19
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan teknologi adalah konsekuensi logis dalam kemajuan peradaban dan indikator utama pada modernitas. Merujuk pada sejarah, perkembangan teknologi mampu menggeser paradigma dan perilaku manusia dalam kehidupan. Saat ini hampir semua bidang kehidupan menjadi sasaran perkembangan teknologi, termasuk bidang komunikasi. Teknologi komunikasi memberikan pengaruh besar dalam kehidupan manusia. Media adalah salah satu bentuk teknologi komunikasi modern yang menghadirkan terobosan penting dalam sejarah komunikasi.
Marshall McLuhan adalah salah satu pemikir terkenal dalam keilmuan komunikasi. McLuhan telah menyumbangkan temuan-temuan pernting mengenai media. Menurut Littlejhon, McLuhan paling terkenal dalam menarik perhatian kita pada pentingnya media. Penelitiannya tentang budaya popular pada tahun 1960-an menarik perhatian karena gagasannya telah membentuk apa yang saat ini disebut sebagai 'teori media' (Littlejhon, 2008 : 410).
Teknologi komunikasi yang menjadi atmosfir positif bagi perkembangan media menghasilkan kemudahan dalam mengakses informasi. Menurut Zamroni, perkembangan teknologi terutama di bidang komunikasi menjadi alternatif baru dalam solusi masalah kehidupan (Zamroni, 2009 : 207). Dengan kata lain teknologi komunikasi sering diidentikkan dengan kemudahan dan kepraktisan bagi masyarakat.
Teknologi komunikasi tidak selamanya berpengaruh positif, terutama media. Apa yang dikonsumsi oleh masyarakat dari media dapat mengubah pola kehidupan masyarakat, dan tidak menutup kemungkinan terjadinya technetronic ethnocide. Sihabudin mengatakan bahwa technetronic ethnocide yang pasti hari ini sedang berlangsung dengan massiv, dapat dilihat sebagai hidup gaya, saya tidak sebut sebagai gaya hidup. Hidup gaya adalah sebuah fenomena yang sudah masuk pada setiap relung kehidupan masyarakat kita, dan hilangnya sebuah kearifan lokal pada masyarakat kita (Sihabudin, 2017 : 1426). Dari kajian Sihabudin tersebut tampak jelas bahwa telah terjadi kondisi technetronic ethnocide pada masyarakat yang menggerus kearifan lokal suatu bangsa. Terjadinya semua itu memiliki relevansi dengan teknologi komunikasi terutama televisi yang telah menjadi 'agen' penting dalam penyebarluasan modernisasi.
Modernisasi yang meluas dan semakin mudah diakses dengan kecanggihan teknologi komunikasi berbentuk media memunculkan dilema tersendiri bagi budaya-budaya lokal suatu bangsa. Salah satu contoh adalah pengaruh media yang terjadi pada suku Dayak di Kalimantan Timur. Dalam studi Inayah (2013 : 85), dikatakan bahwa Suku Dayak umumnya dikenal dengan beberapa identitas cultural diantaranya telinga panjang, rumah panjang (lamin), tato di badan, dan ukiran-ukiran. Seiring dengan arus modernisasi, maka tradisi dan budaya terkadang mulai tersamarkan bahkan terkikis eforia berlabel modern. Hal tersebut juga tengah menimpa masyarakat Dayak, terutama yang telah tinggal diperkotaan. Sebagian besar dari mereka justru telah meninggalkan tradisi tersebut. Mereka meninggalkan beberapa tradisi dan budayanya karena dianggap tidak sesuai lagi dengan zaman.
Studi tersebut secara implisit menunjukkan sulitnya menghindari pengaruh teknologi komunikasi terhadap budaya. Terjadinya pergeseran budaya pada gilirannya dapat mengancam eksistensi identitas suatu bangsa. Ini menunjukkan bahwa perkembangan teknologi komunikasi berupa media tidak selalu berimplikasi positif bagi semua dimensi kehidupan. Minimnya perhatian terhadap persoalan ini perlahan tapi pasti akan membawa pada kepunahan identitas suku Dayak itu sendiri. Realita ini sejatinya menujukkan fenomena technetronic ethnocide atau pembunuhan budaya karena teknologi elektronika sedang terjadi pada suku Dayak di Kalimantan Timur.
Penulis menganggap permasalahan ini penting untuk dikaji lebih lanjut, sehingga penulis tertarik mengangkat permasalahan ini. Dari beberapa identitas kultural suku Dayak yang disebutkan - telinga panjang, rumah panjang (lamin), tato di badan, dan ukiran-ukiran – tulisan ini akan difokuskan pada identitas budaya telinga panjang. Melalui tulisan ini penulis akan berupaya untuk mengkaji solusi, strategi dan filosofi mengatasi technetronic ethnocide budaya telinga panjang pada suku Dayak di Kalimantan Timur.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan dalam bentuk kalimat tanya, yakni : Bagaimana solusi, strategi dan filosofi mengatasi technetronic ethnocide budaya telinga panjang pada suku Dayak di Kalimantan Timur?
Landasan Teori
Kehadiran teknologi tidak dipungkiri memberikan pengaruh sangat besar dalam kehidupan manusia. Sadar atau tidak, manusia menjadi tergantung kepada teknologi. Pengaruh teknologi dalam kehidupan manusia menarik perhatian Marshall McLuhan, khususnya teknologi komunikasi. Menurutnya manusia memiliki hubungan simbolik dengan teknologi dan teknologi pada gilirannya menciptakan kembali siapa diri kita. Teori ini banyak membahas tentang perkembangan teknologi komunikasi khususnya pada dampak sosial yang ditimbulkan oleh teknologi tersebut. McLuhan menyatakan bahwa teknologi memengaruhi kehidupan manusia sehari-hari. Manusia tidak akan bisa hidup tanpa teknologi. Manusia dan teknologi itu sendiri memiliki hubungan yang bersifat simbiosis, artinya teknologi merupakan sesuatu yang diciptakan oleh manusia itu sendiri, dan sebagai akibatnya, teknologi yang telah diciptakan manusia tersebut menciptakan kembali diri manusia yang menggunakan teknologi tersebut. Teknologi sebagai media dinilai mampu memengaruhi persepsi dan pemikiran manusia (McLuhan dalam Batubara, 2014 : 133).
McLuhan banyak mendasarkan pemikirannya dari pada mentornya, seorang ekonom politik berkebangsaan Kanada, Harold Adams Innis. Innis berpendapat bahwa kerajaan-kerajaan besar dalam sejarah (misalnya Roma, Yunani, Mesir) dibangun oleh mereka yang memiliki kendali terhadap katakata yang tertulis. Innis berpendapat bahwa kaum elite Kanada menggunakan beberapa teknologi komunikasi untuk membangun "kerajaan" mereka. Innis menyebut kekuatan membentuk yang dimiliki oleh teknologi terhadap masyarakat sebagai bias komunikasi (bias of communication). Bagi Innis, orang menggunakan media untuk memperoleh kekuasaan politik dan ekonomi, dan karenanya, mengubah susunan sosial dari sebuah masyarakat. Innis mengklaim bahwa media komunikasi memiliki bias yang terdapat di dalam diri mereka untuk mengendalikan aliran ide di dalam sebuah masyarakat (West dan Turner, 2007 : 140).
Dalam teori media, McLuhan mengatakan bahwa Televisi mempengaruhi Anda terlepas dari apa yang Anda tonton. Dunia maya mempengaruhi masyarakat, terlepas dari situs apa yang orang kunjungi. Media pribadi (misalnya iPod) mengubah masyarakat, terlepas dari pilihan lagu yang dibuat oleh penggunanya. Thesis McLuhan adalah bahwa manusia beradaptasi terhadap lingkungan melalui keseimbangan atau rasio pemahaman tertentu, dan media utama dari masa tersebut menghadirkan rasio pemahaman tertentu yang mempengaruhi persepsi. McLuhan memandang setiap media sebagai perpanjangan tangan manusia (McLuhan dalam Littlejohn, 2008 : 410-411).
Dari pemikiran McLuhan yang dijelaskan oleh beberapa ahli yang mengutipnya di atas, dapat dipahami bahwa dari teori media tersebut bisa dikatakan bahwa media bisa memberikan pengaruh besar dalam kehidupan manusia, terutama persepsi. Kendati pada mulanya hanya mempengaruhi perubahan persepsi, namun ini bukanlah perkara sederhana. Perubahan persepsi pada gilirannya akan memunculkan efek domino pada perubahan perilaku. Perubahan perilaku secara simultan dan berkesinambungan akan merubah identitas yang pernah ada sebelumnya. Perlahan namun pasti terjadinya technetronic ethnocide begitu sulit untuk dihindari.
1.4 Metode
Untuk menjawab rumusan masalah dalam tulisan ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Dalam tulisan ini penulis menggunakan dua teknik pengumpulan data. Pertama adalah data primer yang diperoleh melalui in depth interview. Buku catatan dan phone recorder menjadi instrumen penting dalam pengumpulan data yang penulis lakukan melalui teknik interview ini. Teknik pengumpulan data yang kedua adalah studi literatur dan dokumentasi.
Adapun nara sumber yang diinterview adalah sebagai berikut:
KYL, seorang wanita suku Dayak yang berasal dari daerah Long Isun, Kalimantan Timur. KYL dalam strata sosialnya termasuk dalam golongan bangsawan dan bertanggung jawabuntuk mengurusi masalah-masalah ritual. Disampingitu KYL juga tokoh yang selalu diutamakan untuk menemui tamu-tamu yang berasal dari luar suku Dayak. Atau dalam isitilah umum, KYL menepati posisi hubungan masyarakat dalam kepengurusan adat suku Dayak di Long Isun, Kalimantan Barat.
AB, seorang fotografer wanita professional yang sedang berkonsentrasi dalam mengangkat persoalan pada suku-suku pedalaman yang ada di Indonesia yang melakukan riset fenomenologi di tengah masyarakat Dayak. Dalam mengungkap persoalan pada suku Dayak ini, AB merupakan penulis buku yang berjudul: Telinga Panjang Mengungkap yang Tersembunyi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Budaya Telinga Panjang pada Suku Dayak di Kalimantan
2.1.1 Mengenal suku Dayak
Di dalam kawasan Heart of Borneo, sebuah istilah baru untuk daerah yang melintasi batas-batas administrasi tiga negara, Brunei Darussalam, Indonesia dan Malaysia, tinggal berbagai kelompok etnis. Banyak dari mereka yang memiliki masa lalu di dalamnya, pindah dan hidup di sepanjang sisi sungai, hutan dan pegunungan. Mereka telah memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan sesuai tradisi dan kearifan mereka. Mereka percaya bahwa mereka adalah penjaga tanah dan hutan untuk anak-anak dan cucu-cucu mereka. Identitas, seni dan hasil karya, serta penghidupan dan sistem kepercayaan mereka berasal dari alam yang merupakan bagian hidup mereka. Mereka menggunakan seluruh pengetahuan mereka untuk bertani dan mengelola sumber daya alam dengan membuka sepetak lahan, menanam padi, sayuran dan tanaman lain; kemudian kembali bertani di lahan yang sama setelah bertahun-tahun meninggalkan lahan tersebut kosong tidak ditanami (WWF Indonesia : 2012 : 1)
Para peneliti mengindikasikan bahwa manusia telah tinggal di Pulau Borneo sejak periode Paleolitik Tengah berdasarkan temuan arkeologi di Kompleks Gua Niah, Distrik Miri, Sarawak, Malaysia. Masyarakat adat di Heart of Borneo umumnya dikenal sebagai Dayak. Istilah ini awalnya diciptakan oleh orang Eropa yang mengacu pada penduduk Borneo non-Melayu. Masyarakat Dayak terdiri dari lebih 50 kelompok etnis dengan bahasa yang berbeda. Tingginya keragaman budaya dan bahasa dalam banyak hal sejajar dengan tingginya keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisional terkait Heart of Borneo (WWF Indonesia : 2012 : 1).
Dengan demikian suku Dayak adalah bagin dari peradaban yang termasuk tua dalam sejarah karena sudah hidup sejak zaman Paleolitikum. Sebagai bagian dari peradaban, suku Dayak memiliki ciri khas tersendiri yang pada dasarnya adalah identitas yang membedakan mereka dengan masyarakat lainnya. Diantara identitas yang disebutkan, budaya telinga panjang adalah salah satu identitas suku Dayak yang menarik untuk dikaji.
2.1.2 Budaya telinga panjang sebagai identitas khas suku Dayak
Hingga saat ini belum ada satupun yang mengetahui sejak kapan suku Dayak mempunyai kebiasaan bertelinga panjang. Menurut Inaya, mereka mempunyai kebiasaan bertelinga panjang tanpa tahu alasan yang pasti. Karena hal tersebut sudah dilakukan sejak kecil oleh orang tua mereka. Namun, menurut kidung yang beredar telinga panjang itu untuk membedakannya dengan monyet mengingat Suku Dayak hidup di hutan. Selain itu juga untuk menghidari menjadi korban dibunuh oleh warga yang melakukan perburuan. Dalam budaya Dayak model anting sebenarnya juga untuk membedakan status social, karena ada beberapa model anting yang hanya boleh dikenakan oleh bangsawan (Inaya, 2003 : 86).
Upaya mengetahui tatar belakang tentang budaya telinga panjang juga penulis tanyakan kepada KYL (Lawing). Menurut Lawing, mengenai budaya telinga panjang, sudah dilakukan oleh suku Dayak sejak jaman nenek moyangnya jaman dahulu. Lawing berkata: "Kami orang dayak sejak dulu, sejak nenek moyang kami, tidak ada yang tidak punya. Semua telinganya panjang. Dari kita kecil bikin lobang ini…" (Lawing, Interview 26 April 2018). Sebagai bagian dari tokoh adat, Lawing pun tidak mengetahui sejak kapan budaya itu dilangsungkan dan yang diketahuinya telinga panjang adalah budaya turun temurun warisan nenek moyang suku Dayak.
Memelihara telinga panjang tidaklah mudah. Lawing mengatakan bahwa banyak pantangan yang harus dijalani orang tua saat memanjangkan telinga anaknya. Diantaranya adalah mereka tidak boleh memegang puntung api, tidak boleh memegang yang bulat-bulat, dan banyak lagi. Jika pantangan itu dilanggar, maka biasanya di lobang telinga yang dibuat itu akan timbul bulat-bulat seperti daging tumbuh. Inilah mitos yang mereka yakini, namun yang jelas memlihara budaya telinga panjang tidaklah mudah dilakukan.
2.1.3 Filosofi dalam budaya telinga panjang
Tidak mudan untuk menggambarkan filosofi yang terdapat dalam budaya telinga panjang karena pada dasarnya orang-orang Dayak masa kini hanya memahami bahwa identitas telinga panjang adalah budaya turuntemurun warisan nenek moyang mereka. Sehingga agak sulit untuk mengenal pasti folosofi sesungguhnya yang terdapat dalam budaya telinga panjang. Kendati sulit, tulisan ini akan tetap mencoba memberikan pemahaman ringkas terhadap filosofi budaya telinga apanjang pada suku Dayak tersebut.
Pada publikasi penelitian Inaya (2003), pemasangan anting sudah mulai dilakukan ketika masih berumur di bawah lima tahun. Anting biasanya terbuat dari emas atau perak. Anting ditambah setiap tahunnya sehingga lubang daun telinga juga semakin besar dan memanjang. Laki-laki tidak boleh memanjangkan telinga melebihi bahu sedangkan perempuan boleh memanjangkannya hingga sebatas dada. Karena itu, tidak jarang anting perempuan hingga lebih dari dua puluh (20) pasang (Inaya, 2003 : 85).
Ketika masih tinggal di hutan mereka memanjangkan telinga sebagai upaya untuk bisa terlihat cantik. Bisa jadi hal tersebut dilandasi oleh keinginan untuk terlihat lebih berbeda dengan binatang, khhususnya monyet, Seperti pengetahuan yang berkembang di kalangan mereka bahwa telinga panjang tersebut untuk membedakan dengan monyet. Dasar munculnya asumsi itu dari kidung/nyanyian ada. Namun demikian, alasan yang lebih kuat adalah bahwa telinga panjang sebagai penanda bahwa seseorang telah memasuki usia dewasa (Inaya, 2003 : 96).
Filosofi tersebut memang terlihat sederhana. namun boleh jadi memang benar bahwa hal itulah yang mendasari pemikiran suku Dayak untuk memanjangkan telinga. Realitas kehidupan di tengah hutan dan hidup berdampingan bersama binatang-binatang yang ada didalamnya membuat mereka harus berpikir tentang identitas yang bisa mereka ciptakan sehingga dapat menjadi pembeda antara manusia dan binatang yang hidup saling berdampingan dalam hutan tersebut.
2.1.4 Budaya telinga panjang yang berangsur punah
Identitas telinga panjang dan tato yang eksotik sudah mulai hilang. Sudah sangat sedikit masyarakat Dayak yang mempertahankan telinga panjang. Mereka yang masih mempertahankan telinga panjang di Pampang hanya tercatat tiga (3) orang diantaranya Bulelem (60). Selainnya itu, mereka yang sebelumnya bertelinga panjang baik laki-laki maupun perempuan memilih untuk memotongnya. Ada beberapa alasan mengapa mereka memilih untuk memotongnya yaitu malu dijadikan tontotan, tidak kuat menahan beban telinga yang berat, tidak ingin disebut primitif, dan ada juga yang beralasan agar lebih leluasa bergerak (Inaya, 2003 : 85).
Sebagai contoh adalah pada Dyak Kenyah. Dalam kehidupan Dayak Kenyah, manusia bertelinga panjang yang berusia muda sudah tidak dapat ditemukan lagi. Mereka yang bertelinga panjang yang tersisa sudah berumur di atas 60 tahun. Bahkan sebagian antaranya sudah memotongnya dengan menggunakan jasa dokter. Meski sudah jarang ditemukan warga yang mempunyai telinga panjang. Namun mereka tetap menyimpan anting anting dan bisa digunakan sewaktu-waktu. Anting yang sebelumnya dipasang di telinga karena sudah dipotong maka diikat dengan kain yang berwarna coklat muda. Ukurannya disesuaikan dengan panjang telinga sebelum dipotong. Pada acara-acara tertentu, anting-anting tersebut digunakan lagi dengan mengaitkan di kepala seolah-olah telinga panjang (Inaya, 2003 : 85).
Sebagai salah seorang tokoh adat yang hingga kini masih melestarikan telinga panjang, Lawing sangat menyayangkan kondisi saat ini. Lawing berkata: "Kalau dulu, telinga panjang sudah menjadi tradisi, jadi tidak bisa kita melanggar. Tapi kalau sekarang ngak…. ya, ini memang identitas kita, suku Dayak. Apa boleh buat ini anak-anak udah ngak mau kita bujuk…." (Lawing, Interview 26 April 2018). Rasa kesedihan mendalam yang disampaikan oleh Lawing menunjukkan krisis budaya dan krisis identias yang dialami masyarakat Dayak saat ini. Kondisi ini begitu jelas menunjukkan terjadinya technetronic ethnocide yang berlangsung dalam suku adat istiada suku Dayak saat ini.
Saat ini hanya sedikit yang tersisa dari identitas budaya telinga panjang pada suku Dayak di pulau Kalimantan. Dari publikasi Bachtiar (2016 : 18), ditunjukkan data estimasi penyebaran wanita telinga panjang di pulau Kalimantan tahun 2016, sebagai berikut:
Samarinda 1 orang;
Pampang 2 orang;
Sungai Bawang 1 orang;
Datah Bilang Ilir 2 orang;
Miau Baru 3 orang;
Long Tuyo 10 orang;
Long Apari 3 orang;
Datah Dian 1 orang;
Tanjung Selor 1 orang.
Menurut Lawing, diantara sedikit masyarakat yang tersisa dan memegang teguh tradisi tersebut, keberadaan mereka saat ini disegani oleh masyarakat di suku Dayak (Lawing, Interview 26 April 2018).
2.2 Posisi Media dalam Problematika Technetronic Ethnicide pada Budaya Telinga Panjang
2.2.1 Televisi sebagai 'aktor' technetronic ethnicide
Televisi memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap masyarakat suku Dayak. Mulai dari hal-hal yang sederhana, hingga hal-hal yang fundamental dalam kehidupan mereka. Dalam wawancara dengan Bachtiar, dikatakan bahwa media terutama televisi yang mereka tonton mempengaruhi kehidupan suku Dayak saat ini. Contoh sederhana adalah nama. Saat ini sudah banyak masyarakat Dayak yang menyematkan nama-nama artis dalam dan luar negeri kepada anak-anak mereka. Kebanyakan diantara masyarakat suku daya yang sudah tepapar oleh media terutama tontonan televisi cenderung tidak lagi menggunakan nama-nama yang biasa digunakan oleh suku Dayak (Bachtiar, Interview 26 April 2018).
Masalah perubahan nama ini hanyalah sebuah contoh sederhana untuk menjelaskan besarnya pengaruh media dalam terjadinya technetronic ethnocide pada budaya yang terdapat dalam suku Dayak. Setelah melihat tayangan media terutama televisi, mereka menyaksikan tontonan-tontonan tentang hal-hal yang berada di luar lingkungan mereka. Perbedaan yang mereka lihat sangat mempengaruhi pola pikir mereka dan perlahan tapi pasti merubah kehidupan mereka. Perubahan kehidupan dalam masyarakat suku Dayak akibat media televisi yang mereka tonton tidak hanya pada hal-hal sederhana berupa penggunaan nama-nama artis saja. Lebih jauh perubahan sudah memasui ranah budaya yang selama ini telah mengakar dan menjadi resam dama kehidupan masyarakat suku Dayak. Termasuk diantaranya budaya bertelinga panjang.
Suku Dayak tidak hanya satu, karena dalam suku tersebut banyak kelompok sub sukunya. Salah satunya adalah Dayak Kenyah. Perubahan kebudayaan Dayak Kenyah Pampang utamanya identitas kultural terjadi karena adanya kontak dengan budaya lain. Mereka tampaknya membandingkan identitasnya dengan budaya lain. Keinginan untuk meninggalkan budayanya karena melihat budaya lain lebih baik. Dengan bertelinga panjang mereka merasa tidak modern. Namun demikian identitas tersebut sebenarnya tumbuh dan kemudian perlahan mulai menghilang karena adanya sifat adaktif dalam kebudayaan suku Dayak Kenyah (Inaya, 2003 : 96).
Menurut Lawing, tahun 1992, Lawing pernah disuruh oleh mantri kesehatan atau perawat untuk memotong telinganya namun Lawing menolak. Bahkan mantri kesehatan tersebut mempengaruhi Lawing dengan mengatakan bahwa orang tuanya juga sebelumnya memiliki telinga panjang, namun dipotong karena malu. Telinga panjang mereka identiikan dengan orde baru, dan kalau tidak memotong telinga dikatakan ketinggalan jaman. Sebelum dikatakan bahwa telinga panjang itu identik dengan jaman orde baru, masyarakat Dayak masih suka dengan identitas telinga panjang. Bahkan kakak kandung Lawing yang telah memotong telinganya juga mempengaruhi Lawing agar melakukan halyang sama, namun Lawing tidak bersedia. Lawing bertahan karena cintanya pada budayanya dan bertekad akan mempertahankan sampai kapanpun (Lawing, Interview 26 April 2018).
Menurut Bachtiar, ketua adat suku Dayak di Long Isun yang bernama Leu Jeta mengatakan bahwa setelah mengkonsumsi tanyangan media televisi, banyak masyarakat suku Dayak yang mencari dan mendatangi pihak medis. Kedatangan mereka adalah dengan tujuan untuk meminta agar telinga panjang mereka dipotong. Alasan utama mereka adalah karena malu melihat diri mereka ternyata berbeda dengan manusia-manusia di luar sana yang mereka tonton melalui media televisi. Masyarakat yang meminta telinganya untuk dipotong hanya membayar petugas medis dengan beras, ayam, dan lain sebagainya. Bahtiar berkata: "makanya mereka nga mau bertelinga panjang ya karena di tivi mana ada telinga panjang, jadi mereka malu…" (Wawancara dengan Bachtiar, 26 April 2018).
Semakin punahnya telinga adalah akibat pengaruh yang datang dari luar. Pengaruh tayangan televisi memberikan efek yang luar biasa pada perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat Dayak. Televisi mampu membuat suku Dyak menjadi kehilangan rasa cinta pada budaya turun temurun yang sudah diwariskan sejak jaman nenek moyang mereka dahulu. Bahkan mereka menjadi malu dengan identitas telinga panjang yang selama ini mereka pertahankan.
Menurut Lawing, masyarakat di desa Long Isun mengenal televisi sejak tahun 2001. Sekarang ini hampir di setiap rumah sudah memiliki televisi. Ada yang menggunakan televisi berbayar, ada juga yang menggunakan antena parabola. Mereka memperoleh listrik dari mesin genset umum. Satu mesin biasanya dipakai oleh dua RT (Rukun Tetangga). Satu atau dua orang bahkan sudah ada yang menggunakan mesin cuci. Harga listrik disana masih tergolong mahal, karena untuk menghidupkan 1 bola lampu saja, masyarakat harus membayar 75 ribu Rupiah (Lawing, Interview 26 April 2018).
Lawing juga mengatakan bahwa tayangan televisi yang mereka tonton mengakibatkan terjadi banyak perubahan. Secara perilaku kesopanan tidak banyak yang berubah. Akan tetapi perubahan yang paling disarasakan adalah pada cara berpakaian dan munculnya rasa malu masyarakat untuk bertelinga panjang. Bahkan masyarakat suku Dayak sudah banyak yang mewarnai rambut seperti yang mereka lihat pada penampilan artis-artis di televisi (Lawing, Interview 26 April 2018).
2.2.2 Pengaruh media sosial dalam perubahan masyarakat suku Dayak
Pada dasarnya media sosial merupakan perkembangan mutakhir dari teknologi-teknologi perkembangan web baru berbasis internet, yang memudahkan semua orang untuk dapat berkomunikasi, berpartisipasi, saling berbagi dan membentuk sebuah jaringan secara online, sehingga dapat menyebar luaskan konten mereka sendiri yang ada di dunia maya (Asmaya, 2015 : 3).
Definisi situs jejaring sosial menurut Boyd dan Elison (2007) adalah layanan berbasis web yang mengizinkan individu untuk mengkonstruksi profil/semi publik di dalam sistem terikat, menghubungkan sekelompok pengguna yang saling berbagi koneksi dan melintasi koneksi-koneksi dan lainnya dalam sebuah sistem. Jenis dan tata cara koneksi ini mungkin beragam satu sama lainnya. Keunikan jejaring sosial adalah bukan karena semata-mata media ini mampu membuat individu bertemu orang yang tidak dikenal, namun karena media ini dapat dapat membuat para penggunanya terhubung dan memperhatikan jaringan sosial mereka.
Diakui oleh Lawing, bahwa masyarakat yang menggunakan media social seperti Facebook dan Whats App sudah mulai ada di kalangan masyarakat Dayak. Namun penggunanya masih sangat sedikit. Untuk di desa Long Isun hanya anak Lawing yang menggunakan media social tersebut. Itu pun digunakan hanya saat berada di luar dusun mereka, atau saat melakukan perjalanan ke kota (Lawing, Interview 26 April 2018).
Media sosial belum popular dalam sebagian besar masyarakat Dayak karena tingkat aksesibilitas mereka yang masih rendah terhadap internet. Faktor alam dan masih minimnya infrastruktur yang menjunjang penggunaan internet adalah alasan utama masih sangat kecilnya penggunaan media baru dalam masyarakat suku Dayak. Sehingga dari wawancara yang dilakukan, dapat ditegaskan bahwa hingga saat ini media televisi lah yang menyebabkan perubahan kehidupan sosial dan masyarakat suku Dayak. Sedangkan media baru berupa media sosial belum memberikan pengaruh dalam perubahan masyarakat Dayak. Dengan demikian ternyadinya realita semakin punahnya budaya telinga panjang adalah representasi terjadinya tekhnotrenik ethnocide pada budaya telinga panjang suku Dayak.
2.3 Solusi, Strategi dan Filosofi Mengatasi Technetronik Ethnicide Budaya Telinga Panjang
2.3.1 Perhatian Pemerintah dan NGO sebagai solusi
Punahnya budaya dan identiats telinga panjang pada suku Dayak adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri saat ini. Sudah tidak terbilang banyaknya masyarakat yang mendatangi petugas kesehatan untuk memotong telinga mereka. Sementara itu di lain sisi ada pula petugas-peugas kesehatan yang mendorong mereka untuk memotong telinga panjangnya. Kendatipun ada yang tersisa, jumlah mereka sangat sedikit dan sudah berusia tua semuanya. Sehingga apabila nanti mereka telah tiada, maka budaya telinga panjang pun akan sirna.
Mencari solusi yang tepat untuk permsalahan tersebut adalah langkah mendesak yang dibutuhkan saat ini. Solusi ini penting demi menjaga agar budaya yang sudah sangat sedikit tersebut tidak menjadi benar-benar punah sepenuhnya. Alangkah disayangkan jika budaya yang diwariskan turun termurun oleh nenek moyang suku Dayak dan telah menjadi salah satu sejarah yang memperkaya peradaban bangsa Indonesia hilang begitu saja.
Perhatian pemerintah adalah solusi utama yang diperlukan dalam menjaga resam budaya yang dimiliki oleh beragam etnis di Indonesia, khususnya suku Dayak. Dalam tulisan Inayah, juga dikatakan bahwa perhatian pemerintah merupakan solusi penting dalam penjagaan budaya dan kearifan lokal di Indonesia. Sebagai contoh yang diangkat dalam tulisan Inayah adalah dari pihak pemerintah, dalam hal ini Dinas Pariwisata menggagas untuk melestarikan identitas tersebut dengan meminta warga Dayak Kenyah di Pampang untuk memanjangkan telinganya. Seperti dikatakan Muh. Darwin MH, A.Md.Par, dari Dinas Pariwisata Bidang Destinasi bahwa beberapa tahun yang lalu, Dinas Pariwisata Kota Samarinda membuat program untuk mencari anak-anak Dayak Kenyah yang mau memanjangkan telinganya. Dinas Pariwisata berjanji akan memberikan biaya hidup kepada anak tersebut. Dijanjikan pula akan diberikan biaya sekolah hingga perguruan tinggi. Dananya nantinya akan didapatkan dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kota Samarinda (Inaya, 2003 : 95).
Meski ada iming-iming tersebut tapi tak satupun warga yang mau merelakan anaknya dipanjangkan telinganya. Diakui Penjau Unjuk (63), Humas Adat bahwa dia sebenarnya ingin agar ada cucunya yang memanjangkan telinganya dengan pertimbangan menjaga adat dan juga hidupnya terjamin oleh pemerintah. Namun, dia tidak bisa memaksakan kehendaknya itu kepada anaknya agar mau merelakan cucunya untuk dipanjangkan telinganya. Akhirnya, satu-satunya cara agar telinga panjang tetap menjadi identitas dan terpelihara yaitu dengan cara membuat telinga palsu dari kain yang senada dengan warna kulit. Kain yang dibentuk menyerupai cuping telinga panjang dipasangi anting dan dililitkan di kepala hingga terjuntai ke dada. Itupun pemiliknya terbatas pada orang tua yang memang dahulunya bertelinga panjang. Adapun generasi muda tidak berupaya untuk membuatnya (Inaya, 2003 : 95).
Meskipun pemerintah sudah menunjukkan perhatian dengan memberikan rewards kepada masyarakat Dayak yang bersedia untuk memanjangkan telinganya, namun ternyata tidak membuat masyarakat Dayak serta merta mau kembali memanjangkan telinga mereka. Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan. Ini mengarahkan pada situasi bahwa pemerintah daerah maupun pemerintah nasional harus berupaya lebih gigih lagi untuk menjaga dan melestarikan budaya yang hampir punah tersebut dengan menggunakan cara lain.
Jika memberikan biaya hidup bagi yang bersedia memanjangkan telinga tidak membuat masyarakat Dayak bersedia mengikuti anjuran pemerintah dalam melestarikan budaya mereka, berarti harus dilakukan pendekatan lain. Pendekatan lain yang mungkin dilakukan adalah dengan menjadikan masyarakat suku Dayak yang bersedia memanjangkan telinga sebagai duta budaya suku Dayak yang akan mempromosikan keindahan ciri khas suku Dayak di hadapan dunia internasional.
Disamping itu pemerintah juga perlu mengembangkan program-program yang mengedukasi dan menghidupkan kembali nilai-nilai yang sudah tergerus tersebut. Pemerintah harus mampu menciptakan program-program dengan pendekatan yang menyentuh perasaan dan persepsi, dan tidak hanya program-program yang dengan konsekuensi imbalan materi saja. maslaah budaya adalah masalah rasa, sehingga menurut penulis pendekatan rasa lebih bisa mengena di hati masyarakat suku Dayak ketimbang pendekatan yang bersifat material.
Solusi kedua adalah dengan permberdayagunaan NGO/LSM. Dalam wawancara dengan Lawing, dikatakan bahwa saat ini sudah ada beberapa NGO/LSMyang memberikan perhatian kepada masyarakat suku Dayak. Dalam wawancara dengan Lawing, dia berkata: "… kalau sekarang ini udah ada tulang belakang kami, dari luar negeri. Ada juga yang dari Inggris, tiga dari Inggris…"(Wawancara dengan Lawing, 26 April 2018).
Dari wawancara tersebut, dikatakan Lawing bahwa saat ini ada sekitar tiga NGO/LSM di tingkat internasional yang sering mengamati kehidupan suku Dayak. Meskipun tidak mengingat secara pasti nama-nama NGO yang aktif mengamati kehidupan suku Dayak tersebut, namun perhatian NGO internasional terhadap kehidupan suku Dayak sudah mulai terlihat akhir-akhir ini.
Dengan demikian, tulisan ini mempertegas bahwa peran pemerintah dan NGO bisa menjadi solusi utama terkait permasalahan ini. Pemerintah dan NGO harus mampu menciptakan program-program yang menyentuh bagi masyarakat suku Dayak, sehingga mereka bersedia untuk menjaga budaya dan identitas telinga panjang yang membuat mereka tampak indah dan berbeda dari masyarakat lain. Pemerintah dan NGO harus lebih intensif dankreatif lagi dalam upaya menjaga dan melestarikan identitas dan budaya telinga panjang pada suku Dayak tersebut.
2. 3.2 Dikembalikan kepada media itu sendiri : strategi alternatif
Technetronic ethnocide adalah fenomena yang dialami oleh masyarakat Dayak saat ini. Seperti yang sudah dijelaskan, teknologi kumunikasi berupa media televisi menjadi faktor utama dalam mempengaruhi pola pikir dan perilaku mereka. Masyarakat menjadi malu karena merasa dirinya berbeda dengan artis-artis dan dunia luar yang mereka saksikan melalui tayangan televisi. Akibatnya mereka merasa malu dan ingin membuang identitas dan budaya mereka.
Dikarenakan tayangan televisi adalah penyebab utama perubahan pola pikir mereka, maka tayangan televisi pula yang dapat diharapkan untuk membuat persepsi baru dalam pola pikir mereka. Televisi melalui tayangan-tayangannya harus mampu menghadirkan pola pikir baru tanpa harus merubah pola pikir mengenai modernisasi yang telah mereka terima. Media dapat memainkan perannya dalam strategi komunikasi untuk menciptakan pola pikir baru bagi masyarakat Dayak terhadap adat istiadat mereka.
Strategi komunikasi pada hakikatnya adalah panduan dari perencanaan (planning) dan manajemen untuk mencapai suatu tujuan. Hubungan antara budaya dan komunikasi penting dipahami untuk memahami komunikasi antar etnis. Oleh karena melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar berkomunikasi. Dalam setiap budaya terdapat sistim-sistim kepercayaan, nilai-nilai, dan sikap. Nilai-nilai ini umumnya normatif dalam arti bahwa nilai-nilai tersebut menjadi rujukan seorang anggota tentang apa yang baik dan apa yang buruk, yang benar dan yang salah, yang sejati dan palsu, positif dan negative, dan sebagainya. Nilai-nilai budaya juga menegaskan perilaku-perilaku mana yang penting dan perilaku-perilaku mana pula yang harus dihindari. Nilai-nilai ini juga melingkupi bagaimana berkomunikasi (Inaya, 2003 : 93).
Dengan demikian, melalui strategi komunikasi yang efektif dapat dikonstruksi nilai-nilai mengenai atri penting eksistensi dan pelestarian budaya bagi seatu masyarakat. Dengan demikian diharapkan dapat menciptakan perbaikan dalam cara pandang masyarakat terhadap budaya danidentitas mereka. Media, terutama televisi yang dikonsumsi oleh masyarakat Dayak menjadi garda terdepan dalam menyampaikan pesan-pesan tersebut. Oleh karena itu strategi komunikasi yang dilakukan oleh media haruslah yang bertujuan efektif untuk membangun kembali kesadaran masyarakat Dayak akan keunikan yang indah yang mereka miliki.
Dalam perspektif McLuhan, media melingkupi setiap tindakan di dalam masyarakat. media tidak dilihat dalam konsep yang sempit, seperti surat kabar / majalah, radio, televisi, film, atau internet. Dalam konsep yang luas, McLuhan melihat medium sebagai apa saja yang digunakan oleh manusia (McLuhan dalam Batubara, 2014 : 134). Saat ini memang diakui media televisi menjadi aktor utama dibalik perubahan pola pikir masyarakat Dayak terhadap budaya dan identitas mereka. Namun teknologi yang semakin berkembang tidak mustahil membuat mereka juga akan terpapar dan terpengaruh oleh media sosial yang efeknya tentu akan lebih dahsyat lagi terhadap eksistensi budaya yang mereka miliki selama ini.
Terkait dengan hal ini, strategi yang bisa dilakukan media adalah dengan membuat tayangn-tayangan khusus yang bertujuan untuk menyampaikan pesan-pesan tetnang arti penting budaya mereka. Saat ini perkembangan televisi sudah memberikan kesempatan yang luas bagi daerah-daerah di Indonesia untuk membuat stasiun televisi sendiri dan membuat tayangan-tanyangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Stasiun televisi lokal sedapat mungkin membuat program-program yang berisi pesan yang bisa menggugah kesadaran masyarakat Dayak akan keindahan budaya mereka sehingga naluri mereka terpanggil kembali untuk memberikan perhatian pada identitas dan budaya mereka.
Media memperbaiki persepsi kita dan mengorganisasikan pengalaman kita. Media sebagai sesuatu yang langsung mempengaruhi manusia. Cara manusia memberi penilaian, merasa, dan bereaksi cenderung dipengaruhi oleh media. Media memperbaiki persepsi dan mengorganisasi kehidupan kita. Dalam asumsi ini McLuhan menilai media cukup kuat dalam membentuk pandangan kita atas dunia (McLuhan dalam Batubara, 2014 : 134).
Dari penjelasan ini terbuka kesempatan yang luas bagi media lokal yang ada di Kalimantan Timur untuk mengupayakan perorganisasian tayangan-tayangan televisi untuk konsumsi masyarakat Dayak agar penilaian mereka mengalami perubahan. Agar mereka tidak lagi menganggap kebudayaan mereka sebagai sesuatu yang aneh dan tidak modern, melainkan adalah sesuatu yang indah danperlu dijaga kelestariannya.
Memang pemerintah dan media televisi lokal tidak akan dapat memaksa masyarakat Dayak untuk menonton hanya tayangan televisi lokal saja. Namun dengan membuat tayangan televisi lokal yang menggugah kembali rasa cinta mereka terhadap budaya mereka, setidaknya ada perbandingan yang bisa menyeimbangkan tontonan msyarakat. Masyarakat tidak melulu hanya menonton modernitas dari tayangan televisi di luar saja, namun juga mendapat 'asupan' tayangan lokal yang juga dapat memperkuat ikatan perasaan dan kecintaan pada budaya mereka.
Media memperbaiki persepsi dan mengorganisasi kehidupan kita. McLuhan menyatakan bahwa media cukup kuat di dalam pandangan kita mengenai dunia. Coba pikirkan, misalnya, apa yang terjadi ketika kita menonton televisi. Oleh karena itu tulisan ini menganalisis bahwa media adalah bagian penting dari strategi untuk memperbaiki pola pikir masyarakat Dayak terhadap budaya dan identitasnya. Media harus mengekspose dan membuat tayangan-tayangan yang menyadasrkan suku dayak akan pentingnya memelihara nilai-nilai yang mereka miliki.
Beberapa strategi yang bisa dilakukan, antara lain:
Membuat membuat film documenter tentang keindahan dan ketinggian nilau budaya dan identaitas telinga panjang yang dimiliki suku Dayak.
Membuat iklan-iklan yang menyentuh perasaan dan merubah persepsi masyarakat Dayak sehingga mereka kembali mencintai budayanya dan tidak menganggap itu sebagai bentuk ketertinggalan.
Membuat film berdurasi panjang yang memiliki amanat cerita tentang pentingnya menjaga identitas suku mereka.
2.3.3 Filosofi menjaga peradaban
a. Selamatkan yang tersisa menghindari kepunahan seluruhnya
Diantara identitas telinga panjang yang sedang diambang kepunahan, saat ini masyarakat suku Dayak masih memiliki beberapa kekayaan budaya yang masih dapat dijaga kelestariannya. Simbol-simbol identitas lain yang diupayakan pelestariannya adalah seni tari, ukiran dan beberapa kerajinan tangan. Menurut Inaya, seni tari dilestarikan dengan cara diadakan pertunjukan setiap hari minggu di lamin. Para penari juga dibuatkan jadwal latihan secara rutin. Generasi muda tidak malu untuk melestarikan tari-tarian. Terlebih lagi ada unsur ekonomi di dalamnya. Setiap bulan para penari yang jumlahnya sekitar 200 orang mulai dari anak-anak hingga dewasa mendapatkan pembagian keuntungan dari pendapat pertunjukan tersebut. Demikian pula dengan seni ukir. Seni ukir ini tidak hanya ditemukan di kawasan wisata Pampang. Namun bisa ditemukan di wilayah Kalimantan Timur secara keseluruhan. Ukiran ini terpajang atau menghiasi hampir setiap kantor pemerintahan. Jenis ukiran ini juga dijadikan batik khas Dayak. Hal-hal inilah yang secara tidak langsung menjadi upaya pelestarian identias tersebut (Inaya, 2003 : 93).
Dari penjelasan Inaya tersebut tulisan ini juga memandang perlu dilakukan upaya pelestarian budaya-budaya adan identitas suku Dayak yang masih tersisa. Namun demikian upaya untuk kembali melestarikan budaya telinga panjang tetap harus diupayakan. Jika tarian, ukiran dan kerajinan, semua suku juga memilikinya. Namun telinga identitas telinga panjang tidak dimiliki oleh suku-suku lain di Indonesia. Sehingga, meskipun upaya menjaga identitas budaya yang tersisa tetap terus dilakukan, mengembalikan kecintaan masyarakat pada budaya telingapanjang juga perlu untuk diupayakan.
b. Tergerusnya budaya adalah langkah pasti menuju kepunahan peradaban suatu bangsa
Terkikisnya rasa cinta terhadap budaya sendiri adalah kondisi nyata yang menimpa suku Dayak saat ini. Tayangan yang mereka saksikan di media televisi mengajarkan mereka tentang modernitas. Tanpa sadar tayangan tersebut mengajarkan mereka untuk mencari cara mengimitasi hal-hal yang tampak dari apa yang mreka tonton, dan menjadikannya sebagai indicator modernitas. Mereka lantas menanggalkan identitas mereka satu demi satu untuk mendapat pengakuan tentang sebuah modernitas.
Namun tanpa disadari modernitas yang mereka kejar menggerus dan mengikis identitas dan budaya mereka selapis demi selapis. Hingga pada akhirnya tanpa sadar, mereka menjadi asing dalam identitas mreka sendiri. Tidak hanya asing, bahkan ada rasa malu untuk menggunakan identitas yang sejatinya adalah fundamen eksistensi mereka.perlahan namun pasti ternyata tergerusnya budaya yang berlangsung kontinyu mengantarkan mereka pada titik kepunahan identitas mereka. Sulitnya untuk menemukan masyarakat yang bertelinga panjang, enggannya masyarakat untuk bertelinga panjang menjadi prakondisi yang akurat dalam menjuatifikasi arah menuju kepunahan budaya dan identitas mereka. Perlahan namun pasti, tergerusnya budaya adalah langkah pasti menuju kepunahan peradaban.
BAB III
KESIMPULAN
Media telah berkontribusi dalam mengakibatkan technotrenic ethnocide terhadap budaya telinga panjang yang ada dalam kehidupan masyarakat Dayak. Terutama televisi yang menyajikan tayangan-tayangan simbol modernitas telah merubah pola pikir masyarakat suku Dayak. Masyarakat menjadi malu untuk melestarikan identitas budaya bertelinga panjang yang sudah diwariskan sejak Kaman nenek moyang mereka. Secara berjamaah mereka memotong telinga panjang mereka agar bisa menyesuaikan dengan modernitas yang dipertontonkan olehmedia televisi yang merekakonsumsi.
Oleh karena itu sebagai solusi untuk memperbaiki kondisi ini adalah meningkatkan peran pemerintah dan NGO/LSM. Selain itu, media juga seharusnya memikul 'tanggung jawab' untuk mengupayakan langkah-langkah menjaga dan melestarikan budaya telinga panjang yang masih tersisa dalam masyarakat suku Dayak tersebut. media harus mampu memanikan strategi dengan mengkomunikasikan pesan-pesan yang bisa menggugah persepsi mereka bahwa sebenarnya budaya mereka indah meskipun berbeda dari yang kebanyakan. Tayangan media secara tidak sadar telah memunculkan pola pikir bahwa mereka yang bertelinga panjang adalah ketinggalan zaman. Oleh karena itu untuk mengembalikan kepercayaan diri mereka media juga harus ikut ambil bagian dan menyusun strategi baru serta berkontribusi secara optimal untuk menyelamatkan identitas telinga panjang dari kepunahan.
Referensi
Asmaya, Fela, "Pengaruh Penggunaan Media Sosial Facebook Terhadap Perilaku Prososial Remaja Di Kenagarian Koto Bangun", Jom FISIP Volume 2 No. 2 – Oktober 2015.
Bachtiar, Ati, Telinga Panjang Mengungkap yang Tersembunyi, Jakarta: RBS dan APFI, 2016.
Ellison, Boyd, Social Network Sites: Defination, History, and Scholarship, 2007.
Batubara, Abdul, Karim, "Media Ecology Theory" Jurnal Iqra' , Volume 08, No.02, Oktober 2014.
Inayah, Sitti, Syahar "Kesinambungan Indentitas Kultural dalam Menjaga Kerukunan Hidup pada Masyarakat Multietnis (Studi Kasus Masyarakat Adat Dayak Pampang Samarinda)", Jurnal Komunikasi dan Sosial Keagamaan, Vol. XV, No. 1, Juni 2013.
Litlejohn, Stephen, W., dan Foss, Karen, A., Teori Komunikasi, Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2013
Sihabudin, Ahmad, "Technetronic Ethnocide Dan Etika Berekspresi", Rausyan Fikr. Vol. 13 No. 1 Maret 2017.
West, Richard Lynn H. Turner. Introducing Communication Theory Analysis and Application (Boston: Mc Graw Hill, 2007)
WWF Indonesia, Masyarakat di Hearth of Borneo, Jakarta: WWF Indonesia, 2012.
Zamroni, Mohammad, "Perkembangan Teknologi Komunikasi dan Dampaknya terhadap Kehidupan", Jurnal Dakwah, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2009.