CPOB Perkembangan yang sangat pesat dalam teknologi farmasi dewasa ini mengakibatkan perubahan-perubahan yang sangat cepat pula dalam konsep serta persyaratan CPOB. Konsep CPOB yang bersifat dinamis memerlukan penyesuaian dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan atau teknologi dalam bidang farmasi. Demikian pula perkembangan penerapan CPOB di Indonesia. Terkait dengan telah ditanda-tanganinya Harmonisasi Pasar ASEAN 2008 oleh ke-11 pemimpin negara ASEAN, di mana kesehatan/produk farmasi, merupakan salah satu komoditi yang ikut serta dalam harmonisasi pasar ASEAN. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan industri farmasi nasional, Badan POM Republik Indonesia selaku regulator industri farmasi nasional, telah mencanangkan penerapan CPOB edisi tahun 2006 (CPOB Terkini) bagi industri farmasi di Indonesia mulai 1 Januari 2007 dengan surat keputusan Kepala Badan POM Nomor HK.00.053.0027 tahun 2006. Dalam Pedoman CPOB edisi tahun 2006, acuan yang digunakan antara lain WHO Technical Report Series yaitu TRS 902/2002 Aneks 6, TRS 908/2003 Aneks 4, TRS 929/2005 Aneks 2,3,4, TRS 937/2006 Aneks 2,4 GMP for Medical Products PIC/S 2006, dan lain-lain. Apabila dilihat dari perjalanan sejarah penerapan CPOB di Indonesia, maka penerapan CPOB Terkini, merupakan CPOB edisi ke-3, sejak diberlakukannya penerapan CPOB bagi industri farmasi di Indonesia tahun 1989. Berbeda dengan CPOB edisi 1988 maupun 2001 yang dikenal sekarang, cGMP
atau
CPOB
Terkini
(2006)
lebih
menekankan
pada
sistem
atau
manajemen
(management/system) pada setiap kegiatan di industri serta konsistensi industri farmasi yang bersangkutan dalam melaksanakan berbagai peraturan dan persyaratan tersebut. Hal-hal baru yang diatur dalam CPOB Terkini antara lain adalah Sistem Manajemen Mutu (Quality Management System/QMS), Sistem Tata Udara (Air Handling System/AHS), terutama untuk produk-produk steril serta persyaratan Air Untuk Produksi (water system).
Berikut adalah aspek-aspek yang diatur dalam CPOB 2006 : 1.
Sistem Mutu,
2.
Personalia
3.
Bangunan dan Sarana Penunjang,
4.
Peralatan,
5.
Sanitasi dan Higiene,
6.
Produksi,
7.
Pengawasan Mutu,
8.
Inspeksi Diri dan Audit Mutu,
9.
Penanganan Keluhan Terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk dan Produk Kembalian,
10. Dokumentasi, 11. Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak, 12. Kualifikasi dan Validasi Di samping itu, terdapat 7 (tujuh) anex (supplement), yaitu : 1.
Pembuatan Produk Steril,
2.
Pembuatan Produk Biologi,
3.
Pembuatan Gas Medisinal,
4.
Pembuatan Inhalasi Dosis Terukur Bertekanan (Aerosol),
5.
Pembuatan Produk Darah,
6.
Pembuatan Obat Investigasi Untuk Uji Klinik, dan
7.
Sistem Komputerisasi. Penerapan CPOB Terkini (CPOB: 2006) merupakan upaya pemerintah (Badan POM) untuk
meningkatkan mutu produk farmasi/obat secara terus-menerus serta memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap masyarakat. Di samping itu, penerapan CPOB: 2006 ini juga bertujuan, antara lain: (1) meningkatkan kemampuan industri farmasi Indonesia sesuai dengan standar internasional agar lebih kompetitif baik secara domestik maupun untuk pasar ekspor, (2) mendorong industri farmasi Indonesia agar lebih efisien dan fokus dalam pelaksanaan produksi obat, termasuk pemilihan fasilitas produksi yang paling layak untuk dikembangkan, sehingga produk obat industri farmasi Indonesia mampu menembus pasar dunia karena khasiat dan mutu obat lebih terjamin, (3) peningkatan company image dan volume pasar, (4) menghindari produk yang tidak memenuhi syarat dan pemborosan biaya, (5) menghindari resiko regulasi serta (6) lebih menjamin waktu pemasaran. Diharapkan dengan penerapan CPOB yang terbaru ini industri farmasi di Indonesia akan siap menghadapi globalisasi pasar farmasi yang sudah di depan mata. Namun demikian, hal yang patut diwaspadai adalah adanya fakta bahwa di negara lain, seperti Singapura dan Malaysia, yang sudah menerapkan c-GMP, banyak industri farmasi lokal yang gulung tikar. Di Singapura, seperti disinyalir oleh Anthony Ch. Sunarjo, MBA (Ketua Umum GP Farmasi Indonesia), hampir seluruh industri farmasi lokalnya mati, sedangkan di Malaysia 50% gulung tikar
(Republika, 13 Juni 2006). Memang, penerapan c-GMP ini membutuhkan biaya investasi yang sangat besar (menurut Anthony Ch. Sunarjo sekitar Rp. 30 Milyar). Untuk itu beberapa opsi ditawarkan untuk dapat mengatasi kendala ini, antara lain adalah : 1.
Contract Manufacturing, artinya industri farmasi, terutama yang kecil dan menengah memproduksi obat dengan cara ―menitipkannya‖ di industri lain yang sudah memenuhi syarat
2.
Merger (penggabungan) beberapa industri farmasi kecil dan menengah
3.
Focusing, artinya industri farmasi melakukan pilihan secara terbatas produk-produk apa saja yang bisa diproduksi, sehingga sumber daya dan dana yang tersedia dikonsentrasikan pada sediaan tertentu saja (tidak semua item produk diproduksi) Tentu saja semua langkah dan strategi tersebut di atas perlu dipersiapkan dengan matang, baik
oleh industri farmasi sendiri maupun oleh pemerintah, dalam hal ini Badan POM selaku regulator industri farmasi di Indonesia, agar penerapan c-GMP bagi industri farmasi di Indonesia ini tidak membawa dampak yang buruk bagi perkembangan industri farmasi di Indonesia, khususnya bagi industri farmasi skala kecil dan menengah. Karena bagaimanapun, keberadaan industri farmasi di Indonesia merupakan salah satu bagian penting dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
CPOB 2001 vs CPOB 2006 (1) Berikut adalah beberapa perbedaan antara CPOB: 2001 dengan CPOB: 2006 Format dan Struktural Pedoman CPOB CPOB: 2001
CPOB: 2006
1.
Bab 1. Quality Management (Manajemen Mutu) CPOB: 2001 Tidak diatur CPOB : 2006 Diatur, dengan rincian sebagai berikut : a. Konsep Mutu Manajemen bertanggung jawab agar obat dibuat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaan, memenuhi persyaratan dan tidak menimbulkan resiko yang membahayakan penggunanya, karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Manajemen membuat ―Kebijakan Mutu‖ perusahaan dan ―Manajemen Mutu‖ yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar. b. Kebijakan Mutu Contoh ―Kebijakan Mutu‖ perusahaan.
Konsep keterkaitan antara Manajemen Mutu – Pemastian Mutu – CPOB – Pengawasan Mutu :
c. Pemastian Mutu (Quality Assurance)
Pemastian Mutu adalah suatu konsep luas yang mencakup semua hal, baik secara tersendiri maupun kolektif, yang akan mempengaruhi mutu dari obat yang dihasilkan
Pemastian Mutu (QA) mencakup CPOB ditambah dengan faktor lain, seperti desain dan pengembangan produk, Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) atau Good Clinical Practices (GCP), Good
Laborary
Practices (GCP)
dan Good
Distribution
Practices (GDP).
Quality Management System (Sistem Manajemen Mutu) d.
Pengkajian Mutu Produk
Tujuan: membuktikan konsistensi proses, kesesuaian dari spesifikasi bahan awal, bahan pengemas dan obat jadi; untuk melihat trend dan mengidentifikasi perbaikan yang diperlukan untuk produk dan proses.
Pengkajian Mutu Produk dilakukan secara berkala, setiap 1 tahun sekali disebut Pengkajian Produk Tahunan (PPT)
2.
Bab 2. Personalia
Organisasi, Kualifikasi dan Tanggung Jawab CPOB: 2001 Tidak ada Penanggung Jawab Penjaminan Mutu (QA = Quality Assurance)
CPOB: 2006 Penyesuaian struktur organisasi menurut Sistem Mutu Penanggung Jawab Produksi Penanggung Jawab Pengawasan Mutu Penanggung Jawab Pemastian Mutu (lihat di halaman Personalia)
3.
Bab 3. Bangunan dan Fasilitas
a. Persyaratan Kelas Kebersihan CPOB 2001
CBOB 2006
b. Kaskade (Perbedaan) Tekanan Udara CPOB 2001 Tidak diatur secara spesifik Non beta-laktam : Ruang Produksi Liquid/Semi Solid (tidak berdebu) > Koridor > Ruang Produksi Solid (berdebu) > Udara luar (black area) Beta-laktam : Ruang produksi (solid) < Koridor < Udara Luar (black area) CPOB 2006 Prinsip : Clean koridor Tekanan udara di Koridor > Ruang Produksi (solid maupun liquid/semi-solid)
c. Ruang Penimbangan CPOB 2001 Tidak diatur secara khusus CPOB 2006 Penimbangan bahan dilakukan di area terpisah yang didesain khusus untuk kegiatan tersebut.
4.
Bab 4. Peralatan Desain dan Konstruksi CPOB 2001 Peralatan harus dikualifikasi (KI, KO, dan KK) sebelum digunakan Persyaratan :
CPOB 2006 Kualifikasi diatur dalam bab tersendiri Persyaratan :
Pemasangan dan penempatan
5.
Bab 5. Sanitasi dan Higiene Secara umum, untuk bab 5 ini tidak banyak perbedaan antara CPOB: 2001 dengan CPOB: 2006, kecuali beberapa hal misalnya tentang ―Label Bersih‖ (sedikit beda), dan persyaratan fasilitas sanitasi (locker, tempat sepatu, wastafel, dan lain-lain). CPOB: 2001 Personalia Bangunan Peralatan Validasi dan Keandalan Prosedur
Label ―Bersih‖ CPOB: 2001 CPOB: 2006 Higiene Perorangan Sanitasi Bangunan dan Fasilitas Pembersihan dan Sanitasi Peralatan Validasi Prosedur Pembersihan dan Sanitasi
Label ―Bersih‖ CPOB: 2006 6.
Bab 6. Produksi a. Umum Pada bab ini terdapat banyak sekali perbedaan antara CPOB: 2001 dengan CPOB: 2006. Perbedaan utama di antaranya adalah dihilangkannya klausul tentang ―Produk Steril‖, di mana pada CPOB: 2006 di buat dalam bab tersendiri (Anneks 1 ―Pembuatan Produk Steril‖) sehingga jauh lebih lengkap. Perbedaan lain yang utama adalah perubahan beberapa ―Glosarium‖ (pengertian istilah), di antaranya : Bahan Awal terbatas pada bahan baku aktif dan bahan baku pembantu (pada CPOB: 2001, bahan awal adalah bahan baku aktif, bahan penolong dan bahan pengemas) Bahan pengemas dipisahkan dari bahan cetak (etiket dan leaflet) Istilah ―contoh‖ diganti dengan ―sampel― Istilah ―Obat Jadi‖ diganti dengan ―Produk Jadi― Perbedaan lain, ―Validasi Proses‖, pada CPOB: 2006 dibuat Bab tersendiri (Bab 12. Kualifikasi dan Validasi). Di samping itu, pada CPOB: 2006 juga di atur tentang ―Penggunaan Fasilitas Bersama‖ dengan produk ―Non Obat‖, misal kosmetika, produk komplemen (food supplement/complimentary products), dan obat tradisional non simplisia, harus mendapat persetujuan dari Otoritas Pengawas Obat (Badan POM). b. Bahan Awal CPOB: 2001 Tidak ada ketentuan mengenai ―Daftar Pemasok Yang Disetujui‖ dan ―Nama Pemasok‖ Persyaratan suhu ruangan penyimpanan :
Label status bahan awal, untuk zat berkhasiat harus tiap wadah. Sedangkan untuk wadah bahan awal lain, direkatkan paling sedikit satu label pada wadah terbawah dari tumpukan wadah yang tersimpan di atas satu palet. Kalibrasi timbangan, tidak ada ketentuan lembaga yang melakukan kalibrasi Bahan awal yang ―Ditolak‖, di simpan di tempat khusus (tidak ada ketentuan harus terkunci). CPOB : 2006 Harus dibuat ―Daftar Pemasok yang disetujui‖ dan ―Nama Pemasok‖ yang dicantumkan dalam ―Spesifikasi Bahan‖ Persyaratan suhu ruangan penyimpanan :
Label status bahan awal, tiap wadah bahan awal harus ada status. Kalibrasi timbangan, dibagi menjadi 2 macam, yaitu kalibrasi internal dan kalibrasi eksternal. Kalibrasi internal dilakukan rutin tiap 6 bulan dengan menggunakan batu timbang standar terkalibrasi. Kalibrasi eksternal hanya boleh dilakukan oleh laboratorium kalibrasi terakreditasi (memiliki sertifikat KAN), pemasok/perusahaan lain yang terakreditasi atau oleh Badan Metrologi untuk memenuhi legalitas oleh pemerintah. Bahan Awal yang ―Ditolak‖ harus tersimpan ditempa khusus yang terkunci.
c. Penimbangan dan Penyerahan
CPOB: 2001 Tidak ada persyaratan ruang khusus untuk menyimpan bahan yang sudah ditimbang atau dihitung (Staging Area) CPOB: 2006 Sesudah ditimbang atau dihitung, semua bahan untuk tiap bets disimpan dalam satu kelompok dalam ruang khusus (Staging Area) dan diberi penandaan yang jelas (lihat Bab 3. Bangunan dan Fasilitas) d. Pengolahan CPOB: 2001 Tidak ada ketentuan pemantauan suhu dan kelembaban udara, sebelum dilakukan proses pengolahan. Persyaratan ―Air Untuk Produksi‖ :
Tidak ada ketentuan mengenai jenis pelumas mesin yang digunakan. Tidak ada ketentuan khusus mengenai ―Batas Waktu‖ dan ―Kondisi Penyimpanan‖ Produk-Dalam-Proses (produk antara sebelum dilakukan pengemasan primer). Proses pengolahan produk steril
CPOB: 2006
Sebelum dilakukan proses pengolahan, dilakukan pemantauan suhu dan kelembaban ruangan produksi. Persyaratan ―Air untuk Produksi‖
Pelumas mesin yang digunakan harus ―food grade‖. ―Batas Waktu‖ dan ―Kondisi Penyimpanan‖ Produk-Dalam-Proses, harus ditetapkan agar produk tidak mengalami penurunan mutu selama penyimpanan sebelum dilakukan proses selanjutnya. Pembuatan Produk Steril diatur dalam Bab tersendiri (Anneks 1). e. Bahan Pengemas CPOB: 2001 Dimasukkan dalam ―Bahan Awal‖ CPOB: 2006
Bahan Pengemas dibedakan Bahan Pengemas Primer, Bahan Pengemas Cetak (leaflet dan etiket), dan Bahan Cetak Lain. Bahan Pengemas Cetak harus disimpan dengan kondisi pengamanan memadai (terkunci) dan orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk. Kodifikasi (pemberian kode nomor bets) dilakukan di ruangan terpisah dan hanya bahan cetak tertentu saja yang boleh diletakkan di tempat kodifikasi pada saat yang sama. 7.
Bab 7. Pengawasan Mutu Salah satu perubahan pokok dalam CPOB 2006, bila dibandingkan dengan CPOB 2001 adalah Bab mengenai Pengawasan Mutu. Perubahan fundamental tersebut di antaranya adalah mengenai adanya Cara Berlaboratorium Pengawasan Mutu Yang Baik (dalam CPOB 2001 tidak ada), metode pengambilan sampel, dan program stabilitas. Untuk Validasi Metode Analisa, pada CPOB 2006 dibahas dalam bab tersendiri (Bab 12. Kualifikasi dan Validasi). Hal lain yang berbeda adalah Bagian QC hanya berhak untuk meluluskan/menolak Bahan Awal, Bahan Pengemas, Produk Antara dan Produk Ruahan, sedangkan untuk Produk Jadi yang berhal meluluskan atau menolak adalah Bagian QA (Quality Assurance). Pada CPOB 2006 ini juga dikenal istilah Cara Berlaboratorium Pengawasan Mutu Yang Baik (CBPMB), yang mengacu pada GLP (Good Laboratory Practices). Aspek-aspek dalam CBPMB adalah Bangunan dan fasilitas, Personil, Peralatan, Pereaksi dan Media Perbenihan, Baku Pembanding, Spesifikasi dan Prosedur Pengujian, serta Catatan Analisis. Cara Berlaboratorium Pengawasan Mutu Yang Baik (CBPMB) a. Bangunan dan Fasilitas CPOB : 2001 Persyaratan untuk ruang Pengambilan Sampel, Ruang Pengujian Mikrobiologi tidak di atur secara spesifik Bangunan Laboratorium pengujian untuk hewan boleh dalam satu bangunan (gedung) dengan syarat menggunakan sistem pengendalian udara terpisah dan dilengkapi dengan ruang penyangga. Suhu ruangan Laboratorium: 24 – 28 derajat C, Kelembaban Nisbi (RH : 60 – 80 %) CPOB : 2006 Persyaratan Ruang Pengujian Mikrobiologi dan Ruang Pengambilan Sampel di atur lebih spesifik.
Bangunan Laboratorium Pengujian Hewan HARUS TERPISAH
dengan sistem
pengendalian udara yang terpisah dan dilengkapi ruang antara sebagai ruang penyangga. Suhu ruangan Laboratorium : Max. 28 derajat Celcius, Kelembaban Nisbi: Maksimum 80%. b. Personil Hampir sama, hanya saja pada CPOB: 2006, dijelaskan mengenai Uraian Tugas masingmasing Kepala Seksi. Harus ada personil pengganti apabila pejabat yang bersangkutan berhalangan. c. Peralatan CPOB: 2001 Tidak ada ketentuan lokasi Protap untuk mengoperasikan tiap instrumen atau peralatan Tidak ada persyaratan Kualifikasi/Validasi peralatan, instrumen atau perangkat lunak terkait Syarat kalibrasi alat tidak jelas dan spesifik CPOB: 2006 Protap (Prosedur Tetap) untuk pengoperasian tiap instrumen dan peralatan tersedia dan DILETAKKAN Di DEKAT instrumen atau peralatan yang bersangkutan Peralatan,
instrumen
dan
perangkat
lunak
(software)
terkait
HARUS
dikualifikasi/divalidasi, dirawat dan dikalibrasi dalam selang waktu yang telah ditetapkan serta didokumentasikan. Tanggal kalibrasi, perawatan dan kalibrasi ulang HARUS sesuai dengan jadwal dan tertera dengan jelas pada peralatan ybs. d. Pereaksi dan Media Perbenihan CPOB: 2001 = CPOB: 2006
e. Baku Pembanding CPOB : 2001 Tidak dijelaskan secara rinci prosedur pembuatan Baku Pembanding (primer, sekunder, maupun kerja) Tidak ada persyaratan pencantuman tanggal penerimaan dan pertama kali wadah dibuka pada tiap wadah bahan yang digunakan. CPOB: 2006 Baku Pembanding terdiri dari Baku Pembanding Primer, Baku Pembanding Sekunder dan Baku Kerja. Baku Kerja dapat dibuat dari bahan aktif yang telah dibakukan terhadap Baku Pembanding Primer atau Baku Pembanding Sekunder, minimal dilakukan 6 x pengulangan dengan RSD < 2%. Tanggal penerimaan dan pertama kali wadah dibuka HARUS dicantumkan pada tiap wadah bahan yang digunakan. f. Pengambilan Sampel CPOB: 2001 Pola pengambilan contoh Bahan Baku (bahan baku aktif dan bahan tambahan) dan Bahan Pengemas
Uji Identitas: Contoh diambil dari tiap wadah, tidak ada aturan tentang validasi yang menjamin tidak ada wadah dengan penandaan yang salah. Diatur mengenai jumlah contoh yang harus diambil. Kegiatan pengambilan contoh dapat dilakukan di Ruang Kelas IV dengan memanfaatkan teknik udara laminar. Tidak ada aturan khusus mengenai validasi pembersihan alat pengambil sampel dan batas waktu penyimpanan. CPOB: 2006 Pola pengambilan sampel Bahan Awal (bahan baku aktif dan bahan tambahan) dan Bahan Pengemas, dilakukan menurut pola sebagai berikut:
Uji Identitas : Sistem pengambilan sampel dari sebagian jumlah wadah yang diterima secara proporsional diperbolehkan apabila telah dilakukan validasi yang menjamin tidak ada wadah dengan penandaan yang salah. Kegiatan pengambilan sampel harus dilakukan di dalam Ruang Pengambilan Sampel (Ruang Sampling) yang setara dengan kelas kebersihan jenis produk yang diproduksi dan dilengkapi dengan dust extractor dan LAF (Laminar Air Flow). Harus dilakukan Validasi Pembersihan Alat Pengambil Sampel dan alat yang sudah dibersihkan diberi batas waktu penyimpanan. g. Persyaratan Pengujian CPOB: 2001 Tidak ada aturan mengenai pengurangan parameter pengujian Bahan Awal (Bahan Baku Aktif dan Bahan Baku Penolong). Tidak ada aturan mengenai batas waktu pengujian (lama penyimpanan) Produk Antara/Produk Ruahan. Tidak ada aturan mengenai pengurangan pengujian produk jadi yang telah disetujui pada saat pemberian izin edar. CPOB: 2006 Parameter pengujian tertentu untuk Bahan Awal dapat dikurangi bila tren seluruh parameter yang diuji telah memenuhi syarat tertentu. Batas waktu pengujian (lama waktu penyimpanan) Produk Antara/Produk Ruahan harus ditetapkan dan divalidasi Parameter pengujian untuk produk jadi yang telah disetujui pada saat pemberian izin edar dapat dikurangi bila tren seluruh parameter yang diuji telah memenuhi persyaratan tertentu, antara lain: Proses Pembuatan sudah divalidsi, uji stabilitas memenuhi syarat dan tersedia data validsi retrospektif atau peninjauan produk tahunan.
h. Studi Stabilitas CPOB: 2001 Kriteria pengujian: ICH Guideline (ICH QIA) Tidak ada aturan mengenai jenis perubahan yang memerlukan uji stabilitas Tidak ada aturan yang spesifik mengenai studi stabilitas produk yang beredar. CPOB: 2006 Kriteria pengujian : ASEAN Guideline on Stability Study of Drug Product dan Guideline resmi lain, misalnya ICH. Beberapa perubahan, harus dilakukan uji stabilitas :
Studi Stabilitas produk yang beredar, dibedakan antara lain: Uji stabilitas untuk produk yang beredar dengan didukung data Pengkajian Produk Tahunan (Annual Product Review), kondisi penyimpanan sampel sesuai dengan yang disyaratkan (on going stability), Follow Up Study(FUS), In-use stability dan study survaillence.
8.
BAB 8. INSPEKSI DIRI DAN AUDIT MUTU a. Aspek Untuk Inspeksi Diri
b. Tingkat Kekritisan CPOB: 2001
CPOB: 2006
c. Audit Mutu CPOB: 2001 Tidak diatur CPOB: 2006 Audit Mutu digunakan untuk melengkapi program Inspeksi Diri Audit Mutu meliputi pemeriksaan dan penilaian semua atau sebagian dari Sistem Manajemen Mutu dengan tujuan spesifik untuk meningkatkan mutu. Audit Mutu dilaksanakan oleh spesialis dari luar atau independen atau tim yang dibentuk khusus untuk hal ini oleh manajemen perusahaan. d. AUDIT DAN PERSETUJUAN PEMASOK CPOB: 2001 Diatur dalam Bab 7. Pengawasan Mutu CPOB: 2006 Harus dibuat Prosedur Tetap (Protap). Merupakan tanggung jawab Bagian Pemastian Mutu (QA). Dibuat Daftar Pemasok Yang Disetujui (Approved Supplier) dan ditinjau ulang secara berkala. Dilakukan evaluasi sebelum pemasok disetujui. Kemampuan pemasok memenuhi standar CPOB. 9.
BAB 9. PENANGANAN KELUHAN TERHADAP PRODUK, PENARIKAN KEMBALI PRODUK DAN PRODUK KEMBALIAN CPOB : 2001 Penanggung jawab tidak diatur Tidak definisi mengenai Penarikan Kembali Produk dan Produk Kembalian CPOB: 2006 Penanggung jawab : Kepala Bagian Pemastian Mutu Definis: Lihat halaman Bab 9.
10. BAB 10. DOKUMENTASI Tidak ada perbedaan signifikan antara CPOB: 2001 dengan CPOB: 2006 11. BAB 11. PEMBUATAN DAN ANALISIS BERDASARKAN KONTRAK
12. BAB 12. KUALIFIKASI DAN VALIDASI CPOB: 2001 Tersebar dalam beberapa Bab. CPOB : 2006 Keterangan lengkap lihat Validasi 13. ANNEKS 1. PEMBUATAN PRODUK STERIL Beikut adalah beberapa perbedaan pembuatan produk steril, antara CPOB: 2001 dengan CPOB: 2006 (lainnya pelajari sendiri yach ..
).
Beda CPOB dengan ISO 9000 Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), menurut definisi dari Badan POM Republik Indonesia (Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik, Badan POM RI, 2006) adalah seluruh aspek dalam praktek yang ditetapkan yang secara kolektif menghasilkan produk akhir atau layanan yang secara konsisten memenuhi spesifikasi yang sesuai serta mengikuti peraturan nasional dan internasional. Sesuai dengan Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 245/Men.Kes/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi, dan Surat Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.053.0027 tahun 2006 tentang Penerapan CPOB edisi tahun 2006, maka setiap industri farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB. Sertifikat CPOB merupakan bukti bahwa industri farmasi tersebut memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk proses produksi obat. Sertifikat CPOB ini diberikan kepada industri farmasi sebagai syarat untuk mendapatkan izin edar dari obat (produk) yang dibuatnya dan diberikan untuk masing-masing bentuk sediaan obat, yang dikeluarkan oleh otoritas pengawas obat (dalam hal ini – di Indonesia – adalah Badan POM RI) . Jadi, CPOB merupakan persyaratan mutlak yang diwajibkan oleh pemerintah (Badan POM) bagi industri farmasi untuk bisa memproduksi obat. CPOB berlaku secara nasional. Masing-masing negara memiliki aturan dan persyaratan yang berbeda-beda, sesuai dengan peraturan perundang-undangan di masing-masing negara. Jadi, misalnya Amerika Serikat menetapkan aturan dan persyaratan CPOB/GMP yang ditetapkan oleh US FDA (United State Food and Drug Administration), Australia oleh TGA (Therapeutic Goods Administration), China oleh SFDA (State Food and Drug Administration), dan sebagainya. Jadi, jika produk dari negara kita hendak di ekspor ke Australia, maka industri farmasi kita harus memenuhi syarat CPOB-nya Australia (TGA compliance), kalau mau kita ekspor ke Amerika Serikat, maka industri farmasi kita harus memenuhi persyaratan GMP-nya Amerika Serikat (FDA approved), dan sebagainya. Di samping masing-masing negara membuat suatu aturan/persyaratan untuk negara yang bersangkutan, ada juga suatu organisasi independen yang anggotanya terdiri dari badan pemerintah beberapa
negara
yang
bertanggung
jawab
terhadap
pengawasan
pembuatan
obat,
yaitu PIC/S (Pharmaceutical Inspection Co-operation/Scheme). Malaysia dan Singapura adalah 2 negara di kawasan ASEAN yang telah menjadi anggota PIC/S. Sehingga sertifikat CPOB yang dikeluarkan oleh otoritas pengawasan obat di Malaysia atau Singapura, “diakui” oleh negara-negara lain yang tergabung dalam PIC/S. Artinya, jika industri farmasi dari Malaysia atau Singapura hendak meng-ekspor produknya ke negara-negara anggota PIC/S lainnya, maka tidak perlu lagi di-audit oleh otoritas pengawasan obat dari negara tujuan. ISO 9000 ISO-9000 adalah suatu standar internasional untuk sistem menajemen kualitas yang dikeluarkan oleh International Organization for Standarization (ISO) di Geneva, Swiss sebagai standar sistem
manajemen mutu yang diakui secara internasional. ISO 9000 menetapkan persyaratan-persyaratan dan rekomendasi untuk desain dan penilaian dari suatu sistem manajemen kualitas yang bertujuan untuk menjamin bahwa organisasi akan memberikan produk (barang dan/atau jasa) memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Persyaratan-persyaratan tersebut dapat merupakan kebutuhan spesifik dari pelanggan, dimana organisasi yang dikontrak itu bertanggung jawab untuk menjamin kualitas dari produk-produk tertentu, atau merupakan kebutuhan dari pasar tertentu, sebagaimana ditentukan oleh organisasi yang bersangkutan. ISO 9000 pertama kali dikeluarkan pada tahun 1987 oleh The International Organization for Standarization Technical Committee (ISO/TC) 176. ISO/TC inilah yang bertanggung jawab untuk standar-standar sistem manajemen mutu. ISO/TC 176 menetapkan siklus peninjauan ulang setiap lima tahun, guna menjamin bahwa standar-standar ISO 9000 akan menjadi up to date dan relevan untuk organisasi. Revisi terhadap standar ISO 9000 telah dilakukan pada tahun 1994 dan tahun 2000. ISO 9000 yang terbaru (edisi terakhir) adalah ISO 9000 versi tahun 2008. ISO-9000 bukan merupakan standar produk, karena tidak menyatakan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu poduk. ISO-9000 hanya merupakan standar sistem manajemen mutu. Jadi apabila suatu perusahaan telah memperoleh sertifikat ISO-9000, maka BUKAN PRODUK-nya yang berstandar internasional, melainkan SISTEM MANAJEMEN MUTU-nya yang berstandar internasional. Meskipun demikian, diharapkan bahwa produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang telah memperoleh sertifikat ISO-9000 juga akan berkualitas baik. Sekali lagi dikatakan bahwa ISO9000 adalah bukan merupakan suatu persyaratan produk tersebut bisa dipasarkan, tetapi lebih ke arah untuk memberikan kepuasan/tuntutan konsumen. Ini sedikit agak berbeda dengan GMP (CPOB) yang merupakan persyaratan mutlak (keharusan) yang diwajibkan oleh pemerintah bagi industri farmasi untuk bisa memproduksi obat. Disamping itu, ISO-9000 berfokus pada Sistem Mutu yang ditentukan oleh manajemen, sedangkan GMP (CPOB) berfokus pada kualitas produk yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan mutu yang telah ditetapkan (misalnya Farmakope).
Perbedaan CPOB vs ISO
Quality Management System Industri farmasi bertujuan untuk menghasilkan obat yang harus memenuhi persyaratan khasiat (efficacy), keamanan (safety) dan mutu (quality) dalam dosis yang digunakan untuk tujuan pengobatan. Salah satu kriteria penting dari produk industri farmasi ialah diterimanya kriteria
persyaratan kualitas obat. Karena menyangkut soal nyawa manusia maka industri farmasi dan produk industri farmasi diatur secara ketat, baik oleh industri farmasi itu sendiri maupun oleh pemerintah (dalam hal ini Badan POM sebagai regulator industri farmasi di Indonesia). Sebagaimana industri dan produk industri farmasi di negara-negara lain, industri farmasi farmasi di Indonesia diberlakukan persyaratan yang diatur dalam Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Dalam pedoman pelaksanaan CPOB disebutkan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi mutu produk antara lain adalah (1) kualitas dari bahan awal dan bahan pengemas yang digunakan, (2) proses pembuatan dan pengawasan mutu, (3) bangunan dan peralatan, serta (4) personalia yang terlibat dalam pembuatan obat. Dengan semakin meningkatnya tuntutan terhadap jaminan khasiat, keamanan dan kualitas produk, maka ―konsep pengawasan mutu‖ yang saat ini masih banyak digunakan di industri farmasi, menjadi sangat tidak memadai lagi. Konsep pengawasan mutu (quality control concept) didasarkan pada konsep ―defect detection‖, artinya bagaimana suatu sistem pengawasan tersebut dapat mendeteksi terjadinya suatu kesalahan/penyimpangan yang telah terjadi. Dengan kata lain, sistem ini hanya bisa mendeteksi kesalahan yang ―sudah‖ terjadi. Tentu saja, di tengah arus globalisasi saat ini, konsep yang demikian sudah sangat tidak memadai lagi, apalagi untuk bisa memberikan jaminan terhadap khasiat, keamanan dan mutu suatu produk. Jaminan terhadap khasiat, keamanan dan mutu produk industri farmasi tersebut hanya bisa dilakukan jika terdapat sistem yang secara proaktif ―mencegah‖ sebelum terjadinya kesalahan dan/atau penyimpangan dalam proses pembuatan obat tersebut. Konsep ini disebut dengan ―Konsep Penjaminan Mutu‖ (Quality Assurance). Secara sederhana, Konsep ―Penjaminan Mutu‖ dapat diilustrasikan sebagai berikut: ada sebuah industri farmasi memiliki 5 buah mesin tablet dengan kapasitas masing-masing 1.000.000 tablet perhari. Jadi industri farmasi tersebut dalam sehari memproduksi 5 juta tablet, dalam seminggu dihasilkan 25 juta tablet (5 x 5 juta), sebulan = 100 juta tablet, setahun 12 x 100 juta = 1,2 milyar tablet. Pertanyaannya adalah apakah ke-1,2 milyar tablet tersebut SEMUA-nya dapat dijamin kualitasnya? Berapa persenkah dari 1,2 milyar tablet tadi yang boleh tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan? Tentu saja jawabannya adalah 0% (NOL PERSEN) alias tidak boleh ada SATU tablet-pun yang tidak memenuhi syarat. Konsep ini yang disebut dengan Zero Defect Concept. Nah, konsep ini tidak mungkin berjalan kalau masih menggunakan konsep ―Pengawasan Mutu‖ karena konsep ini hanya ―mencari‖ kesalahan. Penjaminan hanya bisa dilaksanakan jika ada sistem yang mengatur seluruh komponen (unsur) dalam industri farmasi tadi agar tujuan mutu dapat tercapai. Sistem inilah yang sering disebut dengan Sistem Manajemen Mutu (Quality Management System).
Quality Management System (QMS) adalah sistem yang mengatur atau mengelola SELURUH komponen atau sumber daya yang ada di dalam industri farmasi agar tujuan mutu, yaitu jaminan terhadap khasiat, keamanan dan kualitas produk dapat tercapai. Agar QMS ini dapat berjalan, maka harus ada ―departemen khusus ‖ yang mengawasi pelaksanaan QMS. Departemen ini bertindak sebagai ―polisi‖ yang mandiri untuk memantau keseluruhan proses pembuatan obat mulai dari konsep desain di R&D hingga obat tersebut berada di tangan konsumen. QMS mencakup atau memiliki ruang lingkup, antara lain : (1) Sistem Mutu (Quality System), (2) Personalia, (3) Sanitasi dan Higiene, (4) Inspeksi Diri dan Audit Mutu, (5) Sistem Dokumentasi Perusahaan, (6) Program Kualifikasi dan Validasi, (7) Penanganan Keluhan Terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk serta Produk Kembalian. Sebagai penanggung jawab dan pengawas pelaksanaan QMS adalah Departemen QA. Contoh pelaksanaan QMS sehari-hari di industri farmasi diilustrasikan sebagai berikut, kita ambil contoh kasus ―Pengadaan Bahan Baku‖ : 1.
Bahan baku digunakan untuk memproduksi obat jadi. Agar bisa dihasilkan obat jadi sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan, salah satu faktor penting yang harus diperhatikan adalah kualitas dari bahan baku yang digunakan, harus sesuai dengan spesifikasi bahan bahan baku yang telah ditetapkan. Departemen yang ber-hak menentukan spesifikasi bahan baku yang digunakan adalah Departemen R&D, karena departemen inilah yang tahu secara persis spesifikasi bahan baku, misalnya kadar airnya, ukuran partikelnya, atau sifat-sifat amorfnya, dan lain-lain. Tugas Departemen QA adalah (1) menyetujui spesifikasi yang telah dibuat oleh Departemen R&D tersebut, agar spesifikasi yang dibuat oleh Departemen R&D tidak menyimpang dari peraturan perundang-undangan, seperti Farmakope, aturan CPOB dan
sebagainya. (2) Memastikan bahwa SELURUH bahan baku yang digunakan oleh industri farmasi tersebut HARUS SESUAI dengan spesifikasi yang telah dibuat, dengan cara membuat aturan atau Sistem Pelulusan Bahan Awal. Jadi, hanya bahan awal/baku yang sesuai dengan spesifikasi yang boleh diterima dan digunakan untuk proses produksi oleh industri farmasi tersebut. 2.
Pembelian bahan baku. dilakukan oleh Departemen Pembelian (Purcashing). Prosedur/tata cara pembelian dibuat oleh departemen yang bersangkutan, yaitu Departemen Purcashing. Tugas Departemen QA adalah (1). Menyetujui prosedur pembelian tersebut (Protap harus disetujui oleh Departemen QA) (2). Memastikan bahwa Departemen Purcashing hanya membeli bahan baku/awal sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan membeli bahan baku/awal tersebut dari suplier yang telah disetujui oleh Departemen QA (approved supplier). (3) Untuk memastikan Depatemen Purcashing melakukan hal tersebut, maka Departemen QA melakukan audit internal (inspeksi diri) dan audit external. Audit internal dilakukan untuk mengetahui apakah Departemen Purcashing telah melakukan sistem/aturan yang telah dibuat, sedangkan audit eksternal dibuat untuk mengetahui kondisi supplier yang memasok bahan awal/baku.
3.
Setelah bahan awal/baku datang, yang menerima bahan tersebut adalah Departemen/bagian Gudang. Prosedur atau tata cara penanganan bahan di gudang, yang paling tahu tentunya adalah departemen/bagian yang bersangsangkutan. Sehingga yang membuat Protap tentang penanganan bahan di gudang adalah departemen/bagian gudang. Tugas QA adalah (1) menyetujui protap tersebut, (2) memastikan apakah protap tersebut dijalankan, dengan cara melakukan audit internal.
4.
Yang berkewajiban untuk melakukan pemeriksaaan bahan awal/baku tersebut adalah Departemen QC, karena departemen inilah yang ―memiliki‖ laboratorium pengujian. Untuk dapat melakukan pengujian, maka Departemen QC membuat Prosedur Tetap Cara Pengujian Bahan. Tugas Departemen QA adalah (1). Menyetujui Protap pengujian tersebut, (2). Memastikan bahwa protap pengujian tersebut akan senantiasa menghasilkan hasil pengujian yang konsisten. Untuk menguji cara pengujian tersebut Departemen QA melakukan Validasi Metode Analisa.
5.
Demikian seterusnya. Jadi Departemen QA membuat suatu sistem/aturan yang mengatur tentang sistem/aturan di seluruh departemen/bagian yang ada dalam industri farmasi tersebut. Demikian sekilas gambaran pelaksanaan Quality Management System di industri farmasi. Jadi,
dengan bahasa yang sederhana Quality Management System (QMS) adalah ATURAN YANG MENGATUR ATURAN. Aturan dibuat untuk dilaksanakan, bukan untuk dilanggar. Agar aturan tersebut tidak dilanggar, maka harus ada ―polisi‖ yang mengawasi pelaksanaan aturan tersebut. Agar dapat mengawasi pelaksanaan aturan tersebut, maka si pengawas – yaitu Departemen QA – HARUS diberi KEWENANGAN oleh Direksi perusahaan, yang harus termaktub dalam Kebijakan Mutu perusahaan dan harus ditanda tangani oleh pimpinan tertinggi perusahaan sebagai bukti komitmen perusahaan tersebut atas jaminan khasiat, keamanan dan kualitas produk yang dihasilkannya.
Manajemen Mutu Prinsip Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan resiko yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif Manajemen bertanggung jawab untuk mencapai tujuan tersebut dengan membuat suatu ―Kebijakan Mutu‖ Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan, diperlukan manajemen mutu dan diterapkan secara benar.
Contoh ―Quality Policy‖ suatu industri farmasi
Unsur dasar dari Manajemen Mutu adalah : Adanya infrastruktur atau sistem mutu Pemastian Mutu (Quality Assurance) Hubungan antara QA – CPOB – QC CPOB merupakan bagian dari Pemastian Mutu yang memastikan bahwa obat dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar mutu sesuai dengan tujuan penggunanaan dan dipersyaratkan dalam izin edar dan spesifikasi produk CPOB mencakup Produksi dan Pengawasan Mutu Pengawasan Mutu adalah bagian dari CPOB yang berhubungan dengan pengambilan sampel, spesifikasi dan pengujian, serta dengan organisasi, dokumentasi dan prosedur pelulusan. Hubungan antara Quality Management – QA – CPOB – QC adalah sebagai berikut :
Pengkajian Mutu Produk
Personalia Prinsip Sumber daya manusia memegang peranan sangat penting dalam pembentukan dan penerapan sistem pemastian mutu Industri farmasi harus memiliki personil yang terkualifikasi dan berpengalaman praktis dalam jumlah yang memadai Industri farmasi harus memiliki struktur organisasi yang jelas. Beberapa model struktur organisasi di industri farmasi, antara lain :
Model A Model C
Model B
Model D (yang paling sesuai dengan cGMP)
Personil Kunci Personil kunci mencakup : Kepala Bagian Produksi (Manager Produksi) Kepala Bagian Pengawasan Mutu (QC Manager) Kepala Bagian Penjaminan Mutu (QA Manager) Kualifikasi, tugas dan tanggung jawab masing-masing personil kunci adalah sebagai berikut : Penanggung Jawab Produksi/Manager Produksi Kualifikasi : Harus seorang Apoteker terdaftar (registered pharmacist) memiliki pengalaman praktis minimal 5 tahun bekerja di bagian produksi obat Memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai peralatan yang digunakan dalam pembuatan obat Menguasai CPOB Menguasai bahasa Inggris dengan baik Memiliki ketrampilan kepemimpinan yang tersertifikasi
Tugas Utama : Bertanggung jawab atas pelaksanaan pembuatan obat agar obat yang dibuat memenuhi spesifikasi kualitas yang telah ditetapkan dan dibuat sesuai dengan peraturan CPOB dalam batas dan biaya yang telah ditetapkan Penanggung Jawab Pengawasan Mutu/Manager QC Kualifikasi : Harus seorang saintis dalam IPA (diutamakan seorang Apoteker) Pengalaman praktis minimal 5 tahun dalam laboratorium analisis kimiawi, pengujian mikrobiologi dan bahan pengemas Memiliki pengalaman dalam menyiapkan peralatan laboratorium dan menggunakan metode termutakhir Memiliki kemampuan dalam menyiapkan metode analisa Memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam CPOB, In Process Control (IPC) dan pengujian stabilitas Menguasai bahasa Inggris dengan baik Memiliki ketrampilan kepemimpinan yang tersertifikasi Tugas Utama : Meluluskan atau menolak bahan awal, bahan pengemas dan produk ruahan menurut spesifikasi yang telah ditetapkan Penanggung Jawab Penjaminan Mutu/Manager QA Kualifikasi : Harus seorang Apoteker Terdaftar (registered pharmacist) Memiliki pengalaman minimal 5 tahun bekerja di industri farmasi Memiliki pengalaman dan pengetahuan dibidang pembuatan obat serta pengujian fisis dan analisa kimia Memiliki pengetahuan mengenai peralatan yang digunakan dalam pembuatan obay dan laboratorium terkini Memiliki pengetahuan mengenai CPOB baik nasional maupun internasional Menguasai bahasa Inggris dengan baik Memiliki ketrampilan kepemimpinan yang tersertifikasi Tugas Utama : Memantau kinerja sistem mutu dan prosedur serta menilai efektifitasnya dan mendorong perbaikan Melakukan penilaian terhadap keluhan teknik farmasi dan mengambil keputusan serta tindakan atas hasil penilaian, bila perlu bekerja sama dengan pihak lain Memastikan penyelenggaraan Program Validasi Memastikan pengelolaan penyimpangan, penerapan sistem pengendalian dan perubahan
Melakukan pelulusan atau penolakan akhir/obat jadi PELATIHAN Seluruh Personil yang oleh karena tugasnya harus berada di area Produksi, Gudang dan Laboratorium HARUS mendapat pelatihan Program & materi Pelatihan disiapkan oleh masing-masing Kepala Bagian dan dikoordinasikan oleh QA Manager Program Pelatihan mencakup : Materi umum, CPOB Dasar (mikrobiologi dan higiene perorangan), CPOB Spesifik (terutama untuk yg bekerja di bagian produksi steril), Pemahaman semua PROTAP, Metode Analisa, dan prosedur lain serta pengetahuan mengenai sifat bahan/produk, cara pengolahan dan pengemasan Harus dibuat ―Catatan Pelatihan‖ untuk setiap karyawan
Sanitasi dan Higiene Prinsip Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi harus diterapkan pada setiap aspek pembuatan obat. Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personalia, bangunan, peralatan dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya, dan segala sesuatu yang dapat merupakan sumber pencemaran produk Definisi : Sanitasi adalah Pengendalian higiene terhadap proses produksi, termasuk bangunan, peralatan dan penanganan bahan Sanitasi menitik beratkan pada Bangunan & Peralatan Higiene Perorangan : –Kewajiban tiap personil mengamati peraturan mengenai kesehatan kerja, ppemeliharaan dan perlindungan kesehatan personil, ppengawasan higiene terhadap proses pembuatan obat yang harus diterapkan oleh personil. Higiene menitik beratkan pada Personnel
Cuci tangan sebelum masuk ruang produksi sebagai salah satu bentuk Higiene Perorangan
Pelaksanaan Sanitasi dan Higiene di suatu industri farmasi
Inspeksi Dir i dan Audit Mutu PRINSIP Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan pengawasan mutu dari industri farmasi yang bersangkutan memenuhi ketentuan CPOB. Program inspeksi diri harus dirancang untuk dapat mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan Inspeksi diri harus dilakukan secara independen dan rinci oleh petugas yang kompeten dari perusahaan Inspeksi diri harus dilakukan secara rutin Harus ada Prosedur Tetap (PROTAP) dan catatan yang terdokumentasi dengan baik serta dibuat program tindak lanjut yang efektif Hal-hal yang di-inspeksi antara lain : 1.
Personalia
2.
Bangunan termasuk fasilitas untuk personil
3.
Perawatan bangunan dan peralatan
4.
Penyimpanan bahan awal, bahan pengemas dan obat jadi
5.
Peralatan
6.
Pengolahan dan In Process Control (IPC)
7.
Pengawasan mutu
8.
Dokumentasi
9.
Sanitasi dan higiene
10. Program validasi (dan re-validasi), kalibrasi alat atau sistem pengukuran 11. Prosedur penarikan kembali obat jadi dan penanganan keluhan
12. Pengawasan label 13. Hasil inspeksi diri sebelumnya dan tindak lanjut/tindakan perbaiakan
Tim Inspeksi Diri Dibentuk oleh Manajemen perusahaan terdiri dari minimal 3 orang yang kompeten dan berpengalaman dalam bidangnya masing-masing dan memahami CPOB Diketuai oleh QA Manager Audit Mutu Meliputi pemeriksaan dan penilaian semua atau sebagaian dari sistem manajemen mutu dengan tujuan spesifik untuk peningkatan mutu Dilaksanakan oleh AUDITOR dari luar perusahaan atau oleh tim khusus yang dibentuk oleh Manajemen Tingkat Kekritisan dan Tindak lanjut
Dokumentasi Sistem Dokumentasi dalam industri farmasi merupakan bagian dari sistem informasi manajemen yang meliputi antara lain : 1.
Prosedur tetap (Standard Operating Procedure/SOP).
2.
Spesifikasi (bahan baku, pengemas, produk jadi).
3.
Catatan Pengolahan Batch/Catatan pengemasan Batch (batch processing records).
4.
Identifikasi (kode/penomoran protap, peralatan, batch).
5.
Penandaan (status ruangan, mesin, label bahan baku, karantina,rejected).
6.
Protokol dan Laporan Qualifikasi/Validasi.
7.
Dokumen registrasi.
8.
Catatan Kalibrasi, Pemantauan kondisi lingkungan produksi, dan lain-lain.
Sistem dokumentasi merupakan hal yang sangat penting dalam industri farmasi untuk memastikan bahwa setiap petugas (karyawan) mendapat instruksi yang jelas dan rinci mengenai bidang tugas yang harus dilaksanakannya sehingga memperkecil resiko terjadinya salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul apabila hanya mengandalkan instruksi lisan. Selain itu, dengan sistem dokumentasi yang baik juga akan memungkinkan ketelusuran kembali proses produksi yang telah dilakukan apabila terdapat kesalahan selama produk tersebut dipasarkan. Sistem dokumentasi produk (misalnya Catatan Pengolahan atau Pengemasan bets/batch record) harus menggambarkan riwayat lengkap dari setiap batch atau lot suatu produk sehingga memungkinkan penyelidikan serta penelusuran terhadap batch ataulot yang bersangkutan. Dokumen Pembuatan Obat Dokumen pembuatan obat dapat dikelompokkan berdasarkan jenisnya, sebagai berikut : 1. Spesifikasi a. Spesifikasi bahan baku. b. Spesifikasi bahan pengemas. c. Spesifikasi produk antara, produk ruahan dan obat jadi. 2. Dokumen Produksi a. Dokumen produksi induk . b. Prosedur pengolahan induk. c. Prosedur pengemasan induk. d. Catatan pengolahan bets. e. Catatan pengemasan bets. 3. Dokumen Pengawasan Mutu a. Prosedur pengambilan contoh untuk pengujian. b. Metode pengujian. c. Catatan pengambilan contoh. d. Catatan analisis dan laporan hasil pengujian. 4. Dokumen penyimpanan dan distribusi a. Kartu persediaan. b. Catatan distribusi obat jadi. 5. Dokumen pemeliharaan, pembersihan dan pemantauan kondisi ruangan dan peralatan a. Prosedur dan catatan pemeliharaan dan pembersihan peralatan. b. Prosedur dan catatan pembersihan daerah produksi. c. Prosedur dan catatan pembasmian hama. d. Prosedur dan catatan pemantauan kualitas ruangan produksi. 6. Dokumen penanganan keluhan, obat kembalian dan penarikan obat jadi. 7. Prosedur dan catatan inspeksi diri. 8. Pedoman dan catatan pelatihan CPOB bagi karyawan.
Skematik Sistem Dokumentasi di industri farmasi
Penanganan Keluhan T erhadap Produk …. PRINSIP Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi kerusakan obat harus dikaji dengan teliti sesuai dengan Protap Penarikan kembali produk adalah suatu proses penarikan kembali dari satu atau beberapa bets atau seluruh bets produk tertentu dari peredaran Penarikan kembali produk dilakukan apabila ditemukan produk yang cacat mutu atau bila ada laporan mengenai reaksi yang merugikan yang serius serta beresiko terhadap kesehatan Produk kembalian adalah obat jadi yang telah beredar, yang kemudian dikembalikan ke industri farmasi karena keluhan mengenai kerusakan, kedaluarsa, atau alasan lain misalnya kondisi wadah atau kemasan yang menimbulkan keraguan akan identitas, mutu, jumlah dan keamanan obat yang bersangkutan
Lokasi dan Bangunan BANGUNAN INDUSTRI FARMASI Pemilihan Lokasi Dalam memilih lokasi bangunan industri farmasi harus diperhatikan beberapa aspek, diantaranya adalah apakah ada sumber pencemaran yang berasal dari lingkungan di sekitarnya serta potensi pencemaran oleh industri terhadap lingkungan di sekitarnya. Bangunan industri farmasi harus didirikan di daerah yang tidak ada sumber pencemaran, misalnya bekas timbunan sampah, bahan kimia dan lain-lain. Sumber pencemaran lainnya adalah debu jalan, debu industri lain dan partikel pestisida. Apabila oleh karena adanya perubahan struktur tanah atau perencanaan kota maka perlu dilakukan langkah pencegahan yang sesuai, agar pencemaran tersebut tidak mempengaruhi kualitas produk yang dibuat. Untuk itu, bangunan industri farmasi harus memiliki perlindungan yang memadai terhadap :
1.
Cuaca, misalnya dengan memberikan cat tahan cuaca pada tembok, memasang alat penyerap kelembaban udara secara pendinginan atau secara penyerapan oleh bahan kimia yang hygroskopis.
2.
Banjir, misalnya letak bangunan dibuat cukup tinggi terhadap permukaan air banjir atau dibuat saluran air secara tepat guna.
3.
Rembesan Air melalui tanah, misalnya dengan membuat pondasi bangunan yang tahan terhadap rembesan air sesuai dengan teknik bangunan yang berlaku.
4.
Serangga dan Binatang pengerat, misalnya pemberian saringan udara pada saluran pengendali udara, pemasangan kawat kasa dan/atau tirai plastik, serta adanya program pengendalian hama (pest control) yang teratur, efektif dan terdokumentasi.
Ukuran, Tata ruang dan Konstruksi Bangunan untuk pembuatan obat harus memiliki ukuran, rancang bangun, dan konstruksi bangunan/ruangan yang sesuai dengan Rencana Induk Perbaikan/Pembangunan (RIP) yang disetujui oleh Badan POM serta memadai dan sesuai dengan aktifitas industri agar memudahkan pelaksanaan kerja, pembersihan dan pemeliharaan. Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam menentukan desain dan tata ruang (lay out) bangunan industri farmasi, antara lain : 1.
Kesesuaian dengan kegiatan lain (non farmasi), yang mungkin dilakukan dalam sarana yang sama atau dalam sarana yang berdampingan.
2.
Tata ruang harus didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan kegiatan produksi dilakukan secara efektif dan efisien, mengikuti urutan tahap produksi dan menurut kelas kebersihan yang disyaratkan (principle of flow of process).
3.
Luasnya ruang kerja harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan penempatan peralatan dan bahan secara teratur dan logis serta memungkinkan terlaksananya kegiatan, kelancaran arus kerja, komunikasi dan pengawasan yang efektif maupun untuk mencegah kesesakan dan ketidakteraturan.
4.
Harus terdapat koridor sebagai tempat lalu lintas umum bagi karyawan atau barang/bahan yang dapat dicapai dari setiap ruang produksi tanpa harus melalui ruangan produksi lain. Untuk mencegah daerah produksi digunakan sebagai tempat penyimpanan, harus disediakan ruang khusus untuk menyimpan produk dalam proses (ruang produk antara atau produk ruahan).
5.
Terdapat pemisahan jalan (pintu) masuk bagi karyawan dengan bahan/barang yang dapat menyebabkan resiko pencemaran silang.
Lay Out Ruang Produksi Non -Steril
Lay Out Ruang Produksi Steril – Aseptis
Lay-out Ruang Produksi Non-Aseptis Untuk pengolahan produk yang mengandung bahan yang beracun, bahansitotoksik dan senyawa immunosupresif, harus disediakan fasilitas tersendiri untuk masing-masing produk, dengan sistem penyaringan udara khusus (efisiensi minimum 98%). Sedangkan untuk sediaan beta laktam (turunan penisillin) harus terpisah secara fisik dengan bangunan non beta laktam. Untuk mengindari resiko terjadinya pencemaran silang antar produk, berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai persyaratan bangunan industri farmasi, antara lain : 1.
Permukaan bagian dalam ruangan (dinding, lantai dan langit-langit) harus kedap air, tidak terdapat sambungan atau retakan yang dapat menyebabkan pelepasan atau pengumpulan partikel, tidak merupakan media pertumbuhan mikroba, mudah dibersihkan serta tahan terhadap metode pembersihan, bahan pembersih dandesinfectant yang digunakan berulang kali dengan memperhatikan faktor kepadatan, porositas, tekstur dan sifat elektrostatik.
2.
Untuk daerah pengolahan dan pengemasan harus dihindari pemakaian bahan dari kayu (atau diberi cat epoxy/enamel).
3.
Pipa saluran udara dipasang di atas langit-langit atau dikoridor untuk menghindari penumpukan debu.
4.
Lampu penerangan harus dipasang rata dengan langit-langit dan diberi lapisan untuk mencegah kebocoran udara.
Ruang Produksi Sediaan Steril Daerah pengolahan produk steril harus dipisahkan dari daerah produksi lain serta dirancang dan dibangun secara khusus. Ruangan harus bebas debu, dialiri udara yang melewati saringan bakteri. Saringan tersebut harus diperiksa (di-verifikasi) pada saat pemasangan serta dilakukan pemeriksaan secara berkala.
Tekanan udara di dalam ruang pengolahan produk steril harus lebih tinggi dibanding dengan ruang
sebelahnya
yang
dibuktikan
dengan
perbedaan
tekanan
yang
ditunjukkan
oleh
alat magnehelic (lihat gambar) dan dicatat secara teratur. Pembuatan produk steril memerlukan 3 (tiga) kualitas ruangan yang berbeda, yaitu : 1.
Ruang ganti pakaian
2.
Ruang bersih, yaitu ruang persiapan komponen dan pembuatan larutan serta ruang untuk produk yang akan disterilisasi akhir, dan
3.
Ruang steril, digunakan untuk kegiatan steril
Air Handling System (AHU) SISTEM TATA UDARA (Air Handling System/AHS) Salah satu faktor yang menentukan kualitas obat adalah kondisi lingkungan tempat di mana produk tersebut dibuat/diproduksi. Kondisi lingkungan yang kritis terhadap kualitas produk, antara lain adalah : 1.
Cahaya,
2.
Suhu,
3.
Kelembabab relatif (RH),
4.
Kontaminasi Mikroba, dan
5.
Kontaminasi partikel. Sebagai upaya untuk mengendalikan kondisi lingkungan tersebut, maka setiap industri farmasi
diwajibkan untuk memiliki Sistem Tata Udara (Air Handling System/AHS). Seluruh regulatory code (WHO TRS 902/2002; WHO TRS 908/2003 dan PIC/S 2006) mensyaratkan Sistem Tata Udara (Air Handling System/AHS) harus dikendalikan dan dikualifikasi. AHS sering juga disebut dengan HVAC (Heating, Ventilating and Air Conditioning). Sistem Tata Udara tidak hanya mengontrol suhu ruangan (seperti halnya AC konvensional) melainkan juga kelembaban, tingkat kebersihan (sesuai dengan kelas ruangan yang dipersyaratkan), tekanan udara, dan sebagainya. Sistem tata udara yang digunakan tergantung dari jenis produk yang dibuat dan tingkat kelas ruang yang digunakan, misalnya ruang produksi sterile, beta-laktam, non sterile,sefalosporine dan sebagainya. Baik dalam CPOB (2001) maupun CPOB Terkini (cGMP), penentuan kelas ditentukan oleh parameter-parameter sebagai berikut: 1.
Jumlah partikel di udara lingkungan,
2.
Jumlah mikroba di udara lingkungan dan permukaan obyek,
3.
Jumlah pergantian udara (air change),
4.
Kecepatan alir udara (air flow), pola aliran udara ,
5.
Filter (jenis dan posisi),
6.
Perbedaan tekanan antar ruang, dan
7.
Temperatur (t) dan Kelembaban relatif (Relative Humidity/RH).
Beberapa hal baru yang diatur dalam CPOB Terkini (CPOB: 2006) dibanding dengan CPOB yang lama (2001) antara lain adalah : Jumlah partikel pada kondisi at rest (kondisi statis) dan in operation(kondisi dinamis). Batasan kontaminasi mikro (CFU= Colli Form Unit) untuk monitoring udara ruang bersih. Preparasi dan pengisian aseptik berada diruang kelas A (IA) dengan latar belakang ruang kelas B (IB), sedangkan pada CPOB (2001) preparasi dan pengisian aseptik di ruang kelas A (IA) dengan latar belakang ruang kelas C (II). Larangan penggunaan flter dari asbes. Monitoring bioburden (frekuensi dan metode) pada produk, air dan lingkungan di kelas bersih. Dalam CPOB: 2001, persyaratan standar lingkungan produksi dibedakan sebagai berikut: Ruang Kelas I (White Area): jumlah partikel (non patogen) ukuran ≥ Ø 0,5 µm maksimum 100/ft3. Ruang Kelas II (Clean Area): jumlah partikel (non patogen) ukuran ≥ Ø 0,5 µm maksimum 10.000/ft3. Ruang Kelas III (Grey Area): jumlah partikel (non patogen) ukuran ≥ Ø 0,5 µm maksimum 100.000/ft3. Ruang Kelas IV (Black Area): jumlah partikel (non patogen) ukuran ≥ Ø 0,5 µm > 100.000/ft3 (dengan ventilasi udara memadai). Sementara dalam CPOB Terkini (cGMP), persyaratan standar lingkungan produksi adalah sebagai berikut :
Kondisi Lingkungan
Air Handling Unit (AHU) Sesuai dengan fungsinya, AHU merupakan seperangkat alat yang dapat mengontrol suhu, kelembaban, tekanan udara, tingkat kebersihan (jumlah partikel/mikroba), pola aliran udara, jumlah pergantian udara dan sebagainya, di ruang produksi sesuai dengan persyaratan ruangan yang telah ditentukan. Unit/sistem yang mengatur tata udara ini disebut AHU (Air Handling Unit). Di sebut ―unit‖, karena AHU terdiri dari beberapa alat yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Pada dasarnya AHU terdiri dari : 1.
Cooling coil. Cooling coil (sering pula disebut dengan istilah evaporator) berfungsi untuk mengontrol suhu (temperature/t) dan kelembaban relatif (Relative Humidity/RH) udara yang akan didistribusikan ke ruangan produksi. Hal ini dimaksudkan agar dapat dihasilkan output udara, sesuai dengan spesifikasi ruangan yang telah ditetapkan. Proses pendinginan udara sendiri dilakukan dengan mengalirkan udara yang berasal dari campuran udara balik (return air) dan udara luar (fresh air) melalui kisi-kisi (coil) evaporator yang bersuhu rendah. Proses tersebut menyebabkan terjadinya kontak antara udara dan permukaan kisi evaporator yang akan menghasilkan udara dengan suhu yang lebih rendah. Proses ini juga akan menyebabkan kalor yang berada dalam uap air yang yang terdapat di dalam udara ikut berpindah ke kisi evaporator, sehingga uap air akan mengalami kondensasi. Hal ini menyebabkan kelembaban udara yang keluar dari evaporator juga akan berkurang. Evaporator harus dirancang sedemikian rupa sehingga kisi-kisinya memiliki luas permukaan kontak yang luas, sehingga proses penyerapan panas dari udara di dalam evaporator dapat berlangsung dengan efektif.
2.
Static Pressure Fan (blower). Blower adalah bagian dari AHU yang berfungsi untuk menggerakkan
udara
di
sepanjang
sistem
distribusi
udara
yang
terhubung
dengannya. Blower yang digunakan dalam AHU berupa blower radial yang memiliki kisi-kisi penggerak udara yang terhubung dengan motor penggerak blower. Motor ini berfungsi untuk mengubah energi listrik menjadi energi gerak. Energi gerak inilah yang kemudian disalurkan ke kisi-kisi penggerak udara hingga kemudian dapat menggerakkan udara. Blower ini dapat di atur agar
selalu
menghasilkan
frekuensi
perputaran
yang
tetap,
hingga
akan
selalu
menghasilkan output udara dengan debit yang tetap. Dengan adanyadebit udara yang tetap tersebut maka tekanan dan pola aliraran udara yang masuk ke dalam ruang produksi dapat dikontrol. 3.
Filter. Filter merupakan bagian dari AHU yang berfungsi untuk mengendalikan dan mengontrol jumlah partikel dan mikroorganisme (partikel asing) yang mengkontaminasi udara yang masuk ke dalam ruang produksi. Filter, biasanya ditempatkan di dalam rumah filter(filter house) yang didesain sedemikian rupa agar mudah untuk dibersihkan dan/atau diganti. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pemasangan filter ini adalah penempatan posisi filter harus diatur sedemikian rupa
sehingga
dapat
―memaksa‖ seluruh udara
yang akan didistribusikan tersebut
melewati filter terlebih dahulu. Filteryang digunakan untuk AHU dibagi menjadi beberapa
jenis/tipe, tergantung efisiensinya, yaitu (a) pre-filter (efisiensi penyaringan: 35%); (b) medium filter (efisiensi penyaringan: 95%); filter (efisiensi
penyaringan:
dan (c) High Efficiency Particulate Air
99,997%).
Hal
penting
yang perlu
diperhatikan
(HEPA) dalam
pemasangan filter ini adalah posisi penempatan filter harus diatur berdasarkan jenis dan efisiensi penyaringan filter yang akan menentukan kualitas udara yang dihasilkan. 4.
Ducting. Ducting adalah bagian dari AHU yang berfungsi sebagai saluran tertutup tempat mengalirnya udara. Secara umum, ductingmerupakan sebuah sistem saluran udara tertutup yang menghubungkan blower dengan ruangan produksi, yang terdiri dari saluran udara yang masuk (ducting supply) dan saluran udara yang keluar dari ruangan produksi dan masuk kembali ke AHU (ducting return). Ducting harus didesain sedemikian rupa sehingga dapat mendistribusikan udara ke seluruh ruangan produksi yang membutuhkan, dengan hambatan udara yang sekecil mungkin. Desainducting yang tidak tepat akan mengakibatkan hambatan udara yang besar sehingga akan menyebabkan inefisiensi energi yang cukup besar. Ducting juga harus didesain agar memiliki insulator di sekeliling permukaannya, yang berfungsi untuk menahan penetrasi panas dari udara luar yang memiliki suhu yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu di dalam ducting.
5.
Dumper. Dumper adalah bagian dari ducting AHU yang berfungsi untuk mengatur jumlah (debit) udara yang dipindahkan ke dalam ruangan produksi. Besar kecilnya debit udara yang dipindahkan dapat diatur sesuai dengan pengaturan tertentu pada dumper. Hal ini amat berguna terutama untuk mengatur besarnya debit udara yang sesuai dengan ukuran ruangan yang akan menerima distribusi udara tersebut.
Sistem Kerja AHU untuk Ruang “Grey Area” Supply udara yang akan disalurkan ke dalam ruang produksi berasal dari 2 (dua) sumber, yaitu (1) berasal dari udara yang disirkulasi kembali (sebanyak 80%) , dan (2) berasal dari udara bebas (sebanyak 20%). Supply udara tersebut kemudian melewati filter yang terdapat di dalam filter house, yang terdiri dari pre-filter yang memiliki efisiensi penyaringan sebesar 35% danmedium filter yang memiliki efisiensi penyaringan sebesar 95%. Selanjutnya,supply udara ini melewati cooling coil (evaporator) yang akan menurunkan suhu (t) dan kelembaban relatif (RH) udara. Kemudian udara di
pompa
dengan
menggunakan static
pressure
fan (blower)
ke
dalam ruang produksi
melaluiducting (saluran udara). Jumlah udara yang masuk ke dalam ruang produksi diatur dengan menggunakan volume dumper. Selanjutnya udara disirkulasi kembali ke AHU, demikian seterusnya.
Untuk supply udara di ruang steril, pada prinsipnya sama dengan supply udara untuk ruang grey area, hanya saja selain menggunakan pre-filter danmedium filter juga harus melewati HEPA filter yang memiliki efisiensi penyaringan sebesar 99,997%.
Water System Air Untuk Produksi (Water System) Air merupakan salah satu aspek kritis (vital) dalam pelaksanaan c-GMP. Hal tersebut disebabkan karena air merupakan bahan baku dalam jumlah besar, terutama untuk produk sirup, obat suntik cair, cairan infus, dan lain-lain. Bila tercemar, beresiko sangat fatal bagi pemakai (pasien). Kualitas air yang digunakan untuk produksi, tergantung dari persyaratan air yang digunakan produk yang dibuat, misalnya air murni atau air untuk injeksi. Berikut adalah standar air yang digunakan untuk produksi sesuai dengan persyaratan CPOB Terkini (CPOB: 2006)
Dengan persyaratan air untuk produksi (water for pharmaceutical use/WFU) terbaru ini, maka pembuatan aqudemineralisata (purified water) dengan alat de-ionisasi (ion removal) saja, seperti pada gambar 2-14, tidaklah memadai. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu: (1) tidak dapat mencapai persyaratanconductivity < 1 µS/cm karena daya ikat resin terhadap ion (+) dan (-) terbatas dan cepat menjadi jenuh, (2) tidak dapat mencapai persyaratan micro-account < 100 cfu karena proses penukaran ion bukan merupakan proses sucihama/sterilisasi yang dapat membunuh bakteri, (3) tidak dapat mencapai persyaratan TOC (Total Organic Carbon) karena kandungan gas CO2 dalam air masih tinggi dan tidak direduksi melalui proses penukaran ion.
skema deionisasi dengan ion exchange yang sudah tidak sesuai cGMP
Berikut adalah gambaran pembuatan aquademineralisata (purified water)dan water for injection (WFI) sebagaimana diatur dalam CPOB Terkini.
skema pembuatan aquademineralisata sesuai dengan cGMP
Mekanisme kerja Purified Water System Purified water system merupakan sistem pengolahan air yang dapat menghilangkan berbagai cemaran (ion, bahan organik, partikel, mikroba dan gas) yang terdapat di dalam air yang akan digunakan untuk produksi. Air (raw water) pengolahan air dapat diperoleh dari air PDAM (city water), Shallow well(sumur dangkal) dengan kedalaman 10-20 m, atau berasal dari Deep well(sumur dalam) dengan kedalaman 80-150 m. Variasi mutu dari pasokan air mentah (raw water) yang memenuhi syarat ditentukan dari target mutu air yang akan dihasilkan. Demikian pula mutu air menentukan peralatan yang diperlukan untuk pengolahan air tersebut. Purified water system terdiri
dari: Multimedia filter, Carbon filter, Water softener, Heat Exchanger (HE), Micro filter, Ultra filtration(R.O = Reverse Osmosis), dan Electro De-Ionization (EDI). Multimedia filter. Multimedia filter berfungsi untuk menghilangkan lumpur, endapan dan partikel-partikel yang terdapat pada raw water. Multimedia filterterdiri dari beberapa filter dengan porositas 6-12 mm; 2,4 – 4,8 mm; 1,2-2,4 mm; dan 0,6-1,2 mm. Filter-filter ini tersusun dalam satu vessel (tabung)
dengan
bagian
bawah
tabung
diberikan gravel atau
pasir
sebagai
alas vessel (sehingga sering juga disebut dengan sand filter). Active Carbon filter. Carbon aktif adalah karbon yang telah diaktifkan dengan menggunakan uap bertekanan tinggi atau karbon dioksida (CO2) yang berasal dari bahan yang memiliki daya adsorbsi yang sangat tinggi. Biasanya digunakan dalam bentuk granular (butiran). Active carbon berfungsi
sebagai pre-treatment sebelum
proses
de-ionisasi
untuk
menghilangkan chlorine, chloramine,benzene, pestisida, bahan-bahan organik, warna, bau dan rasa dalam air. Water Softener Filter. Water softener filter berisi resin anionik yang berfungsi untuk menghilangkan dan/atau menurunkan kesadahan air dengan cara mengikat ion Ca++ dan Mg++ yang menyebabkan tingginya tingkat kesadahan air. Reverse Osmosis. Reverse osmosis merupakan teknik pembuatan air murni (purified water) yang dapat menurunkn hingga 95% Total Dissolve Solids(TDS) di dalam air. Reverse osmosis terdiri dari lapisan filter yang sangat halus (hingga 0,0001 mikron) EDI
(Elektonic
De-Ionization). EDI
merupakan
perkembangan
dari Ion
Exchange system dimana sebagai pengikat ion (+) dan (-) dipakai juga elektroda disamping resin. Elektroda ini dihubungkan dengan arus listrik searah sehingga proses pemurnian air dapat berlangsung terus menerus tanpa perlu regenerasi. Setelah melewati EDI, selanjutnya purified water yang dihasilkan ditampung dalam tanki penampungan (storage tank) yang dilengkapi dengan CIP (cleaning in place) dan looping system dan siap didistribusikan ke ruang produksi. Looping system. CPOB Terkini (CPOB: 2006) mensyaratkan bahwa air yang digunakan untuk proses produksi harus disirkulasi selama 24 jam. Untuk itu, dalam Purified Water System harus dilengkapi dengan looping systemsehingga dapat memungkinkan air tersebut disirkulasi selama 24 jam. Pada sistem ini harus dilengkapi dengan TOC (Total Organic Carbon) monitor untuk memantau jumlah senyawa karbon yang terdapat di dalam air. Senyawa-senyawa karbon tersebut dapat berasal dari bangkai kuman (bakteri) yang mati pada saat proses pengolahan air ini. Water for Injection (WFI) Pengolahan air untuk injeksi (Water For Injection/WFI) berasal dari purified water system, yang selanjutnya dilakukan destilasi (penyulingan) dengan terlebih dahulu melewati lampu UV untuk membunuh bakteri. Sesuai dengan persyaratan CPOB yang terbaru, proses destilasi menggunakan 6 (enam) kolom destilasi, artinya air yang digunakan untuk produk-produk steril tersebut mengalami 6 kali proses destilasi. Dengan unit ini diperoleh air untuk injeksi yang memenuhi persyaratan Water
For Injection (WFI). Selanjutnya, WFI yang dihasilkan kemudian disimpan dalam storage tank pada suhu 70-80oC sebelum didistribusikan untuk produksi produk steril.
skema pembuatan Water for Injection sesuai dengan cGMP Beberapa hal lain yang diatur dalam CPOB Terkini sebagai persyaratan penting air untuk produksi yang sebelumnya tidak diatur dalam CPOB yang lama (2001) , antara lain : 1.
Daerah mati (dead legs/kran) harus sekecil mungkin (maksimum 3 x diameter pipa)
2.
Aliran air untuk produksi harus disirkulasi secara terus menerus (24 jam)
3.
Pipa distribusi (terutama untuk produk steril) menggunakan baja anti karat jenis SS 316L
4.
Pipa distribusi menggunakan double tube
5.
Pipa distribusi tidak boleh ditanam atau menempel pada dinding ruang produksi, tapi harus terdapat jarak yang cukup antara pipa dengan dinding untuk memudahkan pembersihan
6.
Tanki penampung dari bahan SS 316 L yang dilengkapi dengan fasilitas CIP (cleaning in place) yang memungkinkan proses pembersihan tanki secara menyeluruh
7.
Parameter pengoperasian : suhu, konduktifitas, flow rate, porositas filter, dan lain-lain harus didokumentasikan
8.
Terdapat gambar skematik titik-titik pemakaian air
9.
Terdapat sistem alert (peringatan) dan action limit (batas tindakan) pada sistem pengolahan air. Bangunan pengolahan air harus terpisah dari bangunan untuk proses produksi, walaupun
demikian letaknya sebaiknya berdekatan, agar resiko pencemaran bisa ditekan seminimal mungkin selama distribusi dalam pipa penyalur. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang bangunan untuk pengolahan air, antara lain adalah: 1.
Luas bangunan harus cukup luas untuk menampung tangki-tangki pengolahan air
2.
Lantai dan dinding bangunan harus dilapisi cat yang dapat mencegah tumbuhnya lumut dan jamur (misalnya cat Epoxy atau cat minyak)
3.
Posisi lantai bangunan harus lebih tinggi dari sekitarnya untuk mencegah air hujan masuk ke dalam dan dapat menyebabkan pencemaran.
Kualifikasi Kinerja (PQ = Performance Qualification) Water System
Peralatan Prinsip Peralatan untuk pembuatan obat harus memiliki desain dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat agar mutu obat terjamin sesuai desain serta seragam dari bets ke bets Peralatan juga harus mudah dibersihkan serta dirawat dengan baik Desain, Konstruksi, Pemasangan dan Penempatan
Produksi PRINSIP Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar (registrasi)
ALUR PRODUKSI
Bahan Awal
Penimbangan
Proses Produksi
Proses Pengolahan
Batch Record (Catatan Bets)
Proses Pengemasan
Penyimpanan Bahan Awal, Bahan Pengemas, Produk Antara, Produk Ruahan dan Produk Jadi
Pengawasan Mutu PRINSIP Pengawasan Mutu merupakan bagian esensial dari CPOB untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaannya. Tugas dan Tanggung Jawab Departemen QC
Cara Berlaboratorium QC yang Baik (GLP) Bangunan dan Fasilitas
Personil
Peralatan
Pereaksi dan Media Pembenihan
Baku Pembanding
Spesifikasi dan Prosedur Pengujian
Program Stabilitas
Validasi Istilah Validasi pertama kali dicetuskan oleh Dr. Bernard T. Loftus, Direktur Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat pada akhir tahun 1970-an, sebagai bagian penting dari upaya untuk meningkatkan mutu produk industri farmasi. Hal ini dilatar belakangi adanya berbagai masalah mutu yang timbul pada saat itu yang mana masalah-masalah tersebut tidak terdeteksi dari pengujian
rutin yang dilaksanakan oleh industri farmasi yang bersangkutan. Selanjutnya, Validasi juga diadopsi oleh
negara-negara
yang
tergabung
dalamthe
Pharmaceutical
Inspection
Co-
operation/Scheme (PIC/S), Uni Eropa (EU) danWorld Health Organization (WHO). Bahkan, Validasi merupakan aspek kritis (substantial aspect) dalam penilaian kualitas industri farmasi yang bersangkutan. Terdapat banyak definisi dan pengertian tentang validasi. US FDA (Badan pengawasan Obat dan Makanan, Amerika Serikat) dalam The FDA’s 1987 Guideline mendefinisikan validasi sebagai : ”Establishing documented evidence, which provides a high degree of assurance that a spesific process will consistently produce a product meeting its pre-determined spesifications and quality characteristics.” Sedangkan WHO mendefinisikan sebagai : ”A documented act of providing that any procedure, process, equipment, material, activity or system, actually leads to the expected result.” Badan POM RI (Anonim, 2006) memberikan definisi validasi sebagai : ”Tindakan pembuktian dengan cara yang sesuai bahwa tiap bahan, proses, prosedur, kegiatan, sistem, perlengkapan atau mekanisme yang digunakan dalam produksi maupun pengawasan mutu akan senantiasa mencapai hasil yang diinginkan.” (CPOB: 2006) Dari definisi-definisi tersebut tersebut di atas membawa pengertian : Validasi adalah suatu tindakan pembuktian, artinya validasi merupakan suatu pekerjaan ―dokumentasi‖. Tata cara atau metode pembuktian tersebut harus dengan ―cara yang sesuai‖, artinya proses pembuktian tersebut ada tata cara atau metodenya, sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam CPOB. ―Obyek‖ pembuktian adalah tiap-tiap bahan, proses, prosedur, kegiatan, sistem, perlengkapan atau mekanisme yang digunakan dalam produksi dan pengawasan mutu (ruang lingkup). Sasaran/target dari pelaksanaan validasi ini adalah bahwa seluruh obyek pengujian tersebut akan senantiasa mencapai hasil yang diinginkan secara terus menerus (konsisten). Validasi merupakan bagian dari program Penjaminan Mutu (Quality Assurance) sebagai upaya untuk memberikan jaminan terhadap khasiat (efficacy), kualitas (quality) dan keamanan (safety) produk-produk industri farmasi. Validasi mencakup paling tidak 4 (empat) bidang utama dalam industri farmasi, yaitu Hardware, terdiri dari instrument, peralatan produksi dan sarana penunjang; Software, berupa seluruh dokumen dan sistem/mekanisme kerja dalam industri farmasi; Metode Analisa; dan Kesesuaian sistem. Dari pengertian tersebut di atas, validasi memiliki cakupan yang sangat luas dan hampir meliputi seluruh bidang (area) di industri farmasi, mulai dari personalia, bahan awal (bahan aktif, bahan tambahan maupun bahan pengemas), fasilitas, peralatan, mesin, bangunan hingga sistem atau prosedur kerja. Sedemikian luasnya cakupan validasi ini, mengakibatkan beragamnya pengertian dan
pendekatan dalam pelaksanaan validasi. Beberapa kalangan di industri farmasi banyak pula yang memberi pengertian bahwa yang dimaksud validasi adalah validasi proses produksi. Artinya, pelaksanaan validasi dibatasi hanya yang dilaksanakan di dalam ruang lingkup produksi pembuatan obat saja, sedangkan lainnya merupakan pelengkap (komplementer) dari pelaksanaan validasi proses, sehingga disebut dengan Pharmaceutical Process Validation. Agar lebih mudah memahami dan memudahkan pelaksanaan program validasi, secara garis besar, pelaksanaan validasi di industri farmasi terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu: Pre Validation, terdiri dari Kualifikasi Mesin, Peralatan dan Sarana Penunjang, serta Validasi Metode Analisa. Process Validation, terdiri dari: Validasi Proses Produksi dan Validasi Pengemasan, dan Validasi pembersihan. Post Validation, terdiri dari : Periodic Review, Change Control dan Revalidasi. Langkah-langkah Pelaksanaan Validasi Begitu luasnya cakupan validasi, terkadang membingungkan kalangan praktisi di industri farmasi untuk melaksanakan validasi. FDA dalam ―Guideline on General Principles of Process Validation‖, memberikan panduan langkah-langkah dalam pelaksanaan validasi, yang tertuang dalam ―validation life cycle‖ berikut ini, yaitu : 1.
Membentuk Validation
Comitee (Komite
Validasi),
yang
bertanggung
jawab
terhadap
pelaksanaan validasi di industri farmasi yang bersangkutan. 2.
Menyusun Validation Master Plan (Rencana Induk Validasi), yaitu dokumen yang menguraikan (secara garis besar) pedoman pelaksanaan validasi di industri farmasi yang bersangkutan.
3.
Membuat Dokumen Validasi, yaitu protap (prosedur tetap), protokol serta laporan validasi.
4.
Pelaksanaan validasi.
5.
Melaksanakan Peninjauan Periodik, Change Control dan Validasi ulang (revalidation).
VALIDATION MASTER PLAN (RENCANA INDUK VALIDASI) Rencana Induk Validasi (RIV) merupakan dokumen yang menyajikan informasi mengenai program kerja/kegiatan validasi pada industri farmasi yang bersangkutan secara keseluruhan, termasuk jadwal pelaksanaannya. Dokumen RIV memuat antara lain : 1.
Kebijakan validasi.
2.
Struktur organisasi kegiatan validasi (komite validasi).
3.
Ringkasan fasilitas, sistem, peralatan, dan proses yang akan divalidasi.
4.
format dokumen: format protokol dan laporan validasi, perencanaan dan jadwal pelaksanaan validasi.
5.
Pengendalian perubahan.
6.
Acuan dokumen yang digunakan.
RIV terpisah mungkin diperlukan untuk suatu proyek yang besar
KOMITE VALIDASI (VALIDATION COMMITTE) Komite validasi merupakan sebuah team (kelompok) yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program validasi/ kualifikasi dalam industri farmasi yang bersangkutan. Tim ini di ketuai oleh QA Manager dengan anggota berasal dari bagian Produksi, QC/IPC, Teknik, R&D, dan bagian lain yang terkait, sesuai dengan jenis pelaksanaan validasi/kualifikasi yang dilakukan. Komite validasi bertanggung jawab untuk melaksanakan seluruh program validasi sesuai dengan jadwal seperti yang telah tertera pada Rencana Induk Validasi (RIV). Komite Validasi ini selanjutnya terbagi menjadi beberapa kelompok kerja (task force) sesuai dengan ruang lingkup dan pelaksananaan validasi. Misalnya dalam pelaksanaan kualifikasi mesin/peralatan penunjang, maka kelompok kerja terdiri dari Departemen QA dan Departemen Teknik (kadang-kadang juga Departemen Produksi dan R&D), sedangkan untuk validasi metode analisa, maka kelompok kerja terdiri dari Departemen QA, Departemen QC (kadang-kadang juga Depertemen R&D). Namun demikian secara umum, Departemen QA merupakan penanggung jawab dari keseluruhan pelaksanaan program validasi pada industri farmasi tersebut.
Kualifikasi Mesin dan Peralatan Produksi Validasi untuk mesin, peralatan produksi dan sarana penunjang disebut dengan kualifikasi. Jadi, kualifikasi adalah istilah yang digunakan untuk validasi mesin, peralatan produksi maupun sarana penunjang. Kualifikasi mesin, peralatan produksi dan sarana penunjang merupakan langkah pertama (first step) dalam pelaksanaan validasi di industri farmasi. Seluruh kegiatan validasi di industri farmasi diawali dengan pelaksanaan program kualifikasi ini. Validasi metode analisa, validasi proses produksi, validasi proses pengemasan, serta validasi pembersihan tidak bisa dilakukan TANPA melakukan kualifikasi mesin, peralatan produksi serta sarana penunjang terlebih dahulu.
Integrasi comisioning, kualifikasi dan Validasi Kualifikasi adalah ―kegiatan pembuktian‖ bahwa perlengkapan, fasilitas atau sistem yang digunakan dalam suatu proses/sistem akan selalu bekerja sesuai dengan kriteria yang diinginkan dan konsisten. Kualifikasi peralatan merupakan identitas sifat suatu peralatan yang berkaitan dengan kinerja dan fungsinya serta pemberian batasan nilai tertentu atau restriksi terhadap sifat tersebut.
Validasi/kualifikasi mesin, peralatan produksi dan sarana penunjang terdiri dari 4 tingkatan, yaitu : 1.
Kualifikasi Desain (Design Qualification/DQ).
2.
Kualifikasi Instalasi (Installation Qualification/IQ).
3.
Kualifikasi Operasional (Operational Qualification/OQ).
4.
Kualifikasi Kinerja (Performance Qualification/PQ). Masing-masing pelaksanaan kualifikasi harus dilakukan secara urut dan berkesinambungan.
Artinya, dalam pelaksanaan kualifikasi dimulai dari Design Qualification (DQ) dulu, baru kemudian Installation
Qualification
(IQ), Operational
Qualification
(OQ) dan
yang
terakhir Performance Qualification (PQ), tidak bisa dibolak-balik.
Kualifikasi Mesin, Peralatan Produksi dan Sarana Pendukung
Design Qualification (DQ) Tujuan Design Qualification (DQ) adalah untuk menjamin dan mendokumentasikan bahwa sistem atau peralatan atau bangunan yang akan dipasang atau dibangun (rancang bangun) sesuai dengan ketentuan atau spesifikasi yang diatur dalam ketentuan CPOB yang berlaku. Jadi DQ dilaksanakan SEBELUM mesin, peralatan produksi atau sarana penunjang (termasuk bangunan untuk industri farmasi) tersebut dibeli /dipasang/dibangun. Sasaran/Target Sasaran/target dari pelaksanaan DQ adalah: 1.
Memastikan bahwa sistem atau peralatan atau bangunan yang akan dipasang atau dibangun (rancang bangun) sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam CPOB (GMP complience).
2.
Memastikan bahwa sistem atau peralatan atau bangunan yang akan dipasang atau dibangun (rancang bangun) memperhatikan aspek aspek keamanan dan kemudahan operasional (HAZOPs – Hazard and Operation Studies).
3.
Memastikan bahwa sistem atau peralatan atau bangunan, telah dilengkapi dengan modul desain, gambar teknis dan spesifikasi produk secara lengkap.
4.
Khusus untuk bangunan industri farmasi, rancang bangun/Rencana Induk Pembangunan (RIP) sudah mendapat persetujuan dari Badan POM. Agar memudahkan pelaksanaannya, dibuat check list (daftar periksa) pelaksanaan DQ. DQ
Check terdiri dari : 1.
Rencana Induk Pembangunan atau Perbaikan (R.I.P.).
2.
Lay out, rencana design.
3.
Gambar teknis dan spesifikasi.
4.
Kualitas/spesifikasi bahan/material.
5.
Kesesuaian sistem dengan ketentuan CPOB. Cakupan
Kualifikasi Desain dilakukan sebelum Instalasi (pemasangan) alat/mesin/prasarana produksi.
Design Qualification (DQ)
Installation Qualification (IQ) Tujuan Installation Qualification (IQ) adalah untuk menjamin dan mendokumentasikan bahwa sistem atau peralatan yang diinstalasi sesuai dengan spesifikasi yang tertera pada dokumen pembelian, manual alat yang bersangkutan dan pemasangannya dilakukan memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan. Jadi IQ dilaksanakan pada saat pemasangan atau instalasi mesin atau peralatan produksi atau sarana penunjang. Sasaran/Target Sasaran/target dari pelaksanaan IQ adalah : 1.
Memastikan bahwa sistem atau peralatan telah dipasang sesuai rencana desain yang telah ditentukan (GMP complience).
2.
Memastikan bahwa bahan dan konstruksi peralatan telah sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan (jenis baja anti karat, kemudahan pembersihan, dan lain-lain).
3.
Memastikan ketersediaan perlengkapan pengawasan (alat kontrol) dan pemantauan (monitor) sesuai dengan penggunaannya.
4.
Memastikan sistem atau peralatan aman dioperasikan serta tersedia sistem atau peralatan pengaman yang sesuai.
5.
Memastikan bahwa sistem penunjang, misalnya listrik, air, udara, dan lain-lain telah tersedia dalam kualitas dan kuantitas yang memadai sesuai dengan penggunaannya.
6.
Memastikan bahwa kondisi instalasi dan sistem penunjang telah tersedia dan terpasang dengan benar. Agar memudahkan pelaksanaannya, dibuat check list (daftar periksa) pelaksanaan IQ. IQ
Checks terdiri dari: 1.
Spesifikasi/rancangan alat/sistem.
2.
Identifikasi kemasan/asesoris mesin/peralatan dan pengecekan suku cadang (spare part).
3.
Identifikasi bagian alat/mesin/sistem yang penting yang dapat mempengaruhi proses dan kualitas produk.
4.
Daftar alat/instrumen yang perlu dikalibrasi .
5.
Pelaksanaan kalibrasi (sertifikat kalibrasi).
6.
Prosedur (tata cara) instalasi.
7.
Pemeriksaan instalasi terpasang dan sarana penunjang.
Kalibrasi Kalibrasi merupakan serangkaian kegiatan dalam kondisi yang telah ditentukan, yang menetapkan hubungan antara lain yang ditunjuk oleh alat ukur atau sistem pengukur, atau nilai yang ditampilkan oleh suatu ukuran bahan dengan nilai suatu rujukan standar. Batasan hasil harus telah ditetapkan sebelumnya. Cakupan Kualifikasi instalasi dilakukan pada waktu Instalasi (pemasangan baru), modifikasi atau pemindahan alat yang bersangkutan.
Installation Qualification (IQ)
Operational Qualification (OQ) Tujuan Operational Qualification adalah untuk menjamin & mendokumentasikan bahwa sistem atau peralatan yang telah diinstalasi bekerja (beroperasi) sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. Jadi OQ dilaksanakan setelah pemasangan atau instalasi mesin atau peralatan produksi atau sarana penunjang dan digunakan sebagai test mesin/peralatan. Sasaran/Target Sasaran/target dari pelaksanaan OQ adalah : 1.
Memastikan bahwa sistem atau peralatan bekerja sesuai rencana desain dan spesifikasi.
2.
Memastikan bahwa kapasitas mesin atau peralatan secara actual danoperasional telah sesuai dengan rencana design yang telah ditentukan.
3.
Memastikan bahwa parameter operasi yang berdampak terhadap kualitas produk akhir telah bekerja sesuai dengan rancangan design yang telah ditentukan.
4.
Memastikan bahwa langkah operasi (urutan tata cara kerja) berdasarkan petunjuk operasional, telah sesuai dengan waktu dan peristiwa dalam operasi secara berurutan. Agar memudahkan pelaksanaannya, dibuat check list (daftar periksa) pelaksanaan OQ. OQ
Checks terdiri dari : 1.
Uji simulasi dengan kondisi operasi yang sesungguhnya (tanpa produk) .
2.
Batas/limit yang masih dapat disetujui.
3.
Menetapkan parameter dan batas limit operasi yang dapat mempengaruhi proses dan produk dan menetapkan kondisi operasional (SOP).
4.
Menentukan limit spesifikasi (perawatan, pergantian spare part, dan lain-lain).
Cakupan Kualifikasi Operasional dilakukan pada setelah Kualifikasi Instalasi (pemasangan baru), modifikasi atau pemindahan alat yang bersangkutan. (Dalam pelaksanaan di lapangan, biasanya IQ dan OQ dilakukan sekaligus sehingga dokumennya di sebut Dokumen IQ/OQ)
Operational Qualification (OQ)
Performance Qualification (PQ) Tujuan Performance Qualification (PQ) adalah untuk menjamin & mendokumentasikan bahwa sistem atau peralatan yang telah diinstalasi bekerja (beroperasi) sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan dengan cara menjalankan sistem sesuai dengan tujuan penggunaan. Sasaran/Target Sasaran/target dari pelaksanaan PQ adalah 1.
Memastikan bahwa sistem atau peralatan yang digunakan bekerja sesuai dengan yang diharapkan dan spesifikasi yang telah ditetapkan.
2.
Pada umumnya pelaksanaan dilakukan dengan Placebo.
3.
Selanjutnya dengan menggunakan produk (obat) dan pada kondisi produksi normal.
4.
Dilakukan 3 kali secara berurutan. Agar memudahkan pelaksanaannya, dibuat check list (daftar periksa) pelaksanaan PQ. PQ
Checks terdiri dari: 1.
Kesinambungan operasi dan fungsinya.
2.
Dapat diulang kembali (repeatability).
3.
Memastikan dalam kondisi yang sama, mutu produk dan spesifikasi obat jadi terwujud.
Performance Qualification (PQ
Validasi Metode Analisa Tujuan Validasi Metode Analisa adalah untuk membuktikan bahwa semua Metoda Analisa (cara/prosedur pengujian) yang digunakan dalam pengujian maupun pengawasan mutu, senantiasa mencapai hasil yang diinginkan secara konsisten (terus-menerus). Jadi, dalam Validasi metode analisa yang diuji atau divalidasi adalahPROTAP (prosedur tetap) pengujian yang bersangkutan. Misalnya, ―Validasi Metode Analisa Penetapan Kadar Zat Aktif Paracemol dalam Tablet Biogesic®dengan Metode Spektrofotometri UV/Vis‖, maka yang divalidasi atau diuji validitasnya adalah Prosedur Tetap ―Penetapan Kadar Zat Aktif Paracemol dalam Tablet Biogesic® dengan Metode Spektrofotometri UV/Vis‖. PROTAP tersebut bisa dibuat oleh Bagian QC atau oleh Bagian R&D. Apabila PROTAP-nya belum tersedia maka harus dibuat terlebih dahulu, baru divalidasi. PROTAP metode analisa tersebut, bisa diambil (di-adopsi) dari berbagai literatur resmi, misalnya Farmakope Indonesia (FI), United State Pharmacopea (USP), British Pharmacopea (BP) dan lain-lain (kompendial) atau yang berasal dari pengembangan sendiri atau modifikasi dari prosedur pengujian yang telah ada (sering disebut dengan metode analisa Eksplorasiatau Modifikasi). Cakupan (Ruang Lingkup) Validasi Metode Analisa dilakukan untuk SEMUA metoda analisa yang digunakan untuk pengawasan kegiatan produksi. Dilakukan dengan semua peralatan yang telah dikalibrasi dan diuji kesesuaian sistemnya (alat dan sistem sudah dikualifikasi). Menggunakan bahan baku pembanding yang sudah dibakukan dan disimpan ditempat yang sesuai.
Penentuan Parameter Uji 1.
Metode Analisa Adopsi (verifikasi) Metode analisa adopsi adalah metode analisa dimana prosedur pengujian diambil/diadopsi dari kepustakaan/ dokumen resmi, seperti Farmakope Indonesia (FI), United State Pharmacope (USP), British Pharmacope (BP), dan lain-lain. Parameter yang diuji adalah Akurasi dan Presisi.
2.
Metode Analisa Eksplorasi atau Modifikasi Metode analisa eksplorasi atau modifikasi adalah medote analisa dimana prosedur pengujiannya tidak terdapat dalam buku/kepustakaan/dokumen resmi. Metode ini bisa berasal dari eksplorasi yang dilakukan oleh Bagian Pengembangan Produk (R&D) atau modifikasi dari prosedur yang sudah ada di buku-buku resmi. Untuk metode analisa eksplorasi atau modifikasi, seluruh parameter harus diuji, yaitu selektifitas/spesifitas, linearitas, akurasi, presisi,Limit
of
detection, limit
of
quantition, dan robustness. Parameter Validasi Metode Analisa Spesifitas/Selektifitas Merupakan kemampuan suatu metode analisa untuk membedakan senyawa yang diuji dengan derivat/metabolitnya. Adanya perbedaan nyata antara resolusi antara dua puncak yang berdampingan dan kemurnian tiap puncak dalam kromatogram. Untuk HPLC, Rs : 1,2 – 1,5. Untuk Spektrofotometer UV/Vis: jarak dua puncak berdampingan: resolution factor (Rf) > 2,5. Lakukan scanning (pemindaian) sampel yang diuji lihat kromatogram dari dua puncak yang berdekatan (Rs) harus tidak kurang dari 1,5 atau terlihat adanya puncak yang terpisah dari scanning dengan spektrofotometer UV/Vis. Pemisahan dua puncak yang berdekatan dalam kromatogram, resolusi (R) ditentukan dengan persamaan : 2 (t2-t1) R = ————W2 + W1 Di mana t2 dan t1 adalah waktu retensi dua komponen, W1 dan W2adalah lebar puncak. Komponen pertama dan komponen kedua yang diukur dengan jalan ekstrapolasi sisi puncak yang relatif lurus sampai garis dasar (base line). Resolusi harus lebih besar dari 1,5.
Linearitas Merupakan kemampuan suatu metode analisa untuk menunjukkan hubungan secara langsung atau proporsional antara respons detektor dengan perubahan konsentrasi analit Diuji secara statistik, yaitu Linear Regression (y = a + bx); dimana b adalah kemiringan slope garis regresi dan a adalah perpotongan dengan sumbu y. ∑ (x – Xbar)(y- Ybar) Koefisien korelasi (r) = ——————————– √[ ∑ (x –Xbar)∑ (y- Ybar)] x adalah pengukuran individual dalm N pengukuran x (bar) adalah nilai rata-rata pengukuran; y adalah nilai individual sebenarnya dalam N nilai sebenarnya dan y (bar) adalah nilai rata-rata sebenarnya. Pengujian dilakukan paling tidak dengan menggunakan 5 kadar yang berbeda, kemudian dilihat apakah memberikan respons yang linear apa tidak, yang ditunjukkan dengan nilai r ≥ 0,98.
Contoh Uji Linearitas Akurasi (ketepatan) Merupakan kemampuan suatu metode analisa untuk memperoleh nilai yang sebenarnya (ketepatan pengukuran).
Terdapat 5 metode penentuan akurasi untuk penetapan kadar bahan aktif obat dalam bahan baku dan produk obat, yaitu : Menggunakan metode analisis untuk menetapkan kadar analit dalam bahan baku berkhasiat yang diketahui kemurniannya (misalnya bahan baku pembanding sekunder). Bahan baku berkhasiat atau cemaran dalam jumlah yang diketahui ditambahkan kedalam plasebo. Metode analisis ini akan digunakan untuk penetapan kadar bahan baku berkhasiat/cemaran dalam produk obat. Bila plasebo tidak bisa diperoleh, verifikasi akurasi metode dapat dilakukan dengan teknik standar adisi, yaitu dengan menambahkan sejumlah tertentu analit kedalam produk obat yang telah diketahui kadarnya. Metode analisis ini digunakan untuk penetapan kadar bahan baku berkhasiat/cemaran dalam produk obat. Menambahkan cemaran dalam jumlah tertentu kedalam bahan baku berkhasiat/produk obat. Metode analisis ini digunakan untuk penetapan kadar cemaran dalam bahan baku berkhasiat dan produk obat. Membandingkan dua metode analisis untuk mengetahui ekivalensinya, yaitu membandingkan hasil yang diperoleh dari metode analisis yang divalidasi terhadap hasil yang diperoleh dari metode analisis yang valid (akurasi metode analisis yang valid ini telah diketahui). Metode analisis ini digunakan untuk penetapan kadar bahan baku berkhasiat dalam bahan baku berkhasiat, produk obat dan penetapan kadar cemaran. Akurasi dinyatakan sebagai prosentase (%) perolehan kembali (recovery). Akurasi dinilai dengan menggunakan sedikitnya 9 penentuan dengan sedikitnya 3 tingkat konsentrasi dalam rentang pengujian metode analisis tersebut (misalnya 3 konsentrasi/3 replikasi untuk tiap prosedur analisis lengkap). Ketepatan metode analisa dihitung dari besarnya rata-rata (mean, x) kadar yang diperoleh dari serangkaian pengukuran dibandingkan dengan kadar sebenarnya. Hasil analisis Recovery = —————–
x 100%
Nilai sebenarnya Syarat recovery : 98 – 102 % Presisi (Ketelitian) Merupakan kemampuan suatu metode analisis untuk menunjukkan kedekatan dari suatu seri pengukuran yang diperoleh dari sampel yang homogen. Terdapat 3 kategori pengujian presisi, yaitu : Keterulangan (repeatability), dinilai dengan menggunakan minimum 9 penentuan dalam rentang penggunaan metode analisis tersebut (misalnya 3 konsentrasi/3 replikasi). Presisi Antara, yaitu perbedaan antar operator/analis dengan sumber reagensia dan hari yang berbeda.
Reprodusibilitas, dengan menggunakan beberapa laboratorium untuk validasi metode analisis, agar diketahui pengaruh lingkungan yang berbeda terhadap kinerja metode analisis. Presisi dinyatakan dalam bentuk RSD (relative standart deviation) atau SRB (sebaran baku relatif) . Persyaratan RSD untuk penetapan kadar bahan aktif adalah ≤ 2,0 %. Batas Deteksi (Limit of Detection/LOD) Merupakan jumlah analit terkecil yang masih bisa dideteksi namun tidak perlu dapat terukur.
Batas Kuantitasi (Limit of Quantitation/LOQ) Merupakan jumlah analit terkecil yang yang masih bisa diukur dengan akurat (tepat) dan presisi (teliti).
Ketegaran (robustness) Merupakan kapasitas suatu metode analisis untuk TIDAK terpengaruh oleh variasi-variasi kecil dalam parameter metode analisa. Contoh variasi kecil dalam metode analisa secara HPLC, antara lain: pH fase gerak, suhu, tekanan,
stabilitas,
jumlah
pelarut
organik
yang
dimodifikasi,
konsentrasi
buffer,
konsentrasi additive, flow rate, suhu kolom, dan lain-lain.
Pembuatan Cuplikan Baku Cuplikan baku dibuat oleh 2 orang analis yang cakap pada hari yang berbeda, sebanyak 6 sampel terdiri dari 3 konsentrasi (dosis), yaitu : Dosis 1 : 100% – {(1,5 s/d 3,0) x (100% – syarat minimum dalam monografi)}, dibuat 2 sampel. Dosis 2 : 100% klaim label, dibuat 2 sampel. Dosis 3 : 100% + {(1,5 s/d 3,0) x (syarat maksimum dalam monografi–100%)}, dibuat 2 sampel. Tiap sampel diuji triplo (3 kali pengujian), hasil yang diperoleh kemudian dibuat tabel. Intepretasi Hasil Pengujian Hitung rata-rata % hasil pengujian (mean, x) dari masing-masing analis . Hitung Simpangan Baku Relatif (RSD) dari masing-masing analis. Bandingkan antar analis secara statistik dengan menggunakan uji t-test. Metode analisa dinyatakan valid jika tidak ada berbedaan bermakna (t hitung < t tabel) antar analis atau antar dosis atau antar laboratorium.
Validasi Proses Produksi Validasi proses produksi bertujuan untuk: (1) memberikan dokumentasi secara tertulis bahwa prosedur produksi yang berlaku dan digunakan dalam proses produksi rutin (batch processing record), senantiasa mencapai hasil yang diinginkan secara terus – menerus, (2) mengidentifikasi dan mengurangi problem (masalah) yang terjadi selama proses produksi dan memperkecil kemungkinan terjadinya proses ulang, (3) meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses produksi Validasi proses produksi adalah BUKAN merupakan bagian dari Researchdan/atau Product Development, namun merupakan ‖dokumen pembuktian‖ bahwa proses produksi yang dilakukan sesuai dengan dokumen proses pengolahan, akan menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan secara terus-menerus (konsisten). Jadi, validasi BUKAN proses ‖mencari‖ tapi proses ‖membuktikan‖, seperti terlihat pada diagram Pengembangan Produk dan Validasi Proses Produksi di bawah ini. Validasi proses produksi (terutama untuk produk baru) hanya bisa dilaksanakan, jika hal-hal berikut telah dilaksakan, yaitu : a.
Kualifikasi mesin dan peralatan produksi (IQ/OQ).
b.
Kualifikasi sarana penunjang (AHU, Water system, dan lain-lain).
c.
Validasi metode analisa. Sebelum pelaksanaan validasi harus disusun protokol validasi dan telah mendapat persetujuan
dari QA Manager untuk dilaksanakan. Selama pelaksanaan validasi proses produksi tidak diperbolehkan untuk melakukan perubahan terhadap protokol yang telah disetujui oleh QA Manager. Jenis – jenis Validasi Proses Produksi 1. Prospective Validation (Initial Validation) Merupakan validasi proses produksi yang dilakukan untuk produk–produk BARU (belum pernah diproduksi/dipasarkan sebelumnya). Validasi proses produksi dilakukan SETELAH proses Scale Up dan optimalisasi prosedur oleh Bagian R & D dilakukan dan bukan pada skala trial (laboratorium) dan setelah dilakukan finalisasi prosedur produksi (batch processing record) oleh Bagian R&D (lihat diagram diatas). Dilakukan pada 3 (tiga) batch pertama secara berurutan. 2. Concurrent Validation Merupakan validasi yang dilakukan pada proses produksi yang SUDAH/TENGAH berjalan dan diproduksi, yang mana oleh karena satu dan lain hal proses produksi produk tersebut belum dilakukan Prospective Validation. Validasi proses produksi (Concurrent Validation) juga karena terdapat perubahan pada parameter kritis yang dapat mempengaruhi mutu dan spesifikasi produk.
Perubahan parameter yang dapat mempengaruhi mutu dan spesifikasi produk tersebut, antara lain perubahan spesifikasi bahan baku, peralatan utama, prosedur pembuatan, metode pengujian, dan lain-lain. Dilakukan pada 3 batch yang berurutan. 3. Retrospective Validation Merupakan validasi yang dilakukan terhadap produk-produk yang sudah lama diproduksi namun belum divalidasi. Validasi dilakukan dengan cara penelusuran data produksi yang sedang berjalan dengan menggunakan data dari batch record. Data yang digunakan untuk validasi proses produksi: 10 – 30 batch. Data yang dikumpulkan merupakan hasil pengujian terhadap parameter kritis pada SETIAP tahap proses produksi. Pembuatan Protokol Validasi Proses Produksi Protokol Validasi Proses Produksi, harus mencakup : -
Halaman pengesahan
-
Tujuan pelaksanaan validasi
-
Cakupan/Ruang lingkup/Scope
-
Latar belakang pelaksanaan validasi
-
Pembagian tugas dan tanggung jawab
-
Dokumen terkait (IQ/OQ, sumber/pustaka/dokumen rujukan yang digunakan)
-
Garis besar proses produksi
-
Penentuan parameter kritis
-
Rencana pengambilan sampel
-
Rencana pengujian
-
Rencana analisa hasil uji
-
Penetapan kriteria penerimaan
Penentuan Parameter Kritis Parameter kritis merupakan parameter yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi mutu obat. Penentuan parameter kritis dilakukan pada SETIAP tahapan proses produksi. Pengambilan sampel Sampel dikumpulkan dari masing-masing tahapan produksi, sesuai dengan rencana pengambilan sampel yang telah disetujui pada protokol validasi. Sampel yang dikumpulkan harus diberi penandaan yang jelas dan ditempatkan pada wadah khusus agar tidak campur-baur. Segera setelah seluruh sampel pada setiap tahapan proses produksi terkumpul, segera dilakukan pengujian.
Pengujian Seluruh metode pengujian yang digunakan dalam pengujian HARUS sudah dibuktikan kehandalannya dengan validasi metode analisa. Sampel yang telah terkumpul, harus segera dilakukan pengujian sesuai dengan rencana pengujian yang telah ditentukan dalam protokol validasi. Hasil pengujian (dari 3 batch berturut-turut) dibuat tabulasi berdasarkan parameter uji yang telah ditentukan, misalnya homogenitas pencampuran kadar zat aktif, kadar air, keragaman bobot, waktu hancur, disolusi, dan sebagainya. Hasil pengujian yang sudah ditabulasi kemudian dianalisa secara statistik dengan menggunakan ANOVA (Analisis variansi satu jalan) atau student test(t-test). Intepretasi Hasil dan Kriteria Penerimaan Hasil pengujian dari masing-masing parameter dihitung rata-rata (mean, x) dan simpangan baku relative (RSD). Untuk menentukan kesinambungan (konsistensi), diuji dengan menggunakan Analisis variansi satu jalan (ANOVA). Proses produksi dapat dinyatakan valid jika secara statistic menunjukkan konsistensi hasil pada setiap batch-nya dan seluruh parameter uji memenuhi persyaratan yang telah ditentukan pada spesifikasi produk yang bersangkutan. Analisa Data Hitung Rata-rata hasil uji (Mean, x) masing masing pengujian. Hitung Simpangan Baku Relatif (Relatif Standard Deviation/SD). Analisa hasil dengan uji ANOVA (atau t- test). Kriteria Penerimaan Proses produksi dapat dinyatakan memenuhi persyaratan jika secara statistik menunjukkan konsistensi hasil pada setiap batchnya (tidak ada perbedaan bermakna antar batch) dan seluruh parameter uji memenuhi persyaratan yang telah ditentukan pada spesifikasi produk yang bersangkutan.
Validasi Proses Pengemasan Proses pengemasan merupakan tahap akhir dari rangkaian proses produksi suatu sediaan farmasi (obat) sebelum didistribusikan. Proses pengemasan merupakan salah satu proses yang kritis dalam proses produksi, hal ini disebabkan : Sebagian besar kesalahan ada di bagian proses pengemasan. Hal ini dilatar belakangi karena adanya anggapan bahwa proses pengemasan BUKAN proses yang penting, sehingga pengawasan sering diabaikan . Kesalahan di bagian pengemasan, sangat sulit dideteksi. Resiko kesalahan di bagian pengemasan berakibat FATAL bagi konsumen (resiko kesalahan produk, label, dosis, dan lain-lain) .
Tujuan Validasi Proses Pengemasan : 1.
Memberikan dokumentasi secara tertulis bahwa prosedur pengemasan yang berlaku dan digunakan dalam proses pengemasan rutin (batch packaging record) sesuai dengan persyaratan rekonsiliasi yang telah ditentukan, secara secara terus – menerus (konsisten).
2.
Operator/pelaksana yang melakukan proses pengemasan kompeten serta mengikuti prosedur pengemasan yang telah ditentukan.
3.
Proses pengemasan yang dilakukan, tidak terjadi peristiwa mix – up(campur baur) antar produk maupun antar batch.
Pembuatan Protokol Validasi Proses Pengemasan Protokol Validasi Proses Produksi, harus mencakup : -
Halaman pengesahan
-
Tujuan pelaksanaan validasi
-
Cakupan/Ruang lingkup/Scope
-
Latar belakang pelaksanaan validasi
-
Pembagian tugas dan tanggung jawab
-
Dokumen terkait (IQ/OQ, sumber/pustaka/dokumen rujukan yang digunakan)
-
Garis besar pelaksanaan proses pengemasan
-
Rencana pengambilan sampel
-
Rencana pengujian dan analisa hasil uji
-
Penetapan kriteria penerimaan
Pengambilan sampel Sampel dikumpulkan dari masing-masing tahapan pengemasan, sesuai dengan rencana pengambilan sampel yang telah disetujui pada protokol validasi. Sampel yang dikumpulkan harus diberi penandaan yang jelas dan ditempatkan pada wadah khusus agar tidak campur-baur. Segera setelah seluruh sampel pada setiap tahapan proses produksi terkumpul, segera dilakukan pengujian. Pengujian Seluruh metode pengujian yang digunakan dalam pengujian HARUS sudah dibuktikan kehandalannya dengan validasi metode analisa. Sampel yang telah terkumpul, harus segera dilakukan pengujian sesuai dengan rencana pengujian yang telah ditentukan dalam protokol validasi. Hasil pengujian (dari 3 batch berturut-turut) dibuat tabulasi berdasarkan parameter uji yang telah ditentukan.
Pengujian yang dilakukan untuk sediaan/kemasan strip/blister, antara lain adalah : o Jumlah tablet yang dikemas vs jumlah tablet yang dihasilkan
o Penandaan (No. Batch, manufacturing date, expire date) pada blister/strip, dus dan karton o Test kebocoran pada strip/blister o Jumlah tablet dalam strip/blister o Jumlah strip/blister dalam dus o Jumlah dus dalam karton o Kelengkapan (etiket, brosur, penandaan) o Kerapian pengemasan o Rendeman dan Rekonsiliasi bahan pengemas Pengujian yang dilakukan untuk kemasan botol, antara lain adalah: o Jumlah botol yang dihasilkan vs jumlah cairan yang diproduksi o Volume (isi) per botol o Kebocoran (penutupan) botol o Jumlah botol dalam dus o Jumlah dus dalam karton o Kelengkapan (etiket, brosur, penandaan) o Kerapian pengemasan o Rendemen o Rekonsiliasi bahan pengemas Intepretasi Hasil dan Kriteria Penerimaan Hasil pengujian kemudian ditabulasikan dan dianalisa secara statistik dengan menggunakan ANOVA (Analisis variansi satu jalan) atau student test (t-test). Intepretasi Hasil dan Kriteria Penerimaan: Hasil pengujian dari masing-masing parameter dihitung rata-rata (mean, x) dan simpangan baku relative (RSD). Untuk menentukan kesinambungan (konsistensi), diuji dengan menggunakan Analisis variansi satu jalan (ANOVA). Proses pengemasan dapat dinyatakan valid jika secara statistik menunjukkan konsistensi hasil pada setiap batchnya dan seluruh parameter uji memenuhi persyaratan yang telah ditentukan pada spesifikasi produk yang bersangkutan.
Validasi Pembersihan Validasi Pembersihan bertujuan untuk : 1.
Memberikan dokumentasi secara tertulis bahwa prosedur pembersihan yang berlaku dan digunakan sudah tepat dan dapat dilakukan berulang-ulang (reliable and reproducible).
2.
Peralatan/mesin yang dibersihkan tidak terdapat pengaruh yang negatif karena efek pembersihan.
3.
Operator/pelaksana yang melakukan pembersihan kompeten, mengikuti prosedur pembersihan dan peralatan pembersihan yang telah ditentukan.
4.
Cara pembersihan menghasilkan tingkat kebersihan yang telah ditetapkan, Misalnya: sisa residu, kadar kontaminan, dan sebagainya.
5.
Validasi Pembersihan, terutama ditujukan untuk bahan-bahan dengan kriteria sebagai berikut:
6.
Bahan-bahan yang sulit dibersihkan.
7.
Produk-produk yang memiliki tingkat kelarutan yang jelek.
8.
Produk-produk yang mengandung bahan yang sangat toksik, karsinogenik, mutagenik, teratogenik, dan sebagainya.
9.
Untuk bahan yang sama, dipilih yang memiliki dosis yang lebih tinggi. Kriteria Alat/mesin yang divalidasi:
1.
Peralatan/mesin baru.
2.
Untuk mesin yang sama (merk, type/jenis) hanya salah satu yang divalidasi.
3.
Jika dalam proses menggunakan rangkaian mesin yang berbeda secara berkelanjutan (in line machine), masing-masing mesin harus tetap divalidasi secara terpisah.
4.
Jika rangkaian mesin merupakan kombinasi mesin yang permanen, validasi bisa dilaksanakan bersama-sama.
Pembuatan Protokol Validasi Pembersihan Protokol Validasi Pembersihan, harus mencakup : 1.
Halaman pengesahan
2.
Tujuan pelaksanaan validasi
3.
Cakupan/Ruang lingkup/Scope
4.
Latar belakang pelaksanaan validasi
5.
Pembagian tugas dan tanggung jawab
6.
Dokumen terkait (IQ/OQ, sumber/pustaka/dokumen rujukan yang digunakan)
7.
Garis besar pelaksanaan pembersihan
8.
Rencana pengambilan sampel dan pengujian
9.
Rencana analisa hasil uji
10. Penetapan kriteria penerimaan Metode pengambilan sampel 1. Metode Apus (swab sampling method) Prinsip: Residu diperoleh dengan mengapus (swab) langsung pada permukaan alat/ruangan yang kontak dengan produk. Hasil swabdianalisis untuk kandungan residu setelah melalui proses ekstraksi atau untuk kandungan mikro-organisme setelah melalui kultur mikroba dan inkubasi. Merupakan metode pengambilan sampel dengan cara menggunakan bahan apus (swab material) yang dibasahi dengan pelarut yang langsung dapat menyerap residu dari permukaan alat. Bahan yang digunakan untuk sampling harus kompatibel dengan solvent dan metode analisanya. Tidak ada sisa-sisa serat yang mengganggu analisa. Ukuran material harus disesuaikan dengan area samplingnya. Sedangkan bahan pelarut (solvent), harus : Disesuaikan dengan spesifikasi bahan yang diperiksa.
Tidak mempengaruhi stabilitas bahan yang diuji. Sebelum dilakukan validasi, harus dilakukan pemeriksaan/ uji perolehan kembali (recovery test) dengan larutan yang diketahui kadarnya. Kelebihan/kekurangan Kelebihan : Contoh yang sudah mengering atau sulit larut dapat ‖dilepaskan‖ dari permukaan secara fisik. Lokasi yang sulit dibersihkan dapat dicapai dengan swab sehingga memungkinkan evaluasi paling langsung terhadap tingkat kontaminasi atau jumlah residu setiap (permukaaan) area. Kekurangan : Adanya variasi hasil yang disebabkan oleh pemilihan lokasi, tekanan (physical force) yang digunakan dan totalitas permukaan yang di-swab. Pelarut swab dapat mempengaruhi residu. Proses analisis ekstraksi dapat mempengaruhi/ mengurangi recovery rate (perolehan kembali). Sampel yang terbatas dapat mempengaruhi sensitivitas hasil analisis. 2. Metode Pembilasan Terakhir (Rinse sampling method) Prinsip: Residu diperoleh dengan mengumpulkan pelarut pembilas yang telah kontak dengan permukaan alat dimana produk diproses. Hasil bilas kemudian dianalisis untuk kandungan residu dan atau kandungan mikroba. Umumnya dilakukan untuk alat/mesin yang sulit dijangkau dengan cara apus (banyak pipa, lekukan, dan lain-lain). Pelarut pembilas harus tidak boleh menyebabkan penguraian/degradasi residu. Pelarut pembilas harus kontak dengan permukaan alat dalam waktu yang cukup agar residu dapat larut sempurna. Kelebihan/kekurangan Kelebihan : Pengambilan contoh dimungkinkan terhadap permukaaan yang luas. Keseluruhan lokasi dipermukaan dapat dicapai tanpa kesulitan sehingga memungkinkan evaluasi dengan tingkat recovery rate yang tinggi . Variasi hasil analisis lebih kecil dibanding dengan cara apus. Jika dilakukan dengan benar, hasil pemeriksaan dapat mencerminkan kondisi seluruh permukaan alat.
Kekurangan : Tidak cocok untuk peralatan kompleks bermuatan instrumen atau komponen listrik/elektronik. Misalnya mesin tablet, FBD, Granulator, mesin pengisi serbuk, dan lain-lain. 3. Metode dengan menggunakan placebo
Prinsip: Residu diperoleh dari batch produk plasebo yang dibuat dengan cara simulasi dala kondisi yang sebenarnya. Contoh produk sepanjang proses produksi melalui suatu rangkaian alat kemudian dianalisis untuk kandungan residu atau kandungan mikro-organisme. Pengambilan sampel yang dilakukan dengan cara pengolahan produk yang bersangkutan tanpa bahan aktif dengan peralatan yang sudah dibersihkan kemudian dianalisa. Kelebihan : Contoh yang diambil merupakan simulasi proses produksi yang sebenarnya . Memberi kemungkinan penilaian langsung terhadap efek kumulasi tahapan proses produksi karena pendekatan validasi dilakukan pada suatu rangkaian peralatan. Kekurangan : Tingkat sensitivitas dari recovery rate (perolehan kembali) residu terlalu rendah karena faktor pengenceran selama proses produksi. Metode ini tidak disarankan, karena tidak reproducible. Pengujian Seluruh metode pengujian yang digunakan dalam pengujian HARUS spesifik untuk bahan yang diperiksa dan sudah dibuktikan kehandalannya dengan validasi metode analisa serta cukup sensitif untuk dapat mendeteksi sisa residu. Alat yang dipakai untuk penentuan sisa (residu): HPLC (disarankan, tetapi biaya pemeriksaan mahal); Spektrofotometer UV/Vis dan KLT (biaya lebih murah). Hasil pengujian (dari 3 kali pembersihan berturut-turut) dibuat tabulasi berdasarkan parameter uji yang telah ditentukan, misalnya pengamatan secara visual (jernih/keruh), pH, sisa residu, konduktifitas, dan sebagainya. Hasil pengujian yang sudah ditabulasi kemudian dianalisa secara statistik dengan menggunakan ANOVA (Analisis variansi satu jalan) ataustudent test (t-test). Penentuan Total Residu Penentuan total residu dilakukan dengan cara menjumlahkan sisa (residu) dari semua bagian mesin/peralatan/ruang yang divalidasi. Selanjutnya, konversikan jumlah total residu dari sisa (residu) yang disampel. Jika tidak ada residu yang terdeteksi, perhitungan sisa (residu) menggunakan limit of detection (LOD) dari metode analisa yang digunakan. ”Worst case scenario” Penentuan
resiko cross-contamination (pencemaran
silang)
didasarkan
pada
‖skenerio
terburuk‖, yaitu diasumsikan : Seluruh sisa (residu) akan diterima (tercampur) oleh produk berikutnya. Sisa residu akan tercampur secara homogen pada product selanjutnya. TIEL (Toxicological Insignificant Exposure Level) atau dosis terapeutik terkecil per hari sebagai bahan perhitungan. Contoh Kasus
Produk A (sediaan tablet) dibuat dengan menggunakan mesin Super Mixer dimana diketahui bahwa dosis terapi terkecil adalah 100 mg dan faktor keamanan produk (safety factor) yang digunakan adalah 1/1000. Hal ini berarti bahwa produk berikutnya (produk B) akan aman jika sisa residu produk A tidak lebih dari : 100 mg x 1/1000 = 0,1 mg zat aktif produk A ke dalam produk B per dosis harian Jadi, jumlah maksimal sisa (residu) produk A adalah 0,1 mg Acceptance Criteria : Kriteria Dosis: cemaran bahan aktif tidak lebih dari 0,001 x dosis harian maksimal perhari dari produk selanjutnya. Kriteria ppm: produk berikutnya mengandung tidak lebih dari 10 ppm cemaran produk sebelumnya. Bersih secara visual : pada alat yang telah dibersihkan, tidak terlihat secara visual adanya sisa produk sebelumnya . Intepretasi Hasil dan Kriteria Penerimaan Hasil pengujian dari masing-masing parameter dihitung rata-rata (mean, x) dan simpangan baku relatif (RSD). Untuk menentukan kesinambungan (konsistensi), diuji dengan menggunakan Analisis variansi satu jalan (ANOVA). Proses Pembersihan dapat dinyatakan valid jika secara statistik menunjukkan konsistensi hasil dan seluruh parameter uji memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
Manajemen Produksi Salah satu ciri era globalisasi adalah ―semakin menipisnya batas-batas antar negara‖ karena kemajuan teknologi terutama di bidang komunikasi dan informasi. Globalisasi tidak bisa dihindari oleh siapa pun. Mau tidak mau, globalisasi akan merambah semua negara dan segala aspek yang ada di dalamnya. Dalam era globalisasi, negara yang memiliki kekuatan ekonomi dan sumber daya manusia yang kuat akan memenangkan persaingan global. Sebaliknya, negara yang lemah secara ekonomi maupun sumber daya manusia, akan tersisih. Terkait dengan ditanda tanganinya harmonisasi pasar ASEAN tahun 2008 oleh ke-11 pemimpin negara ASEAN, di mana kesehatan/produk farmasi, merupakan salah satu komoditi yang ikut serta dalam harmonisasi pasar ASEAN tersebut. Dengan adanya harmonisasi ini, semua produk dari negara anggota ASEAN bebas masuk dan dipasarkan ke anggota yang lain, termasuk produk farmasi tanpa adanya hambatan tarif bea masuk. Dilihat dari segi kepentingan konsumen, era perdagangan bebas ini sangat menguntungkan karena konsumen akan memiliki berbagai alternatif dalam memenuhi kebutuhannya. Konsumen tentu akan memilih barang atau jasa yang berkualitas dengan harga yang relatif murah serta pelayanan yang lebih cepat/baik. Sedangkan dari sisi produsen, khususnya industri dalam negeri, era globalisasi menjadi ancaman terutama terhadap produk-produk luar negeri yang selama ini harganya lebih mahal
karena dikenakan tarif bea masuk yang tinggi. Demikian pula sebaliknya terhadap produk dalam negeri akan memperoleh kebebasan untuk memasuki pasar di luar negeri. Kondisi ini tentunya akan memicu persaingan yang semakin tinggi, khususnya di Indonesia, karena dengan jumlah penduduknya yang terbesar di kawasan ASEAN, menjadikan Indonesia pasar yang sangat potensial. Meningkatnya perekonomian dan pendapatan masyarakat, tentu saja akan berpengaruh pula terhadap tingkat pendidikan masyarakat. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi saat ini semakin terbuka, dan hal ini akan meningkatkan pula pengetahuan masyarakat. Sebagian masyarakat akan melakukan tindakan rasional dalam membeli barang atau untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk kebutuhan akan obat. Dalam membeli suatu produk farmasi (obat), masyarakat menginginkan produk yang berkualitas dengan harga yang murah. Hal ini disebabkan meskipun pendapatan meningkat, di lain pihak kebutuhan juga terus meningkat. Dengan demikian industri farmasi dituntut untuk menghasilkan produk dengan kualitas yang tinggi dengan harga yang wajar atau bahkan relatif lebih murah. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh industri farmasi agar dapat bersaing dengan kondisi yang demikian adalah meningkatkan efisiensi dan efektifitas operasi perusahaan. Dengan kata lain, kata kunci dalam memenangkan persaingan di era globalisasi saat ini adalah peningkatan produktifitas. Manajemen produksi dan operasi di industri farmasi menjadi sangat strategis dan menjadi salah satu faktor penting untuk dapat memenangkan persaingan yang akan semakin ketat di era globalisasi ini. Terdapat 5 (lima) komponen utama yang mempengaruhi harga obat.Kelima komponen tersebut adalah (1) Biaya bahan awal (starting material) yang terdiri dari bahan baku dan bahan pengemas; (2) Biaya operasional pabrik (manufacturing cost); (3) Biaya promosi (promotion cost); (4) Biaya distribusi (distribution cost); dan (5) Biaya retailer (retailer cost). Dari kelima biaya tadi, biaya bahan awal (starting cost) menyumbang 70 – 80% dari total keseluruhan biaya industri farmasi. Oleh karenanya, penghematan biaya bahan awal sebesar 10% saja, dengan didukung oleh manajemen produksi dan operasi yang baik, akan memberikan sumbangan yang sangat signifikan bagi industri farmasi yang bersangkutan yang pada gilirannya sangat mempengaruhi daya saing industri farmasi itu sendiri. Pengertian Manajemen Operasi Manajemen operasi adalah merupakan usaha-usaha pengelolaan secara optimal penggunaan sumber-sumber daya (faktor-faktor) produksi antara lain tenaga kerja, mesin-mesin, peralatan, bahan mentah menjadi berbagai produk atau jasa, seperti gambar berikut :
Sistem operasi industri (manufacturing) Ciri umum dari manajemen operasi adalah adanya unsur utama, yaituinput, proses transformasi, output, feedback information dan lingkungan. Inputyang digunakan dapat bersifat sederhana atau kompleks. Proses transformasi merupakan kegiatan penambahan nilai, oleh karena itu perlu
diperhatikan
karakteristik
seperti
efisiensi,
kualitas,
tenggang
waktu
maupun
fleksibilitas.Output dapat berupa barang atau jasa atau sekumpulan barang atau jasa. Lingkungan merupakan sesuatu yang komplek dan sulit untuk dikontrol seperti: teknologi, ekonomi, sosial, politik dan lain-lain, oleh karena itu perlu diperhatikan secara terus-menerus. Atas dasar utama manajemen operasi tersebut, dapat dikatakan bahwa manajemen operasi adalah kegiatan untuk mengolah input melalui proses transformasi atau pengubahan atau konversi sedemikian rupa sehingga menjadi output yang dapat berupa barang atau jasa. Atau dengan kata lain manajemen operasi adalah proses transformasi input menjadi output, berupa barang atau jasa secara terarah dan sistematis. Ruang Lingkup Manajemen Operasi Sebagai suatu sistem, manajemen operasi memiliki kharakteristik: (1) mempunyai tujuan, yaitu menghasilkan barang atau jasa, (2) mempunyai kegiatan, yaitu proses transformasi, dan (3) adanya mekanisme yang mengendalikan pengoperasikan. Berdasarkan kharakteristik tersebut, maka ruang lingkup manajemen dapat dirumuskan: 1. Perencanaan output (peramalan output/penjualan). 2. Perencanaan kapasitas dan bangunan pabrik. 3. Perencanaan tata letak fasilitas dan desain aliran kerja. 4. Perencanaan produksi. 5. Manajemen Persediaan. Dari ruang lingkup manajemen operasi tersebut terlihat bahwa manajemen operasi tidak saja sebagai alat untuk mengendalikan urutan input-output, tetapi juga merupakan suatu keseluruhan sistem yang berdasarkan sistem yang berlandaskan pada konsep pendekatan sistem, seperti terlihat pada gambar berikut.
Manufacturing Cycle
Forecasting PERAMALAN PENJUALAN (FORECASTING) Peramalan penjualan (forecasting) memegang peranan yang sangat penting dalam perencanaan dan pengambilan keputusan khususnya di bidang produksi dan operasi. Aktivitas manajemen produksi dan operasi menggunakan peramalan permintaan dalam perencanaan yang menyangkut perencanaan produksi, perencanaan pemenuhan kebutuhan bahan, perencanaan kebutuhan tenaga kerja, perencanaan kapasitas produksi, perencanaan desain dan lay outfasilitas, penentuan lokasi pabrik, penentuan metode proses produksi, penentuan jumlah mesin dan sebagainya. Peranan peramalan penjualan (forecasting) ini disebabkan adanya tenggang waktu (lead time) antara suatu peristiwa atau kebutuhan dengan kebutuhan mendatang. Jadi, Forecastingmerupakan dasar dari perencanaan perusahaan dalam jangka panjang.Forecasting dibutuhkan untuk memperkirakan kebutuhan bahan baku, produk, tenaga kerja maupun kebutuhan lain sebagai respons terhadap perubahan permintaan (pasar). Bagi bagian Keuangan (Finance & Accounting), forecasting digunakan sebagai dasar perencanaan budget (budgeting)
dan
kontrol
biaya.
Sedangkan
bagi
Bagian
Marketing
sendiri, forecasting berfungsi untuk perencanaan produk baru, kompensasi armada penjualan, dan lain-lain.
Sementara
untuk
Bagian
Produksi, forecasting bermanfaat
untuk
membuat
keputusan process selection(buat/beli), perencanaan kapasitas, lay out fasilitas produksi, perencanaan produksi (schedulling) dan pengendalian persediaan (inventory control). Forecasting dibuat dan disiapkan oleh bagian Marketing (penjualan). Hal ini disebabkan karena bagian Marketing-lah yang mengetahui kondisi pasar, dan mampu memperkirakan efek kompetisi, iklan dan promosi, perubahan harga dan besarnya tekanan kekuatan penjualan dipandang dari segi fluktuasi permintaan. Ramalan penjualan yang buruk, secara otomatis menyebabkan perencanaan produksi yang buruk pula. Akibatnya, inventory menjadi sangat tinggi atau sebaliknya hilangnya
penjualan karena tiadanya barang yang akan dijual. Inventory yang terlalu tinggi mengakibatkan bertambahnya biaya yang disebabkan ketidak-efisienan sumber daya (bahan baku, mesin dan juga tenaga kerja) yang ada. Pada kondisi yang sebaliknya, akan menyebabkan terjadinya kekosongan produk di pasaran. Kondisi ini menciptakan peluang bagi pesaing (kompetitor) untuk masuk, sehingga mengakibatkan hilangnya peluang pasar yang ada (loss opportunity). Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin, industri (produk) tersebut akan kehilangan pasar. Adalah hal yang mustahil untuk dapat memperkirakan secara tepat besarnya permintaan pada masa yang akan datang. Hal ini disebabkan begitu banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi pasar yang tidak bisa diperkirakan dengan tepat. Untuk itu, hal yang sangat penting adalah adanya evaluasi secara terus-menerus terhadap metode peramalan yang digunakan, sehingga dapat terus menerus disempurnakan. Metode Peramalan Penjualan Secara umum, metode peramalan penjualan dapat dibagi dalam dua kategori utama, yaitu metode kuantitatif dan metode kualitatif. Pada metode peramalan penjualan Metode Kualitatif merupakan metode subyektif, artinya besarnya angka penjualan ditetapkan berdasarkan asumsi dan estimasi. Metode biasanya digunakan untuk produk baru yang akan diluncurkan ke pasaran. Sedangkan metode peramalan penjualan Metode Kuantitatif didasarkan atas data-data penjualan masa lalu yang kemudian diolah dengan berbagai metode statistik. Metode Kuantitatif dapat dibagi dalam ke dalam deret berkala atau runtun waktu (time series) dan metode kasual (casual). Metode kuantitatif sangat beragam dan setiap teknik memiliki sifat, ketepatan dan biaya tertentu yang harus dipertimbangkan. Metode kuantitatif formal didasarkan atas prinsip-prinsip statistik yang memiliki ketepatan tinggi atau dapat meminimalkan kesalahan, lebih sistematis, dan lebih populer dalam penggunaannya. Untuk dapat menggunakan metode kuantitatif terdapat 3 kondisi yang harus dipenuhi, yaitu (1) tersedianya informasi tentang masa lalu, (2) informasi tersebut dapat dikuantitifkan dalam angka numerik, dan (3) adanya asumsi bahwa beberapa pola masa lalu akan terus berlanjut. Metode Deret Waktu (Time Series). Metode peramalan (forecasting) secara Time series atau sering disebut Metode ―Deret Waktu‖ atau ―Deret Berkala‖ didasarkan asumsi bahwa besarnya permintaan yang akan datang dapat diprediksi dari besarnya permintaan pada masa lalu. Langkah penting dalam menggunakan metode peramalan deret waktu adalah dengan mempertimbangkan jenis pola data. Pola data dapat dibedakan menjadi 4 jenis siklus dan trend, yaitu (1) pola horizontal, terjadi bilamana data berfluktuasi disekitar nilai rata-rata yg konstan, (2) pola musiman, terjadi bilamana deret permintaan dipengaruhi oleh faktor musiman, (3) pola siklus, terjadi bilamana dipengaruhi oleh fluktuasi ekonomi jangka panjang (siklus bisnis), dan (4) polatrend, terjadi bilamana kenaikan/penurunan permintaan didasarkan pada trendekonomi pasar yg berlangsung.
Metode Casual.
Metode peramalan secara casual, didasarkan adanya asumsi bahwa penjualan dipengaruhi oleh berbagai ―peristiwa‖ yang sengaja dibuat yang dapat mempengaruhi penjualan, misalnya promosi, iklan, kegiatan kompetitor, dan lain-lain. Focus Forecasting Focus forecasting diciptakan oleh Bernie T. Smith, seorang ahli statistika dan komputer yang juga seorang Inventory Manager di American Hardware Supply Co., Amerika Serikat. Smith menggunakan pendekatan statistik yang sangat sederhana berdasarkan data-data pada masa lalu untuk dapat membuat peramalan secara lebih tepat. Data-data dari masa lalu tersebut diolah dengan menggunakan program komputer yang sederhana untuk membuat perkiraan/peramalan penjualan. Dasar–dasar penerapan Focus forecasting adalah: A. Apapun yang kita jual pada 3 bulan terakhir, kemungkinan akan kita jual pada 3 bulan yang akan datang. B.
Apapun yang kita jual pada 3 bulan yang sama tahun lalu, kemungkinan akan kita jual pada 3 bulan yang sama.
C.
Pada 3 bulan kedepan, kita akan menjual 10% lebih banyak dibanding 3 bulan lalu .
D. Pada 3 bulan kedepan, kita akan menjual 50% lebih banyak dibanding bulan yang sama pada tahun lalu. E.
Berapapun prosentase perubahan yang kita dapat tahun lalu pada 3 bulan terakhir, hal yang sama juga akan terjadi pada 3 bulan kedepan. Menurut Bernie T. Smith, hal terpenting dalam penerapan focus forecastingadalah bahwa
metode ini tidak boleh terlalu kaku. Artinya seluruh data penjualan dianalisis dengan menggunakan kelima pendekatan tersebut di atas, kemudian dari pendekatan yang paling mendekati kebenaran/kenyataan yang sesungguhnya (data dari hasil penjualan nyata), digunakan untuk memperkirakan jumlah penjualan di masa yang akan datang
Per encanaan Produksi PERENCANAAN PRODUKSI (PRODUCTION PLANNING) Setelah forecast dibuat oleh bagian Marketing, selanjutnya dibuat/disusun Perencanaan Produksi (production planning) serta Rencana Anggaran Belanja Perusahaan (RABP) sebagai acuan untuk memenuhi permintaan Marketing tersebut. Perencanaan Produksi, terbagi menjadi Rencana Produksi Tahunan, yang kemudian di-break down ke dalam Rencana Produksi Periodik (misalnya semester atau triwulan). Selanjutnya Rencana Produksi Periodik di-break downlagi menjadi Rencana Produksi Bulanan, Mingguan dan Harian, seperti terlihat pada gambar berikut :
Sasaran pokok dari perencanaan produksi, antara lain: (1) ketepatan waktu dalam memenuhi janji (permintaan) pelanggan, (2) kecepatan waktu penyelesaian pesanan (permintaan) pelanggan, (3) berkurangnya biaya produksi, dan (4) new product launching dan divestment (write off) produkproduk lama berjalan lancar (teratur). Perencanaan Produksi dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal (dari dalam perusahaan sendiri) maupun faktor eksternal. Faktor internal antara lain kapasitas terpasang, kapasitas produksi, jumlah persediaan dan aktifitas lain yang diperlukan untuk produksi. Sedangkan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi perencanaan produksi antara lain kebutuhan/permintaan pasar, kondisi perekonomian, ketersediaan bahan baku/bahan pengemas, aktifitas kompetetitor dan kapasitas eksternal (untuk kegiatan yang di sub kontrakan). Dampak Perencanaan yg Baik : 1.
Saling pengertian antar bagian
2.
Tercapainya keseimbangan dalam inventory (bahan baku, WIP, Obat jadi)
3.
Terciptanya program sarana produksi yang seimbang dan stabil
4.
Memaksimalkan sumber daya (orang, mesin, alat dan ruang penyimpanan)
5.
Investasi minimal pada barang ½ jadi (WIP)
6.
Hemat biaya penyimpanan
7.
Hemat biaya tidak langsung
8.
Angka kerusakan dan cacat produk rendah
9.
Angka kelebihan bahan ½ jadi rendah
10. Biaya pelacakan rendah
Faktor-faktor yang mempengaruhi production planning
Pengendalian Persediaan PENGENDALIAN PERSEDIAAN (INVENTORY CONTROL) Persediaan (inventory) memiliki arti sangat penting bagi dalam operasi bisnis suatu perusahaan, guna untuk memenuhi kebutuhan produksi dan memberikan kepuasan pada kebutuhan organisasi (perusahaan). Terdapat 3 alasan perlunya persediaan bagi industri, yaitu: (1) antisipasi adanya unsur ketidakpastian permintaan, (2) adanya unsur ketidakpastian pasokan darisupplier, dan (3) adanya unsur ketidakpastian tenggang waktu (lead time) waktu pemesanan. Inventory, terutama di industri farmasi terdiri dari raw materials (bahan baku), packaging materials (bahan pengemas), finished product(Obat jadi), dan work In Process/WIP (Barang setengah jadi). Tujuan diadakannya persediaan antara lain adalah: (1) untuk memberikan layanan terbaik pada pelanggan, (2) untuk memperlancar proses produksi, (3) untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kekurangan persediaan (stockout), dan (4) untuk menghadapi fluktuasi harga. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka tentu saja akan menimbulkan konsekuensi bagi perusahaan, yaitu menanggung biaya atau resiko yang berkaitan dengan keputusan persediaan. Bagi bagian Keuangan, inventory adalah uang (modal) sehingga harus dijaga agar nilai inventory tersebut sekecil mungkin untuk memperkuat modal. Sebaliknya, orang marketing memandang bahwa inventory harus setinggi mungkin untuk mendorong
penjualan
dan
antisipasi
adanya
permintaan
yang
mendadak.
Bagi
orang
produksi, inventory harus dijaga sedemikian rupa dalam kondisi yang optimum untuk menjaga efisiensi produksi dan memperlancar tingkat pemanfaatannya. Oleh karena itu, sasaran akhir dari pengendalian persediaan adalah menghasilkan keputusan tingkat persediaan, yang menyeimbangkan tujuan diadakannya persediaan dengan biaya yang dikeluarkan. Dengan kata lain, sasaran akhir dari pengendalian persediaan adalah meminimalkan total biaya dengan perubahan tingkat persediaan.
Biaya persediaan (inventory cost) Inventory (persediaan) adalah biaya. Terdapat lima kategori biaya yang dikaitkan dengan keputusan persediaan, yaitu : 1.
Biaya Pemesanan (order cost)
2.
Biaya Penyimpanan (carrying cost atau holding cost)
3.
Biaya Kekurangan Persediaan (stock out cost)
4.
Biaya yang dikaitkan dengan kapasitas
5.
Biaya barang atau bahan itu sendiri Biaya pemesanan (order cost). Biaya pemesanan (order cost) adalah biaya yang dikaitkan
dengan usaha untuk mendapatkan bahan atau bahan dari luar. Biaya pemesanan dapat berupa: biaya penulisan pemesanan, biaya proses pemesanan, biaya materai/perangko, biaya faktur, biaya pengetesan, biaya pengawasan, dan biaya transportasi. Sifat biaya pemesanan ini adalah semakin besar frekuensi pembelian semakin besar biaya pemesanan. Biaya Penyimpanan (carrying cost). Komponen utama dari biaya simpan(carrying cost), terdiri dari : (1) biaya modal, meliputi opportunity cost atau biaya modal yang diinvestasikan dalam persediaan, gedung, dan peralatan yang diperlukan untuk mengadakan dan memelihara persediaan; (2) biaya simpan, meliputi biaya sewa gudang, perawatan dan perbaikan bangunan, listrik, gaji, personel keamanan, pajak atas persediaan, pajak dan asuransi peralatan, biaya penyusutan dan perbaikan peralatan. Biaya tersebut ada yang bersifat tetap (fixed), variabel, maupun semi fixed atau semi variabel; (3) biaya resiko, meliputi biaya keusangan, asuransi persediaan, biaya susut secara fisik, dan resiko kehilangan. Sifat biaya penyimpanan adalah semakin besar frekuensi pembelian bahan, semakin kecil biaya penyimpanan. Biaya Kekurangan Persediaan (stock out). Biaya kekurangan persediaan terjadi apabila persediaan tidak tersedia di gudang ketika dibutuhkan untuk produksi atau ketika langganan memintanya. Biaya yang dikaitkan dengan stock out meliputi: biaya penjualan atau permintaan yang hilang, biaya yang dikaitkan dengan proses pemesanan kembali seperti biaya ekspedisi khusus, penanganan khusus, biaya penjadwalan kembali produksi, biaya penundaan, dan biaya bahan pengganti. Biaya yang Dikaitkan dengan Kapasitas. Biaya ini terjadi karena perubahan dalam kapasitas produksi yang diperlukan karena untuk memenuhi fluktuasi pasar/permintaan. Biaya yang dikaitkan dengan kapasitas dapat berupa biaya kerja lembur, biaya pelatihan tenaga kerja baru, dan biaya perputaran tenaga kerja (labour turn over cost). Biaya Bahan atau Barang. Biaya barang atau bahan adalah harga yang harus dibayar atas item yang dibeli. Biaya ini akan dipengaruhi oleh besarnya diskon yang diberikan oleh supplier. Oleh karena itu, biaya bahan atau barang akan bermanfaat dalam menentukan apakah perusahaan tersebut sebaiknya menggunakan harga diskon atau tidak.
Keseluruhan biaya tadi akan mempengaruhi total biaya persediaan (Total Inventory Cost/TOC), yang dapat digambarkan pada gambar berikut :
Biaya Pesanan dan Biaya penyimpanan serta EOQ Untuk mempertahankan tingkat persediaan yang optimum, diperlukan jawaban atas dua pertanyaan mendasar yaitu (1) kapan dilakukan pemesanan, dan (2) berapa jumlah yang harus dipesan dan kapan harus dilakukan pemesanan kembali. Keputusan mengenai kapan dan berapa jumlah yang harus dipesan, sangat tergantung kepada waktu dan tingkat persediaan. Untuk menjawab pertanyaan kapan harus dilakukan pemesanan, dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu : (1) pendekatan titik pemesanan kembali (re order point approach/ROP), (2) pendekatan tinjauan periodik
(periodic
review
approach),
dan
(3) material
requirement
planning (MRP). 1. Reorder Point (ROP) Approach Dalam pendekatan ROP menghendaki jumlah persediaan yang tetap setiap kali melakukan pemesanan. Apabila persediaan mencapai jumlah tertentu, maka pemesanan kembali harus dilakukan, seperti terlihat pada gambar berikut :
Gambar di atas menunjukkan bahwa ROP dilakukan apabila persediaan cukup untuk memenuhi kebutuhan selama tenggang waktu (lead time). Jumlah yang harus dipesar berdasarkan pada Economic Order Quantity (EOQ). Pendekatan ROP juga menghendaki pengecekan secara fisik ataupun
penggunaan kartu catatan stock secara teratur untuk menentukan apakah pemesanan kembali harus dilakukan. Pendekatan ROP mempunyai resiko terjadi stock out jika jumlah permintaan selama waktu lead time melebihi jumlah persediaan pengaman (buffer stock).2. Periodic Review Approach Dalam pendekatan dengan tinjauan periodik, tingkat persediaan ditinjau pada interval waktu yang sama. Pada setiap tinjauan dilakukan pemesanan kembali agar tingkat persediaan mencapai jumlah yang diinginkan. Jumlah pemesanan kembali didasarkan pada tingkat maksimum yang ditetapkan untuk setiap item persediaan yang dapat dicari dengan rumus sebagai berikut. Q = TPM – P – JSP + PLT Dimana : Q = Jumlah pemesanan kembali TPM = Tingkat Persediaan Maksimum P = Jumlah persediaan yang ada sekarang JSP = Jumlah yang Sedang Dipesan PLT = Permintaan selama tenggang waktu pemesanan Pendekatan Periodic Review mempunyai resiko terjadi stock out jika pemesanan diterima melebihi jangka waktu lead time.
3. Material Requirement Planning (MRP) Approach Sebagaimana telah dikemukan sebelumnya bahwa metode ROP danPeriodic Review hanya cocok digunakan jika jumlah permintaan adalah konstan, seperti kebutuhan kemeja di toko eceran atau obat jadi, yang dianggapindependent terhadap permintaan item yang lain. Namun demikian, sistem ini secara tipikal tidak memadai untuk berbagai tipe bahan baku maupun komponen atau subkomponen yang digunakan untuk memproduksi suatu produk, seperti obat misalnya. MRP merupakan sistem yang dirancang secara khusus untuk situasi permintaan yang bergelombang (tidak konstan), yang secara tipikal karena permintaan tersebut dependent. Oleh karena itu tujuan dari sistem MRP adalah (1) menjamin tersedianya meterial, item atau komponenpada saat dibutuhkan untuk memenuhi
skedul (jadwal) produksi dan menjamin tersedianya produk jadi bagi konsumen, (2) menjaga tingkat persediaan pada kondisi minimum, serta (3) merencanakan aktivitas pengiriman, penjadwalan dan pembelian. Dibandingkan dengan kedua sistem pengendalian persediaan sebelumnya, manajemen persediaan sistem MRP memiliki kharakteristik, antara lain : 1.
Perhatian terhadap kapan barang tersebut ―dibutuhkan‖, bukan pada kapan barang tersebut ―dipesan‖
2.
Perhatian terhadap prioritas pesanan. Adanya kesadaran bahwa tidak semua pesanan konsumen memiliki prioritas yang sama. Produk yang satu mungkin lebih penting jika dibanding dengan produk yang lain, sehingga memungkinkan dilakukan penjadwalan kembali barang-barang yang kurang urgent
3.
Penundaan pengiriman permintaan. Sebagai konsekuensi dari prioritasisasi pesanan maka untuk item atau barang yang belum diperlukan dapat dilakukan penundaan pengiriman, sehingga akan memaksimalkan kapasitas produksi
4.
Fungsi integrasi. Dengan kharakteristik yang demikian maka bagian Produksi dan PPIC sebagai fungsi yang terintegrasi. Langkah-langkah Perhitungan MRP
1.
Menentukan Kebutuhan Bersih (Net Requirement). Net Requirement adalah selisih antara kebutuhan kotor (gross requirement) dengan persediaan yang ada di tangan (on hand). Data yang diperlukan dalam menentukan kebutuhan bersih adalah : a. Kebutuhan kotor setiap periode b. Persediaan yang ada ditangan c. Rencana penerimaan (scheduled receipts)
2.
Menentukan Jumlah Pesanan. Berdasarkan kebutuhan bersih, ditentukan jumlah pesanan, baik item maupun komponennya
3.
Menentukan BOM dan Kebutuhan kotor SETIAP Komponen. Kebutuhan kotor setiap komponen, ditentukan oleh rencana pemesanan (planned order released) komponen yg ada diatasnya dengan dikalikan kelipatan tertentu sesuai kebutuhan
4.
Menentukan Tanggal Pemesanan. Penentuan tanggal pemesanan yang tepat dipengaruhi oleh Rencana Penerimaan (planned order receipts) dan tenggang waktu pemesanan (lead time) Faktor-faktor Kesulitan dalam MRP Terdapat lima faktor yang mempengaruhi tingkat kesulitan dalam proses MRP, yaitu :
1.
Struktur Produk Semakin rumit struktur produk, akan membuat perhitungan MRP semakin rumit pula. Struktur produk yang kompleks terutama ke arah vertikal, akan membuat proses penentuan kebutuhan bersih, penentuan jumlah pesanan optimal, penentuan saat yang tepat melakukan pesanan, dan penentuan kebutuhan kotor menjadi berulang-ulang.
2.
Ukuran Lot Jika dilihat dari cara pendekatan masalah, terdapat dua aliran dalam penentuan ukuran lot, yaitu (a) pendekatan period by period, dan (b) level by level. Ukuran lot khususnya untuk struktur produk yang bertingkat banyak (multilevel case) masih dalam tahap pengembangan, sehingga teknik ukuran lot merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kesulitan dalam MRP
3.
Tenggang Waktu Perbedaan dalam tenggang waktu akan menambah kerumitan dalam proses MRP. Suatu perakitan belum
dapat
dilakukan
apabila
komponen-komponen
pembentuknya
belum
tersedia.
Kompleksnya masalah dirasakan pada tahapan penentuan kapan harus melakukan pemesanan, karena tidak hanya menentukan kapan harus melakukan pemesanan, tetapi juga harus menentukan besarnya lot pemesanan. 4.
Perubahan Kebutuhan MRP dirancang untuk menjadi suatu sistem yang peka terhadap perubahan baik perubahan dari luar (permintaan) maupun perubahan dari dalam (kapasitas). Kepekaan ini bukanlah tidak menimbulkan masalah, perubahan kebutuhan produk akhir tidak hanya mempengaruhi rencana pemesanan, tetapi juga mempengaruhi jumlah kebutuhan yang diinginkan. Jika dihubungkan dengan tenggang waktu pemesanan, dan ukuran lot, maka proses perhitungan harus diulang kembali sehingga akan mengurangi efisiensi perhitungannya.
5.
Komponen yang Bersifat Umum (Communality) Adanya komponen yang bersifat umum (dibutuhkan lebih dari satu induk item) akan menimbulkan kesulitan apabila komponen umum tersebut berada pada level yang berbeda, sehingga diperlukan tingkat ketelitian yang tinggi, baik dalam jumlah maupun waktu pelaksanaan pemesanan.
Analisis Pareto Analisis Pareto (konsep ABC) Dalam pengendalian persediaan, seringkali timbul permasalahan sulitnya mengendalikan karena sedemikian banyaknya item barang yang harus dikendalikan. Untuk memudahkan dalam pengendalian, dapat dilakukan klasifikasi item barang. Klasifikasi yang sering digunakan adalah Klasifikasi Pareto, yang didasarkan pada Hukum Pareto. Hukum ini pertama kali dicetuskan oleh Vilfredo Pareto, seorang ahli ekonomi dan sosiologi berkebangsaan Italia. Ia mengemukakan bahwa sebagian besar kekayaan di Italia dimiliki oleh sebagian kecil dari populasi penduduk, dan ia sampai pada kesimpulan bahwa pola distribusi penghasilan di negara-negara lain pun pada dasarnya serupa. Dalam kenyataannya, hukum ini pun berlaku untuk barang-barang dalam persediaan. Beberapa persediaan memiliki proporsi yang relatif lebih kecil dari volume persediaan secara keseluruhan, namun memiliki nilai (rupiah) yang relatif lebih besar. Sebaliknya, beberapa persediaan memiliki volume yang lebih besar, tetapi memiliki nilai (rupiah) yang relatif kecil (―Vital Few, Trival
Many‖ artinya dari seluruh item persediaan yang ada, terdapat sejumlah kecil item persediaan yang mempunyai nilai relatif cukup besar, sementara sebagian besar item persediaan yang lain, nilainya hanya sedikit). Klasifikasi Pareto disebut juga Klasifikasi ABC, karena membagi item persediaan menjadi 3 kelas, yaitu kelas A, kelas B, dan kelas C. Kelas A : Persentase Nilai Penggunaan Kumulatif > 80 % Kelas B : Persentase Nilai Penggunaan Kumulatif 20 – 80 % Kelas C : Persentase Nilai Penggunaan Kumulatif < 20 % Teknik analisa pareto : 1.
Tentukan penggunaan tahunan setiap item persediaan
2.
Kalikan penggunaan tahunan setiap item dengan harga satuannya, sehingga didapat nilai penggunaan tahunan
3.
Susun item-item persediaan dalam daftar nilai penggunaan tahunan, yang terbesar diletakkan di atas, sedangkan terkecil diletakkan paling bawah dalam daftar
4.
Tambahkan secara kumulatif item persediaan dan nilai penggunaannya
5.
Konversikan jumlah kumulatif menjadi prosentase kumulatif
Analisis Pareto (konsep ABC) Manfaat pengendalian persediaan secara Pareto : 1.
Membantu manajemen dalam menentukan tingkat persediaan yang efisien
2.
Memberikan perhatian pada jenis persediaan utama yang dapat memberikan cost benefit yang besar bagi perusahaan
3.
Dapat memanfaatkan modal kerja (working capital) sebaik-baiknya sehingga dapat memacu pertumbuhan perusahaan
4.
Sumber-sumber daya produksi dapat dimanfaatkan secara efisien yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktifitas dan efisiensi fungsi-fungsi produksi Perlu diperhatikan bahwa item yang harganya mahal BELUM TENTU masuk kategori A dan
item yang murah masuk kategori C, yang benar adalah TOTAL NILAI PENGGUNAAN tahunannya
Adalah KESALAHAN FATAL jika menganggap bahwa item kelas/kelompok C BUKAN item penting, sehingga pengendaliannya boleh diabaikan. Perlu diingat bahwa tablet yang mahal tidak dapat diproduksi dan dijual jika tidak terdapat KARTON PEMBUNGKUS yang harganya hanya beberapa ribu rupiah saja. Kunci sukses pengendalian persediaan secara Pareto, adalah : 1.
Item-item pada kelas/kelompok A harus dikendalikan secara ketat, catatan persediaan harus mendetail dan tepat
2.
Item-item pada kelas/kelompok B dilakukan pengawasan secara normal, penyesuaian dapat dilakukan baik mengenai kuantitas pemesanan (ROP) maupun titik pemesanan kembali.
3.
Item-item pada kelas/kelompok C dilakukan pengendalian secara lebih sederhana (minimum). Pengendalian minimum, berarti : Menjamin bahwa item-item yang bernilai rendah SELALU ada dalam persediaan, mempunyai persediaan yang cukup sehingga tidak terjadi stock out Melipat dua/tigakan jumlah persediaan yang masuk kelas/kelompok C tidak akan memberatkan biaya penyimpanan Untuk mempunyai persediaan yang cukup untuk item-item kelas/kelompok C, maka pengadaan item-item tersebut dilakukan pada jangka waktu yang lama (setiap 3 – 6 sekali) Pertimbangan Khusus : Item yg peka terhadap waktu (expire date) Item yg mudah rusak pada saat penyimpanan (stabilitas) Item dengan penanganan khusus, langka, proses pemesanan sulit Sistem Pareto/ABC, tidak hanya digunakan untuk pengawasan persediaan, tetapi dapat juga
digunakan untuk menentukan tingkat prioritas pelayanan pada langganan dan menentukan tingkat persediaan pengaman, khususnya untuk produk akhir (obat jadi).
Pembelian PENGADAAN (PURCHASING/PROCUREMENT) Dalam industri farmasi, komponen terbesar dalam struktur biaya produk adalah biaya pengadaan barang, termasuk di dalamnya adalah pengadaanbahan awal (starting material) yang terdiri dari bahan baku (baik bahan baku aktif maupun bahan penolong) serta bahan pengemas. Tidak kurang dari 60 – 70% dari total biaya perusahaan digunakan untuk melakukan pengadaan bahan awal ini. Bagian/departemen yang bertanggung jawab untuk melaksanakan pengadaan barang adalah Departemen/Bagian Pembelian (purchasing/procurement department). Di banyak industri farmasi, departemen ini berada langsung di bawah direksi perusahaan (Direktur Keuangan atau Direktur Operasi/Pabrik). Beberapa industri farmasi lain, menempatkan Departemen Pembelian di bawah Material (PPIC) Manager. Perbedaan ini antara lain dipengaruhi oleh besar/kecilnya tanggung jawab
di masing-masing perusahaan karena bidang pengadaan terkait langsung dengan penggunaan keuangan perusahaan. Bagian pembelian bertanggung jawab untuk melakukan pembelian segala hal keperluan perusahaan, baik keperluan administrasi seperti alat tulis kantor dan alat elektronik maupun keperluan yang terkait langsung dengan produksi obat seperti bahan baku obat, bahan pengemas, spare part mesin-mesin produksi, dan lain-lain. Terdapat empat kegiatan utama dalam Pembelian, yaitu (1) pemilihan supplier (pemasok),
bernegosiasi
mengenai
harga, termintpembayaran
dan
jadwal
pengiriman bahan, termasuk di dalamnya menerbitkan surat pesanan (purchase order/PO), (2) melakukan pemantauan pengiriman (expediting delivery) yang dilakukan oleh supplier, (3) menjembatani antarasupplier dengan bagian terkait dalam perusahaan, misalnya bagian teknik, QC, Produksi, Keuangan dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah pembelian bahan (complaint, dan lain-lain), dan (4) mencari produk, material atau supplierbaru, yang dapat memberikan kontribusi dan keuntungan pada perusahaan. Pemilihan Supplier Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih supplier : 1.
Kualitas dari bahan yang dipesan. Hal ini dapat diketahui dari Certificate of Analysis (CoA).
2.
Kontinuitas atau kesanggupan supplier dalam menyuplai barang yang berkualitas secara terusmenerus.
3.
Delivery time atau ketepatan waktu pengiriman sesuai dengan waktu pengiriman yang telah ditentukan.
4.
Layanan purna jual dan kemudahan dalam pembayaran. Terdapat 2 sistem pembelian (pengadaan) yang biasa dilakukan di industri farmasi, yaitu :
(1) Open Purchase Order. Pada sistem ini order pembelian dilakukan dalam jumlah kecil, dengan nilai yang kecil serta proses transaksi dengan frekuensi yang tinggi. Sistem pembelian dengan cara ini biasanya dilakukan untuk material yang mudah didapat, supplier cukup banyak dan kebutuhannya fluktuatif, dan (2) Blanket Purchase Order. Pada sistem ini order pembelian dilakukan dalam jumlah besar secara total, dengan harga yang tetap tapi pengirimannya diatur dalam jangka waktu yang panjang. Sistem pembelian dengan cara ini biasanya digunakan untuk material yang nilainya cukup tinggi, adanya potongan harga yang cukup besar bila order quantity-nya besar atau material tersebut sukar didapat atau di pasaran sering kosong. Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pengadaan antara lain, (1) stok bahan yang ada baik bahan baku, bahan pengemas dan produk jadi, dan (2) Lead time (yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pengadaan barang mulai dari pemesanan sampai tiba di gudang pabrik).
Pembelian Tepat Waktu (JIT)
Dengan semakin meningkatnya biaya penanganan bahan (handling cost) saat ini tengah berkembang sistem pembelian tepat waktu (Just-In Time Purchasing). Tujuan pembelian tepat waktu adalah: 1.
Menghilangkan kegiatan yang tak perlu, misalnya waktu pemeriksaan yang bertele-tele karena supplier telah terpercaya.
2.
Mengurangi inventory stock yang berlebihan, bila perlu ―zero stock‖ karena perencanaan dan penjadwalan pengiriman terkontrol.
3.
Adanya jaminan kualitas material karena adanya seleksi ketat terhadapsuplier.
4.
Mengurangi resiko penyimpanan karena stock terdapat di supplier. Agar metode pembelian tepat waktu ini dapat dilaksanakan terdapat beberapa prasyarat yang
harus dipenuhi. Prasyarat tersebut antara lain : 1. Supplier Hubungan terus-menerus dengan supplier yang sama. Analisa harga diusahakan tetap atau ditekan. Delivery tepat waktu. Kemudahan pembayaran. 2. Kualitas Jaminan kualitas dengan pemilihan supplier dan manufacturer yang ketat. Dokumen mutu lengkap (CoA, Sertifikat ISO, dan lain-lain). Dilakukan audit vendor. Standar kemasan untuk menjaga kualitas material 3. Administrasi Jumlah pembelian konstan Administrasi seminimal mungkin Dihindari adanya over stock atau out of stock Kontrak pembelian jangka panjang 4. Delivery/Pengiriman Koordinasi pengiriman dengan bagian-bagian lain yang terkait sesuai dengan kebutuhan, kapasitas gudang dan ketersediaan dana Stock ada di supplier (sistem konsinyasi)
Warehousing PERGUDANGAN (WAREHOUSING) Gudang merupakan sarana pendukung kegiatan produksi dan operasi industri farmasi yang berfungsi untuk menyimpan bahan baku, bahan kemas dan obat jadi yang belum didistribusikan. Selain untuk penyimpanan gudang juga berfungsi untuk melindungi bahan (baku, pengemas, dan obat jadi) dari pengaruh luar dan binatang pengerat, serangga, dan melindungi obat dari kerusakan. Agar
dapat menjalankan fungsi tersebut maka harus dilakukan pengelolaan pergudangan secara benar atau yang sering disebut dengan Manajemen Pergudangan. Manajemen Pergudangan memiliki cakupan antara lain: (1) mengatur orang/petugas (SDM), (2) mengatur penerimaan barang, (3) mengatur penataan/penyimpanan barang, dan (4) mengatur pelayanan akan permintaan barang. Adapun sasaran pengelolaan gudang (manajemen pergudangan) adalah: 1.
Fasilitas Penyediaan serta pengaturan yang baik terhadap fasilitas/perlengkapan /peralatan yang dibutuhkan dalam gudang Pemakaian ruang seefektif mungkin Memungkinkan pemeliharaan yang baik dan mudah untuk semua fasilitas gudang Fleksibilitas terhadap perubahan
2. Tenaga Kerja Penggunaan tenaga kerja seefektif mungkin Mengurangi resiko kecelakaan kerja Memungkinkan pengawasan yang baik 3. Barang Menghindari kerusakan barang ataupun yang mempengaruhi kualitasnya Menghindari terjadinya kehilangan barang Mengatur letak agar hemat tempat/ruang Pengaturan aliran keluar – masuknya barang Syarat-syarat gudang (sesuai dgn cGMP) Agar dapat menjalankan fungsinya dengan benar, maka gudang harus memenuhi persyaratanpersyaratan yang telah ditentukan dalam Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) Terkini. Syaratsyarat tersebut di antaranya : 1.
Harus ada Prosedur Tetap (protap) yang mengatur/tata cara kerja bagian Gudang, termasuk didalamnya mencakup tentang tata cara penerimaan bahan, penyimpanan dan distribusi bahan/produk
2.
Gudang harus cukup luas, terang dan dapat menyimpan bahan dalam keadaan kering, bersuhu sesuai dengan persyaratan, bersih dan teratur
3.
Harus terdapat tempat khusus untuk menyimpan bahan yang mudah terbakar atau mudah meledak (misalnya alkohol atau pelarut – pelarut organik)
4.
Tersedia tempat khusus untuk produk atau bahan dalam status ―karantina‖ dan ―Ditolak‖
5.
Tersedia tempat khusus untuk melakukan sampling (sampling room) dengan kualitas ruangan seperti ruang produksi (grey area)
6.
Pengeluaran bahan harus menggunakan prinsip FIFO (First In First Out) atau FEFO (First Expired First Out)
Kapasitas Gudang Salah satu hal yang sangat mempengaruhi berfungsi tidaknya suatu gudang adalah kapasitas dari gudang itu sendiri. Dalam menentukan kapasitas gudang, maka keadaan yang harus dipertimbangkan adalah keadaan maksimum. Gudang mencapai keadaan maksimum pada saat sediaan pengaman belum dipakai, terjadi keterlambatan pemakaian bahan, sedangkan pesanan datang lebih cepat. Untuk dapat menghitung besarnya kapasitas gudang yang harus dipenuhi, maka diperlukan data tentang : (1) jumlah pesanan (order quantity) dalam suatu periode tertentu yang dilakukan, (2) besarnya sediaan pengaman yang ditentukan, (3) variasi lead time, dan (4) fluktuasi pemakaian.
Total Productive Maintenance (TPM) Total Productive Maintenance (TPM), pertama kali dikenalkan oleh Nippondenso, anak perusahaan Toyota, pada tahun 1960. TPM merupakan ―cara pandang‖ baru dalam aktivitas pemeliharaan mesin-mesin produksi, terutama dalam skala massal. Dalam organisasi atau industri tradisional, yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan mesin-mesin produksi adalah bagian Teknik. Namun dalam TPM, yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan mesin produksi adalah operator produksi sendiri, terutama dalam hal perawatan rutin, sedangkan bagian Teknik bertanggung jawab dalam perawatan yang sudah direncanakan (planned maintenance). Tujuan utama dari TPM adalah perbaikan secara terus-menerus (continuous improvement) pada semua aspek/kondisi operasional dalam suatu sistem produksi, sehingga didapatkan tingkat produktifitas yang optimum dengan cara mendorong kesadaran seluruh karyawan dalam kegiatan operasional sehari-hari. Pelaksanaan TPM akan mendorong produktifitas perusahaan dengan cara : Budaya bisnis yang dirancang dengan jelas, untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi secara total dalam sistem produksi Penggunaan pendekatan sistematik dan terstandar, dimana semua pemborosan dan kerugian dapat dicegah dan/atau diketahui Seluruh departemen yang dapat mempengaruhi tingkat produktifitas, harus terlibat dan mengubah pola pikir (mainset) dari tindakan reaktif kepada tindakan yang sudah direncanakan (reactive to predictive mainset). Pendekatan multidisiplin yang transparan dengan tujuan untuk mencapai tingkat kerugian nol (zero losses) Setiap langkah haruslah merupakan suatu proses yang panjang, bukan sebuah jalan singkat sehingga setiap tahapan harus dilalui untuk mencapai tingkat produktifitas yang tinggi Pada akhirnya, TPM merupakan jalan/langkah awal yang diarahkan menuju Operasional Excellence. TPM dibangun atas dasar ―Pengurangan Pemborosan Secara Sistemtis‖ (Sistematic Elimination of Waste) dan ―Perbaikan Berkesinambungan‖ (Continuous Improvement”) atau 5-S serta terdiri dari 5 pilar, yaitu Kegiatan Perbaikan (improvement activities), Pemeliharaan yang Terencana (Planned
Maintenance), Otomatisasi Pemeliharaan (Otonomous Maintenance), Pendidikan dan Pelatihan (Training & Education), serta Pemeliharaan Pencegahan (Prevention Maintenance).
Konsep TPM tidak lepas dari konsep P-D-C-A (Planning – Do – Check – Action) ala Demings (Bapak Produktifitas) yang merupakan peletak dasar-dasar teori tentang perbaikan berkelanjutan.
Wujud pelaksanaan TPM adalah adanya ―Perbaikan Berkesimbungan‖ atau ―Continuous Improvement‖ atau yang dikenal dengan ―Kaizen‖. Kaizen terdiri dari 5-S, yaitu: Seiri (ringkas), Seiton (rapi), Seiso (resik) Seiketsu (Rawat), dan Shitsuke (Rajin). Hasil akhir dari pelaksanaan TPM adalah didapatkannya suatu manajemen dari aset tetap yang efisien serta penggunaan teknologi yang efektif (an efficient management of fixed assets while effectively using new process technology), yang dapat diukur dari peningkatan OEE (Overall Equipment Effectiveness).
Total Quality Management (TQM) Total Quality Management (TQM) adalah strategi manajemen yang ditujukan untuk menanamkan kesadaran kualitas pada semua proses dalam organisasi atau perusahaan. Menurut ISO (International Organization for Standarization), TQM didefinisikan sebagai suatu pendekatan manajemen untuk suatu organisasi yang berpusat pada kualitas, berdasarkan partisipasi semua anggotanya dan bertujuan untuk kesuksesan jangka panjang melalui kepuasan pelanggan serta memberi keuntungan semua anggota dalam organisasi serta masyarakat. Dalam bahasa lain, TQM adalah customer focus dan company wide dengan melakukan : aktifitas pendekatan sistem aktifitas pendekatan ilmiah sehingga untuk menjadi perusahaan yang terunggul, sebuah perusahaan harus memberikan kepuasan konsumen melalui produk/jasa yang dihasilkan kemudian hasilnya untuk meningkatkan unjuk kerja (performance) perusahaan. Jadi, fokus TQM adalah kepuasan pelanggan (customer satisfaction). Filosofi dasar dari TQM adalah ―sebagai efek dari kepuasan konsumen, sebuah organisasi dapat mengalami kesuksesan.‖ Secara sederhana TQM diartikan sebagai ―Do the right things, right the first time, every time―.
TQM Model Prinsip-prinsip dalam TQM. Prinsip kunci dalam TQM adalah: Management Commitment (komitmen Top Manajemen) Plan (mendorong, mengarahkan) Do (melimpahkan wewenang, mendorong, berpartisipasi) Check (me-review) Act (menghargai, komunikasi, merivisi) Employee Empowerment (pemberdayaan karyawan) Training (pelatihan) Suggestion scheme Measurement and recognition Excellence teams Fact Based Decision Making (keputusan berdasarkan fakta) SPC (statistical process control) DOE, FMEA The 7 statistical tools Continuous Improvement (perbaikan berkesinambungan) Systematic measurement and focus on CONQ Excellence teams Cross-functional process management Attain, maintain, improve standards Customer Focus (fokus pada pelanggan) Supplier partnership Service relationship with internal customers Never compromise quality Customer driven standards
Hubungan antara TPM – TQM
Just In Time (JIT) Just-In-Time (JIT) merupakan salah satu konsep yang mendukung manajemen biaya guna mengantisipasi perubahan yang terjadi di lingkungan industri sebagai akibat kemajuan teknologi dan otomatisasi. Dalam konsep JIT dilakukan eliminasi biaya melalui eliminasi jumlah persediaan (persediaan = 0 atau zero stock). Eliminasi jumlah persediaan ini secara otomatis menghilangkan biaya penyimpanan dan transportasi sekaligus mengakibatkan penurunan tingkat toleransi terhadap tingkat kesalahan produk. Penerapan JIT menuntut adanya kualitas kerja yang tinggi dan beban kerja yang seimbang (balance capacity) untuk menghindari terjadinya penundaan (delay) produk maupun kekecewaan konsumen. Dengan demikian, yang dimaksud denga sistem JIT adalah usaha-usaha untuk meniadakan pemborosan dalam segala bidang produksi seperti uang, bahan baku, suku cadang atau komponen, waktu produksi dan sebagainya sehingga dapat meghasilkan dan mengurumkan produk jadi tepat waktu untuk dijual. Sistem JIT telah lama diterapkan di Jepang sejak tahun 1960-an, terutama oleh Toyota Motor Company, dan secara modern dipopulerkan oleh Taiichi OhnoWakil Presiden Direktur Toyota Motor Company pada pertangahan tahun 1970-an. Sistem JIT diterapkan dengan memanfaatkan kemampuan para pemasok bahan baku dan suku cadang atau komponen yang dapat memenuhi kebutuhan industri secara tepat waktu (just-in-time). Penerapan sistem JIT ini bertujuan untuk: (1) meniadakan persediaan (zero inventories), (2) meniadakan produk cacat (zero defects), dan (3) meniadakan gangguan pada skedul produksi (zero schedule interuptions) JIT dan Waktu Proses Dalam sistem JIT dikenal adanya istilah waktu yang dibutuhkan suatu produk untuk melewati semua proses produksi atau sering disebut dengan troughout time. Troughout time terdiri dari empat komponen waktu yang terbagi menjadi dua jenis kegiatan, yaitu kegiatan penambah nilai (value added activities) dan kegiatan bukan penambah nilai (non value added activities). Untuk dapat menghasilkan produk dengan harga yang murah, maka harus dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap kegiatan
penambah nilai dan selalu berusaha untuk menghilangkan kegiatan-kegiatan bukan penambah nilai. Proses produksi yang ideal akan menghasilkan troughout time yang sama dengan waktu proses produksi yang merupakan kegiatan penambah nilai. Sistem JIT sering pula diidentikkan dengan usaha untuk menghilangkan pemborosan produksi (waste products) yang disebabkan oleh produk cacat maupun produk rusak, sehingga sistem JIT merupakan bagian penting dari Total Quality Management (TQM). Disamping itu, sistem JIT diidentikkan pula dengan sistem persediaan tepat waktu dan sistem produksi tepat waktu. Kondisi yang dipersyaratkan untuk menerapkan JIT dalam sistem sediaan tepat waktu antara lain adalah: (1) waktu dan biaya pemesanan maupun biaya set-up harus sekecil mungkin, (2) jumlah pemesanan mendekati satu, (3) tenggang waktu (lead time) harus seminimum mungkin, (4) beban antar lini (bagian) atau mesin harus seimbang, (5) tidak ada waktu tunda akibat kualitas produk yang rendah, ketiadaan suplay bahan, kerusakan mesin, perubahan desain dan sebagainya. Sistem JIT bukanlah suatu konsep perubahan yang radikal, tetapi penerapannya harus dilakukan secara bertahap dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1.
Lakukan pengurangan jumlah persediaan sedikit demi sedikit hingga ―timbul masalah‖
2.
Setelah masalah diketahui, tingkat persediaan ditambah untuk menetralisir kejutan yang terjadi dan menjaga sistem agar sistem beroperasi dengan lancar
3.
Masalah yang timbul dianalisis dan dicari pemecahannya
4.
Setelah masalah hilang, persediaan dikurangi lagi hingga ―timbul masalah baru‖
5.
Langkah-langkah kedua hingga keempat diulangi lagi hingga ditemukan tingkat persediaan minimum. Langkah-langkah tersebut di atas, sangat tepat dalam usaha meningkatkan kualitas manajemen
persediaan bahan dengan menggunakan sistem JIT. Jika sistem JIT diidentikkan dengan sistem produksi tepat waktu. Penerapan sistem JIT dapat dilakukan dengan proses sebagai berikut: 1.
Dimulai dengan menjadwalkan kembali produksi ke dalam lot lebih kecil.
2.
Meningkatkan pengendalian kualitas dengan menerapkan TQC (total quality control), agar pekerja lebih menyadari peningkatan kualitas.
3.
Meningkatkan faktor-faktor produksi termasuk pekerjanya. Pada umumnya penerapan JIT disertai dengan melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan.
4.
Menerapkan teknik produksi dalam ―cell‖ untuk mempersingkat jarak perjalanan bahan baku maupun komponen lainnya dari satu mesin/tahap produksi ke mesin/tahap produksi yang lain. Keuntungan penggunaan sistem kanban (JIT) adalah: (1) waktu persiapan (set-up) pendek, (2)
ukuran lot kecil, (3) tingkat persediaan rendah, (4) arus bahan baku lebih lancar, (5) waktu tenggang (lead time) dapat dikurangi, (6) volume dan produk mudah diganti, dan (7) adanya partisipasi dari karyawan (pekerja) dalam membuat keputusan. Sedangkan kerugian sistem Kanban adalah: (1) pekerja memiliki tanggung jawab yang lebih besar dan hal ini membutuhkan kerjasama antara pekerja dengan manajemen secara baik, (2) skedul sangat ketat dan produksi harus selalu tepat waktu, (3)
sistem tidak dapat secara cepat merespon kenaikan volume yang cukup besar, (4) kurang efisien jika untuk memproduksi semua komponen atau pesanan khusus.
Diagram piramid JIT sebagai puncak hasil pelaksanaan keseluruhan program Operasiona Excellence
Lean Six Sigma Persaingan yang makin ketat telah menghadapkan berbagai perusahaan pada keharusan untuk tidak saja mampu memberikan produk dengan mutu yang tinggi, namun juga kecepatan dan fleksibilitas yang tinggi dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen yang selalu berubah. Lean Manufacturingadalah filosofi operasi yang akan membantu perusahaan mencapai kecepatan dan fleksibilitas yang tinggi. Sementara, Six Sigma secara luas diakui sebagai teknik yang akan memungkinkan perusahaan mencapai kesempurnaan dalam mutu produk yang dihasilkan. Untuk dapat bertahan dan memenangkan persaingan, tentunya perusahaan dituntut untuk mampu mengintegrasikan antara Lean Manufacturing dengan teknik Six Sigma. Pengertian, pemahaman, dan implementasi yang sukses dari Lean Six Sigma menjadi kunci utama bagi perusahaan. Lean (= Ramping, Ind.) Manufacturing Lean Manufacturing atau Lean Production adalah merupakan seperangkat alat yang membantu mengidentifikasi dan secara bertahap mengeliminasi pemborosan (elimination of waste). Jika pemborosan (waste) dapat dihilangkan maka total waktu dan biaya produksi dapat ditekan. Dasar filosofi dari Lean Manufacturing adalah ―more value with less work―. Lean Manufacturing, pertama kali dikembangkan oleh Toyota Motor Corp. pada tahun 1990-an yang lebih dikenal dengan nama Toyota Prodution System (TPS). Istilah Lean Manufacturing, pertama kali dicetuskan oleh John Krafcik dalam artikelnya yang berjudul ―Triump of the Lean Production System―, yang dimuat dalam Sloan Management Review No. 30 (1): 41-52. Fokus utama dalam Lean Manufacturing
adalah mengurangi atau mengeliminasi waste (pemborosan), yang oleh Toyota Motor Corp. dikenal dengan seven waste, yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Empat manfaat utama dari pelaksanaan Lean Manufacturing adalah : 1.
Peningkatan kualitas (improve quality)
2.
Mengurangan pemborosan (eliminate waste)
3.
Pengurangan waktu (reduce time), dan
4.
Pengurangan total biaya (reduce total costs).
Six Sigma Six Sigma, pertama kali dikembangkan oleh Bill Smith, Vice President Motorola Inc.. (Harry, Mikel J., 1988, The Nature of Six Sigma Quality, Roling Meadow, Illinois: Motorola University Press, p. 25. ISBN 9781569460092). Six Sigma, yang dikenal luas sebagai teknik yang memungkinkan suatu perusahaan mencapai kesempurnaan dalam mutu produk yang dihasilkan, pertama kali dikembangkan sebagai desain praktis untuk peningkatan proses manufaktur dan mengeliminasi kerusakan (defect), namun akhirnya diaplikasikan secara luas dalam berbagai tipe perusahaan. Dalam Six Sigma, defect diartikan sebagai segala keluaran dari proses yang tidak memenuhi spesifikasi pelanggan atau segala hal yang dapat mengakibatkan keluaran (produk) yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan.
Six Sigma diagram
Doktrin utama dari Six Sigma, adalah : Usaha yang terus-menerus untuk mencapai hasil proses yang secara stabil dan terprediksi (yaitu pengurangan variasi dalam proses) merupakan hal terpenting dalam kesuksesan bisnis Manufaktur (proses produksi) dan proses bisnis harus memiliki karakteristik yang dapat diukur, dianalisis, ditingkatkan dan dikontrol Pencapaian peningkatan kualitas yang berkelanjutan membutuhkan komitmen dari seluruh organisasi, utamanya dari Top Manajemen. Dalam Six Sigma dikenal istilah DPMO (Defect Per Million Opportunities), yaitu besarnya kemungkinan terjadinya kerusakan (defect) dalam setiap sejuta kesempatan. Jadi, misalnya suatu perusahaan, seperti Motorola Inc., telah mencapai level 3,4 DPMO maka dalam setiap 1 juta proses/produk kemungkinan terjadi 3,4 proses/produk yang cacat. Sehingga jika dibuat rejection ratenya sebesar 0,00034% (bandingkan dengan rejection rate industri farmasi rata-rata 5 – 10%). Motorola Inc., mengklaim bahwa dengan melaksakan jurus ini, mereka bisa menghemat lebih dari US$ 17 juta (About Motorola University. http://motorola.com/content). Jurus Six Sigma , terbagi menjadi 2 metode, yaitu DMAIC dan DMADV. DMAIC digunakan untuk proyek-proyek yang ditujukan untuk peningkatan pada perusahaan yang telah exist, dan DMADV digunakan untuk produk baru atau proses desain. DMAIC merupakan singkatan dari : Define, yaitu penetapan masalah yang juga bisa merupakan keluhan dari pelanggan, tujuan dari suatu proyek, atau spesifikasi yang diinginkan Measure, yaitu pengukuran aspek-aspek kunci dari proses yang ada saat ini dan proses pengumpulan data-data yang relevan Analysis, yaitu melakukan analisa terhadap data-data yang telah dikumpulkan untuk dilakukan penyelidikan dan memverifikasi hubungan sebab-akibat (akar permasalahan). Improve, yaitu perbaikan atau optimalisasi dari proses yang ada saat ini berdasarkan analisis data menggunakan teknik-teknik misalnya design experiment, poka yoke atau pembuktian kesalahan yang selanjutnya menciptakan atau menetapkan standar baru Control, yaitu pengendalian atau pemantauan terhadap proses atau standar baru yang telah ditetapkan untuk memastikan bahwa setiap penyimpangan harus telah dikoreksi sebelum terjadi defect (kerusakan). Sedangkan DMADV (juga dikenal dengan nama DFSS – Define For Six Sigma) adalah singkatan dari: Define,
yaitu
pemastian
bahwa
hasil
akhir
dari
desain
akan
konsisten
dengan
keinginan/kebutuhan pelanggan dan strategi perusahaan Measure, yaitu ukur dan identifikasi hal-hal kritis yang berpengaruh terhadap kualitas, kapabilitas produk, kapabilitas proses produksi dan resiko
Analysis, yaitu Analisis untuk pengembangan dan desain alternatif, ciptakan desain dengan level yang tinggi dan evaluasi kapabilitas desain untuk mendapatkan desain yang terbaik Design, yaitu detail dari desain, optimasi dan rencanakan verifikasi dari desain. Verify, yaitu pemastian desain, set-up, implementasi dari proses produksi dan sampaikan rancangan tersebut kepada pemilik proses.
DMAIC dan DMADV Lean Six Sigma Persaingan yang makin ketat telah menghadapkan berbagai perusahaan pada keharusan untuk tidak saja mampu memberikan produk dengan mutu yang tinggi, namun juga kecepatan dan fleksibilitas yang tinggi dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen yang selalu berubah. Lean Manufacturingadalah filosofi operasi yang akan membantu perusahaan mencapai kecepatan dan fleksibilitas yang tinggi. Sementara, Six Sigma secara luas diakui sebagai teknik yang akan memungkinkan perusahaan mencapai kesempurnaan dalam mutu produk yang dihasilkan. Untuk dapat bertahan dan memenangkan persaingan, tentunya perusahaan dituntut untuk mampu mengintegrasikan antara Lean Manufacturing dengan teknik Six Sigma. Pengertian, pemahaman, dan implementasi yang sukses dari Lean Six Sigma menjadi kunci utama bagi perusahaan.
Process Analytical Technology (PAT) Dalam beberapa tahun terakhir ini, selain perkembangan yang sangat luar biasa dalam teknologi pengembangan obat dengan ditemukannya berbagai obat baru, teknologi pemrosesan/produksi obat juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan teknologi mesin/peralatan produksi ini sejalan dengan semakin kompleksnya proses pembuatan obat. Di samping itu, semakin tingginya tingkat persaingan di kalangan industri farmasi yang ditandai dengan semakin meningkatnya tekanan terhadap industri farmasi, menuntut industri farmasi untuk meningkatkan tingkat produktifitas dan melakukan efisiensi dalam proses produksi obat. Dalam beberapa tahun terakhir ini, mesin/peralatan produksi
obat
mengalami
perkembangan
cukup
signifikan,
ditandai
dengan
banyaknya
mesin/peralatan baru dengan sistem teknologi baru dengan tujuan untuk semakin meningkatkan produktifitas dan efisiensi. Proses produksi obat yang sangat kompleks, dibandingkan industri lain – katakanlah industri otomotif atau semi-konduktor - memberikan tantangan tersendiri, sehingga selain tingkat produktiftas dan efisiensi yang tinggi, namun juga harus dapat menjamin kualitas produk yang dihasilkan. Atas dasar itulah, maka Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (US FDA) membuat suatu aturan tentang implementasi dari otomatisasi proses produksi pembuatan obat (FDA,Pharmaceutical cGMP for the 21th Century – A risk based approach: Final Report, September 2004). Process Analytical Technology (PAT), sebagaimana didefinisikan oleh US FDAadalah sebuah mekanisme untuk mendesain, menganalisa, dan proses pengawasan produksi obat melalui pengukuran
parameter-parameter
proses
kritis
(Critical
Process
Parameters/CPP)
yang
mempengaruhi sifat kualitas yang kritis (Critical Quality Attributes/CQA). Konsep ini sebenarnya hampir ―serupa‖ meskipun ―tidak sama‖ dengan Validasi Proses Produksi yang dikenal dalam Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Perbedaannya, jika Validasi Proses Produksi dalam CPOB ditujukan untuk membuktikan bahwa prosedur produksi yang telah ditetapkan akan senantiasa menghasilkan produk sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan secara konsisten, maka PAT lebih ditujukan untuk ―memahami‖ proses yang ditentukan dalam CPP dan memonitor/pengujian secara
langsung (baik secara in-line maupun on-line), sehingga secara keseluruhan proses produksi menjadi lebih efisien, karena waktu proses yang lebih singkat, konsisten dan meminimalisir rejection rate.
Dengan konsep PAT ini, FDA mendorong industri farmasi agar dapat memperbaiki proses produksinya. Baik FDA maupun para ahli industri farmasi meyakini bahwa konsep ini akan membawa industri farmasi dapat menghasilkan produk jadi yang lebih berkualitas, meningkatkan efisiensi pada proses produksi, menurunkan biaya operasi, kapasitas produksi yang lebih baik dan mengurangi tingkat kegagalan (rejection rate). Tujuan jangka panjang dari penerapan PAT adalah : penurunan waktu siklus produksi mencegah kegagalan proses produksi (prevent rejection of batches) memungkinkan dilakukannya pelulusan seketika (real time release) meningkatkan otomatisasi mesin-mesin produksi memperbaiki tingkat penggunaan energi dan material memfasilitasi proses berkelanjutan Berikut adalah contoh sebuah mesin produksi yang dilengkapi dengan teknologi ―in-line process control―.
Bedah Kasus : Penerapan CPOB 2006 Pada tulisan terdahulu dapat kita lihat bahwa hampir separuh (42%) dari 188 industri farmasi yang ada di Indonesia BELUM bisa memenuhi persyaratan CPOB: 2006. Tentunya hal ini membawa keprihatinan bagi kita, karena bagaimanapun keberadaan industri farmasi di Indonesia – baik yang berskala besar, menengah maupun kecil – merupakan salah satu bagian penting dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat. Untuk lebih mengetahui hal-hal apa saja yang menyebabkan suatu industri farmasi tersebut tidak memenuhi persyaratan CPOB : 2006 dan kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh industri farmasi dalam memenuhi persyaratan tersebut, mari kita lihat lebih dalam hasil pemetaan (mapping) yang dilakukan oleh Badan POM tahun 2004 dan re-mapping tahun 2008 yang lalu. Tulisan ini merupakan pengalaman pribadi penulis yang bersama-sama dengan seluruh jajaran Direksi, staf dan karyawan PT. Berlico Mulia Farma, yang meskipun masuk dalam kategori industri farmasi skala menengah – kecil, bisa meraih strata B dan masuk kategori industri farmasi kelompok I. Tulisan ini juga dilengkapi dengan beberapa data yang dipublikasikan oleh Badan POM dalam beberapa pertemuan dengan kalangan industri farmasi di beberapa kesempatan. Metode Penetapan Strata Untuk menetapkan strata industri farmasi di Indonesia, Badan POM membuat suatu checklist (daftar periksa) Pemenuhan CPOB: 2006, yang berisi persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh industri farmasi. Tidak kurang ada 180 item yang harus dipenuhi oleh industri farmasi, yang terbagi menjadi 7 kelompok penilaian, yaitu : 1.
Umum
2.
Sistem Manajemen Mutu
3.
Bangunan, Sarana Penunjang dan Peralatan
4.
Sistem Penanganan Bahan
5.
Sistem Produksi
6.
Sistem Pengemasan dan Penandaan
7.
Sistem Pengawasan Mutu. Masing-masing
item
memiliki
derajat/tingkat
kekritisan
yang
berbeda,
yaitu C(critical), M (Major) dan m (minor). Selanjutnya, dari ke-7 kelompok penilaian tersebut dibagi lagi menjadi 10 Aspek CPOB, yaitu : 1.
Sistem Manajemen Mutu
2.
Dokumentasi
3.
Validasi
4.
HVAC/AHS
5.
Water System
6.
Sistem Penanganan Bahan
7.
Produk Steril
8.
Pengemasan dan Penandaan
9.
Pengawasan Mutu
10. Stabilitas Pada saat pelaksanaan mapping, inspektor dari Badan POM akan menilaiprosentase pemenuhan industri farmasi yang bersangkutan terhadap berbagai persyaratan yang ditetapkan dalam check-list. Contoh misalnya suatu industri farmasi A memiliki 5 buah AHU (Air Handling Unit). Pada saat dilakukan mapping, ternyata hanya 2 AHU yang sudah terkualifikasi (sudah diIQ/OQ maupun PQ). Jika persyaratan tentang Kualifikasi AHU memiliki tingkat kekritisan C, maka skor untuk Kualifikasi AHU adalah 0,4 C. Sedangkan industri farmasi lain (B) yang hanya memiliki 2 AHU dan kedua-duanya sudah terkualifikasi, maka skor untuk industri farmasi B adalah 1 C; demikian seterusnya. Selanjutnya, dari ke-10 Aspek CPOB tersebut masing-masing memiliki Bobot yang berbeda. Penetapan Bobot masing-masing aspek adalah sebagai berikut :
Untuk menetapkan Strata Industri Farmasi, digunakan kriteria sebagai berikut :
Sedangkan untuk menetapkan kelompok intervensi Industri Farmasi, digunakan pengelompokan sebagai berikut :
Berikut adalah hasil lengkap mapping industri farmasi yang dilakukan oleh Badan POM pada tahun 2004.
Agak rumit ya? Memang untuk menentukan strata suatu industri farmasi apakah masuk strata A, B, C atau D cukup rumit. Bahkan ada beberapa kasus, suatu industri farmasi harus bolak-balik untuk melakukan klarifikasi ke Badan POM untuk mencocokan skor yang diperoleh dengan strata yang didapatnya. Analisa Kasus Dari data yang dipublikasikan oleh Badan POM tentang hasil pemetaan Penerapan CPOB: 2006, dapat kita lihat bahwa ―kelemahan‖ terbanyak yang dilakukan oleh industri farmasi di Indonesia ada
4
hal
(lihat
tuh
yang
nilainya
kurang
dari
0,3),
yaitu Sistem
Manajemen
Mutu, Validasi, HVAC/AHS danStabilitas. Untuk HVAC/AHU, memang – mau tidak mau – industri farmasi yang bersangkutan harus merogoh koceknya dalam-dalam untuk memperbaiki Sistem Tata Udara-nya agar bisa memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Hal ini disebabkan karena kebanyakan industri farmasi di Indonesia (khususnya yang masih skala kecil dan menengah) masih menggunakan sistem AC split, belum menggunakan AC central sehingga untuk memperbaiki sistem AHU diperlukan biaya yang tidak sedikit. Menurut pengalaman penulis, dibutuhkan investasi tidak kurang dari 2 Milyard untuk memperbaiki sistem tata udara agar sesuai dengan persyaratan (itupun
untuk industri farmasi skala menengah – kecil dan hanya untuk memperbaiki ruangan produksi kelas Grey Area). Namun demikian, untuk aspek CPOB yang lain, seperti Sistem Manajemen Mutu, Validasi serta Stabilitas – lagi-lagi menurut pengalaman penulis- tidak harus keluar dana besar. Yang sangat diperlukan adalah ―pemahaman yang benar‖ tentang bagaimana membuat agar ―sistem‖ yang telah dibuat tersebut bekerja. Bukan rahasia lagi bahwa di kebanyakan industri farmasi kita, sistem ini banyak yang tidak jalan. Ambil contoh misalnya tentang Validasi. Ada banyak begitu kesalahan pemahaman tentang validasi, sehingga kegiatan ini belum banyak dilakukan oleh industri farmasi kita. Ada anggapan bahwa validasi hanya buang-buang waktu, biaya dan pikiran, padahal jika diterapkan dengan benar maka justru akan sangat menguntungkan bagi industri farmasi yang bersangkutan (lihat halaman Validasi). Demikian juga soal Sistem Manajemen Mutu, yang diperlukan adalah bagaimana agar kita bisa membuat suatu sistem yang bisa mengatur seluruh sistem yang ada di industri farmasi. Jadi sama sekali tidak mengeluarkan biaya… Kemudian soal lantai, tidak harus di-epoxy yang tebal dan mengkilat. Asalkan kita bisa membuktikan bahwa lantai yang ada bisa dibersihkan dan menghasilkan derajat kebersihan sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan, akan memberikan skor yang cukup tinggi. Bagaimana caranya? ya harus di-validasi. Lagi-lagi bukan masalah mewah – tidaknya suatu bangunan, canggih-tidaknya suatu mesin, dan sebagainya, tetapi yang terpenting adalah membangun SISTEM. Alternatif Solusi Tahun 2010 sudah diambang pintu. Mau-tidak mau, suka-tidak suka harus kita hadapi. Sekali lagi kalau kita analisa hasil mapping yang dilakukan oleh Badan POM, maka akan kelihatan jelas bahwa salah satu kelemahan industri farmasi di Indonesia adalah kurangnya pemahaman tentang Sistem Manajemen Mutu (Quality Management System). Contoh paliiiiing sederhana adalah pemahaman tentang perbedaan tugas dan tanggung jawab antara bagian/departemen QA dengan QC. Ada begitu banyak industri farmasi di Indonesia yang belum memahami dengan benar fungsi QA dan QC, sehingga pada praktek di lapangan membuat sistem yang telah dibuat menjadi tidak jalan. Apabila tidak ada pemisahan kewenganan dengan tegas antara QA dan QC, maka jangan harap Sistem Manajemen Mutu ini akan jalan. Jadi, yang perlu segera dilakukan oleh industri farmasi yang masih dalam strata C atau bahkan D, SEGERA bentuk Departemen/Bagian QA yang terpisah dari Departemen QC. Mengapa? Karena begitu banyak industri farmasi di Indonesia yang ―gagal‖ memenuhi persyaratan CPOB: 2006 ini karena TIDAK ADA ―polisi‖ yang mengawasi pelaksanaan CPOB tersebut (lihat halaman Quality Management System). Hal berikutnya adalah pelaksanaan program validasi. Ada begitu banyak ―kesalah-pahaman‖ tentang validasi ini, bahkan di kalangan industri farmasi sendiri (hal ini penulis ketahui karena beberapa kali menguji mahasiswa ujian komprehensif bidang farmasi industri, di mana masih banyak industri farmasi yang belum melaksanakan validasi – sedangkan di beberapa industri farmasi, validasi yang dilakukan masih banyak ―kesalahan‖ sehingga maksud dan tujuan validasi tidak tercapai).
Alasan mengapa banyak industri farmasi yang gagal memenuhi persyaratan ini, bisa jadi karena kekurangan tenaga untuk mengerjakannya. Hal ini juga penulis alami beberapa tahun silam. Karena begitu buuaaanyak dan luuuuasnya area dan bidang yang harus divalidasi, padahal untuk menambah tenaga, biasanya pemilik perusahaan agak susah kalau menambah karyawan ―hanya‖ untuk melakukan validasi karena dianggap tidak menghasilkan apa-apa. Ada solusi jitu yang penulis lakukan dan dijamin tidak keluar biaya sepeserpun. Apa itu? Manfaatkan tenaga mahasiswa Program Profesi Apoteker untuk melakukan Praktek Kerja di tempat kita. Saat ini tidak kurang terdapat 60-an Perguruan Tinggi Farmasi di Indonesia, di mana 30 – 40% dari mahasiswa tingkat profesi mengambil jurusan farmasi industri (selain jurusan farmasi klinis dan komunitas),
mereka ini sangat
membutuhkan lahan untuk Praktek Kerja Lapangan (PKL) atau Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA). Di sisi lain, kita membutuhkan banyak tenaga untuk melengkapi berbagai dokumen seperti pembuatan protap, spesifikasi, peninjauan produk tahunan (PPT), bahkan pekerjaan Validasi, Kualifikasi, Kalibrasi dan sebagainya. Jadi ada win-win solution. Para mahasiswa bisa belajar/praktek langsung bagaimana membuat berbagai dokumen yang dibutuhkan oleh industri farmasi, sehingga pada saat mereka melamar pekerjaan atau bahkan pada saat memuali kerja, mereka sudah memperoleh pengalaman sebelumnya. Sedangkan bagi perusahaan, tentu saja Anda tidak perlu lagi cari karyawan, dan saya yakin dengan pengarahan yang benar, para mahasiswa ini bisa mengerjakan tugas yang diberikan pada mereka dengan baik. Kami sudah membuktikan selama 5 tahun ini, sudah begitu banyak ―alumni‖ dari PT. Berlico Mulia Farma yang telah belajar bersama bagaimana membuat protokol dan laporan validasi, kualifiaksi, dan kalibrasi; membuat laporan Peninjauan Produk Tahunan (PPT), membuat Protap dan lain sebagainya. Bahkan ada beberapa dari mereka yang kami rekrut sebagai karyawan. Sampai sekarang program ini masih penulis lakukan, dan anehnya sampai sekarang pekerjaan validasi, kualifikasi, kalibrasi dan lain-lainnya masih juga belum selesai… jadi saya nggak bisa membayangkan kalau semua pekerjaan tersebut dikerjakan sendiri oleh industri farmasi. Berapa banyak karyawan yang harus direkrut?
Drug Research: Beyond Imagination (2) Sesuai janji saya terdahulu, kita lanjutkan pembahasan perjuangan umat manusia melawan berbagai penyakit, sebuah genderang perang yang telah dimulai sejak ribuan tahun lalu. Pada tulisan bagian pertama, kita telah mengenal beberapa teknologi pengobatan yang telah dan tengah dikembangkan oleh para ahli di seluruh dunia. Salah satunya adalah penelitian mengenai Sel Punca atau Sel Induk (lebih dikenal dengan Stem Cell). Sebelum membahas lebih lanjut pengenai teknik pengobatan menggunakan stem cellbeserta segala ―kontroversi‖ dan berbagai ―drama‖ yang terjadi, ada baiknya kita pahami apa dan bagaimana sel punca atau stem cell tersebut dan peranannya dalam teknologi pengobatan di masa depan.
Pengertian Sel
punca atau sel
induk (bahasa
Inggris: stem
cell)
merupakan sel yang
belum
berdiferensiasi dan mempunyai potensi untuk dapat berdiferensiasi menjadi jenis sel lain. Kemampuan tersebut memungkinkan sel induk menjadi sistem perbaikan tubuh dengan menyediakan sel-sel baru selama organisme bersangkutan hidup. Peneliti meyakini bahwa penelitian sel induk berpotensi untuk mengubah keadaan penyakit manusia dengan cara digunakan memperbaiki jaringan atau organ tubuh tertentu. Penelitian sel induk dapat dikatakan dimulai pada tahun 1960-an setelah dilakukannya penelitian oleh ilmuwan Kanada, Ernest A. McCulloch dan James E. Till. Ragam sel punca Sel-sel punca dapat digolongkan berdasarkan potensi yang dimiliki oleh sel tersebut maupun berdasarkan asalnya. Berdasarkan potensi Sel induk ber-totipotensi (toti=total) adalah sel punca yang memiliki potensi untuk berdiferensiasi menjadi semua jenis sel. Sel punca bertotipotensi diperoleh dari sel induk embrio, hasil pembuahan sel telur oleh sel sperma. Sel induk ber-pluripotensi (pluri=jamak) Sel induk ber-multipotensi Sel induk ber-unipotensi (uni=tunggal) adalah sel punca yang hanya dapat menghasilkan satu jenis sel tertentu, tetapi memiliki kemampuan memperbarui diri yang tidak dimiliki oleh sel yang bukan sel induk.
Berdasarkan asalnya Sel Punca Embrio Sel punca ini diambil dari embrio pada fase blastosit (5-7 hari setelah pembuahan). Massa sel bagian dalam mengelompok dan mengandung sel-sel induk embrionik. Sel-sel diisolasi dari massa sel bagian dalam dan dikultur secara in vitro. Sel induk embrional dapat diarahkan menjadi semua jenis sel yang dijumpai pada organisme dewasa, seperti sel-sel darah, sel-sel otot, sel-sel hati, sel-sel ginjal, dan sel-sel lainnya. Sel Punca Dewasa Sel induk dewasa mempunyai dua karakteristik. Karakteristik pertama adalah sel-sel tersebut dapat berproliferasi untuk periode yang panjang untuk memperbarui diri. Karakteristik kedua, sel-sel tersebut dapat berdiferensiasi untuk menghasilkan sel-sel khusus yang mempunyai karakteristik morfologi dan fungsi yang spesial. Salah satu macam sel induk dewasa adalah sel induk hematopoietik (hematopoietic stem cells), yaitu sel induk pembentuk darah yang mampu membentuk sel darah merah, sel darah putih, dan keping darah yang sehat. Sumber sel induk hematopoietik adalah sumsum tulang, darah tepi, dan darah tali pusar. Transplantasi sel induk Transplantasi sel induk dapat berupa: Transplantasi autologus (menggunakan sel induk pasien sendiri, yang dikumpulkan sebelum pemberian kemoterapi dosis tinggi), Transplantasi alogenik (menggunakan sel induk dari donor yang cocok, baik dengan hubungan keluarga atau tanpa hubungan keluarga), atau transplantasi singenik (menggunakan sel induk dari saudara kembar identik).
Jenis-jenis transplantasi sel induk Menurut sumbernya transplantasi sel induk dapat dibagi menjadi: Transplantasi sel induk dari sumsum tulang Sumsum tulang adalah jaringan spons yang terdapat dalam tulang-tulang besar seperti tulang pinggang, tulang dada, tulang punggung dan tulang rusuk. Sumsum tulang merupakan sumber yang kaya akan sel induk hematopoietik. Sejak dilakukan pertama kali kira-kira 30 tahun yang lalu, transplantasi sumsum tulang digunakan sebagai bagian dari pengobatan leukemia, limfoma jenis tertentu, dan anemia aplastik. Karena teknik dan angka keberhasilannya semakin meningkat, maka pemakaian transplantasi sumsum tulang sekarang ini semakin meluas. Pada transplantasi ini prosedur yang dilakukan cukup sederhana, yaitu biasanya dalam keadaan teranestesi total. Sumsum tulang (sekitar 600 cc) diambil dari tulang panggul donor dengan bantuan sebuah jarum suntik khusus, kemudian sumsum tulang itu disuntikkan ke dalam vena resipien.
Sumsum tulang donor berpindah dan menyatu di dalam tulang resipien dan sel-selnya mulai berproliferasi. Pada akhirnya, jika semua berjalan lancar, seluruh sumsum tulang resipien akan tergantikan dengan sumsum tulang yang baru. Namun, prosedur transplantasi sumsum tulang memiliki kelemahan karena sel darah putih resipien telah dihancurkan oleh terapi radiasi dan kemoterapi. Sumsum tulang yang baru memerlukan waktu sekitar 2-3 minggu untuk menghasilkan sejumlah sel darah putih yang diperlukan guna melindungi resipien terhadap infeksi. Transplantasi sumsum tulang memerlukan kecocokan HLA 6/6 atau paling tidak 5/6. Risiko lainnya adalah timbulnya penyakit GvHD, di mana sumsum tulang yang baru menghasilkan sel-sel aktif yang secara imunologi menyerang sel-sel resipien. Selain itu, risiko kontaminasi virus lebih tinggi dan prosedur pencarian donor yang memakan waktu lama.
Transplantasi sel induk darah tepi Seperti halnya sumsum tulang, peredaran darah tepi merupakan sumber sel induk walaupun jumlah sel induk yang dikandung tidak sebanyak pada sumsum tulang. Untuk mendapatkan jumlah sel induk
yang
jumlahnya
mencukupi
untuk
suatu
transplantasi,
biasanya
pada
donor
diberikan granulocyte-colony stimulating factor (G-CSF) untuk menstimulasi sel induk hematopoietik bergerak dari sumsum tulang ke peredaran darah. Transplantasi ini dilakukan dengan proses yang disebut aferesis. Jika resipien membutuhkan sel induk hematopoietik, pada proses ini darah lengkap diambil dari donor dan sebuah mesin akan
memisahkan darah menjadi komponen-komponennya, secara selektif memisahkan sel induk dan mengembalikan sisa darah ke donor. Transplantasi sel induk darah tepi pertama kali berhasil dilakukan pada tahun 1986. Keuntungan transplantasi sel induk darah tepi adalah lebih mudah didapat. Selain itu, pengambilan sel induk darah tepi tidak menyakitkan dan hanya perlu sekitar 100 cc. Keuntungan lain, sel induk darah tepi lebih mudah tumbuh. Namun, sel induk darah tepi lebih rentan, tidak setahan sumsum tulang. Sumsum tulang juga lebih lengkap, selain mengandung sel induk juga ada jaringan penunjang untuk pertumbuhan sel. Karena itu, transplantasi sel induk darah tepi tetap perlu dicampur dengan sumsum tulang. Transplantasi sel induk darah tali pusat Pada tahun 1970-an, para peneliti menemukan bahwa darah plasenta manusia mengandung sel induk yang sama dengan sel induk yang ditemukan dalam sumsum tulang. Karena sel induk dari sumsum tulang telah berhasil mengobati pasien-pasien dengan penyakit-penyakit kelainan darah yang mengancam jiwa seperti leukemia dan gangguan-gangguan sistem kekebalan tubuh, maka para peneliti percaya bahwa mereka juga dapat menggunakan sel induk dari darah tali pusat untuk menyelamatkan jiwa pasien mereka. Darah tali pusat mengandung sejumlah sel induk yang bermakna dan memiliki keunggulan di atas transplantasi sel induk dari sumsum tulang atau dari darah tepi bagi pasien-pasien tertentu. Transplantasi sel induk dari darah tali pusat telah mengubah bahan sisa dari proses kelahiran menjadi sebuah sumber yang dapat menyelamatkan jiwa. Transplantasi sel induk darah tali pusat pertama kali dilakukan di Perancis pada penderita anemia Fanconi tahun 1988. Pada tahun 1991, darah tali pusat ditransplantasikan pada penderita Chronic Myelogenous Leukemia. Kedua transplantasi ini berhasil dengan baik. Sampai saat ini telah dilakukan kira-kira 3.000 transplantasi darah tali pusat di seluruh dunia. DRAMA DAN KONTROVERSI Sampai disini kelihatannya sih ―fine-fine” saja. Sel Punca merupakan hasil riset dasar bidang biologi (ingat teori Hereditas-nya Mendel), yang kemudian membawa terobosan besar di bidang kedokteran.Cuman masalahnya, sel punca dewasa dianggap kurang optimal hasilnya dibanding sel punca embryonik, terutama dalam hal jaringan yang dapat dibentuk. Namun di sisi lain, riset sel punca embryonik menimbulkan kontroversi dan perdebatan panjang yang bahkan menyangkut soal agama dan etika, karena embrio (baca: calon bayi/manusia) harus dihancurkan bila hendak diambil sel puncanya.
Apabila penggunaan blastosis tidak memungkinkan, maka satu-satunya teknologi yang dapat membantu penyediaan sel punca embryonik adalahtransfer inti sel atau istilah yang sering dipakai adalah kloning. Kloning pada manusia bak ―perjalanan panjang yang tak berujung‖ yang telah lama diimpikan, namun perkembangannya sangat lambat dan tidak gampang. Berikut adalah kisah perjalanan panjang tersebut : 1952. Percobaan kloning pertama dilakukan oleh Robert Briggs dan Thomas J. King, yang mengganti inti sel telur kodok dengan inti sel lain yang diambil dari embrio. Sel telur itu sempat berkembang menjadi beberapa sel. 1972. Experimen tersebut kemudian diteruskan oleh John Gurdon yang sukses ―menciptakan‖ berudu dari sel telur yang tidak dibuahi. Sayangnya, binatang ini mati muda. 1993. Ilmuwan Amerika Serikat membelah-belah embrio untuk ―menciptakan‖ embrio yang memiliki sifat genesis yang sama persis. Calon-calon bayi sampet berkembang hingga masing-masing memiliki 32 sel, namun kemudian mereka menghancurkannya. 1995. Ian Wilmut dan Keith Campbell ―menciptakan‖ domba kloning pertama, yaitu Megan dan Moran dengan kloning sel embrio. 1996. Setahun kemudian, Ian Wilmut dan Keith Campbell menciptakan biri-biri kloning yang diberi nama Dolly dengan teknik kloning dari sel domba dewasa. Biri-biri montok ini akhirnya disuntik mati pada usia 6 tahun (biri-biri biasa bisa hidup sampai 12 tahun) karena sakit paruparu dan mengalami proses penuaan yang abnormal. 1998. James Thomson dan John Gearhart berhasil membiakkan sel manusia dari sebuah telur yang dibuahi sperma di tabung. Sel induk (stem cell) ini bisa dikembangkan menjadi sel khusus seperti sel tulang, sel kulit, sel mata, dan lain-lain
2001. Seekor kloning kucing yang diberi nama CC (singkatan dari copy cat), diproduksi ilmuwan dari Universitas Texas A&M. 2002-2004. Sebuah kelompok sekte Raelian, yang memilki keyakinan bahwa manusia di muka bumi ini merupakan hasil kloning dari mahluk luar angkasa, seperti Dr. Severino Antiniro, Dr. Panos Zavos, dan lain-lain yang tergabung dalam Clonaid, mengklaim telah berhasil mengkloning enam bayi manusia. Namun, klaim ini dianggap sepi oleh kalangan ilmuwan karena tidak ada bukti nyata. Belakangan, beredar kabar bahwa manusia pertama hasil kloning yang diberi nama Eve (seperti nama manusia pertama Eve & Adam) telah berusia 5 tahun dan hidup sehat di Bahama. 2003. Para ilmuwan berhasil menyelesaikan peta genetika tubuh manusia (human genome project), dua tahun lebih cepat dari jadwal. 2003. Embrio manusia hasil kloning pertama dapat diciptakan oleh Advanced Cell Technology, dibuat dengan cara menukar DNA sel telur dengan DNA sel tubuh manusia dewasa. 2004. Ilmuwan Korea Selatan Prof. Hwang Woo-suk dan koleganya, Dr. Moon Shin-yong, mengumumkan untuk pertama kali di dunia berhasil melakukan kloning embrio manusia yang menghasilkan sel induk (stem cell), yang dapat dimanfaatkan mengganti sel-sel yang rusak. Hal ini memberi harapan akan sebuah jaringan spesifik yang secara genetis dapat memperbaiki kerusakan organ atau mengobati penyakit-penyakit termasuk Alzhimer, kanker, Parkinson, dan-lain-lain. 2005. Prof. Hwang Woo-suk dan koleganya – termasuk salah seorang adalah putra Indonesia, Yuda Heru Febrianto (dosen UGM) – untuk pertama kalinya berhasil membuat kloning anjing dari satu sel kulit anjing yang sudah mati dan terbukti memiliki kode-kode genetik yang sama persis dengan induknya, menggunakan teknik nuclear transfer somatic cell. Anjing hasil kloning tadi diberi nama Snuppy (singkatan Soeul National University Puppy), tidak membutuhkan sperma untuk pembuahannya, hanya perlu ―listrik‖ sebagai pencetus pembelahan sel. Penemuan ini membuat para ahli Amerika Serikat dan Uni Eropa bertekuk lutut atas keberhasilan yang dibuat oleh para ilmuwan Korea Selatan ini. Nama Prof. Hwang di sanjung setinggi langit dan bahkan diangkat sebagai Bapak Kloning Korea Selatan.
2009. Datanglah malapetaka, Prof. Hwang dituduh melakukan penipuan dan pelanggaran dalam penelitian sel punca, karena terbukti dia menerima sel telur manusia dari anggota tim-nya. Akhir April 2009 yang lalu, oleh Pengadilan Tinggi Seoul, Prof. Hwang terbukti pelakukan pelanggaran bioethic berat dan dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun dan ditangguhkan selama tiga tahun plus larangan untuk menginjakkan kakinya di seluruh lembaga penelitian sel punca di manapun di seluruh Korea Selatan. Sungguh tragis! Dari seorang pahlawan yang dipuja-puja, dalam sekejab berubah bak seorang paria yang dijauhi semua orang…. Dilema: Etika atau ….
Meskipun teknologi ini memiliki potensi yang sangat besar dalam bidang kedokteran khususnya sebagai sumber stem cell bagi terapi penyakit degeneratif, berbagai tantangan tetap saja masih mengganjal berkembangnya teknologi ini. Tantangan datang dari aspek etika dan moral, serta hukum. Yang tidak kalah pentingnya adalah tantangan yang berasal dari aspek efikasi dan keamanan apabila teknik ini diterapkan bagi kepentingan manusia nantinya. Dari sisi etika dan moral, teknologi ini menghadapi permasalahan yang cukup mendasar, yaitu dianggap telah mengeksploitasi kehidupan manusia. Dan tentu saja ini bertentangan dengan hak asasi manusia. Selain itu, pemanfaatan embrio sebagai sumber stem cells dianggap telah melanggar hak hidup embrio – yang diasosiakan sebagai pelanggaran terhadap hak hidup manusia. Perbedaan landasan berpikir menyebabkan belum terjadinya penyatuan pedapat antara pihak yang mendukung dan pihak yang menentang. Pihak yang menentang mendasarkan pendapatnya kepada penerapan hak asasi dan martabat manusia (mereka beranggapan bahwa embrio walaupun masih pada tahap awal telah memiliki hak dan martabat yang sama dengan manusia pada umumnya). Pihak yang menentang ini berpendapat bahwa tahap yang dilakukan pada teknologi transfer inti sel (therapeutic cloning) ini telah membunuh hak embrio untuk terus hidup – terdapat langkah dalam teknologi ini yang menghilangkan zona palusia yang mengakibatkan embrio menjadi mati. Sementara itu pihak yang mendukung lebih mendasarkan pendapatnya kepada manfaat yang akan diperoleh dari teknologi ini, yaitu dapat digunakan sebagai terapi kepada jutaan penderita penyakit degeneratif dan teknologi ini tidak melanggar hak asasi manusia (salah satu pendapatnya ialah bahwa embrio yang digunakan untuk sumber sel stem yang nantinya akan dikembangkan menjadi berbagai organ atau jaringan, merupakan embrio pada tahap awal sekali yang baru berusia sekitar 5 hari dan belum terjadi yang namanya ―peniupan‖ roh kehidupan, serta embrio yang dijadikan sumber terbentuk bukan karena peleburan antara sel telur dan sel sperma). Teknologi ini juga mendapat tantangan yang cukup serius dari aspek hukum. Pemanfaatan embrio sisa fertilisasi dianggap belum memiliki dasar hukum yang kuat karena selama ini belum ada peraturan yang melarang atau memperbolehkan. Selain itu belum adanya badan atau pihak yang memiliki hak untuk melarang atau mengizinkan kegiatan ini. So …. kesimpulannya? Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang …..
Sumber: Dari berbagai sumber
Industr i Farmasi : Berubah atau Mati ! Industri farmasi, termasuk salah satu industri yang masuk dalam golongan industri ―samudera biru‖ (blue ocean industry). Betapa tidak, selama puluhan tahun, industri ini menikmati pertumbuhan (sekaligus keuntungan) yang luar biasa. Saham-saham industri farmasi, selama berpuluh-puluh tahun menjadi saham blue chip yang diburu oleh banyak investor kelas kakap. Bahkan – konon – para eksekutif perusahaan farmasi raksasa dunia (yang sering di sebut Big Farma), memiliki ―hubungan khusus‖ dengan para politisi di lembaga legislatif/parlemen dan pejabat tinggi, baik di Amerika Serikat maupun Uni Eropa. Namun saat ini ―cuaca‖ telah berganti. Lautan yang dulunya teduh, tenang dan damai, saat ini tengah dihantam topan badai maha dahsyat. Krisis ekonomi global yang merontokkan lembaga-lembaga keuangan internasional, mengimbas pula industri yang selama puluhan tahun ―tak terjamah‖ krisis ini. Rontoknya perekonomian Amerika Serikat, memaksa negara adidaya
ini ―memangkas‖ anggaran kesehatannya hampir separohnya. Pasar farmasi dunia yang didominasi oleh pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa pun terguncang. Lembaga-lembaga asuransi yang biasanya sangat royal membelanjakan uangnya untuk memburu obat-obat keluaran terbaru, mulai berpaling pada obat-obat generik yang di pasok dari negara-negara ketiga, seperti China dan India yang menawarkan harga jauh lebih murah. Di sisi yang lain, semakin sedikitnya obat-obat baru yang disetujui oleh FDA dalam beberapa tahun terakhir ini serta semakin banyaknya obatobat blockbuster yang akan habis masa patennya dalam beberapa tahun ini, semakin menambah muram wajah para CEO industri farmasi raksasa dunia. Pertumbuhan pasar farmasi dunia, yang biasanya di atas 10% pertahun, tahun ini diperkirakan hanya akan tumbuh 4 – 6% (IMS market review, 2008). Pada saat yang sama, industri farmasi di Indonesia pun mengalami nasib serupa meskipun dengan latar belakang yang tak sama. Selama puluhan tahun, industri farmasi di Indonesia menikmati masa-masa ―bulan madu‖, merengguk manisnya bisnis yang berasa pahit ini. Betapa tidak, dengan jumlah penduduk yang demikian besar, tingkat pendidikan yang masih rendah, di tambah dengan perilaku masyarakatnya yang kurang memperhatikan pola hidup sehat, industri farmasi di Indonesia – terutama industri farmasi dalam negeri - menangguk keuntungan yang luar biasa. Hal ini terlihat dari pertumbuhan pasar farmasi di Indonesia yang terus meningkat di atas 15% (bahkan beberapa tahun sebelumnya selalu di atas 20%). ―Perselingkuhan yang saling menguntungkan‖ antara industri farmasi dengan dokter penulis resep, adalah hal yang sangat lumrah terjadi. Di saat industri farmasi asing (PMA) yang tergabung dalam IPMG (International Pharmaceutical Manufacturer Group) membuat kode etik pemasaran bagi para anggotanya, industri farmasi nasional (PMDN) malah semakin memperbesar budget pemasarannya untuk ―menservis‖ para dokter agar mau menuliskan resep produk-produknya. Di sisi lain, adanya proteksi dari pemerintah yang memasukkan industri farmasi sebagai Daftar Hitam Investasi(DHI) dengan alasan melindungi industri farmasi dalam negeri, membuat industri farmasi di Indonesia hanya bisa menjadi ―jago kandang‖. Terbukti, jika pada tahun 1970 hingga tahun 1980-an, penguasa pasar farmasi di Indonesia adalah pabrik-pabrik farmasi asing seperti Bayer, Roche, Pfizer, Merck, dan sebagainya maka sejak tahun 1990-an, 10 besar penguasa pasar farmasi di Indonesia dikuasai oleh industri farmasi lokal, seperti Sanbe, Group Kalbe, Group Tempo, Dexa Medica, dan sebagainya.
Pabrik-pabrik lokal ini, terutama memanfaatkan obat-obat yang sudah habis masa patennya (sebagian kecil lainnya menjalin aliasi dengan menggunakan lisensi dari pemegang paten), dan memproduksi sendiri dengan nama dagang yang berbeda (branded generik). Maka tidak heran industri farmasi dikenal sebagai ―tukang jahit‖ karena tidak memiliki basis industri bahan baku sendiri. Hampir 95% bahan baku yang digunakan adalah impor. Namun sekali lagi, cuaca telah berubah – langit tidak lagi cerah - arus globalisasi mengalir dengan derasnya dan mulai mengancam ―eksistensi‖ industri farmasi dalam negeri. Terbukti, dari hasil mapping industri farmasi yang dilakukan oleh Badan POM beberapa tahun lalu menunjukkan bahwa 42% industri farmasi di Indonesia TIDAK MEMENUHI SYARAT. Fokus industri farmasi nasional, selama ini lebih banyak tercurah untuk bagaimana supaya produknya laku, sedangkan ―dapur‖nya sendiri ―lupa‖ untuk dibenahi. Dengan adanya Harmonisasi Pasar ASEAN tahun 2010 dan AFTA tahun 2015, mau tidak mau – suka tidak suka – industri farmasi harus berbenah, karena kalau tidak, pasti akan mati tergilas roda globalisasi. Operasional Excellence Dua kondisi di atas, baik industri farmasi raksasa dunia maupun industri farmasi nasional, membuka mata kita bahwa industri farmasi bukan lagi ―blue ocean industry‖ namun sudah masuk dalam kategori ―industri lautan merah yang berdarah-darah‖ (bloody red ocean industry). Sudah saatnya industri farmasi – terutama industri farmasi nasional – berganti haluan. Bagian Produksi – yang pada masa lalu kurang mendapat perhatian – bahkan di beberapa industri farmasi, orang-orang pabrik hanya menjadi warga kelas dua, dibandingkan dengan orang-orang bagian Marketing atau R&D – mulai mendapat perhatian yang sangat serius. Dengan pasar yang semakin kompetitif, maka salah strategi untuk bisa memenangkan persaingan dan keluar dari red ocean ini adalah keunggulan kompetitif berupa keunggulan produk, kualitas, cost dan delivery. Strategi ini sering disebut dengan Operasional
Excellence (OpX).
Operasional
Excellence
adalah
filosofi
tentang
kepemimpinan, kerja sama tim dan pemecahan masalah yang mengakibatkan perbaikan terus-menerus di seluruh organisasi dengan berfokus pada kebutuhan pelanggan, memberdayakan karyawan dan mengoptimalkan kegiatan yang ada dalam proses produksi. Tujuan utama dari Operasional Excellence adalah : Perbaikan kualitas (improves quality) Peningkatan hasil (Obtains higher yields) Percepatan proses produksi (Faster throughput), dan Pengurangan limbah/sisa (Less Waste) Dalam bahasa yang lebih sederhana, Operasional Excellence adalah mengurangan limbah dan peningkatan nilai pada pelanggan.Coba sejenak kita renungkan kisah nyata berikut ini : Salah satu produsen ponsel, Motorola, selama bertahun-tahun mencari terobosan agar bisa survive dalam bisnis ponsel yang kian kompetitif. Pada tahun 1986, Motorola mengembangkan suatu jurus yang disebut dengan Six Sigma (dikenalkan pertama kali oleh Bill Smith – coba cari sendiri di mbah Google). Jurus ini merupakan pengembangan dari metode TQM yang sudah lama dikenal dan dikembangkan oleh Toyota (pabrik pembuat mobil). Dengan menggunakan jurus ini, Motorola dapat menekan kerusakan hingga 3,4 kerusakan dari setiap sejuta kemungkinan (3,4 DPMO = 3,4 Deffect Per Million Opportunities) atau 0,00034%. Bandingkan dengan industri farmasi yang rata-rata tingkat kerusakannya (rejection rate-nya) 5 – 10%. Tidak mengherankan jika saat ini industri ponsel maupun industri semi-konduktor lainnya merupakan industri yang paling kompetitif di seluruh dunia. Salah
satu
industri
farmasi
raksasa
dunia
yang
sudah
menerapkan Operasional
Excellence adalah Pfizer Inc. Raksasa farmasi dari New York – Amerika Serikat ini mengembangkan jurus yang disebut Right First Time (RFT). Tidak heran bila industri farmasi ini, selama 10 tahun terakhir ini, menjadi industri farmasi yang paling banyak melahirkan produk-produk blockbuster dan mengambil alih posisi nomor wahid sebagai industri farmasi no. 1 dunia dari tangan Merck & Co. pada tahun 2000. Jadi, wahai para industriawan/industriawati farmasi nasional, sudah saatnya kita berubah. Langit tidak lagi cerah ceria – petir telah menyambar – topan badai bakal menerjang – siapkanlah strategi yang tepat agar kapal tidak oleng dan tenggelam. Saatnya untuk berubah … atau kita akan tenggelam ditelan arus globalisasi yang sudah di depan mata.
Industr i Farmasi Indonesia BELUM SIAP menghadapi Pasar Bersama ASEAN Hari-hari terakhir ini, para pengusaha obat (baca: industri farmasi) di Indonesia, terutama yang masuk skala kecil dan menengah, tidak bisa tidur nyenyak. Bayangan akan penutupan usaha yang telah mereka rintis bertahun-tahun terus menggelayuti pikiran mereka. Hal ini berkaitan dengan semakin dekatnya pelaksanaan harmonisasi pasar bersama ASEAN (ASEAN Harmonization) terutama di bidang obat-obatan. Sesuai dengan kesepakatan yang diambil oleh ke-11 pemimpin
ASEAN, mulai tahun 2010 seluruh produk farmasi dari negara-negara di kawasan ini bebas diperdagangkan tanpa adanya tambahan tarif masuk alias bea masuk 0% (no tariff barrier). Ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi dalam issue tentang ASEAN Harmonization ini, yang saat ini banyak terjadi ―salah kaprah‖ bahkan di kalangan industri farmasi sendiri. Pertama, ASEAN Harmonization ini tidak ada kaitannya sama sekali sekali dengan keiinginan Badan POM sebagai anggota PIC/S (Pharmaceutical Inspection Cooperation/Scheme). PIC/S merupakan suatu kerja sama antar lembaga yang tanggung jawab terhadap regulasi di bidang farmasi. Jadi PIC/S sama sekali tidak ada hubungannya dengan industri farmasi, yang menjadi anggota PIC/S adalah Badan POM-nya, bukan industri farmasi-nya. Salah satu kriteria keanggotaan PIC/S antara lain adalah kualifikasi inspektor dari lembaga/badan tersebut serta adanya aturan/regulasi yang setara dengan regulasi yang berlaku secara internasional. Berkaitan dengan hal tersebut, Badan POM Republik Indonesia, selaku regulator industri farmasi di Indonesia telah menetapkan berlakunya CPOB terbaru (CPOB: 2006) sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan industri farmasi di Indonesia sesuai dengan standar internasional. Kedua, terdapat 2 (dua) hal yang terkait dengan ASEAN Harmonozation, yaitu ACTD (ASEAN Common Technical Dossier) yang berkaitan dengan harmonisasi regulasi (peraturan mengenai registrasi obat), dan ACTR (ASEAN Common Techniccal Requirement) yang berkaitan dengan persyaratan CPOB yang berlaku di kawasan ASEAN. Oleh karena telah ada 2 negara ASEAN yang telah menjadi anggota PIC/S (yaitu Malaysia dan Singapura), maka disepakati bahwa acuan regulasi teknis (CPOB) untuk negara-negara di kawasan ini adalah menggunakan acuan dari PIC/S. Jadi tidak ada hubungan langsung antara Harmonisasi ASEAN dengan PIC/S, meskipun secara tidak langsung keduanya saling terkait. Persepsi ini yang perlu diluruskan oleh para pelaku industri farmasi di Indonesia. Nah berkaitan dengan pelaksanaan CPOB: 2006 ini sebenarnya jauh-jauh hari, bahkan sejak kepemimpinan Badan POM masih dipegang oleh pak Sampurno, telah dilakukan sosialisasi kepada para pelaku industri farmasi di Indonesia. Kalau tidak salah ingat penulis, sosialisasi ini telah dilakukan sejak tahun 2004 silam (jadi sudah 5 tahun lebih). Langkah selanjutnya adalah Badan POM melakukan pemetaan (mapping) terhadap seluruh industri farmasi di Indonesia. Dari hasil mapping ini akan diketahui kesiapan industri farmasi Indonesia dalam menghadapi ASEAN Harmonisasi tersebut. Karena mau – tidak mau, suka – tidak suka, karena telah di-teken oleh Kepala Negara, maka kita harus melaksanakannya. Dari hasil mapping tersebut, selanjutnya industri farmasi di Indonesia dikelompokkan menjadi 4 strata, yaitu strata A, strata B, strata C dan strata D; serta 4 kelompok, yaitu kelompok I: industri farmasi yang bersangkutan diperbolehkan melakukan produksi di fasilitas milik sendiri, kelompok II: boleh berproduksi di fasilitas milik sendiri dengan melakukan perbaikan internal, kelompok III: sebagian diproduksi milik sendiri – sebagaian harus toll manufacturing , serta kelompok IV: seluruh produksinya harus toll manufacturing (dalam jangka waktu tertentu) . Pengelompokkan ini didasarkan pada pemenuhan industri farmasi yang bersangkutan terhadap aspek-aspek persyaratan cGMP. Terdapat 7 aspek yang dinilai, yaitu (1) Umum, (2) Sistem Manajemen Mutu, (3) Sistem
Bangunan, Sarana Penunjang dan Peralatan, (4) Sistem Penanganan Bahan, (5) Sistem Produksi, (6) Sistem Pengemasan dan Penandaan, dan (7) Sistem Pengawasan Mutu. Dari hasil mapping yang dilaksanakan oleh Badan POM pada tahun 2004, diketahui bahwa dari 205 industri farmasi yang terdaftar di Badan POM, hanya 188 industri farmasi yang masih aktif. Industri farmasi yang masuk strata A sebanyak 13%, strata B sebanyak 22%, strata C sebanyak 36% dan strata D sebanyak 29%. Selanjutnya pada tahun 2008 dilakukan re-mapping (mapping kedua) didapatkan hasil : strata A sebanyak 29%, strata B sebanyak 29%, strata C sebanyak 26 % dan strata D sebanyak 16%.
Dari hasil mapping tersebut di atas, terlihat bahwa masih ada sekitar 42% (hampir separo) dari 188 industri farmasi di Indonesia yang BELUM bisa memenuhi persyaratan CPOB: 2006. Tentu saja hal ini menjadi keprihatinan kita semua. Di saat negara dalam kondisi kritis seperti sekarang, di mana lapangan kerja sulit di dapat dan di sisi lain begitu bejibun-nya perguruan tinggi farmasi ―pencetak‖ apoteker yang notabene-nya membutuhkan industri farmasi sebagai salah satu lahan berkarier, maka industri farmasi yang tidak bisa memenuhi kualifikasi harus ditutup. Menghadapi realita ini ada pemikiran dari beberapa pihak yang berkepentingan, terutama di kalangan industri farmasi, untuk MENUNDA pelaksanaan Harmonisasi ASEAN, apalagi untuk bisa memenuhi persyaratan CPOB Terkini (CPOB: 2006) dibutuhkan biaya yang tidak sedikit (lihat di halaman CPOB). Suara-suara ini mulai terdengar nyaring bahkan di kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada yang pro – ada yang kontra. Kalangan yang pro – penundaan, terutama industri farmasi kecil dan menengah – berkelit akan adanya PHK besar-besaran dan masih sulitnya perekonomian sebagai imbas dari resesi global. Sedangkan kalangan yang kontra penundaan berdalih mereka telah mengeluarkan dana yang cukup besar dan juga biaya operasional yang besar agar bisa memenuhi ketentuan yang berlaku, akan sangat tidak adil kalau dilakukan penundaan, karena hal ini berkaitan langsung daya saing (baca: harga jual) produk dipasaran. Bukan rahasia lagi, bahwa pelaksanaan CPOB: 2006 membawa dampak naiknya biaya investasi dan biaya operasional pabrik.
Konsekuensi langsung dari naiknya biaya-biaya tersebut adalah kenaikan harga produk yang pada akhirnya mempengaruhi juga pada daya saing produk di pasaran. Inilah PR besar yang di hadapi oleh Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ini untuk memecahkan masalah tersebut. Anda punya komentar ?
Perkembangan Terkini Teknologi For mulasi Sediaan Obat*) Pendahuluan Industri farmasi merupakan salah satu industri yang mengalokasikan dana yang cukup besar untuk penelitian dan pengembangan dibandingkan dengan industri-industri lainnya. Dari data IMS Health World Review tahun 2004, industri farmasi membelanjakan tidak kurang dari US $ 100 Milyar pertahun untuk penelitian dan pengembangan. Dana terbesar (40%), terutama digunakan untuk uji klinik. Proses penemuan obat baru merupakan sebuah rangkaian langkah yang sangat panjang dan melibatkan berbagai disiplin ilmu. Secara garis besar, penelitian dan pengembangan suatu obat dapat dibagi menjadi beberapa tahap sebagai berikut : 1.
Sintesis dan screening molekul
2.
Studi pada hewan percobaan
3.
Studi pada manusia yang sehat (healthy volunteers)
4.
Studi pada manusia yang sakit (pasien)
5.
Studi pada manusia yang sakit dengan populasi diperbesar
6.
Studi lanjutan (post marketing surveillance)
Sintesis dan Screening Molekul, merupakan tahap awal dari rangkaian penemuan suatu obat. Pada tahap ini berbagai molekul atau senyawa yang berpotensi sebagai obat disintesis, dimodifikasi atau bahkan direkayasa untuk mendapatkan senyawa atau molekul obat yang diinginkan. Oleh karena penelitian obat biasanya ditargetkan untuk suatu daerah terapeutik yang khas, potensi relatif pada
produk saingan dan bentuk-bentuk sediaan untuk manusia bisa diketahui. Serupa dengan hal tersebut, ahli kimia medisinal mungkin mendalami kelemahan molekul tersebut sebagai hasil usaha untuk mensintesis senyawa tersebut. Selain itu, penelusuran literatur juga harus dilakukan untuk memberikan pengertian tentang mekanisme pelapukan yang mungkin terjadi dan kondisi-kondisi yang dapat meningkatkan peruraian obat. Informasi ini dapat menyarankan suatu cara stablilisasi, kunci uji stabilitas atau senyawa acuan stabilitas. Informasi tentang cara atau motode yang diusulkan dari pemberian obat, juga melihat kembali literatur tentang formulasi, bioavailabilitas, dan farmakokinetika dari obat-obat yang serupa, seringkali berguna bila menentukan bagaimana mengoptimumkan bioavailabilitas suatu kandidat obat baru. Jika suatu senyawa atau molekul aktif telah dibuktikan secara farmakologis, maka senyawa tersebut selanjutnya memasuki tahap pengembangan dalam bentuk molekul optimumnya. Setelah sintesis, suatu senyawa atau molekul melalui proses screening, yang melibatkan pengujian awal obat pada sejumlah kecil hewan dari jenis yang berbeda (biasanya 3 jenis hewan) ditambah uji mikrobiologi untuk menemukan adanya efek senyawa kimia yang menguntungkan. Pada tahap ini sering kali dilakukan pengujian yang melibatkan teratogenitas, mutagenitas dan karsinogenitas, disamping pemeriksaan LD50 dan toksisitas akut dan kronik. Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat. Dari uji ini diperoleh informasi tentang efficacy (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya perlu diuji pada hewan utuh. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau primata. Hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat. Karena hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau tidak. Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi : Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis. Kerusakan genetik (genotoksisitas atau mutagenisitas). Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas). Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas). Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil pengamatan pada hewan tersebut menentukan apakah calon obat tersebut dapat diteruskan dengan uji pada manusia atau tidak. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat untuk menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia. Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan. Akan tetapi belum semua uji
dapat dilakukan secara in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang dapat menggambarkan toksisitas pada manusia. Disamping itu, uji pada hewan percobaan ini juga dirancang dengan perhatian khusus pada kemungkinan pengujian obat itu lebih lanjut pada manusia atau uji klinis. Oleh karena itu, pada uji pra-klinis ini dirancang dengan pertimbangan : Lamanya pemberian obat itu menurut dugaan kepada manusia. Kelompok umur dan kondisi fisik manusia yang dituju, dengan pertimbangan khusus untuk anakanak, wanita hamil atau orang lanjut usia. Efek obat menurut dugaan pada manusia. Setelah melewati uji pra klinis, maka senyawa atau molekul calon obat tersebut menjadi IND (Investigational New Drug) atau obat baru dalam penelitian. Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia. Uji klinis pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki. Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu : Fase I, calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada manusia. Fase II, calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efficacy pada penyakit yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat. Fase III melibatkan kelompok besar pasien, di sini obat baru dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah diketahui. Selama uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah ada. Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional, di Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropa lain oleh EMEA (European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA (Therapeutics Good Administration). Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efficacy dan keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul dan lain-lain) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas. Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri
sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter. Fase IV, setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan ras. Studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan. Sebagai contoh cerivastatin suatu obatantihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal, Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat anti disentri amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan pada otot mata (SMON disease), fenil propanol amin yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan tekanan darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada pasien yang sebelumnya sudah mengidap penyakit jantung atau tekanan darah tinggi, troglitazon suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati.
Penemuan obat baru chemotherapeutica (New Chemical Entity/NCE) saat ini cenderung mengalami penurunan, karena diberlakukannya syarat yang sangat ketat untuk dapat diterima, diregistrasi dan diijinkan beredar sebagai obat. Hal ini berlaku di negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. Persyaratan ketat ini memerlukan penelitian farmakologi dan keamanan yang jauh lebih luas dan dengan sendirinya memerlukan biaya yang sangat tinggi. Jangka penemuan obat baru sejak awal ditemukan suatu bahan kimia baru sampai menjadi obat baru yang
diijinkan beredar memerlukan waktu 10 – 12 tahun dan biaya penelitian tidak kurang dari USD 300 juta untuk tiap NCE. Salah satu cara/inovasi yang dikembangkan di industri farmasi saat ini, terutama industri farmasi di negara-negara sedang berkembang adalah mengembangkan bentuk sediaan dengan sistem penghantaran obat yang baru (New Drug Delivery System/DDS), karena untuk penemuan senyawa obat baru diperlukan biaya yang sangat mahal sekali di mana tidak semua industri mampu melakukannya. Tujuan dari pengembangan DDS tersebut terutama ditujukan untuk perbaikan produk yang lama menghasilkan formulasi obat yang lebih manjur, aman, stabil, dapat diproduksi dalam skala besar dan konsisten, serta dengan biaya yang murah. Beberapa ―inovasi‖ DDS yang telah dikembangkan oleh industri farmasi saat ini antara lain adalah: 1. Oral Drug Delivery Rapid dissolving & taste making tablet, untuk mengatasi kesulitan pasien dalam menelan obat, terutama untuk anak-anak, orang lanjut usia serta pasien yang mengalami gangguan seperti kejang atau mual. Controlled, sustained and chronomodulated release tablets, terutama ditujukan untuk mengurangi frekuensi pemakaian obat (dosing), meningkatkan kenyamanan pasien (pasien tidak perlu minum 3-4 kali sehari dan menghindari/tidak perlu adanya pemakaian obat pada malam hari). Enhanced absorption technology, terutama ditujukan untuk pemakaian secara oral obatobat macromolekul. 2. Injectable Drug Delivery Needleless injection Long acting/sustained release injection (matrix, PEGylation, depot) Liposomal injection 3. Transmucosal Drug Delivery, contohnya Generex’s system, sebuah obat yang digunakan secara oral spray yang dilengkapi dengan metered dose. Contoh lain adalah Oralin, transoral insulin pertama. 4. Transdermal Drug Delivery, contohnya Hormone Replacement (testosterone, estradiol), Angina (nitroglycerin), Pain relief (fentanyl), Hypertension (clonidine), Motion sickness (scopolamine), Smoking cessation (nicotine), Depression (selegiline), ADHD (methylphenidate), CNS disorder (rotigotine). Perkembangan Bentuk Sediaan Obat (BSO) Agar dapat digunakan pasien secara aman, mudah, nyaman, efisien dan memberikan efek terapi yang optimal, bahan aktif (obat) harus diberikan dalam Bentuk Sediaan Obat (BSO). Bentuk Sediaan Obat dapat mengandung satu atau lebih komponen bahan aktif. Pada formulasi bentuk sediaan obat juga diperlukan berbagai macam bahan tambahan (excipient). Macam bahan tambahan tersebut sangat tergantung dari macam bentuk sediaan yang akan dibuat. Syarat utama suatu bahan agar dapat
digunakan sebagai bahan tambahan adalah bahwa bahan tersebut harus memiliki sifat yang netral (inert). Manfaat bentuk sediaan obat antara lain, adalah: (1) menutupi rasa pahit atau tidak enak dari bahan obat (bahan berkhasiat), (2) menjaga stabilitas bahan obat, (3) meningkatkan ketaatan penggunaan obat oleh pasien, dan (4) memberikan kerja obat yang optimal dan aman. Secara garis besar, berdasarkan bentuk sediaannya, obat dapat digolongkan menjadi 4 macam, yaitu : 1.
Bentuk sediaan padat. Contoh dari bentuk sediaan ini, antara lain: pulvis (serbuk tidak terbagi), pulveres (serbuk terbagi), tablet, tablet salut, dan kapsul keras serta kapsul lunak
2.
Bentuk sediaan cair. Contoh dari bentuk sediaan ini, antara lain:solutio (sirup), suspensi, dan emulsi
3.
Bentuk
sediaan
semi
(setengah)
padat.
Contoh
dari
bentuk
sediaan
khusus
sediaan
ini
antara
lain: unguentum (salep), cream, jel, dan pasta. 4.
Bentuk
sediaan
khusus.
Contoh
bentuk
ini
antara
lain:
injeksi,
supositoria, ovula, inhaler, aerosol, sediaantransdermal, dan lain-lain Agar efek terapi yang optimal dapat terwujud, maka pemilihan bentuk sediaan obat harus benarbenar dipertimbangkan dengan cermat dan hati-hati. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bentuk sediaan, antara lain: (1) bioavalabilitas obat, yaitu nilai kecepatan dan jumlah obat yang dapat sampai ke sirkulasi sistemik, (2) kondisi penyakit, yang berkaitan dengan tujuan penggunaan sediaan obat itu sendiri, apakah diperlukan pemberian secara sistemik atau lokal. Pemberian obat melalui mulut (per-oral) merupakan cara pemberian yang paling utama untuk memperoleh efek sistemik. Lebih dari 90% obat untuk sistem sistemik diberikan secara per-oral. Bila suatu obat baru ditemukan, perusahaan farmasi mula-mula akan menanyakan apakah obat tersebut dapat efektif seperti yang diharapkan bila diberikan melalui mulut. Namun demikian, salah satu tantangan terbesar para ahli dan peneliti bidang teknologi formulasi sediaan obat, terutama untuk sediaan per-oral adalah upaya untuk meningkatkan ketersediaan hayati (bioavailabilitas), terutama untuk obat-obat yang memiliki kelarutan kecil atau bahkan sukar larut. Beberapa teknologi formulasi sediaan obat sebagai upaya yang sudah dikenal untuk meningkatkan bioavailabilitas antara lain: pendekatan pro-drug, pembentukan garam, kompleksasi, perubahan bentuk fisik obat, metode dispersi padat, dan pemanfaatan bahan pembawa (carrier) serta pengecilan ukuran partikel. Saat ini, tengah dikembangkan suatu sistem penghantaran obat terbaru yaitu dengan penggunaan Nano Teknologi (Nanotech) sebagai sistem penghantaran obat masa depan. Nano teknologi adalah pemahaman dan pengaturan materi dengan dimensi 1 sampai 100 nanometer (nm). Nano teknologi mencakup teknologi rekayasa, penginderaan, pengukuran, pembuatan model dan manipulasi materi pada skala nanometer. Satu nanometer (nm) sama dengan sepermilyar meter (10-9m). Para ahli riset farmasi saat ini meneliti dalam skala mikro dan nano untuk mengembangkan metode drug delivery (penghantaran obat). Nano Teknologi merupakan terobosan
untuk mengoptimalisasi sistem penghantaran obat. Dengan pengolahan obat ke skala nano, maka obatobat yang sukar larut akan lebih bioavailable dan lebih aman. Selain perbaikan kelarutan, obat-obatan yang berbasis nanoteknologi memiliki kelebihan dibandingkan obat-obatan lainnya. Sebagai contoh, obat-obatan berbasis nano teknologi memberikan performa lebih baik dengan efek samping yang lebih minimal. Reseptor tertentu pada permukaan sel target akan lebih mudah mengenali obat sehingga obat akan lebih tepat sasaran dan meminimalkan efek samping obat pada sel-sel lain.
Pengembangan DDS dengan Nano Teknologi Nano teknologi merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan mengendalikan molekul dan atom individu untuk menciptakan peralatan yang beribu kali lebih kecil. Institut Nano Teknologi di Inggris mengekspresikan bahwa critical roledalam sains dan teknologi nano mencakup dimensi dan toleransi antara 0,1 – 100 nano meter (nm). Sebagai perbandingan, jarak karbon C60 sekitar 12 – 12 nm, DNA double-helix mempunyai diameter sekitar 2 nm, dan bacteriMycoplasma ukuran lebarnya sekitar 200 nm. Istilah Nano teknologi pertama kali disampaikan oleh Ricard P. Feynman’s pada tahun 1959, selanjutnya dikreasikan oleh K. Eric Drexler tahun 1986 dalam bukunya ―Engines of Creation‖. Sementara di Asia, Nano technology dikembangkan oleh Prof. Norio Taniguchi dari Tokyo Science University di tahun 1974, dalam tulisan ilmiah yang disampaikannya yaitu ―On The Basic Concept of Nano-technology‖, pada Japan Society of Precision Engineering. Sementara dalam dunia kefarmasian, ―nano teknologi‖ sebenarnya sudah digunakan oleh para ahli formulasi semenjak tahun 1970-an. Contohnya adalah teknik-teknik untuk mendapatkan ―Nano-emulsi‖ dan ―Nano-encapsulasi‖. Namun demikian penerapan langsung ilmu pengetahuan nano yang berkaitan dengan ―kemampuan untuk memanipulasi dan mengatur partikel pada ukuran nano‖ baru pada dekade terakhir ini menjadi bagian dari proses pengembangan dan banyak menimbulkan harapan dalam penggunaannya di masa depan dalam penghantaran obat langsung ke sasaran (targeted drug delivery). Beberapa teknik yang digunakan oleh industri farmasi saat ini untuk memperkecil ukuran partikel dan mengatur partikel ke ukuran yang diinginkan dalam kondisi terkontrol diantaranya adalah Milling (basah dan kering),supercritical fluid technology, spray drying, metode presipitasi dan rekristalisasi.
Milling atau penggilingan adalah teknik yang telah lama digunakan untuk memperoleh partikel berukuran mikro atau nano. Teknik milling dilakukan baik secara kering (dry milling) maupun tersuspensi dalam cairan (wet milling). Milling tetap merupakan pilihan yang populer karena lebih ekonomis, lebih cepat dan mudah untuk di-scale up. Dry milling yang dapat menghasilkan partikel dibawah ukuran 50 mikron biasa disebut mikronisasi. Mikronisasi diperoleh dari tumbukan antar partikel atau tumbukan partikel dengan medianya. Banyak zat obat-obatan yang dapat diproses menggunakan dry milling. Hal penting yang harus diperhatikan ketika melakukan dry milling adalah ukuran partikel yang ingin diperoleh, karakter fisik, jumlah dan faktor keamanan dari materi yang akan ditumbuk. Metode wet milling digunakan untuk memperoleh partikel padat yang berukuran dibawah 1 mikron sampai ke ukuran 50 – 150 nm. Metode ini dapat juga digunakan untuk obat-obatan yang sukar larut dalam air dan dapat menghasilkan obat-obatan dengan ukuran partikel 100 – 200 nm. Kisaran ukuran yang demikian cocok digunakan untuk obat inhalasi dan injeksi. Penambahan zat penstabil diperlukan untuk mencegah penggumpalan kembali partikel terlarut. Super Critical Fluid (SCF) Technology, merupakan pengembangan dari metode presipitasi yang sudah lama dikenal dalam metode pengecilan partikel. Kelebihan metode ini dibanding dengan metode penggilingan (milling) dan rekristalisasi adalah dihasilkannya nano-particles yang lebih murni dan memiliki efek terhadap lingkungan yang lebih baik. Secara sederhana prinsip pembuatan nanoparticles dengan metode ini adalah bahwa kelarutan bahan-bahan obat sangat tergantung dari besarnya tekanan dan suhu larutan. Tekanan diperoleh dengan cara memberikan gas CO 2 ke dalam sistem larutan tersebut. Selanjutnya campuran obat dengan gas CO2 tersebut kemudian disemprotkan untuk menghilangkan gas CO2-nya sehingga diperoleh partikel dengan skala mikro atau nano.
Obat-obat Berbasis Nano Technology Damge,
et.al.
(1988)
melaporkan
bahwa Insulin
Encapsulated dalam
PBCA
(Polyisobuthylcyanoacrylate), suatu nano partikel dalam polimer, dapat mengurangi Glycemia sebesar 50 – 60%, sementara insulin dalam bentuk bebas, tidak memberikan efek Glycemia jika diberikan secara oral. Sakuma S, Suzuki N, Kikuchi H, et al. (1997) dalam makalahnya ―Oral peptide delivery using nanoparticles composed of novel graft copolymers having hydrophobic backbone and hydrophilic branches‖, menyebutkan bahwa Salmon Calcitonin (sCT) yang diberikan dalam bentuk nano partikel dalam PNIPAAm (Poly[N-isopropylacrylamide]) terjadi peningkatan bioavailabilitas yang sangat signifikan jika dibandingkan dalam bentuk bebas, dalam memberikan efek hypoglycemia.
Selain itu penggunaan nano partikel ini juga menjadikannya lebih stabil terhadap enzim pencernaan. Saat ini telah tersedia dipasaran beberapa partikel nano dan mikro yang diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan dalam sistem penghantaran obat, terutama yang berkaitan dengan kelarutan suatu obat. Berikut adalah beberapa obat yang dibuat dengan Nano teknologi dengan beberapa keunggulannya dan telah dipasarkan di seluruh dunia. Beberapa obat anti kanker, saat ini juga dalam tahap penelitian dan pengembangan menggunakan teknologi Nano.
Emend® merupakan obat antiemetic yang terdapat dalam bentuk kapsul oral yang biasa digunakan bersamaan dengan chemotherapy. Emend® merupakannano crystallin particles yang dikembangkan oleh Merck & Co., Inc. Amerika Serikat dengan teknology nano dan telah memperoleh persetujuan US FDA pada tahun 2003. Teknologi ini mampu secara signifikan meningkatkan kecepatan
disolusi
dan bioavailability yang
dibutuhkan
oleh
obat-obat
yang
digunakan
dalam chemotherapy. Rapamune® merupakan obatimmunosuppressant yang dapat diberikan secara per-oral. Rapamune®dikembangkan oleh Wyeth-Ayerst Laboratories, Amerika Serikat dengan menggunakan nano technology, dan merupakan Rapamicyn (immunosuppressant) pertama yang dapat diberikan secara per-oral. Sebelumnya, Rapamicyn hanya tersedia dalam bentuk larutan dan harus disimpan dalam kondisi beku. Abraxane® merupakan obat kanker yang dikembangkan oleh American Bioscience inc., dan American Pharmaceuticals Partnerts, Inc., serta telah mendapat persetujuan US FDA pada tanggal 7 Januari 2005 sebagai obat kanker payudara. Kelebihan obat yang dikembangkan dengan teknologi nano ini dibandingkan dengan Paclitaxel lain adalah toleransi dosis yang lebih baik, dimana penggunaan Abraxane® tanpa harus dilakukan pemberian steroid terlebih dahulu, seperti halnya obat-obat kanker payudara lainnya. Sedangkan Rexin-G® merupakan obat anti kanker pankreas yang dikembangkan oleh Epeius Biotechnology Corp., yang menggunakan teknologi nano partikel dan telah disetujui oleh US FDA pada 15 Agustus 2003 untuk pengobatan kanker pankreas. Dibandingkan dengan obat sejenis, obat ini memiliki efektifitas yang jauh lebih baik dalam pengobatan penyakit kanker pankreas karena memiliki kemampuan ―mengenali‖ reseptor target yang lebih baik.
Dewasa ini aplikasi Nano teknologi dalam bidang pengobatan tidak terbatas pada pemrosesan partikel obat-obatan untuk meningkatkan kelarutan, bioavailabilitas maupun ekskresi obat saja, namun juga dikembangkan ke arah pengembangan perlengkapan, mesin atau alat berukuran nano yang berguna untuk pengobatan atau yang lazim disebut dengan nano-medicine. Salah satu penggunaan nano teknologi yang saat ini telah dikenal luas adalah aplikasi atom C60, yang lebih dikenal dengan buckyball, sebagai model untuk riset-riset skala nano. Hingga bulan April 2004, sesuai laporan majalah Nature Materialsmemperkirakan sekitar 130 nano-tech bidang farmasi sedang dikembangkan oleh berbagai industri farmasi di dunia. Majalah tersebut juga melansir, pada tahun 2004 saja, dari pemanfaatan nano-medicine oleh lebih 200 industri farmasi di seluruh dunia mampu meraup 6,8 milyard dolar, dan sekitar 3,8 milyard dolar dikeluarkan setiap tahunnya untuk pelaksanaan riset di bidangnano technology. Yang paling utama dalam penemuan ini adalah pengembangan bahan-bahan yang
disebut
dengan nano-particles dan pengujian bioavailabilitymolekul
dengan
mengamati
penyerapan molekul obat agar dapat diserap secara maksimal oleh tubuh. Dari pengalaman selama ini, para industriawan farmasi di Eropa memperkirakan lebih dari 65 Milyard dolar dari pemakaian obat menguap begitu saja sebagai akibat dari penggunaan obat yang tidak efektif sebagai akibat kurang memanfaatkan bioavailability obat.
Pustaka ———, 2007, A health check-up for global pharma, in Biospectrum, Asia Edition, Vol. 2. ———, 2007, Nanotech Dalam Industri Kesehatan, dalam Pharma Magazine, Vol. 1 Edisi kelima. Gennaro, A., R., Remington: The Science and Practice of Pharmacy, 20thEdition, Lippincott Williams & Wilkins, Maryland USA. Gupta, R.B., Kompella, V.B. (ed.), 2006, Nanoparticle Technology for Drug Delivery, Taylor & Francis Group, New York, USA Merkle, R.C., 2005, Nanotechnology and Medicine, Alcor Life Extention Foundation, USA. Priyambodo, B., 2007, Manajemen Farmasi Industri, Ed. 1, cetakan 1, Penerbit Global Pustaka Utama, Yogyakarta Sakuma S, Suzuki N, Kikuchi H, et al., 1997, Oral peptide delivery using nanoparticles composed of novel graft copolymers having hydrophobic backbone and hydrophilic branches, Int J. Pharm, 149:93–106. Widjanarko, P., 2007, Masa Depan Nano Tech Bagi Pengembangan Obat dan Bidang Pengobatan, dalam Pharma Magazine, Vo. 1 Edisi Keenam. Damge, C., Michel, C., Aprahamian, M., Couvreur P., 1988, New approach for oral Administration of insulin with polyalkylcyanoacrylate nanocapsules as drug carriers. Diabetes; 37: 246–251.
*)
Disampaikan dalam ―Penataran dan Uji Kompetensi Apoteker (PUKA)‖, Hotel Dana Surakarta 1 Februari 2008
**) Bambang Priyambodo, Production Manager PT. Berlico Mulia Farma Yogyakarta