MAKALAH KODIFIKASI KODIFIKASI HADITS Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Al-Quran Hadits Dosen pengampu: M. Jamil, M. Ag.
Disusun oleh: 1.
Veni Jumila Danin
15670032
2.
Angga Dwi Kurniawan
15670033
3.
Elis Alvirawati
15670034
4.
Ahmad Riva’i Riva’i
15670035
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2016
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis nabi merupakan sumber ajaran agama Islam yang kedua setelah Al-Quran. Al-Quran. Hadis adalah ucapan (qauli) dan tindakan (fi’li) serta sikap dan kesan (taqrir) Nabi Muhammad SAW terhadap sesuatu. Hadis dalam risalah Islam merupakan teladan yang wajib diikuti. Sebagian besar hadis diriwayatkan secara lisan oleh sahabat kepada generasi penerus mereka para tabi’in. Membicarakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis bertujuan untuk mengangkat fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, masa sahabat, masa tabi’in, dan masa-masa masa -masa berikutnya. Usaha mempelajari hal ini diharapkan dapat menggambarkan sikap dan tindakan umat Islam, khususnya para ulama ahli hadis terhadap hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaannya tiap periode.1 Pengetahuan tentang sejarah perkembangan hadis dan kodifikasinya sangat penting bagi mahasiswa, agar mereka memiliki pemahaman yang utuh dan komprehensif mengenai hakekat hadis dan sumber-sumber rujukannya. 2 Oleh karena itu, agar mengetahui lebih lanjut mengenai perkembangan hadis, maka dalam makalah ini akan diuraikan mengenai kodifikasi hadis lebih lengkap.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan hadis pada masa Rasul? 2. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan hadis pada masa sahabat? 3. Bagaimana pertumbuhan Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan hadis pada masa tabi’in? 4. Bagaimana awal mula dan proses kodifikasi hadis?
1 Mudasir. Ilmu Mudasir. Ilmu Hadis. Hadis. (Bandung: Pustaka Setia. 1999). H. 87 2 Octoberrinsyah, dkk. Al-Hadis dkk. Al-Hadis.. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. 2005). H. 29.
1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis, Sunnah, Khabar, dan Atsar
Ada tiga kata yang dijadikan makna dari hadis itu sendiri, yaitu: 1. Khabar – Ini artinya warta atau berita, dalam istilahnya ini banyak diartikan dengan segala sesuatu yang diperbincangkan atau ucapan yang dipindahkan dari seseorang kepada orang lain atau yang lebih dikenal dengan “ma yatahaddatsu bihi wa yunqalu”. Dari makna ini yang kemudian disebut perkataan “hadis Nabi” 2. Jadid – Artinya baru, ini adalah lawan kata dari qadim yang berarti yang sudah lama. Jadi, hadis bisa juga diartikan dengan sesuatu yang baru jika disandarkan dalam katanya saja, kecuali jika disandarkan pada nabi maka maknanya lain lagi. 3. Qarib – Bermakna yang dekat, atau yang belum lama ini berlangsung atau terjadi, misalnya dalam kalimat “haditsul ahdi bil-Islam” yang artinya orang yang baru masuk Islam. Adapun jamaknya huduts atau hidats. 4. Jamak dari kata hadis bisa hudtsan atau hidtsan dan biasa juga disebut ahadits. Bahkan jamak yang terakhir disebut inilah yang selalu digunakan untuk mengungkapkan hadis-hadis yang bersumber dari nabi, yakni Ahaditsul Rasul. Menurut istilah dari ahli hadis, oleh al-Hafidh dalam syarah Al-Bukhary menyebukan soal pengertian hadis ini, yakni:
“Segala ucaban Nabi saw., segala perbuatannya dan juga segala keadaan beliau.” Sunnah ialah jalan yang dijalani, terpuji atau pun tidak. Karenanya, sesuatu tradisi yang sudah dibiasakan maka dinamai dengan sunnah walau pun itu kebiasaan tidak baik. Salah satu dasar dari pengertian ini misalnya pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “man tsanna sunnatan hasanatan…” (Barangsiapa mengadakan suatu sunnah (jalan) yang baik…” Dari penggalan hadis di atas memaknai kata sunnah dengan jalan.
2
Adapun menurut istilah sebagaimana pendapat para muhadditsin adalah “Segala yang disandarkan kepada Nabi saw, baik itu perbuatan, perkatann, taqrir (ketetapan), sifat, kelakuan, pengajaran, serta segala perjalanan hidup Rasul, baik itu sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya.” Mengenai kata sunnah yang pernah terucap dalam salah satu hadis Nabi adalah pada hadis mengenai dua hal yang telah dihadiskan oleh Rasul kepada kita yang mana ketika menyebut salah satunya, selain Al-Qur’an, menggunakan kata sunnah tersebut, yakni Sunnah Rasul-Nya. Secara bahasa Khabar artinya berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Adapun bentuk jama knya adalah “akhbar’. Sedang orang yang banyak menyampaikan warta dinamakan ‘khabir’. Adapun menurut pandangan dari ahli hadits, bahwa segala berita yang bersumber dari Nabi mamupun sahabat dan tabi’in dinamakan khabar. Bahkan ada yang mengatakan bahwa khabar ini lebih umum, dan bahkan dikatakan bahwa segala berita yang diterima dari selain Nabi saw. Itu pula sebabnya mengapa orang yang meriwayatkan hadis dinamakan ‘muhaddits’ sedang yang meriwayatkan sejarah dinamai ‘akhbary’. Secara bahasa artinya bekas atau sisa sesuatu. Jamaknya adalah atsar dan utsur. Adapun menurut istilah, menurut kalangan ulama sama artinya dengan hadis dan khabar. Ahli hadis juga dinamai dengan atsary. Sebagian berpendapat bahwa kalau hal tersebut datangnya dari Nabi dan selainnya maka ia dinamakan atsar, tapi bila dari Nabi saja maka itu khabar. Ini sejalan dengan pendapat At-Thahawy. Dan pendapat lain juga mengartikan bahwa atsar adalah segala yang diterima dari shabat saja.
5.
Bentuk-bentuk Hadis 1.
Hadits yang berupa ucapan (Qauli)
Segala perkataan nabi baik yang berkenaan dengan ibadah maupun kehidupan sehari-hari disebut dengan hadits qauli, yaitu segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada nabi. Contoh hadits Qauli:
3
)
(
“Segala amalan itu mengikuti niat (orang yang meniatkan)”. (HR. AlBukhari dan Muslim ( 2.
Hadits yang berupa perbuatan (Fi’li)
Dimaksudkan dengan fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada nabi seperti cara nabi melaksanakan sholat, wudhu, dll, yang disampaikan kepada umat Islam melalui sahabat. Contoh hadits Fi’li:
(
)
“Bershalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku bershalat”. (HR. AlBukhary dan Muslim dari Malik ibn Huwairits) 3.
Hadits yang berupa persetujuan (Taqriri) Tidak semua materi hadits secara utuh berasal dari nabi, baik berupa perkataan dan perbuatan. Sebagiannya adalah perkataan atau perbuatan sahabat, baik yang dilakukan didepan nabi atau sebelum itu yang kemudian dikonfirmasi kepada nabi. Contoh hadits Taqriri: Diriwatkan oleh Al-Bukhari dan Imam Muslim bahwa sahabat Khalid bin Walid memakan dhab (sejenis biawak) yang kemudian dihidangkan kepada Nabi saw, akan tetapi Nabi enggan untuk memakannya. Lalu sebagian sahabat (Khalid) bertanya: “Apakah kita diharamkan makan dhab, wahai Rasulullah?” Nabi saw menjawab :
“Tidak, hanya saja binatang ini tidak ada di negeriku (oleh karena itu aku tidak suka memakannya). Makanlah, sesungguhnya dia (dhab) halal”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim) 4.
Hadits yang berupa hal ihwal (Ahwali)
Hadits ahwali adalah sesuatu yang berasal dari nabi yang berkenaan dengan kondisi fisik, akhlaq, dan kepribadiannya. Contoh hadits Ahwali:
4
“Rasullullah SAW adalah orang yang paling mulia akhlaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim). 5.
Hadits yang berupa cita-cita (Hammi)
Hadits yang berisi tentang cita-cita nabi disebut dengan hadits hammi, yaitu hadits yang berupa keinginan atau hasrat yang belum terealisasikan. seperti halnya keinganan untuk berpuasa pada tanggal 9 Asyura sebagai dir iwayatkan dari ‘Abd Allah ibn ‘Abbas:
“Tahun yang akan datang InsyaAllah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan.”(HR. Muslim)
6.
Hadis pada Masa Rasulullah SAW
Periode Rasul SAW merupakan periode yang cukup singkat, yaitu berlangsung selama 23 tahun. Mulai tahun 13 sebelum hijriah sampai 11 tahun hijriah. Sebagai pewaris pertama Islam, sahabat sangat serius dan berhati-hati
dalam
menerima
sumber
ajaran.
Karena
mereka
bertanggungjawab atas terpelihara dan tersampaikannya kepada pewaris berikutnya. Umat Islam pada masa ini, dapat secara langsung memperoleh Hadis dari Rasul SAW sebagai sumber Hadis tanpa ada jarak yang menghambat pertemuannya. 3 Untuk lebih memberikan arti dan bobot bagi peningkatan kualitas para sahabat
dalam
menerima
dan
menyampaikan
ajaran,
Rasul
SAW
menyampaikan beberapa petunjuk dan spirit. Dalam sebuah Hadis riwayat Ahmad dari Abu Hurairah misalnya, beliau bersabda, bahwa siapa saja yang dikehendaki oleh Allah adanya kebaikan pada dirinya, ia akan diberi kefahaman dalam soal agama. Dalam hadis riwayat Ath-Thabrani juga disebutkan, “Jadilah pengajar, atau pelajar, atau pendengar, atau yang mencintai ilmu.” Dalam beberapa sabdanya, beliau menyampaikan wasiatwasiatnya untuk selalu menyampaikan Hadis kepada orang lain. Rasul juga 3 Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. (Jakarta: Gaya Media Pratama. 1996). H. 45 – 48.
5
menyatakan ketinggian kedudukan siapa saja yang belajar dan mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga dinilai sebagai seorang mujahid fi sabilillah.4 Pertama, melalui para jamaah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-‘Ilmi. Melalui mejelis ini, para sahabat berpeluang banyak untuk menerima Hadis, sehingga selalu lebih mengonsentrasikan diri. Terkadang, kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya ke majelis ini, untuk kembali diajarkan ketika kembali. Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, kemudian disampaikan kepada orang lain. Untuk hal-hal sensitif seperti, berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (hubungan suami – isteri), akan disampaikan melalui istri-istrinya. Ketiga, melalui ceramah terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah. Keempat, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabat, seperti praktik ibadah dan muamalah. 5 Tujuan Rasul menyampaikan hadis kepada para sahabat, di antaranya ialah bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat yang diturunkan Allah kepadanya dalam waktu yang cukup panjang dan menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa.6 Para sahabat tidak memiliki kadar perolehan dan penguasaan hadis yang sama antara satu dan lainnya. Hal ini bergantung pada beberapa hal berikut: 7 1.
Perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW.
2.
Perbedaan dalam soal kesanggupan untuk selalu bersama Rasulullah SAW.
3.
Perbedaan mereka dalam soal kekuatan hafalan dan kesungguhan bertanya kepada sahabat lain.
4.
Perbedaan mereka dalam waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal ke majelis.
Ada beberapa sahabat yang banyak menerima hadis dari rasul SAW, dengan beberapa penyebabnya. Mereka adalah antara lain: 8 4 Ibid ., h. 46. 5 Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. op. cit., h. 47 – 48 6 Ibid ., h. 49 7 Mudasir. Ilmu Hadis. op. cit ., h. 89.
6
1.
Para sahabat yang tergolong kelompok As-Sabiqun Al-Awwalun (yang mula-mula masuk Islam), seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud.
2.
Ummahat Al-Mukminin (istri-istri Rasulullah SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka lebih dekat dengan Rasulullah SAWdaripada sahabat lainnya. Hadis-hadis yang diterima berkaitan dengan persoalan keluarga dan pergaulan suami-istri.
3.
Para sahabat yang selalu dekat dengan Rasulullah SAW dan juga menuliskan hadis yang diterimanya, seperti Abdullah bin Amr bin Al-As.
4.
Sahabat yang tidak lama bersama Rasulullah SAW tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya dengan sungguh-sungguh seperti Abu Hurairah.
5.
Sabahat yang sungguh-sungguh mengikuti majelis dan banyak bertanya kepada sahabat lain, dan dari usia mereka hidup lebih lama dari wafatnya Rasulullah, seperti Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, dan Abdullah bin Abbas.
Terhadap hadis, Rasul memberi perintah resmi untuk menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain. 9 Aktifitas mencatat atau menulis hadis yang sifatnya perorangan diperbolehkan oleh Rasul. Beliau bersabda:
(
)
“Tulislah! Demi zat yang diriku berada pada kekuasaan-Nya tidak ada yang keluar dari padanya kecuali yang benar.” (H.R. al-Bukhari).10 Beberapa sahabat menulis hadis yang mereka terima dari Rasul SAW untuk disimpan sendiri.
7.
Hadis pada Masa Sahabat
8 Ibid ., h. 90. 9 Ranuwijaya, Utang. op. cit., h. 50. 10 Ibid ., h. 52
7
Periode ini dikhususkan masa khulafaur rasyidin. Masa ini terhitung sejak tahun 11 Hijriah sampai 40 H, disebut masa sahabat besar. Menjelang akhir kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Quran dan Hadis, serta mengajarkannya kepada orang lain.11 Setelah Rasul wafat, perhatian para sahabat terfokus pada usaha menyebarluaskan dan memelihara Al-Quran. Meskipun demikian, bukan berarti mereka melalaikan dan tidak menaruh perhatian terhadap hadis. Mereka memegang hadis, sebagai amanah Rasul SAW sebagaimana halnya yang diterimanya secara utuh ketika beliau masih hidup. Akan tetapi, dalam meriwayatkannya mereka sangat berhati-hati. Kehati-hatian ini dilakukan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan.12 Diriwayatkan oleh Ibnu Syihab dari Qabisah bin Zuaib bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar tentnag bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itu tidak ditemukan hukumnya, baik dalam Al-Quran maupun hadis, Al-Mugirah menyebutkan bahwa Rasul SAW memberinya seperenam. Abu Bakar kemudian meminta Al-Mugirah untuk mengajukan saksi. Sikap kehati-hatian yang dilakukan tiga sahabat lain, yaitu selalu meminta saksi jika ada yang meriwayatkan hadis. Selain cara tersebut, Ali kadang menguji dengan sumpah. 13 Pada masa ini belum ada usaha resmi untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab, seperti halnya Al-Quran. Hal ini dikarenakan agar tidak memalingkan perhatian umat dalam mempelajari Al-Quran, dan tersebarnya para sahabat di berbagai daerah kekuasaan Islam menyebabkan sulitnya mereka berkumpul dan dikhawatirkan terjadi perselisihan pendapat. 14 Ada dua jalan yang ditempuh para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasul SAW, yaitu:15 1.
Periwayatan Lafdzi
11 Mudasir. op. cit ., h. 95. 12 Ranuwijaya, Utang. op. cit., h. 54 – 56 . 13 Mudasir. op. cit ., h. 97. 14 Ranuwijaya, Utang. op. cit., h. 58. 15 Mudasir. op. cit ., h. 98 – 99.
8
Adalah periwayatan yang redaksi atau matannya sama persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW. Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka benar, benar menghafal hadis yang disabdakan Rasul SAW. Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis dengan cara ini. Di antara sahabat yang paling menuntut periwayatan hadis dengan lafdzi adalah Ibnu Umar. 2.
Periwayatan Maknawi Periwayatan hadis yang matannya tidak sama dengan yang didengar dari Rasul SAW tetapi isi dan maknanya tetap terjaga secara utuh. Sahabat lain berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis, dibolehkan meriwayatkan hadis secara maknawi. periwayatan ini mengakibatkan munculnya hadis-hadis yang redaksinya antara satu hadis dengan lainnya berbeda, meskipun maksudnya sama. Hal ini bergantung kepada para sahabat atau geenrasi yang meriwayatkan.
Perselisihan para ulama dalam pembukuan hadis berpangkal pada adanya dua kelompok hadis, yang dari sudut zhahirnya nampak adanya kontradiksi. Kelompok pertama menunjukkan adanya larangan Rasul SAW menuliskan hadis, dan kelompok kedua menujukkan adanya perintah Rasul SAW untuk menuliskan hadis. adanya dua kelompok tersebut mengundang perhatian para ulama untuk menemukan penyelesaiannya. Di antara mereka ada yang mencoba menggugurkan salah satunya, seperti dengan jalan melihat mana hadis yang datang terdahulu untuk dihapus ketentuannyta dengan hadis yang datang kemudian, dan ada yang berusaha men- taufiq-kan keduanya tetap digunakan.16 Menurut
An-Nawawi
dan
as-Syuyuti,
bahwa
larangan
tersebut
dimaksudkan bagi orang yang kuat hafalannya, sheingga tidak ada kekhawatiran terjadinya lupa. Akan tetapi, bagi orang yang khawatir lupa atau kurang kuat ingatannya, diperbolehkan mencatatnya. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, larangan Rasul SAW menuliskan hadis adalah ketika Al-
16 Ranuwijaya, Utang. op. cit., h. 58 – 59.
9
Quran diturunkan. Ini karena adanya kekhawatiran tercampurnya antara ayat Al-Quran dengan hadis. 17 Beberapa pendapat lainnya ada yang menyebutkan bahwa larangan pembukuan hadis terjadi
pada periode awal
Islam, karena adanya
keterbatasan tenaga dan fasilitas. Maka pada saat umat Islam sudah semakin bertambah dan tenaga penulis hadis sudah cukup memungkinkan, penulisan hadis dibolehkan. Ada pula ulama yang memandang bahwa laranagan tersebut pada dasarnya bagi orang yang kuat hafalannya. Ijin penulisan diberikan kepada orang yang lemah hafalannya atau yang khawatir lupa. ada ulama yang memandang bahwa larangan tersebut dlaam bentuk umum, yang sasarannya masyarakat banyak. Akan tetapi, untuk oang-orang tertentu yang mempunyai keahlian menulis dan membaca, dibolehkan. 18
8.
Hadis pada Masa Tabi’in
Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah terus meningkat, yang berarti penyebaran hadis juga meningkat. Oleh sebab itu, masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (intisyar ar-riwayah). Tercatat beberapa kota yang dijadikan sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis. kemudian menjadi pusat kegiatan para tabi’in meriwayatkan hadis kepada para muridnya. Kota-kota tersebut ialah Madinah, Makkah, Kuffah, Bashrah, Syam, Mesir, Magrib, Andalus, Yaman, dan Khurasan. Ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis cukup banyak, di antaranya yaitu Abu Hurairah, Abdullah bin Uamr, Anas bin Malik, A’isyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, dan Abi Sa’id al-Khudzri.19 Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat berakibat cukup panjang dan berlarut-larut. Secara langsung atau tidak, pergolakan ini memberi pengaru terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh langsungnya
ialah
munculnya
hadis-hadis
palsu
untuk
mendukung
kepentingan politik. Pengaruh lainnya yang bernilai positif adalah lahirnya 17 Loc. cit . 18 Ibid., h. 60 – 61. 19 Ibid ., h. 61 – 62.
10
rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi hadis sebagai upaya penyelamatan dari permusuhan dan pemalsuan akibat pergolakan tersebut.20
9.
Masa Kodifikasi Hadis
Kodifikasi atau tadwin hadis artinya pencatatan, penulisan, atau pembukuan hadis. Yang dimaskud dengan kodifikasi hadis periode ini adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepada negara, dengan melibatkan beberapa sahabat yan ahli di bidangnya, tidak seperti kodifikasi yang dilakukan secara perorangan untuk kepentingan pribadi. 21 Kegiatan ini dimulai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Alasan pengkodifikasian hadis ini karena khalifah Umar khawatir hilangnya hadishadis dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Selain itu, ia khawatir akan tercampurnya anatar hadis-hadis yang shahih dengan hadishadis yang palsu. Kemudian dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in anatar satu dengan yang lainnya tidak sama. Khalifah Umar sebagai pelopor yang memberi instruksi untuk membukukan hadis, turut terlibat mendiskusikan hadis yang dihimpun. 22 Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirim surat ke beberapa ulama dan penguasa yang berisi perintah untuk segera menghimpun hadis-hadis yang masih tersebar di masyarakat. Salah seorang penguasa yang mendapat perintah tersebut adalah Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm, sebagai Gubernur Madinah. Dia diberi tugas untuk mengumpulkan hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman murid keperca yaan ‘Aisyah, dan alQasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar Ash-Shidiq, seorang pemuka tabi’in yang merupakan salah satu dari tujuh fuqaha Madinah. Sedangkan ulama yang dipercaya melakukan tugas yang sama adalah Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhry, seorang tabi’in yang ahli di bidang fiqh dan hadis. 23 20 Mudasir. Ilmu Hadis. op. cit ., h. 103. 21 Ibid., h. 105. 22 Ranuwijaya, Utang. op. cit., h. 66 – 68. 23 Octoberrinsyah, dkk. op. cit., h. 42 – 43.
11
Hadis yang dihimpun Abu Bakar ibn Hazm tidak selengkap yang dihimpun Ibn Syihab Al-Zuhry. Sayangnya, kedua karya tabi’in ini tidak sampai kepada geenrasi sekarang karena tidak dapat dilacak keberadaannya. Namun demikian, ada beberapa kitab hasil kodifikasi para ulama yang masyhur dan mendapat perhatian besar, yaitu al- Muwaththa’ ditulis oleh Malik ibn Annas, al-Musnad karya Imam Al-Syafi’i, Mukhtalif al-Hadis, dan al-Sirah al-Nabawiyah (al-Maghazi wa al-Siyr).24
10. Masa Seleksi Kodifikasi hadis pada masa kodifikasi secara umum belum dilakukan secara selektif. Kitab-kitab mereka masih terdapat hadis marfu’ , hadis mawquf , dan hadis maqthu’ . Ulama dituntut untuk melakukan penyeleksian dan pen-tashih-an. Upaya ini dilakukan pada periode berikutnya yaitu akhir abad ke-2 H atau awal abad ke-3 H, ketika pemerintahan dipegang oleh Dinasti Abbasiyah. Penyaringan hadis dilakukan sungguh-sungguh sehingga berhasil memisahkan hadis dhaif dari yang shahih. Hasil nyata dari upaya ini adalah lahirnya kitab-kitab hadis induk yang enam (al-Kutub al-Sittah). Kitab-kitab yang dianggap berkualitas standar karena telah memuat hampir seluruh hadis Nabi SAW yang shahih. Kitab-kitab tersebut adalah:25 a. Al- Jami’ah Al -Shahih karya al-Bukhari. b. Al- Jami’ah al -Shahih karya Muslim. c. Al-Sunan karya Abu Dawud. d. Al-Sunan karya al-Turmudzi. e. Al-Sunan karya al- Nasa’i. f.
Al-Sunan karya Ibn Majah.
F. Macam-macam Kitab 1.
Al-Muwaththa’
Penyusunnya adalah Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi ‘Amir al-Ashbahi al-Madini, yang lebih dikenal dengan Imam Malik.
24 Loc. cit.. 25 Ibid ., h. 46 – 47.
12
Dilahirkan tahun 93 H dari keluarga Arab yang terhormat yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu dan periwayatan hadis. Ayahnya seorang tabi’in.Imam Malik adalah peletak dasar dan pelopor penyusunan hadis manhaji, yaitu penyusunan kitab hadis yang disusun dengan tema fiqh. Al- Muwaththa’ merupakan karya utama Imam Malik yang berurai komprehensif mengenai praktek normal dan baku yang dianut di Madinah. Isi kitab al- Muwaththa’ secara rinci dikelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah, sebagai berikut: 26 a.
Hadis-hadis tematik tentang fiqh hasil ijtihad pribadi Imam Malik.
b.
Amalan penduduka Madinah yang telah menjadi konsensus (ijma’ ).
c.
Pendapat- pendapat tabi’in yang dijumpainya.
d.
Pendapat- pendapat sahabat dan tabi’in yang tidak dijumpainya.
e.
Pendapat-pendapat termasyhur di Madinah.
f.
Ijtihad Imam Malik yang bersandar pada hadis, fatwa, dan keputusan sahabat.
g.
Pendapat- pendapat dan fatwa tabi’in.
Kitab ini disusun selama empat puluh tahun. Menurut sebagian ulama, pemberian nama Al-Muwaththa’ karena dalam penulisannya, Imam Malik berprinsip pada jalan tengah antara dua hal, yaitu menjauhi sikap Umar yang terlalu ekstrim yang memberatkan orang dan sikap Ibnu Abbas yang terlalu toleran yang membuat orang cenderung melakukan amalan-amalan yang mudah, melainkan kembali kepada hal-hal yang secara manusiawi dapat dilakukan oleh kebanyakan orang. Demikian ini yang diterangkan Al-Manshur. Al-Muwaththa’ berarti yang diamalkan.27 Kitab ini ditulis dengan metodologis dan sistematis, sehingga metode dan sistematika penulisannya banyak dijadikan dasar oleh para ulama dalam menyusun kitab hadis. Mengenai kedudukan dan derajat kitab ini, Waliyullah
Al-Dahlawi
menempatkannya
pada
tingkatan
pertama
26 Ibid ., h. 47 – 49. 27 Muhammad Alawi Al-Maliki. Ilmu Ushul Hadis. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006). H. 251 – 252.
13
bersama-sama dengan kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim, atas dasar keshahihannya.28 2.
Al-Musnad
Karya Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn As’ad al Syaibani, lebih dikenal dengan Imam Ahmad. Lahir awal tahun 164 H di Baghdad. Sejak usia 16 tahun, ia telah belajar hadis. Jika Syafi’i telah berjasa meletakkan dasar-dasar kaidah istinbath hukum syara’ dari AlQuran dan Sunnah, maka Imam Ahmad berhasil meletakkan dasar-dasar ilmu
hadis
dengan
karyanya
al-Musnad .
Orang
pertama
yang
membedakan atau memisahkan hadis dari kajian fiqh. Secara umum, isi kitab tersebut adalah:29 a.
Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal dengan cara mendengar langsung dari ayahnya, yang disebut Musnad Imam Ahmad .
b.
Hadis-hadis yang didengarkan oleh Abdullah dari ayahnya dan orang lain.
c.
Hadis-hadis yang diriwayatkan dari selain Imam ahmad yang disebut zawa’id Abdullah.
d.
Hadis-hadis yang dibacakan Abdullah kepada Imam Ahmad dan dia sendiri tidak pernah mendengar langsung darinya.
e.
Hadis-hadis yang Abdullah tidak pernah mendengar atau membacakannya kepada ayahnya, tetapi ia menemukannya dari tulisan Imam Ahmad.
f.
Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar al-Qathi’iy, dan bukan dari Abdullah dan Imam Ahmad.
Mengenai derajat hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ada beberapa pendapat para ulama. Namun, pendapat yang paling benar ialah yang bersifat kompromi yang menyatakan bahwa hadis-hadis dalam kitab Al-Musnad ada yang shahiih, dhaif yang mendekati hasan, dan ada yang kurang dari itu. Sedang yang mengatakan ada yang maudhu’ adalah
28 Ibid ., h. 252 – 253. 29 Octoberrinsyah, dkk. op. cit., h. 49 – 51.
14
hadis-hadis yang ditambahkan oleh Abu Bakar Al-Qath’i atau yang ditambahkan oleh anaknya, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal. 30 3.
Shahih al-Bukhari
Penyusunnya adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Mughirah ibn Bardizbah. Lahir di wilayah Bukhara, 13 Syawal 194 H. Nama daerah kelahirannya kemudian menjadikan nama populernya Imam Bukhari. Belum genap 10 tahun, beliau sudah menghafal hadis. Kitab yang disusunnya ini merupakan kitab yang hanya memuat hadis-hadis shahih. Disusun
secara
musannaf ,
yaitu
penyusunan
menurut
tema-tema
pembahasan. Memuat 97 kitab dan 3.450 bab. 31 Judul lengkap kitab ini adalah Al- Jami’u Al -Shahihu Al-Musnadu Al-Mukhtasharu min Hadiitsi Rasuulillahi wa Sunanihi wa Ayyamini. Mengenai syarat-syarat hadis shahih yang ditetapkan Al-Bukhari dapat diketahui dari dua hal, yaitu: 32 a.
Dari judul yang diberikan oleh Al-Bukhari sendiri terhadap kitab tersebut
b.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh orang terhadap kitab tersebut
4.
Shahih Muslim
Penyusunnya adalah Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim ibn Ward ibn Kausyad al-Qusyairi al-Nisaburi, dikenal dengan Imam Muslim. Lahir 206 H di Nisapur. Karir keilmuannya tentang hadis dimulai sejak berusia 12 tahun. Ia merupakan salah seorang murid alBukhari. Kitab ini lebih teliti dan lebih sistematis dibanding dengan Shahih Bukhari. Sebab, hadis yang beraneka ragam matan dan sanadnya ditulis di satu tempat, tidak melompat ke bab lain. 33 Shahih Muslim merupakan kitab yang populer. Imam Muslim menghabiskan 15 tahun dalam menyusun kitab ini. Terhimpun di dalamnya 12.000 hadis yang
30 Muhammad Alawi Al-Maliki. op. cit., h. 256. 31 Octoberrinsyah, dkk. op. cit., h. 51 – 53. 32 Muhammad Alawi Al-Maliki. op. cit ., h. 260. 33 Octoberrinsyah, dkk. op. cit., h. 54.
15