Mendulan g Pahala di jja i ja ulh jj jah j zu Bulan D z
DAPATKAN
DAFTAR SEKARANG
TEMPAT TERBATAS
.
. :
.
Kita memuji dan bersyukur kepada Allah atas nikmat iman dan Islam. Kita memohon kepada Allah agar senantiasa membimbing kita menuju jalan yang lurus. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah, Muhammad, shallallahu alaihi wa sallam, juga kepada keluarga, sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman. Risalah kecil ini saya susun untuk membantu kita dalam meraih dan mendulang pahala sebanyak-banyaknya di bulan Dzulhijjah yang akan kita masuki. Selain itu, dengan tulisan ini saya berharap pengetahuan kita tentang kurban bertambah. Setelah itu, kita bisa mengedukasi kerabat dan sahabat kita tentang hukum seputar korban dalam pandangan fiqih Islam. Di dalam risalah kecil ini saya himpun bahasan-bahasan yang populer di masyarakat. Kesemua bahasan disimpulkan dari al-Quran, as-Sunnah, atsar, dan pendapat ulama di kitab-kitab primer. Dalam penulisan ini saya merujuk ke dua referensi, yaitu Lathaaif al-Ma’aarif, karya Ibnu Rajab alHanbali rahimahullah dan Tanwiir al-‘Ainain, karya Syaikh Abul Hasan alMa’ribi hafizhahullah. Sebagai penutup saya memohon kepada Allah agar risalah kecil ini memberi manfaat kepada saya pribadi dan kepada para pembaca.
1
Allah berikan keutamaan pada hamba, tempat, dan waktu tertentu. Pada para nabi, para rasul, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh Allah beri keutamaan. Pada Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha Allah pun beri keutamaan. Demikian pula, pada bulan Ramadan yang telah kita lalui dan bulan Dzulhijjah yang akan kita temui Allah beri keutamaan. Sepuluh hari pertama Dzulhijjah memiliki sejumlah keutamaan, di antaranya: 1. Amal saleh yang dilakukan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah paling Allah cintai dan paling mulia di sisi-Nya.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada hari yang mana amal saleh pada hari itu lebih Allah cintai daripada sepuluh hari (Dzulhijjah). Mereka bertanya; ‘Wahai Rasulullah, tidak pula berjihad di jalan Allah? Beliau berkata: ‘Tidak pula berjihad di jalan Allah, kecuali seorang laki-laki yang keluar ke medan perang dengan segenap jiwa dan hartanya kemudian dia kembali dalam keadaan syahid.” (HR. Al-Bukhari no. 969, Abu Daud no. 2438, at-Tirmidzi no. 757, dan Ibnu Majah no. 1727.)
Bahkan amal yang di hari biasa tidak lebih utama bila dikerjakan pada sepuluh hari Dzulhijjah pun menjadi utama. Karena itulah para sahabat bertanya; “Ya Rasulullah, tidak pula berjihad di jalan Allah?” Beliau pun menjawab; “Tidak pula berjihad di jalan Allah.”
2
Kemudian beliau memperkecualikan satu jihad yang paling utama. Beliau pernah ditanya; “Jihad apa yang paling utama?” Beliau menjawab; “Jihad yang sengit. Dalam jihad itu kuda perang dan prajurit berguguran. Mujahid di perang tersebut memiliki derajat yang paling utama di sisi Allah.” (HR. Abu Daud no. 1449, an-Nasai 5/58, dan at-Tirmidzi no. 758.) Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi bersabda:
“Tidak ada satu hari yang pahala dihari itu lebih besar di sisi Allah dan beramal di hari itu lebih dicintai di sisi Allah daripada sepuluh hari ini (10 hari pertama Dzulhijjah). Oleh sebab itu perbanyaklah bertahlil, bertakbir dan bertahmid.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 2/75 dan 2/131.) 2. Allah bersumpah dengan sepuluh hari pertama Dzulhijjah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: (2) Demi malam yang sepuluh (10 hari Dzulhijjah). (QS. Al-Fajr: 2)
Mayoritas ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Benda-benda yang Allah bersumpah dengannya menunjukkan keagungan benda itu. Allah bersumpah dengan serangkaian waktu, malam, shubuh, dluha, siang, dan seluruh waktu. Hal ini menunjukkan keagungan waktu di sisi Allah. Demikian pula, dalam pembahasan ini Allah bersumpah dengan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Hal ini menunjukkan keagungannya di sisi Allah. 3. Sepuluh hari pertama Dzulhijjah termasuk di antara empat puluh hari yang dijanjikan Allah kepada Musa.
3
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
(142) Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. (QS. Al-A’raf: 142)
Abdur Razzaq rahimahullah meriwayatkan dari Mujahid bahwasanya dia berkata; “Tidak ada amalan yang dikerjakan di hari-hari setahun yang melebihi keutamaan amalan yang dikerjakan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Itulah sepuluh hari yang Allah sempurnakan bagi Musa alaihis salam.” (HR. Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf 4/375.) 4. Sepuluh hari pertama Dzulhijjah merupakan hari yang disyariatkan Allah untuk senantiasa memperbanyak zikir.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
(27) (28 ) Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS. Al-Hajj: 27-28)
4
Mayoritas ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hari yang telah ditentukan adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Para pembaca yang budiman, inilah kesempatan berharga bagi kita untuk memperbanyak zikir kepada Allah. Tidak sepatutnya kita lewatkan kesempatan ini begitu saja. Karena relasi seorang hamba dengan zikir kepada Allah laksana relasi ikan dengan air. Tentunya ikan akan mati bila jauh dari air. Demikian pula, hati kita akan mati bila tidak mengingat Allah.
Di antara keutamaan hari Arafah: 1. Hari disempurnakannya agama dan kenikmatan.
Maksud dari agama disempurnakan adalah kaum Muslimin bisa melaksanakan haji sesuai syariat setelah turunnya QS. al-Maidah: 3, Allah kembalikan manasik haji sesuai syariat Ibrahim, serta Allah jauhkan kesyirikan dan para pengikutnya. Adapun maksud dari kenikmatan disempurnakan adalah Allah memberikan ampunan. Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu bahwasanya seorang Yahudi berkata kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin, ada sebuah ayat dalam kitab kalian sekiranya ia turun kepada kami, kami akan jadikan hari turunnya sebagai hari raya.” Umar bertanya: “Ayat apa?” Dia menjawab: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Umar berkata: “Sungguh aku ingat hari dan tempat turunnya ayat ini. Ayat ini turun saat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdiri di Arafah pada hari Jumat. (HR. Al-Bukhari no. 45, Muslim no. 3017, an-Nasai no. 8/114, dan ath-Thabari 9/524-525.) 2. Hari Arafah merupakan hari yang paling utama.
Diriwayatkan dari Jabir radliyallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
5
Hari yang paling utama adalah hari Arafah. (HR. Ibnu Hibban 6/26.) 3. Puasa Arafah dapat menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun mendatang.
Diriwayatkan dari Abu Qatadah radliyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Aku berharap kepada Allah bahwa puasa pada hari Arafah dapat menghapus dosa satu tahun sebelum dan sesudahnya. “ (HR. Muslim no. 1962.)
Adapun sabda beliau:
“Hari Arafah, Hari Kurban, dan tiga hari Tasyriq adalah hari raya kami, kaum muslimin. Hari-hari tersebut adalah hari-hari makan dan minum.” (HR. Abu Daud no. 2419, at-Tirmidzi no. 773, an-Nasai 5/252, dan Ahmad
4/152.) — diperuntukkan bagi mereka yang menjalankan ibadah haji. Mereka tidak disyariatkan puasa Arafah karena mereka adalah tamu Allah. Para pembaca yang budiman, jangan lupa lingkari tanggal yang bertepatan dengan hari Arafah. Setelah itu, kita bertekad untuk berpuasa di hari itu semata-mata mengharapkan ridla Allah subhanahu wa ta’ala. Jangan lupa ajak pula keluarga kita. 4. Hari dimana Allah banyak membebaskan hamba-Nya dari siksa neraka.
Diriwayatkan dari Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
6
“Tidak ada satu hari pun yang di hari itu Allah lebih banyak bebaskan hamba-Nya dari api neraka daripada hari Arafah. Sebab pada hari itu Dia turun kemudian membangga-banggakan mereka di depan para malaikat seraya berfirman: 'Apa yang mereka inginkan?’” (HR. Muslim no. 1348 dan an-Nasai 5/251-252.)
Para pembaca yang budiman, mari kita berdoa kepada Allah agar kita dan keluarga kita dijauhkan dari api neraka. 5. Hari Arafah hari dimana Allah mengampuni orang-orang yang mampu menjaga anggota badannya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai keponakanku, hari ini (Arafah) hari dimana orang yang mampu menguasai pendengaran, penglihatan, dan lisannya dia akan mendapatkan ampunan. (HR. Ahmad 1/329, al-Haitsami 3/251, dan ath-
Thabarani 18/289.) Para pembaca yang budiman, menjaga pendengaran, penglihatan, dan lisan untuk tidak bermaksiat tidak terbatas pada hari Arafah saja. Menghindarkannya dari kemaksiatan mesti senantiasa dilakukan, dimanapun dan kapanpun. Namun, Allah dengan kemurahan-Nya menjanjikan ampunan bagi kita tatkala kita bisa menjaganya untuk tidak bermaksiat di hari Arafah. 6. Pada hari Arafah Nabi
shallallahu alaihi wa sallam
berikut.
7
memperbanyak doa
Beliau bersabda:
“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah dan sebaik-baik apa yang aku dan para Nabi sebelumku baca adalah "LAA ILAAHA ILLALLAHU WAHDAHUU LAA SYARIIKALAHU LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WAHUWA 'ALAA KULLI SYAI'IN QADIIR (Tiada Ilah melainkan Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya lah segala kerajaan dan pujian dan Dialah Maha menguasai atas segala sesuatu).” (HR. At-Tirmidzi no. 3585.) 7. Hari yang disyariatkan takbir selepas shalat fardu. Lihatlah poin kedua keutamaan hari Tasyriq.
Di antara keutamaan hari raya Idul Adha: 1. Hari raya umat Islam.
Islam menetapkan tiga hari raya, yaitu hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Adha, dan hari Jumat. Ketiga hari raya ini disyariatkan untuk momen bersuka cita dan bersyukur setelah menjalankan serangkaian ibadah. Idul Fitri disyariatkan sebagai hari raya karena sebelumnya kaum muslimin menjalankan puasa Ramadan sebulan penuh. Idul Adha disyariatkan sebagai hari raya karena sebelumnya kaum muslimin memperbanyak zikir kepada Allah. Di samping itu, hari raya Idul Adha bagi para jemaah haji adalah hari dimana Allah melihat mereka dalam keadaan wukuf di Arafah dan hari dimana Allah mempersaksikan malaikat-Nya bahwa Allah mengampuni dosa-dosa mereka hingga mereka pun bersih dari dosa. Adapun hari Jumat disyariatkan sebagai hari raya karena pada hari itu Allah mengawali penciptaan, pada hari itu seluruh makhluk kembali kepada Allah, pada hari itu Adam alaihis salam diciptakan, pada hari itu
8
Adam diusir dari surga, dan turun ke bumi untuk memakmurkannya. Di samping itu, pada hari Jumat pula kelak kiamat terjadi. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radliyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tiba di Madinah. Saat itu penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang. Beliau pun bertanya; “Hari apa ini?” Mereka menjawab; “Sejak masa jahiliyah kami bersenangsenang pada hari raya ini.” Beliau pun bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan dua hari raya yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari raya Idul Adha dan hari raya Idul Fitri.” (HR. Abu Daud no. 1004.) 2. Pada hari raya disyariatkan shalat hari raya.
Shalat Idul Adha dan shalat Idul Fitri merupakan syiar Islam yang terbesar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman; “Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” Karena itulah, tidak diketahui bahwasanya ada satu negara Islam pun yang meninggalkan syiar agung ini. Bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para khulafaur rasyidin, dan kaum muslimin setelahnya senantiasa mendirikan shalat Idul Adha dan Idul Fitri. Tidak hanya itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sampai menyuruh kaum muslimat yang sedang haid untuk hadir menyaksikan pelaksanaan shalat Idul Adha dan Idul Fitri. Tambahan lagi, shalat Idul Adha dan shalat Idul Fitri dalam pandangan sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak berbeda dengan shalat Jumat. Di ketiga momen ini mereka semua senantiasa mendirikan shalat berjamaah bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Padahal di setiap perkampungan mereka terdapat masjid dan seorang imam. Hal ini menunjukkan bahwasanya shalat Idul Adha dan shalat Idul Fitri fardu. Di momen ini kita memiliki kesempatan luas untuk menjalankan amal saleh di samping amal saleh yang biasa kita kerjakan, di antaranya:
9
a.
Mandi sebelum menghadiri shalat Idul Adha. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam senantiasa mandi pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. (HR. Ibnu Majah 1/417/1315, Ibnu ‘Adiy 2/642, dan al-Baihaqi 3/278.) Syaikh Abul Hasan hafizhahullah menyatakan bahwa hadis-hadis tentang syariat mandi sebelum menghadiri shalat Idul Adha dan Idul Fitri, bila dikumpulkan seluruh jalur periwatannya, valid.
b. Mengenakan pakaian terbaik dan parfum. Diriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya Umar radliyallahu anhu membawa jubah sutera yang dijual di pasar kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dia berkata; “Wahai Rasulullah, belilah jubah ini agar Anda bisa memperbagus penampilan Anda saat hari raya dan saat menerima delegasi.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab; “Ini pakaian yang mereka kenakan dan kelak di akhirat mereka tidak akan memakainya.” (HR. AlBukhari no. 948 dan Muslim 2068.) Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengharamkan pakaian sutera. Namun, beliau tidak menyalahkan bahwasanya di hari raya disunahkan mengenakan pakaian terbaik. Dianjurkan mengenakan pakaian terbaik berwarna putih. Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub radliyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda; “Kenakanlah pakaian putih. Sebab lebih indah dan lebih bersih.” (HR. At-Tirmidzi no. 2734. Hadis ini dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ahkaam al-Janaaiz hal. 62.) Adapun mengenakan parfum hanya dianjurkan bagi kaum muslimin. Adapun kaum muslimat tidak diperkenankan mengenakan parfum di luar rumah. Karena dikhawatirkan laki-laki yang bukan mahramnya mencium wangi parfumnya dan tergoda. Hal ini semata-mata untuk melindungi kehormatan kaum muslimat.
10
Pembaca yang budiman, saat Anda mengenakan pakaian Anda pastikanlah bahwa pakaian yang dikenakan sudah sesuai dengan tuntunan syariat kita. Perhatikan, apakah pakaian yang kita kenakan sudah menutup aurat dengan baik? Apakah pakaian yang kita sudah sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Semoga Allah senantiasa menolong kita dalam menaati-Nya dalam semua aspek kehidupan. c.
Tidak makan sebelum berangkat menuju lapangan shalat Idul Adha. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya dia berkata; “Termasuk sunah Nabi shallallaahu alaihi wa sallam kamu tidak keluar menuju shalat Idul Fitri hingga makan terlebih dahulu dan tidak makan hingga pulang dari shalat Idul Adha.” (HR. Ath-Thabarani dalam al-Ausath 1/143/451.) Hikmah syariat ini adalah agar di hari raya Idul Fitri kita tidak merasa masih berpuasa. Selain itu, agar kita bisa menyertai fakir miskin menyantap makanan dari zakat fitrah yang diterimanya sebelum shalat Idul Fitri ditunaikan. Sehingga terjalin rasa tepa salira antara si kaya dan si miskin. Sebaliknya di momen Idul Adha, tatkala hewan kurban disembelih setelah shalat Idul Adha ditunaikan, dianjurkan untuk tidak makan sebelumnya agar bisa menyantap daging kurban.
d. Hadir di lapangan shalat hari raya lebih awal dengan berjalan kaki. Diriwayakan dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya dia senantiasa shalat Shubuh di masjid Nabawi. Kemudian menuju lapangan (shalat Idul Adha dan Idul Fitri) lebih awal. (HR. Ibnu Abi Syaibah 1/486/5609 dan Ibnul Mundzir dalam al-Ausath 4/260/2123.) Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib radliyallahu anhu bahwasanya dia berkata; “Termasuk sunah Nabi shallallahu alaihi wa sallam kamu menuju lapangan shalat hari raya dengan berjalan kaki.” (HR. AtTirmidzi 2/410/530, Ibnu Majah 1/411/1296, dll.)
11
Tentang hikmah syariat ini Ibnul Mundzir rahimahullah dalam al Ausath vol: 4 hal: 264 mengatakan bahwa berjalan kaki menuju lapangan shalat hari raya lebih baik dan lebih melatih diri agar rendah hati. e. Dianjurkan membawa serta istri dan anak menuju lapangan shalat hari raya. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah radliyallahu anha bahwasanya dia berkata; “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami menyuruh anak-anak gadis, wanita-wanita haid, dan gadis-gadis pingitan kami untuk keluar (menuju lapangan shalat hari raya). Namun wanita-wanita haid tidak ikut shalat. Dan mereka semua turut menyaksikan kebaikan dan doa kaum muslimin.” (HR. Al-Bukhari no. 324, Muslim no. 890, dll.) Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath al-Baarii vol:2 hal: 466 mengatakan bahwa tujuan membawa serta anak-anak ke lapangan shalat hari raya adalah agar mereka mendapatkan keberkahan dan agar syiar Islam semarak. f.
Dianjurkan menggemakan takbir saat berjalan menuju lapangan shalat hari raya hingga imam bersiap memimpin shalat hari raya. Diriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya dia senantiasa mengumandangkan takbir di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha hingga sampai di lapangan shalat dan terus mengumandangkan takbir hingga imam datang. (Diriwayatkan Al-Faryabi no. 48.)
g.
Takbir di hari raya Idul Adha digemakan sejak tanggal 9 Dzulhijjah selesai shalat Shubuh hingga tanggal 13 Dzulhijjah selesai shalat Ashar. Lihatlah poin kedua keutamaan hari Tasyriq. h. Mendirikan shalat Idul Adha berjamaah dan menyimak khutbah dengan baik. i. Dianjurkan saat pulang melewati jalan yang berbeda dengan jalan datang.
12
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu bahwasanya di hari raya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam senantiasa melewati jalan pulang yang berbeda dengan jalan datang. (HR. Al-Bukhari 2/472/986.) Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath al-Baarii vol: 2 hal: 473 menyebutkan bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan hal itu agar warga yang tinggal di jalan datang dan jalan pulang bisa melihat beliau, agar kedua jalan diberi keutamaan atau diberkahi karena dilalui beliau, agar syiar Islam dan zikir kepada Allah semarak, agar kaum munafikin dan yahudi kesal, agar umat mawas diri dari makar mereka, atau agar optimis bahwa kaum muslimin akan mendapatkan ampunan dan ridla Allah subhanahu wa ta’ala. Dan bagi kita sebagai orang yang beriman cukuplah teladan Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjadi alasan kita melakukan sunah ini. j.
Mengucapkan taqabbalallahu minnaa wa minkum (semoga Allah menerima amal ibadah kita) saat bertemu dengan sesama muslim. Diriwayatkan bahwasanya Abu Umamah al-Bahili dan Watsilah bin alAsqa’ radliyallahu anhuma bertemu dengan Rasyid bin Sa’d. Keduanya pun mengucapkan taqabbalallahu minnaa wa minka.
Di antara keutamaan hari Tasyriq: 1. Hari yang paling agung.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Qurth radliyallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari raya kurban kemudian hari pertama Tasyriq (yaumul qarr).” (HR. Ahmad 4/350.)
13
2. Hari
yang disyariatkan takbir selepas shalat fardu.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
(203) ... Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. (QS. Al-Baqarah: 203)
Takbir ini dimulai dari Shubuh 9 Dzulhijjah dan berakhir pada Ashar 13 Dzulhijjah di setiap selesai shalat 5 waktu. Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib radliyallahu anhu bahwasanya dia senantiasa bertakbir setelah shalat Shubuh di tanggal 9 Dzulhijjah dan mengakhirinya setelah shalat Ashar di tanggal 13 Dzulhijjah. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf no. 5630.) Dalam kesempatan tersebut kita bertakbir dengan melafalkan:
.
.
.
.
ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR. LAA ILAAHA ILLALLAAHU WALLAAHU AKBAR. ALLAAHU AKBAR WA LILLAAHIL HAMD. Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Segala puji bagi Allah. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf no. 5632.)
Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam al-Mughnii vol: 2 hal: 225-226 mengatakan disunahkan bagi kaum muslimin menggemakan takbir di malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) baik di masjid, di rumah, maupun di jalan, baik dalam keadaan safar maupun mukim. Hal ini berdasarkan makna eksplisit firman-Nya; “Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 185) Selain selepas shalat fardu disyariatkan pula mengumandangkan takbir di rumah, di pasar, di jalan, dsb, kapapanpun dan dimanapun selama di awal tanggal 9 Dzulhijjah hingga akhir tanggal 13 Dzulhijjah. Diriwayatkan dari 14
Ibnu Umar dan Abu Hurairah radliyallahu anhuma bahwasanya keduanya menuju pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Keduanya pun bertakbir. Kemudian manusia pun ikut bertakbir karena takbir keduanya. (HR. Al-Bukhari 2/457.) Namun, dalil di atas tidaklah menunjukkan bahwa disyariatkan adanya pemimpin takbir. Sebab dalil di atas tidak menunjukkan bahwasanya Ibnu Umar dan Abu Hurairah memimpin takbir. Dalil di atas hanya menunjukkan bahwa kaum muslimin turut bertakbir setelah Ibnu Umar dan Abu Hurairah mengawalinya. Mereka bertakbir sendiri-sendiri tanpa dipimpin, namun takbir mereka terdengar bersamaan. 3. Hari yang disyariatkan takbir dimanapun berada.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
... (200) Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan
menyebut
Allah,
sebagaimana
kamu
menyebut-nyebut
(membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. (QS. Al-Baqarah: 200)
Selain takbir, juga disyariatkan untuk memperbanyak doa. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan bahwa sejumlah ulama salaf di hari-hari Tasyriq gemar membaca doa berikut ini:
RABBANA AATINA FID DUNIA HASANAH WA FIL AAKHIRATI HASANAH WA QINAA ‘ADZAABAN NAAR. Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Serta jauhkanlah kami dari siksa neraka.
15
Al-Hasan rahimahullah berkata; “Kebaikan di dunia adalah ilmu dan ibadah. Sedangkan kebaikan di akhirat adalah surga.” Adapun Sufyan rahimahullah berkata; “Kebaikan di dunia adalah ilmu dan rezeki yang baik. Sedangkan kebaikan di akhirat adalah surga.” 4. Hari Tasyriq adalah hari kurban.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Semua hari Tasyriq adalah waktu untuk menyembelih.” (HR. Ahmad 4/82, al-Haitsami 4/24, dan ath-Thabarani dalam al-Ausath.) 5. Hari makan, minum, dan zikir kepada Allah.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutus Abdullah bin Huzafah untuk mengelilingi Mina dan menyampaikan sabda beliau:
“Janganlah kalian berpuasa di hari-hari ini. Karena sesungguhnya hari-hari ini adalah hari makan, minum serta zikir kepada Allah 'azza wajalla.” (HR. Muslim no. 1141.)
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan bahwa konjugsi ketiga hal di atas mengisyaratkan bahwasanya makan dan minum pada hari-hari tersebut hanyalah untuk membantu seorang hamba berzikir dan menjalankan ketaatan kepada Allah. Semoga Allah membantu kita untuk senantiasa mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya, dan beribadah kepada-Nya dengan sebaik-baiknya.
16
Mengetahui keutamaan suatu ibadah dapat memotivasi kita untuk melakukannya. Meskipun praktek Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam berkurban sendiri sudah cukup bagi kita untuk memotivasi kita . Karena beliau sebaik-baik petunjuk bagi kita. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radliyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkurban dengan menyembelih dua ekor domba bertanduk utuh dan berbulu putih dengan sedikit corak hitam. (HR. Al-Bukhari no. 5558, 5564, 5565, dan 7399, Muslim no. 1966, an-Nasai no. 4384, 4415, 4416, 4417, dan 4418, Abu Daud no. 2749, at-Tirmidzi no. 1494, Ibnu Majah no. 3120 dan 3155 dll.) Diriwayatkan dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Tidak ada amalan yang dilakukan oleh anak Adam pada hari Nahr (Idul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah selain dari pada menyembelih hewan kurban. Karena sesungguhnya hewan kurban akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sungguh, darah tersebut akan sampai kepada ridla Allah sebelum tetesan darah tersebut jatuh ke bumi. Oleh karena itu, bersihkanlah jiwa kalian dengan berkurban." (HR. At-Tirmidzi 4/83/1493, Ibnu Majah 2/1045/3126, Ibnu Hibban dalam alMajruuhiin 3/151, dll. Al-Albani dalam Misykaat al-Mashaabiih 1/330
menyatakan bahwa hadis ini shahih. Namun, dalam as-Silsilah adl-Dla’iifah no. 526 menyatakan bahwa hadis ini lemah.)
17
Di samping itu, para ulama menyatakan bahwa berkurban lebih utama daripada bersedekah dengan uang seharga hewan kurban. Imam Malik bin Anas rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang hendak bersedekah dengan uang senilai harga hewan kurban, apakah lebih baik dia bersedekah ataukah berkurban. Imam Malik menjawab; “Saya tidak senang seseorang meninggalkan kurban, padahal dia mampu.” Lihatlah: al-Mudawwanah vol: 3 hal:2. Pendapat selaras dilansir dari Ibnul Qayyim rahimahullah. Dalam Tuhfah al-Mauduud hal. 55-56 Ibnul Qayyim mengatakan; “Berkurban pada hari raya Idul Adha lebih utama daripada bersedekah dengan uang seharga hewan kurban ataupun lebih dari itu. Sebab kurban itu sendiri adalah ibadah. Dan saat kurban disandingkan dengan shalat menunjukkan keutamaannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman; ‘Shalatlah karena tuhanmu dan berkurbanlah.’ (QS. Al-Kautsar: 2). Allah pun berfirman; ‘Sesungguhnya shalatku, kurbanku, hidupku, dan matiku hanyalah milik Allah, Rabb semesta alam.’ (QS. Al-An’am: 162). Di semua ajaran agama samawi terdapat syariat shalat dan kurban yang tidak bisa digantikan oleh bentuk ibadah lainnya.”
Dalam hal ini para ulama terbagi ke dalam dua pendapat: 1. Pendapat pertama menyatakan bahwa kurban sunah muakadah. Pendapat ini didasarkan pada beberapa dalil:
a. Hadis Jabir dan selainnya radliyallahu anhum yang meriwayatkan bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor domba. Yang pertama atas diri dan keluarganya, sedangkan yang kedua atas umatnya. (HR. Abu Daud 3/95/2795, Ibnu Majah 2/1043/3121, adDarimi 2/75, ath-Thahawi 4/177, dan Al-Baihaqi 9/273 dan 289.) Secara global hadis ini shahih. b. Hadis Ummu Salamah radliyallahu anha yang diriwayatkan secara marfu’ bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
18
“Apabila sudah masuk bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian berniat untuk berkurban, hendaklah ia tidak memotong rambut dan kukunya sedikitpun. (HR. Muslim no. 1977, an-Nasai 7/no. 4364, Ibnu Majah no. 3149, ad-Darimi 2/76, Ahmad 6/289, al-Humaidi 1/140/293, asy-Syafii 1/327/468, dll.)
Para ulama mengatakan bahwa dalam hadis di atas Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengaitkan hukum kurban dengan kehendak (niat). Sedangkan kewajiban tidaklah dikaitkan dengan kehendak. (Lihatlah: Al-Mughnii, vol: 11, hal: 94.) c. Atsar yang diriwayatkan dari Abu Bakar dan Umar radliyallahu anhuma yang menunjukkan pemahaman keduanya bahwasanya kurban tidaklah wajib. Diriwayatkan dari Abu Suraihah atau Abu Suraij al-Ghifari rahimahullah bahwasanya dia berkata: “Saya mendapati masa Abu Bakar
atau saya pernah mendapati Abu Bakar dan Umar tidak berkurban karena khawatir kaum muslimin meniru mereka berdua.” (HR. Al-Baihaqi 9/265. Al-Albani dalam al-Irwa 4/354/1139 menyatakan bahwa atsar ini shahih.) d. Pada dasarnya manusia tidak memiliki kewajiban apapun ( al-baraah alashliyyah). Dan para ulama yang mewajibkan tidak memiliki dalil kuat yang menegaskan bahwa kurban itu wajib. 2. Pendapat kedua menyatakan bahwa kurban itu wajib. Pendapat ini didasarkan pada beberapa dalil:
a. Hadis Abu Hurairah dan Mikhnaf bin Salim radliyallahu anhuma tentang larangan al-atirah (kurban di bulan Rajab) dan perintah kurban.
19
“Kami sedang wukuf di Arafah di sisi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau bersabda: ‘Wahai manusia, sesungguhnya wajib atas setiap keluarga untuk berkurban (al-atirah) dan menyembelih hewan kurban setiap tahunnya. Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan al-atirah? Itulah yang biasa disebut-sebut oleh orang-orang dengan sebutan arrajabiyah (menyembelih hewan pada bulan Rajab).” (HR. An-Nasai 7/167/4224, Abu Daud no. 2788, at-Tirmidzi no. 1518, Ibnu Majah
2/1045/3125, Ahmad 4/215 dan 5/76, dll.) Al-Qurthubi rahimahullah dalam al-Mufhim vol: 5 hal: 350 menilai bahwa hadis di atas berpredikat lemah. Al-Qurthubi menukil penilaian ini dari Abu Muhammad Abdul Haq dan ulama lainnya. b. Hadis Abu Hurairah radliyallahu anhu secara marfu’ bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa yang memiliki kelapangan, namun tidak berkurban, janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 2/1044/3123, al-Hakim 2/389, al-Baihaqi dalam al-Kubraa 9/260, dan Ad-Daraquthni 4/276-278.)
Namun, pendapat yang kuat menyatakan bahwa hadis ini mauquf . Ibnul Jauzi rahimahullah dalam at-Tahqiiq vol: 2 hal: 161 mengatakan bahwa hadis ini pun tidak menunjukkan bahwa kurban itu wajib. Sebab Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun pernah bersabda semisal dengan redaksi hadis di atas:
“Siapa yang memakan bawang putih atau bawang merah, janganlah ia mendekati tempat shalat kami. Sebab malaikat merasa terganggu dengan sesuatu yang membuat manusia terganggu.” (HR. Muslim no. 876.)
20
Meskipun Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang orang yang makan bawang putih atau bawang merah masuk masjid, namun hadis ini tidak menunjukkan bahwa makan bawang putih atau bawang merah diharamkan. Demikian pula dengan hadis kurban di atas, hadis tersebut tidak menunjukkan bahwa kurban itu wajib. c. Hadis Jundub bin Abdullah bin Sufyan radliyallahu anhu. Disebutkan dalam hadis tersebut:
“Siapa yang menyembelih sebelum shalat Idul Adha didirikan, hendaklah ia menyembelih hewan kurban yang lain. Sedangkan siapa saja yang belum menyembelih sebelum shalat Idul Adha didirikan, hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 5562 dan Muslim no. 1960.)
Dalam hadis ini terkandung perintah untuk melakukan kurban kembali sebab kurban pertama dinyatakan tidak sah dan perintah pada dasarnya menunjukkan hukum wajib. Al-Mawardi rahimahullah dalam al-Haawii vol: 15 hal: 73 menyatakan bahwa perintah tersebut menunjukkan sunahnya melakukan kurban kembali setelah shalat Idul Adha atau wajibnya melakukan hal itu karena itu adalah nazar. d. Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkurban dan Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan dalam firman-Nya:
(21) Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)
21
Selain itu, kurban merupakan syariat Nabi Ibrahim alaihis salam dan kita sebagai umat Islam diperintahkan pula mengikuti syariatnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
(123 ) Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. An-Nahl: 123)
Dalil ini tidaklah secara pasti menyatakan bahwa kurban itu wajib. Bahkan para ulama yang mengatakan bahwa kurban itu sunah muakadah dapat pula berargumen dengan dalil ini. Al-Qurthubi rahimahullah dalam alMufhim vol: 5 hal: 352 mengatakan, “Tanyakanlah kepada mereka (yang berargumen dengan ayat ini), apakah kurban dalam syariat Ibrahim itu wajib ataukah sunah?” Dan perlu diketahui bahwasanya tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan bahwa kurban dalam syariat Ibrahim wajib. Apabila kisah disembelihnya Ismail dijadikan dalil wajibnya kurban, itu hanyalah kisah yang spesifik terjadi pada Ibrahim. Kemungkinan yang lain, hukum yang terkandung dalam kisah tersebut telah direvisi. Sehingga tidak ada sisi argumentasi sedikit pun yang tersisa dalam kisah tersebut yang menunjukkan bahwa kurban itu wajib. e. Hadis Ummu Salamah radliyallahu anha tentang larangan mencukur rambut dan memotong kuku bagi mereka yang mau berkurban. Diriwayatkan darinya bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila sudah masuk bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian berniat untuk berkurban, hendaklah ia tidak memotong rambut dan kukunya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1977, an-Nasai 7/no. 4361, atTirmidzi 4/102/1523, Ibnu Majah no. 3150, Ibnu Hibban no. 5916, al-Hakim 4/220, Ahmad 6/311, Abu Ya’la 12/344/6911, dll.)
22
Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al-Muhallaa, vol: 7, hal: 356 menjawab argumentasi ini. Dia mengatakan bahwa hal itu wajib karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkannya. f. Hadis Ali radliyallahu anhu yang diriwayatkan secara marfu’ bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Kurban Idul Adha merevisi semua kurban. Puasa Ramadan merevisi semua puasa. Mandi junub merevisi semua mandi. Dan zakat merevisi semua sedekah.” (HR. Ad-Daraquthni 4/278 dan 281, al-Baihaqi 9/261 dan 262, dan Ibnul Jauzi dalam at-Tahqiiq 2/161/1371.)
Mereka mengatakan bahwa tatkala beliau menyandingkan kurban dengan mandi junub, puasa Ramadan, dan zakat yang kesemuanya itu wajib menunjukkan bahwa kurban pun wajib. Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmuu’ , vol: 8, hal: 386 membantah argumentasi ini. Dia mengatakan bahwa hadis Ali berpredikat lemah dan para ahli hadis menyatakan hal ini secara mufakat. g. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
(2) Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. (QS. AlKautsar: 2)
Tentang argumentasi ini dapat dijawab bahwasanya para ulama tafsir berbeda pendapat tentang tafsiran ayat ini. Dan satu tafsiran tidak lebih utama daripada tafsiran yang lain hingga dipastikan bahwa salah satu tafsiran didukung dalil. h. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
23
(34 ) ... Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban). (QS. Al-Hajj: 34)
i. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
(162 ) Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al-An’am: 162)
j. Hadis Abdullah bin Amr radliyallahu anhu.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada seseorang: "Aku diperintah untuk menjadikan hari qurban sebagai hari raya yang Allah Azza wa jalla jadikan untuk umat ini." Lalu seseorang berkata; ‘Bagaimana pendapatmu jika aku tidak mendapatkan kecuali hewan betina untuk diambil susunya, apakah aku menyembelihnya?’ Beliau bersabda: "Tidak, tapi potonglah rambutmu, kukumu, kumismu dan bulu kemaluanmu maka itu adalah kesempurnaan kurbanmu disisi Allah Azza wa jalla." (HR. AnNasai 7/212/4365, Abu Daud 3/93&94/2789, Ibnu Hibban 13/236/5914, alHakim 2/169, ad-Daraquthni 4/282, dan al-Baihaqi 9/263 dan 264.)
Walaupun hadis ini dinyatakan hasan dan secara lahiriah menunjukkan wajibnya kurban, tapi setelah dikompromikan dengan dalil-dalil lainnya disimpulkan bahwa kurban itu sunah muakadah. Bahkan Ibnu Hazm
24
rahimahullah dalam al-Muhallaa vol: 7 hal: 354 mengatakan bahwa tidak ada satu pun riwayat yang valid dari para sahabat yang menyatakan bahwa kurban itu wajib. Hukum memotong rambut dan kuku bagi yang hendak berkurban
Dalam hal ini ulama terbagi ke dalam tiga pendapat: 1. Pendapat pertama menyatakan bahwa hal tersebut dilarang. Pendapat ini dinyatakan oleh Ahmad, Ishak, Sa’id bin al-Musayyab, dan selainnya. Pendapat pertama ini didasarkan pada hadis Ummu Salamah radliyallahu anha bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Jika telah datang sepuluh (Dzulhijjah) dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, janganlah dia mencukur rambut atau memotong kukunya sedikitpun." (HR. Muslim no. 1977, an-Nasai 7/no. 4364, Ibnu
Majah no. 3149, ad-Darimi 2/76, Ahmad 6/289, al-Humaidi 1/140/293, asy-Syafii 1/327/468, dll.) 2. Pendapat kedua menyatakan bahwa hal tersebut dimakruhkan. Pendapat ini dinyatakan oleh Syafii, Malik, Abu Ya’la, dan selainnya. Pendapat ini didasarkan pada hadis Aisyah radliyallahu anha tentang hadyu (hewan kurban yang disembelih dalam prosesi haji) bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
25
Diriwayatkan dari Amrah, dia mengabarkan bahwasanya Ibnu Zaid menulis surat kepada Aisyah bahwa Abdullah bin Abbas telah mengatakan; “Barangsiapa yang telah menyerahkan hewan kurbannya, haram baginya apa-apa yang haram bagi seorang yang melaksanakan haji sampai hewan kurban itu disembelih.” Sementara aku sendiri telah mengirim hewan kurbanku. Karena itu, tuliskanlah padaku apa yang menjadi pendapat Anda. Amrah berkata; Aisyah berkata, “Yang benar, tidak sebagaimana apa yang dikatakan Ibnu Abbas. Aku sendiri pernah mengalungkan sesuatu pada hewan kurban Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Lalu beliau menuntunnya dengan tangannya sendiri kemudian mengirimkannya bersama bapakku (ke tanah haram). Dan sesudah itu, tidaklah sesuatu yang Allah halalkan bagi beliau menjadi haram bagi beliau hingga hewan kurbannya disembelih.” (HR. Al-Bukhari no. 1696, 1698, 1699, 1701, 1702, 1703, 1704, 1705, 2317, dan 5566.) Imam Syafii rahimahullah mengatakan bahwa mengirim hadyu ke Mina bukan hanya sekedar niat berkurban. Meskipun demikian, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak sampai menghindarkan diri dari hal-hal yang dihindari orang yang berihram. Hal ini menunjukkan bahwa mengerjakan hal-hal yang dihindari orang yang berihram tidaklah haram bagi mereka yang berniat berkurban. Lihatlah: Al-Majmuu’ vol: 8, hal: 392. Ash-Shan’ani rahimahullah menjawab hal itu. Dia mengatakan bahwa argumentasi yang dikemukakan Imam Syafii hanyalah qiyas (analogi). Sedangkan dalil telah menyebutkan secara spesifik ketentuan bagi orang yang hendak berkurban. Lihatlah: Subulus Salaam vol: 4, hal: 179.
26
3. Pendapat ketiga menyatakan bahwa hal itu mubah. Pendapat ini dinyatakan oleh Abu Hanifah, Malik, dan al-Laits. Pendapat ini didasarkan pada beberapa dalil: a. Orang yang hendak berkurban pada dasarnya boleh melakukan hal-hal yang dihindari orang yang berihram. Para ulama pun secara mufakat menyatakan bahwa orang yang hendak berkurban diperbolehkan melakukan hubungan suami istri di sepuluh pertama Dzulhijjah. Hal ini menunjukkan bahwa hal selain itu lebih layak dikatakan boleh. Lihatlah: Mukhtashar Ikhtilaaf al-Ulamaa vol: 3, hal: 232. b. Atsar Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah bahwasanya dia tidak menganggap bahwa mengerjakan hal-hal yang dihindari orang yang berihram haram bagi mereka yang hendak berkurban. Mereka juga berargumen dengan ucapan Ikrimah rahimahullah saat mendapat riwayat Ummu Salamah radliyallahu anha. Ikrimah berkata; “Apakah dia (yang hendak berkurban) pun tidak boleh menggauli istrinya dan tidak boleh memakai parfum?” Dari uraian pendapat dan argumentasinya di atas dapat disimpulkan bahwa pendapat pertama adalah pendapat yang kuat. Setelah mengetahui hukum mencukur rambut dan memotong kuku bagi yang hendak berkurban, kita bertanya, kapan larangan ini berakhir. Para ulama menyebutkan bahwa larangan ini berakhir bersamaan dengan disembelihnya hewan kurban. Lihatlah: Syarh az-Zarkasyi vol: 4 hal: 294, al-Inshaaf vol: 4 hal: 109, dan asy-Syarh al-Mumti’ vol: 7 hal: 530.
Saat kita membeli hewan kurban, kita harus memerhatikan spesies, usia dan kualitas hewan kurban. Sebab syariat kita mempersyaratkan hal tersebut. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan spesies hewan yang sah untuk dikurbankan. Mayoritas ulama menyatakan bahwa hewan yang sah
27
dikurbankan hanyalah unta, sapi, domba, dan kambing. Mereka berargumentasi dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
... (34) Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka. (QS. Al-Hajj: 34)
Dan yang dimaksud dengan hewan ternak dalam ayat di atas adalah unta, sapi, domba, dan kambing. Diriwayatkan dari Jabir radliyallahu anhu shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
bahwasanya
Rasulullah
"Janganlah berkurban kecuali dengan menyembelih musinnah. Jika kamu kesulitan mendapatkannya, berkurbanlah dengan menyembelih domba jadz’ah.” (HR. Muslim no. 1963, an-Nasai 7/218/4378, Abu Daud 3/95/2797, Ibnu Majah 2/1049/3141 dll.)
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas minimum usia hewan kurban (musinnah). Mayoritas ulama menyatakan bahwa domba mencapai jadz’ah di usia setahun, kambing di usia dua tahun, sapi di usia tiga tahun, dan unta di usia 5 tahun. Setelah melalui fase jadz’ah hewan kurban masuk fase musinnah. Demi kehati-hatian sebaiknya kita mengambil pendapat mayoritas ulama ini. Namun, kita pun tidak bisa mengatakan bahwa berkurban dengan hewan kurban yang usianya belum mencapai usia yang ditetapkan mayoritas ulama, namun sesuai dengan kriteria usia yang disebutkan ulama lainnya, tidak sah. Sebab para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
28
Setelah mengetahui spesies dan usia minimum hewan ternak yang sah untuk dikurbankan, berikutnya kita perlu memerhatikan apakah hewan kurban yang kita pilih berkualitas apa tidak, memiliki cacat apa tidak. Diriwayatkan dari al-Bara bin Azib radliyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Ada empat hewan ternak yang tidak sah untuk dikurbankan, yaitu yang buta dengan kebutaan yang jelas, yang sakit dengan sakit yang jelas, yang pincang dengan pincang yang jelas, dan yang kurus tidak bersumsum.” (HR. Malik no. 1041, an-Nasai 1/no. 4369, 4370, dan 4371, Abu Daud no. 2802, at-Tirmidzi no. 1497, Ibnu Majah no. 3144 dll.)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah dalam al-Mugnii vol: 11 hal: 100 menyatakan bahwa keempat cacat di atas dapat menyebabkan kurban tidak sah menurut kesepakatan para ulama. Al-Qadli Abdul Wahhab al-Baghdadi rahimahullah dalam al-Ma’uunah vol: 1 hal: 662 menyatakan bahwa secara garis besarnya setiap cacat yang mengurangi atau memengaruhi kualitas daging sembelihan, penyakit, atau cacat yang mencacati tampilan hewan kurban menyebabkan hewan kurban tidak sah untuk dikurbankan. Di sebagian rincian terdapat perbedaan pandangan di antara para ulama. Namun, secara global kita mesti selektif dalam memilih hewan kurban yang berkualitas. Karena memilih hewan kurban yang kualitas merupakan kewajiban. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Kalian tidak akan meraih kebajikan hingga menginfakkan harta yang kalian sukai.” Di samping itu, Allah subhanahu wa ta’ala mencela perbuatan orang-orang musyrik dalam firman-Nya: “Mereka menetapkan bagi Allah sesuatu yang mereka sendiri benci.”
29
Jika kita sudah selektif dalam membeli hewan kurban yang berkualitas, kemudian hewan kurban tersebut mengalami cacat, perlu kita perhatikan rincian berikut: a. Jika hewan kurban tersebut cacat karena kesalahan orang yang berkurban, hewan kurban ini tidak sah untuk dikurbankan. b. Jika hewan kurban tersebut cacat bukan karena kesalahan orang yang berkurban, semisal kakinya patah setelah lompat dari truk, hewan kurban ini sah untuk dikurbankan. c. Jika hewan kurban tersebut cacat dengan cacat yang tidak jelas, hewan kurban ini sah untuk dikurbankan. Hewan kurban yang paling utama
Mengetahui hewan kurban yang paling utama untuk dikurbankan membantu kita meraih pahala sebesar-besarnya. Berikut ini uraian tentang hewan kurban yang paling utama. Para ulama berbeda pendapat manakah yang lebih utama di antara unta, sapi, dan domba. Mayoritas ulama menyebutkan bahwa hewan kurban yang paling utama adalah unta, sapi, kemudian domba. Adapun mazhab Maliki menyatakan bahwa yang paling utama adalah domba, sapi, kemudian unta. Dalam masalah ini kita memilih pendapat mayoritas ulama. Adapun bila dibandingkan antara domba dengan patungan sapi atau unta, domba lebih utama. Lihatlah: Mughnii al-Muhtaaj vol: 6 hal: 127. Batas maksimal peserta patungan sapi atau unta
Diriwayatkan dari Jabir radliyallahu anhu bahwasanya dia berkata:
30
“Kami berkurban bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di Hudaibiyah dengan menyembelih unta milik 7 orang dan sapi milik 7 orang.” (HR. Muslim no. 1318, Abu Daud no. 2809, at-Tirmidzi no. 904 dan
1502, an-Nasai dalam al-Kubraa 2/451/4122, Ibnu Majah no. 3132 dll.) Mayoritas ulama menyatakan bahwa batas maksimal peserta patungan sapi atau unta adalah 7 orang. Sedangkan Ibnu Umar radliyallahu anhu dan Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah menyatakan bahwa batas maksimalnya adalah 10 orang. Ath-Thahawi rahimahullah dalam Syarh Ma’aani al-Aatsaar vol: 4 hal: 175 menyatakan bahwa pendapat mayoritas ulama ini adalah pendapat yang populer di kalangan sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Oleh karena itu, pendapat ini adalah pendapat yang kuat. Hukum menyembelih satu ekor domba atas nama keluarga
Dalam hal ini para ulama terbagi ke dalam dua pendapat: 1. Pendapat pertama menyatakan bahwa satu ekor domba mencukupi satu keluarga. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Mereka berargumen dengan hal yang dilakukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
“Beliau kemudian menyembelih sendiri dengan pisau. Setelah itu beliau mengucapkan: "Ya Allah, sesungguhnya ini dari umatku yang bersaksi atas keesaan-Mu dan bersaksi atas penyampaianku." Kemudian didatangkan (hewan kurban) yang lain, lalu beliau menyembelih sendiri seraya bersabda: "Ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad." (HR. Al-Hakim 2/391, Ahmad 6/8, 391, dan 392, dll.)
31
2. Pendapat kedua menyatakan bahwa satu ekor domba tidak mencukupi satu keluarga. Ini adalah pendapat at-Tsauri dan Abu Hanifah. Mereka beralasan bahwa satu ekor domba tidak mencukupi dua orang yang tidak memiliki pertalian darah, demikian pula dengan mereka yang memiliki pertalian darah. Perlu diketahui bahwasanya satu keluarga bisa berserikat dalam pahala dan keberkahan satu ekor domba yang dikurbankan, bukan dalam pembelian. Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan bahwa apabila seorang laki-laki menyembelih domba atau selainnya atas namanya atau nama keluarganya, itu diperbolehkan. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukannya. Hal ini tidak termasuk dalam kategori berserikat dalam pembelian domba, tapi masuk dalam kategori berserikat dalam pahala dan keberkahan. Lihatlah: Al-Ma’uunah vol: 1, hal: 664. Hukum menyembelih atas anggota keluarga yang sudah meninggal dunia
Dalam Risaalah al-Udlhiyah hal: 51 masalah ini dibagi ke dalam tiga keadaan: 1. Keadaan pertama: Kurban atas seluruh keluarga, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Ini diperbolehkan karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam mempraktekkannya. 2. Keadaan kedua: Kurban atas anggota keluarga yang sudah meninggal karena wasiatnya. Hal ini perlu direalisasikan sesuai dengan wasiatnya. 3. Keadaan ketiga: Kurban secara khusus atas anggota keluarga yang sudah meninggal. Hal ini diperselisihkan. Tentang hukum kurban pada keadaan ketiga para ulama terbagi ke dalam dua pendapat: 1. Pendapat pertama menyatakan bolehnya. Bahkan Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa kurban atas anggota keluarga yang sudah meninggal dunia lebih utama daripada menyedekahkan uang senilai
32
hewan kurban. Lihatlah: Al-Ikhtiyaaraat hal: 120. Pendapat ini didasarkan pada beberapa dalil: a. Riwayat bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyembelih dua ekor domba, salah satunya atas umatnya. b. Atsar Ali bin Abu Thalib bahwasanya dia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkanku untuk menyembelih atas namanya. Dan aku selalu menyembelih atas namanya.” (HR. Abu Daud no. 2790, at-Tirmidzi no. 1495, Ahmad 1/150, al-Baihaqi sebagaimana termaktub dalam al-Majmuu’ 8/407.) Namun dalam sanad atsar ini terdapat Abul Hasna, seorang perawi yang tidak diketahui identitasnya dari sisi periwayatan. 2. Pendapat kedua menyatakan keharamannya. Pendapat ini didasarkan pada beberapa dalil: a. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
(39) Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS. An-Najm: 39)
b. Tidak pernah diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya bahwasanya mereka pernah berkurban secara khusus atas orang yang sudah meninggal. Namun untuk menyatakan bahwa hal ini bid’ah (perkara baru dalam syariat) bukanlah hal yang mudah. Sebab kurban atas orang yang sudah meninggal memiliki keserupaan dengan sedekah atasnya dan itu disyariatkan. Tapi, kurban sendiri bukan sekedar bersedekah, tapi juga sarana mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelihnya. Lihatlah: Asy-Syarh al-Mumti’ vol: 7, hal: 455 s/d 456. Hukum makan daging kurban bagi orang yang mengurbankannya
Dalam hal ini ulama terbagi ke dalam dua pendapat:
33
Mayoritas ulama menyatakan bahwa memakan daging kurban bagi yang mengurbankannya dianjurkan. Hal ini didasarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’ala:
(36) Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. (QS. Al-Hajj: 36)
Dan firman-Nya:
(28) Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS. Al-Hajj: 28)
Perintah makan daging sembelihan dalam ayat ini hanya sebatas menunjukkan sunahnya, bukan wajibnya sebagaimana yang disangkakan sebagian ulama semisal Abul Hayyan dan asy-Syinqithi rahimahumallah.
34
Islam agama yang universal, mengajarkan segala sisi sendi kehidupan, tidak ada yang terlewatkan. Terkait menyembelih Islam ajarkan adabadabnya. Berikut ini adab-adab menyembelih yang mesti diperhatikan: 1. Menyembelih kurban dilakukan setelah shalat Idul Adha usai dikerjakan. Diriwayatkan dari Jundub bin Sufyan radliyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa yang menyembelih hewan kurbannya sebelum dia atau kami selesai mengerjakan shalat Idul Adha, hendaknya dia menyembelih hewan kurban lainnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5562 dan Muslim no. 1960.) 2. Dianjurkan mengasah pisau dan menenangkan hewan kurban. Diriwayatkan dari Syaddad bin Aus radliyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah azza wa jalla telah menetapkan agar kalian berbuat baik kepada siapapun dan apapun. Jika kalian membunuh, perbaguslah cara membunuhnya. Dan jika kalian menyembelih, perbaguslah cara menyembelihnya. Asahlah pisaunya dan tenangkanlah sembelihannya." (HR. Muslim no. 1955.) 3. Orang yang menyembelih menghadap kiblat dan menghadapkan sembelihannya ke arah kiblat. Diriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya: 35
Dia (Ibnu Umar) mengarahkan hewan kurbannya ke arah kiblat, lalu memakan dagingnya, dan memberikan sebagiannya kepada orang lain." (HR. Malik hal. 294 dan 295.) 4. Dianjurkan untuk membaringkan sapi atau domba ke bagian kiri badannya. 5. Dianjurkan membaca doa berikut ini. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu bahwasanya saat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hendak menyembelih dua ekor domba beliau hadapkan keduanya ke arah kiblat dan membaca:
INNII WAJJAHTU WAJHIYA LILLADZII FATHARAS SAMAAWAATI WAL ARDHA 'ALAA MILLATI IBRAAHIIMA HANIIFAN WA MAA ANA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHALAATII WA NUSUKII WA MAHYAAYA WA MAMAATII LILLAAHI RABBIL 'AALAMIIN. LAA SYARIIKA LAHU WA BIDZAALIKA UMIRTU WA ANA MINAL MUSLIMIIN. ALLAAHUMMA MINKA WA LAKA WA 'AN MUHAMMADIN WA UMMATIHI. BISMILLAAHI WALLAHU AKBAR. “Sesungguhnya aku telah menghadapkan wajahku kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi di atas agama Ibrahim dengan lurus. Dan aku bukan termasuk orang-orang yang berbuat syirik. Sesungguhnya shalatku, kurbanku, hidupku dan matiku adalah milik Allah, Rabb semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya. Terhadap hal ini aku diperintahkan. Dan
36
aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Ya Allah, ini berasal dari-Mu dan untuk-Mu, dari Muhammad dan umatnya. Dengan Nama Allah. Allah Maha Besar.” (HR. Abu Daud 3/95/2795, Ibnu Majah 2/1043/3121, dll.) 6. Diwajibkan membaca basmalah dan dianjurkan membaca takbir. Artinya diwajibkan, jika ingat mesti dikerjakan, namun jika lupa tidak
berimplikasi pada kehalalan hewan sembelihan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
(121 ) ... Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. (QS. Al-An’am: 121) 7. Dianjurkan menyembelihnya dengan cepat agar hewan kurban tidak terlalu merasakan kesakitan.
Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib radliyallahu anhu bahwasanya dia berkata:
"Aku
disuruh
Rasulullah
shallallahu
'alaihi
wasallam
mengurus
penyembelihan hewan kurban, menyedekahkan daging, dan kulitnya, serta mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan kesempurnaan kurban. Tetapi aku dilarang mengupah jagal dengan hewan kurban. Beliau bersabda: ‘Kami mengupahnya dengan uang kami sendiri." (HR. Muslim no. 2320.)
37
Sepertiga disedekahkan, sepertiga dihadiahkan, dan sepertiga dimakan?
Diriwayatkan dari Ibrahim al-Harbi, dari al-Hakam bin Musa, dari al-Walid, dari Thalhah bin Amr, dari Atha, dari Ibnu Mas’ud bahwasanya dia berkata:
,
, .
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk memakan sepertiga daging kurban, menyedekahkan sepertiga yang lainnya, dan memberikan sepertiga sisanya kepada tetangga.” (Disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam al-Muhallaa 7/384.)
Namun, hadis ini dinyatakan oleh Ibnu Hazm sebagai hadis yang lemah. Thalhah dikenal sebagai perawi yang gemar berdusta. Sementara Atha tidak pernah bertemu dengan Ibnu Mas’ud. Karena dia lahir setelah Ibnu Mas’ud meninggal dunia. Adapun hadis absah yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyatakan bahwa pembagian daging kurban tidak dibatasi berapa kuantitasnya. Beliau bersabda:
“Makanlah, sedekahkanlah, hadiahkanlah, dan simpanlah!” (HR. Muslim no. 1971.)
Tidak diragukan bahwasanya memperbanyak sedekah merupakan hal yang baik. Karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun telah menyembelih 100 unta ( hadyu) dan beliau hanya mengambil sedikitnya saja untuk beliau makan. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada saya untuk menyusun risalah kecil ini. Saya memohon kepada Allah agar risalah kecil ini menjadi pemberat timbangan kebaikan saya kelak di
38