1. Mengidentifikasi Nilai-Nilai ATB dan AMK Permukiman/arsitektur tradisional adalah perwujudan ruang makro untuk menampung aktifitas kehidupan dengan pengulangan pola ruang dari generasi ke generasi berukutnya dengan sedikit atau tanpa perubahan, yang dilatarbelakangi oleh norma-norma agama dan dilandasi oleh adat kebiasaan setempat serta dijiwai kondisi dan potensi alam lingkungannya. Permukiman dan arsitekturnya yang berlokasi di Bali, dibangun, dihuni atau digunakan oleh penduduk Bali yang berkebudayaan Bali, kebudayaan yang berwajah natural dan berjiwa ritual. Permukiman dan arsitektur tradisional Bali, dihuni oleh masyarakat Bali/mereka yang ingin berada dalam ruang-ruang Bali yang umumnya cenderung merancang ruang-ruang yang dibangunnya dengan arsitektur tradisi dalam lingkungan binaan bermukim/permukimannya. Kenyataan, dalam perkembangannya permukiman dan arsitektur tradisional Bali telah menyebar jauh ke luar batas-batas Bali. Untuk mengakrabkan dengan permasalahan perkembangan pola arsitektur permukiman tradisionasl Bali, antara mempertahankan/pelestarian nilai-nilai yang ada dan mengembangkannya agar dapat berdampingan seirama dengan nilai-nilai baru peradaban, dianggap perlu kegiatan telaah guna mendekatkan pada anggapan dan batasan dalam pola berfikir analisis untuk suatu kesimpulan sebagai pedoman langkah penterapannya ke depan. Kecenderungan manusia Bali, keadaan alam, dan adat kebiasaan masyarakatnya yang dilatar belakangi oleh norma-norma agama (Hindu), mengeras ke dalam bentuk arsitektur dan permukiman tradisional beserta wujud tingkah laku budaya yang diwadahinya. Falsafah perwujudan arsitektur tradisional Bali menjadikan lingkungan binaan yang serasi dan selaras dengan manusia, alam dan Tuhannya. Konsep dasarnya berpedoman pada norma agama. Konsep perancangan mengacu pada situasi dan kondisi lingkungan. 1.1 Identifikasi Nilai-Nilai Arsitektur Tradisional Bali (ATB) Pemahaman tentang Bali yang berpengaruh terhadap Arsitektur Tradisional Bali a. Identifikasi dari Pulau Bali Keadaan alam Bali, pegunungan di tengan-tengah membujur dari barat ke timur dengan gunung-gunungnya, sehingga dataran terbelah di Bali Utara dan di Bali Selatan. Letak astronomi, letak geografi serta kondisi geologi, iklim dan keadaan alam Bali serupa itu sangat menentukan bentuik-bentuk
perwujudan lingkungan binaan/arsitektur bermukim tradisionalnya (desa). Performansi dan keberadaannya merupakan penyelaras kehidupan manusia dan alamnya. b. Konsep Filosofis Konsepsi perancangan arsitekturnya didasarkan pada tata nilai ruang yang dibentuk oleh 3(tiga) sumbu, yaitu ; 1) sumbu kosmos, bhur, bhwah, swah (hidrosfir, litosfir, atmosfir); 2) sumbu
ritual, kangin-kauh terbit dan
terbenamnya matahari); 3) sumbu natural, kaja-kelod (gunung-laut). Masingmasing dengan daerah tengah yang bernilai madia. Dengan adanya pegunungan di tengah, maka untuk Bali Selatan, kaja adalah ke arah gunung di utara, kelod ke arah laut di selatan. Untuk Bali Utara, kaja adalah kea rah gunung di selatan, kelod kea rah ;laut di utara. Kedua sumbu lainnya berlaku sama. Demikian, letak dan keadaan alam Bali memperngaruhi perwujudan arsitektur lingkungan binanya. c. Masyarakat Bali Bahwa penduduk desa adalah mereka yang bertempat tinggal menetap, berpemerintahan dan diatur oleh peraturan perundangan adat (awigawig/uger-uger desa) yang ada di desa tersebut. Di dalam suatu desa adat, ada ikatan-ikatan kependudukan yang disebut nyama (keluarga), soroh (klan), pisaga (tetangga), braya (keluarga luar), tunggal dadia (satu keturunan) dan lainnya. d. Sosiokultur Di dalam territorial desa adat penduduk di Bali juga terdiri dari beberapa tingkatan strata sosial Hindu yang disebut Kasta, yaitu brahmana, ksatrya,wesia, dan sudra. Dan dalam satu desa penduduknya ada yang terdiri dari keempat kasta, ada pula yang hanya tiga kasta, dan sering hanya terdiri dari dua yaitu wesia atau sudra saja. Dalam pekraman desa, kapling tempat tinggal warga brahmana disebut grya, ksatrya dinamakan puri/jero, wesia atau sudra disebut umah. Dalam konteks
arsitektur
masing-masing
memiliki
ciri
dan
karakteristik/kekhasan tersendiri. e. Pola Desa Pola-pola permukiman tradisional yang selanjutnya disebut Desa Tradisional di Bali umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tata
nilai ruang dari tata nilai ritual yang menempatkan zona ‘sakral’ dibagian kangin (timur) arah terbitnya matahari sebagai arah yang diutamakan. Berlanjut sampai pada penempatan zona ‘provan’ dibagian kauh (barat) arah terbenamnya matahari. Faktor kondisi dan potensi alam, nilai utama ada pada arah gunung dan kearah laut dinilai lebih rendah. Pada kondisi lain di Bali, pola permukiman ada yang berpola Pempatan Agung yang disebut pula Nyatur Desa atau Nyatur Muka. Dua jalan utama yang menyilang Desa, Timur – Barat dan Utara – Selatan, membentuk silang perempatan sebagai pusat desa (cross road). Balai Banjar sebagai pusat pelayanan sub lingkungan meneliti kearah sisi desa dengan jalan-jalan sub lingkungan sebagai cabang-cabang jalan utama. Di pempatan agung sebagai pusat lingkungan Pura Desa dan Pura Puseh atau Puri menempati zona kaja kangin, Balai Banjar atau wantilan desa ditempatkan di zone kaja kauh, lapangan desa menempati zone kelod kangin dan zone kelod kauh di tempati pasar desa. Kuburan desa dialokasikan di luar desa pada arah kelod atau arah kauh yang meru[pakan zona dengan nilai rendah. Tata letak perumahan dan bangunan-bangunan pelayanan disesuaikan dengan keadaan alam dan adat kebiasaan setempat. f. Bali pada masa kini Dalam perkembangan kekinian , prediksi serta proyeksi gerakan perubahan penduduk (Bali) yang umumnya merupakan gerakan yang cenderung semakin meningkat dari tahun ketahun, yang disebabkan oleh peningkatan pertambahan alamiah (kelahiran–kematian), dan pertambahan gerak perpindahan (mobilitas/migrasi – transmigrasi). Pertambahan penduduk dari tahun ketahun meningkat dan oleh karena pertambahan alamiah, ternyata pertambahan penduduk di pedesaan lebih tinggi (sepuluh tahun terakhir, ratarata 1,5% per tahun). Sejalan dengan itu morfologi desa berkembang, sesuai dengan pemenuhan kebutuhan akan pengadaan perumahan, tempat-tempat pemujaan dan bangunbangunan untuk akomodasi/fungsi aktifitas adat/agama (bale adat, bale delod, bale dangin, bale gede, dll) juga bertambah. Di sisi lain kecenderungan terpandang ‘baru’ nmembutuhkan ruang-ruang berkatifitas atas nama aktifitas modernitas.
•
Nilai-nilai Arsitektur Tradisional Bali Nilai-nilai substansi konsep (substance of content) tata-ruang pada tingkat gama adalah : Nilai-nilai/kerangka dasar agama Hindu, Tri Hita Karana sebagai unsur bhuana alit dan bhuana agung :
•
Nilai-nilai konsep (form of content) tata-ruang pada tingkat gama adalah : nilai hulu (tengah) - teben baik arah horizontal maupun vertikal yaitu, kesetaraan Tri Loka dan Tri Angga sebagai susunan unsur Angga :
•
Nilai-nilai ekspresi (form of expression) tata-ruang pada tingkat lokal/desa pekraman/Sima adalah : Tri Loka (tiga zona vertikal); Tri Mandala (tiga zona horizontal); Sanga Mandala (sembilan nilai zona horizontal) dan Natah sebagai ruang
•
Inti/Pusat/centrality dan Sesa sebagai ruang tepi/marginality. Penyengker, Paduraksa dan Angkul-angkul adalah sebagai penanda Umah, sehingga Bale yang ada dalam penyengker adalah setara bilik/room. Dari ekspresi/tipologi Angkul-angkul, Penyengker dan Paduraksa dapat pula diketahui “status warna”
•
penghuni Jaba ataukah Tri Wangsa, lain kata sebagai penunjuk jati diri penghuni. Bale setara bilik diberi julukan/sebutan bukan karena fungsinya, namun karena letak dan nilai guna, misal Bale Dangin letaknya di bagian Timur, juga disebut Sumanggen
karena digunakan kuburan sementara (Sema-anggen) sebagai tempat upacara orang •
mati. Sosok dan bentuk wujud fisik ruang dan bangunan tradisional muncul dari upaya penyeimbangan yang harmonis antara manusia selaku isi (bhuana alit) dengan ruang dan bangunan selaku wadah (bhuana agung). Sosok dan bentuk dianalogikan sebagai proporsi fisik/angga manusia yakni Tri Angga (kepala nilai utama, badan nilai
•
madya dan kaki nilai nista).. Skala dan proporsi ruang dan bangunan tradisional Bali menggunakan sikut dewek dengan modul dasar “r a i” dari penghuni utama (anangga ayah), sehingga skala dan proporsi ruang dan bangunan yang didapat tidak pernah “out of human scale” dan “out of human proportion”serta akan selalu harmonis. Kebutuhan ruang yang lebih luas didapat dengan menggandakan dimensi/modul ruang, bukan memperbesar
•
dimensi ruang dan banguna, misal Sakanem = 2 x Sakepat; Tiangsanga = 4 x Sakapat. Ornamen dan Dekorasi mrupakan penghargaan atas keindahan yang telah diberikan oleh alam dan penciptaNya kepada tanah Bali. Ornamen diciptakan sebagai upaya memperkuat harmonisasi, sedang dekorasi lebih menekankan perubahan suasana yang
•
diinginkan. Struktur dan bahan tradisional Bali bersifat ekologis dan natural, sangat menghormati alam dan lingkungan sebagian besar bahan berasal dari kebun yang dibudi-dayakan dan dapat didaur-ulang. Penggunaan batu Cadas sebenarnya hanya diperuntukan bagi bangunan Puri dan Pura, sedang bagi paumahan hanya menggunakan Citakan atau polpolan.
2. Permasalahan dihadapi Arsitektur Masa Kini Permasalahan yang dihadapi Arsitektur masa kini dengan terdapatnya pedoman Arsitektur Tradisional Bali yang instan dan mudah dipahami. Sesuatu yang instan bisa dibilang nikmat karena tidak perlu bersusah payah untuk mewujudkannya. Nikmatya sesuatu yang instan Para leluhur dan Undhagi Bali jaman dahulu telah berjasa luar biasa untuk membuatkan pedoman berarsitektur yang bernama “Asta-kosala/kosali”, demikian gamblang, sangat fleksibel, supel, sangat mudah diterapkan oleh siapapun, dimanapun berada dan pasti serasi. Betapa nikmatnya masyarakat (baca:Bali) selaku pengguna atas pedoman tersebut, sehingga menjadi terlena dalam nikmat yang instan lupa akan ruang dan waktu telah berubah. Sebagai suatu pedoman baku dalam bidang arsitektur, memang harus pasti wujud/tipologi yang dituju dalam ketentuan dan persyaratan yang juga pasti dan berlaku sesuai kebutuhan masyarakat penggunanya.
Ketiadaan teori, strategi dan metode yang dimiliki arsitktur tradisiona Bali untuk menggelar jelajah pernik dan manik spasial hunian tradisional Bali, ternyata membawa hikmah bahwa teori (De-) Konstruksi dan teori Semiotik (yang keduaduanya dikembangkan dari wacana ilmu pengetahuan sastra pada tahun 1980-an) telah diterapkan di Bali jauh sebelum teori-teori tersebut diwacanakan. Menghadapi permasalahan adanya tuntutan pengembangan konsep dan expresi Arsitektur Tradisional Bali pada Arsitektur Masa Kini; dalam suatu organisasi fungsi yang lebih kompleks, lahan sempit, perubahan tata-nilai tradisional menjadi kemodern-an, maka nilai-nilai/konsepsi dan ekspresi spasial umah ATB dapat di (Re-) Konstruksi (reconstruction) kembali menjadi ‘Rumah Bali Modern yang Indonesiawi’ (R + umah = Rumah Modern Indonesia). Rekonstruksi sebenarnya sudah dilakukan secara terbatas seperti pada spasial tempat suci hunian tipikal Desa Kuno di Bugbug Karangasem Bali. Konsep operasional desa, kala, dan patra, catur dresta (empat jenis cara pandang/pertimbangan) sangat memberikan peluang atau fleksibilitas yang sangat tinggi.
3. Rampatan identifikasinilai-nilai ATB dan AMK Menjelang akhir abad 20 dan menuju abad 21, sebagai era kesejagatan dan informasi telah berpengaruh terhadap berbagai bidang hidup dan penghidupan masyarakat. Kemodernan adalah salah satu ciri yang selalu menuntut perubahan, sedang tradisi sebagai sesuatu yang cenderung melestarikan/ajeg. Kondisi ini telah memunculkan dialektika tata nilai yang
mengkhawatirkan akan terjadinya
degradasi nilai-nilai ATB dan dapat berlanjut menjadi krisis idetitas. •
Menyikapi fenomena tersebut secara rasional adalah melakukan proses reformasi sebagai upaya penyesuaian bentuk ( form ) dan bentukan ( formation ) nilai-nilai
•
tradisional pada nilai-nilai kontemporer/kekinian. Melalui teori Semiotika akan dicoba mengupas dan menggelar karakteristik masing-masing tata nilai ATB dan AMK untuk menemukan nilai-nilai nirupa/tanragawi dan rupa/ragawi dari faktor-faktor dan unsur-unsur utama rancangan. Teori Analogi untuk memilah dan memilih nilai-nilai nirupa dan rupa yang tidak sama, serupa dan lebih yang dimliki masing-masing. Teori Langgam, teori Ornamen dan
Dekorasi untuk menetapkan nilai-nilai yang perlu dilestarikan dan direformasi serta •
menetapkan konsekuensi dan konsistensi bagi ATB dan AMK. Bertitik tolak dari kondisi ini, mengacu ke masa lalu (attita) dan melihat ke masa
•
datang (wartamana), untuk berbuat masa kini (nagata) melakukan reformasi. Re-formasi arsitektur : upaya menyatukan dan menyusun kembali serta mengadakan
ubah-suai/adaptasi
atas
wujud/bentuk
(form)
dan
bentukan
(formation) nilai-nilai nirupa dan rupa dari faktor-faktor dan unsur-unsur utama rancangan arsitektur. 4. Jelajah Objek Studi/Kasus: Penerapan Nilai-nilai dan prinsip-prinsip Arsitektur Tradisional Bali (ATB) dan rasionalisme AMK 4.1 Orientasi Jelajah Nilai-Nilai Faktor Dan Unsur Utama Rancangan A. Nilai-Nilai Tata Ruang Dan Orientasi : B. Nilai-Nilai Tata Bangunan : C. Nilai-Nilai Tata Letak:
Pada ATB
Pada AMK
Nilai-Nilai Faktor Dan Unsur Utama Rancangan Pada Atb Dan Amk a. Nilai-nilai Tata ruang dan Orientasi : - hirarki pencapaian : nista - madya - utama = publik - semi publik private. - pola pempatan agung = pola cross road. b. Nilai-nilai Tata bangunan : - sosok dan/atau bentuk adalah Tri angga : kepala = atap, badan = dinding/ kolom, kaki = batur. - proporsi : antropometri sosok manusia (wirama, wiraga, wirasa) = prinsip-prinsip golden section. - struktur dan bahan : sistem struktur modern dapat mendukung wujud dan bentuk ATB. c. Tata letak/Setting Massa :
- setting atas dasar skala manusia (ATB) x setting atas dasar skala urban (AMK). 4.2 Penerapan Nilai-nilai dan Prinsip-prinsip Arsitektur Tradisional Bali (ATB) Masalah Atb Masa Kini Di Bali Adalah Masalah “Perkawinan/Hybrid” Dengan Amk Identifikasi Masalah : a. ATB, terdiri atas tiga kelompok tipologi : 1. Parhyangan, bangunan/arsitektur tempat suci. 2. Pawongan, bangunan/arsitektur tempat tinggal/perumahan. 3. Palemahan, bangunan/arsitektur fasilitas umum. b. Perubahan & perkembangan sebagian terjadi pada Pawongan c. Perubahan dan perkembangan yang sangat pesat terjadi pada
kelompok Palemahan / Bangunan fasilitas umum: - Acuan/tipologi ATB untuk kelompok ini terbatas. - Pertumbuhan dan perkembangan aktivitas baru/kontemporer. - Fungsinya tidak terkait dengan aktivitas agama dan adat
Fokus Kajian : ATB sangat menyatu dengan agama dan adat-istiadat, sehingga lingkup bahasan difokuskan pada nilai-nilai yang terkait langsung dengan arsitektur yaitu : a. Nilai-nilai nirupa ( paras isi / content / tertib langgam ) selaku faktorfaktor utama rancangan terdiri atas: ide / filosofi yang menurunkan norma, konsep dan rinsip. b. Nilai-nilai rupa ( paras ekspresi / expression / langgam ) selaku unsurunsur utama rancangan terdiri atas : 1. Tata ruang dan Orientasi. 2. Tata letak/Setting Massa 3. Tata bangunan : a) sosok/wujud, b. bentuk, c) skala dan proporsi, d) struktur dan bahan dan d) ornamen dan dekorasi (ragam hias). Teori Semiotika Paras Dua (dyadic) Hjemslev : sebagai METODA s (substance) Content f (form) ARSITEKTUR CULTURAL UNIT POSSIBLE UNITS f (form) Expression s (substance) Teori Analogi; Teori Langgam dan Teori Ornamen dan Dekorasi Nilai-Nilai Arsitektur Tradisional Bali
1. Nilai-nilai substansi konsep (substance of content) tata-ruang pada tingkat gama adalah : Nilai-nilai/kerangka dasar agama Hindu (tattwa, susila/etika dan upacara) dan Tri Hita Karana sebagai unsur bhuana alit dan bhuana agung :
2. Nilai-nilai konsep (form of content) Tata-Ruang pada tingkat gama adalah : nilai hulu - (tengah) - teben baik arah horizontal maupun vertikal yaitu, kesetaraan Tri Loka dan Tri Angga sebagai susunan unsur Angga :
3. Nilai-nilai ekspresi (form of expression) Tata-Ruang pada tingkat lokal/desa pekraman/sima adalah : Tri Loka (tiga zona vertikal); Tri Mandala (tiga zona horizontal); Sanga Mandala (sembilan nilai horizontal) dan Natah sebagai ruang Inti/Pusat/centrality dan Sesa sebagai ruang tepi/marginality. 4. Penyengker, Paduraksa dan Angkul-angkul adalah sebagai penanda Umah, sehingga Bale yang ada dalam penyengker adalah setara bilik/room. Dari ekspresi/tipologi Angkul-angkul, Penyengker dan Paduraksa dapat pula diketahui “status warna” penghuni Jaba/luar ataukah Tri Wangsa, lain kata sebagai penunjuk jati diri penghuni. 5. Bale setara bilik diberi julukan/sebutan bukan karena fungsinya, namun karena letak dan nilai guna. Bila ditelusuri lebih jauh jejak-jejak bale dan disandingkan dengan metode dan strategi rancangan dekonstruksi, maka ada kesamaan prinsip bahwa “umah” berasal dari “rumah” setelah diexplosed kemudian direkomposisi
menjadilah umah. Hal ini sebagai upaya mendekatkan diri terhadap alam selama dua puluh empat jam sehari. 6. Sosok/wujud dan bentuk fisik ruang dan bangunan tradisional muncul dari upaya penyeimbangan yang harmonis antara manusia selaku isi (bhuana alit) dengan ruang dan bangunan selaku wadah (bhuana agung). 7. Skala dan proporsi ruang dan bangunan tradisional Bali menggunakan sikut dewek/antropometri dengan modul dasar “r a i” dari penghuni utama (anangga ayah), sehingga skala dan proporsi ruang dan bangunan yang didapat tidak pernah “out of human scale” dan “out of human proportion”serta akan selalu harmonis. Kebutuhan ruang yang lebih luas didapat dengan menggandakan dimensi/modul ruang, bukan memperbesar dimensi ruang dan banguna, misal Sakanem = 2 x Sakepat; Tiangsanga = 4 x Sakapat. 7. Struktur dan bahan tradisional Bali bersifat ekologis dan natural, sangat menghormati alam dan lingkungan sebagian besar bahan berasal dari kebun yang dibudi-dayakan dan dapat didaur-ulang. 9. Penggunaan bahan organis yang memiliki umur terbatas menuntut penyelesaian kontruksi sistem knock down yang gampang dibongkar-pasang, serta penggunaan sukat sikut dewek penhuni utama (anangga ayah); mengidikasikan bahwa umah tradisional Bali hanya harmonis bila dihuni oleh “hanya satu keluarga yang beragama Hindu” dan tidak sebagai obyek warisan. Setiap keluarga baru (mulai hidup ghrahasta) wajib “Ngarangin” dan membuat bangunan yang sesuai dengan sikut antropometri diri dan kemampuannya. 10. Ornamen dan Dekorasi merupakan penghargaan atas keindahan yang telah diberikan oleh alam dan penciptaNya kepada tanah Bali.
PERKAWINAN KELIRU SALING MERUGIKAN \
KANTOR GIA
GKN
BKKBN
GKN
K.GUBERNUR BALI
PERKAWINAN DOMINASI ATB PADA AMK