu untuk mengkonsolidasi PDI. Karena ia relatif bersih dari unsur-unsur tokoh lama yang terus bertikai. Karir politik Megawati berawal ketika ia muncul di arena politik karena ditarik oleh Soerjadi. Saat itu Megawati dimanfaatkan sebagai penarik suara guna menggenjot perolehan kursi PDI. Rupanya keberuntungan berpihak kepadanya. Sejalan dengan rekutmen Mega dan adiknya, Guruh Soekarnoputra, perolehan kursi PDI meningkat. Walaupun belum memiliki pengalaman politik yang memadai ternyata Megawati tahu benar persoalan dari berbagai friksi di PDI. Ia ketika kemudian terpilih sebagai Ketua Umum DPP PFDI, mampu memanage isuisu konflik PDI dengan menggiring opini bahwa segala persoalan di PDI bukan persoalan intern belaka, melainkan karena adanya faktor “eksternal “ yang berupa mengganjal langkah PDI. Strategi ini efektif sebab hasil nya ternyata semakin mempopulerkan PDI sebagai partai alternatif bagi mereka yang menginginkan perubahan dan demokrasi. ( Irawan Saptono dan Lukas Luwarso, 1999 : 129 – 132 ) Megawati bisa menjadi ancaman bagi kemapanam ABRI dan Golkar. Dan oleh karena itu, ia dengan sekuat tenaga dijegal agar tidak semakin besar Namun justru penjegalan itu lebih membuka mata rakyat terhadap “permainan kotor “ yang dilakukan pemerintah. Akibatnya dukungan rakyat kepada Megawati semakin besar. Artinya, Megawati telah mengubah ancaman menjadi peluang.. 33
PDI memang diramalkan akan meraih suara yang cukup besar pada Pemilu 1997, tidak mustahil akan menggeser kedudukan PPP sebagai partai kedua terbesar. Di masa kepemimpinan Soerjadi, yang juga penuh dengan konflik, PDI mampu mendongkrak kursi di DPR dari 24 menjadi 56 kursi. Di bawah kepemimpinan Megawati PDI kian popular dan, seharusnya panggung Pemilu 1997 akan membuktikan semakin berkibarnya PDI. Megawati dianggap cacat di mata pemerintah, namun di depan rakyat, ia justru terlihat sebagai pemimpin yang berwatak. Pencalonannya sebagai kandidat presiden yang akan menyaingi Soeharto – meskipun di mata pemerintah dianggap ancaman – di mata rakyat dianggap sebagai langkah menyehatkan demokrasi. Megawati dan PDI kini sedang menghadapi ujian berat. Pemerintah tampaknya benar-benar telah kehabisan akal dalam upaya meredam Megawati. Satu-satunya jalan, legalitas Megawati sebagai Ketua PDI dicabut – melalui “Kongres Medan“. Tapi cerita tidak lantas usai. Bagi Megawati dan pengurus DPP PDI yang mendukungnya legalitas pemerintah hanyalah pelengkap keberadaan sebuah partai. Legalitas sebenarnya berada di tangan rakyat. Soal legalitas formal dari pemerintah itu, ibaratnya seperti bandul yang bergoyang. Di kalangan DPP PDI masih melihat kemungkinan adanya perubahan pandangan pemerintah, karena DPP PDI versi Soerjadi, toh belum diterima Presiden Soeharto. Dan soal legalitas ini menjadi tidak penting, ketika kekuatan rakyat semakin besar dan pemerintahan yang ada – Irawan Saptono dan Lukas Luwarso , 1996 : 130 - 136 ) Konflik antara Soeharto dan Megawati berkembang menjadi konfrontasi pada bulan Juni 1996, saat pemerintah memutuskan hanya mengakui Kongres PDI yang diorganisir oleh faksi yang anti-Megawati dan pro-rejim. Dengan demikian mereka mencabut pengakuan hukum bagi Megawati dan 34
menyingkirkannya secara hukum dari sistem politik formal. Dia dan para pendukungnya menolakn menerimanya dan mempertahankan bahwa kepemimpinannya dan PDI-nyalah yang sah. Tingkat pembangkangan dalam sistem formal semacam itu tak pernah terjadinya sebelumnya. Itu terjadi setelah demontrasi Ujung Pandang dan peningkatan aksi-kasi protes di seluruh pelosok negeri. Momentum bagi gerakan protes, yang sudah berjalan sejak tahun 1989, dan momentum baru yang diciptakan konfrontasi tersebut kemudian menyatu. Aksi protes menantang penolakan Soeharto terhadap kepemimpinan Megawati mulai dipicu di Semarang pada tanggal 14 Juni. Kemudian diikuti oleh aksi-aksi di Surabaya dan Yogyakarta pada tanggal 17 Juni; di Salatiga pada tanggal 18 Juni; di Jakarta pada tanggal 18 Juni, aksinya diikuti oleh 15 ribu orang, pada tanggal 20 Juni, juga di Jakarta. Semua aksi tersebut, hingga tanggal 19 Juni, merupakan aksi gabungan antara PDI dan PRD, sehingga kedua bendera menjadi terkenal. Aksi tanggal 20 Juni diorganisir oleh koalisi organisasiorganisasi yang lebih luas. Dari markas PDI di Jalan Diponegoro, demonstrasi bergerak menuju Monumen Nasional, kemudian dihadang di Stasiun Gambir oleh tentara, yang memukuli barisan dengan pentungan rotan, menendang mereka, dan melempari batu. Tank Angkatan Darat juga melabrak kerumuman barisan. Lima orang terbunuh dan sekitar 70 orang terluka berat. Sekitar 50 orang ditangkap dan dibawa ke kantor Kostrad terdekat. Keesokan harinya muncul aksi-aksi protes yang lebih banyak, baik di Jakarta maupun di kota-kota lainnya di seluruh negeri, termasuk demontrasi besar oleh satu kelompok, Aldera, di Bandung, yang juga diserang tentara. Di Yogyakarta, 25 Juni, satu demontrasi yang terdiri dari 7.000 orang berhasil menerobos barikade tentara di luar kampus Universitas Gadjah Mada sehingga bisa melanjutkan perjalannya ke DPRD-Yogyakarta. Lagi, di Jakarta, pada tanggal 28 Juni, 3000 orang berkumpul di DPR untuk mendukung Megawati. Di Jakarta. lagi-lagi, pada tanggal 12 Juli, 5000 orang berkumpul di Gedung Proklamasi. 35
Namun, bersatunya kedua momentum tak bearti bahwa mobillisasi buruh dan sektor-sektor lainnya, yang mengangkat masalah lain secara terpisah, terhenti. Demontrasi yang memprotes kekerasan di Ujung Pandang masih berlanjut di sepanjang bulan Juni. Daftar YIP (Yayasan Insan Politika) juga mencatat adanya demontrasi menentang kenaikan uang kuliah, korupsi di Bank Pembangunan Indonesia, dan tentang pejabat Pertamina yang korup namun berhasil melarikan diri dari penjara secara misterius. Sebagai tambahan, di Jakarta pada tanggal 18 Juni – satu hari sebelum protes menentang tindakan Soeharto menindas Megawati dimulai - PRD mengorganisir 2.000 buruh dari PT Indoshoes, satu perusahan yang berbasis di luar Jakarta. Pada buruh tersebut mogok dan datang ke Jakarta,, berkumpul di luar gedung DPRI, di mana 3.000 mahasiswa dan buruh lainnya ikut bergabung. Sebanyak 3.000 buruh datang kembali ke DPRI esok harinya tapi kali ini dihadang tentara akan tak bisa memasuki kompleks DPRI. Mereka kemudian berpawai ke Departemen Tenaga Kerja. Dua minggu kemudian, tepatnya pada tanggal 19 Juli, antara 15.000 hingga 20.000 buruh dari 10 pabrik di daerah Industri Surabaya, mogok dan berdemontrasi, terlibat perkelahian di jalanan dengan tentara. Beberapa terluka dan lebih dari 20 orang ditahan, termasuk pimpinan PPBI Dita Sari dan Coen Pontoh. Mereka diadili pada tahun 1997 dan dihukum penjara selama lima tahun. Mereka tidak dibebaskan sampai Soeharto jatuh Pemogokan diorganisir di bawah bendera PRD dan PPBI, yang mendistribusikan ribuan selebaran kepada buruh. Tuntutan yang tercetak dalam selebaran adalah: ” hentikan campur tangan tentara dalam urusan buruh ; hentikan dwi-fungsi ABRI, mencalonkan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden . Peristiwa 27 Juli – yakni ketika demontrasi bergabung dengan pemberontakan “ massa mengambang “ – perkotaan dan menjelma menjadi kemarahan-liar di Jakarta - sering dianggap sebagai awal kejatuhan 36
kekuasaan Soeharto “ yang memakan waktu lama.” Tapi momentum untuk meningkatkan dan menyebar luas aksi-aksi protes sudah berjalan. Peristiwa 27 Juli 1996, memacu segalanya. Megawati, anggota PDI, dan mereka yang memobilisir dukungan kepada Megawati, menolak disingkirkan secara hukum oleh rejim. Beberapa anggota PDI menduduki hedung kantor pusat pemberian pemerintah. Pemerintah memerintahkan meninggalkan gedung tersebut. Tapi mereka menolak. Markas PDI menjadi teman pertemuan koalisi luas kekuatan anti-pemerintah yang dikenal dengan nama Majelis Rakyat Indonesia (MATI). Walaupun ikatan bersama koalisi MARI adalah mempertahankan PDI Megawati, namun MARI juga mengeluarkan sejumlah tuntutan, termasuk peningkatan upah buruh, pegawai negeri dan prajurit; harga pagu yang lebih baik bagi produksi petani, mempertahankan nilai kurs pada tingkat tetap; memberikan pendidikan gratis dan penghentian korupsi; serta mencabut semua UU yang menidas. Bahkan, Kantor Pusat PDI bisa menjadi landasan-luncur yang memungkinkan untuk meningkatkan momentum yang pernah terjadinya sebelumnya – yakni momentum Malari, 23 tahun yang lalu di mulai – ke tahap yang lebih tinggi. Tak mengejutkan, rejim bergerak untuk menutup kantor pusat PDI yang dianggap sebagai wadah gerakan seperti itu. Tentara dan polisi tiba dan mengepung area sekitarnya. Setelah melempari gedung dengan batu selama beberapa jam, sekelompok orang yang mengaku sebagai anggota PDI yang resmi, tapi memiliki ciri-ciri seperti preman dan mungkin tentara, menyerang dan mengambil alih gedung. Banyak yang mengatakan bahwa lebih dari duapuluh orang dibunuh. Lebih dari duapuluh anggota PDI yang ada di kantor pusat ditangkap, diadili dan dipenjarakan, serta dibebaskan setelah Sieharto jatuh. ( Max Lane, 2007 : 169 – 173 ) Demikianlah, peristiwa 27 Juli merupakan contoh sindrom Malari mobilisasi yang terorganisir oleh sektor publik tertentu, dibarengi oleh kerusuhan yang meluas di kalangan sebagian penduduk yang tak teroraganisir.
37
Peristiwa penjarahan politik di kantor DPP PDI oleh militer telah menyebabkan tertundanya klimaks perlawanan rakyat yang ketika itu sedang mencari ruang politik yang luas untuk membangun alinasi oposisi. Pemerintah tampaknya sangat ketakutan terhadap munculnya Megawati menjadi Ketua PDI mengingat tokoh ini potensial menjadi simbol perlawanan oleh kekuatan-kekuatan politik baru dari generasi yang radikal.
PRD mewakili suatu contoh munculnya radikalisme anak muda dengan sistematis dan penuh kesadaran membangun kekuatan oposisi. KIPP juga menjadi lembaga oposisi baru yang muncul secara lebih fokus untuk melakukan pemantauan, pengawasan, dan kontrol politik langsung, terhadap pemilu yang selama ini berfungsi sebagai mesin politik Golkar dan militer Sementara Aldera, PIJAR, AJI dan kelompok-kelompok aktvis lain yang selama ini bergerak secara terpencar sebagai para katalis gerakan perlawanan, menjadi pendukung penuh kampanye-kampanye antipemerintah yang difasilitasi markas PDI.
Semua kekuatan ini melihat bahwa perjuangan demokratik harus dikerjakan secara langsung dan eksplisit ke arah perubahan sistem politik. Mereka melihat PDI di bawah Megawati bisa dijadikan patner yang efektif mengingat jumlah massanya yang besar. Itu sebabnya secara sadar mereka berusaha membangun aliansi bersama para politisi PDI. Selama ini, bekerja di luar sistem, dengan membangun jaringan bersama untuk membentuk front aliansi perlawanan yang lebis luas. Di kalangan mereka sendiri upaya membangun alinasi besar oposisi ini disadari sebagai suatu eksprimen politik untuk mentranformasikan bentuk-bentuk politisi isu-isu tunggal, sektoral, dan khusus kearah yang lebih bersifat kolektif dan lebih ideologis. Pada dataran itulah PRD mewakili suatu jenis kekuatan politik baru yang sejak dini menawarkan suatu jenis kekuatan politik baru yang sejak dini menawarkan kerangka yang relatif lebih komprehensif dan menyeluruh dalam agenda-agenda mereka mengenai perubahan politik dan perjuangan demokratiknya. Sayang bahwa eksprimen ini segera tumbang setelah pemerintah melakukan penghancuran besar-besaran terhadap upaya-upaya alinasi semacam itu PDI 38
Megawati akhirnya dikucilkan dan gagal ikut dalam proses politik pemilu 1997. PRD dinyatakan sebagai kelompok politik terlarang, dan para aktivitasnya dipenjara. KIPP kisruh sendiri, baik karena konflik-konflik internal maupun karena efektifitasnya yang melemah sebagai jaringan watchdog. Sementara para aktifis politik lain dan dari kelompok-kelompok kecil yang tersebar luas, kembali tiarap untuk menciptakan kembali dari nol ruang-ruang politik baru. Sesungguhnya penyerbuan negara ke markas oposisi di Jakarta itu, yang untuk sementara telah menggagalkan eksperimen alinasi besar oposisi, justru telah mengintensifkan konsolidasi di tingkat massa PDI sendiri, melalui tahap-tahap yang pahit ketika mereka dikucilkan sebagai paria dalam sistim politik Orde Baru. Citra sebagai paria inilah yang justru membawa berkah politik, yang dengan itu memungkinkan massa kelas bawah dan massa tertindas mengindentifikasikan diri kepadanya. Ini terbukti pada pemilu 1999, ketika secara mencolok partai ini berhasil memenangkan pemilu dengan perolehan suara yang signifikan, yang sebagian besar berasal dari kelompok-kelompok marginal PDI akhirnya bahkan menjadi partai dengan perolehan suara terbanyak di parlemen. (Prasetyohadi dan Bimo Nugroho, 2001 : 224 – 233 ) Dalam temuan final Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang diumumkan 12 Oktober terdapat fakta yang menarik, khususnya tentang dalang yang musti bertanggung jawab atas terjadinya Peristiwa 27 . Juli 1996, berlawanan dengan pendapat pemerintah dan ABRI, yang langsung menunjuk Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai penunggang kerusuhan itu. Komnas HAM sama sekali tidak menyebut keterlibatannya partai yang dideklarasikan pada 22 Juli 1996. Tidak disebutkannya dalam kesimpulan akhir Komnas HAM yang ditandatangani Ketuanya yang baru Munawir Sjadzali MA dan Sekjennya Dr Baharuddin Lopa, merupakan kesimpulan berani di tengah kebingunan masyarakat terhadap Peristiwa 27 Juli 1996, PRD kemudian menjadi bintang 39
di panggung politik nasional setelah Peristiwa 27 Juli 1996 itu, ABRI tampaknya sengaja mengorbitkan PRD untuk menyederhanakan persoalan yang terjadi di seputar kemelut PDI sekaligus menemukan momentum untuk melibas partai yang dianggap kekiri-kirian itu. Para aktifis PRD yang terdiri dari anak-anak muda menjadi buronan politik yang paling dicari sejak Menko Polkam Jenderal (Purn) Soesilo Soedarman mengumumkan bahwa PRD bertanggung jawab atas terjadinya kerusuhan di Jakarta 27 Juli 1996 1996. Menko Polkam bersama Jaksa Agung Singgih, Pangab Jenderal Feisal Tanjung, Kapolri Letjen (Pol) Dibyo Widodo, Menteri Kehakiman Oetojo Oesman, Menteri Negara Sekretaris Kabinet, Saadillah Mursjid dan Jaksa Agung Singgih, pada 29 Juli 1996, mengadakan rapat khusus dengan presiden membahas Peristiwa 27 Juli dan keterlibatan PRD. Dalam keterangan pers seusai rapat khusus itu, Menko Polkam mengatakan presiden sendiri sudah tahu bahwa PRD berada di balik kerusuhan itu sebelum pihaknya melapor. Soal presiden yang sudah tahu tentang PRD itu, Takashi Shiraishi, professor sejarah di Universitas Cornell, dalam satu wawancara di internet menyatakan – berdasarkan informasi yang ia dapat dari kalangan pejabat di Jakarta – Presiden Soeharto memperoleh masukan tentang PRD itu dari salah seorang petinggi ABRI. Beberapa hari sebelumnya Peristiwa 27 Juli, demikian Takashi, petinggi ABRI itu mengirim laporan kepada presiden tentang PRD. Dalam laporan itu PRD yang disebutkan sebagai organisasi yang mirip PKI berada di belakang mimbar bebas PDI. Presiden Soeharto percaya informasi tersebut. Ketika kabinet bertemu pada 29 Juli, presiden minta Sekretaris Kabinet, Saadillah Mursjid untuk membacakan laporan itu. Dan setelah pertemuan kabinet itu, Soesilo Soedarman bilang Persistiwa 27 Juli didalangi PRD dan PRD itu mirip PKI. Demikian kata professor yang pernah meneliti tentang inteljen Indonesia ini. Menurut Takashi, Presiden Soeharto saat ini tak bisa memperoleh banyak informasi dari para pembantunya, karena ia selalu marah jika memperoleh 40
informasi yang tidak menyenangkan.” Semua orang yang dekat dengan dia tahu hal itu. Jadi tidak banyak orang yang mau memberi infirmasi yang tidak menyenangkan ,” tambahnya. Hal yang dikemukakan Takashi ini setidaknya didukung kenyataan bahwa Presiden Soeharto sendiri ikut langsung dalam masalah ini. Dalam Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, Pengawasan Pembangunan dan Produksi Distribusi 7 Agustus. Presiden Soeharto meminta kehadiran seluruh menteri di Bina Draha. Di depan Sidang Kabinet yang seharusnya tidak diikuti seluruh menteri ini, presiden menjelaskan latar belakang Kerusuhan 27 Juli 1996 – setidaknya menurut informasi yang didapatnya Presiden menyebutkan bahwa PRD itu nyata-nyata merupakan kelompok yang melakukan kegiatan yang bersikap mental makar. Presiden mengatakan kegiatan PKI dengan manifesto yang dikeluarkan pada 22 Juli 1996, itu jelas-jelas telah menggunakan cara-cara berfikir dan bertindak PKI.( Gibran Ajidarma dan Irawan Saptono , 1997 : 84 – 86 ) Pada 27 Juli 1996, lembaran kelam kembali tercatat dalam kehidupan politik kita. Kali ini lebih hitam dari akibat Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974 ), 22 tahun silam. Sebab, setelah kekerasaan lagi-lagi digelar korban berguguran dan ged8ung-gedung terbakar, kegetiran yang tertinggal. Paling tidak ada lima penyebab, menurut Mochtar Pabotinggi, yang membuat Peristiwa 27 Juli lebih kelam. Pertama, gejolak politik yang meledak hari itu lebih keras. Alat negara berhadapan langsung dengan para pendukung PDI Megawati dalam kontak kekerasaan yang disengaja. Kedua, kalangan masyarakat yang terlibat letupan politik tersebut lebih luas, Tidak seperti Peristiwa Malari, yang hanya bertumpu pada kalangan kampus. Peristiwa 27 Juli bertumpu pada partai politik yang berakar kuat dan luas dalam masyarakat, dengan dukungan merata dari kalangan dari kalangan mahasiswa, LSM dan intelektual. Ketiga, Peristiwa Malari dulu membawakan katarsis (karena segera disusul beberapa “janji” perubahan signifikan dalam kebijakan ekonomi pemerintah) tapi katarsis takkan menyusul gejolak politik 27 Juli itu. 41
Masih ada dua penyebab lagi. Yakni, Peristiwa 27 Juli dipicu oleh tumpukan kekecewaan di bidang ekonomi – yang juga memicu peristiwa Malari – ditambahkan tumpukan kekecewaan di bidang politik yang kian nyata tigaempat tahun ini. Seperti kita ketahui, kebijakan :janji” politik ekonomi yang menyusul Peristiwa Malari sejak awal tahun 1980-an telah dibalikkan oleh kian simbiotiknya hubungan antara statisme dan kapitalisme, dalam kiprah ekonomi/politik Orde Baru itu mengakibatkan kesenjangan ekonomi tambah parah dan tambah sulit dikontrol. Kerasnya benturan pada Peristiwa 27 Juli itu tak lain karena masyarakat sudah sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar kebobrokan, ketidakadilan, dan kesenjangan di bidang ekonomi dan politik selama ini erat kaitannya dengan format politik Orde Baru itulah yang hendak mereka benahi. Peristiwa 27 Juli, demonstrasi buruh massal di Surabaya, serta sekian bentrok antara masyarakat dan pemerintah sebelumnya menunjuk ke jantung masalah itu. Akibatnya, taruhan ekonomi politik pun mengalami magnifikasi. Begitu pula kekerasan politik yang menyertainya.( Mochtar Pabotinggi, 1997 L 70 – 71 ) Memasuki penghujung abad ke-20 yang ditandai oleh krisis moneter dan ekonomi yang berkepanjangan, situasi politik dan ekonomi internasional berubah demikian pesat. Di Indonesia pun terjadi perubahan pesat dan cepat. Kelompok militer maupun sipil di sekitar Soeharto semakin ketat bersaing secara politik sementara Soeharto semakin kehilangan kendali atas persaingan tersebut. Pandangan dunia internasional terhadap kepemimpinan Soeharto pun berubah terutama akibat menguatnya desakan demokratisasi, liberalisasi ekonomi dan gerakan anti KKN terhadap rezim Soeharto. Sementara itu gagalnya penerapan berbagai kebijakan pemerintah untuk mengatasi krisis telah menimbulkan ketidakpercayaan ( public trust ) yang semakin menguat di kalangan rakyat terhadap pemerintahan Soeharto. Soeharto semakin tidak mampu mengendalikan kelompok-kelompok militer dan sipil (teknokrat ekonom maupun teknokrat teknolog) di sekitarnya yang terus bersaing secara ketat untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
42
Puncaknya, Soeharto memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden. Pengunduran diri Soeharto ini memperlihatkan kelemahan kepemimpinan dengan corak sentralistik dan patron, yaitu karena kurang mempersiapkan proses regenerasi kepemimpinan nasional. Prinsip di mana semua kebijakan nasional ditentukan dan diputuskan hanya oleh seorang Presiden nyatanya justru menjadi bumerang bagi Soeharto terutama dalam hal mempersiapkan suksesi kepemimpinan nasional. Proses regenerasi yang direncanakan secara personal membuat Soeharto tidak memiliki banyak pilihan dalam meneruskan corak kepemimpinannya karena yang terutama menjadi tolok ukur adalah orang yang dipercayai dan memiliki loyalitas personal kepadanya untuk meneruskan kebijakan-kebijakannya di masa depan. Kepemimpinan Soeharto dengan corak khasnya telah menjadi “ pisau bermata dua “ saat menghadapi krisis. Pada sisi pertama diperlukan kepemimpinan sentralistik yang tegas dan tidak mau didikte dalam mengatasi masalah, kepemimpinan yang terarah agar tujuan pembangunan tercencana sehingga tercapai sesuai dengan tujuan. Sementara pada sisi kedua, corak kepemimpinan tersebut justru dapat menjadi tergantung pada satu sosok dan tidak ada alternatif pemikiran. Implikasinya Indonesia seakan-akan berjalan di tengah tempat. ( Fredy B.L. Tobing, 2013 : 160 – 161 ) Kediktaktaktoran Soeharto dikalahkan oleh aksi. Itulah juga esesnsi krisis politik Orde Baru : ketidakmampuannya memerintah dengan landasan kebijakan “ massa mengambang “, memaksakan kepasifan. Cerita tentang kemenangan mobilisasi massa merupakan juga cerita tentang keputusan sadar dan komitmen yang tinggi dari sekelompok kecil orang yang menghidupkan kembali aksi massa sebagai suatu bentuk perjuangan politik selama tahun 1990-an. Dalam konteks tersebut, Soeharto bukan saja jatuh dari kekuasaan, dia dijatuhkan. (Max Lane, 2007 : 218). Aksi telah menjatuhkan Soeharto dan merebut kemenangan penting, kemenangan pertama melawan kontra-revolusi. Baik militer maupun aparat sipil negara 43
tak sanggup menyelamatkan mengambang.”
Soeharto
atau
kebijakan
“
massa
Bibliografi Adnan, Ricardi S dan Arwan Pradiansyah,” Gerakan Mahasiswa Untuk Reformasi. Selo Soemardjan (ed) 1999. Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, Hlm. 133 – 196. Ajidarma, Gibran dan Irawan Saptono . Persitiwa 27 Juli . Jakarta Aliansi Jurnalis Independen dan Institut Studi Arus Informasi. Anggraeni, Dewi. 2014. Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Agustiana et al , Widiarsi. 2014. Massa Misterius Malari, Rusuh Politik Pertama dalam Sejarah Orde Baru. Jakarta : Tempo Publishing.
44
Bhakti (Koord), Ikrar Nusa.2000. Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru . Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli ? . Jakarta : LIPI dan Mizan Pustaka, Hlm. 137 – 158. Bouchiier, David dan Vedi R Hadiz (ed). 2006. Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965 – 199 . Jakarta ; Pustaka Utama Grafiti. Budianta, Melani,” Munculnya Aktivis Perempuan dalam Masa Reformasi,: dalam Ariel Heryanto dan Sumit K Mandai (ed) 2004 Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara. Perbandingan dan Pertautan antara Indonesia dan Malaysia. Jakarta : KPG ( Kepustakaan Populer Gramedia ), Hlm. 285 – 340. Buttarbutar, Benny S. 2003. Soeyono. Bukan Puntung Rokok. Jakarta : Ridma Foundation. Chrisnandi, Yuddy. 2005. Reformasi TNI. Perspektif Baru Hubungan Sipil – Militer di Indonesia. Jakarta : LP3ES Crouch, Harold. 1986. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan. Dharmawan (editor), Bagus. 2008. Warisan (daripada) Soerharto. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Djafar, Zainuddin. 2005. Soeharto. Mengapa Kekuasannya Dapat Bertahan Selama 32 Tahun ?. Jakarta : FISIP UI Press. Djajadi, M Iqbal,” Kerusuhan dan Reformasi,” dalam Selo Soermardjan (ed) 1999. Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, Hlm. 1 – 76. Ecip. S Sinansari. 1998. Kronologi Situasi Penggulingan Soeharto. 45
Bandung : Mizan Edwin, Donni, “ Reformasi Militer . Kepemimpinan Sipil vs Tentara. “ dalam AE Priyono . 2005. Studi Fenomena dan Sistem Bablasan Rezim Soeharto di Era Reformasi. Jakarta : Insitut Studi Arus Informasi, Hlm. 43 – 98 . Elson, RE. 2005. Suharto Sebuah Biografi Politik. Jakarta : Minda Gayatri, Irene H,” Arah Perlawanan Gerakan Mahasiswa 1989 – 1993,” dalam Muridan S Widjojo et al. 1998. Penakluk Rezim Orde Baru. Gerakan Mahasiswa “98. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, Hlm. 64 – 125. Habibie, Bacharuddin Jusuf. 2006. Detik-Detik yang Menentukan. Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi . Jakarta : Jakarta THC Mandiri. Hadi, Syamsul. 2005. Strategi Pembangunan Mahathir & Soeharto. Politik Industrialisasi dan Modal Jepang di Malaysia dan Indonesia. Jakarta : Pelangi Cendikia Hefner, Robert W. 2001. Civil Islam. Islam dan Demokrarisasi di Indonesia. Jakarta . Institut Studi Arus Informasi. Jenkins, David. 2010. Soeharto & Barisan Jenderal Orba . Rezim Militer Indonesia 1975 – 1983. Jakarta : Komunitas Bambu Kaligis, Retor A.W. 2014. Marhaen dan Wong Cilik. Membedah Wacana dan Praktik Nasionalisme bagi Rakyat Kecil dan PNI sampai PDI Perjuangan. Tangerang : Marjin Kiri Lane, Max. 2007. Bangsa Yang Belum Selesai. Indonesia, Sebelum dan 46
Sesudah Soeharto. Jakarta : Reforfm Institute Luhulima, James. 2007. Hari-Hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto dan beberapa peristiwa terkait. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Luhulima, James. 2007 Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965, Melihat Peristiwa G30S dar Perspektif Lain. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Nugroho, Arifin Suryo. 2008. Keluarga Cendana. Yogyakarta : Bio Pustaka. Pabotinggi, Mochtar, “ Kegetiran 27 Juli ,” dalam Gibran Ajidarma dan Irawan Saptono. 1997. Peristiwa 27 Juli . Jakarta : Aliansi Jurnalis Independen dan Insitut Studi Arus Informasi, Hlm. 70 - 73 . Prasetyohadi dan Bimo Nugroho,” Penyerbuan Jakarta, 27 Juli 1996,” dalam AE Priyono. 2011. Aktor Demokrasi. Catatan tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia. Jakarta : Institute Studi Arus Informasi. Hlm. 199 – 228. Prasetyohadi, Benny Subianto dan Wisnu Hardana. “ Mudrick Sangidoe dan Persekutuan Mega-Bintang,” dalam AE Priyono. 2011. Aktor Demokrasi. Catatan tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia . Jakarta : Institut Studi Arus Informasi. Hlm. 229 – 267/ Putra, Anak Agung Gde. Pulangkan Mereka! Ingatan Penghilangan Paksa di Indonesia. Jakarta : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Raillon, Francois.1989. Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia . Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966 – 1974. Jakarta 47
LP3ES. Qodari, Muhammad,” KKN Musuh Yang Tak Terkalahkan ,” dalam AE Priyono et al . 2005 : Studi Fenomena dan Sistem Bablasan Rezim Soeharto di Era Reformasi, Jakarta ; Insitut Studi Arus Informasi, Hlm. 305 - 372 . Robison, Richard. 2012. Soeharto & Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, Jakarta : Komunitas Bambu . Romli, Lili,” Potret Buram Partai Politik di Indonesia,” dalam Mahrus Irsyam dan Lili Romli (ed) Menggugat Partai Politik. Jakarta : Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI. Hlm. 111 – 144. Said, Salim. 2002. Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi . Jakarta : Aksara Karunia. Sanit, Arbi,” Gerakan Mahasiswa 1970 – 1973 : Pecahnya Bulan Madu Politik,” dalam Muridan S Widjojo et al. 1998. Penakluk Rezim Orde Baru, Gerakan Mahasiswa “98. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, Hlm. 45 – 63. Saptono, Irawan dan Lukas Luwarso. 1996. Megawati Soekarnoputri Pantang Surut Langkah. Jakarta : ISAI . Southwood, Julie dan Patrick Flanagam. 2013. Teror Orde Baru Penyelewengan Hukum & Propaganda 1965 – 1981. Jakarta : Komunitas Bambu . Simanulllang, Ch Robin. 2013. Sutiyoso. The Field General. Totalitas Prajurit Para Komando. Jakarta : Pustaka Tokoh Indonesia. Situmorang, Jonar T.H. 2016. Presiden (Daripada) Soeharto. Yogyakarta : 48
Palapa. Sulistyo, Hermawan. 2009 . LAWAN. Jejak-Jejak Jalanan Di Balik Kejatuhan Soeharto. Jakarta : Pensil – 324. Suparno, Basuki Agus. 2012. Reformasi & Kejatuhan Soeharto. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Suwarno, PJ. 2009. Rajawali Kemusuk Menjelajah Nusantara. Yogyakarta ; Universitas Sanata Dharma. Tadie, Jerome. 2009. Wilayah Kekerasan di Jakarta. Jakarta : Masup. Tanuredjo, Budiman. 2003. Militer dan Penyelesaian Pelanggaran HAM Era Soeharto (Studi Kasus Tanjung Priok dan Kasus 27 Juli 1996). Jakarta : Thesis Magister Program Pasca Sarjana Ilmu Politik UI Tobing, Fredy B.L. 2013. Praktek Relasi Kekuasaan Soeharto dan Krisis Ekonomi 1997 – 1998. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Uhlin, Anders. 1998. Oposisi Berserak. Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia. Bandung. Mizan Pustaka. Widjojo, Muridan S,” “Turunkan Harga, Atau Kami Turunkan Kamu..”” Gerakan Mahasiswa Menggulingkan Soeharto . “ dalam Muridan S Widjojo et. al. 1998. Penakluk Rezim Orde Baru. Gerakan Mahasiswa “98. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan , Hlm. 143 - 180 Wanandi, Jusuf. 2004. Menyibak Tabir Orde Baru. Memoar Politik Indonesia 1965 – 1998. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Yudhistira, Aria Wiratma. 2010. Dilarang Gondrong. Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an. 49
Tangerang : Marjin Kiri. Yulianto, Arief. 2002. Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orba Di Tengah Pusaran Demokrasi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Zon, Fadli. 2004. Politik Huru-Hara Mei 1998. Jakarta. Institute for Policy Studies. Zulkifli, Arif. 1996. PDI Di Mata Golongan Menengah Indonesia. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti
50