MENGAPA ILMU MANAJEMEN PENTING
Penerapan dalam Dunia Pendidikan
Oleh
Fridiyanto
1. a. Contoh Kasus mengapa Ilmu Manajemen Perlu dipelajari
Jika di lihat secara kelembagaan, lembaga pendidikan Islam meliputi
Perguruan Tinggi (UIN, IAIN, STAIN/S), Pendidikan Menengah Atas (MAN/S),
dan Pendidikan Menengah (MTsN/s), Pendidikan Dasar (MIN/s), dan Pendidikan
Anak Usia Dini (RA), juga terdapat pendidikan Islam yang merupakan ciri
khas pendidikan Islam di Indonesia, Pesantren.
Dalam penjelasan berikut, penulis akan mengambil kasus penerapan ilmu
manajemen di Madrasah tsanawiyah swasta. Kelemahan penerapan ilmu manajemen
secara benar, terutama di satuan pendidikan seperti MTs dan Pesantren. Di
Mts swasta biasanya manajemen berpusat pada pemilik yayasan, sedangkan
pesantren manajemennya berpusat pada kyai. Olehkarena itu lah sangat
menarik melihat bagaimana ilmu manajemen diaplikasikan secara baik atau
tidak di lembaga pendidikan Islam seperti MTs dan Pesantren.
Madrasah Tsanawiyah (MTs) adalah salah satu bentuk satuan pendidikan
formal dalam binaan Menteri Agama yang juga menyelenggarakan pendidikan
umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai
lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari
hasil belajar yang diakui sama atau setara SD atau MI. Jika dilihat dari
status, madasarah terdapat dua klasifikasi, yaitu Madrasah Negeri dan
Madrasah Swasta. Status kepemilikan madrasah ini akan mempengaruhi dinamika
kepemimpinan, kekuasaan dan politik yang berlangsung di madrasah.
Berbeda dengan pesantren yang otoritas dan kekuasaan penuh dimiliki
oleh Kyai, maka di Madrasah hal itu tidak terjadi. Di sebuah madrasah yang
bersatus madrasah negeri, pola kekuasaan dan dinamika politik organisasi
masih bersifat normatif dan birokratik. Di madrasah negeri tidak ditemukan
kekuasaan kharismatik ala Kyai di pesantren, karena pemimpin di madrasah
ditentukan oleh pemerintah. Sehingga pola yang berlangsung hanya bersifat
formil, dimana guru dan staf hanya menjalankan perintah dan menjalankan
tugas pokok dan fungsi masing-masing secara rutinitas. Pola kerja dan
target kerja telah memiliki standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Bedasarkan uraian singkat di atas, dapat dilihat secara umum bahwa
lembaga pendidikan Islam terutama Madrasah yang dikelola oleh masyarakat
(swasta) belum menjalankan prinsip-prinsip delegasi tugas yang baik dan
berbagai sub topik yang menjadi kajian ilmu manajemen, misalnya penerapan
penghargaan yang baik bagi anggota organisasi. Pola manajemen madrasah
swasta masih bersifat aksidental dan sentralistik kepada pemilik saja,
sehingga sering mengabaikan partisipasi dari anggota bahkan melibatkan
masyarakat (stakeholder) yang berkepentingan terhadap pendidikan yang
berlangsung di madrasah.
Jika dilihat pola kepemimpinan di lembaga pendidikan Islam seperti
pesantren, hampir keseluruhan pesantren sangat tergantung pada kharisma
kyai. Sehingga pola manajemen yang berlangsung di pesantren menjadi sangat
sentralistis, kyai tidak hanya menjadi pusat kelimuan, terkadang beberapa
pesantren juga menjadikan kyai sebagai pusat keputusan administrasi. Hal
ini membuat kinerja organisasi menjadi sangat lambat dan terkesan
birokratis, semestinya jika diterapkan ilmu manajemen, maka pesantren akan
mampu menjalankan tugas-tugasnya menjadi lebih efektif dan efisien, dengan
adanya delegasi tugas.
Tinjauan Teoritis
Manajemen pendidikan adalah aplikasi prinsip, konsep, dan teori
manajemen dalam aktivitas pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan
secara efektif dan efisien. Untuk menjalankan organisasi pendidikan
diperlukan manajemen pendidikan yang efektif. Sekolah harus dikelola dengan
manajemen efektif yang mengembangkan potensi peserta didik, sehingga
memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang mengakar pada
karakter bangsa. Dengan kata lain, salah satu strategi yang menentukan mutu
pengembangan SDM di sekolah untuk kepentingan bangsa di masa depan adalah
peningkatan kontribusi manajemen pendidikan yang berorientasi mutu (quality
oriented).
Seorang ahli manajemen, Gibson mengemukakan dua alasan penting mengapa
harus belajar manajemen.[1] Pertama, masyarakat kita tergantung pada
spesialisasi berbagai lembaga dan organisasi untuk menyediakan barang-
barang dan jasa-jasa yang kita inginkan. Kedua, individu yang tidak
terlatih sebagai manajer sering menemukan dirinya dalam posisi manajerial.
Gibson mengatakan bahwa keberhasilan Amerika, Kanada, Jepang, Perancis, dan
negara industri lainnya yaitu terletak pada pengelolaan produktivitas,
penguasan terhadap perubahan, dan pengelolaan angkatan kerja. Jika merujuk
kesuksesan negara maju tersebut, maka dapat dipastikan bahwa peran ilmu
manajemen sangat penting dalam kemajuan tersebut.
Peter F Drucker mengatakan bahwa pentingnya mempelajari manajemen agar
oganisasi dapat mencapai tujuannya efektif dan efisien. Efektif maksud
Drucker adalah doing the right things dan efisien adalah doing things
right.[2] Prinsip doing the right things dan doings things right
sebagaimana dikemukakan oleh Bapak Manajemen Peter F Drucker tersebut akan
sangat berarti sebagai filosofi dalam menjalankan pola manajemen yang benar
di lembaga pendidikan Islam, seperti di madrasah ataupun pesantren.
b.Contoh Kasus Ilmu Manajemen Tidak diterapkan di MTs El-Hidayah
Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara
Contoh kasus berikut dapat menjelaskan bagaimana Ilmu Manajemen belum
bekerja dengan baik di lembaga pendidikan Islam seperti di madrasah. Dalam
kasus lapangan yang penulis peroleh berdasarkan observasi dan wawancara ini
dapat dilihat belum adanya pembagian tugas yang baik, manajemen konflik,
serta kompensasi yang sehat, manajemen keuangan yang transparan.
Di MTs El-Hidayah Sunggal Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. MTs
Elhidayah merupakan salah satu MTs tertua yang didirikan oleh seorang ulama
di Kabupaten Deli Serdang. MTs El-Hidayah pernah mengalami kejayaan karena
menjadi pilihan masyarakat untuk mempelajari agama Islam. MTs El-Hidayah
juga memiliki peran sejarah dalam revolusi kemerdekaan dengan pernahnya MTs
ini menjadi markas para pejuang. Bahkan menurut ketua yayasan dan kepala
MTs El-Hidayah pernah dibakar pada peristiwa Revolusi Sosial di Sumatera
Utara. Menurut Kepala MTs El-Hidayah sebenarnya MTs El-Hidayah sudah sangat
sulit untuk dihidupkan kembali, namun tetap diupayakan untuk menghidupkan
kembali mengingat sejarah MTs El-Hidayah, sehingga kepala madrasah merasa
terpanggil dan berkewajiban untuk tetap engupayakan berbagai cara agar MTs
El-Hidayah tetap eksis.
Pola kekuasaan di MTs Elhidayah dimiliki penuh oleh pemilik yayasan.
Kepala madrasah tidak dapat bekerja secara total mengelola madrasah,
dikarenakan kekuasaan dan tugasnya sebagai kepala madrasah sering
diintervensi oleh pihak yayasan, terutama permasalahan keuangan. Di MTs El-
Hidayah Sunggal Deli Serdang kepala madrasah sering merasa ada kecurigaan
yayasan, guru mau pun staf madrasah dalam mengelola keuangan, baik itu yang
bersumber dari madrasah mau pun bantuan dari pihak luar. Sehingga
komunikasi yang berlangsung di madrasah sering berbentuk kecurigaan mulai
dari yayasan, kepala madrasah, guru dan staf. Aktifitas politik warga
madrasah membuat iklim madrasah tidak sehat, yang berdampak pada kerja yang
dijalankan hanya sebagai rutinitas dan kewajiban. Konsekwensinya adalah
madrasah menjadi stagnan, kualitas merosot, jumlah siswa yang mendaftar
berkurang, konflik di madrasah pun semakin meruncing.
Berdasarkan deskripsi singkat di atas, terdapat beberapa faktor mengapa
lembaga pendidikan Islam belum menerapkan ilmu manajemen secara benar,
diantaranya:Sumber daya manusia, Sistem manajerial, Pendidikan dan
Pelatihan yang minim, dan budaya konservatif mempertahankan status quo yang
anti perubahan. Olehkarena itu ilmu manajemen perubahan sangat diperlukan
untuk mendinamisir dan mengakselerasi perubahan manajemen di lembaga
pendidikan Islam. Sehingga Ilmu Manajemen tidak hanya berhenti dalam
tataran teori saja, namun dapat aplikatif.
2. Contoh Hubungan Perencanaan dengan Manajemen Kinerja:
Contoh Kasus Perencanaan Perekrutan Ustadz di Pesantren Al-Kautsar Al-
Akbar Kota Medan Provinsi Sumatera Utara
Perencanaan Perekrutan Tenaga Pengajar dari Pesantren Jawa
Mengingat begitu luasnya kajian perencanaan maka dalam contoh kasus ini
penulis akan fokus menganalisis perencanaan dalam aspek perencanaan sumber
daya manusia yang akan mengambil kasus di Pesantren Al-Kautsar Kota Medan.
Satu catatan penting yang telah direncanakan oleh Buya (panggilan Kyai
di Kota Medan) untuk meningkatkan kualitas, dan kualitas kinerja staf
pengajar di pesantrennya. Berdasarkan wawancara, Buya mengatakan bahwa
setiap Ustadz (pengajar) di pesantrennya direkrut langsung dari pesantren-
pesantren yang ada di Jawa. Sistem perekrutan didasarkan relasi Buya dengan
kiyai-kiyai pesantren yang ada di Jawa. Dikarenakan Buya merupakan ketua
komunikasi pengelola pesantren maka bukan hal sulit untuk memperoleh
pengajar berkualitas yang diinginkannya. Menurut Buya, bahwa jika untuk
tenaga pengajar di pesantren dia masih sangat yakin itu bisa diperoleh dari
hasil didikan di pesantren-pesantren di Pulau Jawa. Perencanaan perekrutan
dan penilaian kinerja pengajar sangat jelas masih dikendalikan oleh Buya.
Setelah beberapa bulan menjalankan masa uji coba di pesantren, maka Buya
akan memberikan evaluasi apakah staf pengajar memiliki kinerja yang baik
atau tidak. Jika tidak maka tidak dilanjutkan, jika memiliki kinerja yang
baik maka akan dilanjutkan, bahkan bisa diberikan posisi ng strategis.
Tabel berikut merupakan Keadaan Guru/ Staf pengajar Yayasan Pesantren
Al-Kautsar Al-Akbar Tahun Pelajaran 2008 – 2009.
Tabel 1
Keadaan Ustadz/ah Madrasah tsanawiyah al-Kautsar al-Akbar
"NO "JENJANG PENDIDIKAN "JUMLAH "JUMLAH "
" " "LK "PR " "
"1. "SMA/MA "3 "1 "4 "
"2. "D-3 "- "- "- "
"3. "S-1 "29 "21 "50 "
"4. "S-2 "3 "2 "5 "
" "JUMLAH "35 "24 "59 "
Dari tabel keadaan ustadz tersebut, dapat dilihat bahwa secara sumber
daya manusia, MTs Al-Akbar sudah memenuhi standar. Dapat dilihat bahwa
terdapat 50 orang guru yang berkualifikasi S1, 5 orang berkualifikasi S2
dan 4 orang berkualifikasi SMA/MA. Untuk guru yang berkualifikasi SMA/MA,
mereka adalah santri/yah yang mengabdi untuk mengajar di pesantren.Untuk
masalah rekrutmen pihak yayasan melakukan perekrutan dengan prosedur
mengajukan surat lamaran namun tetap berdaarkan keputusan Buya. Namun
sistem kekerabatan lebih menjadi hal utama dalam menentukan lulus tidaknya
calon guru. Dalam hal ini pihak Yayasan lebih cendrung merekrut guru-guru
dari Jawa.
Perekrutan ustadz dari Jawa, nantinya diharapkan dapat meningkatkan
kualitas kinerja dan proses pembelajaran di pesantren. Namun dalam
pelaksanaannya, ustadz yang didatangkan dari Jawa kebanyakan tidak bertahan
lama mengajar di pesantren. Ustadz yang dipilih dari Jawa tersebut
kebanyakan pulang ke Jawa kembali dengan berbagai alasan.
Data guru pada Tabel 2 merupakan data secara keseluruhan guru
termasuk di dalamnya guru tidak tetap. Pada Tabel 2 adalah nama-nama guru
tetap non pegawai negeri sipil di MTs al-Kautsar al-Akbar-Medan. Dari Tabel
2, dapat dilihat bahwa masih terdapat enam orang guru yang masih tamatan
MA. Namun selebihnya sudah memenuhi kualifikasi Sarjana. Terdapat 2 orang
guru sudah berkualifkasi Sarjana S2, dan terdapat 16 orang guru yang
berkualifikasi pendidikan S1.
Dilihat dari masa kerja terdapat masa kerja yang sudah 2 tahun (2
orang), 3 tahun (3 orang), 4 tahun (4 orang), 5 tahun (1 orang), 7 tahun (
orang), 8 tahun (1 orang), 9 tahun (2 orang), 10 tahun (2 orang), 11 tahun
(2 orang), 14 tahun (1 orang), 15 tahun (1 orang), 17 tahun (1 orang), 18
tahun (1 orang), dan 20 tahun (1 orang). Masa kerja yang paling baru adalah
2 tahun erdapat sebanyak 2 orang. Sedangkan masa kerja yang paling lama
adalah 20 tahun.
Jenis mata pelajaran yang diampu oleh 23 orang guru tetap yayasan
tersebut adalah: Bahasa Inggris, Bahasa Arab,Bahasa Indonesia, Alqur'an,
Qur'an Hadis, Fiqih, IPS,Matematika, SKI, Nahwu, Shorof, Imla' Akhlak,
Mahfuzot. Menurut kepala sekolah, mata pelajaran yang tidak ada gurunya,
maka akan dipakai tenaga pengajar luar yang memiliki kompetensi di
bidangnya.
Tabel 2
Guru Tetap Non Pegawai Negeri Sipil Di Mts Al-Kautsar Al-Akbar
"No "Nama "Pendidikan "Masa "Mata Pelajaran "
" " "Terakhir "Kerja " "
"1 "Maslathif Dwi "S2 "9 tahun "Bahasa Inggris "
" "Purnomo " " " "
"2 "Abdul Wahab "S1 "4 tahun "Mahfuzot "
" "AS,S.Pd.I " " " "
"3 "Abdul Wahab, "S1 "7 tahun "Fiqih "
" "S.Pd.I " " " "
"4 "Drs. Ade Musthadi "S1 "15 tahun"Qur'an Hadis "
"5 "H.Ali Sati "S1 "18 tahun"Shorof "
" "Nasution, " " " "
" "Lc,S.Pd.I " " " "
"6 "Andri Huda "MAS "3 tahun "Alqur'an "
"7 "Ardiansyah Pratama"MAS "4 tahun "Alqur'an "
"8 "Fazarian "S1 "4 tahun "Bahasa Arab "
" "Pohan,S.Pd.I " " " "
"9 "Helmi Ghofar "MAS "3 tahun "Alqur'an "
"10 "Isa Anshori,S.Pd.I"S1 "10 tahun"Nahwu "
"11 "Latifah Ummi "S1 "10 tahun"Bahasa indonesia "
" "Nadras Nst,SS " " " "
"12 "Mamudin,S.Pd.I "S1 "7 tahun "Imla' "
"13 "Drs. Mas'ud "S1 "11 tahun"Alqur'an "
" "Panjaitan " " " "
"14 "May Sarah Nasution"MAS "5 tahun "Bahasa Inggris "
"15 "Muharri Kasturi "MAS "4 tahun "Alqur'an "
"16 "Dra. Nirmanita "S1 "17 tahun"IPS "
"17 "Rahmad Nasrun, "S1 "11 tahun"SKI "
" "S.Pd.I " " " "
"18 "Dra. Rabi'ah "S1 "20 tahun"Akhlak "
"19 "Sri Maryati, S.Pd "S1 "8 tahun "Matematika "
"20 "Syafrina "S1 "9 tahun "Bahasa inggris "
" "Prihartini, S.Pd " " " "
"21 "Tirodiah Marbun, "S2 "14 tahun"Bahasa Arab "
" "M.Ag " " " "
"22 "Zulham Rafiz Zega "MAS "3 tahun "Alqur'an "
"23 "Muhammad "S1 "2 tahun "Shorof "
" "Yusuf,S.Pd.I " " " "
"24 "Maisaroh, S.Pd "S1 "2 tahun "Matematika "
Perekrutan ustadz dari Jawa, nantinya diharapkan dapat meningkatkan
kualitas dan proses pembelajaran di pesantren. Namun dalam pelaksanaannya,
ustadz yang didatangkan dari Jawa kebanyakan tidak bertahan lama mengajar
di pesantren. Ustadz yang dipilih dari Jawa tersebut kebanyakan pulang ke
Jawa kembali dengan berbagai alasan.
Tinjauan Teoritis
Perencanaan merupakan penyusunan langkah-langkah kegiatan yang akan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Suatu perencanaan
dapat disusun berdasarkan jangka waktu tertentu yaitu jangka panjang,
jangka menengah, dan jangka pendek; menurut luas jangkauannya yaitu
perencanaan makro dan perencanaan mikro; perencanaan menurut wewenang
pembuatnya yaitu sentralisasi dan desentralisasi; dan menurut telaahnya
yaitu perencanaan strategis, perencanaan manajerial dan perencanaan
operasional.
Jusuf Enoch mengatakan perencanaan sebagai suatu proses berlangsung
sepanjang waktu dan berulang kembali membentuk suatu lingkaran (siklus).[3]
Sedangkan Gary mengemukakan:" Educational planning must be partisipatory
planning that provides socially integrated educational experiences" artinya
bahwa perencanaan harus melibatkan banyak orang yang harus menghasilkan
program-program yang berpusat pada murid.[4] Secara lebih luas perencanaan
oleh Majid mendefinisikan sebagai berikut:
a. Perencanaan dalam arti seluas-luasnya tidak lain adalah suatu proses
mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan
untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
b. Perencanaan adalah proses penentuan tujuan, penentuan kegiatan, dan
penentuan aparat pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan.
c. Perencanaan adalah usaha yang diorganisasikan dengan dasar perhitungan
untuk memajukan perkembangan tertentu.[5]
Dalam sebuah organisasi, lingkungan kerja dan budaya yang menyenangkan
mempunyai peran penting dalam meningkatkan kinerja karaywan yang paling
produktif. Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode
tertentu di dalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target
atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah
disepakati bersama.
Apabila dikaitkan dengan performance sebagai kata benda (noun), maka
pengertian performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai
oleh sesorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan
perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan
dengan moral dan etika.
Mutu kerja karyawan secara langsung mempengaruhi kinerja dari sebuah
organisasi atau perusahaan. Ukuran-ukuran dari kinerja karyawan yang
dikemukakan oleh Bernadin & Russell adalah sebagai berikut :
1. Quantity of work : jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode
yang ditentukan
2. Quality of work : kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-
syarat kesesuaian dan kesiapannya
3. Job Knowledge : luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan
keterampilan
4. Creativeness : keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-
tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul
5. Cooperation : kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain atau
sesama anggota organisasi
6. Dependability : kesadaran untuk dapat dipercaya dalam hal kehadiran
dan penyelesaian kerja
7. Initiative : semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam
memperbesar tanggungjawabnya
8. Personal Qualities : menyangkut kepribadian, kepemimpinan,
keramahtamahan, dan integritas pribadi.
Menurut Max Weber kinerja berkaitan dengan birokrasi. Dimana birokrasi
dimaknai sebagai mesin yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang ada di
organisasi baik pemerintah maupun swasta. Banyak penyimpangan kinerja yang
berakibat pada buruknya pelayanan birokrat terhadap masyarakat, Weber
memandang hal ini sebagai hal yang tidak rasional. Weber mengemukakan
konsepnya mengenai tipe ideal bagi sebuah otoritas legal yaitu :
1. Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang
berkesinambungan;
2. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai
dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat
otoritas dan sanksi-sanksi;
3. Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian
hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint)
4. Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara
teknis maupun secara legal dalam kedua kasus tersebut, manusia yang
terlatih menjadi diperlukan;
5. Anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagi
individu pribadi;
6. Pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
7. Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis.
3. Mengapa Evaluasi Perencanaan Penting dan Dampaknya bagi Guru/Karyawan
Pengertian evaluasi yaitu mempertanyakan validalitas aktivitas dari
rencana sesudah dilaksanakan secara teknis, hal-hal yang bersifat
administatif adalah berguna bagi pertimbangan , tetapi tidak merupakan
obyek selidiki dari evaluasi. Evaluasi lebih bersifat teknis dan
berorientasi terhadap pencapaian tujuan pada semua tingkatan dan pemecahan
masalah. Kata monitoring berasal dari bahasa Inggris "to monitor" dalam
siklus manajemen proyek monitor adalah fungsi. Fungsi ini dilakukan oleh
satu atau lebih unit organisasi untuk mencatat/mengetahui apa yang terjadi
dalam suatu proyek, yang memonitor hanyalah mencatat apa yang terjadi tanpa
mempertanyakan mengapa suatu itu terjadi, artinya tidak melihat hubungan
sebab akibat, sedangkan evaluasi berkepentingan untuk meneliti pencapaian
hasil akhir, tujuan fungsional, tujuan program, dan perubahan yang tidak
direncanakan secara hipotesis.[6]
Kegiatan evaluasi
Setelah hal-hal seperti disebutkan di atas dilakukan, disamping hal-
hal yang bersifat administratif dalam rangka evaluasi maka yang utama
adalah mengukur kemajuan pada semua tingkatan yaitu Pertama apakah hasil
akhir proyek telah tercapai sesuai dengan rencana, Kedua apakah tujuan
fungsional telah tercapai, Ketiga apakah proyek akan memberi kontribusi
terhadap pencapaian program? Untuk pertanyaan tersebut perlu dicarikan data
dilapangan sesuai dengan hakekat daripada proyek, data tersebut dicocokan
dengan indikator yang telah diperbuat oleh perencana. Bila memang tercapai
dan penyebabnya tidak tercapai. Selidiki juga faktor-faktor interen dan
eksteren yang erat hubunganya dengan pencapaian tujuan tersebut, baik itu
berupa asumsi-asumsi lain yang tidak terdeteksi dari perencana.
Dalam melakukan proses evaluasi perencanaan ada beberapa etika
birokrasi yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang erat hubungannya
dengan tugas evaluasi, sebagai berikut:
1. Semua fungsi / tanggungjawab pemberi tugas / yang menerima tugas harus
jelas.
2. Pengertian evaluasi yaitu mencari kesalahan harus dihindari.
3. Pengertian evaluasi adalah untuk membandingkan rencana dengan
pelaksanaan dengan melakukan pengukuran kuantitatif dan kualitatif
totalitas proyek secara tekni.
4. Tim yang melakukan evaluasi adalah pemberi saran kepada manajemen.
5. Dalam proses pengambilan keputusan yang didasarkan data penemuan teknis
perlu dikonsultasikan secermat mungkin karena menyangkut banyak hal
tentang masa depan proyek dalam kaitannya juga dengan program.
6. Hendaknya hubungan dan proses didasari oleh suasana konstruktif dan
objektif serta menghindari analisa-analisa subjektif.
Dalam konteks perencanaan dan evaluasi di sekolah saat ini sekolah
memiliki kewenangan merencanakan apa yang dibutuhkannya (school based
plan).[7] Karena telah adanya kewenangan sekolah merencanakan kebutuhannya
sendiri tersebut akan membuat sekolah harus melakukan analisis kebutuhan.
Sekolah harus benar-benar mengevaluasi dari kebutuhan yang ingin
diwujudkan. Sehingga harus benar-benar bisa diklasifikasi mana kebutuhan
dan mana keinginan. setelah dilakukan beberapa tahap evaluasi perencanaan
maka akan diperoleh rencana yang benar-benar muncul dari apa yang
dibutuhkan sekolah dalam meningkatkan kinerja dan mutu sekolah.
Dampak evaluasi perencanaan bagi para guru dan karyawan (staf
administrasi) adalah adanya kesatuan sistematis dari apa yang direncanakan
di top level management sehingga dapat disosialisasikan apa yang menjadi
rencana. Diharapkan dengan adanya evaluasi perencanaan ini akan memunculkan
partisipasi dan kolaborasi dari guru dan staf.
4. Pengaruh Lingkungan Global terhadap Lembaga Pendidikan Islam: Contoh
Kasus Perubahan IAIN/STAIN menjadi Universitas Islam Negeri.
Herman E. Daly mendefinisikan globalisasi "Globalisation refers to
global economic integration of many formerly national economies into one
global economy, mainly by free trade and free capital mobility, but also by
easy or uncontrolled migration. It is the effective earsure of national
boundaries for economic purposes." Globalisasi mengacu pada integrasi
ekonomi nasional menjadi dalam satu kerangka ekonomi global, dimana terjadi
pasar bebas dan mobilitas modal. Menurut Dali tidak hanya permasalahan
ekonomi, globalisasi juga meliputi permasalahan imigrasi yang tidak
terkendali dan adanya pengaburan ikatan kebangsaan untuk tujuan ekonomi.
Globalisasi juga berdampak pada perguruan tinggi sehingga menciptakan
tantangan dan peluang baru diantaranya: tantangan pengelolaan, tantangan
pada proses belajar mengajar, tantangan pada pendidikan nilai, dan
tantangan peningkatan teknologi.[8] Apa yang dikemukakan oleh Indrajit
tersebut sebenarnya lebih kompleks lagi dan pasti akan dihadapi lembaga
pendidikan Islam, khususnya perguruan tinggi keagamaan Islam.
Lembaga pendidikan Islam tidak bisa menghindari dampak globalisasi.
Jika diperkecil lagi yang dimaksud lembaga pendidikan Islam adalah
perguruan tinggi Islam (PTAIN), maka dapat dilihat bagaimana IAIN/STAIN
yang telah melakukan transformasi menjadi UIN salah satu faktornya adalah
tuntutan dunia global yang membuat perguruan tinggi Islam seperti IAIN
tidak lagi hanya bisa menjadi penonton terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan paradigma keilmuan Islam yang lama yang
hanya memandang bahwa perguruan tinggi Islam hanya mengkaji agama an sich.
Perubahan IAIN/STAIN menjadi UIN merupakan salah satu sikap dan
perbuatan para pemikir dan praktisi pendidikan tinggi Islam yang menyikapi
perubahan lingkungan global yang mempersiapkan generasi muda Islam tidak
hanya menjadi ulama, tetapi juga ulama yang ilmuwan.
Pendidikan Islam tidak sepenuhnya bisa menghindar dari perubahan. Dalam
bahasa pesantren perubahan berkelanjutan "al-muhafadhah alal qadim ash-
shalih wal alhdzu bil jadid al-ashlah." Institusi pendidikan Islam akan
terus melakukan perubahan dan adopsi inovasi tetapi tetap mempertahankan
tradisi yang baik dan bermanfaat.[9] Gagasan transformasi IAIN menjadi UIN
dilatarbelakangi ketidakpuasan terhadap perguruan tinggi Islam umumnya dan
IAIN khususnya.[10] Abuddin Natta mengemukakan lima faktor mengapa IAIN
menjadi UIN, sebagai berikut: Pertama, adanya perubahan jenis pendidikan
pada Madrasah Aliyah yang telah menjadi sekolah umum; Kedua, adanya
dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum; Ketiga, perubahan menjadi UIN
akan membuka peluang bagi alumni di lapangan kerja yang lebih luas;
Keempat, perubahan menjadi UIN memberi ruang bagi alumni IAIN melakukan
mobilitas vertikal, bervariasi dan bergengsi; Kelima, ummat Islam
menghendaki adanya pelayanan penyelenggaraan pendidikan yang profesional
berkualitas tinggi dan menawarkan banyak pilihan.
Dengan perubahan menjadi UIN harapan publik akan pendidikan tinggi Islam
yang menjadi pusat dakwah sekaligus lembaga akademi bisa diwujudkan. Selain
itu transformasi menjadi UIN akan membuka peluang kerja lebih luas di
berbagai depertemen.[11]
Perempatan pertama tahun 1998, gagasan mentransformasi IAIN menjadi UIN
telah disampaikan pada masa Dr. Tarmizi Taher menjadi Mentri Agama RI pada
tahun 1993. Tiga IAIN: Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung mengajukan proposal
ke Departemen Agama RI.[12] Dalam catatan Ahmad Harris[13] menyikapi
keinginan IAIN menjadi universitas, Departemen Agama memberikan tiga opsi
berikut: 1) ingin tetap dalam bentuknya yang sekarang (apa adanya); 2)
melakukan perubahan dalam konteks Wider Mandate[14]; 3) melakukan perubahan
langsung menjadi UIN. Ahmad Harris menyayangkan ketiga opsi tersebut tidak
menjadi kebijakan resmi tertulis Departemen Agama sehingga tidak tertuang
dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
Menurut Atho Mudzhar[15] pada rencana perubahan IAIN menjadi UIN terdapat
dua pandangan, Pertama, kelompok pendapat yang menginginkan adanya
perubahan revolusioner yang kemudian disusul dengan program studi baru.
Kedua, pendapat konservatif yang menginginkan perubahan dilakukan
belakangan, yang terpenting adalah mempersiapkan perubahan tersebut,
diantaranya mempersiapkan tenaga pengajar untuk program studi baru yang
merupakan embrio, untuk selanjutnya barulah IAIN dirubah menjadi
universitas.
Setelah dipelopori oleh IAIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta yang telah
sukses mentransformasi diri menjadi Universitas Islam Negeri.[16]
Selanjutnya menyusul diantaranya: UIN Maliki Malang, UIN Syarief Kasim
Pekanbaru, UIN Alauddin Makassar. Baru-baru ini Presiden Republik
Indonesia, Joko Widodo meresmikan empat IAIN menjadi UIN, diantaranya: UIN
Sumatera Utara, UIN Palembang, UIN Semarang. Sebelumnya telah lebih dahulu
IAIN Ar-Raniry Banda Aceh menjadi UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Perubahan IAIN menjadi UIN memiliki catatan penting yang termaktub dalam
surat Mendiknas yang ditujukan kepada Mentri Agama tanggal 23 Januari
2004, sebagian kutipannya sebagai berikut: "Meskipun IAIN Sunan Kalijaga
dan STAIN Malang berubah menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN
Malang, tugas pokoknya tetap sebagai institusi pendidikan tinggi bidang
Agama Islam, sedangkan penyelenggaraan program non-agama Islam (umum)
merupakan tugas tambahan."[17] Kutipan surat Mendiknas ini merupakan
penegasan, bahwa IAIN yang telah berubah menjadi UIN tidak boleh
meninggalkan mandat utamanya dalam bidang agama Islam.
IAIN yang memiliki konsep "al-Jami'ah" yang maksudnya adalah di dalamnya
terintegrasi antara kampus dan mesjid, dar al'-ulum dan dar al-hikmah.
Dimana konsekwensinya atas visi tersebut adalah memperluas IAIN tidak hanya
sebagai "institut" dalam arti sempit, tetapi berwawasan "universitas."[18]
Selanjutnya Nur Ahmad Fadhil Lubis mengatakan dalam perubahan IAIN bukan
sekedar pertukaran nama dan adanya bangunan fisik, tetapi memperluas visi
dan menghidupkan kembali jiwa serta fungsi lembaga-lembaga pendidikan
tinggi Islam yang dulunya telah mengantar zaman keemasan Islam.
Hingga saat ini sebagai sikap terhadap lingkungan global, di lingkup
perguruan tinggi Islam telah terdapat beberapa Universitas Islam Negeri
yang berubah dari IAIN/STAIN, diantaranya: UIN Syahid Jakarta, UIN SUKA
Yogyakarta, UIN Maliki Malang, UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Semarang, UIN
Alauddin Makassar, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, UIN SUMUT, UIN Syarif Kasim
Pekanbaru, UIN Raden Fatah Palembang.
Dapat dilihat dampak lingkungan global terhadap lembaga pendidikan Islam
tidak hanya parsial, tetapi bisa berdampak secara revolusioner. Hal ini
bisa dilihat dari kasus perubahan IAIN menjadi UIN yang berubah mulai dari
paradigma kelimuan lama menjadi paradigma kelimuan baru, dan setiap UIN
memiliki kekhasan paradigma masing-masing. Dari paradigma kelimuan inilah
kemudian berdampak secara manajemen dan kelembagaan perguruan tinggi Islam,
misalnya dengan bertambahnya Fakultas, bertambahnya keragaman kelimuan, dan
semakin gencarnya persainagan riset untuk menjawab permasalahan manusia
secara global, dan Indonesia khususnya.
5. a. Masalah jika Top Level Manajemen Melakukan Perubahan dari Sistem
tertutup ke Sistem Terbuka:
Contoh Kasus Sistem Tertutup di Pesantren Al-Kautsar al-Akbar Kota
Medan Sumatera Utara menjadi Sistem Terbuka
Dalam contoh kasus Top Level Management yang melakukan manajemen sistem
tertutup ini diambil dari kasus di pesantren. diharapkan dari deskripsi
uraian kasus di pesantren ini akan bermanfaat bagi pembenahan sistem di
pesantren yang cendrung tertutup.
Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar Medan didirikan pada tanggal 1 Februari
1985, terletak di Kota Medan, berlokasi di Jalan Pelajar Timur No. 264 Desa
Binjai Kecamatan Medan Denai Kotamadya Medan – Sumatera Utara. Pesantren Al-
Kautsar Al-Akbar adalah pesantren tertua di Kota Medan dan diikuti
Pesantren lain seperti: Pesantren Arraudhatul Hasanah, Pesantren Nurul
Hakim, dan Pesantren Darul Hikmah TPI.
Sejak berdiri, Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar mengalami dinamika yang
cukup bagus, dengan hanya berbekal 16 santri diawal berdirinya. Pesantren
Al-Kautsar Al-Akbar mampu eksis dengan mengintegrasikan pembelajaran Ilmu
Agama dan Ilmu Umum. Sehingga pada tahun 1995 Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar
mencapai kejayaannya dengan jumlah santri sebanyak 1100 santriwan/ wati
yang berasal dari berbagai daerah diseluruh wilayah Sumatera Aceh, dan
provinsi lain di Sumatera. Akan tetapi karena banyak faktor yang
mempengaruhi, sejak tahun 2000 Pesantren Al-Kautsar mengalami penurunan
dari beberapa aspek.
Di Pesantren Al-Kautsar Al- Akbar santri mempelajari kitab-kitab kuning
seperti Fiqih, Akhlak, Tarikh, Nahwu, Sharaf, Mantiq, Balaghah, Tafsir
serta Al-Qur'an sebagai the basic of self cognitivism bagi santri.
Diharapkan Out put yang dihasilkan adalah santri yang memiliki kedalaman
ilmu, keluhuran akhlak, keluasan pengetahuan serta kematangan professional,
dengan demikian lulusan pesantren Al-Kautsar Al-Akbar akan mampu berperan
dimasyarakat, bangsa dan negara.
Pesantren Al-Kautsar juga berdampingan dengan sekolah-sekolah umum mau
pun sekolah-sekolah Islam non pesantren. Sehingga persaingan dalam meraih
peserta didik cukup kompetitif. Jika dilihat dari namanya, Pesantren Al-
Kautsar Al-Akbar identik dengan nama Buya yang mendirikan pesantren
tersebut, yaitu Syekh Ali Akbar Marbun. Berbeda dengan pesantren kebanyakan
(khususnya Jawa) yang memanggil pemimpin pesantren dengan sebutan kyai.
Di pesantren Al-Kautsar warga pesantren, masyarakat, dan para pejabat di
Sumatera Utara memanggil pemimpin Pesantren Al-Kautsar dengan sebutan
"Buya." Hal ini cukup unik, karena biasanya panggilan "Buya" lazim
dilekatkan kepada tokoh Muhammadiyah. Namun pada kenyataannya Buya Ali
Akbar, pemimpin Pesantren Al-Kautsar merupakan tokoh Nahdhatul Ulama dan
merupakan bagian pengurus Nahdhatul Ulama Sumatera Utara.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang penulis lakukan di Pesantren Al-
Kautsar Al-Akbar. Sebagaimana hasil penelitian terdahulu mengenai
dominannya kekuasaan kyai. Posisi Buya di Pesantren Al-Kautsar al-Akbar
masih sangat besar. Bahkan bisa dikatakan setiap hal kecil yang terjadi di
Pesantren al-Kautsar harus diketahui oleh Buya. Prinsip atau pun fungsi
manajemen bisa dikatakan tidak berjalan dengan baik, karena kuatnya
otoritas Buya.
Buya di Pesantren al-Kautsar sangat mengandalkan kepemimpinan
kharismatiknya. Buya tidak hanya dihormati dikalangan pesantren dan
masyarakat sekitar pesantren. Bahkan para politisi di Provinsi Sumatera
Utara seperti memiliki kewajiban untuk mengunjungi Pesantren Al-Kautsar
untuk meraih simpati kalangan santri di Sumatera Utara, misalnya ketika
terdapat momen politik nasional atau pun lokal. Tidak jarang tokoh nasional
juga menghampiri Pesantren Al-Kautsar tidak hanya sebagai penghormatan
terhadap Buya sebagai tokoh masyarakat Sumatera Utara,tetapi tentunya juga
memiliki kepentingan-kepentingan politis.
Kepemimpinan kharismatik dan otoritas penuh yang dikendalikan Buya di
Pesantren Al-Kautsar sangat mempengaruhi kinerja manajemen dan
administratif. Karena setiap apa pun persoalan mulai dari hal kecil sampai
permasalahan besar harus diketahui oleh Buya. Sehingga hal apa saja harus
menunggu keputusan yang diambil oleh Buya. Tidak jarang kepemimpinan
kharismatik dan sentralistis ini "menghambat" kerja-kerja administratif dan
memperlambat proses kerja yang seharusnya secara administratif bisa ada
delegasi tugas. Atau pembagian tugas-tugas yang bisa dikerjakan oleh kepala
madrasah dan stafnya. Sehingga tidak perlu semua hal harus diketahui oleh
Buya. Hal ini dilakukan karena Buya sebagai pendiri dan pemilik pesantren
dengan segala upayanya berusaha menjaga eksistensi pesantren, sehingga
merasa tidak bisa secara penuh mendelegasikan tugas-tugas administratif mau
pun hal yang bersifat strategis.
Otoritas Buya yang begitu powerfull membuat setiap elemen yang ada di
pesantren tidak berani melakukan sesuatu atau berkreasi di pesantren,
walau itu baik sekali pun. Karena jika ada hal yang diluar kehendak Buya
maka mereka yang melakukan tindakan itu akan mendapat teguran. Misalnya
dalam melakukan kegiatan workshop mengajar untuk ustad dan ustadzah, hal
baik seperti itu harus diketahui oleh Buya.
Pesantren Al-Kautsar hanya dikelola dari dana pribadi Pimpinan Pesantren
Syeh Ali Akbar Marbun, sehingga wajar jika Pesantren Al-Kautsar hanya
memiliki manajemen tunggal (apa yang dikehendaki Buya). Hal ini menjadi
kelemahan yang cukup signifikan jika dilihat dalam perspektif mengelola
lembaga pendidikan dengan pendekatan manajemen modern. Hal ini
mengakibatkan tidak adanya distribusi kerja yang pasti dan terarah
Bagi seluruh warga pesantren harus mendengar dan melaksanakan apa yang
dikehendaki oleh Buya. Kekuasaan Buya yang super power membuat peran kepala
madrasah tsanawiyah dan kepala madrasah aliyah yang ada di Pesantren Al-
Kautsar berjalan tidak dinamis atau sangat birokratis.
Berdasarkan deskripsi singkat mengenai sistem tertutup yang
berlangsung di Pesantren Al-Kautsar Kota Medan tersebut dapat dilihat
sangat sulit terjadinya transformasi ke sistem terbuka. Seluruh kendali
manajemen pesantren berada di bawah Buya yang sangat kharismatik. Sehingg
hal-hal yang masuk dari luar selalu harus diketahui oleh Buya. Masalah akan
terjadi jika pengelola pesantren melakukan aktivitas di luar sepengetahuan
Buya.
Cara penyelesaian kasus sistem tertutup tersebut menjadi terbuka,
haru dimulai dari kesadaran Buya sebagai Top Level Manajemen, Pemilik, dan
Sumber Ilmu yang ada di pesantren. tanpa adanya perubahan paradigma
pentingnya mengadopsi sistem terbuka, maka pesantren yang besar tersebut
akan mengalami kemunduran kelak, ketika tidak ada Buya lagi. Buya harus
membuka diri terhadap perubahan yang telah terjadi dalam pengelolaan
lembaga pendidikan Islam, pesantren khususnya. Banyak pesantren modern yang
tidak hilang tradisi keilmuannya dengan menerapkan sistem terbuka.
Tahap selanjutnya setelah adanya keterbukaan dari Buya sebagai Top
Level Manajemen di Pesantren, maka seluruh warga pesantren, yang dimulai
dari pimpinan, ustadz, dan staf administrasi harus mengikuti program
intensif tentang pentingnya penggunaan manajemen modern yang menerapkan
sistem terbuka. Bekal dari pengetahuan dan kecakapan teknis tersebut akan
secara perlahan mengubah kultur pesantren yang menggunakan sistem tertutup
akan menjadi lebih terbuka dalam permasalahan pengelolaan.
6. Analisis Prosedur Perencanaan Strategi Mutu Pendidikan Islam
Dalam contoh analisis perencanaan strategi mutu berikut penulis
mengambil kasus rencana mutu akademik di UIN Sumatera Utara. Mengingat
begitu detail dan panjangnya uraian rencana strategi mutu di UIN Sumatera
Utara, maka dalam analsis ini penulis hanya mengambil kasus peningkatan
mutu akademik saja.
ANALISIS PROSEDUR PERENCANAAN STRATEGI MUTU AKADEMIK DI UIN SUMATERA UTARA
A. Peningkatan Kualitas Pendidikan
Dalam melahirkan keluaran yang berkualitas, maka tidak ada pilihan
lain bagi UIN Sumatera Utara (UIN SU), kecuali menjadikan core business nya
berkualitas. Sebagaimana yang telah diketahui bersama, universitas bukanlah
entitas yang mati dan beku. Universitas adalah wahana bagi masyarakat
ilmiah yang memilihnya sebagai tempat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
bagi kemaslahatan manusia. Dengan kata lain, bidang akademik sesungguhnya
merupakan ruh bagi sebuah universitas. Tegasnya, hidup dan matinya sebuah
universitas akan sangat tergantung pada bidang akademik itu sendiri. Oleh
sebab itu, setiap sivitas akademi sebuah universitas harus terus menerus
memperhatikan, mencermati dan juga mengembangkan persoalan akademik.
1. Pengembangan Kurikulum Integratif
"Lima Prinsip Keseimbangan" dalam penyusunan kurikulum, yaitu:
1. Keseimbangan antara iman, etika, dan logika;
2. Keseimbangan Identitas Islam dan Nasional;
3. Keseimbangan antara Turats Islam dengan Sains;
4. Keseimbangan antara kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi;
5. Kesimbangan pusat belajar antara dosen dan mahasiswa;
Langkah-langkah penyusunan kurikulum adalah sebagai berikut:
a. Langkah 1: Identifikasi misi dan kebutuhan stakeholders;
b. Langkah 2: Need assessment mahasiswa;
c. Langkah 3: Penetapan goals dan objectives kurikulum;
d. Langkah 4: Pemilihan strategi instruksional;
e. Langkah 5: Penilaian terhadap mahasiswa;
f. Langkah 6: Monitoring dan evaluasi kurikulum;
g. Langkah 7: Strategi implementasi kurikulum;
Dasar pertimbangan peninjauan dan penyempurnaan kurikulum UIN SU akan
mengacu pada empat faktor, yaitu perubahan pandangan filosofis. Perubahan
sosial-budaya, perkembangan ilmu pengetahuan, dan perubahan kebijakan dalam
bidang pendidikan. Keempat faktor dimaksud dapat dielaborasi sebagai
berikut;
1. Perubahan Pandangan Filosofis; Faktor ini berkaitan dengan pergeseran
pandangan hidup masyarakat yang fenomenal tentang nilai-nilai
kehidudpan.
2. Perubahan Kemasyarakatan; Maksud perubahan kemasyakatan di sini
berkaitan erat dengan pergeseran struktur sosial, pola hidup, pekerjaan,
tata perilaku, norma, tata pergaulan dan keyakinan.
3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Kemajuan penting dalam abad
ini yang patut dicermati adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang berjalan cepat di bidang ekonomi, sosial-budaya, manajemen,
komunikasi, transportasi, dan sebagainya.
4. Perubahan Kebijakan dalam Bidang Pendidikan; Seperti diketahui di dunia
ini telah banyak teori pendidikan yang ditawarkan; ada teori klasik, ada
teori modern, dan ada teori kontemporer.
Dalam rangka pengembangan kurikulum Integratif ini maka ada beberapa
langkah yang dapat dilakukan:
1. Melaksanakan Seminar dan Jajak Pemikiran tentang Integrasi Keilmuan
Islam atau ISlamisasi Ilmu Pengetahuan.
2. Mengukuhkan rumusan Integrasi Keilmuan UIN.
Impelementasi langkah yang pertama ini adalah:
a. Seminar dan Loka Karya Integrasi Epistemologi Pengembangan Keilmuan
UIN.
b. Diskusi Tim Perumus yang berlangsung secara simultan dan
berkesinambungan.
c. Melaksanakan roundtable, diskusi dengan Ahli dalam rangka uji dan
pengukuhan rumusan tersebut.
3. Perumusan Prinsif-prinsif Pengembangan kurikulum integratif.
a. Diskusi ahli tentang prinsip-prinsip pengembangan kurikulum
integratif.
b. Perumusan prinsip dan panduan dalam pengembangan kurikulum .
c. Penulisan dan penerbitan buku panduan, antara lain:
1) Pedoman pendekatan integratif dan implementasinya dalam
perkuliahan.
2) Pedoman praksis penyusunan kurikulum dan silabi.
3) Pedoman praktis perkuliahan.
4) Pedoman praktis penilaian.
5) Pedoman administrasi akademik.
4. Workshop tentang Kurikulm Integratif.
Implementasinya dapat dilakukan dalam bentuk:
a. Penyusunan Kompetensi Program Studi.
b. Penataan mata kuliah dasar, utama, pendukung dan lainnya. Tegasnya
mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK), mata kuliah keilmuan dan
keterampilan (MKK), mata kuliah keahlian berkarya (MKB) dan mata
kuliah prilaku berkarya (MPB), dan mata kuliah berkehidupan
bermasyarakat. (MBB).
c. Merumuskan kompetensi setiap mata kuliah.
d. Penyusunan Rencana Program kerja kegiatab perkuliahan semester.
5. Penulisan Modul Bahan Ajar dan Buku Ajar.
Implementasi program di atas dapat diterjemahkan ke dalam kegiatan
sebagai berikut:
a. Workshop penulisan modul dan buku ajar.
b. Pemilihan prioritas mata kuliah yang akan ditulis buku ajar.
c. Diskusi buku ajar untuk penyempurnaan materi dan metodologi.
d. Sosialisasi bahan dan buku ajar.
2. Peningkatan Kemampuan Dosen dan Pembelajaran Integratif
Dalam konteks ini, beberapa usaha yang dapat dilakukan adalah:
a. Penataan ulang peta keilmuan para dosen.
b. Pelatihan pembelajaran integratif di kalangan dosen UIN.
c. Melaksanakan studi banding ke universitas yang telah menerapkan model
pembelajaran integratif.
d. Membentuk tim teaching untuk mata kuliah-kuliah tertentu.
e. Melaksanakan evaluasi model pembelajaran integratif.
B. Peningkatan Kualitas Penelitian
1. Peningkatan Kualitas dan Diseminasi Hasil Penelitian
Dalam upaya peningkatan kualitas desiminasi hasil penelitian dosen,
UIN SU akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengikutsertakan hasil penelitian dosen dalam seminar-seminar hasil
penelitian, baik di tingkat nasional maupun internasional.
b. Meningkatkan jumlah berkala ilmiah terakreditasi di tingkat nasional di
lingkungan IAIN SU
c. Mengupayakan tersedianya berkala ilmiah terakreditasi di tingkat
internasional di lingkungan UIN SU dan meningkatnya jumlahnya secara
bertahap dalam setiap tahun
d. Menyediakan ruang publikasi hasil penelitian dosen di dalam website dan
OCW UIN SU
e. Meningkatkan kerjasama dengan berbagai berkala ilmiah terakreditasi,
baik tingkat nasional maupun internasional, untuk mendapatkan informasi
tentang tema yang akan diterbitkan sehingga membantu para dosen dalam
melakukan publikasi hasil-hasil penelitiannya.
2. Peningkatan Kualitas Karya Ilmiah Dosen
Dalam rangka peningkatan mutu karya ilmiah dosen, UIN SU akan melakukan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Melakukan pendataan terhadap karya ilmiah dosen yang telah
dipublikasikan.
b. Penyediaan atmostif munculnya penulisan buku-buku yang berkualitas
antara lain: penyediaan prasarana dan sarana, dana, sistem, dan sumber
data manusia.
c. Membuat SOP penulisan buku dan karya ilmiah sehingga buku dan ilmiah
yang dihasilkan memenuhi standar.
d. Mengangkat tim reviewer karya ilmiah dosen yang terdiri dari guru besar
internal dan eksternal UIN SU sesuai dengan keahliannya.
e. Menyediakan ruang publikasi hasil karya ilmiah dosen di dalam website
dan OCW UIN SU
f. Meningkatkan jumlah penerbitan buku-buku ajar dan buku teks yang
dituliskan dosen dengan menggunakan percetakan dalam dan luar negeri.
g. Menerbitkan berkala ilmiah terakreditasi di tiap jurusan/prodi
h. Menerbitkan berkala ilmiah terakreditasi nasional di tingkat fakultas
dan prodi.
i. Menerbitkan jurnal terakreditasi intenasional di tingkat institut.
Berdasarkan perencanaan mutu akademik di UIN SU di atas maka dapat
dilihat berdasarkan teori bahwa ada dua tipe utama rencana: Rencana
Strategik, dan Rencana Operasional.[19] Dalam Perencanaan Strategik perlu
melewati prosedur sebagai berikut: Visi dan Misi Organisasi, melalui visi
dan misi organisasi inilah akan ditentukan dan memberikan dasar arahan bagi
organisasi. UIN SU telah menyesuaikan rencana mutu akademiknya dengan
adanya kesamaan antara program-program akademik yang direncanakan dengan
visi dan misi UIN SU setelah transformasi dari IAIN SU.
Tinjauan Teoritis
Menurut Bryson perencanaan strategik adalah sebuah disiplin yang
berupaya menghasilkan keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan mendasar,
yang membentuk dan membimbing organisasi untuk memahami dirinya sendiri
(what an organization is), apa yang dikerjakannya (what it does), dan
kenapa organisasi mengerjakannya (why it does it).[20]
Perencanaan strategik merupakan proses pemilihan tujuan-tujuan
organisasi; penentuan strategi; kebijaksanaan dan program-program strategik
yang diperlukan untuk tujuan-tujuan tersebut; dan penetapan metode yang
diperlukan untuk menjamin bahwa strategi dan kebijaksanaan telah
diimplementasikan.[21]
Menurut Handoko perencanaan strategik merupakan proses perencanaan
jangka panjang yang disusun dan digunakan untuk menentukan dan mencapai
tujuan-tujuan organisasi.[22]Handoko mengemukakan tiga alasan tentang
pentingnya perencanaan strategik, yaitu: (1) perencanaan strategik
memberikan kerangka dasar dalam mana semua bentuk-bentuk perencanaan
lainnya harus diambil; (2) pemahaman terhadap perencanaan strategik akan
mempermudah pemahaman bentuk-bentuk perencanaan lainnya; (3) perencanaan
strategik sering merupakan titik permulaan bagi pemahaman dan penilaian
kegiatan manajer dan organisasi.
Barnard Taylor[23] memberikan deskripsi mengenai perencanaan
strategik, sebagaimana dapat diliha dalam tabel berikut.
Tabel 3
Perencanaan Strategik
"Pusat bahasan "Keberlangsungan dan "
" "pengembangan jangka panjang "
"Sasaran "Laba di waktu yang akan datang "
"Batasan "Lingkungan sumber daya waktu "
" "yang akan datang "
"Hasil yang diperoleh "Pengembangan potensi yang akan "
" "datang "
"Informasi "Kesempatan di waktu yang akan "
" "datang "
"Organisasi kepemimpinan "Kewiraswastaan mengilhami "
" "perubahan radikal "
"Pemecahan masalah "Antisipasi, menemukan "
" "pendekatan-pendekatan baru "
"Resiko "Memiliki resiko tinggi "
Sedangkan dalam proses manajemen strategik terdapat paling tidak
sembilan langkah[24], yaitu:
a. Penentuan visi dan misi. Adanya pernyataan-pernyataan umum tentang
misi, falsafah, dan tujuan organisasi.
b. Pengembangan profil organisasi. Mencerminkan kondisi internal dan
kemampuan organisasi dan mengidentifikasi strategi yang ada
sekarang. Profil organisasi menunjukkan kesuksesan masa lampau dan
kemampuan menjalankan strategi di masa mendatang.
c. Analisa lingkungan eksternal. Mengidentifikasi cara-cara dalam
mana perubahan di lingkungan ekonomi, politik, budaya, sosial,
teknologi dan politik yang mempengaruhi organisasi secara langsung
mau pun tidak langsung.
d. Analisa internal perusahaan, kekuatan dan kelemahan organisasi.
Analisa ini dilakukan untuk membandingkan profil organisasi dan
lingkungan esternal.
e. Identifikasi kesempatan dan ancaman strategik. Menganalisis
berbagai kesempatan dan ancaman yang muncul karena berbagai faktor.
f. Pembuatan keputusan strategik. Mengidentifikasi, menilai dan
pemilihan berbagai alternatif strategi dengan keputusan strategik.
g. Iplementasi strategi. Berkenaan dengan kegiatan manajeme untuk
mengoperasikan strategi.
h. Peninjauan kembali dan evaluasi. Setelah strategi diimplementasikan
maka manajer selalu mengawasi secara periodik.
Sementara Bryson mengemukakan spuluh langkah dalam membua perencanaan
strategik, sebagai berikut:
a. Membangun inisiatif dan kesepakatan terhadap dilakukannya proses
perencanaan strategik.
b. Mengidentifikasi mandat organisasi, termasuk mandat dan tim perumus
perencanaan strategik
c. Mengidentifikasi misi dan nilai organisasi.
d. Melakukan analisis SWOT
e. Mengidentifikasi isu-isu strategis.
f. Merumuskan strategi dan membuat rencana untuk manajemen strategis.
g. Meninjau ulang dan mengadopsi rencana dan strategi.
h. Merumuskan visi yang efektif dari organisasi.
i. Mengembangkan proses implementasi yang efektif.
j. Menilai ulang strategi dan proses perencanaan strategis.[25]
7.Peran Pemimpin dalam Membangun Lembaga Pendidikan Islam:
Contoh Studi Kasus Peran Kepemimpinan Prof. Dr. Imam Suprayogo dalam
Perubahan STAIN Malang menjadi Universitas Islam Negeri Malang
Kesuksesan UIN Maliki Malang tidak bisa terlepas dari kepemimpinan
Prof. Dr. Imam Suprayogo. Saat ini UIN Maliki Malang telah menjadi model
transformasi kelembagaan perguruan tinggi Islam. Telah banyak penelitian
mengenai kepemimpinan Prof. Dr. Imam Suprayogo. Berdasarkan informasi yang
penulis dapat ketika dalam perkuliahan dengan Prof. Imam, telah terdapat 13
disertasi yang mengkaji peran dan kepemimpinannya dalam mengelola UIN
Maliki Malang hingga mencapai kesuksesan. Olehkarenaitulah penulis
menganggap bahwa profil kepemimpinan Prof. Dr. Imam Suprayogo merupakan
contoh Peran Pemimpin yang telah sukses mencapai kinerja organisasi.
Menurut Prof. Dr. Imam Suprayogo Perubahan akan terjadi apabila: Ada
ide atau keinginan untuk berubah, Gerakan harus dimulai oleh pemimpinnya,
Didukung oleh sumber daya kekuatan pengubah, Ada pemimpin untuk
menggerakkan perubahan, Ada dukungan semua pihak. Selanjutnya, bahwa
perubahan perlu didukung sumber daya kekuatan pengubah, yaitu: Orang-orang
yang memiliki integritas tinggi terhadap perubahan, Suasana kebersamaan,
Orang-orang yang menyandang jiwa berkorban tinggi, Orang-orang yang
lebih berorientasi pada ilmu daripada ideologi.
Dalam konteks pembaharuan yang dilakukan di UIN Malang, maka Prof. Dr.
Imam Suprayogo melakukan hal berikut: Memahami internal kampus secara
menyeluruh dan mendalam, Memahami apa yang telah dilakukan oleh orang lain,
Memahami peluang dan kekuatan serta upaya membangunnya, Memahami cara orang
lain menjadi sukses, bukan sekedar kesuksesan orang lain, Membangun
keyakinan dan kepercayaan terhadap kampus ke depan, Merumuskan visi dan
misi serta tradisi yang akan dikembangkan, Melakukan konsolidasi internal
maupun eksternal, dan Membangkitkan seluruh komponen yang ada.
Sebagai seorang Sosiolog, Prof. Dr. Imam Suprayogo sangat menyadari
pentingnya pola interaksi dengan civitas akademika. Maka dalam memulai
perubahan, aspek psikologi sosial (civitas akademika) selalu menjadi
perhatiannya dengan melakukan: mengintensifkan silaturrahmi, Menjaga
kebersamaan, cita-cita dan visi hari depan, Memberikan kepercayaan dan
peran-peran secara proporsional,serta Menyusun rencana-rencana konkrit.
Kepemimpinan Enterpreneurship dan Relegius
Berlatar belakang budaya Jawa, membuat Prof. Dr. Imam Suprayogo meresapi
kearifan lokal budaya Jawa dan menerapkan dalam gaya kepemimpinannya,
baginya seorang pemimpin haruslah berwatak: (a) Menang tanpo ngasorake;
(b) Sugih tanpo bondo; (c) Sekti tanpo aji-aji; (d) Nglurug tanpo bolo; (e)
Kayungyun dening pepoyaning kautaman. Filosofi tersebut berarti, menang
tanpa membuat lawan merasa kalah, kaya tanpa benda, sakti tanpa mantra-
mantra, mendatangi lawan sendirian, dan selalu berpegang teguh pada tujuan
utama.
Bagi Prof. Dr. Imam Suprayogo, seorang pemimpin sejati harus menyadari
bahwa bawahan adalah aset utama lembaga yang bukan hanya sekedar alat,
tetapi adalah manusia yang memiliki martabat, untuk itulah bawahan harus
diakui keakuannya. Bawahan membutuhkan perhatian yang berhak mendapatkan
keadilan, kejujuran dan masa depan yang lebih baik. Seorang pemimpin harus
memilki teknik yang praktis dalam bergaul dengan bawahannya sehingga
membuat mereka nyaman dengan atasan sehingga merasa tugas berikutnya dapat
mengaktualisasi dirinya. Kepercayaan dan pendelegasian kepada bawahan
adalah kunci agar keterlibatan mereka lebih total dan dapat bertanggung
jawab. Pada dasarnya bawahan tidak suka dicurigai, diberi predikat tidak
mampu dan bodoh, apalagi tanpa ada bimbingan atasan ketika menghadapi
kesulitan dalam mengemban tugas lembaga.
Sebagai seorang pemimpin perubahan, Prof. Dr. Imam Suprayogo
menganjurkan kepada civitas akademika untuk berjiwa besar, kaya akan ide
prakarsa dan mau melaksanakannya, harus berani menanggung segala resiko,
siap berkorban untuk kemajuan, memilki integritas tinggi terhadap lembaga,
kepemimpinan dan manajerial modern, beriman kukuh, ber-Islam, ber-Ikhsan
dalam segala aktifitasnya.
Kegagalan pencapaian tujuan organisasi sangat dipengaruhi oleh
kepemimpinan. Kepemimpinan yang lemah akan membuat lembaga kurang dinamis
bahkan stagnan berdampak pada rendahnya kualitas produk dan kaya akan
masalah, menurunnya kepercayaan masyarakat, kesulitan menghimpun kekuatan,
potensi, dan pada akhirnya adalah sulit bagi pengembangan organisasi.
Olehkarena itu seorang pemimpin harus menghindari kepemimpinan yang
terlampau hirarkis dan birokratis sehingga mempersulit persoalan yang
semestinya mudah diselesaikan. Seorang pemimpin jangan bersifat tertutup
terhadap informasi, sehingga informasi bisa menyebar rata. Kepemimpinan
lembaga pendidikan yang kental nuansa politis harus dihindari karena akan
menyebabkan konflik-konflik disfungsional. Seorang pemimpin harus tanggap
terhadap perubahan, bersikap visioner dengan tidak hanya melakukan
benchmarking internal melainkan juga melakukannya dengan kompetitor
eksternal, naluri ekspansif diperlukan untuk pengembangan lembaga.
Menurut Prof. Dr. Imam Suprayogo fungsi-fungsi manajemen
konvensional:
Merencanakan,Mengkomunikasikan,Mengkoordinasi,Memotivasi,Mengendalikan,Menga
rahkan, Memimpin sudah menjadi konsep yang tradisional dan tidak cukup lagi
dalam mengatasi perubahan. Maka perlu ada perubahan konsep enterpreneurhip
sebagai berikut: Membuat Mampu (Enabling), Memperlancar (Facilitating),
Berkonsultasi (Consulting), Bekerjasama (Collaborrating), Membimbing
(Mentoring), Mendukung (Supporting).
Perubahan paradigma berpikir akan mempengaruhi teknis pelaksanaan
dalam manajerial PTAI. Meretas kekakuan konsep manajemen tradisional, Prof.
Dr. Imam Suprayogo menawarkan gagasan perubahan paradigm tradisional ke
paradigm enterpreneurship sebagaimana dalam Tabel Perubahan Paradigma
berikut.
Tabel 4
Perubahan Paradigma
"Manajemen Tradisional "Manajemen Perubahan "
"Stabilitas "Perubahan tidak Berkesudahan "
"Hirarkhis birokratis "Leadership dari setiap orang "
"Organisasi yang kaku "Fleksibilitas permanen "
"Pengendalian melalui aturan "Melalui visi dan nilai "
"Informasi dijaga dan tertutup"Information Sharing "
"Hanya menerima yang pasti "Menerima keraguan "
"Reaktif, penghindaran resiko "Proaktif, keberanian beresiko "
"Berfokus intern organisasi "Berfokus lingkungan kompetitif "
"Keunggulan bertahan "Inovasi keunggulan kompetitif "
" "yg berubah terus menerus "
"Bersaing pada pasar yang ada "Bersaing pada pasar masa depan "
" "kontemporer "
Berdasarkan tabel perubahan paradigma tersebut dapat dilihat bahwa
kekakuan dan resistensi organisasi lembaga PTAI adalah penyebab lambatnya
terjadi perubahan. Maka Prof. Dr. Imam Suprayogo meretasnya dengan
manajerial entrepreneurship yang lebih transparan, akomodatif, namun tetap
berprinsip , visioner, dan mendobrak ketakutan-ketakutan akan perubahan.
Tinjauan Teoritis
Kelangsungan hidup dan keberhasilan organisasi tergantung pada
kemampuan mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal. Dalam konteks ini,
organisasi harus memiliki pimpinan efektif dalam menjalankan manajemen
untuk mengelola perubahan yang ada dan berkelanjutan. Tantangan bagi
seorang manajer pendidikan, yaitu kepala sekolah/madrasah, pimpinan
pesantren, rektor, atau direktur adalah bagaimana menjadi pendorong atau
pelopor perubahan lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
Menurut David F.Salisbury dalam Five Technology in Educational Change
menjelaskan: "Without quality leadership and skillful management, even the
ideas are never implemented. Without good management and on going support
for their leaders, those lower in the organization become disillusioned in
time, cease to continue the change effort. "Upaya memperbaiki kualitas
dalam satu organisasi sangat ditentukan oleh mutu kepemimpinan dan
manajemen yang efektif. Dukungan dari bawah hanya akan muncul secara
berkelanjutan ketika pimpinannya benar-benar berkualitas atau unggul.
Kepemimpinan pendidikan adalah proses mempengaruhi semua personel yang
mendukung pelaksanakan aktivitas belajar-mengajar dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan. Peran kepemimpinan lembaga pendidikan dilaksanakan oleh
rektor, direktur, kepala sekolah/madrasah, dan pimpinan pesantren. Komponen
tersebut mencakup kepemimpinan, pendidikan dan latihan, iklim organisasi,
fokus pelanggan, metode ilmiah dan alat-alatnya, data yang bermakna, serta
tim penyelesaian masalah. Semua komponen ini hanya akan berfungsi dengan
baik saat kepemimpinan sebagai faktor pertama dari peluang dan implementasi
TQM.
Peters dan Austin mengajukan pertimbangan khusus terhadap kepemimpinan
pendidikan untuk meraih mutu yang meliputi hal-hal berikut.
1. Vision and symbols. Kepala sekolah harus mengkomunikasikan nilai-
nilai lembaga terhadap staf, pelajar-pelajar, dan masyarakat luas.
2. Management by walking about (MBWA), yaitu suatu cara bagi pemimpin
untuk memahami, berkomunikasi, dan men-diskusikan proses yang
berkembang dalam lembaga dengan tidak hanya duduk di belakang meja
kerjanya.
3. For the kids, yaitu perhatian yang sungguh-sungguh kepada semua
anggota lembaganya, baik pelajar (primary customer) maupun pelanggan
lain.
4. Autonomy, experimentations, and support for failure, yaitu memiliki
otonomi, suka mencoba hal-hal baru, dan memberikan dukungan bagi
sikap insiatif dan inovatif untuk memperbaiki kegagalan.
5. Create a sense offamiliy, yaitu cara untuk menumbuhkan rasa
kekeluargaan di antara sesama guru, pelajar, karyawan, dan staf
pimpinan lainnya.
6. Sense of the whole, rhytme, passion, intensity, and enthusias, yaitu
menumbuhkan rasa kebersamaan, keinginan, semangat, dan potensi dari
setiap staf.
Seorang pemimpin yang berbeda dengan pemimpin lainnya dapat diketahui
dari visinya. Sebab bagi seorang pemimpin, visi ini menentukan masa depan
organisasi. Menurut Snyder bahwa "To a leader, vision is a reality that has
not yet come to be; it is not a dream. This vision reflects a depth and
breath of understanding that enables one to detect patterns or trends as
they unfold, and it guides a leader through the present and into the
future." Dapat dipahami visi memang belum menjadi kenyataan, tapi visi
bukanlah mimpi. Visi menyatakan kedalaman dan keluasan pengertian yang
dapat mendeteksi bentuk dan kecenderungan sebagai sesuatu yang
membentangkan dan membimbing pemimpin memasuki hari ini dan masa depan.
Fungsi kepemimpinan adalah menangani mutu pembelajaran dan mendukung
para staf yang berusaha mencapainya. Untuk itu para pengajar perlu
diberdayakan agar mereka dapat memberikan kreativitas dan inisiatif untuk
meraih mutu. Pemimpin pendidikan yang benar harus memiliki visi, sebab
dengan memiliki visi maka pemimpin dapat menentukan arah bagi tujuan yang
akan dicapai. Hal ini sangat krusial untuk menggerakkan bisnis yang
dikelola lembaga pendidikan. Peranan pemimpin pendidikan sangat strategis
dengan komitmennya dalam mengembangkan budaya mutu.
Sebagai upaya dalam melakukan perubahan budaya, terutama terhadap mutu
produk dari sebuah organisasi atau bisnis, peranan kepemimpinan sangat
strategis. Enurut Kouzes dan Posner, bahwa "leader makes the difference."
Sebuah lembaga pendidikan hanya akan mengalami perubahan dalam menciptakan
mutu lulusan dengan kepemimpinan pendidikan yang berhasil.
Menurut Sallis (1993), ada beberapa peranan utama pemimpin pendidikan
dalam mengembangkan kultur (budaya) mutu, yaitu:
1. memiliki visi yang jelas mengenai mutu terpadu bagi organisasinya,
1. memiliki komitmen yang jelas terhadap perbaikan mutu,
2. mengkomunikasikan pesan mutu,
3. menjamin bahwa kebutuhan pelanggan menjadi pusat kebijakan dan
pekerjaan organisasi,
4. menjamin tersedianya saluran yang cukup untuk menampung suara-suara
pelanggan,
5. memimpin pengembangan staf,
6. bersikap hati-hati untuk tidak menyalahkan orang lain ketika masalah
muncul tanpa melihat bukti karena banyak problem muncul dari kebijakan
lembaga dan bukan dari kesalahan staf,
7. mengarahkan inovasi dalam organisasi,
8. menjamin bahwa kejelasan struktur organisasi menegaskan tanggung jawab
dan memberikan pendelegasian yang cocok dan maksimal,
9. memiliki sikap teguh untuk mengeluarkan penyimpangan dari budaya
organisasi,
10. membangun kelompok kerja aktif, dan
11. membangun mekanisme yang sesuai untuk memantau dan mengevaluasi
keberhasilan.
Kouzes dan Posner, menjelaskan "shared vision and values are important
to future success of the organization. "Membagi visi dengan
mengkomunikasikannya dan menanamkan nilai-nilai kepada para guru dan
pegawai dalam organisasi pendidikan perlu dilakukan agar mereka mengetahui
arah dan budaya organisasi yang menjadi pedoman perilaku anggota dalam
bekerja.
Untuk mewujudkan perbaikan mutu pendidikan berkelanjutan, maka yang
diperlukan adalah pimpinan yang tidak hanya berhasil (success), tetapi juga
efektif (effective). Pimpinan yang efektif dalam organisasi pendidikan
adalah mereka yang memberikan pengaruhnya dan orang lain bergerak ke arah
tujuan secara sukarela dan senang tanpa merasa terpaksa. Pengaruh ini
berkelanjutan untuk mewujudkan mutu pendidikan, sehingga kinerja sekolah
dapat dirasakan para pelanggan pendidikan dari lulusan yang bermutu.
Hoy membuat daftar kompetensi yang diperlukan pemimpin lembaga
pendidikan sebagai berikut.
1. Visi, yaitu (a) kemampuan mengajukan tujuan dan sasaran sesuai
keinginan bagi sekolah, (b) kemampuan untuk melaksanakan kebutuhan
sementara dalam situasi tertentu, (c) kemampuan memprediksi kebutuhan
sesuai tugas, (d) menghasilkan keaslian, mengungkapkan imajinasi untuk
mengidentifikasi tugas, dan (e) kemampuan mendemons-trasikan suatu
kesadaran tentang dimensi nilai dan kesiapan terhadap tantangan
asumsi.
2. Keterampilan perencanaan, yaitu (a) kemampuan me-rencanakan pencapaian
target, (b) kemampuan menilai urutan alternatif strategis sebelum
pelaksanaan suatu rencana, (c) kemampuan menyadari jadwal yang sesuai,
(d) kemampuan menentukan prioritas, (e) kemampuan menganalisis elemen
penting, dan (f) kemampuan mengembangkan secara detail dan urutan
logis rencana untuk mencapai sasaran.
3. Berpikir kritis, yaitu (a) kemampuan berpikir analitis dan kritis, (b)
kemampuan menerapkan konsep dan prinsip, dan (c) kemampuan membedakan
berpikir rutin dan berpikir analitis.
4. Keterampilan kepemimpinan, yaitu (a) kemampuan mengarahkan tindakan
dari semua orang menuju sasaran yang disepakati, (a) menstruktur
interaksi untuk menjangkau tujuan, (b) memimpin penyebaran secara
efektif semua sumber daya, (c) keinginan menerima tanggung jawab untuk
tindakan secara bersama dan untuk mencapai tujuan, dan (d) kemampuan
bertindak secara meyakinkan dalam situasi yang sesuai.
5. Keteguhan hati, yaitu (a) kesiapan membuat suatu urutan strategi untuk
mencapai solusi masalah, (a) kemampuan untuk mendemonstrasikan suatu
komitmen terhadap tugas, dan (c) kemampuan untuk mengenali kapan iklim
yang diperlukan memberikan respons yang fleksibel.
6. Keterampilan mempengaruhi, yaitu (a) kemampuan untuk memberikan
pengaruh atas yang lain dengan tindakan atau keteladanan, (b)
kemampuan untuk memperoleh keterlibatan yang lain dalam proses
manajemen, (c) membujuk staf untuk menyeimbangkan kebutuhan individual
dan keperluan organisasi, dan (d) membujuk personel untuk
memperhatikan keluasan berbagai pilihan.
7. Keterampilan hubungan interpersonal, yaitu (a) kemampuan membangun dan
memelihara hubungan positif, (b) kemampuan merasakan kebutuhan,
perhatian dan keadaan pribadi dari orang lain, (c) kemampuan mengenali
dan menyelesaikan konflik, (d) kemampuan menggunakan keterampilan dan
mendengarkan secara efektif, (e) kemampuan memberitahukan,
menginterpretasi dan merespon perilaku nonverbal, (f) kemampuan
menggunakan secara efektif urutan komunikasi lisan dan tulisan, dan
(g) kemampuan memberikan umpan balik yang sesuai dalam suasana yang
sensitif.
8. Percaya diri, yaitu (a) kemampuan untuk merasa yakin akan potensi
pribadi dan penilaian, (b) kemampuan mendemonstrasikan perilaku tegas
tanpa menggerakkan permusuhan, (c) kemampuan menyusun dan menerima
umpan balik dari kinerja seseorang dan gaya manajemen, (d) kemampuan
menyampaikan tantangan kepada yang lain agar menata sikap percaya diri
mereka, dan (e) kemampuan menyampaikan umpan balik untuk mengembangkan
percaya diri.
9. Pengembangan, yaitu (a) kemampuan untuk secara aktif menemukan cara
mengembangkan pengetahuan pribadi, (b) kemampuan mendemonstrasikan
suatu pengertian mengenai bentuk pembelajaran diri dan yang lain, (c)
kemampuan secara aktif menatap peluang untuk menangani pertumbuhan
dalam diri dan yang lain, (d) kemampuan untuk memasuki pengembangan
kebutuhan, (e) kemampuan melakukan rancangan, melaksanakan, dan
mengevaluasi program pengembangan, dan (f) kemampuan untuk
mengimplementasikan iklim yang kondusif dan positif untuk pertumbuhan
dan pengembangan organisasi.
10. Empati, yaitu (a) kemampuan mengungkapkan kesadaran tentang kebutuhan
kelompok dan kebutuhan seorang anggota, (b) kemampuan mendengarkan dan
berkomunikasi dalam suasana yang konstruktif, dan (c) kemampuan
menyatakan hal yang sensitif untuk mempengaruhi keputusan bagi yang
lain.
11. Toleransi terhadap stres, yaitu (a) kemampuan menyatakan perilaku yang
sesuai dalam keadaan stres, (b) kemampuan mendemonstrasikan
ketabahan/ulet dalam situasi tekanan, (c) kemampuan menyisakan secara
efektif suatu tingkat pekerjaan, (d) kemampuan memelihara keseimbangan
antara beberapa prioritas, dan (e) kemampuan memperhitungkan tingkatan
dari stres orang lain.
8. Deskripsi dan Analisis Manajemen Kinerja dalam Meningkatkan Kinerja
Lembaga Pendidikan Islam
Menurut O'Neill kinerja adalah "...the succesful completion within a
given time frame of the variety of definable, observable and measurable
teaching or management actions that may reasonably be expected of an
individual who has specific, statutory and contractual
resposibilities."[26] O'Neill mendefinisikan kinerja sebagai pemenuhan
kesuksesan dalam kerangka yang dapat diukur dan diamati sehingga individu
dapat dianggap bertanggung jawabt trehadap tanggung jawab spesifiknya.
Sedangkan West Burnham mendefinisikan kinerja sebagai, "..a
disposition to exercise one's professional judgement in ways that enhance
the pursuit of collectively and broadly defined long-term educational
goals."[27] Kinerja merupakan sebuah disposisi penilaian profesional
seseorang untuk mencapai tujuan kolektif.
Manfaat manajemen kinerja dalam meningkatkan kinerja lembaga
pendidikan Islam, yaitu:
a. Sebagai sebuah strategi yang efektif dan efisien mengembangkan sumber
daya manusia.
b. Sebagai sebuah dialog profesional yang mendukung proses pemahaman nilai
ke dalam praktek yang konsisten.
c. Sebagai sebua penghargaan terhadap personil yang memiliki kinerja yang
baik dan dapat menjadi sarana pengembangan bagi personil yang masih
memiliki kinerja yang rendah.
d. Sebagai penyediaan sebuah sistem analisis dan diagnosis pengembangan
personil yang membutuhkan dukungan pembelajaran peningkatan kinerja
profesional untuk mencapai tujuan.[28]
Pendapat yang dikemukakan John West tersebut lebih fokus pada kinerja
dimakanai kepada personil secara individu. Namun dalam pendapat lain bahwa
kinerja individu tersebut akan mempengaruhi kinerja organisasi, sebagiamana
dikemukakan oleh David Garvin. Menurut David Garvin terdapat delapan
dimensi yang dapat digunakan untuk menganalisis karakteristik kinerja
organisasi.[29]
a. Performance. Berkenaan dengan fungsional produk dan menjadi
pertimbangan pelanggan ketika ingin membelinya.
b. Features. Menambah fungsi dasar berkaitan dengan pilihan-pilihan dan
pengembangannya. Biasanya pelanggan mendefinisikan nilai dalam bentuk
fleksibilitas dan kemampuan mereka untuk memeilih features yang ada
juga kualitasnya.
c. Keandalan. Kemungkinan suatu produk melaksanakan fungsinya secara
berhasil dalam periode waktu tertentu di bawah kondisi tertentu.
d. Konformansi. Berkaitan dengan tingkat kesesuaian produk terhadap
spesifikasi yang telah ditetapkan berdasarkan keinginan pelanggan.
e. Durability. Merupakan ukuran masa pakai suatu produk yang merupakan
sebuah kriteria kinerja produk yang akan dinilai pengguna sebelum
memutuskan membelinya.
f. Serviceability. Karakteristik yang berkaitan dengan kecepatan,
keramahan, kompetensi, kemudahan serta akurasi dalam layanan.
g. Aesthetics. Karakteristik yang bersifat subyektif sehingga berkaitan
dengan pertimbangan pribadi dan refleksi dari preferensi individual.
h. Perceived quality. Karakter yang bersifat subyektif dan berkaitan
dengan perasaan pelanggan dalam mengunakan produk, misalnya bisa
meningkatkan kepercayaan diri dan harga diri.
Berdasarkan teori analisi manajemen kinerja yang dikemukakan oleh
David Garvin tersebut maka dapat dilihat bahwa dalam meningkatkan kinerja
lembaga pendidikan Islam minimal harus memperhatikan delapan poin tersebut.
Misalnya dalam poin performance, lembaga pendidikan Islam harus menampakkan
fungsional dari program yang diluluskan, misalnya sebuah program studi di
IAIN setelah mereka tamat mereka dapat berfungsi sebagai apa, sehingga
dengan indikator yang jelas tersebut akan menjadi pertimbangan bagi calon
mahasiswa.
Fetures, dalam lembaga pendidikan Islam harus mampu menawarkan
penambahan dan pengembangan fungsi yang akan diperoleh. Misalnya dalam
sebuah lembaga pendidikan sperti pesantren sudah saatnya menawarkan
pendaftaran online. Hal ini akan mempermudah publik yang secara geografis
jauh. Keandalan (reliability), mencerminkan kehandalan alumni sebuah
lembaga pendidikan di dunia kerja. Terdapat kemungkinan-kemungkinan dunia
kerja yang akan menguji tingkat kemampuan alumni lembaga pendidikan Islam.
Misalnya, ketika seorang alumni Fakultas Ilmu Komputer UIN diminta untuk
mengatasi permaslahan pemrograman, maka yang bersangkutan menampakkan
kinerjanya.
Conformance, dimana seorang alumni lembaga pendidikan menampakkan
spesifikasi yang diharapkan dan menjadi standar pengguna. Misalnya, seorang
dokter alumni UIN semestinya memiliki kecakapan berbeda ketika menangani
pasien., sehingga masyarakat bisa membedakan standar dokter alumni UIN
dibandingkan alumni universitas umum. Hal ini karena dalam standarnya
seorang dokter alumni UIN semestinya mampu menerapkan prinsip-prinsip yang
Islami dalam menjalankan tugasnya.
Durability, tidak hanya mencerminkan daya tahan waktu sebuah produk
yang berbentuk barang. Jika dilihat dalam lembaga pendidikan daya tahan ini
mencerminkan bagaimana lembaga pendidikan Islam mampu mempertahankan
kualitas dari yang diciptakannya, apakah akan berlangsung lama atau hanya
jangka pendek. Serviceability, hal merupakan faktor penting dalam
menganalisis kinerja organisasi lembaga pendidikan Islam, apakah pelayanan
misalnya administrasi yang diterapkan telah menerapkan sapa, salam,
senyum. Jika belum berarti kinerja pelayanan masih sangat tidak memuaskan.
Front office atau yang ada di tata usaha lembaga pendidikan Islam merupakan
cerminan penerapan nilai-nilai Islam. Jika pelayanan yang ramah dan sopan
maka publik akan menjadi sangat menghargai pelayanan tersebut dengan
mengabarkan hal ini ke berbagai pihak.
Aesthetics, salah satu kinerja organisasi yang sering diabaikan
banyak lembaga pendidikan Islam. Jika kita melihat organisasi korporasi
atau perbankan kita akan melihat begitu merasa nyamannya pelayanan yang
diberikan pihak bank kepada setiap orang yang masuk ke kantor mereka. mulai
dari parkir, masuk ke kantor, hingga suasana gedung yang nyaman, wangi dan
dipenuhi dengan benda-benda seni seperti lukisan, dan pohon-pohon hias.
Jika konsep penghargaan terhadap nilai-nilai seni ini diterapkan maka
lembaga pendidikan Islam akan sangat menampilkan coraknya yang manusiawi
yang gandrung akan keindahan. Sedangkan perceived quality merupakan sikap
yang sangat subyektif yang akan dinampakkan oleh masyarakat yang
menggunakan jasa lembaga pendidikan Islam. Misalnya, mahasiswa UIN Maliki
Malang akan memiliki kebanggan tersendiri karena merupakan bagian dari UIN
maliki Malang, dikarenakan UIN Maliki Malang merupakan ikon kualitas
lembaga pendidikan Islam yang banyak menjadi model bagi perguruan tinggi
Islam lainnya. Selain itu telah banyak prestasi yang diraih oleh UIN Maliki
Malang. Dalam perceived quality kebanggaan pengguna produk sangat penting
diperhatikan, karena hal inilah yang akan menampakkan bahwa organisasi
memiliki kinerja yang baik.
Berdasarkan teori, deskripsi dan analisis di atas maka dapat
dikatakan bahwa peran manajemen kinerja sangat penting dalam menampilkan
kinerja organisasi yang terbaik. Makna kinerja organisasi juga akan sangat
luas, olehkarena itu dalam merencanakan manajemen kinerja harus terdapat
indikator operasional yang akan dapat menjadi panduan dalam menngkatkan
kualitas kinerja lembaga pendidikan Islam. Beberapa contoh indikator
operasional yang dibutuhkan lembaga pendidikan Islam telah penulis
deskripsikan beserta dengan contihnya bagaimana lembaga pendidikan Islam
dapat dikatakan telah memiliki kinerja yang baik.
Jika dilihat konteks manajemen kinerja manfaatnya bagi lembaga
pendidikan, maka dapat di lihat dalam beberapa poin berikut:
a. akan semakin meningkatkan konsistentensi peserta didik dalam pengalaman
belajar.
b. Pencapaian level tertnggi bagi lembaga pendidikan.
c. Memperkuat kapabalitas dan kapasitas staf.
d. Meningkatkan kualitas proses belajar dan mengajar.
e. Memperjelas harapan dan dukungan bagi para pengajar.
f. Dukungan manajemen dan kepemimpinan yang lebih baik.
g. Penciptaan budaya kinerja tinggi di sekolah.
h. Pengajar memiliki kontrol karir yang baik bagi mereka untuk
pengembangan profesional dan pengembangan karir.
i. Persiapan keberlanjutan stakeholders.
j. Hubungan kerja dengan kualitas yang tinggi.
9.Peran Penilaian Kinerja dalam Mendukung Peningkatan Kualitas Manajemen
Kerja.
Menurut William B Casteter, penilaian kinerja "as a process of
arriving at judgements about an individual's past or present performance
against the background of his/her work environment, and about his/her
future potential for organization. The appraisal process is an activity
designed to assist personnel to achieve individual as well as
organizational benefits."[30] Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh
Casteter yang merupakan seorang Profesor Admnsitrasi Pendidikan Universitas
Pensilvania dapat dilihat bahwa penilaian kinerja merupakan sebuah proses
penilaian mengenai kinerja individu pada masa lampau dan saat ini yang
dilihat berdasarkan latar pekerjaannya. Tidak hanya menilai kinerja
individu, namun juga untuk melihat potensinya bagi organisasi. Aktivitas
penilaian kinerja pada dasarnya untuk membantu individu (personil) untuk
mencapai kepuasan kerja namun disaat bersamaan juga memberikan manfaat bagi
organisasi.
Tujuan penilaian kinerja diantaranya:
a. Untuk memberi batasan status kerja personil.
b. Untuk mengimplementasikan tindakan personil.
c. Untuk memperbaiki kinerja personil.
d. Untuk mencapai tujuan organisasi.
e. Untuk mengartikulasikan otoritas sistem ke dalam pengendalian yang
mengatur kinerja.[31]
Berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Casteter tersebut penulis
berpendapat bahwa pada dasarnya penilaian kinerja memiliki banyak manfaat
salah satunya adalah untuk mengikat individu personil agar menjadi kesatuan
dalam organisasi. Melalui penilaian kinerja dalam organisasi akan tercipta
kinerja yang baik dalam berbagai tingkatan, misalnya tingkat individu,
kelompok, departemen, dan organisasi secara menyeluruh.
Penilaian kinerja akan berdampak pada peningkatan kinerja organisasi
secara keseluruhan. Karena pada dasarnya penilaian kinerja dilakukan dengan
tiga tahap.[32] Menurut Borich idealnya penilaian kinerja dilakukan dalam
tahap-tahap: Diagnostic, Formative, dan Summative. Tahap diagnostic
merupakan tahap persiapan dimana penilaian dilakukan ketika dalam proses
seleksi, penempatan dan pengembangan. Tahap formative merupakan tahap
bantuan untuk pengembangan diri. Sedangkan tahap yang terakhir, summative,
organisasi harus memperhatikan kinerja yang dinilai dari individu personil
dengan memberikannya kompensasi, promosi, dan insentif. Pada tahap akhir
ini akan berdampak pada kinerja organisasi.
Penilaian kinerja bukanlah alat evaluasi untuk penghakiman kepada
individu. Namun secara prinsip penilaian kinerja dilakukan agar personil
miliki komitmen untuk meningkatkan kinerja individunya yang akan berdampak
pada kesejahteraan pribadinya. Dari kepuasan akan kinerja nya sendiri
diiringi dengan gaji dan insentif yang baik dan promosi maka organisasi
akan menjadi lebih dinamis dan dapat meningkatkan kinerjanya. Disinilah
letak hubungan penilaian kinerja staf dengan peningkatan kinerja
organisasi.
Jika diambil contoh dalam lembaga pendidikan Islam. Program
sertifikasi pendidik yang diberikan kepada dosen merupakan upaya pemerintah
untuk meningkatkan kinerjanya dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Sebagaimana yang dikemukakan secara teoritis di atas, dalam penilaian
kinerja dosen dilakukan juga secara bertahap. Mulai dari proses
penyeleksian dosen yang layak mendapat sertifikat pendidik sampai penilaian
beban kerja dosen. Pada beban kerja dosen inilah dilakukan penilaian oleh
atasan langsung atau pihak-pihak yang berkompeten di dalam kampus untuk
menilai apakah yang telah dikerjakan dosen yang bersangkutan dalam tugas-
tugasnya telah mencerminkan kinerja yang baik. Misalnya, apakah telah
melakukan kerja penelitian, dan jika sudah apakah telah menerbitkannya
dalam jurnal-jurnal terakreditasi. Berdasarkan penilaian kinerja inilah,
selanjutnya dosen akan mendapatkan kompensasi dan penghargaan berupa
tunjangan pendidik.
10. a. Konsep Budaya Organisasi
Menutut Koentjaraningrat, kebudayaan merupakan suatu yang kompleks dari
ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan serta sebagai
kompleks aktivitas tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat44
Koentjaraningrat mengatakan dalam Antropologi, kebudayaan merupakan
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Olehkarena itu menurut Koentjaraningrat hampir seluruh tindakan manusia
adalah kebudayaan.
Konsep budaya yang penulis paparkan di atas, penulis pakai sebagai teori
untuk mengupas budaya organisasi. Budaya organisasi adalah seperangkat
norma, nilai, kepercayaan, ritual, seremoni, simbol, dan cerita yang
meliputi seluruh person di sekolah.45 Budaya organisasi adalah transmisi
secara sejarah, bentuk makna meliputi norma, nilai, kepercayaan, seremoni,
ritual, tradisi, dan pemahaman mitos oleh anggota masyarakat. 46
Budaya organisasi meliputi nilai, simbol, kepercayaan, dan berbagi
makna para orang tua, murid, guru, dan lainnya sebagai masyarakat dan
mengatur apa yang bernilai bagi kelompok dan bagaimana seharusnya anggota
berpikir, merasa, dan berperilaku.47 Budaya organisasi berarti bagaimana
mempelajari peristiwa dan interaksi menjadi bermakna.48
Tema sentral budaya organisasi merujuk pada suatu sistem pengertian
yang diterima secara bersama. Dalam budaya organisasi terdapat pola
mengenai kepercayaan, ritual, mitos serta praktek-praktek yang telah
berkembang sejak beberapa lama.[33] Schein mendefinisikan budaya organisasi
"A pattern of basic assumptions that a given group has invented,
discovered, or developed in learning to cope with its problems of external
adaptation and internal integration, and that have worked well enough to be
considered valid, and therefore, to perceive, think, and feel in relation
to those problems." Jika dilihat pandangan Schein bahwa budaya organisasi
merupakan bentuk asumsi dasar yang diberikan, dicari, ditemukan, dan
dikembangkan dalam pembelajaran dengan adanya adaptasi permasalahan
internal dan eksternal yang kemudian bekerja dalam persepsi, berpikir, dan
merasa dalam hubungannya dengn masalah-masalah tersebut.
Maka dapat dipahami bahwa budaya organisasi didefiniskan sebagai
norma, nilai, kepercayaan, dan anggapan di anggotanya, yang berwujud
simbol, artifak, ritual, seremoni, ideologi, dan bentuk perilaku pemikiran
personil, bagaimana bertindak.
b. Budaya Agama
Bicara budaya dalam perspektif agama (Islam) tidak lepas dari masa
dakwah Islamiah Nabi Muhammad Rasulullah S.A.W. Melalui wahyu pertama Surat
al-'Alaq: 1-5. Nabi Muhammad S.A.W sebenarnya telah menerima misi
membudayakan umat manusia. Perintah membaca merupakan proses internalisasi
nilai, moral, intelektual, dan ilmu pengetahuan.
Internalisasi nilai telah berlangsung ketika Rasulullah S.A.W
menyampaikan Al-Qur'an, berdialog dengan para sahabat mengajak manusia
untuk meninggalkan penyembahan berhala. Kondisi ini memberi makna baru
sebagai transformasi menjadi unsur-unsur budaya baru hingga menjadi Islam.
Sebagai mahluk duniawi manusia harus menghadapi masalah dan tantangan,
untuk manusia bisa menggunakan budi dan daya serta memaksimalkan cipta,
rasa, dan karsa.37 Manusia harus bersifat aktif dalam kehidupan, sehingga
tercipta kebudayaan. Manusia sebagai khalifah berkewajiban menciptakan
masyarakat yang mempunyai hubungan baik dengan Allah, menciptakan
masyarakat harmonis, dan memelihara agama, akal, serta budaya.38
Kebudayaan merupakan proses sebagai eksistensi hidup manusia, kebudayaan
adalah suatu kegiatan total diri manusia, yang meliputi akal yaitu
pemikiran dan zikir serta kesatuannya dalam perbuatan.39 Musa Asy'arie
dalam disertasi berjudul "Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur'an"
mengatakan bahwa kesatuan zikir kepada Allah dan memikirkan ciptaan-Nya
merupakan penjelmaan dari aktivitas orang yang berakal.41 Selanjutnya
Asy'arie menggambarkan aktifitas proses kebudayaan dalam gambar 4.
Gambar 1
Konsep Proses Kebudayaan dalam Islam 42
Berzikir Allah
Orang yang Aktualitas
berakal
Berpikir Ciptaan
Allah
Akal merupakan kekuatan rohani untuk memahami kebenaran bekerja dengan
menggunakan pikiran dan kalbu, yang keduanya berhubungan secara organik.43
Asy'arie menjelaskan pikiran bekerja untuk memahami fisik, bersifat
material, sedangkan qalbu bekerja untuk memahami dimensi metafisik dan
bersifat spiritual. Konsep-konsep Islam tentang kebudayaan sebagai proses
ataupun kebudayaan sebagai manifestasi dari zikir, pikir, dan aktualitas
budaya.
Berdasarkan uraian teoritis mengenai budaya agama tersebut, menurut
penulis bahwa budaya agama (Islam) terbentuk tidak terlepas dari ajaran-
ajaran dalam Al-Qura'an, Hadits, dan sejarah Islam. Sehingga faktor
teologis dan sosiologis yang dialami masyarakat Islam tersebut menjadi
budaya agama.
d. Budaya Mutu
Menurut Edward Sallis bahwa budaya mutu berarti menjamin mutu dan
standar. Budaya mutu memberikan suatu filosofi sebagai suatu perangkat alat
untuk meningkatkan kualitas dengan mengutamakan minat dan kebutuhan
pelanggan. Budaya mutu merupakan salah satu strategi manajemen untuk
menjawab tantangan eksternal suatu organisasi guna memenuhi kepuasan
pelanggan.
Budaya mutu menekankan pada dua konsep utama. Pertama, sebagai suatu
filosofi dari perbaikan terus-menerus (continous improvement), dan Kedua,
berhubungan dengan alat-alat dan teknik seperti " brainstorming" dan "force
field analysis" (analisis kekuatan lapangan), yang digunakan untuk
perbaikan kualitas dalam tindakan manajemen untuk mencapai kebutuhan dan
harapan pelanggan.
d. Deskripsi dan Analisis Prosedur Pengembangan Budaya Organisasi
Lundberg membagi empat tingkatan budaya sekolah yang menjadi dalam
pengembangan budaya organisasi, sebagaimana yang dikutip oleh Sergiovani,
sebagai berikut:
Artifak merupakan wujud budaya apa yang dikatakan orang, bagaimana
orang berperilaku, dan bagaimana memandang sesuatu. Artifak verbal
meliputi sistem bahasa yang digunakan, cerita yang disampaikan, dan
penggunaan contoh untuk mengilustrasikan permasalahan penting. Artifak
perilaku berwujud dalam seremoni, ritual dan praktik simbol di
organisasi.50
Perspektif mengacu pada berbagai aturan dan norma, keumuman yang ada
di antara solusi untuk masalah yang sama, bagaimana orang mengartikan
situasi yang mereka hadapi, dan ikatan perilaku yang dapat diterima dan
tidak dapat diterima.51
Nilai menyediakan dasar bagi orang untuk mengevaluasi situasi yang
dihadapi, nilai tindakan, kegiatan, prioritas, dan perilaku orang dengan
siapa mereka bekerja. Nilai disusun dalam bentuk yang menghadirkan
perjanjian anggota. Perjanjian ini mungkin berbentuk platform, filosofi,
dan aturan yang membentuk kedisiplinan sekolah.52
Asumsi lebih abstrak daripada tingkatan yang lain karena bertipe
implisit, asumsi sebagai kepercayaan yang anggotanya mengikat diri mereka
dengan yang lain, hubungan mereka dengan orang lain. Asumsi tidak disadari,
implisit, ungkapan abstrak sistem makna.53 Menurut Kotter, bahwa budaya
organisasi muncul dalam dua tingkatan, yaitu tingkatan yang kurang
terlihat, berupa nilai-nilai yang dianut oleh anggota kelompok yang
cenderung bertahan meskipun anggotanya sudah ganti. Nilai-nilai ini sangat
sukar berubah dan anggota organisasi seringkali tidak menyadari karena
banyaknya nilai. Tingkatan yang terlihat berupa pola gaya perilaku
organisasi, yakni orang-orang yang baru masuk terdorong untuk
mengikutinya,54 seperti dalam gambar berikut.
Gambar 2
Dua Tingkatan Budaya Organisasi 55
"Tak tampak "
"Sulit berubah "
" "
"Nilai yang dianut bersama: keyakinan dan tujuan-tujuan"
"penting yang dimiliki bersama oleh kebanyakan orang "
"dalam kelompok yang cenderung membentuk perilaku "
"kelompok dan sering bertahan lama walaupun sudah "
"terjadi perubahan dalam anggota kelompok. "
" "
"Nilai perilaku kelompok: cara bertindak yang sudah "
"lazim atau meresap yang ditemukan dalam suatu kelompok"
"dan bertahan karena anggota kelompok cenderung "
"berperilaku dengan cara mengajarkan praktik-praktik "
"ini (juga nilai-nilai yang mereka anut bersama) kepada"
"anggota baru. Memberi imbalan kepada mereka yang "
"menyesuaikan diri dan menghukum yang tidak mengikuti. "
" "
"Tampak "
"Mudah berubah "
e. Karakteristik Budaya Organisasi yang Kuat
Menurut Stephen P. Robins budaya yang kuat dicirikan oleh inti dari
organisasi yang dianut dengan kuat, diatur dengan baik, dan dirasakan
bersama secara luas.[34] Robins menambahkan semakin banyak anggota yang
menerima nilai-nilai inti, menyetujui jajaran tingkat kepentingannya, dan
merasa sangat terikat kepadanya, maka makin kuat budaya organisasi
tersebut.
Karakteristik budaya organisasi yang kuat, yaitu: Tersosialisasinya
budaya organisasi, Pelaksanaan budaya organisasi secara konsisten,
Berfungsinya budaya organisasi mengatasi masalah organisasi.[35]
1. Sosialisasi Budaya Organisasi
Pada karakteristik ini budaya organisasi meliputi pelaksanaan seleksi
anggota, penempatan kerja, pendalaman wawasan kerja, pengukuran kerja,
pemberian penghargaan, kesetiaan pada nilai-nilai organisasi, promosi
anggota.
Seleksi Anggota. Organisasi harus selektif dalam memilih calon
anggotanya, karena tahap ini merupakan langkah terpenting dalam budaya
organisasi. Jika salah memilih anggota tidak hanya akan sulit mengikuti
budaya organisasi. Tetapi malah akan menebarkan budaya negatif dalam
organisasi.
Penempatan kerja. Penempatan yang dimaksud adalah organisasi harus
menempatkan anggotanya dengan jabatan yang sesuai dengan kemampuan dan
keahliannya (latarbelakang pendidikan, dan pengalaman kerja). Prinsip "the
right man in the right place, the right man on the right job" benar-benar
diterapkan.
Pendalaman bidang pekerjaan. Hal ini memberikan pelaihan bidang
pekerjaan dan pemahaman mengenai segala aspek mengenai pekerjaan anggota.
Pengukuran kinerja. Dilakukan penilaian kinerja anggota secara periodik
dan terus menerus.
Kesetiaan kepada nilai-nilai utama organisasi. Sejauhmana anggota
organisasi bekerja dilandaskan kepada moral, dan nilai-nilai yang dianut
dalam organisasi.
Memperluas Informasi (cerita budaya organisasi). Pentingnya
menyampaikan informasi atau perihal budaya organisasi sehingga dapat
menjadi sarana internalisasi dan keberlanjutan bagi anggota organisasi
mengenai budaya organisasi.
2. Pelaksanaan Budaya Organisasi
Karakteristik pelaksanaan budaya organisasi meliputi: Perilaku
personil, Norma-norma, Nilai-nilai, Falsafah manajemen, Peraturan-
peraturan, Iklim, Inisiatif anggota, Toleransi terhadap resiko, Pengarahan
pimpinan, Integrasi kerja, Dukungan pimpinan, Pengawasan kerja, Identitas
angota, Sistem penghargaan personil, Toleransi terhadap konflik, Pola
komunikasi kerja.
Perilaku personil. Terjadinya interaksi yang baik antar anggota dengan
anggota, anggota dengan atasan.
Norma-norma. Berupa aturan-aturan yang tidak tertulis yang disepakati
dan telah menjadi identitas organisasi.
Nilai-nilai. Bagaimana pelayanan berlangsung di organisasi benar-benar
mencerminkan kualitas dan terbaik.
Falsafah manajemen. Sejauhmana setiap aktivitas didasarkan falsafah
yang dianut dalam organisasi.
Peraturan-peraturan. Adanya peraturan atau hukum yang berlangsung dalam
organisasi yang jika dilanggar oleh anggota akan berdampak mendapatkan
sanksi.
Iklim. Terciptanya hubungan kerja yang harmonis dan saling percaya
dalam organisasi.
Inisiatif anggota. Setiap anggota memberikan kontribusi positif
terhadap pengembangan organisasi.
Toleransi terhadap resiko. Di dalam organisasi terdapat kesadaran
terhadap berbagai resiko yang akan menghambat perkembangan organisasi.
Pengarahan pimpinan. Pimpinan memberikan arahan kepada seluruh anggota
organisasi agar dapat memberikan yang terbaik bagi organisasi.
Integrasi kerja. Adanya koordinasi kerja antar depertemen sehingga
adanya keselarasan.
Dukungan pimpinan.Pimpinan memberikan dukungan kepada anggota setiap
aktivitas yang dilakukan untuk kemajuan organisasi.
Pengawasan kerja. Adanya pengawasan terhadap kerja para anggota agar
tidak keluar dari rencana yang sudah dibuat.
Identitas angota. Setiap anggota organisasi memiliki identitas sebagai
anggota organisasi yang membuat mereka bangga menjadi anggota.
Sistem penghargaan personil. Adanya pemberian bonus atau insentif
berbentuk materi atau non materi bagi anggota yang berprestasi.
Toleransi terhadap konflik Adanya pendeteksian kemungkinan konflik
keorganisasian, sehingga konflik dapat diatasi secara fungsional.
Pola komunikasi kerja. Adanya pola komunikasi dua arah sehingga
mencapai keefektifan kerja.
3. Fungsi Budaya Organsasi
Pengukuran berfungsi atau tidaknya budaya organisasi meliputi:
pengembangan pemahaman visi dan misi, strategi korporasi, membangun
kebersamaan, integrasi internal, dan adaptasi eksternal.
Pengembangan pemahaman visi dan misi. Seorang pemimpin di organisasi
yang memiliki budaya kuat harus mampu menyumbangkan wawasan visioner
mengenai organisasinya kedepan, sesuai dengan perubahan zaman dan dinamika
lingkungan organisasi.
Strategi korporasi. Wawasan tidak hanya bersifat abstarak tapi bisa
diterapkan ke dalam aksi nyata.
Membangun kebersamaan. Adanya konsensus dalam organisasi sehingga
terjadi kehidupan organisasi yang harmonis.
Integrasi internal. Adanya kriteria keanggotaan yang jelas dan adanya
standar dalam berbagai aspek kehidupan organisasi, misalnya penghargaan.
Adaptasi eksternal. Sejauhmana organisasi mampu mengatasi masalah yang
berkenaan dengan adaptasi dengan lingkungan eksternal.
11. a. Perbedaan Pengendalian Tugas dengan Pengendalian Manajemen Lembaga
Pendidikan Islam
Menurut Daft pengendalian tugas adalah penggunaan pengaruh untuk
memotivasi pegawai dalam mencapai tujuan organisasi. Pengendalian
dimaksudkan menciptakan usaha membagi visi, misi dan nilai melalui
pengkomunikasian sasaran kepada seluruh pegawai organisasi dengan keinginan
mencapai kinerja tinggi.
Organisasi membutuhkan pengendalian yang sistemik untuk menjaga
stabilitas. Pengendalian melekat dalam sebuah posisi atau wewenang, yang
dibutuhkan untuk keberlangsungan organisasi. Pengendalian dapat digunakan
sebagai motivasi dalam memelihara efektivitas organisasi. Administrasi yang
sukses menggunakan metode yang berpengaruh, dalam mengendalikan perilaku
organisasi.
Menurut Handoko[36] pengendalian tugas dilakukan untuk menjamin bahwa
job desciption telah dijalankan dengan baik. Dalam melakukan pengendalian
tugas ini terdapat Pengendalian Positif, dan Pengendalian Negatif.
Pengendalian Positif mencoba untuk menjamin apakah tujuan organisasi sudah
tercapai secara efisien dan efektif. Sedangkan Pengendalian Negatif mencoba
untuk menjamin bahwa kegiatan yang tidak diinginkan atau dibutuhkan tidak
terjadi atau terjadi kembali.
b. Persamaan Pengendalian Tugas dengan Pengendalian Manajemen Lembaga
Pendidikan Islam
Menurut Stephen P Robbins pengendalian tugas dibutuhkan untuk
menghadapi tantangan sebagai konsekwensi berkembangnya organisasi.
Olehkarena itu berbagai aktivitas organisasi seperti: keuangan, cash flow,
aset, data konsumen, pemesanan, pembayaran olehkarena itu dibutuhkan
pengendalian.[37]
Sedangkan Sistem Pengendalian Manajemen (SPM) adalah Suatu alat dari
alat-alat lainya untuk mengimplementasikan strategi yang berfungsi untuk
memotivasi anggota-anggota organisasi guna mencapai tujuan organisasi.
Jika dilihat dari konsep pengendalian tugas dan SPM di atas terdapat
kesamaan dalam hal memotivasi anggota agar tetap bekerja dalam upaya
mencapai tujuan organisasi.
c. Analisis Karakteristik Pengendalian Efektif
Efektivitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau
peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.[38]
Menurut Johnson efektivitas yaitu:"degree of objective accomplihsment". Itu
artinya, efektivitas adalah tingkat pencapaian sasaran". Ada beberapa
istilah terkait dengan efektivitas dalam konteks manajemen, yaitu:
1. Kualitas (Quality)
2. Produktivitas
3. Efisiensi
4. Kepuasan
5. Penyesuaian
6. Pengembangan
Merujuk enam istilah terkait dengan efektivitas di atas, maka
karakteristik pengendalian yang efektif harus memenuhi enam syarat minimal
untuk dikatakan efektif tersebut.
Selain itu, sebuah pengendalian yang efektif harus telah menjalankan
empat funsi dasar pengendalian sebagai berikut:
1. Telah menetapkan standar pelaksanaan.
2. Telah menentukan ukuran-ukuran pelaksanaan.
3. Pengukuran pelaksanaan nyata dan membandingkannya dengan standar yang
telah ditetapkan.
4. Pengambilan tindakan koreksi yang diperlukan bila pelaksanaan
menyimpang dari standar.[39]
Selanjutnya Handoko menjelaskan bahwa pengendalian yang efektif harus
memiliki kriteria: Mengawasi kegiatan dengan benar; Tepat waktu; Biaya yang
efektif; Tepat-akurat; Dapat diterima yang bersangkutan.[40] Berikut
rincian penjelasan pengendalian yang efektif.
1. Akurat. Data yang tidak akurat akan berdampak pada pengambilan tindakan
yang salah dan hanya akan menambah masalah.
2. Tepat-Waktu. Informasi harus dikumpulkan, disampaikan dan dievalusi
secepatnya bila kegiatan perbaikan harus dilakukan segera.
3. Obyektif dan menyeluruh. Informasi harus mudah dipahami dan bersifat
obyektif serta lengkap.
4. Terpusat pada titik pengawasan strategik. Pengawasan harus fokus pada
dimana sering terjadi kesalahan.
5. Realistik secara ekonomis. Biaya pengendalian harus ekonomis.
6. Realistik secara organisasional. Sistem pengendalian harus cocok
dengan keadaan organisasi.
7. Terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi. Setiap tahap dari
pekerjaan dapat mempengaruhi kesuksesan keseluruhan operasional
organisasi.
8. Fleksibel. Pengawasan harus mempunyai fleksibilitas untuk memberi
tanggapan terhadap berbagai persoalan.
9. Bersifat sebagai petunjuk operasional. Mampu mendeteksi deviasi dan
melakukan koreksi.
10. Diterima anggota organisasi. Mampu mengarahkan pelaksanaan tugas dengan
mendorong personil menjado otonom dan bertanggungjawab.
12. Penerapan Analisis SWOT dalam Lembaga Pendidikan Islam:
Contoh Analisis SWOT Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar Medan
Berikut Aspek Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar Medan dilihat dari
Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman (analisa SWOT), serta Visi, misi,
dan tujuan Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar Medan.
Secara sederhana kondisi objektif Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar dapat
digambarkan melalui analisa SWOT berikut:
Visi dan Misi
Visi: Memfungsikan diri menjadi sebuah lembaga pendidikan Islam yang
mampu berperan dalam pembangunan generasi penerus bangsa yang berilmu
dan berakhlak mulia
Misi: Mempersiapkan manusia – manusia intelek professional yang ulet
dan unggul berkualitas untuk menjadi kader-kader pemimpin umat dan
bangsa yang paham dalam ajaran Agama serta mampu melaksanakannya dalam
kehidupan.
Orientasi: Mengembangkan Sumber Daya Manusia yang handal, kreatif,
inovatif dan dinamis yang memiliki kedalaman religiusitas untuk
menghadapi tantangan globalisasi dan modernisasi
a. Kekuatan (Strength):
Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar berlokasi di Jalan Pelajar Timur No. 264
Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai Kota Medan. Menempati lokasi
seluas lebih kurang 5 hektar, Pesantren ini merupakan lembaga
pendidikan yang kondusif dan tenang sebagai tempat belajar. Hal ini
didukung oleh kondisi Pesantren yang jauh dari polusi suara berupa
kebisingan dan polusi udara karena lingkungan Pesantren yang masih
banyak pepohonan. Meskipun terletak di jantung kota Medan, akan tetapi
Pesantren ini mampu mendesain lingkungan didalam Pesantren sehingga
menjadi lingkungan yang asri dan menyenangkan sebagai tempat belajar.
Banyaknya pepohonan yang rindang dan tempat-tempat duduk santai kerap
digunakan oleh santri sebagai media belajar, sehingga mereka tidak jenuh
dengan hanya suasana belajar dikelas, akan tetapi dapat dekembangkan
dengan belajar diluar kelas. Seluruh Ustadz Pesantren Al-Kautsar Al-
Akbar mempunyai kualifikasi pendidikan Strata 1 (sarjana), bahkan ada 5
orang Ustadz dan Ustadzah yang memiliki kualifikasi Strata 2 (magister).
Sedangkan akses terhadap teknologi mudah serta budaya kerja di Pesantren
Al-Kautsar Al-Akbar sangat positif.
b. Kelemahan (Weakness)
Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar hanya dikelola dari dana pribadi Pimpinan
Pesantren yaiutu Syeh Ali Akbar Marbun, sehingga Pesantren ini hanya
memiliki manajemen tunggal (Apa kata dawuh Kyai). Dan hal ini merupakan
kelemahan yang cukup signifikan sehingga mengakibatkan tidak adanya
distribusi kerja yang pasti dan terarah.
c. Peluang (Opportunity)
Lingkungan belajar yang masih banyak pepohonan dan bebas dari pencemaran
suara dan udara menjadikan lokasi Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar yang
tenang dan kondusif sebagai tempat belajar. Hal ini menjadi peluang bagi
peningkatan model pembelajaran di Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar Medan.
Para pendidik memiliki peluang untuk memberdayakan Pesantren karena
didukung oleh kondisi ustadz/ustadzah yang mencapai 85% sudah
tersertifikasi.Misi Pesantren yang berorientasi peningkatan kualitas
program pembelajaran. Jaringan Pesantren yang sudah cukup berkembang dan
meluas. Hal ini dibuktikan dengan seringnya Pesantren Al-Kautsar Al-
Akbar Medan menjadi tempat kunjungan bagi Pejabat dan tokoh serta ulama'
luar Negeri
d. Ancaman (Threat)
Saat ini telah banyak berdiri pesantren-pesantren di Kota Medan, selain
itu juga banyak terdapat sekolah-sekolah Islam yang menawarkan program
terintegrasi, yaitu kecakapan agama dan kecakapan umum. Sehingga
memberikan ancaman kepada Pesantren Al-Kautsar dengan semakin
berkurangnya jumlah santriwan/wati yang masuk.
Perkembangan teknologi dan informasi terutama handphone dan internet
dapat menjadi ancaman. Teknologi handphone yang terus berkembang dan warnet-
warnet yang menjamur terutama di kota menawarkan pornografi dan facebook
dengan murah. Untuk mengantisipasi hal ini, maka Pesantren Al-Kautsar Al-
Akbar menerapkan sistem tidak diperbolehkan membawa HP dan alat elektronik
lainnya ke dalam lingkungan Pesantren. Meskipun demikian perkembangan
teknologi dan informasi menjadi ancaman yang amat serius bagi perkembangan
pendidikan di Pesantren ini.
13. Contoh Implementasi Balanced Scorecard (BSC) dalam Lembaga Pendidikan
Islam
Balanced Score Card (BSC) merupakan metode pengukuran kinerja dengan
pencatatan skor multidimensional. Terdapat empat dimensi pokok penilaian
BSC yaitu: Keuangan, Pelanggan, Proses Internal, dan Inovasi.[41] Dalam
penjelasan ini penulis hanya akan mengambil satu dimensi dari empat dimensi
pokok BSC sebagaimana yang dikemukakan Gaspersz, dimensi yang akan
dijelaskan dengan contoh adalah Dimensi Pelanggan.
Pelanggan adalah aset perusahaan yang tersembunyi dan tidak nampak
dalam laporan keuangan namun merupakan kekuatan dan sumber daya
organisasi.[42] Beberapa pengukuran pelanggan yang dapat dilakukan dalam
BSC yaitu: Pangsa pasar, Retensi pelanggan, Pelanggan baru, Kepuasan
pelanggan, dan Keuntungan pelanggan.
Balanced Score Card (BSC) dilihat dari Komponen Pelanggan di UIN Sumatera
Utara
Dalam menjalankan pengukuran kinerja dengan BSC salah satu yang
dilakukan oleh UIN SU adalah dengan mengukur kinerja melalui perspektif
konsumen (mahasiswa). Pengukuran kinerja dari perspektif mahasiswa ini
dianggap penting karena akan memperlihatkan kepuasan secara objektif begitu
juga kekurangan yang ada di UIN SU.
Jika dilihat dalam tabel, maka laporan kineraj dalam komponen
pelanggan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 3
Ukuran Kinerja di UIN Sumatera Utara dalam Perspektif Pelanggan (Mahasiswa)
"Kelompok dan Jenis Ukuran "Cara Mengukur "
"Kegunaan bagi pelanggan " "
"(mahasiswa) " "
"Jumlah mahasiswa yang mendaftar"Dari data statistik "
"tiap program studi "Dari data statistik "
"Jumlah keseluruhan mahasiswa "Dari data penelitian pangsa "
"tiap program studi "pasar "
"Pangsa pasar " "
"Mutu jasa yang ditawarkan " "
"Akreditasi program studi "Dari penilaian BAN PT atau badan"
"Rata-rata IPK mahasiswa baru "lain "
"Rata-rata IPK mahasiswa lama "Dari data statistik "
"Peringkat universitas "Dari data statistik "
" "Hasil penelitian khusus "
"Harga jasa yang ditawarkan " "
"Uang kuliah "Data statistik "
"Biaya rata-rata mahasiswa "Data statistik "
"pertahun "Data dari acuan beberapa "
"Benchmark "universitas sebagai patok duga "
"Waktu pemberian jasa " "
"Rata-rata penyelesaian studi "Perhitungan biasa dan data "
"pada masing-masing fakultas "statistik "
"Kesan dan reputasi " "
"Identitas brand "Penelitian mengenai brand "
"Jumlah pendaftar keseluruhan "Perhitungan dan data statistik "
"Rasio jumlah diterima dan "Perhitungan dan jumlah statistik"
"jumlah pendaftar " "
"Hubungan Pelanggan " "
"Kepuasan mahasiswa "Penelitian kepuasan mahasiswa "
"Kepuasan alumni "Penelitian kepuasan alumni "
"Kepuasan pengguna lulusan "Penelitian kepuasan pengguna "
"Kunjungan calon mahasiswa "lulusan "
"Jumlah dan anggaran iklan "Perhitungan statistik "
" "Data anggaran iklan "
Poin-poin dari komponen pelanggan (mahasiswa) tersebut telah
diterapkan oleh UIN Sumatera Utara ketika masih berbentuk IAIN Sumatera
Utara. Berdasarkan poin-poin dalam tabel di atas UIN SU melakukan
pengukuran kinerja khususnya komponen pelanggan. Setelah terisi data-data
empiris maka poin-poin tersebut akan dianalisis sejauhmana kinerja
pelanggan UIN SU.
14. a. Persamaan Quality Assurance dan Total Quality Management
Quality Assurance (QA) adalah kumpulan aktivitas yang bertujuan untuk
memastikan proses pengembangan suatu produk berjalan dengan baik, apakah
itu sebuah produk perangkat lunak maupun produk lainnya.
Pemastian Mutu (Quality Assurance) adalah seluruh tindakan sistematis
dan terencana yang diperlukan agar terjadi kepastian dan kepercayaan
terhadap mutu produk/jasa yang diberikan. Aktivitasnya mencakup kegiatan
proses, baik internal maupun eksternal termasuk merumuskan kebutuhan
pelanggan. Maksud dari Quality assurance ini adalah mengidentifikasi
kemajuan dari kualitas. Quality assurance mengevaluasi cost dari proyek
secara keseluruhan secara teratur untuk menetapkan anggaran yang keluar
relevan dan sesuai dengan standar kualitas.
QA berfokus pada upaya pencegahan terjadinya kesalahan pada proses
pengembangan produk. QA bertujuan untuk meningkatkan proses pengembangan
dan testing agar tidak terjadi kesalahan selama produk dikembangkan.
Total Quality Management (TQM) merupakan suatu cara meningkatkan
performansi secara terus menerus pada setiap level operasi atau proses,
dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan
semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia.[43] Dapat dilihat
persamaan QA dengan TQM terletak pada visi dan misi terhadap kualitas.
Menurut Bill Creech, Produk adalah titik pusat untuk tujuan dan
pencapaian organisasi. Mutu dalam produk tidak mungkin ada tanpa mutu di
dalam proses. Mutu di dalam proses tidak mungkin ada tanpa organisasi yang
tepat. Organisasi yang tepat tidak ada artinya tanpa pemimpin yang memadai.
Komitmen yang kuat dari bawah ke atas merupakan pilar pendukung bagi semua
yang lain. setiap pilar tergantung pada pilar yang lainnya , dan kalau
salah satu lemah sendirinya yang lain akan lemah.
Satu kata kunci persamaan anatara QA an TQM adalah sama-sama
berkomitmen dan bekerja untuk menjamin dan meningkatkan kualitas.
b. Perbedaan Quality Assurance dan Total Quality Management
Manajemen mutu terpadu merupakan salah satu strategi manajemen untuk
menjawab tantangan eksternal suatu organisasi guna memenuhi kepuasan atau
harapan pelanggan. Dengan demikian, mutu adalah mencapai keinginan
pelanggan, atau cocok dengan tujuan, dan menyenangkan keinginan pelanggan
Dengan begitu, suatu mutu dicirikan, dengan konsep bahwa mutu adalah
pemenuhan harapan pelanggan, mutu diaplikasikan atas produk, pelayanan,
orang, proses, dan lingkungan, kualitas merupakan satu pernyataan perubahan
yang terjadi.
Manajemen mutu (Quality Management) atau manajemen kualitas terpadu
(Total Quality management = TQM) didefinisikan sebagai satu cara
meningkatkan kinerja secara terus menerus (continuously performance
improvement) pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap area
fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan semua sumberdaya
manusia dan modal yang tersedia.
Manajemen mutu terpadu merupakan proses peningkatan mutu secara utuh.
Lebih lanjut dijelaskan Gasperz bila prosesnya dilakukan secara mandiri
maka manajemen mutu terpadu, mencakup tiga tahap peningkatan mutu secara
berkelanjutan, yaitu: (1) perhatian penuh kepada pelanggan, baik pelanggan
internal maupun eksternal, (2) pembinaan proses, dan (3) keterlibatan
total. Dengan begitu dipahami bahwa peningkatan mutu (quality improvement)
adalah tindakan-tindakan yang diambil guna meningkatkan nilai produk untuk
pelanggan melalui peningkatan efektivitas dan efisiensi dari proses dan
aktivitas melalui struktur organisasi.
Menurut Caffee dan Sherr bahwa manajemen mutu terpadu adalah suatu
filosofi komprehensif tentang kehidupan dan kegiatan organisasi yang
menekankan perbaikan berkelanjutan sebagai tujuan fundamental untuk
meningkatkan mutu, produktivitas, dan mengurangi pembiayaan. Adapun istilah
yang bersamaan makna-nya dengan TQM adalah continous quality improvement
(CQI) atau perbaikan mutu berkelanjutan".
TQM memfokuskan proses atau sistem pencapaian tujuan organisasi. Dengan
dimulai dari proses perbaikan mutu, TQM diharapkan dapat mengurangi
kesalahan dalam menghasilkan produk, karena produk yang baik adalah harapan
para pelanggan. Rancangan produk diproses sesuai dengan prosedur dan teknik
untuk mencapai harapan pelanggan. Penggunaan metode ilmiah dalam
menganalisis data diperlukan sekali untuk menyelesaikan masalah dalam
peningkatan mutu. Partisipasi semua pegawai digerakkan agar mereka memiliki
motivasi dan kinerja tinggi dalam mencapai tujuan kepuasan pelanggan.
Berkenaan dengan makna mutu terpadu ini, Lewis dan Smith dalam
buku Total Quality in Higher Education, mengemukakan bahwa mutu terpadu
(total quality) dimaknai dalam cakupan tiga pengertian, yaitu: mencakup
semua proses (every process), mencakup setiap pekerjaan (every job), dan
setiap orang (every person). Terpadu dalam setiap proses berarti tidak
sekadar produksi. Proses juga tercakup dalam keterpaduan, dimulai dari
rancangan, konstruksi, penelitian dan pengembangan, keuangan, pemasaran,
perbaikan, dan fungsi lain harus terlibat di dalamnya". Demikian pula
halnya bahwa makna "terpadu" dalam setiap bidang pekerjaan mencakup
pembuatan produk.
Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas maka dapat dilihat bahwa
letak perbedaan QA dan TQM ada pada cara bekerja untuk kualitas. QA lebih
pada bentuk departemen yang bekerja untuk memeriksa kualitas. Sedangkan TQM
lebih kepada penekanan terhadap internalisasi budaya kualitas yang
diterapkan di organisasi.
c. Contoh Implementasi TQM di Lembaga Pendidikan Islam
Tabel 5
Paradigma Baru dan Paradigma Lama dalam Implementasi Total Quality
Management di Perguruan Tinggi Keislaman
"Paradigma Baru "Paradigma Lama "
"Mahasiswa menerima hasil ujian,"Hasil ujian tidak digunakan "
"pembimbingan, dan nasehat agara"sebagai informasi untuk "
"membuat pilihan-pilihan yang "memberikan bimbingan dan "
"sesuai "nasehat kepada mahasiswa "
"Mahasiswa diperlakukan sebagai "Mahasiswa tidak diperlakukan "
"pelanggan "sebagai pelanggan "
"Keluhan mahasiswa ditangani "Keluhan mahasiswa ditangani "
"secara cepat dan efisien "dalam bentuk defensif dan "
" "dengan cara negatif "
"Terdapat sistem saran aktif "Mahasiswa tidak didorong untuk "
"dari mahasiswa "memberikan saran atau keluhan "
"Setiap departemen pelayanan "Staf departemen pelayanan tidak"
"menetapkan kepuasan pelanggan "memperlakukan karyawan lain dan"
"sesuai kebutuhan "atau mahasiswa sebagai "
" "pelanggan "
"Terdapat rencana tindak lanjut "Tidak ada sistem tindak lanjut "
"untuk penempatan lulusan dan "yang cukup atau tepat untuk "
"peningkatan pekerjaan "mahasiswa dan alumni "
"Mahasiswa diperlakukan dengan "Mahasiswa dipandang sebagai "
"sopan, rasa hormat, akrab dan "inferior, tidak diperlakukan "
"penuh pertimbangan "dengan rasa hormat, cara yang "
" "akrab dan penuh pertimbangan "
"Fokus manajemen pada "Fokus manajemen pada pengawasan"
"keterampilan kepemimpinan "karyawan, sistem, dan "
"kualitas "operasional "
"Manajemen secara aktif "Banyak keputusan manajemen yang"
"mempromosikan kerjasama dan "dibuat tanpa masukkan informasi"
"solusi masalah dalam unit kerja"dari karyawan dan mahasiswa "
"Sistem informasi memberikan "Sistem informasi usang dan "
"laporan yang berguna untuk "tidak membantu manajemen sistem"
"membantu manajemen dan dosen "kualitas "
"Staf administrasi "Staf administrasi kurang "
"bertanggungjawab dan siap "memiliki tanggungjawab dan "
"memberikan pelayanan dengan "kesiapan untuk memberikan "
"cara yang mudah dan cepat guna "pelayanan yang sesuai dengan "
"memenuhi kebutuhan mahasiswa "kebutuhan mahasiswa "
Berdasarkan tabel di atas, maka lembaga pendidikan tinggi Islam yang
telah menjalankan poin-poin Paradigma Baru, maka lembaga tersebut sedang
menuju kepada TQM.
Perguruan tinggi merupakan sub sistem pendidikan nasional. Fakultas
beserta komponen pendidikan di dalamnya adalah subsistem perguruan tinggi.
Menurut Barnett perguruan tinggi dalam pendekatan kontemporer memiliki
peran : (1) menghasilkan tenaga kerja berkualitas, (2) memberikan latihan
bagi karir tenaga pelatihan level tinggi, (3) sebagai pelaksana manajemen
yang efisien dalam pembelajaran, (4) sebagai perluasan kesempatan hidup".
Dengan memperoleh pendidikan tinggi maka seseorang mampu mengembangkan
otonomi individu, membentuk integritas dan kapasitas intelektual tingkat
tinggi. Dalam kesempatan yang sama pembentukan kemampuan intelektualitas
individu diperoleh dari kebudayaan generasi terdahulu untuk dikembangkan
sesuai tuntutan zaman secara antisipatif. Melalui pendidikan tinggi, maka
mahasiswa mengalami peningkatan karakter individu, pengembangan kompetensi
untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa.
Seluruh komponen PT perlu diberdayakan untuk mengoptimalkan fungsi
perguruan tinggi sebagai wahana strategis pengembangan sumber daya manusia
(SDM). Berbagai tuntutan kebutuhan tenaga ahli, ilmuan dan profesional di
masyarakat menjadi tanggung jawab perguruan tinggi. Perhatian dan dukungan
terhadap pelaksanaan berbagai kegiatan akademik di fakultas/jurusan
/program studi seyogiyanya tidak boleh asal jadi, terbelit rutinitas saja,
rasa tanggung jawab rendah yang secara kumulatif menyebabkan kelambanan
dalam penyelesaian tugas dan kinerja institusi.
Menurut Goetsh Ada beberapa langkah aplikasi manajemen peningkatan mutu
pada perguruan tinggi, yaitu: (1) Membentuk tim pengembang institusi, (2)
Menyiapkan rencana strategis atau rencana pengembangan peningkatan mutu
jangka panjang, (3) melaksanakan pelatihan manajemen mutu untuk mengubah
cara pandang dan budaya mut, (4) menyiapkan instrumen/perangkat/teknik
pencapaian mutu". Dengan meminjam langkah Deming, ada lima hal yang
diperhatikan, yaitu: (1) membuat rencana, (2) melaksanakan rencana dengan
konsisten, (3) Memeriksa pelaksanaan rencana, (4) Melaksanakan kembali
rencana yang dibenahi, (5) melakukan analisis atas pelaksanaan program dan
hasil yang dicapai.
Sedangkan Lewis dan Smith mengemuakan bahwa paling tidak ada dua
pendekatan tradisional terhadap jaminan mutu perguruan tinggi, yaitu :
akreditasi, dan jaminan kualitas keluaran. Akreditasi fokus terhadap input
lembaga seperti prestasi mahasiswa, tingkatan fakultas, fasilitas, dan
sumberdaya fisik (seperti perpustakaan). Asumsi dasar pendekatan ini adalah
jika kualitas masukan tinggi, maka hasil kualitas keluaran juga akan
tinggi. Pendekatan ini menuntut penyediaan data terhadap sistem institusi,
jika sedikit maka sukar meramalkan apa yang terjadi. Ketidakpuasan atas
fokus masukan mengarah kepada munculnya gerakan penilaian hasil yang
menekankan pentingnya evaluasi, hasil pendidikan tinggi, seperti prestasi
mahasiswa, pendidikan lanjutan dan peluang pekerjaan.
Adapun jargon utama yang mendasari falsafah manajemen mutu terpadu
terfokus pada pernyataan "Do the right things, first time, every time"
(kerjakan sesuatu yang benar sejak pertama kali, setiap waktu). Namun
secara terinci, Dr. W. Edward Demings,[44] meletakkan kerangka pemikiran
dalam perbaikan mutu secara berkelanjutan yang terdiri dari hal-hal
berikut.
1. Reaksi berantai untuk perbaikan kualitas. Reaksi berantai
tersebut menyatakan bahwa perbaikan kualitas akan meningkatkan
kepuasan pelanggan dalam hal produk dan jasa yang sekaligus akan
mengurangi biaya produksi.
2. Transformasi organisasi. Di sini kemampuan untuk mencapai
perbaikan yang penting dan berkelanjutan menuntut perubahan dalam
nilai-nilai yang dianut.
3. Peran esensial pimpinan. Setiap upaya perbaikan yang tidak
didukung secara aktif oleh pimpinan, komitmen, kreativitas, maka
lama-kelamaan akan hilang.
4. Hindari praktik-praktik manajemen yang merugikan Setiap keputusan
yang didasarkan pada pandangan jangka pendek, sempit dan terkotak-
kotak, akhirnya akan merugikan organisasi. Beberapa contoh pandangan
tersebut adalah:
a) tidak terdapat tujuan yang tetap (constancy of purpose), yaitu
tujuan menuju perbaikan kualitas demi kelangsung-an hidup dan
perkembangan organisasi,
b) hanya memikirkan keuntungan jangka pendek, dan
c) sering berganti-ganti kegiatan.
5. Penerapan system of profound knowledge
Penerapan sistem tersebut meliputi penerapan empat disiplin berikut.
a) Orientasi pada sistem (system oriented)
Orientasi ini meliputi fokus pada kinerja (performance) total
organisasi. Bukan hanya memusatkan perhatian pada usaha
memaksimalkan hasil komponen organisasi tertentu secara parsial,
akan tetapi harus keseluruhan organisasi.
b) Teori variasi
Pengertian atas variasi data akan dapat membantu pengambil
keputusan untuk mengetahui kapan harus melakukan perubahan-
perubahan dalam suatu sistem guna memperbaiki kinerja, dan
mengetahui kapan perubahan-perubahan yang dibuat dapat
memperburuk kinerja.
c) Teori pengetahuan
Penguasaan teori pengetahuan akan membantu kita untuk
mengembangkan dan menguji hipotesis (praduga) guna memperbaiki
kinerja organisasi. Jadi, teori pengetahuan akan membantu kita
untuk mengetahui:
1. apa yang dikehendaki oleh pelanggan (customer),
2. seberapa jauh organisasi dapat memenuhi kebutuhan dan harapan
pelanggan,
3. faktor-faktor penting apa yang mempengaruhi kualitas,
4. apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kualitas,
5. apakah pelanggan mengetahui perubahan yang terjadi mengenai
kinerja organisasi, dan
6. apa kebutuhan dan harapan baru para pelanggan.
d) Psikologi
Perlu dikembangkan kecakapan untuk mengerti dan menerapkan
konsep-konsep yang berkaitan dengan perbedaan individu dalam
organisasi, dinamika kelompok, proses belajar dan proses
perubahan guna mencapai perbaikan kualitas.
BAHAN BACAAN
Ay'arie, Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur'an, Yogyakarta:
LESFI. 1992.
Bagir, Abidin, Zainal, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi.
Yogyakarta: Suka Press dan Mizan, 2005.
Borich, D. Gary, The Appraisal Teaching: Concepts and Process. New York:
Wesley Publihing Company, 1978.
Bryson, B. John, Strategic Planning for Public and Nonprofit Organizations.
San Fransisco: Jossey Bass, 1995.
Burnham West, John dan Bradburry, Ingrid, Performance Management Manual:
creating a culture for sustainable high performance. Britain: Pearson
Education Limited, 2003.
Casteter,B. William, Personnel Function in Educational Administration,
Third Edition. London, Macmillan Publishing Co.Inc.
Dessler, Gary, Managing Organization: In An Era of Change. Foth Worth: The
Dryden Press. 1995.
Enoch, Jusuf, Dasar-Dasar Perencanaan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
1995
Firman dan Martin, Perencanaan dan Evaluasi, Cet III. Jakarta: Bumi Aksara,
1990
Gaspersz, Vincent, Total Quality Management. Jakarta: Gramedia, 2003.
Gibson, Manajemen (Edisi Ksembilan Jilid 1). Jakarta: Erlangga, 1997
Handoko, T. Hani, Manajemen Edisi 2. Yogyakarta: BPFE, 2003
Handjosoedarmo, Soewarso. Total Quality Management, Yogyakarta: Andi, 1996.
Indrajit, R. Eko dan Djokopranoto, R, Manajemen Perguruan Tinggi Modern.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990
Majid, Abdul, Perencanaan Pembelajaran. Bandung : Remaja Rosda Karya, 2007
Mangkunegara, AA. Awar, Prabu, Perilaku dan Budaya Organisasi (Bandung:
Refika Aditama, 2005.
Muhaimin, Dimensi-dimensi Studi Islam, Surabaya: Karya Abditama, 1994
Nata, Abudin, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam
di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.
Nizar, Samsul (ed.), Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan
Islam di Nusantara. Jakarta: Kencana, 2013.
Pearce II A. John dan Richard B. Robinson, Jr, Strategic Management:
Strategy Formulation and Implementation. Illinois, 1982.
Peterson, D. Kent, at issue Culture: Positive or Negative. National Staff
Development Council: JSD Summer, 2002.
Robbins, P. Stephen, Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi, alih
bahasa Jusuf Udaya. Jakarta: Penerbit Arcan, 1990.
Robbins, P. Stephen dan Coulter, Mary, Management. New jersey: Prentice
Hall, 2012.
Rohiat, Manajemen Sekolah: Teori Dasar dan Praktik (dilengkapi dengan
contoh rencana strategis dan rencana operasional). Bandung: Refika Aditama,
2009
Sallis, Edward, Total Qualitu Management in Education. London: Kogan Page,
1993.
Sergiovani, J. Thomas dan Starrat, Robert. Supervision: A Redefinition. New
York: McGraw Hill Companies, 2002.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan.
Soebahar, Abd. Halim. Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru
sampai UU Sisdiknas . Jakarta: RajaGrafindo, 2013.
Sule. Trisnawati Ernie dan Saefullah, Kurniawan, Pengantar Manajemen.
Jakarta: Kencana, 2008.
Steiner, A.George dan Miner, B. John, Management Policy and Strategy. New
York: Macmillan, 1997
Stolp, Stephen. Leadership for School Culture. ERIC Clearinghouse on
Educational.
-----------------------
[1] Gibson dkk, Manajemen (Edisi Ksembilan Jilid 1), (Jakarta: Erlangga,
1997), hlm. 5.
[2] Peter F. Drucker dalam Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah,
Pengantar Manajemen, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 7.
[3] Jusuf Enoch (Dasar-Dasar Perencanaan Pendidikan, (Jakarta: Bumi
Aksara. 1995), hlm. 33.
[4] Gary Dessler, Managing Organization: In An Era of Change, (Foth Worth:
The Dryden Press. 1995), hlm. 57.
[5] Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran, (Bandung : Remaja Rosda Karya,
2007), hlm. 58.
[6] Firman dan Martin, Perencanaan dan Evaluasi, Cet III ( Jakarta: Bumi
Aksara, 1990).
[7] Rohiat, Manajemen Sekolah: Teori Dasar dan Praktik (dilengkapi dengan
contoh rencana strategis dan rencana operasional), (Bandung: Refika
Aditama, 2009),hlm. 65.
[8] R. Eko Indrajit dan R. Djokopranoto, Manajemen Perguruan Tinggi Modern,
(Yogyakarta: Penerbit Andi, 2006), hlm. 99-100.
[9] Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru
sampai UU Sisdiknas (Jakarta: RajaGrafindo, 2013), hlm.182.
[10] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan
Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 64.
[11] Wisnarni, Pembaruan Sistem Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia:
Telaah Konversi IAIN ke UIN, dalam Samsul Nizar (ed.), Sejarah Sosial dan
Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara (Jakarta: Kencana,
2013), hlm.352-353.
[12] Perta, Vol.II,no.1 Tahun 1998, hlm.75 sebagaimana dalam Zulfa Ahmad,
Reformasi Pendidikan Tinggi Islam melalui Reformasi Kelembagaan, dalam
M.Natsir Luts, Reformulasi, hlm.171.
[13] Ahmad Harris, Paradigma Wider Mandate dan Perubahan IAIN menjadi UIN
(Universitas Islam Negeri): Kasus IAIN STS Jambi, dalam M.Natsir Luts,
Reformulasi, hlm.106.
[14] Wider Mandate atau "Mandat yang diperluas" adalah istlah yang
dikembangkan oleh Departemen Agama dan Depertemen Pendidikan Nasional untuk
menyatakan pemberian kewenangan yang diperluas bagi IAIN/STAIN guna
mengembangkan institusinya dari kondisi yang ada (sekarang).
[15] Dalam artikel berjudul Kedudukan IAIN sebagai Perguruan Tinggi, dalam
Komaruddin Hidayat, Problematika, hlm. 69.
[16] Perubahan IAIN Sunan Kalijaga menjadi UIN Sunan Kalijaga
ditandatangani dalam Keputusan Bersama Mentri Pendidikan dan Mentri Agama
Republik Indonesia Nomor: 1/0/SKB/2004; Nomor: ND/B.V/I/Hk.00.1/058/04
tentang Perubahan Bentuk Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga menjadi
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ditandatangani di
Departemen Pendidikan Nasional Jakarta pada tanggal 23 Januari 2004.
Menurut Amin Abdullah dalam "Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN
Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah Integratif
Interdisciplinary, dalam Zainal Abidin Bagir,dkk, Integrasi Ilmu dan Agama:
Interpretasi dan Aksi, (Yogyakarta: Suka Press dan Mizan, 2005), hlm,235,
bahwa proses perubahan melalui proses panjang, yang dimulai dari tahun
akademik 1997/1998 bersamaan dengan IAIN Jakarta. Namun IAIN Jakarta lebih
dahulu menjadi UIN Syarief Hidayatullah Jakarta dengan turunnya Keppres
pada tanggal 20 Mei 2002.
[17] Surat Mentri Pendidikan Nasional yang ditujukan kepada Mentri Agama
Republik Indonesia tanggal 23 Januari 2004 sebagaimana dikutip dalam M.Amin
Abdullah, Desain, hlm.238.
[18] Nur Ahmad Fadhil Lubis, Mengembangkan., hlm.41. Jika merujuk
pernyataan yang disampaikan Nur Ahmad Fadhil Lubis yang merupakan inisiator
IAIN Sumatera Utara untuk menjadi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
gagasan ini telah lama disampaikannya. Namun visi intelektual tersebut baru
terwujud pada tahun 2015 dengan perubahan IAIN SU menjadi UIN SU.
[19] T. Hani Handoko, Manajemen Edisi 2 (Yogyakarta: BPFE, 2003), hlm. 85.
[20] John B. Bryson, Strategic Planning for Public and Nonprofit
Organizations, (San Fransisco: Jossey Bass, 1995)
[21] George A. Steiner dan John B. Miner, Management Policy and
Strategy,(New York: Macmillan, 1997), hlm. 7.
[22] T. Handi Handoko, Manajemen, hlm. 92.
[23] Bernard Taylor, Strategics for Planning: Long Range Planning 8 n0. 4
Agustus 1975, hlm.8.
[24] John A. Pearce II dan Richard B. Robinson, Jr, Strategic Management:
Strategy Formulation and Implementation, (Illinois, 1982)
[25] Bryson, Strategic Planning, hlm. 22-27.
[26]John West-Burnham dan Ingrid Bradburry, Performance Management Manual:
creating a culture for sustainable high performance, (Britain: Pearson
Education Limited, 2003) , hlm. 3.
[27] John West-Burnham dan Ingrid Bradburry, Performance,hlm. 3.
[28] John West-Burnham dan Ingrid Bradburry, Performance,hlm. 3.
[29] David Garvin dalam Vincent Gaspersz, TQM, hlm. 37-38.
[30] William B. Casteter, Personnel Function in Educational Administration,
Third Edition (London, Macmillan Publishing Co.Inc) ,hlm. 216.
[31] William B. Casteter, Personnel Function, hlm. 230.
[32] Gary D. Borich, The Appraisal Teaching: Concepts and Process (New
York: Wesley Publihing Company, 1978), hlm. 33.
44 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta,
1990, hlm. 186.
45 Peterson, D, Kent, at issue Culture: Positive or Negative. National
Staff Development Council: JSD Summer, 2002
46 Stephen Stolp , Leadership for School Culture. ERIC Clearinghouse on
Educational
47 Thomas J. Sergiovani dan Robert Starrat, Supervision: A Redefinition.
New York: McGraw Hill Companies, 2002, hal.126
48 Ibid, hal.319
[33] Stephen P. Robbins, Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi,
alih bahasa Jusuf Udaya (Jakarta: Penerbit Arcan, 1990), hlm. 479.
37 Muhaimin, dkk, Dimensi-dimensi Studi Islam, Surabaya: Karya Abditama,
1994, hlm 306
38M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan,
39 Musa Ay'arie, 1992, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur'an,
Yogyakarta: LESFI, hlm. 98
41 Asy'arie, Budaya., hlm.105
42 Asy'arie, Budaya., hlm. 109
43 Asy'arie, Budaya., hlm. 109
50 Sergiovanni, Supervision., hlm.320
51 Sergiovanni, Supervision., hlm. 320
52 Sergiovanni, Supervision., hlm. 320
53 Sergiovanni, Op.cit., hal.320
54 Komariah, hlm. 104
55 Ibid, hal. 104
[34] Stephen P. Robbins, Teori Organisasi ,hlm. 483.
[35] AA. Anwar Prabu Mangkunegara, Perilaku dan Budaya Organisasi (Bandung:
Refika Aditama, 2005), hlm. 126.
[36] T. Hani Handoko, Manajemen, hlm. 25.
[37] Stephen P. Robbins dan Mary Coulter, Management, (New jersey: Prentice
Hall, 2012), hlm. 555.
[38] T. Hani Handoko, Manajemen, hlm. 7.
[39] T. Hani Handoko, Manajemen,hlm. 26.
[40] T. Hani Handoko, Manajemen,hlm. 373.
[41] Vincent Gaspersz, TQM, hlm. 116.
[42] Vincent Gaspersz, TQM, hlm. 122.
[43] Vincent Gaspersz, Total Quality Management (Jakarta: Gramedia, 2003),
hlm. 5-6.
[44] Seorang ahli statistik Amerika dan Doktor dalam bidang ilmu flsika.
Demings lahir tahun 1900 dan meninggal tahun 1993. Sebagai seorang
teoritisi, manajemen pengaruhnya baru terasa belakangan di Barat, meskipun
di Jepang telah dimulai sejak tahun 1950-an. Lihat lebih lanjut Soewarso
Handjosoedarmo, Total Quality Management, Yogyakarta: Andi, 1996, hlm. 7.