BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai oleh adanya bula sub epidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya diderita pada orang tua dengan erupsi bulosa disertai rasa gatal menyeluruh dan lebih jarang melibatkan mukosa, tetapi memiliki angka morbiditas yang tinggi. Namun presentasinya dapat polimorfik dan dapat terjadi kesalahan diagnosa, terutama pada tahap awal penyakit, di mana bula biasanya tidak ada. Pemfigoid bulosa ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (komponen komplemen ke-3) pada epidermal basement membrane zone, IgG sirkulasi dan antibodi IgG yang terikat pada basement membrane zone. Kondisi ini disebabkan oleh antibodi dan inflamasi abnormal terakumulasi di lapisan tertentu pada kulit atau selaput lendir. Lapisan jaringan ini disebut "membran basal”. Antibodi (imunoglobulin) mengikat protein di membran basal disebut antigen hemidesmosomal pemfigoid bulosa dan ini menangkap sel-sel peradangan (kemotaksis). Sebagian besar pasien pemfigoid bulosa berumur lebih dari 60 tahun. Pemfigoid bulosa jarang terjadi pada anak-anak. Tidak diketahui prevalensi ras / etnis, jenis kelamin yang memiliki
kecenderungan
menderita
pemfigoid
bulosa.
Insiden
pemfigoid
bulosa
diperkirakan 7 per juta per tahun di Prancis dan Jerman. 1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi kulit? 2. Apa definisi dari pemfigoid bulosa? 3. Bagaimana etiologi pada pemfigoid bulosa? 4. Apa manifestasi klinis pada pemfigoid bulosa? 5. Bagaimana patofisiologi dari pemfigoid bulosa? 6. Apa pemeriksaan penunjang pada pemfigoid bulosa? 7. Apa diagnosis banding dari pemfigoid bulosa? 8. Bagaimana penatalaksanaan pada pemfigoid bulosa? 1
9. Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan pemfigoid bulosa? 1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum Mahasiswa
mampu
membuat
dan
mengaplikasikan
proses
pemberian
asuhan
keperawatan pada pasien dengan pemfigoid bulosa.
2. Tujuan Khusus a. Mengetahui anatomi dan fisiologi kulit b. Mengetahui definisi dari pemfigoid bulosa c. Mengetahui etiologi pada pemfigoid bulosa d. Mengetahui manifestasi klinis pada pemfigoid bulosa e. Mengetahui patofisiologi dari pemfigoid bulosa f. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada pemfigoid bulosa g. Mengetahui diagnosis banding dari pemfigoid bulosa h. Mengetahui penatalaksanaan dari pemfigoid bulosa i.
Mengetahui asuhan keperawatan pasien dengan pemfigoid bulosa
2
BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit
Kulit merupakan pembungkus elastis yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas ukurunya, yaitu 15 persen dari berat tubuh dan luasnya 1,50-1,75m². Rata-rata tebal kulit 1-2 mm. Paling tebal (6mm) terdapat di telapak tangan dan kaki dan yang paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis.
Gambar struktur anatomi kulit
Kulit terbagi atas tiga lapisan pokok, yaitu epidermis, dermis atau korium, dan jaringan subkutan atau subkutis. a)
Epidermis Epidermis terbagi atas empat lapisan: 1. Stratum korneum Lapisan zat tanduk , tersusun dari sel-sel mati dan selalu mengelupas. 2. Stratum lusidum Lapisan zat tanduk, tersusun atas sel-sel yang tidak berinti dan berfungsi mengganti stratum korneum. 3
3. Stratum granulosum Tersusun atas sel-sel yang berinti dan mengandung melanocit 4. Stratum germinativum (basal) Tersusun atas sel-sel yang selalu membentuk sel-sel baru ke arah luar. Epidermis mengandung juga: Kelenjar ekrin, kelenjar apokrin, kelenjar sebaseus, rambut dan kuku. Kelenjar keringat ada dua jenis, ekrin dan apokrin. Fungsinya mengatur suhu, menyebabkan panas dilepaskan dengan cara penguapan. Kelanjar ekrin terdapat disemua daerah kulit, tetapi tidak terdapat di selaput lendir. Seluruhnya berjumlah antara 2 sampai 5 juta yang terbanyak ditelapak tangan. Sektretnya cairan jernih kira-kira 99 persen mengandung klorida,asam laktat,nitrogen dan zat lain. Kelenjar apokrin adalah kelenjar keringat besar yang bermuara ke folikel rambut, terdapat di ketiak, daerah anogenital, putting susu dan areola. Kelenjar sebaseus terdapat diseluruh tubuh, kecuali di tapak tangan, tapak kaki dan pungung kaki. Terdapat banyak di kulit kepala, muka, kening, dan dagu. Sekretnya berupa sebum dan mengandung asam lemak, kolestrol dan zat lain. b)
Dermis Dermis atau korium merupakan lapisan bawah epidermis dan diatas jaringan subkutan. Dermis terdiri dari jaringan ikat yang dilapisan atas terjalin rapat (pars papillaris), sedangkan dibagian bawah terjalin lebih lebih longgar (pars reticularis). Lapisan pars retucularis mengandung pembuluh darah, saraf, rambut, kelenjar keringat dan kelenjar sebaseus.
c)
Jaringan Subkutan (Subkutis atau Hipodermis) Jaringan subkutan merupakan lapisan yang langsung dibawah dermis. Batas antara jaringan subkutan dan dermis tidak tegas. Sel-sel yang tyerbanyak adalah liposit yang menghasilkan banyak lemak. Jaringan subkutan mengandung saraf, pembuluh darah dan limfe, kandungan rambut dan di lapisan atas jaringan subkutan terdapat kelenjar keringan. Fungsi dari jaringan subkutan adalah penyekat panas, bantalan terhadap trauma dan tempat penumpukan energi.
4
Kulit mempunyai fungsi bermacam-macam untuk menyesuaikan tubuh dengan lingkungan. Fungsi kulit adalah sebagai berikut : a.
Fungsi proteksi
b.
Fungsi absorpsi
c.
Fungsi ekskresi
d.
Fungsi persepsi
e.
Fungsi pengaturan suhu tubuh
f.
Fungsi pembentukan pigmen
Jika kulit diberi rangsangan listrik maka elemen-elemen kontraktil akan memendek atau kulit akan berinteraksi. Rangsangan ini berasal dari pusat kesadaran (otak) dan disalurkan melalui serabut sarafpengerak menuju serabut-serabut kulit. Seperti diketahui kulit berkontraksi menurut rangsangan yang datang, bila tidak ada rangsangan unit pengerak dalam keadaan istirahat (relax) dan otot dalam keadaan lemas ( flaccid ). Pengiriman rangsangan dari saraf ke serabut kulit dilakukan melalui sambungan yang dinamakan junction neuromuscular. Pada akhir ujung saraf ini masih terletak diluar selaput tipis pembungkus serabut kulit. Dibagian akhir ini ditemukan butiran-butiran halus yang disebut kuhme atau gelembung-gelembung asetilkolin. Asetilkolin merupakan hormon yang dikeluarkan oleh bagian saraf akhir dengan tujuan untuk merangsang serabut kulit. Karena rangsangan ini membuat permeabilitas sel-sel kulit berubah sehingga ia dapat meneruskan rangsangan tadi keseluruh bagain kulit. Akibatnya kulit berkontraksi. Anatomi yang terlibat pada penyakit Pemfigoid Bulosa adalah stratum basale. Stratum basal terdiri atas sel – sel berbentuk kubus yang tersusun vertikal pada perbatasan dermo epidermal berbaris seperti pagar. Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu sel berbentuk kolumnar dan sel pembentuk melanin. Pada sel basal dalam membran basalis, terdapat hemidesmosom. Fungsi hemidesmosom adalah melekatkan sel – sel basal dengan membran basalis.
5
2.2 Definisi
Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai oleh adanya bula subepidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya diderita pada orang tua dengan erupsi bulosa disertai rasa gatal menyeluruh dan lebih jarang melibatkan mukosa, tetapi memiliki angka morbiditas yang tinggi. Namun presentasinya dapat polimorfik dan dapat terjadi kesalahan diagnosa, terutama pada tahap awal penyakit atau di varian atipikal, di mana bula biasanya tidak ada. Dalam kasus ini, penegakan diagnosis PB memerlukan tingkat pemeriksaan yang tinggi untuk kepentingan pemberian pengobatan awal yang tepat. Antigen target pada antibodi pasien yang menunjukkan dua komponen dari jungsional adhesi kompleks-hemidesmosom ditemukan pada kulit dan mukosa. Pemfigoid Bulosa (PB) ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (komponen komplemen ke-3) pada epidermal basement membrane zone, IgG sirkulasi dan antibody IgG yang terikat pada basement membrane zone. Kondisi ini disebabkan oleh antibodi dan inflamasi abnormal terakumulasi di lapisan tertentu pada kulit atau selaput lendir. Lapisan jaringan ini disebut "membran basal." Antibodi (imunoglobulin) mengikat protein di membran basal disebut antigen hemidesmosomal PB dan ini menarik sel-sel peradangan (kemotaksis).
2.3 Etiologi
PB adalah contoh dari penyakit yang dimediasi imun yang dikaitkan dengan respon humoral dan seluler yang ditandai oleh dua self-antigen yaitu antigen PB 180 (PB180, PBAG2 atau tipe kolagen XVII) dan antigen PB 230 (PB230 atau PBAG1. Etiologi PB adalah autoimun, tetapi penyebab yang menginduksi produksi autoantibodi pada Pemfigoid Bulosa masih belum diketahui. Sistem imun tubuh kita menghasilkan antibodi untuk melawan bakteri, virus atau zat asing yang berpotensi membahayakan. Untuk alasan yang tidak jelas, tubuh dapat menghasilkan antibodi untuk suatu jaringan tertentu dalam tubuh. Dalam Pemfigoid Bulosa, sistem kekebalan menghasilkan antibodi terhadap membran basal kulit, lapisan tipis dari serat menghubungkan lapisan luar kulit (dermis) dan lapisan berikutnya dari kulit (epidermis). Antibodi ini memicu aktivitas inflamasi yang menyebabkan kerusakan pada struktur kulit dan rasa gatal pada kulit. Tidak ada penyebab 6
khusus yang memicu timbulnya PB, namun beberapa faktor dikaitkan dengan terjadinya PB. Sebagian kecil kasus mungkin dipicu obat seperti furosemide, sulphasalazine, penicillamine dan captopril . Suatu studi kasus menyatakan obat anti psikotik dan antagonis aldosterone termasuk dalam faktor pencetus Pemfigoid Bulosa. Belum diketahui apakah obat yang berefek langsung pada sistem imun, seperti kortikosteroid, juga berpengaruh pada kasus Pemfigoid Bulosa. Sinar ultraviolet juga dinyatakan sebagai faktor yang memicu PB ataupun memicu terjadinya eksaserbasi PB. Beberapa faktor fisik termasuk suhu panas, luka, trauma lokal, dan radioterapi dilaporkan dapat menginduksi PB pada kulit normal.
2.4 Manifestasi Klinis a. Fase Non Bulosa
Manifestasi kulit PB bisa polimorfik. Dalam fase prodromal penyakit nonbulosa, tanda dan gejala sering tidak spesifik, dengan rasa gatal ringan sampai parah atau dalam hubungannya dengan eksema, papula dan atau urtikaria, ekskoriasi yang dapat bertahan selama beberapa minggu atau bulan. Gejala nonspesifik ini bisa ditetapkan sebagai satu-satunya tanda-tanda penyakit. b. Fase Bulosa
Tahap bulosa dari PB ditandai oleh perkembangan vesikel dan bula pada kulit normal ataupun eritematosa yang tampak bersama - sama dengan urtikaria dan infiltrat papula dan plak yang kadang-kadang membentuk pola melingkar. Bula tampak tegang, diameter 1 – 4 cm, berisi cairan bening, dan dapat bertahan selama beberapa hari, meninggalkan area erosi dan berkrusta. Lesi seringkali memiliki pola distribusi simetris, dan dominan pada aspek lentur anggota badan dan tungkai bawah, termasuk perut. Perubahan post inflamasi memberi gambaran hiper- dan hipopigmentasi. Keterlibatan mukosa mulut diamati pada 10-30% pasien. Daerah mukosa hidung mata, faring, esofagus dan daerah anogenital lebih jarang terpengaruh. Pada sekitar 50% pasien, didapatkan eosinofilia daerah perifer. Perjalanan penyakit biasanya ringan dan keadaan umum penderita baik. Penyakit PB dapat sembuh spontan (self-limited disease) atau timbul lagi secara sporadik, dapat generalisata atau tetap setempat sampai beberapa tahun. Rasa gatal kadang dijumpai, walaupun jarang ada. Kebanyakan bula ruptur dalam waktu 1minggu, tidak seperti 7
pemfigus vulgaris, ia tidak menyebar dan sembuh dengan cepat. Bula yang pecah menimbulkan erosi yang luas dengan bentuk tidak teratur, namun tidak bertambah seperti pada Pemfigus Vulgaris. c. Lesi kulit
Eritema, papul atau tipe lesi urtikaria mungkin mendahului pembentukan bula. Bula besar, tegang, oval atau bulat mungkin timbul dalam kulit normal atau yang eritema dan mengandung cairan serosa atau hemoragik. Erupsi dapat bersifat lokal maupun generalisata, biasanya tersebar tapi juga berkelompok dalam pola serpiginosa dan arciform. Lesi PB yang menyembuh tidak meninggalkan jaringan parut, te tapi dapat menimbulkan hiperpigmentasi. d. Tempat Predileksi
Aksila, paha bagian medial, perut, fleksor lengan bawah, tungkai bawah.
Gambar: Pemfigoid Bulosa. Bula tegang diatas kulit yang eritema
Gambar: Pemfigoid bulosa pada perut
8
2.5 Patofisiologi
Gambar: Mekanisme pembentukan bula di Pemfigoid Bulosa (PB)
Gambar diatas menggambarkan beberapa struktur protein membran basal epidermis yang berfungsi sebagai autoantigen utama dalam penyakit kulit autoimun subepidermal bulosa. Autoantigens utama pada pasien PB adalah antigen PB 230 (PB230) dan antigen PB 180. Autoantibodi PB terakumulasi dalam jaringan dan mengikat antigen pada membran basal. Pasien dengan PB mengalami respon sel T autoreaktif untuk PB180 dan PB230, dan ini mungkin penting untuk merangsang sel B untuk menghasilkan autoantibodi patogen. Setelah pengikatan autoantibodi terhadap antigen target, pembentukan bula subepidermal terjadi melalui rentetan peristiwa yang melibatkan aktivasi komplemen, perekrutan sel inflamasi (terutama neutrofil dan eosinofil), dan pembebasan berbagai kemokin dan protease, seperti metaloproteinase matriks-9 dan neutrofil elastase. Pemfigoid Bulosa adalah contoh penyakit autoimun dengan respon imun seluler dan humoral yang bersatu menyerang antigen pada membran basal. Antigen PB merupakan protein yang terdapat pada hemidesmosom sel basal, diproduksi oleh sel basal dan merupakan bagian BMZ (basal membrane zone) epitel gepeng berlapis. Fungsi hemidesmosom ialah melekatkan sel-sel basal dengan membrane basalis, strukturnya berbeda dengan desmosom. Terdapat dua 9
jenis antigen Pemfigoid Bulosa yaitu dengan berat molekul 230kD disebut PBAg1 (Pemfigoid Bulosa Antigen 1) atau PB230 dan 180 kD dinamakan PBAg2 atau PB180. PB230 lebih banyak ditemukan dari pada PB180. Terbentuknya bula akibat komplemen yang beraktivasi melalui jalur klasik dan alternatif, yang kemudian akan mengeluarkan enzim yang merusak jaringan sehingga terjadi pemisahan epidermis dengan dermis. Studi ultrastruktural memperlihatkan pembentukan awal bula pada pemfigus bulosa terjadi dalam lamina lucida, di antara membrane basalis dan lamina densa. Terbentuknya bula pada tempat tersebut disebabkan hilangnya daya tarikan filament dan hemidesmosom. Langkah awal dalam pembentukan bula adalah pengikatan antibodi terhadap antigen Pemfigoid Bulosa. Fiksasi IgG pada membran basal mengaktifkan jalur klasik komplemen. Aktifasi komplemen menyebabkan kemotaksis leukosit serta degranulasi sel mast. Produk-produk sel mast menyebabkan kemotaksis dari eosinofil melalui mediator seperti faktor kemotaktik eosinofil anafilaksis. Akhirnya, leukosit dan protease sel mast mengakibatkan pemisahan epidermis kulit. Sebagai contoh, eosinofil, sel inflamasi dominan di membran basal pada lesi Pemfigoid Bulosa, menghasilkan gelatinase yang memotong kolagen ekstraselular dari PBAG2, yang mungkin berkontribusi terhadap pembentukan bula.
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemfigus bulosa harus dibedakan dengan dermatosis linear IgA, eritema multiforme, erupsi obat, dermatitis herpetiformis dan epidermolisis bulosa. Penderita harus melakukan Biopsi kulit dan titer antibodi serum untuk membedakannya. Biopsi sangat penting untuk membedakan penyakit - penyakit ini karena mempunyai prognosis yang tidak sama. a. Histopatologi
Kelainan yang dini pada Pemfigoid Bulosa yaitu terbentuknya celah di perbatasan dermal-epidermal, bula terletak di subepidermal, sel infiltrat yang utama adalah eosinofil. a.
Imunologi
Pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat endapan IgG dan C3 tersusun seperti pita di BMZ
(Base
Membrane
Zone).
Pewarnaan
Immunofluorescence
langsung
(IF)
menunjukkan IgG dan biasanya juga C3, deposit dalam lesi dan paralesional kulit dan substansi intraseluler dari epidermis.
10
2.7 Diagnosa Banding a. Pemfigus Vulgaris (PV)
Adalah sebuah penyakit autoimun yang serius, dengan bulla, dapat bersifat akut ataupun kronis pada kulit dan membran mukosa yang sering berakibat fatal kecuali diterapi dengan agen imunosupresif. Penyakit ini adalah prototype dari keluarga / golongan pemfigus, yang merupakan sekelompok penyakit bula autoimun akantolitik. Gambaran lesi kulit pada pemfigus vulgaris didapatkan bula yang kendur di atas kulit normal dan dapat pula erosi. Membran mukosa terlibat dalam sebagian besar kasus. Distribusinya dapat dibagian mana saja pada tubuh. Pada pemeriksaan histopatologi, terlihat gambaran akantolisis suprabasalis. Pada pemeriksaan imunopatologi, diperoleh IgG dengan pola interseluler.
Gambar: Lesi utama pemfigus vulgaris bula yang lembek
Gambar: Pemphigus vulgaris. Erosions and flaccid bullae pada kulit normal. 11
b. Pemfigus Foliaseus (PF)
Adalah bentuk superfisial penyakit pemfigus dengan akantolisis pada lapisan granulosum epidermis. Lesi kulit pada pemfigus foliaseus berupa krusta dan adakalanya berupa vesikel yang kendur. Membran mukosa jarang terlibat. Distribusi lesinya pada bagian tubuh yang lebih terbuka dan bagian tubuh yang memiliki banyak kelenjar sebasea. Pada gambaran histopatologi, terlihat gambaran akantolisis pada stratum granulosum. Pada pemeriksaan imunopatologi diperoleh IgG dengan pola intraseluler.7 c. Pemfigus vegetans (PVeg)
Memberikan gambaran lesi berupa plak granulomatosa, dan adakalanya terdapat vesikel di pinggiran lesi. Membran mukosa terlibat pada sebagian besar kasus. Distribusi lesi pada daerah intertriginosa, daerah perioral, leher, kepala dan aksila. Pada pemeriksaan histopatologi, terlihat gambaran akantolosis suprabasal dan abses-abses intraepidermal yang berisi eosinofil. Pada pemeriksaan imunopatologi, didap atkan hasil seperti Pemfigus vulgaris. d. Epidermolisis Bulosa (EB)
Adalah sebuah penyakit bula subepidermal kronik yang berkaitan dengan autoimunitas pada kolagen tipe II dalam fibrin pada zona membrane basal. Lesi kulit berupa bula yang berdinding tegang dan erosi, gambaran noninflamasi ataupun menyerupai pemfigus bulosa, Dermatitis herpetiformis, atau Dermatosis IgA linear. Membran mukosa terlibat pada kasus yang parah. Distribusi lesinya sama dengan Pemfigoid Bulosa. Pada pemeriksaan
histopatologi
didapatkan
bula
subepidermal.
Pada
pemeriksaan
imunopatologi diperoleh IgG linear pada zona me mbrane basal. e. Dermatitis herpetiformis (DH)
Adalah erupsi pruritus yang kronis, rekuren, dan intensif yang muncul secara simetris pada ekstremitas dan pada badan dan terdiri dari vesikel-vesikel kecil, papul, dan plak urtika yang tersusun berkelompok, serta berkaitan dengan gluten-sensitive enteropathy (GSE) dan deposit IgA pada kulit. Lesi kulit berupa papul berkelompok, urtikaria, vesikel serta krusta. Membran mukosa tidak terlibat. Lesi terdistribusi pada daerah siku, lutut, glutea, sakral dan skapula. Pada pemeriksaan histopatologi, terlihat gambaran mikroabses
12
di papilla dermis, dan vesikel subepidermal. Pada pemeriksaan imunopatologi, didapatkan IgA berbentuk granula pada ujung papilla.
Gambar: Dermatitis Herpetiformis dicirikan oleh kelompok vesikel intens pruritic, papula, dan lesi urtikaria seperti biasanya didistribusikan secara simetris pada permukaan ekstensor. f.
Dermatosis IgA linear
Adalah penyakit kulit dengan bula subepidermal yang dimediasi sistem imun, dan merupakan kasus yang cukup jarang ditemukan. Penyakit ini ditandai dengan adanya deposit IgA linear yang homogen pada zona membran basal kutaneus. Gambaran lesi kulitnya berupa vesikel yang anular, berkelompok dan dapat berupa bula. Membran mukosa terlibat dan biasanya terdapat erosi dan ulkus pada mulut, serta erosi dan pada konjungtiva. Distribusi lesinya bisa dimana saja. Pada pemeriksaan histopatologi, terlihat gambaran bula subepidermal dan disertai neutrofil. Pada pemeriksaaan imunopatologi, didapatkan IgA linear pada zona membran basal. 2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri dari prednisone sistemik, sendiri atau dalam kombinasi dengan agen lain yaitu azathioprine, mycophenolate mofetil atau tetracycline. Obat - obat ini biasanya dimulai secara bersamaan, mengikuti penurunan secara bertahap dari prednison dan agen steroid setelah remisi klinis tercapai. Kasus ringan mungkin hanya memerlukan kortikosteroid topikal. Methrotrexate mungkin digunakan pada pasien dengan penyakit berat yang tidak dapat bertoleransi terhadap prednison. Dosis prednisolon 40-60 mg sehari, jika telah tampak perbaikan dosis di turunkan perlahan - lahan. Sebagian kasus dapat disembuhkan dengan kortikosteroid saja. Terapi steroid sistemik biasanya diperlukan, tetapi tidak seperti Pemfigus, dimungkinkan untuk menghentikan terapi ini setelah 2 sampai 3 13
tahun. Dosis awal 60-100 mg prednisolon atau setara harus secara bertahap dikurangi ke jumlah minimum yang akan mengendalikan penyakit ini. Azatioprine juga berpotensi memberikan efek samping yang buruk seperti prednison. Suatu kajian menjelaskan jika glukokortikoid sistemik diberikan pada penderita dengan dosis tinggi tanpa dilakukan tapering selama 4 minggu, kombinasi dengan azatioprine kurang memberi manfaat tetapi sebaliknya penderita harus menanggung efek samping obat tersebut. Pada penderita lanjut usia dengan gejala yang tidak progresif, obat imunosupresif ini bisa digunakan pada terapi awal tanpa dikombinasikan dengan prednison. Glukokortikoid sistemik biasanya diperlukan pada penderita dengan gejala yang berat dan progresif supaya penderita bisa ditangani dengan cepat. Efek pemakaian glukokortikoid sistemik sangat cepat yaitu hanya beberapa hari. Terapi dosis tinggi metilprednisolon intravena juga dilaporkan efektif untuk mengontrol dengan cepat pembentukan bula yang aktif pada Pemfigoid Bulosa. Sulfon mungkin efektif pada setengah pasien dengan Pemfigoid Bulosa. Tidak banyak pasien yang berespon terhadap dapson. a. Umum -
Pengawasan keadaan umum, tanda vital
-
Diet TKTP
-
Hindari infeksi sekunder (K/P) infus untuk mengantisipasi gangguan cairan dan elektrolit
b. Sistemik -
Prednison 40-80 mg/hr, bila tampak perbaikan tapering off
-
DDS 200-300 mg/hari
-
Dapat diberikan gabungan prednison dengan imunosupresan lain
-
MTX 20-30 mg/ minggu interval 12 jam diberikan saat prednison dosis 400 mg
-
Azatioprin 50-150 mg/hr setelah 3-4 minggu kemudian dilakukan alternate day
-
Anabolik bila ada infeksi sekunder
-
CTM 3x1 tablet sehari ( bila gatal)
c. Topikal -
Untuk lesi basah : kompres rivanol
-
Untuk lesi erosi kering : kortikosteroid topikal 14
-
Antibiotik topikal
-
Bula besar : aspirasi
2.9 Asuhan Keperawatan Pasien dengan Pemfigoid Bulosa 2.9.1
PENGKAJIAN FOKUS
1. Biodata Umur : biasanya pada usia pertengahan sampai dewasa muda 2. Riwayat kesehatan Keluhan utama : nyeri karena adanya pembentukan bula dan erosi 3. Riwayat penyakit dahulu : Riwayat alergi obat, riwayat penyakit keganasan ( neoplasma ), riwayat penyakit lain 4. Pola kesehatan fungsional a. Pola Nutrisi dan Metabolik Kehilangan cairan dan elektrolit akibat kehilangan cairan dan protein ketika bula mengalami ruptur. b. Pola persepsi sensori Nyeri akibat pembentukan bula dan erosi c. Pola hubungan dengan orang lain Terjadinya perubahan dalam berhubungan dengan orang lain karena adanya bula atau bekas pecahan bula yang meninggalkan erosi yang lebar d. Pola persepsi dan konsep diri Terjadinya gangguan body image karena adanya bula / bula pecah meninggalkan erosi yang lebar serta bau yang menusuk 5. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan Umum : Baik b. Tingkat kesadaran : Composmentis c. Tanda – tanda vital : 15
TD
: Dapat meningkat/ menurun
N
: Dapat meningkat/ menurun
RR
: Dapat meningkat/ menurun
S
: Dapat meningkat/ menurun
d. Aksila
: Kadang ditemukan bula
e. Tungkai bawah: Kadang ditemukan bula f.
Perut
: Kadang ditemukan bula
6. Pemeriksaan penunjang a. Klinis anamnesis dan pemeriksaan kulit Ditemukan adanya bula b. Histopatologi Terbentuknya celah di perbatasan dermal-epidermal, bula terletak di subepidermal c. Test imunofluorssen Didapatkan penurunan imunoglobulin
2.9.2
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan lesi pada kulit, pecahnya bula
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan rupture bula dan daerah kulit yang terbuka 3. Ganguan body image berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak baik
16
2.9.3
No
1.
INTERVENSI
Diagnosa
Tujuan dan
Keperawatan
Kriteria Hasil
Gangguan nyaman:
Setelah
nyeri
Asuhan
pasien secara baik dan
percaya antara pasien dengan tim
Keperawatan
terbuka
medis
dengan lesi pada
bula.
Rasional
rasa
berhubungan
kulit,
Intervensi
pecahnya
dilakukan
a. Bina hubungan dengan
selama 2x24 jam diharapkan
pasien
a. Tercapainya
untuk
hubungan
saling
mendukung
dalam
proses keperawatan. b. Kaji jenis dan tingkat
b. Membantu
meyakinkan
sudah
tidak
nyeri. Kaji faktor yang
penanganan
merasakan
nyeri
dapat mengurangi atau
kebutuhan pasien dalam mengurangi
atau
nyeri
memperberat
nyeri
berkurang
dengan
kriteria hasil: -
-
memnuhi
seperti lokasi, durasi, intensitas, karakteristik,
Pasien akan
tanda
menyatakan
psikologis
nyeri
nyeri
dapat
bahwa
c. Minta
dan
pasien
gejala
untuk
berkurang
menggunakan
Menujukkan
skala
tindakan
menjelaskan
santai,
nyerinya (dengan nilai
mampu
10 menandakan tingkat
1-10
sebuah untuk
c. Untuk
memfasilitasi
pengkajian
yang akurat tentang tingkat nyeri pasien
tingkat
17
berpartisipa si
dalam
nyeri yang palng berat) d. Kendalikan
faktor-
aktivitas/isti
faktor
iritan
rahat
kelembaban,
suhu,
dengan
sabun
batasi
tepat.
pakaian, cuci linen)
ringan,
e. Dorong
(
menggunakan
teknik
integritas
kulit
berhubungan dengan
rupture
bula dan daerah kulit
yang
Setelah
dilakukan
asuhan keperawatan
integritas
kulit
kembali
perhatian,
stress seperti relaksasi
meningkatkan kemampuan koping
progresif, latihan napas
dalam
dalam,
mungkin menetap untuk periode
imajinasi
manajemen
nyeri
yang
lebih lama dengan
f. Meningkatkan ambang nyeri dan
dokter pemberian obat
berfungsi unrk menurunkan rasa
analgesik
nyeri
a. Kaji atau catat ukuran, warna dan kondisi sekitar bula
selama 2x24 jam b. Observasi kulit pasien, diharapkan
e. Memfokuskan
meningkatkan rasa control dan dapat
f. Kolaborasi
Kerusakan
panas, bahan kimia dan fisik
manajemen
visualisasi
2.
d. Rasa nyeri dapat diperburuk oleh
a. Memberikan informasi dasar tentang kebutuhan perawatan kulit b. Deteksi dini terhadap perubahan
dokumentasikan kondisi kulit,
kulit dapat mencegah atau
dan laporkan setiap perubahan
meminimalkan kerusakan kulit
18
terbuka.
membaik
dengan
kriteria hasil : -
keadaan. c. Setelah
dimandikan
kulit
c. Jumlah bedak yang cukup banyak
Cairan pada
segera dikeringkan dengan
mungkin diperlukan untuk menjaga
bula
hati-hati dan taburi dengan
agar kulit pasien tidak lengket
berkurang
bedah
dengan sprei
yang
tidak
mengiritasi d. Jangan
menggunakan
sehingga perlu diberikan perban.
plester
3.
Ganguan
body
Setelah
dilakukan
a. Kaji adanya gangguan citra
image
asuhan keperawatan
diri ( menghindar, kontak
berhubungan
dalam waktu 2 x 24
mata kurang)
dengan
jam citra diri pasien b. Beri
penampakan
meningkat
dengan
kulit yang tidak Kriteria hasil : baik
a. Mampu
kesempatan
untuk
pasien
mengungkapkan
c. Motivasi
pasien
untuk
bersosialisasi dengan orang
mengkomunikasi
lain
orang tentang
dengan terdekat situasi
a. Gangguan citra diri akan menyertai setiap penyakit yang tampak nyata
b. Pasien
butuh
pengalaman
didengarkan dan dipahami
emosi
menyatakan atau
kan
d. Dapat menimbulkan pecahnya bula
d. Identifikasi kehilangan pada pasien.
arti atau
dari
disfungsi
c. Meningkatkan penerimaan diri dan sosialisasi d. Beberapa pasien dapat menerima secara
efektif
pada
kondisi
perubahan fungsi yang dialaminya, sedangkan yang lain mempunyai 19
dan
perubahan
yang
kesulitan
sedang
menerima
perubahan fungsi yang di alaminya
terjadi.
sehingga memberikan dampak pada
b. Mampu
kondisi koping maladaptif.
menyatakan penerimaan
dalam
diri
terhadap situasi
e. Dukung perilaku atau usaha
e. Pasien dapat beradaptasi terhadap
seperti peningkatan minat
perubahan dan pengertian tentang
atau
peran individu masa mendatang
pertisipasi
dalam
aktivitas rehabilitasi.
20
BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai oleh adanya bula subepidermal pada kulit. Gejala yang sering adalah dengan rasa gatal ringan sampai parah. Penanganan dapat berupa medis maupun non medis dimana peran perawat disini adalah penanganan non medis yaitu memberikan health education dalam mencegah penularan pemfigoid bulosa. 3.2 Saran
Sebagai ilmu pengetahuan untuk memberikan intervensi pada pasien pemfigoid bulosa. Dengan memperhatikan keterbatasan yang ada pada makalah ini, maka dapat dikembangkan untuk penulisan lebih lanjut.
21
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda J. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8.Jakarta: EGC Djuanda, Adhi. 1999. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI Doenges, Marilynn E.1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.Jakarta: EGC
22