MANAGEMENT CONTROL SYSTEMS (SISTEM PENGENDALIAN MANAJEMEN)
PROBLEMATIKA DAN KESUKSESAN MENGATASINYA
Disusun oleh: 1. Adhiputro Prabowo Armand (1) 2. Bori Alwiyan Wahid (7) 3. Guntur Nur Hidayat (11) 4. Hentrisa Fairuz Insania (14)
Kelas 8C DIV Akuntansi STAN 2014
“IKEA merupakan contoh sukses dari berhasilnya penerapan MCS pada seluruh lini bisnis dari hulu hingga hilir, dengan penekanan pada dua area yakni SCM dan kinerja pegawai. Bagaimana detailnya? Bagaimana pula Action A ction Controls dengan bantuan IT? Simak dalam makalah ini.”
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Daftar Isi Halaman Judul Daftar Isi Bab I: Sistem Pengendalian Manajemen
A. Jenis-jenis Pengendalian pada Sistem Pengendalian Manajemen B. Pentingnya Controls dalam Sistem Pengendalian Manajemen (Studi Kasus IKEA) C. Sekilas IKEA D. Rumusan Masalah E. Tujuan Penulisan Bab II: Cultural control pada IKEA
A. Cultural Control dalam Organisasi B. Implementasi Cultural Controls di IKEA C. Permasalahan Permasalahan yang diatasi dengan adanya Cultural Controls Bab III: Personnel control pada IKEA
A. Personnel Control dalam Organisasi B. Implementasi Personnel Personnel Controls di IKEA C. Permasalahan Permasalahan yang diatasi dengan adanya Personnel Controls Bab IV: Action control pada IKEA
A. Action Control dalam Organisasi B. Implementasi Action Controls di IKEA C. Permasalahan Permasalahan yang diatasi dengan adanya Action Controls Bab V: Result control pada IKEA
A. Result Control dalam Organisasi B. Implementasi Result Controls di IKEA C. Permasalahan Permasalahan yang diatasi dengan adanya Result Controls Bab VI: Kesimpulan Daftar Pustaka Lampiran
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 2
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Bab I Sistem Pengendalian Manajemen
A.
Jenis-jenis Pengendalian pada Sistem Pengendalian Manajemen
Di dalam sistem pengendalian manajemen, terdapat 4 (empat) jenis pengendalian yang dapat dilakukan di perusahaan (Merchant, 2007). Jenis-jenis pengendalian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Result Control Result control merupakan suatu sistem pengendalian yang berorientasi kepada hasil dari suatu pekerjaan. Pengendalian hasil berhubungan dengan pemberian hadiah (reward) untuk meciptakan hasil yang baik, atau pemberian hukuman (punishment) atas hasil yang buruk. Pemberian hadiah (reward) yang berkaitan dengan hasil dimaksud tidak hanya berupa kompensasi dalam bentuk uang saja, melainkan juga dalam bentuk yang lain seperti jaminan pekerjaan (job security), promosi, otonomi, dan pengakuan (recognition). Ciri khas result control adalah adanya pay-for-performance. Dan ciri khasnya lainnya adalah tidak adanya pendiktean terhadap karyawan, melainkan pemberian dorongan (empowering) bagi karyawan dalam melakukan kinerjanya. 2. Action Control Terkait jaminan bahwa para pegawai melaksanakan (atau tidak melaksanakan) tindakan tertentu untuk manfaat (atau merugikan) organisasi. Dalam menghilangkan control problems, dilakukan action control dalam beberapa bentuk seperti behavioural constraint, preaction reviews, action accountability, redundancy. 3. Personnel control Personnel controls membangun kecenderungan alamiah para pegawai untuk mengendalikan dan atau memotivasi diri mereka sendiri. Personnel controls memiliki 3 (tiga) tujuan dasar : (1) personnel controls mengklarifikasi ekspektasi, karena pengendalian dimaksud memberikan pemahaman kepada setiap pegawai tentang apa yang diinginkan organisasi. (2) personnel controls dapat meyakinkan setiap pegawai mampu melaksanakan pekerjaan dengan baik. Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 3
Management Control Systems: Case Study of IKEA
(3) personnel controls dapat meningkatkan kecenderungan setiap pegawai untuk melakukan selfmonitoring. 4. Cultural control Cultural controls dirancang untuk mendorong pemantauan timbal-balik (mutual monitoring), yaitu bentuk tekanan kelompok (group pressure) yang sangat kuat terhadap individu yang menyimpang dari norma dan nilai kelompok.
B.
Pentingnya Controls dalam Sistem Pengendalian Manajemen (Studi Kasus IKEA)
Tidak dapat suatu Sistem Pengendalian Manajemen dirancang atau dievaluasi tanpa memahami permintaan (feedback) dari peran yang dikendalikannya. Tujuan (objectives) dan strategi (strategies) yang diperoleh dari pemahaman yang baik atas tujuan organisasi sering memberikan arah yang penting kepada tindakan-tindakan yang diharapkan. Menentukan jenis pengendalian merupakan suatu hal yang sangat vital dalam sistem pengendalian manajemen. Jenis pengendalian yang dipilih dapat menentukan jalannya organisasi ke
depan. Dalam menentukan sistem pengendalian yang tepat, Merchant dan Stede (2007)
menjelaskan bahwa personnel control dan cultural control dapat menjadi pertimbangan awal dalam pemilihan jenis pengendalian. Personnel/cultural control sangat menguntungkan pada pertimbangan pertama sebab pengaruh sampingannya (side effect-nya) relatif tidak membahayakan dan outof-pocket cost-nya rendah. Dalam beberapa kasus, seperti organisasi kecil, personnel/cultural controls mungkin menyediakan cukup management control yang efektif. Tetapi ketika skala perusahaan telah mendunia, tidaklah cukup hanya dengan personnel control dan cultural control saja, perlu juga action control dan result control guna menjamin sustainabilitas atau keberlangsungan jalannya control yang efekif didalam perusahaan multinasional. Salah satu contoh berhasilnya control yang di terapkan oleh IKEA (perusahaan furnitur multinasional) adalah adanya quality control yang bagus terhadap kualitas produk yang dipasok dari para supplier nya. IKEA, dengan menjalankan controlnya, mampu mempertahankan kualitas material dari para pemasoknya yang berjumlah ribuan dan tersebar di seluruh dunia. Keberhasilan IKEA lainnya yakni dalam melakukan control terhadap kinerja pegawainya. Sehingga, atas hal-hal tersebut IKEA mampu menjadi perusahaan furnitur terkemuka di dunia yang sustainable.
C.
Sekilas IKEA
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 4
Management Control Systems: Case Study of IKEA
IKEA merupakan sebuah perusahaan ritel untuk perabot rumah tangga yang berasal dari Swedia. Saat ini IKEA telah membuka cabang di banyak negara, meliputi wilayah Eropa, Amerika Utara, Timur Tengah, Asia Pasifik dan Karibia. Yang terkini, IKEA membuka pula tokonya di kawasan Alam Sutera, Tangerang. Karena persaingan usaha di bidang perabot rumah tangga yang sangat kompetitif serta luasnya teritori bisnis dari IKEA, guna menjaga sustainabilitas perusahaan, diperlukan strategi dan management control systems yang baik. Visi IKEA:
“To create a better everyday life for the many people.” Misi IKEA:
“To offer a wide range of well designed, functional home furnishing products at prices so low that as many people as possible will be able to afford them.” Market positioning statement:
“Your partner in better living. We do our part, you do yours. Together we save money.”
Bagi perusahaan, laba usaha merupakan alasan mengapa suatu bisnis tetap exist . Untuk hal ini, dijalankan control terhadap efektifitas dan efisiensi operasi yang dimulai dari pengadaan bahan baku, proses produksi, pergudangan hingga aktivitas penjualan. Pengendalian terhadap biaya diperlukan agar harga produk tetap bersaing di pasaran. Selain itu kualitas pelayanan kepada pelanggan harus terus-menerus dapat ditingkatkan, pada lini juga dilakukan control. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dijawab melalui suatu control atas manajemen pasokan (Supply Chain Management atau SCM) 1. IKEA telah menerapkan control atas supply chain management dalam operasional usahanya. Ditambah control atas kinerja karyawannya, hal tersebut
membawa IKEA pada efisiensi dan efektivitas produksi sehingga produk dapat dijual dengan harga yang lebih murah dibanding para pesaingnya.
D.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana implementasi Management Control Systems di IKEA?
2.
Apa saja permasalahan terkait MCS tersebut?
1
Simchi-Levi mendefinisikan SCM sebagai berikut “Is set of approaches utilized to efficiently integrate suppliers, manufacturers, warehouse and stores, so that merchandise is produced and distributed at the right quantities, to the right locations and at the right time, in order to minimize system wide cost while satisfying service level requirements .
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 5
Management Control Systems: Case Study of IKEA
3.
E.
Bagaimana IKEA mengatasinya?
Tujuan Penulisan
Mengetahui bagaimana implementasi Management Control Systems di IKEA, apa saja permasalahan terkait hal tersebut, dan bagaimana IKEA mengatasinya. Serta, memberikan rekomendasi apabila diperlukan.
Bab II Cultural Controls pada IKEA
A.
Cultural Control dalam Organisasi
Pada setiap cultural control yang terdapat di organisasi, dirancang untuk menciptakan pemantauan diantara tiab pegawai dan manajemen, sehingga perusahaan memiliki norma tidak tertulis dalam menghadapi segala sesuatu. Pemantauaan tersebut mengakibatkan tekanan dari lingkungan kerja yang cukup kuat terhadap individu yang menyimpang dari budaya-budaya yang ada dalam organisasi. Cultural control sangat efektif apabila setiap anggota dari organsasi memiliki keterikatan yang cukup kuat, antara satu dan lainnya. Cultural control dapat berbentuk code of conduct, group-based reward, intraorganizational transfers, physical and social arrangement, dan juga tone at the top.
Cultural control memilki fungsi yang berguna dalam orgnaisai, antara lain adalah pengedalian terhadap perilaku, menjaga stabilitas, dan menyediakan sumber identitas organisasi. Sebaliknya, cultural control juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain adalah dapat menjadi penghalang terhadap perubahan, menjadi penghalang terhadap keberagaman, menjadi hambatan kerjasama antar departemen dan antar organisasi, dan menjadi penghambat saat terjadi merger atau akuisisi.
B.
Implementasi Cultural Controls di IKEA
Cultural control pada organisasi merupakan pengendalian yang paling termurah. Hal ini disebabkan oleh dampak dari culutural control yang berkelanjutan dalam perusahaan. Akan tetapi, cultural control ini tidak mudah untuk digunakan karena tidak ada yang paling benar dan tidak ada
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 6
Management Control Systems: Case Study of IKEA
yang paling buruk. Cultural control pada setiap organisasi sangatlah berbeda, tidak dapat menggeneralisasi penggunaan cultural control pada suatu perusahaan untuk digunakan pada perusahaan lainnya. Pada IKEA, banyak terdapat cultural control yang digunakan pada perusahaan ini. Hal ini terimplementasi dari mulai seleksi pegawai, pelatihan pegawai, dan dalam pekerjaan sehari-hari yang dilakukan oleh pegawai. Seperti pada awal seleksi, setiap calon pegawai hanya akna mengetahui lowongan pekerjaan yang tersedia pada laman IKEA. Hal ini menjadi salah satu cultural control yang diterapkan perusahaan pada seleksi awal perusahaan. Manajemen bernaggapan, dengan menaruh lowongan pekerjaan hanya pada laman IKEA sendiri, hal ini sudah menyeleksi calon-calon yang hanya tertarik pada IKEA, bukan calon pegawai yang hanya membutuhkan sebuah pekerjaan. Penerapan cultural control pada tahap seleksi pegawai ini, tidak menambah biaya yang signifikan pada perusahaan, sehingga penerapan cultural control pada tahap ini cukup efektif dan efisien. Pada saat tahap pelatihan dan pengembangan pegawai, IKEA selalu berusaha untuk mendorong para pegawainya untuk bersiap terhadap tantangan-tantangan baru. Hal ini merupakan culutural control yang digunakan oleh manajemen agar setiap pegawi selalu bersiap untuk mengembangkan kompetensi yang dimiliki. Pada IKEA, setiap pegawai memiliki kesempatan yang sama dalam “career path”, pelatihan yang dapat dijalani, dan penerapan on-the-job training dalam inisiasi pegawai. Cultural control yang diterpakan dalam proses pelatihan dan pengembangan, bekontribusi positif pada perusahaan, terbukti perushaaan memiliki sumber daya manusia yang senantiasa memnuhi setiap tantangan yang ada. Pada kegiatan sehari-hari pegawai, sangat banyak cultural control yang diimplementasikan pada organisasi. Control tersebut antara lain berbentuk pada seragam yang digunakan, penggunaan pin-pin baju yang berisi nilai-nilai perusahaan, penetapan nilai-nilai perusahaan, dan penggunaan pamflet-pamflet yang ridak hanya berdampak pada pelanggan akan tetapi juga memiliki efeke kepada pegawai IKEA sendiri. Budaya kerja pada IKEA, “ At IKEA, we think of ourselves as a family. Just as one would look after theor parents, siblings or childern, our oworker family is encouraged to and excels at supporting and taking of each other. ”, Spiers Lopes. Spiers Lopez merupakan manajer sumber daya manusia pada
IKEA. Sesuai dengan kalimat diatas, hal tersebut menjadi kebijakan perusahaan dan menjadi budaya pada IKEA. IKEA memiliki cara unik dalma menyebut pegawainya, mereka tidak menyebut mereka sebagai “workers”, akan tetapi “coworkers”. Hal ini menjadi budaya dalam IKEA, hal ini mendorong komunikasi terbuka dalam perusahaan. IKEA mengadopsi stuktur organisasi tanpa penetapan hirarki jabatan.
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 7
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Pegawai didorong untuk mengutarakan opinin dan ide-ide yang dimilik langsung kepada top manajemen.
Seragam pada IKEA, manajemen dan pegawi memiliki seragam yang sama. Mereka diberikan seragam yang digunakan untuk setiap harinya. Cultural control melalui seragam ini bertujuan untuk menghilangkan sekat-sekat yang terdapat diantara pegawai dan manajemen. Dengan penggunaan seragam yang sama dari hulu hingga hilir, pegawai merasakan kesetaraan sehingga pagawai tidak segan untuk mengutarakan pendapat kepada manajemen.
Pada gambar diatas, merupakan pin-pin baju yang digunakan pada seragam IKEA. Hal ini, juga merupakan cultural control yang diterapkan pada perusahaan. Pin-pin tersebut berisi nilai-nilai yang dikedepankan IKEA agar dimiliki oleh setiap pegawianya. IKEA memiliki budaya perusahaan mengedepankan keberagaman. Hal ini terlihat dari komposisi pegawai mereka. 40% pegawai mereka terdiri dari wanita yang terdiri dari beragam kewarganegaraan. IKEA juga membeli dan beoperasi dari dan pada 41 negara berbeda dan pimpinan wilayah berasal dari 14 kewarganegaraan yang berbeda. Hal ini merupakan budaya yang tercipta pada organisasi ini. Hal ini membentuk control untuk pegawai mereka. Hal ini memicu pegawai untuk selalu mengembangkan kompetensi, karena dengan adanya hal ini setiap impian pegawai dalam karir mereka di IKEA memiliki kesempatan yang sama. IKEA juga memiliki kebijakan-kebijakan yang berdampak positif pada kesejahteraan pegawai. Penggunaan “voice” yang merupakan suvey yang digunakan pada seluruh perusahaan untuk Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 8
Management Control Systems: Case Study of IKEA
memonitor pegawai, penggunaan “IKEA leadership Index” dalam penilaian pegawai terhadap manajemen. Hal ini merupakan budaya baik bagi perusahaan dan menciptakan control aygn cukpu efisisen, sehingga setiap orang dalam perusahaan merasa diawasi oleh sesamanya. IKEA memiliki “code of conduct” yang ditetapkan oleh perusahaan. Code of conduct tersebut disebut dengna IWAY standard. Kode-kode IKEA antara lain, pencegahan korupsi, dialog dengna serikat pekerja, asuransi pegawai, serta lingkungna pekerjaan yang sehat dan aman. Pencegahan korupsi dilakukan dengan penetapan “ IKEA Corruption Prevention Policy “ dan “ IKEA Rules on Prevention of Corruption. IKEA mandukung seluruh hak pegawai dalam berasosiasi, tidak medukung ataupun tidak melarang mereka. Seluruh pegawai dilindungi dengna asuransi kesehatan. Setiap pegawai yang dipekerjakan pada perusahaan disertai dengan pelatihan keselamatan terlebih dahulu.
Penanganan pelanggan pada IKEA tergambar pada poster tersebut. Poster tersbut menjadi pedoman dalam berinteraksi dengan pelanggan. Poster ini menjadi budaya pada perusahaan yang cukup efektif dan efisien. “ Assemble your future”, slogan tersebut terdapat pada pemflet yang disematkan pada kardus produk. Pamflet ini tidka hanya berpengaruh terhadap pelanggan, akan tetapi hal ini menjadi pemicu bagi pegawai, dengan slolgan ini pegawai didorong untuk selalu mengembangkan kompetensi untuk menghadapi setiap tantangan.
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 9
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Cultural control yang digunakan pada perusahaan IKEA sangatlah beragam. Hal ini terdapat pada seluruh siklus perusahaan. Biaya dalam penerapan budaya pada IKEA dapat dikatakan cukup sedikit, karena tidak melibatkan penambhana-penambahan aktivitas yang cukup signifikan dalam perusahaa. Penerpana cultural control terebut hanyalah “value add in” yang diciptakan olhe manajemen, sehingga pengendalian dapat terciptas seefektif dan sefisien mungkin.Budaya pada perusahaan tersebut mengedepankan keberagaman dan kreatifitas pegawai. Dengan cultural control yang diterapkan pada IKEA, IKEA menjadi “Employer of Choice” dan terdaftar sebagai salah sati dari top 50 perusahaan yang paling menarik bagi pegawai pada tahun 2010. IKEA juga menjadi salah satu dari “100 est companies to work for” menurut majalah fortune dalam 3 tahun berturut-turut.
C.
Permasalahan yang diatasi dengan adanya Cultural Controls
Code of conduct (IWAY standard) pada cultural control yang diterapkan pada IKEA, menjadi
pedoman bagi pegawai bagaimana seharusnya berperilaku, baik kepada pegawai, kepada manajemen, ataupun kepada pelanggan. Dengan adanya code of conduct pegawai lebih mengetahui harus berbuat apa dalam kegiatan sehari-hari. IWAY standard juga menjadi penengah antara manajemen perusahaan dan serikat pekerja IKEA. Dengan adanya IWAY standard manajemen perusahaan dan serikat pekerja memiliki norma dalam mengawasi satu dan lainnya. Penggunaan pin baju dan pamflet pada IKEA, menjadikan pegawai tetap mengikuti nilai-nilai baik dalam perusahaan. Terlebih lagi, penggunaan hal-hal tersebut dapat menjadi pengulanganpengulangan nilai-nilai utama IKEA sehingga nilai-nilai tersebut selalu tercermin dalam tindakan dan perilaku pegawai setiap harinya. Penggunaan seragam, flat structure organization, dan penggunaan panggilan “co-workers” kepada pegawai merupakan suatu solusi dari permasalahanyang mungkin timbul dari keberagaman yagn ada di IKEA. Dengan penggunaan seragam dan struktur organisasi yang datar, pegawai dan manajemen diposisikan pada tingkat komunikasi yang sama, sehingga jalur komunikasi antara manajemen dan pegawai tidak memiliki jarak yang besar. Panggila co-workers kepada pegawai, membuat posisi pegawai menjadi merasa lebih dihargai, sehingga pegawai memiliki pikiran positif dalam kegiatannya sehari-hari.
Bab III Personnel Controls pada IKEA
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 10
Management Control Systems: Case Study of IKEA
A.
Personnel Control dalam Organisasi
Personnel controls membangun kecenderungan alamiah para pegawai untuk mengendalikan atau memotivasi diri mereka sendiri. Para manajer tidak harus selalu memberi arahan kepada pegawai dan kemudian mengawasinya untuk memastikan bahwa para pegawai mengerjakan tugas-tugas tentang apa yang diinginkan oleh organisasi. Hal tersebut didasari oleh asumsi bahwa para pegawai ingin bekerja secara juga untuk diri mereka sendiri dan hal tersebut akan membawa hasil kinerja perusahaan yang baik juga. Tidak seperti jenis control yang lain, personnel controls membutuhkan perhatian yang lebih hati-hati dalam melakukan seleksi pegawai. Setiap orang harus memenuhi kualifikasi atas setiap jabatan yang dimilikinya untuk memungkinkan digunakannya personnel controls. Selain itu juga terdapat aspek penting yang lain, yaitu motivasi; para manajer harus menjaga para pegawai tetap termotivasi. Hal tersebut dapat dicapai dengan pelatihan, pembahasan lebih lanjut mengenai desain pekerjaan dan persediaan sumber daya yang dibutuhkan. Seperti yang telah disimpulkan oleh Merchant dan Van Dar Stede (2007), dalam banyak kasus, tingkat pengendalian pada personnel/cultural controls ialah kurang ketat. Tingkat personnel/cultural controls yang ketat biasanya dijumpai pada pada organisasi sosial dan volunter, di mana para pegawai merasa puas dengan melakukan kebaikan melalui pekerjaannya, atau dalam bisnis keluarga, di mana adanya kesesuaian antara keinginan organisasi dan keinginan individu yang ingin mereka capai. Akan tetapi, dalam beberapa organisasi, di mana mereka menggunakan banyak bentuk personnel dan cultural control, terdapat personnel/cultural controls yang ketat. Mengacu pada Merchant dan Van der Stede (2007), tahapan yang mungkin diambil untuk meningkatkan kekuatan personnel control sulit untuk diperkirakan. Di sisi lain, cultural control sering kali lebih stabil. Budaya organisasi bisa menjadi kuat karena berasal dari kepercayaan dan nilai yang dimiliki secara mendalam dan tersebar luas. Karenanya, kecuali perusahaan yang memiliki budaya yang kuat, pengendalian yang ketat tidak dapat diperoleh dengan penggunaan personnel/cultural controls sendiri.
B.
Implementasi Personnel Controls di IKEA
Di IKEA, Setiap karyawan baru dipilih secara hati-hati dan harus sesuai dengan profil bagaimana IKEA menginginkan mereka di masa depan dan karyawan tersebut harus memahami betapa pentingnya “core value” bagi IKEA. Pendidikan dan persyaratan lainnya bukan syarat terpenting ketika mereka mencari karyawan baru. Personalitas dan kepribadian serta prinsip yang dimiliki merupakan Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 11
Management Control Systems: Case Study of IKEA
yang lebih penting. Oleh karena itu, pemilihan karyawan sangat penting dan IKEA berusaha mempekerjakan orang-orang yang mempunyai prinsip serta kepribadian yang sesuai dengan budaya perusahaan mereka. Budaya perusahaan yang harus dimiliki calon karyawan adalah semangat kewirausahaan dan semangat dalam bekerja, juga aktif dan sanggup menerima tanggung jawab dalam bekerja ketika kesempatan diberikan. Mereka pun menganggap betapa pentingnya para pelamar kerja untuk memiliki minat terhadap IKEA, oleh karena itu mereka hanya memasang iklan lowongan pekerjaan di dalam website IKEA saja. Mereka percaya apabila para pelamar mengunjungi website IKEA untuk mengajukan lamaran lamaran, maka para pelamar tersebut telah menunjukkan awal ketertarikan terhadap IKEA. IKEA memiliki banyak varietas program pelatihan untuk pengembangan diri para pekerjanya yang ingin belajar hal baru dan ingin berkembang. IKEA juga mempunyai program mentoring, di mana para pegawai baru mempunyai kesempatan untuk belajar bersama pegawai yang sudah berpengalaman yang menjadi mentornya. Ketika seorang karyawan baru di terima, karyawan tersebut diperkenalkan dengan tiga tahap pelatihan dasar. Pada pelatihan pertama karyawan baru diperkenalkan dengan keadaan toko secara keseluruhan dan menerima pakaian seragam mereka. Pelatihan kedua diberikan satu bulan setelah karyawan baru mulai bekerja yaitu pelatihan di bidang keselamatan dalam bekerja (Job safety), cara menjual dan cara berinteraksi dengan konsumen (Customer Relation). Dan satu bulan kemudian pelatihan ketiga yaitu pelatihan mengenai sejarah pendirian IKEA, nilai-nilai perusahaan, training kepribadian dan ergonomik. Pelatihan lebih lanjut akan diberikan sesuai dengan posisi dan fungsi jabatan. Di IKEA, pelatihan terpenting diterima pada saat bekerja sehari-hari, namun pelatihan pelengkap pun akan diberikan seperti training pengelolaan toko dan kepemimpinan. Pelatihan juga akan diberikan setiap kali ada pekerja yang dipindahkan ke departemen lain. Berdasarkan Laporan Tahunan IKEA tahun 2013, terdapat Code of Conduct Training yang terdiri dari beberapa workshops yang bertujuan untuk menguatkan budaya organisasi IKEA. Dan juga terdapat new IKEA Group People Strategy yang salah satunya berbicara mengenai promosi dan pengembangan para pegawainya di tahun-tahun yang akan datang.
C.
Permasalahan yang diatasi dengan adanya Personnel Controls
Seperti yang telah disimpulkan oleh Merchant dan Van Dar Stede (2007), sistem personnel/cultural control biasanya tidak ketat, kecuali di organisasi yang memiliki budaya organisasi yang kuat. IKEA sendiri memiliki budaya organisasi yang kuat sehingga dapat disimpulkan personnel/cultural control ialah ketat atau sekurang-kurangnya cukup ketat. Personnel control yang Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 12
Management Control Systems: Case Study of IKEA
ketat dapat dilihat dengan adanya seleksi pegawai yang terperinci, pendidikan/pelatihan, dan adanya desain perkerjaan yang memberikan kesempatan untuk promosi dan pengembangan diri bagi semua pegawai untuk meraih sukses. Dengan adanya personnel control yang kuat, maka yang diharapkan adalah kesadaran dan kepuasan para pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya dengan baik yang juga berujung pada baiknya juga kinerja perusahaan. Pada umumnya, sesuai dengan yang disimpulkan oleh Merchant dan Van Dar Stede (2007), personnel/cultural control akan dapat mampu menangani semua masalah pengendalian. Pengendalian ini dapat digunakan pada hampir semua kondisi sampai batas tertentu dan biayanya sering kali lebih rendah dibandingkan dengan bentuk pengendalian yang lain. Masalah pengarahan dapat teratasi dengan proses seleksi yang dilakukan oleh IKEA. Mengutip rangkuman laporan tahunan IKEA 2013, “In every interview, we’re looking for people who share our fundamental beliefs. That’s the only similarity we’re after.” Dalam melakukan perekrutan pegawai, IKEA mencari para calon pekerja yang memiliki pandangan yang sama tentang nilai-nilai fundamental perusahaan. Dengan adanya pandangan yang sama, tidak sulit untuk mengarahkan para pegawai untuk berbuat sesuai dengan core value perusahaan. IKEA banyak melakukan investasi untuk melakukan pengembangan diri para pegawai baik itu pengembangan diri secara individual maupun dalam peran profesionalitas pekerjaan mereka. Pelatihan-pelatihan tersebut dapat terus menjaga motivasi para pegawai selain untuk meningkatkan kompetensi diri para pegawai. Dengan adanya banyak program pelatihan, juga dituntut adanya kemungkinan yang lebih besar untuk promosi. Dengan adanya hal-hal tersebut, masalah pengendalian mengenai motivasi maupun pembatasan pribadi dapat teratasi.
Bab IV Action Controls pada IKEA
A.
Action Control dalam Organisasi
Action Controls menyangkut jaminan bahwa para pegawai melaksanakan (atau tidak
melaksanakan) tindakan tertentu untuk manfaat (atau membahayakan) organisasi. Walaupun umum digunakan di berbagai organisasi, namun action controls tidak efektif di setiap keadaan. Action controls dapat diterapkan dan berjalan efektif hanya apabila para manajer memahami tindakan-tindakan yang diinginkan (atau tidak diinginkan), serta memiliki kemampuan untuk
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 13
Management Control Systems: Case Study of IKEA
menjamin bahwa berbagai tindakan yang diinginkan tersebut terjadi (atau tindakan yang tidak diinginkan itu tidak terjadi). Action controls memiliki 4 (empat) bentuk dasar, yaitu: behavioral constraints, preaction reviews, action accountability , dan redundancy . Behavioral Constraints Behavioral constraints merupakan bentuk negatif dari action control. Behavioral controls
dimaksudkan agar sesuatu menjadi tidak mungkin, atau lebih sulit bagi pegawai untuk melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Behavioral constraints dapat diterapkan secara fisik (physically) atau administratif (administratively). Banyak perusahaan menerapkan berbagai bentuk dari physical constraints ini, seperti locks on desk, computer passwords, dan pembatasan akses ke area yang menyimpan persediaan berharga dan informasi yang sensitif. Beberapa alat behavioral constraints secara teknis sangat rumit dan mahal seperti magnetic identification-cards readers, voice-pattern detectors, dan fingerprint atau eyeball-pattern readers. Administrative constraints dapat juga digunakan untuk membatasi kemampuan pegawai
untuk melaksanakan seluruh atau sebagian tindakan tertentu. Salah satu bentuk administrative constraints yang umum digunakan adalah pembatasan kewenangan pengambilan keputusan. Sebagai contoh, para manajer di tingkat bawah hanya diberi kewenangan untuk menyetujui pengeluaran sampai dengan batas US$ 100, dan manajer di tingkat yang lebih tinggi sampai dengan batas US$ 500. Bentuk lain dari administrative constraints adalah pemisahan tugas (separation of duties). Separation of duties ini menyangkut pembagian pekerjaan untuk menyelesaikan tugas penting tertentu kepada beberapa pegawai, sehingga tugas tersebut tidak mungkin untuk diselesaikan oleh satu orang pegawai. Preaction Reviews
Preaction reviews adalah meneliti rencana tidakan (action plans) dari para pegawai yang dikendalikan. Peneliti akan menyetujui atau tidak menyetujui rencana tindakan yang diajukan, kemudian meminta untuk disesuaikan atau meminta rencana yang lebih cermat lagi sebelum persetujuan akhir diberikan. Preaction reviews terdiri dari beberapa bentuk baik yang bersifat formal maupun informal. Bentuk formal dari preaction reviews ini adalah perlunya memperoleh persetujuan atas pengeluaran uang untuk jumlah tertentu. Action accountability
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 14
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Action accountability menyangkut pembebanan kepada para pegawai suatu tanggung jawab atas tindakan-tindakan yang mereka ambil. Penerapan action accountability controls memerlukan langkah-langkah: (1) mendefinisikan tindakan-tindakan apa yang diterima (acceptable) atau yang tidak diterima (unacceptable), (2) mengkomunikasikan definisi dimaksud kepada para pegawai, (3) melakukan observasi atau penyelidikan tentang apa yang terjadi, dan (4) memberikan penghargaan untuk tindakan-tindakan yang baik atau menjatuhkam hukuman kepada mereka yang melakukan penyimpangan. Tindakan-tindakan apa saja yang menjadi tanggung jawab para pegawai dapat dikomunikasikan baik secara administratif (administratively ) maupun secara social (socially ). Hal-hal yang dikomunikasikan secara administratif adalah antara lain penggunaan aturan kerja (work rules), kebijakan dan prosedur ( policies and procedures), persyaratan kontrak (contract provisions), serta kode etik perusahaan (company codes of conduct ). Tindakan-tindakan yang
diinginkan tentunya tidak dikomunikasikan secara administratif. Hal dimaksud disampaikan secara lisan, baik itu melalui rapat-rapat, secara pribadi, maupun melalui diskusi. Secara umum, action accountability controls akan sangat efektif apabila tindakantindakan yang diinginkan dikomunikasikan dengan baik. Namun pada kenyataannya hal tersebut tidaklah cukup. Setiap individu pegawai harus memahami tentang apa yang perlu dilakukan dan merasa yakin untuk melakukannya, sehingga tindakan-tindakan individual tersebut akan diperhatikan, serta dihargai atau dihukum dengan cara yang berarti. Redundancy Redundancy , meliputi penunjukan lebih banyak pegawai (atau, atau paling tidak
menyiapkan tambahan pegawai (atau mesin), untuk pelaksanaan tugas yang sangat perlu. Hal ini masih dapat dianggap sebagai pengendalian (control ) sebab bentuk pengendalian ini dapat meningkatkan kemungkinan bahwa tugas diselesaikan secara memuaskan. Redundancy umumnya diterapkan pada computer facilities, security functions dan critical operations lainnya. Tetapi kelemahan bentuk control ini adalah sangat mahal atau costly .
B.
Implementasi Action Controls di IKEA
1. IKEA menyusun target harga terlebih dahulu sebelum merancang sebuah produk. Praktik ini berbeda dengan metode yang umumnya dilakukan oleh produsen furnitur lain, yaitu merancang produk dahulu baru kemudian menentukan harga sesuai dengan biaya dan markup harga. Hal tersebut adalah bentuk preaction reviews dari IKEA terhadap biaya. Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 15
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Desainer IKEA harus mengakomodasi semua biaya seperti bahan baku, manufaktur, dan transportasi produk sampai produk tersebut tiba di toko dalam target harga yang diberikan. Output dari preaction reviews yang dilakukan tersebut adalah untuk mengembangkan produk yang berkualitas baik dengan biaya rendah yang kemudian bisa terjangkau oleh banyak orang, sehingga MCS nya pun sejalan dengan tujuan perusahaan, yakni untuk memberikan harga yang murah dan barang yang berkualitas baik bagi pelanggan. 2. Prediksi penjualan dan biaya dilakukan oleh setiap toko. Toko IKEA mempunya anggaran yang lebih fleksibel. Apabila prediksi penjualan yang dibuat selama tahun anggaran yang disetujui jauh melebihi dari jumlah yang diprediksi di awal, perusahaan tidak akan meneruskannya untuk membandingkannya dengan anggaran asli. Namun mereka akan membandingkan prediksi penjualan dengan skenario yang dibuat. Selama tahun anggaran toko akan membuat prediksi penjualannya sendiri dan mereka sendiri yang akan memutuskan untuk meningkatkan atau tidak target penjualan mereka. Apabila target penjualan di tingkatkan oleh seluruh toko di Negara Swedia, maka kantor pusat di Swedia akan memutuskan untuk meningkatkan target penjualan secara nasional. Ketika anggaran dibuat, penjualan akan diprediksi setiap minggunya selama tahun anggaran, juga prediksi harian dan untuk setiap divisi prediksi dibuat untuk satu minggu kedepan. Hal tersebut adalah salah satu bentuk action accountability di IKEA. 3. Jadwal pertemuan. Untuk memastikan semua informasi yang penting untuk mengelola organisasi sampai kepada orang atau departemen yang tepat, toko IKEA mempunyai jadwal pertemuan. Jadwal ini menentukan siapa yang harus ada didalam sebuah pertemuan, berapa kali pertemuan diadakan dan berapa lama mereka mengadakan pertemuan tersebut. Hal tersebut termasuk preaction reviews. 4. Daftar periksa (checklist ) untuk setiap pekerjaan yang dilakukan. Para karyawan di divisi penjualan juga menggunakan daftar periksa (checklist) yang akan diberi tanda untuk setiap pekerjaan yang karyawan telah selesaikan. Hal ini termasuk action accountability . 5. Kebebasan karyawan untuk memberi masukan. Tidak dapat suatu Sistem Pengendalian Manajemen dirancang atau dievaluasi tanpa memahami permintaan ( feedback ) dari peran yang dikendalikannya. 6. IKEA Way2. IKEA Way merupakan standar yang harus dipenuhi sebelum dan selama menjadi supplier resmi IKEA. Hal ini mencakup dari proses seleksi supplier (telah dijelaskan dalam personnel control diatas) dan yang terkait action control yakni adanya syarat-syarat yang
2
terlampir
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 16
Management Control Systems: Case Study of IKEA
harus dipenuhi dan dipertahankan oleh supplier selama menjadi partner, semisal bahan baku yang dipakai haruslah ramah lingkungan, tidak boleh menggunakan tenaga kerja dibawah umur, tidak boleh membebani pegawai para supplier dengan waktu lembur yang berlebihan. Hal ini (urusan internal supplier) menjadi concern pula bagi IKEA karena memiliki pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kelangsungan usaha IKEA. 7. Learning from experience as orrective dan preventive actions (bagi para supplier). IKEA memberi perhatian khusus saat memuat produk di kontainer untuk pengangkutan sehingga akan meminimalkan kerusakan selama pengangkutan. Perusahaan memantau proses pemuatan produk melalui video atau foto pada proses akhir dari supplier . Jika terdapat barang yang rusak dalam perjalanan, IKEA bisa meninjau cara pemuatan yang salah dari video atau foto. Hal ini kemudian bisa memberikan umpan balik yang tepat untuk memastikan bahwa cara ini tidak terulang kembali. Hal ini terlihat costly , karena setiap touch dari control adalah terkait dollar yang kaluar. Tetapi hal ini baik bagi perusahaan multinasional, karena knowledge yang dihasilkan dari MCS nya akan dapat dipergunakan dibagian serupa dilokasi lain. Produk tersebut kemudian dikirim ke Distribution Center (DC) atau langsung ke toko. IKEA lebih suka membangun DC nya di tempat-tempat yang dekat dengan pelabuhan sehingga bisa mengendalikan biaya dengan menggunakan lebih banyak transportasi laut daripada kereta api dan angkutan jalan ra ya. Selain itu, juga dipertimbangkan kedekatan DC ke toko-toko yang ada atau yang direncanakan untuk dibangun ketika ia memilih lokasi untuk DC. Produk yang lebih mobile dikirim langsung ke toko-toko atau DC yang lebih dekat ke toko-toko. Produk yang kurang mobile dikirim ke DC yang berlokasi di pusat dan mencakup kawasan yang luas. Corrective dan preventive actions dalam hal ini berjalan berkelanjutan.
C.
Permasalahan yang diatasi dengan adanya Action Controls 1.
Mengingat IKEA sangat meminimalkan jumlah karyawan dalam tokonya (guna cost controlling ), muncul problem yakni kurangnya orang untuk mengatasi keadaan ketika customer dalam jumlah banyak (puncak). Sementara, pegawai dituntut untuk berada di area checkout untuk melayani pembeli yang ingin menyelesaikan pembelian. Hal ini adalah masalah bagi IKEA yang tetap bersikukuh meminimalkan jumlah pegawai di checkout area. Bagaimana IKEA mengatasinya? IKEA mengatasinya dengan menggunakan Beonic’s 3 Traffic Insight visitor flow system yang dimaksudkan untuk melakukan action controls terhadap pegawainya agar seketika berada di checkout area ketika pembeli hendak menyelesaikan pembeliannya. Beonic’s Traffic Insight
3
Beonic’s world-leading retail intelligence system assists retailers to learn how to convert store visitors into actual customers. Beonic reports equip retailers to make more effective decisions about marketing, merchandising and service levels, leading to happier customers, more sales and greater profit.
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 17
Management Control Systems: Case Study of IKEA
sendiri dapat dengan akurat melakukan sensor terhadap orang-orang yang masuk ke dalam toko IKEA. Salah satu store manager dari IKEA mengatakan bahwa “We have a warning before a peak hits because customers take 90 minutes to go through the store. This gives us one hour 20 minutes to get manpower in place to meet that peak. Beonic has been absolutely accurate, giving us clear trends of customer traffic.”
Manfaat Beonic’s Traffic Insight lainnya adalah dapat digunakan untuk menentukan jumlah karyawan yang efisien. Hal ini merupakan action controls dengan bantuan IT. 2.
Berdasarkan pengalaman terdahulu beberapa supplier IKEA pernah melanggar ketentuan yang telah diatur oleh IKEA melalui IKEA Way. Pelanggaran tersebut salah satunya seperti: Pada tahun 2011, IKEA dan afiliasi Swedwood yang berada di bawah kritik atas perlakuan terhadap pekerja di pabrik AS di Danville, V irginia, dan keputusan untuk men yewa firma hukum Jackson Lewis (yang sering digunakan oleh perusahaan untuk melawan tuntutan buruh). Sebuah petisi di change.org telah menerima lebih dari 70.000 tanda tangan mendesak IKEA untuk menghormati hak-hak pekerja. IKEA mengatasinya dengan bekerja sama dengan supplier/afiliasi untuk membentuk serikat pekerja di Danville. Dan kembali meluruskan supplier/afiliasinya untuk berpedoman kepada IKEA Way sebagai action controls.
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 18
Management Control Systems: Case Study of IKEA
3. Learning from experience bagi para suppliers. IKEA memberi perhatian khusus dalam action controls yang detail dan costly saat memuat produk di kontainer untuk pengangkutan sehingga akan meminimalkan kerusakan selama pengangkutan. Perusahaan memantau proses pemuatan produk melalui video atau foto pada proses akhir dari supplier . Jika terdapat barang yang rusak dalam perjalanan, IKEA bisa meninjau cara pemuatan yang salah dari video atau foto.
4. Dengan melakukan penelitian terhadap actions controls yang telah dilakukan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan pengangkutan, IKEA mampu menemukan cara packaging yang tepat dan efisien bagi produknya, yakni flat packaging model dan stackable model .
5. Action controls berbasis IT diterapkan pula dalam Supply Management System (SCM) nya. Suppliers diinformasikan mengenai forecast kebutuhan 26 hingga 52 minggu kedepan. Dibagi kepada suppliers menggunakan Suppliers Matrix berdasarkan Capacities & Lead Times dari masing-masing supplier. Untuk melakukan action controls atas keakuratan data nya, dan menghindari kesalahan atau penyalahgunaan forecast dari pegawainya, IKEA bekerja sama dengan JDA Software Inc dalam hal implementasi JDA Demand & Fulfillment Solutions4. 6. Action controls terhadap perilaku para suppliers pun dilakukan, utamanya pada cabang
perusahaan di negara-negara yang secara historis rawan penyimpangan kualitas, seperti di China. Untuk mengecek kualitas supplier di China, IKEA meng-hire Intertek yang merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang testing and certifying. 7. Action controls dalam IKEA Way yang selalu ter update.
Agar selalu sesuai dengan permasalahan terkini, khususnya permasalahan-permasalahan penyimpangan perilaku supplier terkini, IKEA melakukan update secara terus-menerus dalam IKEA Way nya. Dengan dilakukannya hal ini diharapkan IKEA dapat melakukan filterisasi terhadap supplier barunya, serta melakukan deteksi terhadap perilaku supplier berjalannya.
Bab V Result Controls pada IKEA A.
Result Control dalam Organisasi
Result control merupakan salah satu bentuk pengendalian yang dapat membuat para pegawai
memperhatikan konsekuensi tindakan yang mereka lakukan, organisasi tidak lagi mendikte mereka
4
JDA Demand & Fulfillment Solutions menyediakan visibilitas yang baik dalam melakukan forecast dalam penjualan.
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 19
Management Control Systems: Case Study of IKEA
tetapi memberdayakan mereka untuk mencapai result yang diharapkan. Result control mendorong para pegawai untuk menemukan dan mengembangkan bakat mereka, sehingga dapat memberi masukan bagi top management agar dapat mempekerjakan para pegawai di tempat yang memungkinkan bagi mereka untuk bekerja lebih baik. Result control dapat berjalan secara efektif ketika hasil yang diharapkan sepenuhnya atau
sebagian besar dikendalikan oleh para pegawai dan dapat diukur secara efektif. Salah satu bentuk result control yaitu pay-for-performance. Pay-for-performance berhubungan dengan sistem reward and punishment bagi para pegawai.
Menurut Merchant dan Van der Stede (2007), implementasi dari result control melibatkan empat tahapan berikut ini: 1. Mendefinisikan dimensi-dimensi dari hasil yang diinginkan Tujuan yang ditetapkan dan diikuti oleh pengukuran yang memadai dapat membentuk cara pandang tentang hal-hal apa saja yang penting dan prioritas dalam pencapaiannya. 2. Pengukuran kinerja Mengukur kinerja pegawai dalam periode tertentu harus dilakukan sehingga dapat dihubungkan dengan reward or punishment yang akan mereka peroleh. Reward yang akan diperoleh para pegawai dapat berupa financial reward ataupun non-financial reward . 3. Pengaturan target kinerja Dengan adanya target, maka dapat meningkatkan motivasi & performa kinerja para pegawai. Hal ini dapat terwujud melalui pemberian tujuan yang jelas atas apa yang harus dicapai oleh setiap pegawai. Selain itu, dengan adanya target kinerja diharapkan setiap pegawai dapat mengartikan kinerja mereka sendiri. Karena setiap pegawai tidak akan dapat memberikan feedback yang tepat jika mereka tidak memahami arti dari target yang telah ditentukan bagi
mereka. 4. Pemberian reward atau punishment Reward merupakan elemen akhir dari resut control. Reward dapat berbentuk ekstrinsik
maupun intrinsik. Reward ekstrinsik merupakan reward dalam bentuk bantuan keuangan, sedangkan reward intrinsik berupa sense of complishment atas tujuan yang diinginkan. Mengacu pada Merchant dan Van der Stede (2007), ada beberapa kondisi yang menentukan efektifitas penerapan result control yaitu: 1. Organisasi dapat menentukan hasil apa yang diinginkan di dalam wilayah yang dapat dikendalikan. Selain itu, pimpinan juga harus dapat mengkomunikasikan keinginan tersebut secara efektif kepada para pegawainya.
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 20
Management Control Systems: Case Study of IKEA
2. Karyawan yang tindakannya dikendalikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil yang mereka pertanggungjawabkan. Pegawai yang perilakunya sedang dikendalikan harus mampu memberikan hasil-hasil dengan cara sedemikian besar dalam jangka waktu tertentu. Pengukuran hasil akan bermanfaat terbatas pada sejauh mana pengukuran tersebut memberikan info tentang kelayakan berbagai tindakan yang diambil. 3. Organisasi dapat mengukur efektifitas hasil. Salah satu kriteria yang digunakan untuk menilai efektifitas ialah kemampuan membangkitkan perilaku yang diinginkan.
B.
Implementasi Result Controls di IKEA
Dalam menentukan tujuan dan target yang ingin dicapai, serta untuk mengukur kinerja selama periode tertentu IKEA menggunakan analisis keuangan dan non-keuangan (Berglund dan Rapp,
2010). Analisis-analisis tersebut dapat digambarkan dalam tabel berikut ini: Performance Measures Financial
Non-financial
Ratios
Customer Based:
Sales (daily, weekly, monthly) – by
CSI (Customer Survey )
Department
Number of Visitors
Number of Customers Costs Gross Margin
Market Based:
Market Survey
Personnel Based:
Employee Survey
Productivity Based:
Value of Damaged Products
Working Hours – by Department Extra Internal Handling
ℎ
M3 Handled Supply (Stock) Based:
Stock Value Value of Recovered Products
Number of Articles in Store Number of Articles that Passed
3
Expiration Date
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Berglund dan Rapp (2010), Manajer Divisi IKEA juga menggunakan laporan statistik yang dibuat oleh IKEA Leiden, Belanda. Laporan ini menunjukkan analisis seperti Gross Margin, Product Mix , 30 dan 15 produk yang paling banyak dijual di setiap divisi. Target penjualan dan kinerja toko akan disampaikan kepada staf penjualan dan seluruh karyawan harus mengetahuinya. Penyampaian target dan hasil kinerja dilakukan dengan cara setiap Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 21
Management Control Systems: Case Study of IKEA
pagi pengeras suara akan membuat pengumuman kepada seluruh karyawan sebelum toko dibuka. Pengumuman ini diharapkan dapat membuat para karyawan mengetahui bagaimana kinerja mereka dan di area manakah mereka akan berfokus pada hari ini. Selain itu, hal ini juga bertujuan untuk memotivasi para karyawan serta membentuk internal kompetisi dan kinerja karyawan lebih baik dari tahun sebelumnya. Kedua, ketika informasi yang penting telah dihasilkan di pertemuan tim manajemen, selanjutnya pertemuan antar divisi akan diadakan. Beberapa divisi yang besar tidak pernah mengadakan pertemuan divisi, tetapi mereka akan menginformasikan kepada staf penjualan dengan mengirimkan email setiap minggunya. Selanjutnya, majalah mingguan akan dibagikan, dimana seluruh informasi penting akan tersedia. IKEA menggunakan berbagai macam sistem reward untuk setiap tokonya diseluruh dunia, namun dimasa yang akan datang, ditargetkan akan menggunakan satu sistem untuk membuatnya lebih adil & mudah dalam mengevaluasi dan membuat administrasinya (Berglund dan Rapp, 2010 ). Di toko IKEA Backebol, mereka menggunakan sistem gaji premium yang ditentukan oleh tiga parameter, yaitu penjualan, biaya, dan kepuasan konsumen. IKEA tidak memberikan reward berupa uang bagi karyawan secara individual namun mereka memberikan reward secara grup. Total gaji premium setiap tahunnya tidak tidak terlalu besar secara persentase, paling banyak hanya sebesar setengah bulan gaji saja. Sistem reward yang diterapkan adalah sama untuk setiap toko di Swedia, namun dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan. Beberapa toko menganggap sistem reward ini merupakan faktor yang penting dalam memberikan motivasi para karyawan namun sebagian lainnya menganggap sebaliknya. Sebagai tambahan di sistem penggajian, IKEA Backebol berusaha memberikan sebanyak mungkin umpan balik dan aktivitas yang menunjukkan penghargaan. Umpan balik tersebut dapat berbentuk benda-benda kecil seperti produk dari toko atau kue bagi staf dari restoran, serta kesempatan besar untuk berkembang dan promosi ke posisi yang lebih tinggi atau ke toko yang lain. Tujuannya adalah membuat para karyawan untuk berpikir dan membuat perencanaan pribadi tentang apa yang ingin mereka capai di dalam IKEA, karena tidak adanya garis pedoman bagaimana jenjang karir di IKEA.
C.
Permasalahan yang diatasi dengan adanya Result Controls
Sebuah sistem result control yang ketat harus mencakup dimensi hasil yang spesifik, umpan balik dalam interval waktu yang singkat, komunikasi yang efektif dari hasil yang diinginkan dan langkah-langkah lengkap jika sistem result control digunakan secara eksklusif (Merchant dan Van der Stede, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi ketatnya result control di IKEA, antara lain:
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 22
Management Control Systems: Case Study of IKEA
1. Pengukuran kinerja yang digunakan di setiap toko tampaknya sejalan dengan tujuan organisasi yang benar karena mereka mengukur penjualan dan biaya dengan sangat hati-hati. 2. IKEA menetapkan target yang spesifik karena mereka menggunakan pengukuran-pengukuran yang rinci untuk mengevaluasi kinerja. Mereka tidak hanya mengukur jumlah pengunjung, tetapi juga penjualan per setiap pengunjung dan setiap pelanggan. 3. Para pegawai mendapatkan feedback dalam interval waktu yang singkat karena kinerja dikomunikasikan setiap hari serta lebih rinci. Feedback dapat diperoleh secara mingguan di weekly meeting, secara dan tahunan ketika mereka melihat hasil dari survei pelanggan.
Tujuan yang ingin dicapai dikomunikasikan secara efektif melalui pertemuan rutin dan proses penetapan action & business plan .
Bab VI Kesimpulan
IKEA, selaku perusahaan furnitur multinasional, telah sukses melakukan implementasi Management Control Systems secara spesifik dari hulu hingga hilir proses bisnisnya (Supply Chain Management ). Diberlakukannya Cultural Controls, Personnel Controls, Action Controls , dan Result Controls terhadap dua instrumen utama perusahaan IKEA yang sangat vital, yakni supplier (pemasok
barang) dan pegawai IKEA (yang keduanya menjadi sorotan pembahasan diatas) merupakan tindakan yang sangat tepat, mengingat Management Control System s ada untuk membantu perusahaan mencapai efektivitas dan efisiensi yang pada akhirnya membantu membawa kepada tujuan perusahaan. Satu ciri khas IKEA yang erat kaitannya dengan Management Control Systems adalah IKEA Way. Dengan membuat IKEA Way terhadap suppliers berarti IKEA telah menunjukkan komitmennya terhadap input dan process dari IKEA. Ditambah lagi, dengan menerapkan Management Control Systems terhadap para pegawainya, lengkaplah sudah komitmen IKEA terhadap kualitas, efektivitas,
dan efisiensi atas input, process, output, maupun outcome dari proses bisnisnya. Komitmen-komitmen yang lahir dari adanya Management Control Systems inilah yang menjadi pondasi atas sustainabilitas (keberlangsungan usaha) dan kesuksesan dari perusahaan IKEA.
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 23
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Daftar Pustaka
An Effective Procurement Lesson from IKEA. May 2004. Supply Chain Europe. Jasmine Smith. Achieving Supply Chain Efficiency. 2008. Inside Retailing. Jenny G, The Story of IKEA Furniture. 2008. England. Merchant, Kenneth A., Wim A. Van Der Stede. 2007. Management Control Systems: Performance Measurement, Evaluation, and Incentives Second Edition. Pearson Education Limited, England. www.blog.tradegecko.com/ikeas-inventory-management-strategy-ikea/ www.blog.mbaco.com/business-strategy-and-management-control-measures-for-success/ www.en.wikipedia.org/wiki/Management_control_system www.excedalogic.com/blog/2014/september/03/management-control-system-and-where-they-gowrong#.VJBOtyuUdmw www.faculty.wiu.edu/E-Solymossy/Presentations/Mgt%20570/IKEA.pdf www.ikea.com www.managementcontrolsystemoverview.blogspot.com/ www.slideshare.net/prasant26/innovative-hrm-practices-at-ikea www.tuck.dartmouth.edu/people/vg/research/books/management-control-systems www.uri.edu/research/lrc/scholl/webnotes/Culture.htm
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 24
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Lampiran
IKEA Way:
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 25
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Gudang IKEA (IKEA Warehouse):
Struktur Makro Perusahaan IKEA:
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 26
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Supply Chain Planning Process at IKEA:
Beonic’s Traffic Insight Systems (ilustrasi):
Adhiputro – Bori – Guntur – Hentrisa
Halaman 27