REFRESHING
SINDROM NEFROTIK
Oleh: Dimas Bagus Respati
0810710036
Tita Luthfia Sari
0810710107
Anissa Atika Rada
0910710036
Ferdian Musthafa
0910710072
Pramudya Wardhani
0910713024
Daniel Raj A/L Arumugam
0910714002
Pembimbing : Dr. dr. Krisni Subandiyah, Sp. A (K)
SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWAR MALANG 2013
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling sering dijumpai
pada anak. Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥2+), hipoalbuminemia <2,5 g/dl, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia > 200 mg/dL terkait kelainan glomerulus akibat penyakit tertentu atau tidak diketahui (Trihono et al., 2008). Insidens sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun, dengan perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1 (Trihono et al., 2008). Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi menjadi primer/idiopatik termasuk di dalam nya kongenital dan sekunder akibat penyakit sistemik (Kliegman et al., 2007). Pasien sindrom nefrotik biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria, gejala infeksi, nafsu makan berkurang, diare, nyeri perut akibat terjadinya peritonitis, dan hipovolemia. Prognosis sindrom nefrotik menjadi gagal ginjal berkisar antara 425% dalam waktu 5-20 tahun. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh diagnosis dini dan penatalaksanaan awal yang tepat (Atalas et al., 2002). Kompetensi dokter umum untuk kasus sindrom nefrotik adalah tingkat kemampuan dua yang artinya dokter mampu membuat diagnosis dan merujuk pasien secepatnya kepada spesialis yang relevan dan mampu menindak lanjuti sesudahnya. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman mengenai sindrom nefrotik sehingga dapat mengenali secara dini sindrom nefrotik dengan harapan dapat mencegah progresivitas dan komplikasi akibat keterlambatan penatalaksanaan. Pada refreshing ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai sindrom nefrotik, yang meliputi definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis.
1.2
Rumusan Masalah Apakah definisi sindrom nefrotik ? Bagaimana epideiologi sindrom nefrotik di dunia dan di Indonesia ? Apa saja etiologi dari sindrom nefrotik ? Bagaimana patogenesis sindrom nefrotik ? Apa saja gejala klinis sindrom nefrotik ? Bagaimana cara mendiagnosis sindrom nefrotik ? Bagiamana penatalaksanaan sindrom nefrotik ? Apakah komplikasi sindrom nefrotik ? Bagaimana prognosis sindrom nefrotik ? Bagaiaman alur rujukan pasien dengan sindrom nefrotik ?
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling sering dijumpai
pada anak. Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥2+), hipoalbuminemia <2,5 g/dl, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia > 200 mg/dL terkait kelainan glomerulus akibat penyakit tertentu atau tidak diketahui (Trihono et al., 2008). 2.2
Epidemiologi Insidens sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun (Trihono et al., 2008). Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan (2:1) dan kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. Data Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta melaporkan bahwa sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di Poliklinik Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000 (Wila, 2002). 2.3
Etiologi dan Klasifikasi Etiologi pasti dari sindrom nefrotik belum diketahui. Akhir-akhir ini sindrom
nefrotik dianggap sebagai suatu penyakit auto imunyang merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu : a. Sindrom Nefrotik Primer atau Idiopatik Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik idiopatik. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun. Penyakit ini diturunkan secara resesif autosom atau
karena reaksi fetomaternal. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal pada masa neonatus telah dicoba, tapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya (Kliegman et al., 2007). Kelainan
histopatologik
glomerulus
pada
sindrom
nefrotik
primer
dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi (Bagga dan Mantan, 2005). Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC. Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer (Kliegman et al., 2007) Kelainan minimal (KM) Glomerulosklerosis (GS) Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) Glomerulosklerosis fokal global (GSFG) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif Glomerulonefritis kresentik (GNK) Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) GNMP tipe I dengan deposit subendotelial GNMP tipe II dengan deposit intramembran GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial Glomerulopati membranosa (GM) Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak (Kliegman et al., 2007). Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang
dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi (Wila, 2002). b. Sindrom Nefrotik Sekunder Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab lain yang nyata. Penyebab yang sering dijumpai antara lain : (Eddy dan Symons, 2003) - Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport, miksedema - Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS - Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular - Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis - Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal. 2.4
Patogenesis Dinding kapiler glomerulus terdiri dari tiga struktur yang merupakan barier
yang selektif, yaitu : sel endotel dengan fenestrae, membran dasar glomerulus yang terdiri atas jaringan matriks protein, dan sel-sel epitel khusus podosit yang terhubung satu sama lain melalui jaringan interdigitating pada celah diafragma. Berikut ini gambar skematis dinding kapiler glomerulus :
Gambar 1. Gambar Skematis Dinding Kapiler Glomerulus (Jalanko, 2009)
Pada kondisi normal, protein seperti albumin (69 kd) atau protein yang lebih besar tidak akan terfiltrasi, restrisksi ini tergantung pada integritas celah diafragma (Eddy dan Symons, 2003). Berikut ini gambar skematis proses filtrasi glomerulus :
Gambar 2. Gambar Skematis Proses Filtrasi Glomerulus (Jalanko, 2009) Pada sindrom nefrotik, terjadi perubahan morfologi podosit, dimana kakikaki podosit saling berdekatan, menyatu, serta lebih pipih sehingga fungsi filtrasi glomerulus menjadi tidak optimal. Tiga hal memberikan petunjuk penting untuk patofisiologi utama sindrom nefrotik idiopatik antara lain : a. Mutasi Protein Podosit Mutasi pada beberapa protein podosit telah diidentifikasi pada pasien sindrom nefrotik yang diturunkan (Eddy dan Symons, 2003). Beberapa protein tersebut antara lain dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Gambaran mikroskop elektron podosit pada glomerulus normal dan sindrom nefrotik, dan mutasi pada protein podosit (Eddy dan Symons, 2003). A: Prosesus sel podosit dipisahkan oleh celah pori-pori B: Pada sindrom nefrotik, celah pori-pori menghilang dan prosesus sel podosit terlihat bergabung menjadi satu C: Mutasi protein podosit 1: slit diaphragm proteins (nephrin), 2: membrane proteins (podocin), 3: cytoskeleton (α-actinin-4, CD2AP), 4: extracellular matrix adhesion molecule, (β4 integrin), 5: sialylated anionic surface proteins, 6: nuclear proteins (WT1, LMX1B, SMARCAL1),7: basement membrane proteins (α5 chain collagen IV). b. Adanya Faktor Plasma Faktor plasma dapat mengubah permeabilitas glomerulus, khususnya pada pasien dengan sindrom nefrotik resisten steroid (Eddy dan Symons, 2003). c. Abnormalitas Respon Sel Limfosit T Sel T diduga mensintesis faktor permeabilitas yang dapat mengubah selektivitas glomerulus terhadap protein, sehingga terjadilah proteinuria massif. Hipotesis lain menjelaskan bahwa sel limfosit T menghambat atau menyebabkan down regulasi faktor penghambat permeabilitas yang pada kondisi normal berfungsi mencegah proteinuria (Eddy dan Symons, 2003).
Patofisiologi beberapa gejala dari sindrom nefrotik (Atalas et al., 2002) : 1. Proteinuria Proteinuria atau albuminuria masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif
tertarik
keluar
menembus
sawar
kapiler
glomerulus.
Terdapat
peningkatan permeabilitas membrane basalis kapiler-kapiler glomeruli, disertai peningkatan filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi proteinuria. Beberapa faktor yang turut menentukan derajat proteinuria sangat komplek, yaitu : - Konsentrasi plasma protein - Berat molekul protein - Electrical charge protein - Integritas barier membrane basalis - Electrical charge pada filtrasi barrier - Reabsorpsi, sekresi dan katabolisme sel tubulus - Degradasi intratubular dan urin 2. Hipoalbuminemia Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati ruangan ekstra vaskular. Plasma terutama terdiri dari albumin yang berat molekul 69 kd. Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan sejumlah protein, baik renal maupun non renal. Mekanisme kompensasi dari hepar untuk meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi protein dalam ruangan ekstra vaskular dan intra vaskular. Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini mungkin disebabkan beberapa faktor, diantaranya : - Kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria) dan usus (protein losing enteropathy) - Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan menurun dan mual-mual - Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal
Bila kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma albumin menurun, keadaan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini akan diikuti oleh hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang terjadi oligouric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi filtrasi natrium Na+ dari glomerulus (glomerular sodium filtration) tetapi keadaan hipoalbuminemia ini akan bertindak untuk mencegah resorpsi natrium Na+ kedalam kapiler-kapiler peritubular. Resorpsi natrium na+ secara peasif sepanjang Loop of Henle bersamaan dengan resorpsi ion Cl- secara aktif sebagai akibat rangsangan dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air H2O yang berhubungan dengan system rennin-angiotensin-aldosteron (RAA) dapat terjadi bila sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tanda-tanda aldosteronisme sekunder. Retensi natrium dan air pada keadaan
ini
(aldosteronisme) dapat dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran tinggi diuretik yang mengandung antagonis aldosteron. 3. Sembab Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapilerkapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan kejaringan interstisial, klinis dinamakan sembab. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan volume plasma dan hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan retensi Na dan air. Proteinuria masih menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi sembab. Mekanisme sembab dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut : a. Jalur langsung/direk Penurunan
tekanan
onkotik
dari
kapiler
glomerulus
dapat
langsung
menyebabkan difusi cairan ke dalam jaringan interstisial dan dinamakan sembab. b. Jalur tidak langsung/indirek Penurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat menyebabkan penurunan volume darah yang menimbulkan konsekuensi berikut: - Aktivasi system rennin angiotensin aldosteron - Kenaikan plasma rennin dan angiotensin akan menyebabkan rangsangan kelenjar adrenal untuk sekresi hormone aldosteron. Kenaikan konsentrasi hormone aldosteron akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium menurun. - Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan circulating cathecolamines.
- Kenaikan
aktivasi
saraf
simpatetik
dan
konsentrasi
katekolamin,
menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat. Kenaikan tahanan vaskuler renal ini dapat diperberat oleh kenaikan plasma rennin dan angiotensin. 4. Hiperkolesterolemia Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik. 2.5
Gejala Klinis Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah sembab,
yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka) (Hammersmith et al., 2006). Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM (Atalas et al., 2002). Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan
menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani (Wisata et al., 2010). Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik. Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu (Atalas et al., 2010). Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur (Darnindro dan Muthalib, 2008). 2.6
Diagnosis Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinis yang
khas, yaitu : (Trihono et al., 2008) 1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+) 2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL 3. Edema 4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain : (Trihono et al., 2008) 1. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah kepada infeksi saluran kemih. 2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari 3. Pemeriksaan darah -
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematokrit, LED)
-
Albumin dan kolesterol serum
-
Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus Schwartz
-
Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik, emeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA Biopsi ginjal tidak diperlukan pada sebagian besar anak dengan sindrom
nefrotik. Lebih dari 80% anak dengan sindrom nefrotik adalah sindrom nefrotik kelainan minimal dengan cirri khasnya berupa histology ginjal yang normal pada pemeriksaamn mikroskopis. Sisanya berupa GFS, 7%, GNMes, 5%, GNMP, 7%. Dan GNM, 1-2%. Pasien yang menunjukkan gambaran klinis dan laboratorium yang tidak sesuai dengan gejala kelainan minimal, sebaiknya dilakukan biopsi ginjal sebelum terapi steroid. Biopsi ginjal umunya tidak dilakukan pada sindrom nefrotik yang sering kambuh atau dependen steroid selama masih sensitif steroid (Noer, 2002). 2.7
Penatalaksanaan Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di
rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua (Trihono et al., 2008). Sebelum
pengobatan
steroid
dimulai,
dilakukan
pemeriksaan-
pemeriksaan berikut: (Trihono et al., 2008) a. Pengukuran berat badan dan tinggi badan b. Pengukuran tekanan darah c. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein d. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun cacingan. Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai. e. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT) Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik
disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah (Trihono et al., 2008). DIETETIK Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (Recommended Daily Allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema (Trihono et al., 2008). DIURETIK Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. Berikut ini algoritma pemberian diuretic pada kasus sidrom nefrotik :
Gambar 4. Algortima Pemberian Diuretik (Trihono et al., 2008)
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang (Trihono et al., 2008). IMUNISASI Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (Inactivated Polio Vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela (Trihono et al., 2008). TERAPI KORTIKOSTEROID Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon. Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel berikut: Tabel 2. Istilah yang Menggambarkan Respons Terapi Steroid pada Anak dengan Sindrom Nefrotik (Noer, 2002) Istilah
Keterangan
Remisi
Proteinuria negatif atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut
Relaps
Proteinuria ≥ 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi
Relaps tidak sering
Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan
Relaps sering
Kambuh ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau ≥ 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan
Responsif-steroid
Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja
Dependen-steroid
Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan
Resisten-steroid
Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu
Responder lambat
Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain
Nonresponder awal
Resisten-steroid sejak terapi awal
Nonresponder lambat
Resisten-steroid
terjadi
pada
pasien
yang
sebelumnya responsif-steroid
Terapi Inisial Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
Gambar 5. Pengobatan Inisial Kortikosteroid (Trihono et al., 2008)
Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.
Gambar 6. Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps (Trihono et al., 2008) Keterangan : Pengobatan SN relaps prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu.
Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering atau Dependen Steroid Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid: 1. Pemberian steroid jangka panjang 2. Pemberian levamisol 3. Pengobatan dengan sitostatik 4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir) Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang telinga tengah, atau kecacingan. Faktor resiko relaps adalah onset penyakit pada umur kurang dari 13 tahun, relaps terjadi pada 6 bulan pertama, dan remisi lambat pada episode awal (Noer, 2002). 1. Steroid Jangka Panjang Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis
terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 612 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating. Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir. Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA). 2. Levamisol Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel. 3. Sitostatika Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal maupun secara intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit
<100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL. Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil
diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan infeksi. 4. Siklosporin (CyA) Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid. 5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF) Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.
Protokol pengobatan sindrom nefrotik relaps :
Gambar 7. Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering dengan CPA Oral (Trihono et al., 2008) Keterangan : Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per oral, dosis tunggal selama 8 minggu
Gambar 8. Pengobatan Sindrom Nefrotik Dependen Steroid (Trihono et al., 2008) Keterangan : Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan prednison intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan). atau Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 12 minggu dan prednison alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
Berikut ini ringkasan tatalaksana anak dengan SN relaps sering atau dependen steroid :
Gambar 9. Diagram Pengobatan Sindrom Nefrotik SN Relaps Sering atau Dependen Steroid (Trihono et al., 2008) Keterangan : 1. Pengobatan steroid jangka panjang 2. Langsung diberi CPA 3. Sesudah prednison jangka panjang, dilanjutkan dengan CPA 4. Sesudah jangka panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA
Pengobatan Sindrom Nefrotik dengan Kontraindikasi Steroid Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan) (Trihono et al., 2008).
Pengobatan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis. 1. Siklofosfamid (CPA) Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin. 2. Siklosporin (CyA) Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.18 Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap : -
Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
-
Kadar kreatinin darah berkala
-
Biopsi ginjal setiap 2 tahun3. Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan
dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif. 3. Metilprednisolon puls Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam. 4. Obat imunosupresif lain Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam
literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi di Indonesia .
Gambar 9. Diagram Pengobatan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (Trihono et al., 2008) Keterangan: • Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan • Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan). atau • Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan yang dapat dilanjutkan tergantung keadaan pasien. • Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid puls (6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
Pemberian Obat Non-Imunosupresif Untuk Mengurangi Proteiuria Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth factor
(TGF)-β1 dan plasminogen activator
inhibitor
(PAI)-1, keduanya
merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS.23 Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak. Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah: -
Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal
2.8
Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal Komplikasi Komplikasi medis dari sindrom nefrotik dapat berpotensi serius.
Komplikasi ini dapat dibagi menjadi dua sub kelompok utama : komplikasi akut yang berkaitan dengan keadaan nefrotik, terutama infeksi dan penyakit tromboemboli, dan gejala sisa jangka panjang sindrom nefrotik dan pengobatan, terutama efek pada tulang, pertumbuhan, dan sistem kardiovaskular. Sebuah aspek penting yang ketiga adalah dampak psikologis dan tuntutan sosial pada anak yang mengalami sindrom nefrotik, dan keluarga mereka . a. Komplikasi Infeksi Infeksi berat, khususnya selulitis dan peritonitis bakteri spontan dapat menjadi komplikasi sindrom nefrotik. Ketahanan terhadap infeksi bakteri bergantung pada berbagai faktor predisposisi. Kerusakan pada proses opsonisasi bergantung pada komplemen dapat memperlambat proses klirens mikroorganisme yang berkapsul, khususnya Streptococcus pneumonia. Vaksinasi pneumokokus disarankan bagi pasien dengan sindromnefrotik. Sebagian besar anak-anak dengan sindrom nefrotik idiopatikterserang virus varicella non-immune, sehingga diperlukan perlakuan khusus agar terhindar dari paparan virus varicella.Terapi profilaksis denganimun globulin varicella zoster disarankan untuk pasien non-imun yang mendapatkan perawatan imunosupresif. Apabila terjadi serangan remisi, imunisasi dengan vaksin varisela dapat diberikan karena aman dan efektif, meskipun dosis
tambahan diperlukan untuk mencapai imunitas penuh. Penggunaan asiklovir oral dapat mencegah infeksi varisela berat pada pasien yang mengkonsumsi obat kortikosteroid. b. Komplikasi Tromboembolik Pasien nefrotik memiliki resiko yang signifikan terjadinya trombosis. Meskipun angka resiko lebih kecil dari pada dewasa, kejadian thrombosis dapat menjadi komplikasi yang hebat.Terdapat berbagai faktor yang memicu disregulasi dari koagulasi pada pasien sindrom nefrotik, antara lain peningkatan sintesis faktor pembekuan (fibrinogen, II, V, VII, VIII, IX, X, XII), antikoagulan (antithrombin III) yang keluar melalui urine, abnormalitas platelet ( thrombositosis, peningkatan agregabilitas), hiperviskositas, dan hiperlipemia. Meskipun demikian tidak ada satu tes laboratorium pun yang dapat memprediksi resiko pasti trombosis. Faktor yang dapat meningkatkan resiko thrombosis antara lain penggunaan diuretik, terapi kortikosteroid, imobilisasi, dan adanyain-dwelling kateter. Apabila diketahui terdapat klot pada anak dengan
nefrotik
sindrom,
pemeriksaan
abnormalitas
koagulasi
dapat
dilakukan. Obat-obatan anti koagulan profilaksis tidak disarankan karena memiliki resiko yang tinggi. Meski demikian, setelah diketahui adanya clot dan telah mendapatkan terapi, penggunaan warfarin profilaksis disarankan selama 6 bulan dan selama terjadi relaps. Pemasangan kateter intravena harus dihindari, namun amat penting, sehingga pemberian antikoagulan profilaksis dapat
dipertimbangkan.LMWH
merupakan
agen
alternatif,
namun
membutuhkan antithrombin III agar dapat efektif. Aspirin dapat berguna sebagai antikoagulan, khususnya pada trombositosis berat. c. Penyakit Kardiovaskular Berbagai faktor dapat meningkatkan perhatian sekuel kardiovaskular pada anak dengan nefrotik sindrom dalam jangka waktu yang lama, antara lain paparan terhadap kortikosteroid, hiperlipidemia, stresoksidatif, hipertensi, hiperkoagulabilitas, dan anemia. Resiko kardiovaskular pada anak dengan sindrom nefrotik berkaca pada penelitian kasus sindrom nefrotik pada dewasa. Pada dewasa pasien dengan sindrom nefrotik memiliki resiko terserang penyakit jantung koroner. Akan tetapi penelitian tentang adanya penyakit
jantung
yang
disebabkan
oleh
sindrom
nefrotik
masih
terdapatkontroversi, khususnya karena penyakit ginjal pada sebagian besar anak dapat diatasi. d. Komplikasi Medis yang Lain Meskipun secara teoritis terdapat resiko penurunan kepadata ntulang padapenggunaan kortikosteroid, prevalensi penyakit tulang pada anak dengan sindrom nefrotik masih belum jelas.Selain Steroid, terdapat faktor lain yang berpotensi menyebabkan penyakit tulang pada sindrom nefrotik. Protein pengikat vitamin D yang keluar dalam urin dapat menyebabkan defisiensi vitamin D, dan hiperparatiroid sekunder pada sebagian kecil kasus.Komplikasi medis lain yang mungkin terjadi antara lain efek toksik obat, hipotiroidisme, dan gagal ginjal akut. 2.9
Prognosis Prognosis tergantung pada kausa sindrom nefrotik. Pada kasus anak,
prognosis adalah sangat baik kerana minimal change disease (MCD) memberikan respon yang
sangat
baik
pada terapi steroid dan tidak
menyebabkan terjadi gagal ginjal (chronic renal failure). Tetapi untuk penyebab lain seperti focal segmental glomerulosclerosis (FSG) sering menyebabkan terjadi end stage renal disease (ESRD). Faktor – faktor lain yang memperberat lagi sindroma nefrotik adalah level protenuria, control tekanan darah dan fungsi ginjal. Prognosis umumnya baik kecuali pada keadaan-keadaan teretnrtu sebagai berikut : - Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun - Jenis kelamin laki-laki - Disertai oleh hipertensi - Disertai hematuria - Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder - Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal - Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnyaa gambaran klinis Pada umumnya sebagian besar (+80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira
50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid. 2.10
Alur Rujukan Keadaan-keadaan ini merupakan indikasi untuk merujuk pasien kepada
ahli nefrologi anak: 1. Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun, riwayat penyakit sindrom nefrotik di dalam keluarga 2. Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan fungsi ginjal, atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau lesi di kulit 3. Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi berat, toksik steroid 4. Sindrom nefrotik resisten steroid 5. Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid
BAB 3 PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia.
Etiologi
sindrom
nefrotik
dibagi
menjadi
tiga,
yaitu
kongenital,
glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder akibat penyakit sistemik.
Gejala klinis sindrom nefrotik yang khas adalah pitting edema akibat proteinuria dan hipoproteinemia. Gejala lain berupa komplikasi seperti asites, efusi pleura, edema anasarka. Hipertensi juga dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik.
Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 hal, yaitu : 1. proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+) 2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL 3. Edema 4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
Penatalaksanaan pasien dengan sindrom nefrotik meliputi pengaturan diit, penanggulangan edema, pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.
3.2
Saran Pada penulisan tinjauan pustaka sindrom nefrotik selanjutnya disarankan
untuk membahas sejauh mana kompetensi dokter umum dalam penatalaksanaan sindrom nefrotik pada anak.
DAFTAR PUSTAKA Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426. Bagga, A. dan Mantan, M. 2005. Nephrotic syndrome in children. Indian Journal of Medical Research, vol. 122, hal. 13-28. Gunawan, AC. 2006. Sindrom Nefrotik: Pathogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran, no. 150, hal. 50-54. Darnindro, N dan Muthalib, A. 2008. Tatalaksana Hipertensi pada Pasien dengan Sindrom Nefrotik. Maj Kedokt Indon, vol. 58, no. 2, hal. 57-61 Eddy, AA dan Symons, JM. 2003. Nephrotic syndrome in childhood. THE LANCET , vol 362, hal. 629-639. Hammersmith, J., Bradley Tirner, dan George H. Roberts. 2006. Nephrotic Syndrome. Continuing Education Topics & Issues Jalanko, H. 2009. Congenital nephrotic syndrome. Pediatric Nephrology, vol. 24, hal. 2121–2128 Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nephrotic Syndrome. Nelson Textbook of Pediatric 18th ed. Saunders. Philadelphia. Chapter 527. Lasty Wisata, Dwi Prasetyo, Dany Hilmanto. Perbedaan Aspek Klinis Sindrom Nefrotik Resisten Steroid dan Sensitif Steroid pada Anak. Maj Kedokt Indon, vol. 60, no. 12. Noer, MS. 2002. Sindrom Nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, hal. 73-87 Sophie de Seigneux dan Pierre-Yves Martin. 2009. Management of patients with nephritic Syndrome. Swiss Med Weekly, vol.139 (29-30), hal. 416-422. Trihono, PP., Atalas, H., Tambunan, T., Pardede, SO 2008. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi Kedua Cetakan Kedua 2012. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, hal. 1-20. Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, hal 381-426.