MAKALAH
UJIAN AKHIR SEMESTER
MASYARAKAT DAN MANUSIA INDONESIA
Disusun oleh :
Ajeng Rizqy Bunga Negari
1406579233
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
Depok, 2015
4. Menurut J.S. Furnivall (1939), masyarakat Indonesia termasuk ke dalam
kategori masyarakat majemuk (plural society) di mana masih banyak
terjadi konflik dan perbedaan yang senantiasa menghiasi dinamika
kehidupan di Indonesia. Oleh karena kondisi masyarakat yang majemuk,
bangsa Indonesia mempunyai cita-cita untuk menjadi masyarakat yang
multikultural. Masyarakat multikultural ini, dengan banyaknya
differensiasi sosial yang ada, merupakan kondisi di mana masyarakat
majemuk telah mencapai suatu keharmonisan, saling menghargai,
kesederajatan dan mempunyai kesadaran tanggungjawab sebagai satu
kesatuan. Dengan demikian, masyarakat multikultural sudah pasti
merupakan masyarakat majemuk dan masyarakat majemuk belum tentu
termasuk ke dalam kategori masyarakat multikultural.
Akan tetapi, dalam usaha pencapaian cita-cita tersebut masyarakat Indonesia
masih mengalami beberapa hambatan karena keanekaragaman suku, agama ras dan
golongan berpotensi menyebabkan konflik bergenerasi antarkelompok
masyarakat (konflik horizontal) dan konflik antara masyarakat dan
Pemerintah (konflik vertikal). Konflik tersebut dapat mengarah kepada
disintegrasi. Salah satu faktor yang menjadi penyebab munculnya konflik
pada masyarakat majemuk adalah sikap etnosentrisme. Di lihat dari sisi
negatifnya, etnosentrisme dapat menyebabkan konflik karena setiap suku,
agama, ras dan golongan berusaha untuk memperoleh kekuasaan dengan cara
dominasi. Sikap tersebut dapat menjadi ancaman bagi terjadinya pelanggaran
HAM di Indonesia, terutama hak budaya yang dimiliki tiap-tiap komunitas
etnis.
Ditinjau dari pengertiannya, Hak Asasi Manusia adalah hak seorang manusia
yang sangat asasi yang tidak bisa diintervensi oleh manusia di luar dirinya
atau oleh kelompok atau oleh lembaga-lembaga manapun untuk meniadakannya.
Hak Asasi Manusia, pada hakekatnya telah ada sejak seorang manusia masih
berada dalam kandungan ibunya hingga ia lahir dan sepanjang hidupnya hingga
pada suatu saat ia meninggal dunia (A. Bazar Harahap dan Nawangsih Sutardi,
2007). Pelanggaran HAM dapat terjadi apabila seseorang atau suatu kelompok
masyarakat tertentu baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak
asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang
(UU No. 39 Tahun 1999).
Oleh karena itu, dalam konteks kebudayaan masyarakat majemuk sikap
etnosentrisme dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap HAM karena
perilaku tersebut tidak mengutamakan prinsip kesetaraan. Prinsip kesetaraan
menunjukkan bahwa segala perbedaan yang ada mempunyai kedudukan yang setara
dan setiap komunitas etnis di Indonesia memiliki hak atas budayanya
sendiri. Salah satu contoh sikap etnosentrisme di Indonesia yang mengarah
pada pelanggaran HAM adalah budaya carok dalam masyarakat Madura.
Menurut Latief Wiyata (2002), carok adalah tindakan atau upaya pembunuhan
yang dilakukan oleh seorang laki-laki apabila harga dirinya merasa terusik.
Secara sepintas, konsep carok dianggap sebagai perilaku tidak manusiawi
karena tidak memikirkan hak orang lain. Hal itu terjadi apabila konsep
carok dinilai dengan pandangan kebudayaan kelompok masyarakat lain yang
beranggapan bahwa menyelesaikan masalah dengan menggunakan kekerasan
dianggap tidak masuk akal dan tidak manusiawi. Namun, bagi masyarakat
Madura, harga diri merupakan konsep yang utama dan harus selalu dijunjung
tinggi dalam masyarakat. Oleh karena itu, terjadi perbedaan penafsiran
mengenai masalah carok antara masyarakat Madura dan kelompok masyarakat
lainnya karena tidak adanya pemahaman atas konteks sosial budaya terjadinya
perilaku carok tersebut dalam masyarakat Madura.
Selain itu, pelanggaran HAM juga terjadi dalam konflik antara etnis Madura
dan etnis Dayak. Salah satu yang juga menjadi pemicu penyebab konflik ini
adalah sikap etnosentrisme yang sangat tinggi antar kedua etnis tersebut.
Sistem kekerabatan etnis Madura yang sangat erat menciptakan pola pemukiman
penduduk yang terpisah dari etnis Dayak. Etnis Madura cenderung
mengelompokkan dirinya dalam satu kompleks perumahan yang isinya hanyalah
penduduk Madura saja, sehingga etnis Madura tidak dapat membaur dengan
etnis Dayak dan mengakibatkan proses asimilasi antar keduanya tidak terjadi
sama sekali. Oleh karena itu, perbedaan karakteristik yang dimiliki etnis
Madura dan etnis Dayak membuat kedua etnis tersebut masing-masing
menganggap kebudayaan merekalah yang paling baik. Hal ini ditunjukkan
dengan perilaku etnis Dayak yang ingin menghilangkan etnis Madura di
daerahnya dengan melakukan tindakan kekerasan dan perusakan karena mereka
menganggap etnis Madura sebagai sebuah ancaman bagi kehidupan etnis Dayak.
Tindakan diskriminasi itulah yang dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran
HAM.
Apabila dilihat dari kedua contoh masalah tersebut, sikap etnosentrisme
menjadi faktor utama penyebab pelanggaran HAM pada komunitas adat di
Indonesia. Tindakan penyelesaian yang dapat dilakukan terhadap masalah
tersebut agar tidak menjadi penghambat pembangunan nasional Indonesia yaitu
dengan cara mencapai komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif
seperti menghormati anggota budaya lain sebagai manusia, menghormati
budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang dikehendaki,
dan menghormati hak anggota budaya lain untuk bertindak berbeda dari cara
bertindak (Mulyana dan Rakhmat, 2001). Selain itu, peningkatan pemahaman
dan pengetahuan melalui Pendidikan Multikultural (The Study of Cultural
Diversity) juga diperlukan. Multikulturalisme tidak hanya berarti
keberagaman budaya, tetapi adanya pengakuan bahwa sebuah negara dan
masyarakat adalah beragam (Dufty, 1986).
Pada prinsipnya, pendidikan multikultural adalah pengembangan sikap dan
perilaku menghormati, menghargai antar sesama manusia. Melalui pendidikan
ini kita dapat menjadikan generasi baru yang tidak terkekang oleh
perspektif yang sempit dalam memahami kebudayaan dan sikap etnosentrisme.
1. Kearifan lokal merupakan sistem pengetahuan masyarakat lokal (indigenous
knowledge system) yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya,
kearifan lokal adalah hasil pengalaman masyarakat tertentu dan belum
tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan
melekat sangat kuat dalam masyarakat dan sudah melalui perjalanan waktu
yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut (Rahyono, 2009).
Bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa
nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk-bentuk
tersebut mengakibatkan fungsi kearifan lokal juga menjadi bermacam-macam,
antara lain kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian
sumber daya alam, mengembangkan sumber daya manusia, pengembangan
kebudayaan dan ilmu pengetahuan, dan berfungsi sebagai petuah,
kepercayaan, sastra dan pantangan (Sirtha, 2003).
Indonesia mempunyai berbagai macam bentuk kearifan lokal karena masyarakat
Indonesia sendiri berasal dari suku bangsa yang berbeda-beda. Seiring
dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan
modern serta adanya pengaruh globalisasi, nilai-nilai tradisional
masyarakat lokal tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya. Hal
ini perlu dicermati karena nilai-nilai tradisional mengandung banyak
kearifan lokal yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan
seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh.
Berkaitan dengan hal tersebut, kearifan lokal yang merupakan aset budaya
bangsa perlu dijaga dan dikelola kelestariannya. Pemerintah sebagai agen
pengelolaan kebudayaan berperan untuk mendorong kesadaran masyarakat
Indonesia dalam rangka menjaga dan melestarikan kebudayaan lokal maupun
kebudayaan nasional. Pada era Otonomi Daerah ini, kepala daerah dan
jajarannya diharapkan untuk selalu meningkatkan pemahaman mengenai aset
budaya yang dimiliki daerahnya dan juga memupuk kebanggaan terhadap aset
budaya di daerah yang mereka pimpin. Tujuan dilakukannya hal tersebut agar
aset-aset budaya dapat didayagunakan untuk kepentingan nasional, seperti
kegiatan pariwisata.
Disamping pemeliharaan dan pengelolaan aset budaya, Pemerintah juga
mempunyai andil untuk mengatasi berbagai hambatan budaya yang ada. Di
berbagai daerah masih banyak personil yang memiliki tanggungjawab untuk
mengelola budaya, tetapi belum memiliki pemahaman yang cukup tentang
eksistensi aset-aset budaya yang ada di daerah mereka, baik yang intangible
(tidak berwujud) maupun yang tangible (berwujud). Terdapat pula indikasi
bahwa sebagian pengelola kebudayaan tidak cukup paham mengenai berbagai
macam aset budaya daerah dan aset budaya nasional yang berpotensi menjadi
warisan budaya dunia dan kearifan lokal yang patut disosialisasikan dan
didayagunakan (Swasono, 2013).
Kebudayaan dapat digunakan sebagai landasan bagi terlaksananya pembangunan
nasional. Landasan tersebut berupa kebudayaan lokal dan kebudayaan nasional
yang sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Untuk mewujudkan pembangunan
nasional melalui usaha pengelolaan kebudayaan, Pemerintah juga perlu
mendapat dukungan dan bantuan dari masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah
sebaiknya membangun kemitraan dengan masyarakat dalam memberikan tempat
pada aktivitas mereka dalam melaksanakan berbagai kegiatan budaya.
Terdapat beberapa langkah konstruktif yang harus dilakukan Pemerintah dalam
upaya meningkatkan keberhasilan kemitraan dengan masyarakat (Swasono,
2013), yaitu :
a) Memberikan peluang bagi masyarakat untuk tetap memelihara, melestarikan
dan mengembangkan berbagai sumberdaya sosial-budaya yang berasal dari
masyarakat lokal yang bersangkutan.
b) Menegaskan peran Pemerintah untuk memelihara aset-aset budaya di
daerahnya yang memiliki dayaguna tinggi dan tersedia dalam kehidupan
masyarakat.
c) Menghindarkan fokus yang lebih besar pada pembangunan ekonomi daripada
pembangunan budaya. Hal ini dapat mempercepat putusnya transmisi
kebudayaan pada generasi selanjutnya karena masih diperlukannya
kepedulian terhadap asal-usul pembentukan bangsa Indonesia.
d) Kemitraan ditujukan untuk mengelola hubungan sosial, memperkuat
solidaritas antar masyarakat, dan menjaga multikulturalisme Indonesia
dari potensi konflik horizontal
e) Mendorong terjaganya kearifan lokal masyarakat melalui program-program
pengelolaan melalui pemberian apresiasi.
f) Memberikan insentif dana bagi para penutur, pemilik tradisional dan
proses pewarisannya kepada generasi muda sebelum tokoh yang bersangkutan
menutup usia.
g) Mensosialisasikan dan mempopulerkan nilai-nilai Pancasila melalui
kesenian rakyat dan dalam bidang pendidikan khususnya untuk pendidikan
karakter bangsa
3. Budaya Politik diartikan sebagai persepsi subyektif tentang sejarah
dan politik, keyakinan dan nilai-nilai mendasar, lokus identifikasi
dan loyalitas, serta pengetahuan dan harapan-harapan politik yang
merupakan produk dari pengalaman sejarah khusus dari bangsa/kelompok
(Brown, 1977). Budaya politik juga merupakan suatu sistem nilai
bersama masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk
masyarakat seluruhnya. Berkaitan dengan budaya politik tersebut,
Indonesia menganut sistem demokrasi di mana setiap warga negara harus
menjunjung tinggi makna dari demokrasi itu sendiri. Masykuri Abdillah
(1999) berpendapat bahwa prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas
prinsip persamaan, kebebasan, dan pluralisme. Budaya demokrasi di
Indonesia dapat dikatakan sebagai bentuk aplikasi atau penerapan nilai-
nilai yang terkandung dalam prinsip demokrasi itu sendiri. Dengan
demikian, tercerminlah prinsip-prinsip demokrasi dalam budaya
demokrasi.
Menurut Amien Rais (2000), salah satu parameter negara demokratis adalah
adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan. Bentuk dari pengambilan
keputusan dalam budaya demokrasi masyarakat Indonesia dilakukan melalui
musyawarah untuk mufakat. Musyawarah mufakat ini adalah bagian dari
demokrasi yang merupakan dasar dari stabilitas demokrasi di Indonesia.
Musyawarah mufakat juga mampu menghasilkan stabilitas demokrasi karena
konsensus ini memberikan hak kepada setiap individu kesempatan yang sama
untuk mengekspresikan keinginan mereka masing-masing.
Contoh sederhana musyawarah mufakat yang sering terjadi di dalam kehidupan
masyarakat yaitu pertikaian antarwarga. Setiap individu pasti memiliki
pendapat atau pandangan sendiri mengenai penyebab suatu permasalahan.
Individu-individu yang terlibat dalam musyawarah tersebut harus menerapkan
budaya demokrasi yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia. Sikap
kekeluargaan, saling menghargai pendapat orang lain dan tidak memaksakan
kehendak sendiri diharapkan mampu menciptakan konsensus dalam penyelesaian
masalah. Apabila musyawarah tersebut telah mencapai kesepakatan atau
mufakat, setiap individu harus menerima dengan lapang dada apapun bentuk
keputusannya karena merupakan hasil dari keputusan bersama. Musyawarah
mufakat ini menunjukkan perilaku warga negara yang demokratis, menjunjung
tinggi nilai-nilai perbedaan dan kebebasan berpendapat.
Tantangan masa depan demokrasi di negera Indonesia ini adalah bagaimana
mendorong berlangsungnya proses proses yang diperlukan untuk mewujudkan
nilai-nilai madani dalam civil society. Perwujudan beberapa titik penting
pandangan demokratis yang harus menjadi pandangan hidup bagi masyarakat
yang ingin mewujudkan cita-cita demokrasi dalam wadah yang disebut
masyarakat madani (civil society) antara lain (Nurcholis, 2007) :
a) Pentingnya kesadaran kemajuan atau pluralisme;
b) Berpegang teguh pada prinsip musyawarah;
c) Menghindari bentuk-bentuk monolitisme dan absolutisme kekuasaan;
d) Meyakini dengan tulus bahwa kemufakatan merupakan hasil akhir dari
musyawarah
e) Memiliki perencanaan yang matang dalam memenuhi basic needs yang sesuai
dengan cara-cara demokratis
f) Pendidikan demokrasi dalam sistem pendidikan
Dengan demikian, untuk mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara
menuju civil society, maka budaya demokrasi tersebut harus dibangun dan
dipelihara dengan seefektif mungkin.
5. A. Globalisasi
Globalisasi adalah gagasan yang relatif baru dalam ilmu sosial. Arus
pemikiran dan kerangka berpikir utama dari ide globalisasi saat ini adalah
mengenai persoalan yang masuk ke dalam hal yang sifatnya kontemporer dan
tidak dapat dipahami hanya dalam konteks di tingkat nation-state. Persoalan
yang dimaksud tidak hanya dalam konteks masyarakat nasional namun juga
sudah mencakup kedalam persoalan global yang mendunia, yang telah melampaui
tingkat nation-state. (Sklair, 2008). Teori sistem global yang mendunia
tersebut memiliki karakteristiknya sendiri, yaitu "berpikir secara global,
bertindak lokal". Yang dimaksud disini adalah bahwa persoalan globalisasi
haruslah dipikirkan secara luas dan sifatnya universal yang kemudian
penerapannya disesuiakan dengan kebutuhan di tingkat nation-state.
Leslie Sklair mengelompokkan kajian globalisasi dalam empat pendekatan yang
saling berkaitan yaitu the world-systems approach; the global culture
approach; the global society approach; dan the global capitalism approach.
Pendekatan sistem dunia (the world-systems approach) didasarkan pada
pembedaan diantara peran inti negara bangsa, semiperiferal dan periferal
dalam pengertian perubahan peran mereka dalam pembagian tenaga kerja
internasional yang didominasi oleh sistem kapitalisme dunia. Meskipun
kemampuan penjelasan dari teori sistem dunia ini tidak dapat dikatakan
sebagai bagian dari globalisasi, institusionalisasi dari pendekatan ini
niscaya akan menjadi landasan bagi teori globalisasi dalam ilmu-ilmu
sosial. Kelemahan dari pendekatan sistem dunia terlalu menekankan pada satu
aspek dari proses globalisasi dan kurang memberi perhatian dimensi lain
dari proses tersebut.
Pendekatan budaya global (global society approach) berasal dari penelitian
dalam globalisasi budaya (Globalization of Culture). Pendekatan ini
mempunyai fokus bahasan terhadap masalah- masalah yang berhubungan erat
dengan homogenisasi budaya. Oleh karena itu, pendekatan ini bersifat
komplementer. Berbeda dengan pendekatan sistem dunia, pendekatan ini
memberi prioritas pada budaya dibandingkan dengan fenomena politik dan
ekonomi, serta terdapat common interest menyangut pertanyaan mengenai
bagaimana individu atau identitas nasional dapat bertahan dalam menghadapi
munculnya budaya global. Dasar dari pendekatan ini adalah percepatan dalam
bidang teknologi komunikasi seperti persebaran media massa. Salah satu yang
menjadi kelemahan adalah bahwa budaya global masih menjadi suatu hal yang
problematis apakah sebagai realitas, kemungkinan, atau fantasi.
Kemudian pendekatan masyarakat global (global society approach) mengenai
Space Time Distanction dari Giddens (1991) dan Time Space Compression dari
Harvey (1989) mengilustrasikan bagaimana proses globalisasi memanfaatkan,
meluaskan, memperdalam ruang waktu untuk semua orang di dunia dan
selanjutnya menciptakan kondisi bagi masyarakat global. Kritik mendasar
tentang pendekatan ini adalah bahwa ini merupakan pendekatan yang agak
provokatif ketika pendekatan ini secara relatif mudah untuk membuktikan
secara nyata dimensi objektif dari globalisasi sambil mereka melibatkan
diri dalam mayoritas besar dari masyarakat dunia.
Pendekatan kapitalisme global meletakkan kekuatan dominan global dalam
struktur kapitalisme yang lebih mendunia. Ross dan Trachte (1990)
memfokuskan secara spesifik kapitalisme sebagai suatu sistem sosial yang
dapat dianalisis dalam tiga tingkatan yaitu tingkat logika internal sistem,
tinkat struktural dari sejarah pembanunan, tingkatan spesifik dari
pembentukan sosial atau masyarakat. Teori ini dihubungkan dengan bagaimana
transnational capitalist class dan ideologi konsumerisme beroperasi dalam
rangka melakukan transformasi dunia sebagai proyek kapitalis global.
B. Cyber-community
Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang sangat pesat telah
mengubah tatanan sistem ekonomi, politik, dan budaya masyarakat dunia. Hal
tersebut bukanlah hal yang baru, perlu diketahui bahwa masyarakat global
tersebut memainkan peran dalam pembentukan network society (Castells,
1996). Network Society memperlihatkan adanya perubahan yang signifikan di
mana orang di seluruh dunia bisa menjadi lebih fleksibel, tidak ada batasan
ruang dan waktu.
Manuel Castells (1996) mengatakan bahwa bukanlah sebuah "desa" yang
dikatakan seragam, melainkan masyarakat dalam jaringan global yang saling
terhubung lewat New Media, Network Society. Menurutnya, media tidak lagi
merupakan media massa melainkan menjadi media jaringan, atau jaringan
interaktif multimedia, yang akan menjadikan komunikasi dunia suatu jaring-
jaring raksasa, suatu dunia yang saling terhubung. Teori Castells tentang
network society adalah sebuah bentuk jaringan yang mewakili morfologi
sosial baru sebuah masyarakat dan penyebaran logika networking secara
substansial memodifikasi operasi dan hasil di dalam proses produksi,
pengalaman, kekuasaan, dan budaya.
Hal tersebut berkaitan dengan public sphere. Public sphere atau ruang
publik adalah ruang terjadinya berbagai diskusi, dialog, deliberasi maupun
debat mengenai suatu permasalahan publik, di mana setiap individu sebagai
bagian dari publik mempunyai porsi yang sama dalam berpendapat dan dijamin
kebebasannya dari intervensi dan restriksi pihak lain sehingga tidak
memunculkan hegemoni opini namun menumbuhkan opini publik yang diharapkan
akan membantu munculnya kebijakan publik yang adil (Jurgen Habermas, 1962)
Contoh dari ruang publik yaitu melalui media massa yang dapat menjadi
sarana terwujudnya nilai-nilai demokrasi.
Ruang publik diklasifikasikan menjadi tiga ciri utama. Ciri pertama ruang
publik menyajikan peluang komunikasi dalam arti luas. Komunikasi pantas
dilakukan dengan cara bertatap muka secara langsung, seperti di kedai kopi,
public hearings, town meetings dan tempat lainnya apabila berada di bawah
konsep dasar komunikasi. Bentuk lain melalui koran, media penyiaran, dan
internet juga sesuai dalam beberapa kondisi. Ciri kedua, ruang publik
adalah "publik" di mana setiap orang dapat masuk ke dalam ruang tanpa ada
kendala dengan melihat perbedaan etnis, agama, gender atau kedudukan
ekonomi, dan ruang mereka bersifat terbuka; diskusi dan keputusan tidak
terjadi dalam ruang yang tertutup atau jaringan pribadi. Ciri ketiga, ruang
publik menjadi perantara antra masyarakat dengan institusi, mereka yang
tidak mempuyai kekuasaan dan mereka yang memegang kekuasaan. Tanpa adanya
hubungan ini, percakapan akan menjadi tidak efektif apabila hanya terjadi
pada zona walled-off.
Ruang publik memerlukan suatu proses publik yang deliberatif di mana harus
terdapat kesetaraan suara, setidaknya dalam pengambilan keputusan. Hal
tersebut meliputi tiga gagasan kritis; deliberative, public, dan process.
Deliberative berarti waktu yang cukup harus dialokasikan untuk mendengarkan
dan menentukan beberapa sudut pandang. Public berarti sebuah diskusi
seharusnya dilakukan di tempat yang terbuka agar dapat diteliti oleh semua
orang. Process meliputi bagaimana prosedur dalam mengangkat, mendiskusikan,
dan menyikapi kepentingan harus jelas dan diketahui secara luas.
DAFTAR PUSTAKA
Herimanto dan Winarto. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi
Aksara.
McKee, Alan. 2005.The Public Sphere: An Introduction. Cambridge: Cambridge
University.
Ohoiwutun. 1997. Sosiolinguistik, Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat
dan Kebudayaan. Jakarta: Visipro.
Ridwan, N. A. 2007. "Landasan Keilmuan Kearifan Lokal", IBDA, Vol. 5, No.
1, Jan-Juni 2007, hal 27-38, P3M STAIN, Purwokerto.
Saraswati, L.G., dkk. 2006. Hak Asasi Manusia:Teori, Hukum, Kasus. Depok:
Filsafat UI Press.
Schuler, Douglas dan Peter Day. Shaping The Network Society : The New Role
of Civil Society in Cyberspace.
Swasono, Meutia. 2013. "Pengelolaan Kebudayaan : Kemitraan Pemerintah dan
Masyarakat".
Wiyata, Latief. 2002. Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.
Yogyakarta : LKIS.
Zubair, Achmad. "Membangun Kesadaran Etika Multikulturalisme di
Indonesia", Jurnal Filsafat No. 2, Agustus 2003, Fakultas Filsafat
Universitas Gajah Mada.