Makalah Endoparasit dan Ektoparasit KERAGAMAN JENIS LALAT PENGGANGGU DENGAN METODE NZI TRAP TRAP DAN DAN SWEEPI NG NET PADA PETERNAKAN H. DWI CIKAMPAK, KABUPATEN BOGOR
Oleh : Kelompok H-2 2014-2015 Bagus Aditya Putratama, Putratama, SKH Jessica Rizkina Wibowo, SKH
B94134309 B94134332
Pembimbing Prof drh Upik Kesumawati, MS PhD Dr drh Yusuf Ridwan, MSi
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015
PENDAHULUAN Latar belakang
Peternakan tradisional di Indonesia sedang berkembang seperti halnya peternakan besar, namun peternak tradisional biasanya kurang memperhatikan kebersihan ternak dan kandang. Kotoran ternak pada kandang dapat mengundang vektor penyakit seperti lalat yang dapat menimbulkan gangguan pada ternak. Lalat dapat menjadi perantara bagi agen penyakit ternak (vektor penyakit). Surra dan Jembara merupakan contoh penyakit ternak yang penyebarannya diperantai oleh Tabanus (van Hennekeler et al . 2006). Selain masalah kesehatan, gangguan lalat pada peternakan sapi potong adalah masalah ekonomi. Lalat dapat menganggu pertambahan bobot badan sehingga tidak optimal. Lalat merupakan ektoparasit yang termasuk ke dalam ordo Diptera. Diptera adalah serangga yang memiliki dua pasangan sayap, namun sayap bagian posterior telah berubah bentuk dan fungsinya mennjadi alat keseimbangan yang disebut halter. Serangga yang termasuk dalam ordo Diptera mengalami metamorphosis sempurna. Metamorphosis sempurna adalah metamorphosis yang terdiri dari 4 tahapan, yaitu tahap telur, larva, pupa, dan yang terakhir adalah tahap dewasa. Beberapa spesies lalat dianggap sebagai pengganggu pada ternak atau vektor penyakit pada ternak. Lalat penghisap darah seperti Haematobia sp., Stomoxy calcitrans, Tabanus sp. dapat menyebabkan stress dan gangguan kesehatan bagi ternak. Selain lalat penghisap darah, lalat pengganggu lain yang sering ditemukan pada peternakan sapi adalah Musca domestica. Beberapa jenis lalat juga dapat menyebabkan miasis pada ternak, yaitu Chrysomia sp. Tujuan
Mahasiswa PPDH dapat mengetahui keanekaragaman lalat pengganggu pada ternak dan penangkapan dengan menggunakan metode Nzi trap dan sweeping net .
TINJAUAN PUSTAKA
Tabanu s sp.
Morfologi Bentuk tubuh ektoparasit ini besar dan kokoh berukuran 6-25mm, kepala berbentuk setengah lingkaran, serta mata yang dominan. Lalat jantan memilki mata holoptik (kanan dan kiri berhimpitan) dan yang betina dikoptik (kanan dan kiri terpisah). Antenanya pendek terdiri dari tiga ruas. Bagian mulut terdiri dari probosis yang pendek dengan maksila yang bekerja seperti pisau untuk merobek, serta labrum-epifarings dan hipofarings sebagai penusuk dan penghisap. Telurnya diletakkan oleh lalat betina dalam tumpukan lapisan dan berjajar rapat pada daun tanaman padi, eceng gondok dan tanaman lainya yang berada di atas permukaan air. Telurnya silindri dengan ukuran 1-2 mm dan jumlahnya sekitar 100-500 butir.
Larva silindris dan langsing terdiri atas 12 ruas, ujung runcing dan terdiri atas kepala yang kecil. Perilaku dan Daur hidup Lalat Tabanus mengalami metamorphosis sempurna. Telur berbentuk lonjong diletakkan pada daun tanaman yang dekat dengan air. Setel ah satu minggu, telur akan menetas menjadi larva yang berbentuk silinder dan segera masuk ke dalam tanah yang lembab atau lumpur, mereka hidup sebagai karnivora akuatik. Stadium larva berlangsung selama 6 minggu-1 tahun tergantung jenis dan kondisi cuaca. Stadium pupa berlangsung selama 1-3 minggu. Pupa menempel pada daun tanaman pada atau lainnya. Hanya lalat betina dewasa yang menghisap darah, sedangkan pejantan hidup dari cairan tumbuhan. Lalat ini merupakan penerbang yang tangguh dan penggigit persisten yang aktif pada siang hari. Lalat ini menyerang ternak, hewan liar dan manusia. Peran penting Lalat ini sebagai vektor penyakit Surra (Trypanosoma evansi), Antraks ( Bacillus anthracis), Tripanosomiasis (T. theileri, T. vivax, T. brucei), Equine Infectious Anemia (Virus EIA) dan Anaplasmosis ( Anaplasma marginale) Perbedaan Tabanus r ubidu s dan Tabanus megalops Tabanus rubidus berwarna coklat tua dengan bentuk tubuh yang lebih besar dan callusnya berwarna lebih putih dan bentuknya runcing, sedangkan pada Tabanus megalops berwarna coklat muda dengan ukuran yang lebih kecil serta bentuk callus yang tidak meruncing pada ujungnya.
Stomoxys calci tr ans
Morfologi Ukuran tubuh hampir sama dengan M. domestica dengan warna yang lebih gelap. Lalat ini memiliki bercak-bercak hitam pada abdomen dan 4 ban hitam longitudinal pada thoraks. Probosisnya panjang dan mencuat ke depan kepala, dan adanya palpus maksilaris yang ukuran lebih pendek dibanadingkan probosisnya, untuk menusuk kulit dan menghisap darah. Sayapnya jernih dengan vena sayap M1+2 melengkung halus dan sel R5 terbuka di distal. Abdomennya lebih pendek, tetapi lebih lebar jika dibandingkan dengan Musca sp. dan ditemukan adanya tiga titik berwarna gelap pada segmen ke-2 dan ke- 3 dan tepinya berwarna gelap, keabuabuan atau coklat. Arista berambut hanya pada sisi dorsal. Perilaku dan Daur Hidup Telur berbentuk lonjong berwarna putih, berjumlah 150-450 butir dalam beberapa kelompok diletakkan pada bahan-bahan yang membusuk bercampur tinja hewan atau manure sapi. Dalam waktu 2-5 hari telur menetas menjadi larva yang akan menjadi pupa stelah 7-12 hari. Masa pupa dilalui selama 3-4 hari untuk mencapai tahap dewasa. Lalat jantan maupun betina menghisap darah dan merupakan penerbang yang kuat dan berumur panjang. Lalat ini aktif pada siang hari dan gigitannya menyakitkan (Levine 1990)
Peran penting Lalat ini menjadi vektor penyakit Surra (Trypanosoma evansi), Habronemiasis ( H. microstoma, H. majus), Anthraks ( Bacillus anthracis), Brucellosis ( Brucella abortus, B. millitensis), dan Cutaneus streptothrichoris (Dematophillus congolensis). Sarcophaga sp.
Morfologi Lalat ini berukuran besar sekitar 5-11 mm dan berwarna abu-abu kehitaman. Bagian thoraksnya terdapat tiga ban hitam, dan abdomennya mempunyai pola berbintik-bintik hitam seperti papan catur. Struktur mulutnya bukan tipe penusuk, namun tipe penjilat dan penyerap seperti lalat rumah. Aristanya hanya berambut pada setengah bagian frontal, sedangkan setengah bagian distalnya tidak berambut. Perilaku dan Daur Hidup Waktu yang diperlukan lalat ini dari telur hingga dewasa adalah 14-18 hari tergantung suhu, kelembapan, dan jenisnya. Lalat betina bersifat lavipara yang meletakkkan larvanya pada bangkai, daging segar atau yang telah dimasak, kotoran hewan, bahkan luka terbuka. Larva mempunyai spirakel posterior yang khas dan tinggal serta makan jaringan daging sampai dengan instar terakhir (IV) selanjutnya akan meninggalkan tempat tersebut dan berubah menjadi pupa. Pupa biasanya ditemukan di tanah atau pasir yang terlindung dari gangguan predator atau lingkungan. Larva lalat ini memakan jaringan segar yang hidup dan juga bangkai, karena itu disebut juga sebagai lalat penyebab miasis fakultatif.
M usca domesti ca
Morfologi Musca domestica atau yang biasa dikenal dengan lalat rumah merupakan serangga bersayap dua (diptera) yang sering ditemui di rumah, kandang ruminansia besar maupun kecil, maupun peternakan ayam. Serangga ini dapat menjadi vektor dari suatu penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, maupun parasit. Morfologi dari serangga ini adalah tubuh pada lalat jantan berukuran 5.8-6.5 mm sedangkan betina 6.5-7.5 mm, berwarna kelabu terdapat 4 ban hitam longitudinal di bagian dorsal thorak (Hadi dan Soviana 2010). Lalat jantan memiliki mata kiri dan kanan saling berhimpitan (holoptrik) sedangkan betina memilika mata yang terpisah (dikoptik) (Hadi dan Soviana 2010). Musca domestica memiliki warna mata merah dan mulut berbentuk sponge (Arrayo dan Capinera 1998). Menurut Hadi dan Soviana (2010), lalat ini memiliki probosis tumpul dengan bagian ujung (labela) melebar dan memiliki struktur seperti spons yang memiliki fungsi menyerap makanan. Lalat Musca domestica sering dikelirukan dengan Stomoxys calcitrans (lalat kandang) karena morfologinya yang mirip, namun hal tersebut dapat dibedakan berdasarkan bentuk sayap maupun makanannya. Musca domestica memiliki sayap jernih dengan vena sayap sangat khas yang membentuk lengkungan sudut yang tajam agak tertutup di distal dan sumber pakannya tidak menghisap darah (Hadi dan Soviana 2010).
Perilaku dan Daur hidup Musca domestica termasuk serangga yang memiliki metamorfosis sempurna dimulai dari telur, larva atau maggot, pupa, dan lalat dewasa. Pada fase larva maupun pupa biasanya dapat ditemui di bahan organik yang sudah membusuk, manure babi ayam maupun manusia, makanan, bangkai hewan maupun tanaman atau lokasi lainnya. Suhu yang hangat merupakan suhu yang optimum bagi perkembangan lalat Musca domestica berkisar 25°C -30°C dengan waktu siklus 710 hari (Arrayo dan Capinera 1998). Telur pada lalat ini berwarna putih berbentuk seperti pisang dan diletakkan dalam kelompok berjumplah 75-150 butir (Hadi dan Soviana 2010). Telur akan menetas 10-20 jam menjadi larva (belatung) berwarna putih dan tidak berkaki berukuran 3-9 mm panjang tubuhnya (Hadi dan Soviana 2010). Sumber nutrisi bagi larva terdapat di manure hewan yang banyak mengandung nutrisi setelah itu larva akan menjadi pupa. Stadium pupa diperlukan waktu 4 hari untuk dilalui, yang akan berubah menjadi lalat dewasa yang siap untuk kawin setelah 2-3 hari kemudian. Lama hidup lalat dewasa sekita r 1-2 bulan. Menurut Hadi dan Soviana (2010), Musca domestica mengisap makanan dengan terlebih dahulu mencairkan makanan dengan regurgitasi lambung agar makanan dapat tercerna. Musca domestica merupakan serangga diurnal yang aktif di siang hari, saat malam hari lalat ini akan istirahat di tanaman, bangunan,maupun rumput (Arrayo dan Capinera 1998). Peran penting Lalat ini berperan dalam vektor mekanis untuk menularkan agen penyakit seperti Salmonella, Shigella, Campylobacter, Escherichia, Enterococcus, Chlamydia, dan spesies lain yang bersifat patogen (Arrayo dan Capinera 1998). Kejadian penyakit umum yang sering berhubungan dengan lalat ini adalah diare dan shigellosis. Selain itu Musca domestica berperan juga dalam menularkan makanan yang beracun, demam tifoid, disentri, tubercolosis, antraks, ophtamia, dan parasit cacing (Arrayo dan Capinera 1998). Meskipun lalat ini tidak menggigit namun melakukan pengontrolan populasi lalat Musca domestica sangat penting bagi kesehatan manusia maupun hewan. Hal terpenting dari lalat ini adalah sebagai sumber portensial transimisi agen patogen seperti virus, bakteri, jamur, cacing, maupun protozoa. Organisme patogen akan terbawa oleh lalat dari sampah dan limbah kotoran yang kemudian akan ditransfer dengan mulut lalat melalui muntahan, kotoran, maupun bagian tubuh eksternal lainnya yang akan mengkontaminasi makanan manusia dan hewan (Arrayo dan Capinera 1998).
H aematobi a exigua
Morfologi Haematobia exigua atau yang dikenal dengan lalat tanduk memiliki morfologi ukuran tubuh hanya setengah dari ukuran tubuh lalat rumah yaitu 4 mm, berwarna abu-abu, memiliki dua ban hitam longitudinal pada thorak (Hadi dan Soviana 2010). Lalat ini memiliki palpus yang menyerupai probosis pada nyamuk yang panjang. Arista dan venasi sayap mirip dengan Stomoxys calcitrans. Menurut Dendo (2003), lalat jantan memiliki panjang tubuh 2,5-3,5 mm dengan kedua kepala terpisah di vertex dengan jarak 0,22-0,24 mm dari lebar kepala, garis f rontal berwarna coklat, probosis berwarna coklat muda dengan panjang 1 mm berguna
untuk menghisap darah, thorak berwarna coklat dengan bintik-bintik abu-abu keputihan disertai empat garis longitudinal berwarna coklat tua dimana dua garis paramedian lebih sempit daripada dua garis yang diluar. Lalat betina memiliki ukuran tubuh 2,5-4,0 mm, kedua mata terpisah di vertex dengan jarak yang sama 0,30-0,40 mm dari lebar kepala, garis frontal berwarna hit am sedangkan warna dan ciri-ciri lain mirip pada lalat jantan (Tumrasvin dan Shinonaga 1978). Perilaku dan Daur hidup Telur berwarna putih krem sampai coklat berbentuk oval ramping memiliki ukuran 1,3-1,5 mm sehingga pada kotoran sulit dilihat (Dendo 2003). Telur diletakkan satu per satu, atau berkelompok yang berjumlah 4-6 butir pada feses segar sapi atau hewan besar lainnya. Dalam sekali bertelur jumlahnya dapat mencapai 20-24 butir dengan total telur yang dihasilkan selama hidup sekitar 400 butir (Hadi dan Soviana 2010). Setelah 24 jam telur menetas menjadi larva yang melalui 4-8 hari untuk menjadi pupa. Suhu yang diperlukan untuk telur menetas adalah 24°C -26°C dalam waktu 18-24 jam (Herm dan James 1961). Masa pupa berlangsung selama 6-8 hari. Perkembangan dari telur hingga mencapai dewasa dapat berlangsung selama 10 hari- 2 minggu. Lalat betina setelah kawin memerlukan darah untuk mematangkan telurnya (bersifat anautogenous) (Dendo 2003) Lalat dewasa aktif menghisap darah pada siang hari dan menyerang hewan dalam jumlah besar, sehingga menyebabkan kegelisahan hewan yang berakibat penurunan baik berat badan maupun produksi susu. Lalat ini dapat dkatakan ektoparasit obligat karena hampir selalu berada pada inang, baik pada saat makan maupun istirahat. Penyakit- penyakit yang dapat ditularkan lalat ini antara lain surra (Trypanosoma evansi) dan habronemiasis ( H. microstoma) (Bowman 1999). Peran penting Haematobia exigua menghisap darah sebanyak 40 kali dalam sehari sehingga dapat menyebabkan hewan mengalami anemia dan penurunan produktivitas. Selain itu lalat ini merupakan vektor dari penyakit surra dan habronemiasis. Lalat ini dapat menimbulkan rasa gatal sehingga sapi akan menggesek-gesekkan kulitnya yang dapat menimbulkan iritasi. Haematobia exigua merupakan inang antara dari cacing nematoda Stephanofilaria stilesi. Bila satu sapi perah terdapat 500 lalat akan menurunkan produksi susu (Pareira 1998). Menurut Morris (1919) Haematobia exigua dapat menjadi vektor mekanis dari penyakit antraks.
Chr ysomya megacephal a
Morfologi Ukuran maupun bentuk tubuh mirip dengan C. bezziana yaitu 1,5 kali lalat rumah, berwarna hijau metalik dengan banyak bulu-bulu pendek menutupi tubuh yang diselingi bulu kasar memiliki kepala yang besar dan mata berwarna merah. Struktur mulutnya termasuk tipe penjilat seperti lalat rumah. Larvanya berbentuk silinder dengan deretan duri-duri pada keliling tiap ruas tubuh.
Perilaku dan Daur hidup Chrysomya megacephala meletakkan telur dalam daging yang sudah membusuk, ikan, tempat pembuangan kotoran/sampah, dan hewan yang sudah mati (Sembel, 2009). Lalat betina merupakan penyebab miasis obligat yang meletakkan telurnya pada tepi luka terbuka dalam jumlah 150-500 butir dalam satu kelompok. Umumnya betina akan memilih luka yang mulai membusuk. Telur akan menetas setelah 23-30 jam dan larva akan segera masuk kedalam luka sambil memakan jaringan yang luka. Stadium larva dilalui selama 5-6 hari, lalu menjatuhkan diri dan luka untuk berubah menjadi pupa yang berlangsung selama 7-9 hari, kemudian menjadi lalat dewasa. Peran penting Lalat hijau (Chrysomya megacephala) adalah jenis serangga yang termasuk dalam famili Caliphoridae yang mempunyai peran penting dalam bidang kedokteran dan veteriner, karena di antara larvanya ada yang menyerang dan makan jaringan hidup pada kulit, mukosa, dan organorgan dalam, serta menimbulkan kondisi patologis yang disebut miasis (Mardihusodo, 1997). Lalat hijau juga dapat berperan sebagai vektor mekanis dan biologis. Penularan secara mekanis terjadi melalui kulit tubuh. Kaki-kaki lalat yang kotor merupakan tempat menempelnya mikroorganisme yang kemudian hinggap pada makanan. Penularan s ecara biologis yaitu dengan hinggap pada makanan dan mengeluarkan air liurnya yang mengandung bakteri patogen. Bakteri patogen yang disebarkan oleh lalat adalah antara lain Salmonella typhi, Vibrio cholera, Shigella disentry, Clostridium pefringens (Maryantuti, 2008).
Metode Penangkapan Sampel Lalat Sweeping net Jaring serangga sangat berguna untuk menangkap serangga yang kecil atau lembut. Umumnya alat ini digunakan untuk menangkap lalat dan serangga terbang lainnya. Jaring serangga yang sederhana berdiameter 38 cm dengan lingkaran terbuat kawat yang cukup kuat. Ujung-ujung kawat diletakkan pada kedua legokan lubang pada pangkal tongkat pemegang. Ujung-ujung kawat tersebut diperkuat dengan selubung metal sebagai penahan. Tongkat pemegang terbuat dari kayu yang ringan tapi kuat dengan panjang sekitar 30-90 cm tergantung jenis ektoparasit yang akan dikoleksi. Bahan jarring bisa dibuat dari kain kelambu atau kassa plastic tergantung serangga yang akan dikoleksi. Kassa plastik digunakan untuk menangkap serangga air. Kantung harus dibuat dengan dua tipe kain yaitu sebuah tipe yang kuat (kain blancu) diliitkan pada pinggir l ingkaran dan sebuah bahan yang lebih ringan (kain kelambu) untuk bagian utama kantung. Cara menggunakan tangguk serangga menurut Borror et al (1989) ada dua macam: (1) dengan cara mengayunkan jarig ke arah serangga yang dicari, (2) dengan menyapukannya tau mengayunkan jarring ke depan dan ke belakang. Cara yang pertama biasanya dipakai untuk mengumpulkan serangga-serangga yang lebih besar dan seringkali membutuhkan kecepatan dan keterampilan khusus. Cara terakhir akan menghasilkan jumlah dan keragaan yang lebih besar dari serangga,
walaupun cara itu kadang-kadang dapat merusakkkan beberapa spesiem yang lembut. Nzi Trap Metode Nzi trap merupakan metode sederhana yang merupakan perkembangan dari metode manitoba. Metode ini bertujuan untuk menangkap lalat penghisap darah terutama dari famili Tabanidae (lalat pitak) yang aktif siang hari. Bentuknya sederhana, berupa sungkup atau selubung yang ditahan oleh tiga batang penahan (tripod) yang dilengkapi dengan tabung pengumpul serangga pada bagian atas (Hadi dan Soviana 2010). Sungkup terbuat dari bahan kasa atau plastik yang berwarna biru dan hitam pada bagian bawah dan putih dibagian atas. Perangkap ini juga dilengkapi dengan jaring nyamuk agar lalat terjebak didalamnya dan masuk kedalam tabung penampung (Hadi dan Soviana 2010). Metode Nzi trap memiliki perbedaan dengan metode manitoba yaitu di bagian tengah tidak dipasang bola hitam yang bersifat atraktan (penarik) bagi serangga agar serangga tersebut dapat masuk kedalam sungkup. Fungsi bola hitam digantikan dengan warna sungkup bagian bawah yang berwarna biru hitam. Metode Nzi trap dapat menangkap ribuan lalat penghisap darah seperti Stomoxys calcitrans maupun lalat dari famili Tabanidae. Perangkap ini bekerja dengan baik apabila diletakkan di daerah yang banyak tersinari matahari dan tidak terhalang oleh pepohonan. Kinerja perangkap ini dapat ditingkatkan dengan menampahkan Octenol yang berasal dari fermentasi urin sapi sebagai atraktan, namun tanpa penambahan tersebut Nzi trap masih dapat digunakan dengan baik (Rinconvitova.com). Nama metode “Nzi” berasa dari bahasa Swahili yang berarti terbang di Afrika digunakan untuk dalam mengontrol lalat tse-tse yang menyebabkan penyakit tidur. Perangkap ini menyerupai hewan besar yang akan mengganggu sistem penglihatan lalat. Warna biru pada sungkup akan menarik lalat dan kemudian akan terper angkap dalam jaring nyamuk. Lalat memiliki sifat alamiah mendekati sinar matahari sehingga saat terperangkap lalat akan naik keatas mendekati sinar dan tertampung dalam tabung penampung (Rinconvitova.com).
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Pengumpulan sampel lalat pengganggu pada peternakan H. Dwi di Cikampak Kabupaten Bogor dilakukan pada Bulan Desember 2014. Waktu yang dipilih untuk pengambilan sampel antara jam 09.00 hingga 16.00 WIB. Selanjutnya proses identifikasi dilakukan di Laboratorium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Koleksi Lalat
Koleksi lalat terbagi dalam dua metode yaitu menggunakan jaring serangga ( sweeping net ) dan metode Nzi trap. Koleksi dengan menggunakan sweeping net
dilakukan di sekitar tubuh hewan dan sekitar kandang. Proses pengumpulan serangga dilakukan sebanyak 1 kali pada masing-masing kandang di peter nakan H. Dwi. Pada setiap penangkapan, jaring serangga diayun selama 10 menit ke arah serangga yang dicari. Serangga yang telah terkumpul kemudian dimatikan untuk mempermudah proses identifikasi. Cara yang digunakan adalah memasukkan serangga tersebut ke dalam plastik berisi kapas berkloroform. Setelah serangga dipastikan mati, serangga tersebut dipindahkan ke dalam wadah yang aman (yang tidak merusak morfologi serangga) untuk selanjutnya dilakukan preservasi dengan cara kering. Metode selanjutnya adalah menggunakan Nzi trap. Nzi trap diletakkan di daerah terbuka yang tidak terdapat pepohonan dan perangkap dapat tersinari cahaya matahari. Perangkap tersebut didiamkan dari jam 09.00 hingga 16.00 WIB. Setelah waktu mendiamkan perangkap selesai, serangga yang terdapat di tabung penampung dikumpulkan. Serangga yang telah terkumpul kemudian dimatikan untuk mempermudah proses identifikasi. Cara yang digunakan adalah memasukkan serangga tersebut ke dalam plastik berisi kapas berkloroform. Setelah serangga dipastikan mati, serangga tersebut dipindahkan ke dalam wadah yang aman (yang tidak merusak morfologi serangga) untuk selanjutnya dilakukan preservasi dengan cara kering.
Preservasi dan Identifikasi Lalat
Preservasi lalat dilakukan dengan cara kering, yaitu menusuk tubuh (pinning) serangga dengan jarum. Jarum yang digunakan bukanlah jarum biasa tetapi dibuat khusus untuk koleksi serangga yang terbuat dari baja. Penusukan dilakukan secara tegak lurus pada bagian toraks sebelah kanan atau kiri. Apabila ukuran lalat relatif kecil bila dibandingkan dengan jarum, maka penusukan tidak dilakukan secara langsung tetapi menggunakan bantuan kertas segitiga. Serangga ditempelkan pada bagian kertas yang runcing menggunakan lem kuteks. Jarum ditusukkan pada bagian kertas yang lain. Keseragaman tinggi serangga pada jarum dapat diperoleh dengan menggunakan (pinning block). Penempelan ini harus diatur sedemikian rupa agar spesimen mudah diidentifikasi. Setelah ditusuk, spesimen tersebut diberi label dan disimpan pada kotak penyimpanan serangga. Bagian dasar kotak dialasi gabus agar jarum mudah ditusukkan. Pada bagian sudut kotak diberi kamper atau kapur barus yang telah dibungkus dengan tisu. Hal ini bertujuan agar lalat tidak dirusak oleh serangga l ain, misalnya semut. Setelah proses pengawetan selesai, proses selanjutnya adalah identifikasi spesimen. Identifikasi dilakukan secara bertahap sesuai dengan kunci identifikasi Tumrasvin dan Shinonaga (1977, 1978, 1982).
Analisis Data
Hasil spesimen yang telah diidentifikasi selanjutnya dianalisis untuk mengetahui kepadatan lalat yang dinyatakan sebagai kelimpahan nisbi. Hasil tersebut dibagi dalam dua metode yaitu metode sweeping net dan Nzi trap.
Selanjutnya hasil yang didapatkan akan dijelaskan secara deskriptif. Analisis tersebut menggunakan perhitungan sebagai berikut : Kelimpahan Nisbi Kelimpahan nisbi adalah perbandingan jumlah individu spesies lalat terhadap total jumlah spesies lalat yang diperoleh, dan dinyatakan dalam persen. Kelimpahan nisbi dapat dibagi dalam 5 kategori yaitu (1) Sangat rendah (kurang dari 1%), (2) Rendah (1% sampai 10%), (3) Sedang (10% sampai 20%), (4) Tinggi (20% sampai 30%), dan (5) Sangat tinggi (di atas 30%) (Hadi et al . 2011).
Kelimpahan nisbi =
Jumlah individu lalat spesies tertentu Total jumlah spesies lalat yang diperoleh
X 100%
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1 Jumlah lalat yang ditangkap pada pukul 09.00 – 16.00 dengan menggunakan Nzi trap dan Sweeping net No.
Jenis Lalat
Nzi Trap Ʃ
lalat
%
Sweeping net Ʃ
lalat
%
1
Tabanus rubidus
0
0
2
2.98
2
Tabanus megalops
5
19.23
0
0
3
Stomoxys calcitrans
20
76.92
10
14.92
4
Sarcophaga
0
0
8
11.94
5
Musca domestica
0
0
34
50.74
6
Haematobia exigua
1
3.85
0
0
7
Chrysomya megacephala
0
0
13
19.40
67
99.98%
TOTAL TOTAL
26
100% 83
Populasi lalat yang ditemukan pada peternakan H. Dwi adalah 83 ekor. Jumlah tersebut didapatkan dengan menggunakan Nzi trap sebanyak 40 ekor dan sweeping net sebanyak 43 ekor. Berdasarkan identifikasi lalat yang didapatkan di peternakan H. Dwi adalah Tabanus rubidus (2 ekor), Tabanus megalops (5 ekor), Stomoxys calcitrans (30 ekor), Sarcophaga (8 ekor), Musca domestica (34 ekor), Haematobia exigua (1 ekor), dan Chrysomya megacephala (13 ekor). Kelimpahan nisbi yang sangat tinggi dengan menggunakan metode Nzi trap terdapat pada lalat Stomoxys calcitrans (76.92%). Kondisi demikian disebabkan karena daerah Bogor dan sekitarnya sedang memasuki musim hujan. Musim hujan merupakan kondisi yang baik dalam perkembangan larva lalat ini. J umlah Stomoxys calcitrans meningkat saat musim hujan karena dapat mendukung proses
berkembang biak lalat dewasa (Dawit et al . 2012). Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Keawrayup et al . (2012) yang menunjukkan bahwa kelimpahan lalat Stomoxys lebih banyak pada musim hujan. Selain itu kebersihan kandang yang buruk dapat menyebabkan populasi lalat Stomoxys calcitrans semakin banyak. Kebersihan kandang yang kurang baik banyak terdapat manure maupun octenol yang merupakan hasil fermentasi dari urin. Menurut Hadi dan Soviana (2010), telur Stomoxys calcitrans diletakkan pada bahan-bahan yang membusuk bercampur tinja hewan atau manure sapi, selain itu octenol merupakan senyawa aktraktan yang dapat menarik Stomoxys calcitrans. Metode Nzi trap dapat menarik Stomoxys calcitrans agar masuk kedalam perangkap. Warna biru pada sungkup Nzi trap akan menarik lalat Stomoxys calcitrans dan kemudian akan terperangkap dalam jaring nyamuk. Stomoxys calcitrans lebih tertarik tiga kali lipat pada kain berwarna biru (Holloway dan Phelps 1991). Jumlah Haematobia exigua pada peternakan H. Dwi lebih sedikit dibanding dengan Stomoxys calcitrans. Kelimpahan nisbi lalat ini pada peternakan tersebut dengan menggunakan metode Nzi trap adalah (3.85%). Faktor cuaca yang sedang memasuki musim hujan di Kabupaten Bogor menjadi penyebab lalat ini sedikit tertangkap oleh Nzi trap. Kondisi dingin di pagi hari dan panas saat siang hari, hujan, maupun banyak angin menyebabkan lalat ini bersembunyi di antara bulu bulu bagian perut dan inguinal (Dendo 2003). Selain itu musim hujan menyebabkan perkembangan larva lalat ini terganggu sehingga jumlah populasi sedikit. Penambahan cairan pada kotoran dari air hujan dan keadaan udara yang lembab merupakan kondisi yang kurang menguntungkan bagi perkembangan larva Haematobia exigua (Dendo 2003). Tabanus rubidus (2.98%) dan Tabanus megalops (19.23%) yang didapatkan baik dengan metode Nzi trap serta sweeping net lebih sedikit dibanding dengan jenis lalat lain. Jenis lalat ini biasanya bertelur di tanaman yang berada di permukaan air namun pada peternakan H. Dwi kondisi demikian sangat terbatas sehingga jumlah lalat Tabanus rubidus dan Tabanus megalops sangat sedikit. Menurut Hadi dan Soviana (2010) lalat betina akan meletakkan telur dalam tumpukan lapisan dan berjajar rapat pada daun tanaman padi, eceng gondok, dan tanaman lainnya yang tersembul diatas permukaan air. Kelimpahan nisbi yang sangat tinggi dengan menggunakan metode sweeping net terdapat pada lalat Musca domestica (50.74%). Tingginya kelimpahan nisbi lalat ini dapat disebabkan dengan kebersihan kandang yang kurang baik. Manure yang banyak terdapat di kandang dapat menyebabkan lalat dewasa meletakkan telurnya. Keberadaan manure dapat mendukung populasi lokal dari Musca domestica (Khan et al. 2012). Pada peternakan yang digunakan sebagai lokasi pengambilan sampel, manure banyak ditemui di kandang. Kondisi demikian disebabkan karena sanitasi kandang yang kurang baik. Hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya lalat Musca domestica yang terdapat di sekitar kandang. Manure hewan banyak mengandung nutrisi yang dibutuhkan larva setelah itu larva akan menjadi pupa (Arrayo dan Capinera 1998). Jumlah Stomoxys calcitrans (14.92%) yang didapatkan dengan metode sweeping net lebih sedikit dibandingkan dengan menggunakan metode Nzi trap. Hal ini disebabkan karena lalat ini lebih tertarik dengan sungkup Nzi trap yang berwarna biru. Stomoxys calcitrans lebih tertarik tiga kali lipat pada kain berwarna biru (Holloway dan Phelps 1991).
Sarcophaga yang didapatkan dengan metode sweeping net berjumlah (11.94%). Menurut Hadi dan Soviana (2010) lalat betina jenis ini bersifat larvipara yang meletakkan larvanya di kotoran hewan, bangkai, daging segar yang sudah dimasak, bahkan luka terbuka. Chrysomya megacephala yang didapatkan dengan metode sweeping net berjumlah (19.40%) lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah kelimpahan nisbi Musca domestica. Hal disebabkan karena di peternakan H. Dwi tidak terdapat bangkai hewan maupun tempat pembuangan sampah disekitar kandang untuk meletakkan telur sehingga lalat ini sedikit populasinya. Chrysomya megacephala meletakkan telur dalam daging yang sudah membusuk, ikan, tempat pembuangan kotoran/sampah, dan hewan yang sudah mati (Sembel, 2009). Secara keseluruhan dapat diketahui metode Nzi trap banyak menarik lalat yang bersifat penghisap darah. Hal ini disebabkan karena lalat berjenis tersebut memiliki daya tarik terhadap sungkup Nzi trap yang berwarna biru. Metode ini dapat digunakan untuk menangkap lalat yang memiliki kemampuan terbang cepat seperti Tabanus rubidus dan Tabanus megalops. Penggunaan sweeping net dapat menangkap sebagian besar jenis lalat karena metode ini dilakukan dengan cara manual dengan keterampilan kecepatan kemampuan tangan manusia dalam menangkap lalat. Cara ini kurang efektif untuk menangkap lalat berkemampuan terbang cepat.
SIMPULAN
Ragam jenis lalat pengganggu yang dapat ditemui di peternakan H. Dwi adalah Tabanus rubidus, Tabanus megalops, Stomoxys calcitrans, Sarcophaga, Musca domestica, Haematobia exigua, dan Chrysomya megacepala. Metode Nzi trap efektif dalam menangkap lalat penghisap darah seperti Famili Tabanidae dan Stomoxys calcitrans. Penggunaan metode sweeping net dapat menangkap segala jenis lalat namun tidak efektif dalam menangkap lalat berkemampuan terbang cepat. Jenis lalat yang paling dominan ditangkap dengan metode s weeping net adalah Musca domestica sedangkan dengan metode Nzi trap adalah Stomoxys calcitrans. Musca domestica memiliki kelimpahan nisbi sebesar (50.74%) sedangkan Stomoxys calcitrans memiliki kelimpahan nisbi sebesar (76.92%). Keberadaan lalat ini berkaitan dengan manajemen kebersihan dan sanitasi yang kurang baik, sehingga memengaruhi besarnya jumlah lalat pada peternakan tersebut. Musca domestica sering berhubungan dengan diare dan shigellosis sedangkan Stomoxys calcitrans merupakan vektor dari penyakit brucellosis, erysipelas, antraks, surra, habronemiasis, cutaneous streptothrichosis, dan borreliosis.
DAFTAR PUSTAKA Arroyo HS, J.L Capinera. 1998. House Fly, Musca domestica Linnaeus (Insecta: Diptera:Muscidae). Florida (US): University of Florida. Bowman D.D. 1999. Georgis’ Parasitology for Veterinery. 8th Ed. Saunders an Imprint of Elsevier Science. Dawit L, Addis M, Gari M. 2012. Distribution, seas onnality and relative abundance of Stomoxys flies in selected district of Central Ethiopia. World App Sci J. 19(7):998-1002. Dendo FT. 2003. Lalat penghisap darah ( Haematobia exigua de Meijere, 1903) pada sapi sumba ongole dan musuh alaminya [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Hadi UK, Soviana S, Syafriati T. 2011. Ragam jenis nyamuk di sekitar kandang babi dan kaitannya dalam penyebaran Japanese Encephalitis. J Vet . 12(4):326-334. Hadi UK dan Soviana S. 2010. Ektoparasit; Pengenalan, Diagnosa, dan Pengendaliannya. Laboratorium Entomologi. FKH IPB. Herms W.B, James M.T. 1961. Medical Entomology. Mac Millan Co. New York (US) Holloway, MTP, R.J Phelps. 1991. The responses of Stomoxys spp. (Diptera: Muscidae) to Traps and Artificial Host Odours in the Field. Bull. Entomol. Res. 8: 51-55. Keawrayup S, Duvallet G, Sukonthabhirom S, Chaeronviriyaphap T. 2012. Diversity of Stomoxys spp. (Diptera: Muscidae) and diurnal variations of activity of Stomoxys indicus and S. calcitrans in a farm, in Wang Nam Khiao District, Nakhon Ratchasima Province, Thailand. Parasite. 19:259-265 Khan HA, Shad SA, Akram W. 2012. Effect of livestock manures on the fitness of house fly, Musca domestica L. (Diptera: Muscidae). Parasitor Res. 111(3):1165-1171. Levine N D. 1990. Parasitologi Veteriner. Terjemahan Gatut Ashadi. Gajah Mada University Press. Mardihusodo, SJ. 1987. Studi tentang fauna lalat yang berbiak dalam timbunan sampah di kotamadya Yogyakarta. UGM.Yogyakarta. Dalam Berita kedokteran masyarakat III;10.ISSN 0215 -1936. Jilid-III No.10 Oktober 1987 Pareira MC. 1998. Haematobia irritans. University of Sao Paulo. Institut of Biomedical Sciences. Department of Parasitology, Brazil. Rinconvitova.com.2014. Nzi Biting Fly Trap [Internet]. Diunduh: 2015 Januari 7. Tersedia pada: http://www.rinconvitova.com/fly%20trap%20nzi.htm. Tumrasvin W, Shinonaga S. 1977. Studies on medically important flies in Thailand III. Report of species belonging to the genus Musca Linne, including the taxonomic key (Diptera: Muscidae). Tokyo Med Dent Univ. 24(3):209-218.
Tumrasvin W, Shinonaga S. 1978. Studies on medically important flies in Thailand V. On 32 species belonging to the subfamilies Muscinae and Stomoxynae including the taxonomic keys (Diptera: Muscidae). Tokyo Med Dent Univ. 25(4):201-227. Tumrasvin W, Shinonaga S. 1982. Studies on medically important flies in Thailand VIII. Report on 73 species of muscid flies (excluding Muscinae and Stomoxynae) with the taxonomic keys (Diptera: Muscidae). Jap J Sanit Zool. 33(3):181-199. Van Hennekeler K, Skerratt LF, Jones RE, Spratt DM, Fitzpatrick LA. 2006. Seasonal variation in Trypanosoma evansi vectors in nothern Australia. Proceedings of the 11th Symposium of the International Society for Veterinary Epidemiology and Economics [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Cairns (Australia). hlm 1-7;