BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perilaku abnormal adalah bagian dari kenyataan yang kita hadapi dalam kehidupan ini. Baik disadari atau tidak, perilaku abnormal banyak terjadi di sekitar kita. Ia dapat berbentuk perilaku-perilaku yang jarang dilakukan, tidak sesuai dengan norma. Menyebabkan stress pribadi, tidak diharapkan dan disfungsi perilaku (Davison, Neale, dan Kring, 2004). Sayangnya, tidak banyak orang yang mau dengan sungguh-sungguh memahami perilaku perilaku abnormal tersebut. Sehingga perilaku-perilaku abnormal yang ada, sering dipahami secara keliru satu dengan lainnya. Salah satu perilaku abnormal yang sering salah dipahami dan sulit untuk dimengerti adalah gangguan skizofrenia. Dari kata-kata yang menyusunnya, yaitu “schizein” yang berarti terpisah dan “phrenia” yang berarti jiwa, skizofrenia dapat diartikan sebagai jiwa yang terpisah (Fausiah, 2005). Karena pengertian tersebut, skizofrenia sering dianggap sama dengan gangguan kepribadian majemuk atau gangguan disosiasi identitas (Alloy, Accocella, dan Bootzin, 1996). Padahal, kedua macam gangguan tersebut berbeda dengan gangguan skizofrenia. Keterpisahan jiwa yang dialami oleh penderita gangguan skizofrenia bukanlah terbelahnya kepribadian menjadi dua atau lebih, bentuk kepribadian yang lain. Melainkan, terbelahnya kesatuan kepribadian dalam bentuk hilangnya keterkaitan antara emosi, pikiran, dan persepsi penderita. Hal ini Nampak dari perilaku penderita gangguan skizofrenia yang sering tidak sesuai dengan keadaan perasaan dan pikirannya (Long, 2005). Penderita dapat mengatakan bahwa perasaannya sangat sedih, namun kenyataannya ia terlihat sedang tertawa-tawa. Skizofrenia bukanlah penyakit jiwa yang tidak dapat disembuhkan. Peningkatan angka relapse pada pasien Skizofrenia pasca perawatan dapatmencapai 25% - 50% yang pada akhirnya dapat menyebabkan keberfungsiansosialnya menjadi terganggu. Skizofrenia
bisa
terjadi
pada
siapa
saja.
Seringkali
pasien
Skizofreniadigambarkan sebagai individu yang bodoh, aneh, dan berbahaya
(Irmansyah,2006). Sebagai konsekuensi kepercayaan tersebut, banyak pasien Skizofrenia
tidak
dibawa
berobat
ke
dokter
(psikiater)
melainkan
disembunyikan, kalaupun akan dibawa berobat, mereka tidak dibawa ke dokter melainkan dibawa ke “orang pintar” (Hawari, 2007). Sebagai mahasiswa keperawatan kita ditutut untuk mampu bersikap humanis, karena ranah kebermanfaatan seorang keperawatan adalah hubungannya dengan manusia, bagaimana membantu untuk meningkatkan motivasi belajar, meningkatkan kualitas dan produktifitas seseorang, mengelola dan membantu menyelesaikan permasalahan kejiwaan seseorang. Maka dari itu, sangat penting bagi kita sebagai calon perawat untuk memahami lebih banyak tentang apa itu skizofrenia dan gangguan kejiwaan lainnya agar mampu mengambil sikap yang lebih bijak dalam memahami setiap gejala yang dialami oleh seorang individu. Mengambil sikap lebih bijak maksudnya adalah bagaimana menghadapi klien dengan baik, serta melakukan pencegahan dan pengobatan.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang diatas, maka permasalahan yang dikaji dalam makalah ini adalah: 1. Menjelaskan konsep penyakit pada gangguan jiwa skizofrenia (definisi, epidemiologi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, klasifikasi, pengobatan, dan pencegahan? 2. Bagaimana
fenomena
skizofrenia
yang
terjadi
dalam
lingkungan
masyarakat ? 3. Bagaimana implikasi keperawatan pada pasien dengan gangguan jiwa skizofrenia ?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum Memberikan informasi mengenai fenomena-fenomena skizofrenia yang terjadi di dalam masyarakat dan implikasi keperawatan dari masalah tersebut. 1.3.2 Tujuan Khusus
1. Memberikan pengetahuan tentang definisi penyakit gangguan jiwa skizofrenia 2. Memberikan pengetahuan tentang penyebaran penyakit gangguan jiwa skizofrenia 3. Memberikan pengetahuan tentang penyebab yang dapat menimbulkan penyakit gangguan jiwa skizofrenia 4. Memberikan pengetahuan tentang tanda-tanda dan gejala dari penyakit gangguan jiwa skizofrenia 5. Memberikan pengetahuan tentang mekanisme terjadinya penyakit gangguan jiwa skizofrenia 6. Memberikan pengetahuan tentang jenis-jenis dari penyakit gangguan jiwa skizofrenia 7. Memberikan pengetahuan tentang pengobatan dan pencegahan dari penyakit gangguan jiwa skizofrenia
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah: 1. Masyarakat mengetahui dan memahami mengenai gangguan jiwa skizofrenia (definisi, epidemiologi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, pencegahan serta pengobatannya). 2. Masyarakat mengetahui fenomena-fenomena skizofrenia yang terjadi di lingkungan masyarakat. 3. Menambah pengetahuan, khususnya mahasiswa keperawatan tentang implikasi skizofrenia.
keperawatan
pada
pasien
dengan
gangguan
jiwa
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Skizofrenia 2.1.1 Definisi Skizofrenia
Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi, terpecah dan phrenia artinya pikiran. Jadi pikirannya terbagi atau terpecah. (Rudyanto, 2007). Skizofrenia berasal dari kata mula-mula digunakan oleh Eugene Bleuler, seorang
psikiater
berkebangsaaan
Swiss.
Bleuler
mengemukakan
manifestasi primer skizofrenia ialah gangguan pikiran, emosi menumpul dan terganggu. Ia menganggap bahwa gangguan pikiran dan menumpulnya emosi sebagai gejala utama daripada skizofrenia dan adanya halusinasi atau delusi (waham) merupakan gejala sekunder atau tambahan terhadap ini (Lumbantobing, 2007). Skizofrenia dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak yang belum diketahui), dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya budaya (Kaplan and Sadock, 2010). 2010).
2.1.2 Epidemiologi Skizofrenia
Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda, yaitu 15-25 tahun, sedangkan pada perempuan lebih lambat, yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di daerah urbanisasi dibandingkan daerah rural (Sadock, 2003). Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat, terutama
ketergantungan
nikotin.
Hampir
90%
pasien
mengalami
ketergantungan nikotin. Pasien skizofrenia juga berisi ko untuk bunuh diri dan perilaku menyerang. Bunuh diri merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang terbanyak, hampir 10% dari pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri (Kazadi, 2008). Menurut Howard, Castle, Wessely, dan Murray, 1993, di seluruh dunia prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan perempuan, diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada beberapa ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan perempuan, perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan onsetnya jelas. Onset untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur 36 tahun, yang perbandingan risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak perempuan yang mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila dibandingkan dengan laki-laki (Durand, 2007).
2.1.3 Etiologi Skizofrenia
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab skizofrenia, antara lain : 2.1.3.1 Faktor Genetik Menurut Maramis (1995), faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 – 15%; bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 – 16%; 16%; bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 – 68%; 68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 – 61 – 86%. 86%. Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami
skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini (Durand & Barlow, 2007).
2.1.3.2 Faktor Biokimia Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau ata u dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan (Durand, 2007).
2.1.3.3 Faktor Psikologis dan Sosial Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga (Wiraminaradja & Sutardjo, 2005). Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya (Durand & Barlow, 2007). Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et al, 2005), keluarga pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian. Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya. dibutuhkannya.
2.1.4 Manifestasi Manifestasi Klinis Skizofrenia
Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain :
ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh.
Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial).
Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau memindahkan atensi.
Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin.
Berdasarkan DSM-IV, ciri yang terpenting dari skizofrenia adalah adanya campuran dari dua karakteristik (baik gejala positif maupun gejala negative) (APA, 2000). Secara umum, karakteristik gejala skizofrenia (kriteria A), dapat digolongkan dalam tiga kelompok : 1. Gejala Negatif Gejala negatif adalah menurunnya atau tidak adanya perilaku tertentu, seperti perasaan yang datar, tidak adanya perasaan yang bahagia dan gembira, menarik diri, ketiadaan pembicaraan yang berisi, mengalami gangguan social, serta kurangnya motivasi untuk beraktivitas (Kaplan dan Sadock, 2004).
a) Gangguan Afek dan Emosi Gangguan dan emosi pada skizofrenia berupa adanya kedangkalan afek dan emosi (emotional blunting), misalnya : pasien menjadi acuh tak acuh terhadap hal-hal yang penting untuk dirinya sendiri seperti keadaan keluarga dan masa depannya serta perasaan halus sudah hilang, hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional rapport), terpecah belahnya kepribadian maka hal-hal yang berlawanan mungkin terdapat bersama-sama, umpamanya mencintai dan membenci satu orang yang sama atau menangis, dan tertawa tentang suatu hal yang sama (ambivalensi) (Lumbantobing, 2007).
b) Alogia Penderita sedikit saja berbicara dan jarang memulai percakapan dan pembicaraan. Kadang isi pembicaraan sedikit saja maknanya. Ada pula pasien yang mulai berbicara yang bermakna, namun tiba-tiba ia berhenti bicara, dan baru bicara lagi setelah tertunda beberapa waku (Lumbantobing, 2007). c) Avolisi Ini merupakan keadaan dimaa pasien hampir tidak bergerak, gerakannya miskin. Kalau dibiarkan akan duduk seorang diri, tidak bicara, tidak ikut beraktivitas jasmani (Lumbantobing, 2007). 2007). d) Anhedonia Tidak
mampu
menikmati
kesenangan,
dan
menghindari
pertemanan dengan orang lain (Asociality) pasien tidak mempunyai perhatian, minat pada rekreasi. Pasien yang sosial tidak mempunyai teman sama sekali, namun ia tidak memperdulikannya (Lumbantobing, 2007). e) Gejala Psikomotor Adanya gejala katatonik atau gangguan perbuatan dan sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya kemauan saja maka dapat dilihat adanya gerakan yang kurang luwes atau agak kaku, stupor dimana pasien tidak menunjukkan pergerakan sam sekali dan dapat berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang bertahuntahun lamanya pada pasien yang sudah menahun; hiperkinese dimana pasien terus bergerak saja dan sangat gelisah (Kaplan and Sadock, 2010).
2. Gejala Positif Gejala positif adalah tanda yang biasanya pada orang kebanyakan tidak ada, namun pada pasien skizofrenia justru muncul. Gejala positif adalah gejala yang bersifat aneh, antara lain bersifat delusi, halusinasi, ketidakteraturan pembicaraan, dan perubahan perilaku (Kaplan dan Sadock, 2004).
a) Delusi/Waham yaitu keyakinan yang tidak masuk akal. Contohnya berpikir bahwa dia selalu diawasi lewat televisi, berkeyakinan bahwa dia orang terkenal, berkeyakinan bahwa radio atau televisi memberi pesan-pesan tertentu, memiliki keyakinan agama yang berlebihan. b) Halusinasi yaitu mendengar, melihat, merasakan, mencium sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Sebagian penderita, mendengar suara/ bisikan bersifat menghibur atau tidak menakutkan. Sedangkan yang lainnya mungkin menganggap suara/bisikan tersebut bersifat negatif/ buruk atau memberikan perintah tertentu. c) Pikiran Paranoid yaitu kecurigaan yang berlebihan. Contohnya merasa ada seseorang yang berkomplot melawan, mencoba mencelakai atau mengikuti, percaya ada makhluk asing yang mengikuti dan yakin dirinya diculik/ dibawa ke planet lain. 3. Gejala lainnya Kategori gejala ini adalah disorganisasi, antara lain perilaku yang aneh (misalnya katatonia, dimana pasien menampilkan perilaku tertentu berulang-ulang, menampikan pose tubuh yang aneh; atau wxy flexibility, yaitu orang lain dapat memutar atau membentuk posisi tertentu dari anggota badan pasien, yang akan dipertahankan dalam waktu yang lama) dan disorganisasi pembicaraan. Adapun disorganisasi pembicaraan adalah masalah dalam mengorganisasikan ide dan pembicaraan, sehngga orang lain mengerti (dikenal dengan gangguan berpikir normal). Misalnya asosiasi longgar, inkoherensi, dan sebagainya (Prabowo, 2007).
2.1.5
Patofisiologi Skizofreinia
Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu. Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa fase yang dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan keadaan residual (Sadock, 2003; Buchanan, 2005). 2005).
Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia, walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik gejala skizofrenia yang dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa dewasa akan diikuti dengan perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa hari sampai s ampai beberapa bulan. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah (gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien dengan skizofrenia menyatakan bahwa sebagian penderita mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah pencernaan (Sadock, 2003). Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk sampai tidak ada. Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan perilaku aneh (Buchanan, 2005).
2.1.6
Klasifikasi Skizofrenia
Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) yaitu: DSM-III (American Psychiatric Assosiation, 1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric Assosiation,1994)
dan
DSM-IV-TR
(American
Psychiatric
Assosiation,2000). Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari DSM-IV-TR 2000. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan yaitu (Davison, 2006) : 2.1.6.1 Tipe Paranoid Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin
juga muncul. Ciri-ciri lainnya lai nnya meliputi ansietas, kemarahan, menjaga jarak j arak dan suka berargumentasi, dan agresif. 2.1.6.2 Tipe Disorganized (tidak terorganisasi) Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan yang serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari. 2.1.6.3 Tipe Katatonik Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain (echopraxia). 2.1.6.4 Tipe Undifferentiated Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan ketakutan. 2.1.6.5 Tipe Residual Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan-keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ideide tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.
2.1.7
Pengobatan Pengobatan dan Pencegahan Skizofrenia
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis, dan terapi psikososial. 2.1.7.1 Medik 1) Terapi Smatik (Medikamentosa) Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia. Pasien mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik antipsi kotik sebelum mendapatkan obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan pertama yang efekitif untuk mngobati Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik konvensional, newer atypical antipsycotics, dan Clozaril (Clozapine) (Baihaqi, 2007). a. Antipsikotik Konvensional Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut antipsikotik konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering menimbulkan efek samping yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional antara lain (Baihaqi, 2007) :
Haldol (haloperidol)
Mellaril (thioridazine) Navane (thiothixene)
Stelazine ( trifluoperazine)
Thorazine ( chlorpromazine)
Trilafon (perphenazine)
Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik konvensional, banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer atypical antipsycotic. Ada 2 pengecualian (harus dengan antipsikotok konvensional). Pertama, pada pasien yang sudah mengalami
perbaikan
(kemajuan)
yang
pesat
menggunakan
antipsikotik konvensional tanpa efek samping yang berarti. Biasanya
para
ahli
merekomendasikan
untuk
meneruskan
pemakaian
antipskotik konvensional. Kedua, bila pasien mengalami kesulitan minum pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam jangka waktu yang lama (long acting) dengan interval 2-4 minggu (disebut juga depot formulations). Dengan depot formulation, obat dapat disimpan terlebih dahulu di dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan. Sistem depot formulation ini tidak dapat digunakan pada newer atypic antipsycotic (Baihaqi, 2007).
b. Newer Atypcal Antipsycotic Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip kerjanya berbeda, serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan antipsikotik konvensional. Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia, antara lain :
(1) Risperdal (risperidone) (2) Seroquel (quetiapine) (3) Zyprexa (olanzopine) Para ahli banyak merekomendasikan obat-obat ini untuk menangani pasien-pasien dengan skizofrenia. (Baihaqi, 2007).
c. Clozaril mulai diperkenalkan tahun ta hun 1990, merupakan antipsikotik atipikal yang pertama. Clozaril dapat membantu ± 25-50% pasien yang
tidak
merespon
(berhasil)
dengan
antipsikotik
konvensional. Sangat disayangkan, Clozaril memiliki efek samping yang jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus yang jarang (1%), Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih
yang
berguna
untuk
melawan
infeksi.
Para
ahli
merekomendaskan penggunaan Clozaril bila paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil (Andri, 2009). Sediaan Obat Anti Psikosis dan Dosis Anjuran :
(1) Klorpromazin. Sedian tablet 25 dan 100 mg, injeksi 25 mg/ml. Dosis 150 - 600 mg/hari (2) Haloperidol. Sedian tablet 0,5 mg, 1,5 mg,5 mg Injeksi 5 mg/ml. Dosis 5 - 15 mg/hari (3) Perfenazin. Sedian tablet 2, 4, 8 mg. Dosis 12 - 24 mg/hari (4) Flufenazin. Sedian tablet 2,5 mg, 5 mg. Dosis 10 - 15 mg/hari (5) Flufenazin dekanoat. Sedian Inj 25 mg/ml. Dosis 25 mg/2-4 minggu. (6) Levomeprazin. Sedian tablet 25 mg, Injeksi 25 mg/ml. Dosis 25 - 50 mg/hari
(7) Trifluperazin. Sedian tablet 1 mg dan 5 mg . Dosis 10 - 15 mg/hari. (8) Tioridazin. Sedian tablet 50 dan 100 mg. Dosis 150 - 600 mg/hari. (9) Sulpirid. Sedian tablet 200 mg 300 ,Injeksi 50 mg/ml. Dosis 600mg/hari 1 - 4 mg/hari (10) Pimozid. Sedian tablet 1 dan 4 mg. Dosis 1 - 4 mg/hari. (11) Risperidon. Sedian tablet 1, 2, 3 mg Dosis 2 - 6 mg/hari
2) Cara Penggunaan
a) Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klnis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek samping sekunder. b) Pemilihan jenis obat anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen.
c) Apabila obat anti psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalennya dimana profil efek samping belum tentu sama. d) Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya jenis obat antipsikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang
e) Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan: (1) Onset efek primer (efek klinis) sekitar 2-4 minggu (2) Onset efek sekunder (efek samping) sekitar 2-6 jam (3) Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari) (4) Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak efek samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup pasien
f) Mulai dosis awal dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hari sampai mencapai dosis efektif (mulai peredaan sindroma psikosis) dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan dosis optimal dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) diturunkan setiap 2 minggu dosis dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday 1-2 hari/mingu) tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu).
g) Untuk pasien dengan serangan sndroma psikosis multi episode terapi pemeliharaan dapat dibarikan palong sedikit selama 5 tahun.
h) Efek obat psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir yang masih mempunyai efek klinis. i) Pada umumnya pemberian oabt psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk psikosis reaktif singkat penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam waktu 2 minggu - 2bulan. 2bulan. j) Obat antipsikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan dalam jangka waktu yang lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali. k) Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala Cholinergic rebound yaitu: gangguan lambung, mual muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini akan mereda dengan pemberian anticholinergic agent (injeksi sulfas atrofin 0,25 mg IM dan tablet trihexypenidil 3x2 mg/hari)
l) Obat anti pikosis long acting (perenteral) sangat berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 cc setiap 2 minggu pada bulan pertama baru ditingkatkan menjadi 1 cc setap bulan. Pemberian anti psikosis long acting hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan terhadap kasus skizpfrenia. m) Penggunaan CPZ injeksi sering menimbulkan hipotensi ortostatik pada waktu peubahan posisi tubuh (efek alpha adrenergik blokade). Tindakan mengatasinya dengan injeksi noradrenalin (effortil IM) n)
-Haloperidol
sering
menimbulkan
sindroma
parkinson.
Mengatasinya dengan tablet trihexyphenidyl 3-4x2 mg/hari, SA 0,50,75 mg/hari (Kaplan and Sadock, 2010).
3) Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan) Pertama
Newer atypical antipsycoic merupakn terapi pilihan untuk penderita Skizofrenia episode pertama karena efek samping yang ditimbulkan minimal dan resiko untuk terkena tardive dyskinesia lebih rendah (Andri, 2009). Biasanya obat antipsikotik membutuhkan waktu beberapa saat untuk mulai bekerja. Sebelum diputuskan pemberian salah satu obat gagal dan diganti dengan obat lain, para ahli biasanya akan mencoba memberikan obat selama 6 minggu (2 kali lebih lama pada Clozaril) (Andri, 2009).
4) Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh) Biasanya timbul bila pendrita berhenti minum obat, untuk itu, sangat penting untuk mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum obat. Terkadang penderita berhenti minum obat karena efek samping yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila hal ini terjadi, dokter dapat menurunkan dosis menambah obat untuk efek sampingnya, atau mengganti dengan obat lain yang efek sampingnya lebih rendah. Apabila penderita berhenti minum obat karena alasan lain, dokter dapat mengganti obat oral dengan injeksi yang bersifat long acting, diberikan tiap 2- 4 minggu. Pemberian obat dengan injeksi lebih simpel dalam penerapannya.Terkadang
pasien
dapat
kambuh
walaupun
sudah
mengkonsumsi obat sesuai anjuran. Hal ini merupakan alasan yang tepat untuk menggantinya dengan obat obatan yang lain, misal nya
a) antipsikotik konvensonal dapat diganti dengan newer atipycal antipsycotic atau newer atipycal b) antipsycotic diganti dengan antipsikotik atipikal lainnya. Clozapine dapat menjadi cadangan yang dapat bekerja bila terapi dengan obat-obatan diatas gagal (Kaplan and Sadock, 2010).
5) Pengobatan Selama Fase Penyembuhan Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan walaupun setelah sembuh. Penelitian terbaru menunjukkan 4 dari 5 pasien yang behenti minum obat setelah episode petama skizofrenia dapat kambuh.
Para ahli merekomendasikan pasien-pasien Skizofrenia episode pertama tetap mendapat obat antipskotik selama 12-24 bulan sebelum mencoba menurunkan dosisnya. Pasien yang mendertia Skizofrenia lebih dari satu episode, atau balum sembuh total pada episode pertama membutuhkan pengobatan yang lebih lama. Perlu diingat, bahwa penghentian pengobatan merupakan penyebab tersering kekambuhan dan makin beratnya penyakit (Kaplan and Sadock, 2010).
2.1.7.2 Keperawatan 1) Terapi Psikososial Terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Penderita selama ini menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap mengkonsumsi obat psikofarmaka sebagaimana juga halnya
waktu
menjalani
psikoterapi.
Kepada
penderita
diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan kesibukan, banyak bergaul (Kaplan and Sadock, 2010). a) Terapi Perilaku Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, latihan
praktis
psikoterapi
dan
perilaku
komunikasi adalah
interpersonal.
latihan
ketrampilan
Jenis-jenis perilaku
melibatkan penggunaan kaset video orang lain dan pasien, permainan simulasi (role playing) dalam terapi dan pekerjaan rumah tentang ketrampilan yang dilakukan (Kaplan and Sadock, 2010). b) Terapi berorientasi-keluarga Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluraga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari
terapi keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofreniadan dari penyangkalan tentang keparahan penyakitnya (Kaplan and Sadock, 2010). c) Terapi kelompok Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia (Kaplan and Sadock, 2010). d) Psikoterapi individual Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang ditemukan di dalam pengobpasien non-psikotik. Menegakkan hubungan seringkali sulit dilakukan; pasien skizofrenia se ringkali kesepian dan menolak terhadap keakraban dan kepercayaan dan kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi jika seseorang mendekati. Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia, perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap kaidah sosial adalah lebih disukai daripada informalitas yang prematur dan penggunaan nama pertama yang merendahkan diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang berlebihan adalah tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi, atau eksploitasi (Kaplan and Sadock, 2010).
2.1.7.3 Pencegahan Skizofrenia Pendekatan yang dilakukan dalam pencegahan skizofrenia dapat bersifat “eklektik
holistik”
yang
mencakup
tiga
pilar
yaitu
organobiologis,
psikoedukatif, dan psi koreligius, dan dari d ari ketiga pilar tersebut dapat diketahui kepribadian seseorang. Upaya pencegahan yang dilakukan pada masingmasing pilar dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin munculnya skizofrenia dan kekambuhanya. 1) Organobiologis
Bila ada riwayat keluarga penderita skizofrenia, sebaiknya menikah dengan keluarga yang tidak memiliki riwayat skizofrenia.
Walaupun dalam keluarga tidak ada riwayat penderita skizofrenia, sebaiknya tidak menikah dengan yang memiliki riwayat skizofrenia.
Sebaiknya penderita atau pernah menderita skizofrenia tidak saling menikah.
2) Psikoedukatif Beberapa sikap yang harus diperhatikan orang tua dalam membina mental emosional dan mental intelektual anak, yaitu:
Kemampuan untuk percaya pada kebaikan orang lain.
Sikap terbuka.
Anak mampu menerima kata tidak atau kemampuan pengendalian diri terhadap hal-hal yang mengecewakan, kalau tidak anak akan sulit bergaul dan belajar di sekolah.
3) Psiko Religius Menurut Larson, penelitian yang termuat dalam Religious commitment and Health, menyatakan bahwa agama sangat penting dalam pencegahan agar seorang tidak mudah jatuh sakit, meningkatkan kemampuan mengatasi penderitaan dan mempercepat penyembuhan.
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Fenomena Skizofrenia
Skizofrenia adalah diagnosis psikiatri yang menggambarkan gangguan mental yang ditandai oleh kelainan dalam persepsi atau ungkapan realitas. Distorsi persepsi dapat mempengaruhi semua lima indera, termasuk penglihatan, pendengaran, rasa, bau dan sentuhan, tapi paling sering bermanifestasi sebagai halusinasi pendengaran, delusi paranoid atau aneh, atau pidato teratur dan berpikir dengan disfungsi sosial atau pekerjaan yang signifikan. Timbulnya gejala biasanya terjadi pada dewasa muda, dengan sekitar 0,4-0,6% dari populasi yang terkena. Diagnosa didasarkan pada yang dilaporkan sendiri pasien pengalaman dan perilaku yang diamati. Tidak ada tes laboratorium untuk skizofrenia saat ini ada. Studi menunjukkan bahwa genetika, lingkungan awal, neurobiologi, proses psikologis dan sosial merupakan faktor penyumbang penting; beberapa obat rekreasi dan resep tampak menyebabkan atau memperburuk gejala. Penelitian psikiatri saat ini difokuskan pada peran neurobiologi, tapi tidak ada penyebab organik tunggal telah ditemukan. Sebagai hasil dari kombinasi banyak kemungkinan gejala, ada perdebatan tentang apakah diagnosis merupakan suatu kelainan tunggal atau sejumlah sindrom diskrit. Untuk alasan ini, Eugen Bleuler disebut penyakit schizophrenias (jamak) ketika ia menciptakan nama itu. Meskipun etimologinya, skizofrenia adalah tidak sama dengan gangguan identitas disosiatif, sebelumnya dikenal sebagai gangguan kepribadian ganda atau kepribadian ganda, yang telah keliru bingung. Peningkatan dopamin aktivitas di jalur mesolimbic otak secara konsisten ditemukan pada individu skizofrenia. Andalan pengobatan obat antipsikotik, obat jenis ini terutama bekerja dengan menekan aktivitas dopamin. Dosis antipsikotik yang umumnya lebih rendah daripada di dekade awal penggunaan mereka. Psikoterapi, dan rehabilitasi kejuruan dan sosial juga penting. Dalam kasus yang lebih serius - di mana ada resiko untuk diri dan orang lain - rawat inap paksa
mungkin diperlukan, walaupun tetap rumah sakit kurang sering dan untuk waktu yang lebih pendek daripada mereka di masa sebelumnya. Kelainan ini diduga terutama mempengaruhi kognisi, tetapi juga biasanya memberikan kontribusi untuk masalah kronis dengan perilaku dan emosi. Orang dengan skizofrenia cenderung memiliki tambahan (komorbiditas) kondisi, termasuk depresi mayor dan gangguan kecemasan; terjadinya penyalahgunaan zat seumur hidup adalah sekitar 40%. Masalah sosial, seperti jangka panjang, kemiskinan pengangguran dan tunawisma, yang umum. Selanjutnya, rata-rata harapan hidup orang dengan gangguan tersebut adalah 10 sampai 12 tahun kurang daripada mereka yang tidak, karena meningkatnya masalah kesehatan fisik dan tingkat bunuh diri lebih tinggi. Skizofrenia terjadi sama pada pria dan perempuan, meskipun biasanya muncul lebih awal pada pria - usia puncak onset adalah 20-28 tahun untuk lakilaki dan 26-32 tahun untuk betina. Onset pada masa kanak-kanak jauh lebih jarang, seperti di tengah-onset atau usia tua. Prevale nsi skizofrenia seumur hidup proporsi individu diperkirakan akan mengalami penyakit tersebut pada setiap setia p saat dalam kehidupan mereka - umumnya diberikan pada 1%. Namun, tinjauan sistematis studi 2002 banyak ditemukan prevalensi seumur hidup 0,55%. Meskipun kebijaksanaan menerima bahwa skizofrenia terjadi pada tingkat yang sama di seluruh dunia, prevalensi bervariasi di seluruh dunia, dalam negara, dan pada tingkat lokal dan d an lingkungan. li ngkungan. Salah satu temuan t emuan khususnya stabil dan ditiru diti ru telah menjadi hubungan antara yang hidup di lingkungan perkotaan dan diagnosis skizofrenia, bahkan setelah faktor-faktor seperti penggunaan narkoba, kelompok etnis dan ukuran kelompok sosial telah dikendalikan untuk. Skizofrenia dikenal menjadi penyebab utama kecacatan. Dalam sebuah penelitian 1999 dari 14 negara, psikosis aktif menduduki peringkat ketiga kondisi paling menonaktifkan setelah quadriplegia dan demensia dan menjelang paraplegia dan kebutaan. Account dari sindrom seperti skizofrenia dianggap langka dalam catatan sejarah sebelum tahun 1800-an, meskipun laporan perilaku irasional, tidak dapat dimengerti, atau tidak terkendali yang umum. Ada penafsiran yang catatan singkat dalam papirus Ebers Mesir Kuno mungkin menyiratkan skizofrenia, tapi review
lain tidak menyarankan koneksi apapun. Sebuah tinjauan literatur Yunani dan Romawi kuno menunjukkan bahwa meskipun psikosis digambarkan, ada tidak memperhitungkan kondisi memenuhi kriteria untuk skizofrenia. Psikotik keyakinan aneh dan perilaku yang mirip dengan beberapa gejala skizofrenia dilaporkan dalam literatur medis dan psikologis Arab selama Abad Pertengahan. Dalam The Canon of Medicine, misalnya, Ibnu Sina menggambarkan sebuah kondisi yang agak menyerupai gejala-gejala skizofrenia yang disebut Junun Mufrit (kegilaan yang parah), yang dibedakan dari bentuk-bentuk lain dari kegilaan (Junun) seperti mania, rabies dan psikosis manic depressive. Namun, tidak ada kondisi yang menyerupai skizofrenia dilaporkan dalam Bedah Imperial Şerafeddin Sabuncuoğlu, sebuah buku medis utama Islam abad ke -15. Mengingat bukti-bukti historis yang terbatas, skizofrenia (lazim seperti sekarang ini) mungkin merupakan fenomena modern, atau alternatif itu mungkin telah dikaburkan dalam tulisan-tulisan sejarah oleh konsep-konsep terkait seperti melankolis atau mania. Sebuah laporan kasus rinci pada 1797 tentang James Tilly Matthews, dan rekening oleh Phillipe Pinel diterbitkan pada 1809, sering dianggap sebagai kasus awal skizofrenia dalam literatur medis dan psikiatris. Skizofrenia pertama kali digambarkan sebagai sindrom yang berbeda yang mempengaruhi remaja dan dewasa muda oleh Benedict Morel pada tahun 1853, disebut démence précoce (harfiah 'demensia dini'). Istilah demensia digunakan praecox pada tahun 1891 oleh Arnold Pilih dalam sebuah laporan kasus gangguan psikotik. Pada tahun 1893 Emil Kraepelin memperkenalkan perbedaan baru yang luas dalam klas ifikasi gangguan mental antara dementia praecox dan gangguan suasana hati (disebut depresi manik dan termasuk unipolar dan bipolar depresi). Kraepelin percaya bahwa dementia praecox merupakan penyakit otak, dan khususnya suatu bentuk demensia, dibedakan dari bentuk-bentuk lain dari demensia, seperti penyakit Alzheimer, yang biasanya terjadi di kemudian hari. Klasifikasi Kraepelin perlahan-lahan mendapatkan penerimaan. Ada keberatan dengan penggunaan dari "demensia" istilah meskipun kasus pemulihan, dan beberapa pembelaan diagnosa diganti seperti kegilaan remaja.
Skizofrenia kata - yang diterjemahkan secara kasar sebagai "membelah pikiran" dan berasal dari akar Yunani schizein (σχίζειν, "untuk split") dan phrēn, phrenphren (φρήν, φρεν-, φρεν-, "pikiran") - diciptakan oleh Eugen Bleuler pada tahun 1908 dan dimaksudkan untuk menggambarkan pemisahan fungsi antara kepribadian, berpikir, memori, dan persepsi. Bleuler menggambarkan gejala utama sebagai 4 A: rata Mempengaruhi, Autisme, gangguan Asosiasi ide dan Ambivalensi. Bleuler menyadari bahwa penyakit itu bukan demensia karena beberapa pasien membaik daripada memburuk dan karenanya mengusulkan istilah skizofrenia sebagai gantinya. Istilah skizofrenia sering disalahpahami berarti bahwa orang-orang yang terkena dampak memiliki "kepribadian ganda". Meskipun beberapa orang didiagnosis dengan skizofrenia mungkin mendengar suara-suara dan mungkin mengalami suara sebagai kepribadian yang berbeda, skizofrenia tidak melibatkan orang berubah antara kepribadian ganda yang berbeda. Kebingungan muncul sebagian karena makna istilah skizofrenia Bleuler itu (secara harfiah "split" atau "pikiran hancur"). Penyalahgunaan dikenal pertama istilah berarti "kepribadian yang terbelah" adalah dalam sebuah artikel oleh penyair TS Eliot pada tahun 1933. Pada paruh pertama abad kedua puluh skizofrenia dianggap cacat keturunan, dan penderita tunduk pada eugenika di banyak negara. Ratusan ribu orang disterilkan, dengan atau tanpa persetujuan - mayoritas di Nazi Jerman, Amerika Serikat, dan negara-negara Skandinavia. Seiring dengan orang lain berlabel "mental layak", banyak didiagnosis dengan skizofrenia dibunuh dalam program "Aksi T4" Nazi. Pada awal 1970-an, kriteria diagnostik untuk skizofrenia adalah subyek dari sejumlah kontroversi yang akhirnya mengarah pada kriteria operasional digunakan saat ini. Ini menjadi jelas setelah studi AS-Inggris 1971 Diagnostik bahwa skizofrenia didiagnosis ke tingkat yang jauh lebih besar di Amerika daripada di Eropa. Hal ini sebagian karena kriteria diagnostik longgar di AS, yang menggunakan DSM-II manual, kontras dengan Eropa dan ICD-9 nya. 1972 studi david Rosenhan, yang dipublikasikan dalam jurnal Science di bawah judul yang
waras pada di tempat gila, menyimpulkan bahwa diagnosis skizofrenia di Amerika Serikat sering subyektif dan tidak dapat diandalkan. Ini adalah beberapa faktor dalam memimpin ke revisi tidak hanya dari diagnosis skizofrenia, tapi revisi dari manual DSM keseluruhan, sehingga dalam publikasi DSM-III pada tahun 1980. Sejak 1970-an lebih dari 40 kriteria dia gnostik untuk skizofrenia telah diusulkan dan dievaluasi. Di Uni Soviet diagnosis skizofrenia juga telah digunakan untuk tujuan politik. Soviet Andrei Snezhnevsky psikiater terkemuka dibuat dan dipromosikan klasifikasi
sub-tambahan
lamban
berkembang
skizofrenia.
Diagnosis
ini
digunakan untuk mendiskreditkan dan cepat memenjarakan para pembangkang politik sementara pengeluaran dengan percobaan berpotensi memalukan. Praktek itu terkena Barat oleh sejumlah pembangkang Soviet, dan pada tahun 1977 World Psychiatric Association mengutuk praktek Soviet di Kongres Dunia Keenam Psikiatri. Daripada mempertahankan teorinya bahwa bentuk laten skizofrenia disebabkan pembangkang untuk menentang rezim, Snezhnevsky memutuskan semua kontak dengan Barat pada tahun 1980 dengan mengundurkan diri posisi kehormatan di luar negeri. Stigma sosial telah diidentifikasi sebagai suatu hambatan yang besar dalam pemulihan pasien dengan skizofrenia. Dalam sampel, besar wakil dari sebuah studi tahun 1999, 12,8% orang Amerika percaya bahwa individu dengan skizofrenia adalah "sangat mungkin" untuk melakukan sesuatu kekerasan terhadap orang lain, dan 48,1% mengatakan bahwa mereka "agak mungkin". Lebih dari 74% mengatakan bahwa orang dengan skizofrenia yang baik "tidak sangat mampu" atau "tidak mampu sama sekali" untuk membuat keputusan tentang pengobatan mereka, dan 70,2% mengatakan hal yang sama dari keputusan manajemen uang. Persepsi individu dengan psikosis sebagai kekerasan memiliki lebih dari dua kali lipat dalam prevalensi sejak tahun 1950, menurut salah satu meta-analisis.
3.2 Implikasi Keperawatan Keperawatan 3.2.1
Peran Caregiver
Caregiver dibedakan dalam dua kelompok, yaitu caregiver informal dan caregiver formal. Caregiver formal adalah individu yang menerima bayaran untuk memberikan perhatian, perawatan serta perlindungan kepada individu yang sakit, seperti perawa yang bekerja di rumah sakit jiwa, wisma, atau panti yang menampung penderita kelainan jiwa (Nadia, 2009).
3.2.2
Peran Advokator
Sebagai pelindung, perawat membantu mempertahankan lingkungan pasien
dan mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya
kecelakaan dan melindungi klien dari efek e fek yang tidak diinginkan dari suatu tindakan diagnostik atau pengobatan. Dalam menjalankan perannya sebagai advokat, perawat melindungi hak klien sebagai manusia dan secara hukum, serta membantu pasien dalam menyatakan hak-haknya bila dibutuhkan (Potter & Perr y, 2005).
3.2.3
Peran Edukator
Perawat psikiatri memberi pendidikan kesehatan jiwa kepada pasien, keluarga, dan komunitas agar mampu melakukan perawatan pada diri sendiri, anggota keluarga, dan anggota masyarakat lainnya sehingga setiap anggota masyarakat bertanggung jawab atas kesehatan jiwa (Suliswati et al, 2005).
3.2.4
Peran Konselor
Perawat dapat dijadikan sebagai tempat bertanya oleh pasien skizophrenia, keluarga yang mempunyai penderita skizophrenia dan masyarakat, supaya mereka paham tentang gangguan skizophrenia itu. Sehingga dapat membantu dalam proses pengobatan dan pasien yang menderita skizophrenia tidak lagi dikucilkan di masyarakat ataupun di pasung oleh keluarga.
3.2.5
Peran Rehabilitator
Rehabilitasi merupakan proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi maksimal setelah mengalami gangguan jiwa. Pasien dapat mengalami gangguan yang mengubah kehidupan mereka dan perawat membantu mereka beradaptasi semaksimal mungkin dengan keadaan tersebut (Potter & Perry, 2005).
3.2.6
Peran Penyuluh
Sebagai penyuluh, perawat menjelaskan kepada klien konsep dan data-data tentang kesehatan, mendemonstrasikan prosedur seperti aktivitas perawatan diri, menilai apakah pasien memahami hal-hal yang dijelaskan dan mengevaluasi kemajuan dalam pembelajaran. Perawat menggunakan metode pengajaran yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan klien serta melibatkan sumber-sumber yang
lain,
misalnya
keluarga
direncanakannya (Potter & Perry, 2005).
dalam
pengajaran
yang
BAB IV PENUTUP
4.1 Simpulan
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang sifatnya merusak, melibatkan gangguan berfikir, persepsi, pembicaraan, emosional, dan gangguan perilaku. Gangguan psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang terjadi. Faktor – faktor penyebab skozofrenia meliputi faktor biologis, psikologis, lingkungan dan organis. Sedan gkan gangguan psikotik disebabkan oleh faktor organo – biologik, psikologik, sosio – agama. Secara umum ciri – ciri skizofrenia yaitu gangguan delusi, halusinasi, disorganisai, pendataran afek, alogia, avolisi, anhedonia. Ciri – ciri gangguan psikotik diantaranya memiliki labilitas emosional, menarik diri dari interaksi sosial, mengabaikan penampilan dan kebersihan diri, mengalami penurunan daya ingat dan kognitif parah, mengalami kesulitan mengorientasikan waktu, orang, tempat, memiliki keengganan melakukan segala hal serta memiliki perilaku yang aneh. Tipe skizofrenia dikelompokkan menjai tipe paranoid, katatonik, tak terperinci atau tak terbedakan, residual. Untuk gangguan psikotik sendiri dikelompokkan menjadi tipe psikotik akut dan kronik. Cara Mengatasi skizofrenia antara lain menciptakan kontak sosial yang baik, terapi ECT (electrocompulsive therapy) dan (insulin comma therapy), menghindarkan dari frustrasi dan kesulitan psikis lainnya, membiasakan pasien memiliki sikap s ikap hidup positif dan mau melihat hari depan dengan rasa berani, memberi obat neuroleptik. Baik gangguan psikotik akut maupun kronik diatasi dengan memberikan asuhan keperawatan pada klien.
4.2 Saran
Masyarakat
seharusnya
sekarang
sudah
mulai
mengerti
dan
bisa
memperlakukan orang/keluarganya yang mengalami gangguan kejiwaan dengan baik. Seperti yang masih terjadi akhir-akhir ini, pasum masih menjadi pilihan utama untuk mnghentikan tingkah laku aneh mereka. Jika ada orang dengan gangguan kejiwaan sebaiknya keluarga langsung menghubungi Rumah Sakit Jiwa, sehingga bisa dilakukan penanganan yang cepat dan tepat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, Sadock, Grebb. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis Jilid Satu. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997. 2. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32883/4/Chapter%20II.pdf (diakses pada tanggal 19 November 2013) 3. http://bbtklppjakarta.pppl.depkes.go.id/assets/files/downloads/f1375258333schizophrenia.pdf (diakses pada tanggal 19 November 2013) 4. http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/4s1kedokteran/207311046/BAB%20II.pdf (diakses pada tanggal 19 November 2013) 5. http://foblog.psikomedia.com/pdf?id=1006
(diakses
pada
tanggal
19
November 2013) 6. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/4/jtptunimus-gdl-s1-2008-dwinurhaya194-2-bab1.pdf (diakses pada tanggal 19 November 2013) 7. http://indonesiaindonesia.com/f/10629-schizophrenia/ (diakses pada tanggal 19 November 2013) 8. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/133/jtptunimus-gdl-purilukita-6608-3 babii.pdf (diakses pada tanggal 19 November 2013) 9. http://www.news-medical.net/health/Schizophrenia-%28Indonesian%29.aspx (diakses pada tanggal 19 November 2013)