MAKALAH STUDI KASUS FARMASI RUMAH SAKIT DAN KLINIK GERD
‘’
”
Dosen pengampu : Dwi Ningsih, M.Farm., Apt.
Kelompok 3 (A3) : 1. Farida
1820353892
2. Fatmawati A. Djahuno
1820353893
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SETIA BUDI 2018
BAB I GERD
A. Pengertian GERD
Gastroesophageal
Reflux
Disease
(GERD/
Penyakit
Refluks
Gastroesofagel) adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme antirefluks untuk melindungi mukosa esophagus terhadap refluks asam lambung dengan kadar yan abnormal dan paparan yang berulang. Gastroesophageal refluks (GERD) adalah kondisi di mana esophagus mengalami iritasi atau inflamasi karena refluks asam dari lambung. Refluks terjadi ketika otot berbentuk cincin yang secara normal mencegah isi lambung mengalir kembali menuju esophagus disebabkan esophageal sphincter bagian bawah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Refluks asam sendiri merupakan suatu pergerakan dari isi lambung dari lambung ke esophagus. Refluks ini sendiri bukan suatu penyakit, bahkan keadaan ini merupakan keadaan fisiologis. Refluks ini terjadi pada semua orang, khususnya pada saat makan banyak tanpa menghasilkan gejala atau tanda rusaknya mukosa esophagus. Tubuh manusia hakikatnya mencai keseimbangan dalam segala bentuk. GERD adalah sederhana dari ketidakseimbangan pH dalam jangka panjang. Ketika terlalu banyak mekanan asam dikonsumsi, lambung tidak dapat mencerna secara lengkap. Makanan lebih yang tidak dicerna kemudian diubah menjadi sampah asam yang menyebabkan kejang perut atau kejang yang mengarah pada peningkatan produksi gas. Gas ini meningkatkan tekanan untuk membuka katup antara esophagus dan lambung sehingga asam lambung kembali ke tenggorokan. B. Epidemiologi
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dapat ditemukan pada semua umur, umum ditemukan pada populasi di negara-negara barat, namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara-negara Asia-Afrika. Di Amerika dilaporkan
bahwa 1:5 orang dewasa mengalami refluks (heartburn dan/atau regurgitasi) sekali dalam seminggu serta lebih dari 40% mengalami gejala tersebut sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di Amerika Serikat mendekati 7%, sementara di negara-negara non-westerin prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di Korea). Prevalensi GERD meningkat pada meningkat pada orang tua ≥ 40 tahun. GERD terjadi pada sebagian umum laki-laki daripada wanita. Rasia kejadiaan laki-laki dan wanita untuk esophagitis adalah 2:1 – 3:1. Rasio kejadiaan laki-laki dan perempuan untuk Barrettesofagus adalah 10:1. Di Indonesia sendiri belum ada data epidemiolodi mengenai penyakit ini, namun di Divisi Gastroenterohepatologi Departemen IPD FKUI – RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalai pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia. C. Etiologi
Penyakit gastroesofageal refluks bersifat multifaktorial. Hal ini dapat terjadi oleh karena perubahan yang sifatnya sementara ataupun permanen pada barrier diantara esophagus dan lambung. Selain itu juga, dapat disebabkan oleh karenas fingter esophagus bagian bawah yang inkompeten, relaksasi dari sfingter esophagus bagian bawah yang bersifat sementara, terrganggunya ekspulsi dari refluks lambung dari esophagus, atau pun hernia hiatus.
D. Patofisiologi
Penyakit
refluks gastroesofageal
bersifat
dapat sebagai akibat dari refluks gastroesofageal
multifaktorial.
Esofagitis
apabila: 1). terjadi kontak
dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa, 2). terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak
lama.
Esofagus dan
gaster
dipisahkan oleh
suatu
zona tekanan tinggi
(high
pressure
esophagealsphincter
zone)
(LES).
yang
Pada
dihasilkan
individu
oleh
normal,
kontraksi
pemisah
ini
lower akan
dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik gaster ke esofagus melalui LEShanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 rnmHg). Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme: 1. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat. 2. Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan. 3. Meningkatnya tekanan intra abdomen.
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik. 1.
Pemisah Antirefluks (Lini Pertama) Pemeran
terbesar
pemisah
antirefluks
adalah
tonus
LES.
Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograd pada saat terjadinya peningkatan tekanan intrabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES: a. Adanya hiatus hernia. b. Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya). c. Obat-obatan sepertiantikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain. d. Faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES. Namun dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahuluiproses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung lambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung. Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial.Banyak
pasien
GERD
yang
pada
pemeriksaan
endoskopi
ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus LES 2. Bersihan Asam dari Lumen Esofagus (Lini Kedua) Faktor-faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi, peristaltik, ekresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esophagus. Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan refluksat dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD ternyata memiliki waktu transitesofagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltik esofagus yang minimal. Refluks malam hari (nocturnal reflex) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan esofagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esophagus tidak aktif. 3. Ketahanan Epitelial Esofagus (Lini Ketiga) Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisanmukus yang melindungi mukosa esofagus. Mekanisme ketahanan epitelial esofagusterdiri dari: Membran sel Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke
jaringan esofagus. Aliran
darah
esofagus
yang
mensuplai
nutrien,
oksigen
dan
bikarbonat, sertamengeluarkan ion H+ dan CO2. +
Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H
dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraselular.
Nikotin
dapat
menghambat
transport ion
Na+ melalui
epitel
esofagus,sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H+. Yang dimaksud dengan factor ofensif adalah potensi daya rusak adalah potensi dayarusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksatterdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, enzim pancreas. Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada pH <2,atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memilikipotensi daya rusak paling tinggi adalah asam. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain: dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying. Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam pathogenesis GERD relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett' esophagus dan adeno karsinoma esofagus. Pengaruh dari infeksi H.pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H.pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antralgastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H.pylori dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada
pasien-pasien dengan gejala GERD pra infeksi H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi H.pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H.pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H.pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka Panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori dianjurkan padapasien GERD sebelum pengobatan PPl jangka panjang. Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud dengan non-acid reflux antara lain berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asamatau refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karenahipersensitivitas viseral. E. Manifestasi Klinik
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak diepigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang- kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan keluhan pada serangan angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makanmakanan padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrett' es esofagus. Odinofagia (rasa sakit pada waktu menelan makanan Pada waktu menelan makanan) dapat timbul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat. GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest
pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya bronkiektasis atau asma. Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah gastroesophagealhigh pressures zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan toms LES (misalnya theofilin). Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episodeakut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien dengan GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik. F.
Diagnosa
Di
samping
anamnesis
dan
pemeriksaan
fisik
yang
seksama,
beberapa:pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnoses GERD, yaitu: 1) Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas Pemeriksaan endoskopi saluran cema bagian atas merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esophagitis refluks). Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan, mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai non-erosive reflex disease (NERD). Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan
dengan
pemeriksaan
histopatologi
(biopsi),
dapat
mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan
oleh
GERD.
Pemeriksaan
histopatologi
juga
dapat
memastikan adanya Barret’s esophagus displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaanhistopatologi/biopsi pada NERD.
2) Esofagografi dengan Barium Dibandingkan dengan endoskopi pemeriksaan ini kurang peka dan sering kali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinging dan lipatan mukosa, atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitif untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyainilai lebih dari endoskopi, yaitu pada a) Stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia. b) Hiatus hernia 3) Pemantauan pH 24 jam Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distalesofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkanmikroelektroda pH pada bagian distal esofagus. pengukuran pH pada esofagus bagiandistal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH di bawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal. 4) Tes Bernstein Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari sam jam. Test ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam padapasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeridada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esofagus. 5) Manometri Esofagus
Test manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien pasiendengan gejala nyeri epigastriurn dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografibarium dan endoskopi yang normal. 6) Sintigrafi Gastroesofageal Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan cair dan padatyang dilabel dengan radioisotop yang tidak diabsorpsi, biasanya technetium. Selanjutnya sebuah penghitung gamma (gamma counter) eksternal akan memonitortransit dari cairan/ makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas test inimasih diragukan 7) Penghambat
Pompa
Proton
(Proton
Pump
Inhibitor
/PPI
Test/
Tessupresiasam) Acid Supression Test. Pada dasarnya test ini merupakan terapi empirik untuk menilai gejala dari GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1 -2 minggu sambil melihat respons terjadi. Test ini terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas diagnostik seperti endoskopi, pH metri dan lain-lain. Test ini dianggap positif jika terdapatperbaikan dari 50%-75% gejala yang teriadi. Dewasa ini terapi empiric/PPI test merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama. Untuk pasien-pasien yang tidak disertaidengan gejala alarm (yang dimaksud dengan gejala alarm adalah: berat badan turun,anemia, hematemesis/melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan kanker esofagus/lambung) dan umur >40 tahun. G. Tatalaksana Terapi 1. Tujuan terapi
Tujuan dari pengobatan adalah untuk meringankan/mengurangi gejala , mengurangi frekuensi dan durasi refluks gastroesofagus, meningkatkan penyembuhan mukosa yang terluka dan mencegah berkembangnya komplikasi.
2.
Terapi non farmakologi
Perubahan gaya hidup tergantung dari kondisi pasien. Perubahan gaya hidup yang dapat dilakukan antara lain:
Meningkatkan posisi kepala saat tidur atau berbaring.
Mengurangi berat badan bagi pasien dengan obesitas
Menghindari makanan yang dapat menurunkan tekanan sfincter esofagus (LES) dan makanan yang dapat mengiritasi mukosa esofagus
Megkonsumsi makanan yang kaya protein untuk meningkatkan tekanan sfincter esofagus (LES)
Makanan makanan dalam jumlah sedikit dan hindari makan dalam jumlah banyak sekaligus terutama pada 2-3 jam sebelum tidur
Berhenti merokok, minum minuman beralkohol,
Hindari memakai pakaian yang ketat
Jika akan menkonsumsi obat yang dapat mengiritasi mukosa esofagus, maka harus diminum dengan posisi tegak dan dengan air yang banyak.
3. Terapi farmakologi
Terapi di kategorikan dalam beberapa fase. Fase I
: untuk pasien dengan gejala ringan terpai dapat dilakukan
dengan mengubah gaya hidup dan dianjurkan terapi dengan menggunakan antasida
dan/atau OTC antagonis reseptor H2 (ARH2) atau inhibitor
pompa proton (IPP). Fase II
: untuk pasien dengan gejala GERD, intervensi farmakologi
terutama engan obat penekan asam dosis tinggi. Fase III
: untuk pasien yang telah mengalami esofagitis dan gejala
GERD sedang hingga berat, diikuti dengan intervensional terapi (pembedahan antirefluks atau terapi endoluminal)
BAB II STUDI KASUS KASUS 3 : GERD Kasus 3. GERD Ny. A , 30 tahun datang ke KDK FKUI kiara pada tanggal 11 juni 2013 dengan keluhan sesak nafas disertai nyeri dada, perut perih, batuk, tenggorokan terasa asam dan pahit. Hal ini dirasakan setiap saat sejak 2 minggu yang lalu. Pada tanggal 14 juni 2013 pada saat kunjungan, pasien dalam keadaan dapat berjalan aktif, duduk aktif, tampak pucat. Keluhan yang masih dirasakan adalah badan masih terasa lemas. Aspek personal dari pasien berupa keluhan sesak nafas sejak ± 2 minggu. Harapan pasien keluhan sesak dapat sembuh. Pasien khawatir sesak dapat berakibat lebih buruk. Persepsi tentang sesak berasal dari nyeri perut. Faktor internal yaitu wanita, dewasa muda (30 th), kebiasaan pola makan yang tidak teratur, kebiasaan terlalu memikirkan masalah sampai stress. Pada pemeriksaan fisik tampak sakit ringan, tekanan darah : 110/70 mmHg, Nadi : 80 x/menit, Frekuensi napas 16 x/menit, suhu 36,6oC. Berat badan 73 kg, tinggi badan 157 cm, IMT 29,6. Konjungtiva sedikit anemis. Telinga, hidung, tenggorok, paru, dan jantung dalam batas normal. Abdomen cembung simetris, nyeri tekan sekitar ulu hati, perkusi timpani dan auskultasi bising usus normal. Riwayat pengobatan : salbutamol, teofilin, dan antasida doen. Tetapi gejala sesak nafas juga belum membaik. Diagnose dokter pasien menderita GERD.
PENYELESAIAN ANALISIS KASUS
Penyelesaian kasus dengan menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Assement, dan Plan) pada kasus ini adalah sebagai berikut : SUBYEKTIF
Nama
: Ny. A
Umur
: 30 tahun
Jenis Kelamin
: wanita
Alamat
:-
Keluhan Utama
:sesak nafas disertai nyeri dada perut perih, batuk, tenggorokan
terasa asam dan pahit, dan keluhan sesak nafas sejak ± 2 minggu. Badan masih terasa lemas
OBYEKTIF
Tinggi badan
: 157 cm
Berat badan
: 73 kg
Tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi 80 x/menit R espiration rate 16x/ menit Suhu 36,60C IMT 29,6
Form Data Base PasienUntuk Analisis Penggunaan Obat
FORM DATA BASE PASIEN UNTUK ANALISIS PENGGUNAAN OBAT
Identitas Pasien
Nama
: Ny. A
Umur
: 30 thn
Jenis kelamin
: Wanita
Alamat
:-
Riwayat Penyakit Terdahulu : -
Riwayat Sosial
Kegiatan Pola makan/diet
Tidak teratur
Merokok
Ya / tidak ................batang/hari
Meminum Alkohol
Ya / tidak
Meminum Kopi
Ya / tidak
Meminum Obat herbal
Ya/ tidak
Riwayat Alergi : RIWAYAT PENYAKIT DAN PENGOBATAN NAMA PENYAKIT
TANGGAL/TAHUN
RIWAYAT OBAT SEBELUMNYA
-
-
Salbutamol, teofilin, dan antasida doen
KELUHAN / TANDA UMUM TGL Subyektif
-
Obyektif
sesak nafas disertai nyeri Tekanan
Normal
Ket.
darah 120/80
dada perut perih, batuk, 110/70 mmHg,
normal
mmHg
tenggorokan terasa asam dan pahit, dan keluhan Nadi 80 x/menit
60-100
sesak nafas sejak ± 2
x/menit
minggu.
Badan
terasa lemas
Normal
masih R espiration
rate 16-20x/
16x/ menit
menit
Suhu 36,60C
36,5
Normal
0
C
- Normal
37,50C IMT 29,6
IMT 22,7
Tinggi
Obat yang digunakan saat ini Rute
No
Nama Obat
Indikasi
Dosis
1.
Salbutamol
Meredakan
tidak dijelaskan
Tidak
bronkospasme
dikasus tetapi
pada asma dan
Interaksi
ESO
Outcome
Tidak ada interaksi
Tremor, ketegangan, sakit
Meringankan/meng
dijelaskan di
antara obat yang
kepala, kram otot,
hilangkan rasa
dosis sediaan
kasus, tetapi
digunakan
palpitasi, takikardi,
sesak dada
obstruksi
salbutamol table
rute yang
saluran nafas
2 mg, 4 mg,
dapat
Pemberian
reversibel
diberikan PO
lainnya
dan nabule
aritmia, urtikaria
dan inhaler 2.
Teofilin
Obstruksi
tidak dijelaskan
saluran nafas
Tidak ada interaksi
Takikardi, palpitasi, mual
Meringankan/meng
dikasus tetapi
antara obat yang
dan gangguan saluran
hilangkan rasa
reversible, asma
dosis sediaan
digunakan
cerna yang lain, sakit
sesak dada
akut dan berat
teofilin kapsul
kepala, insomia, aritmia
130 mg, tablet
dam konvulsi
150 mg dan tablet retard 250 mg
PO
3.
Antasida doen
Meringankan
tidak dijelaskan
Tidak
Tidak ada interaksi
Gamgguan saluran cerna,
Mengurangi atau
gejala kelebihan
dikasus tetapi
dijelaskan di
antara obat yang
gangguan absorpsi fosfat
meringankan sakit
asam lambung,
dosis sediaan
kasus, tetapi
digunakan
GERD
antasid yaitu
antasida
tablet 200 mg
sediaannya
dan suspensi
ada tablet dan
200 mg/5 ml
suspensi (PO)
GERD
ASSASMENT
Problem medic GERD
Subyektif
Objektif
Terapi
DRP
Nyeri dada, perut perih,
Tidak ada
Antasida doen
Obat kurang
tenggorokan terasa asam dan
pemeriksaan
pahit
laboratorium
tepat
Analisis
Obat kurang tepat, dimaksudkan bahwa penggunaan obat sebenarnya sudah sesuai dengan guadline (Dipiro ed 9) tetapi pada saat kunjungan 3 hari setelah periksa pasien belum ada perubahan, sehingga perlu diberikan terapi yang lain atau dapat dikombinasi sesuai dengan guadline (Dipiro dan jurnal IDI, 2017). Dipiro ed 9 menjelaskan bahwa penyakit GERD ini dapat diberikan terapi perubahan gaya hidup + antasida and atau H2RA/ PPI.
Asma
sesak nafas sejak ± 2 minggu,
Tidak ada
Salbutamol dan
batuk
pemeriksaan
teofilin
laboratorium
Polifarmasi
Pasien diberikan terapi obat yang keduanya merupakan bronkodilator sehingga bisa terjadi polifarmasi. Dari kedua obat itu dapat digunakan salah satu
obat saja. Anemia
Konjungtiva sedikit anemis,
Tidak ada
pucat, dan tampak lemas
pemeriksaan laboratorium
Belum diterapi
Indikasi tanpa
Karena pasien mengalami konjungtiva
obat
sedikit anemis, pucat dan lemas (merupakan gejala dari anemia) sehingga perlu diberikan terapi
PLAN
1. Untuk problem medik GERD menurut literatur (dipiro ed 9) dapat diberikan terapi dengan perubahan gaya hidup + antasida and atau H2RA/ PPI. Tapi pada kasus pasien saat kunjungan 3 hari setelah periksa, pasien masih tampak lemas dan belum ada berubahan sehingga perlu diberikan terapi lain atau dapat diberikan terapi kombinasi. Untuk terapi GERD ini kita berikan terapi golongan PPI yaitu omeprazole 20 mg sehari sekali sebelum makan. (seuai dengan tatalaksana terapi dipirp ed 9 dan didukung oleh jurnal IDI, 2017) 2. Untuk terapi asma pada pasien yang diberikan salbutamol dan teofilin ini dapat diberikan salah satu obat saja yaitu salbutamol dan teofilin dapat dihentikan 3. Untuk anemia yang dialami pasien dari tanda-tanda pasien pucat, lemas, dan mengalami konjungtiva sedikit anemis dapat diberikan terapi ferro sulfat sehari satu kali
MONITORING
1. Monitoring tanda vital pasien (RR, Tekanan Darah, Heart rate, dan suhu badan) 2. Monitoring frekuensi dan keparahan gejala – gejala yang non spesifik seperti batuk, non alergi asma atau sakit pada dada dan juga gejala spesifik seperti Heartburn . 3. Memonitoring gejala – gejala yang membutuhkan terapi medis seperti disphagia (gangguan pada esophagus sehingga kesulitan dalam menelan) dan odinofagia. 4. Monitoring kepatuhan pasien dalam penggunaan obat terutama pengobatan untuk GERD 5. Keadaan tubuh pasien (Pucat)
KIE PASIEN
1. Menjelaskan
kepada
pasien
untuk
mengurangi
Stress
karena
dapat
meningkatakan Asam lambung sehingga dapat memperparah penyakit GERD pada pasien
2. Menjelaskan
kepada
pasien
untuk
mengurangi
makan
makanan
yang
mengandung lemak dan daging serta makanan lain yang dapat merangsang asam lambung dan menyebabkan refluks 3. Makan tidak boleh terlalu kenyang dan makan malam paling lambat 3 jam sebelum tidur 4. Pasien disarankan untuk tidak terlalu Stress dengan melakukan kegiatan pasien sukai hal yang positif, hindari tidur setelah makan.
5. Sesuai dengan guadline pasien diharapkan melakukan modifikasi pola hidup/merubah gaya hidup dan ditambah dengan terapi-terapi obat diatas supaya terapi dapat maksimal
DAFTAR PUSTAKA
Dadang Makmun. Management of gastroesophageal reflux Gastroenterology,Hepatology and Digestive Endoscopy 2001.
disease.
DiPiro, S, et al , (2010). Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. Dipiro, Joseph T. 2012. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, Ninth Edition. The McGraw-Hill Companies: USA Dent J. Definition of reflux disease and its separation from dyspepsia. Gut 2002. Fass R, Ofman JJ. Gastroesohageal reflux disease - should we adopt a newconceptual framework?. Am J Gastroenterol. 2002 Fisichella, Piero. 2009. Gastro-esophageal reflux disease. Chicago, Loyola UniversityMedical Center Gardner JD, Stanley SR, Robinson M. Integrated acidity and the pathophysiology of gastroesophageal reflux disease. The American Journal of Gastroenterology.2001 Makmun D. 2009. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI Sukandar, Elin Prof.,Dr.,dkk. 2008. ISO Farmakoterapi Buku 1. PT.Isfi : J akarta Syafruddin ARL. Peranan derajat keasaman lambung dan tonus fingter esophagus bawah terhadap esofagitis pada dispepsia. Laporan Penelitian Akhir, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 1998.