MAKALAH
KIMIA MEDISINAL
HUBUNGAN STEREOKIMIA
DAN AKTIVITAS OBAT
Oleh:
KELOMPOK 2
HIKMAWATI H311 13 006
SAMRIANI H311 13 008
MARYA ULFA H311 13 010
VERONIKA BATTUNG H311 13 012
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhahu wa Ta'ala atas segala limpahan nikmatnya sehingga makalah ini dapat kami selesaikan. Makalah ini disusun sebagai tugas presentasi mata kuliah Kimia Medisinal yang berjudul "Hubungan Struktur, Aspek Stereokimia dan Aktivitas Biologis Obat".
Sebagai manusia yang jauh dari kesempurnaan, kami menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh dari sempurna. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Ucapan terima kasih tak lupa kami sampaikan kepada rekan-rekan yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Akhir kata, sekali lagi penulis menyampaikan ucapan terima kasih.
Makassar, 7 November 2016
Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stereokimia merupakan salah satu faktor penting dalam aktivitas biologis obat oleh karena itu pengetahuan tentang hubungan aspek stereokimia dengan aktivitas farmakologis obat sangat menarik untuk dipelajari.
Untuk berinteraksi dengan reseptor, molekul obat harus mencapai sisi reseptor dan sesuai dengan permukaan reseptor. Faktor sterik yang ditentukan oleh stereokimia molekul obat dan permukaan sisi reseptor, memegang peran penting dalam menentukan efisiensi interaksi obat reseptor. Oleh karena itu agar berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons biologis, molekul obat harus mempunyai struktur dengan derajat kespesifikan tinggi.
Pada interaksi obat reseptor ada dua nilai yang sangat penting yaitu distribusi muatan elektronik dalam obat dan reseptor, serta bentuk konformasi obat dan reseptor. Oleh karena itu aktivitas obat tergantung pada tiga faktor struktur yang penting, yaitu:
a. Stereokimia molekul obat
b. Jarak antar atom atau gugus
c. Distribusi elektronik dan konfigurasi molekul
Perbedaan aktivitas farmakologis dari beberapa stereoisomer disebabkan oleh tiga faktor, yaitu:
a. Perbedaan dalam distribusi isomer dalam tubuh
b. Perbedaan dalam sifat-sifat interaksi obat-reseptor
c. Perbedaan dalam adsorpsi isomer-isomer pada permukaan reseptor yang sesuai
Dua hal penting yang perlu diketahui adalah modifikasi isosterisme dan pengaruh isomer terhadap aktivitas biologis obat.
BAB II
ISI
Aspek Stereokimia Obat
Untuk memperoleh obat dengan aktivitas yang lebih tinggi, dengan efek samping atau toksisitas yang lebih rendah dan bekerja lebih selektif, perlu dilakukan modifikasi struktur molekul obat. Ada dua aspek stereokimia obat yakni:
Isosterisme
Istilah isosterisme telah digunakan secara luas untuk menggambarkan seleksi dari bagian sruktur yang karena karakterisasi sterik, elektronik dan sifat kelarutannya, elektronik dan sifat kelarutannya, memungkinkan untuk saling dipergantikan pada modifikasi struktur molekul obat.
Langmuir (1919) mencoba mencari hubungan yang dapat menjelaskan adanya persamaan. Sifat fisik dari olekul yang bukan isomer, dan memberikan batasan bahwa isosteris adalah senyawa-senyawa, kelompok atom-atom, radikal atau molekul yang mempunyai jumlah dan pengaturan elektron yang sama, bersifat isoelektrik dan mempunyai kemiripan sifat-sifat fisik.
Contoh: molekul N2 dan CO masing-masing mempunyai total elektron = 14, sama-sama tidak bermuatan ditunjukkan sifat fisik yang relatif sama, seperti kekentalan, kerapatan, indeks refraksi, tetapan dielektrik dan kelarutan. Hal ini berlaku pula untuk molekul-molekul N2O dan CO2, serta CH2N2 dan CH2 = CO.
Arti isosteris secara umum adalah kelompok atom-atom dalam molekul, yang mempunyai sifat kimia atau fisika mirip, karena mempunyai persamaan ukuran, keelektronegatifan atau stereokimia.
Contoh pasangan isosterik yang mempunyai sifat sterik dan konfigurasi elektronik sama adalah :
Ion karboksilat (-COO-) dan ion sulfonamida (-SO2NR-)
Gugus keton (-CO-) dan gugus sulfon (-SO2-)
Gugus klorida (-Cl) dan gugus trifluorometil (-CF3)
Gugus-gugus divalen eter (-O-), sulfida (-S-), amin (-NH-) dan metilen (-CH2-) meskipun berbeda sifat elektroniknya tetapi hampir sama sifat steriknya sehingga sering pula dipergantikan pada suatu modifikasi struktur.
Secara umum prinsip isosterisme ini digunakan untuk:
Mengubah struktur senyawa sehingga didapatkan senyawa dengan aktivitas biologis yang dikehendaki.
Mengembangkan analog dengan efek biologis yang lebih selektif
Mengubah struktur senyawa sehingga bersifat antagonis terhadap normal metabolit (antimetabolit)
Friedman (1951) memperkenalkan istilah bioisosterisme, yang kemudian berkembang menjadi salah sau konsep dasar sebagai hipotesis untuk perkembangan kimia medisinal. Idealnya, bioisosterisme melibatkan pergantian gugus fungsi dalam struktur molekul yang spesifik aktif dengan gugus lain dan pergantian tersebut akan menghasilkan senyawa baru dengan aktvitas biologis yang lebih baik.
Burger (1970) menghasilkan bioisosterisme klasik, contohnya:
Atom atau gugus monovalen, contoh : R-X-Hn, di mana X adalah atom C, N, O atau atom S, dan R-X, dimana X adalah atom F,Cl, Br, dan I
Atom atau gugus divalen, contoh : R-X-R', dimana X adalah O, S, CH2 atau NH.
Atom atau gugus trivalen, contoh : R-N=R', R-CH=R', R-P=R', R-As=R', dan R-Sb=R'.
Atom atau gugus tetravalen, contoh : R=N+=R', R=C=R', R=P+=R', R=As+=R' dan R=Sb+=R'
Pada modifikasi isosterisme tidak ada hukum yang secara umum dapat memperkirakan apakah akan terjadi peningkatan atau penurunan aktivitas biologis. Meskipun demikian isosterisme masih layak dipertimbangkan sebagai dasar rancangan obat dan modifikasi molekul dalam rangka menentukan obat baru.
Contoh modifikasi isosterisme:
Penggantian gugus sulfida (-S-) pada sistem cincin fenotiazin dan cincin tioxanten, dengan gugus etilen (-CH2CH2-), menghasilkan sistem cincin dihidrodibenzazepin, dan dibenzosiklo-heptadien yang berkhasiat berlawanan.
Contoh :
1). Gugus S pada promazin dan klorprotixen, suatu obat penekan sistem saraf pusat (tranquilizer), bila diganti dengan gugus etilen, menghasilkan imipramin dan amitriptilin yang berkhasiat sebagai perangsangan sistem saraf pusat (antidepresi).
2). Turunan dialkiletilamin
R – X – CH2 – CH2 - N – (R')2
X = O, NH, CH2, S : senyawa antihistamin
X = COO, CONH, COS : senyawa pemblok adrenergik
3). Turunan E ster etiltrimetilamonium
R-COO-CH2-CH2-N+(CH3)3
CH3 Asetilkolin : masa kerja muskarinik singkat
NH2 Karbamikolin : masa kerja muskarinik panjang
Penggantian gugus CH3 dengan gugus NH2 yang bersifat penarik elektron dapat meningkatkan kestabilan ester terhadap proses metabolime sehingga karbamilkolin, mempunyai masa kerja muskarinik lebih panjang disbanding asetilkolin.
4) Obat antid iabetes turunan sulfonamide
Tolbutamid dan klorpropamid mempunyai waktu paruh biologis (t1/2) lebih panjang dan toksisitas yang lebih rendah dibanding karbutamid karena gugus tolbutamid merupakan gugus yang relatif labil dibanding gugus NH2, dan pada in vivo mudah teroksidasi menjadi asam karboksilat (t1/2 = 5,7 jam). Gugus Cl pada klorpropamid lebih tahan terhadap proses oksidasi sehingga masa kerja obat lebih panjang (t1/2 lebih besar dari 33 jam).
5. Prokain dan prokainamid
Gugus dipol C=O mempunyai peran spesifik dalam konduksi saraf.
bila X diganti dengan:
O Prokain : anestesi setempat
NH Prokainamid : antiaritmia
Resonansi dari gugus amida prokainamid akan kekuatan dipol gugus C=O, sehingga prokainamid mempunyai aktivasi anestesi setempat lebih rendah dibanding prokain. Struktur prokainamid lebih stabil dibanding prokain karena lebih tahan terhadap hidrolisis oleh enzim esterase sehingga secara oral dapat digunakan untuk pengobatan aritmia jantung karena mempunyai masa kerja yang lebih panjang.
6. Antimetabolit purin
Adenin dan hipoxantin merupakan metabolit normal dalam tubuh. Gugus NH2 dan OH pada C6 memegang peranan penting pada interaksi yang melibatkan ikatan hydrogen dari kedua basa, pada proses replikasi asam nukleat dalam biosintesis protein sel. Penggantian gugus-gugus tersebut dengan gugus SH, contoh : 6-merkaptopurin, akan memperlemah ikatan hidrogen, terjadi hambatan sebagian dari proses interaksi di atas sehingga kecepatan sintesissel menurun dan senyawa berfungsi sebagai antimetabolit (antikanker).
Selain gugus isosterik dan bioisosterik dikenal pula gugus haptoforik dan gugus farmakoforik. Gugus haptoforik adalah gugus yang membantu pengikatan obat-reseptor, sedang farmakoforik adalah gugus yang bertanggung-jawab terhadap respons biologis..
Contoh gugus haptoforik adalah gugus-gugus besar seperti difenilmetil yang terdapat pada difenhidramin (antihistamin), metadon (analgesik narkotika) dan DDT (insektisida), atau gugus fenotiazin, seperti yang terdapat pada prometazin (antihistamin) dan klorpromazin (tranquilizer).
Contoh gugus farmakoforik adalah gugus sulfonilurea (antidiabetes), sulfonamida (antibakteri), dan gugus sulfon (penghambat karbonik anhidrase).
2.2 Isomer dan Aktivitas Biologis Obat
Sebagian besar obat yang termasuk golongan farmakologis sama, pada umumnya mempunyai gambaran struktur tertentu. Gambaran struktur ini disebabkan oleh orientasi gugus-gugus fungsional dalam ruang dan pola yang sama. Dari gambaran sterik dikenal beberapa macam struktur isometri, antara lain adalah isomer geometrik, isomer konformasi, diastereoisometri dan isomer optik. Bentuk-bentuk isomer tersebut dapat mempengaruhi aktivitas biologis obat.
1). Isomer Geometrik dan Aktivitas Biologis
1. Isomer geometrik dan aktivitas biologis
Isomer geometri atau isomer cis trans adalah isomer yang disebabkan adanya atom-atom atau gugus-gugus yang terikaat secara langsung pada suatu ikatan rangkap atau dalam suatu sistem alisiklik. Ikatan rangkap dan sistem alisiklik membatasi gerakan atom dalam mencapai kedudukan yang stabil sehingga terbantuk isomer cis-trans dan isomer cis-trans cenderung menahan gugus-gugus dalam molekul pada ruang yang relatif berbeda dan perbedaan letak gugus-gugus tersebut dapat menimbulkan perbedaan kimia fisika. Akibatnya, distribusi isomer dalam media biologis juga berbeda, dan berbeda pula kemampuan isomer untuk interaksi dengan reseptor biologis.
2. Isomer konfirmasi dan aktivitas biologis
Isomer konfirmasi adalah isomer yang terjadi karena ada perbedaan pengaturan ruang dari atom-atom atau gugus-gugus dalam struktur molekul obat. Isomer konfirmasi lebih stabil pada struktur senyawa non aromatik. Contoh sikloheksan dapat membentuk 3 konfomer yaitu bentuk kursi, perahu, dan melipat. Sikloheksan cenderung dalam bentuk konfirmasi kursi dibanding bentuk konfirmasi perahu atau melipat. Substituen atau gugus pada cincin sikloheksan cenderung ditahan pada kedudukan equatorial oleh karena bentuk aksial lebih muda terpengaruh oleh efek sterik.
Pada bentuk 1,3 diaksial, subtituennya cenderung tolak-menolak satu sama lain sehingga mengubah kelenturan cincin dan menmpatkan substituen pada kedudukan ekuatorial yang kurang terpengaruh oleh efek sterik. Pada cincin non aromatik, atom atau gugus yang terikat dapat pada kedudukan ekuatorial atau aksial atau kedua-duanya dan dapat menunjukkan aktivitas biologis yang sama atau berbeda. Contoh ,
Trimeperidin adalah senyawa narkotik analgesik poten pada struktur molekulnya bentuk konfirmasi ekuatorial atau aksial ditunjang dan berorientasi pada gugus fenil dan gugus alisiklik. Gugus fenil cendrung dipertahankan dalam bidang cincin pada kedudukan ekuatorial. Untuk mengubah kedudukan aksial dibutuhkan energi lebih kurang7 kilo kalori/mol. Isomer aksial dan ekuatorial dari trimeperidin mempunyai analgesik sama. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh bentuk isomer konfirmasi terhadap aktivitas analgesik trimeperidin sangat kecil.
Planaritas pada bagian tertentu molekul obat sangat penting untuk dapat menimbulkan aktivitas biologis pada umumnya. Pada umumnya akan menunjang rigiditas molekul obat dan ini terjadi pada cincin aromatik atau suatu sistem kerkonjugasi yang lain . atom atau gugus yang terikat secara langsung pada cincin atau sistem tersebut akan berada pada ruang yang sama.
Kadang-kadang aktivitas biologis senyaswa tidak berhubungan dengan gugus fungsi tetapi hanya bergantung pada aromatik atau karakteristik planar dari molekul.
Contoh :
1. Amfetamin yang mempunyai cincin aromatik lebih aktif dibanding analog jenuhnya. Aktivitasnya ditunjang oleh planaritas cincin yang menigkatkan kemampuan senayawa untuk mengikat reseptor yang juga mempunyai permukaan planar melalui ikatan vander waals yang relatif kuat. Pada interaksi obat yang tidak planar dengan reseptor planarikatan van der waals relatif rendah.
2. Aktivitas pemblok adrenergik dari - haloalkilamin tergantung pada koplanaritas substituen pada cincin benzen.
Kadang-kadang suatu molekul senyawa tertentu memberikan lebih dari satu efek biologis karena mempunyai bentuk konfirmaasi yang unik dan lentur sehingga dapat berinteraksi dengan reseptor-reseptor yang berbeda.
Contoh
1. Asetil kolin
Asetilkolin memiliki dua bentuk konfirmasi yaitu
a. bentuk konfirmasi tertutup
Pada bentuk ini atom H dari N-metil letaknya berdekatan demgam atom O dari gugus asetoksi sehingga terjadi ikatan hidrogen intermolekul membentuk struktur tertutup. Bentuk konfirmasi ini dapoat berinteraksi dengan reseptor nikotinik dari ganglia dan penghubung saraf otot.
b. bentuk konfirmasi memanjang penuh
pada bentuk ini atom H dari N-metil letaaknya berjauhan dengan atom O sehingga membentuk struktur memanjang. Bentuk konfirmasi ini dapat berinteraksi dengan reseptor muskarinik dari saraf post ganglionik parasimpatik dan mudah dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase,
2. 2-Asetoksisiklopropiltrimetilamonium iodide
Pada bentuk (+) trans, atom H dari N-metil letaknya berjauhan dan terpisah dari atom O gugus asektosi sehingga mempunyai bentuk konfirmasi memanjang seperti asetilkolin. Senyawa ini memiliki derajat kekakuan yang lebih besar dari asetilkolin dan mempunyai aktivitas muskarinik pada pembuluh darah anjing 5 kali lebih besar dari asetilkolin.
Bentuk isomer (+) trans juga mudah dihidrolisis oleh enzim esterase dengan kecepatan yang sama seperti hidrolisis asetilkolin. Bentuk isomer (-) trans, (+)cis, dan (-) cis, aktivitas muskariniknya sangat rendah.
3. Diastereoisomer dan Aktivitas Biologis
Diastereoisomer adalah isomer yang disebabkan oleh senyawa yang mempunyai dua atau lebih pusat atom asimetrik, mempunyai gugus fungsional sama dan memberikan tipe reaksi yang sama pula. Kedudukan gugus-gugus substitusi terletak pada ruang yang relatif berbeda sehingga diastereoisomer mempunyai sifat fisik, kecepatan reaksi dan sifat biologis yang berbeda pula. Perbedaan sifat-sifat di atas berpengaruh terhadap distribusi, metabolisme dan interaksi isomer dengan reseptor.
Perbedaan interaksi dengan reseptor dari senyawa-senyawa diastereoisomer dapat dilihat pada gambar berikut.
Keterangan :
Nilai koefisien partisi lemak/air isomer cis tidak sama dengan isomer trans atau log P (cis) > log P (trans).
A,B, dan C : gugus-gugus pada Isomer
A',B',dan C' : tempat yang sesuai pada reseptor
Diasterioisomer kemungkinan juga mempunyai aktifitas optis.
Contoh: efedrin, mempunyai 2 atom C asimetrik dengan 4 bentuk aktif optis, dapat membentuk diasterioisomer (+-) eritro dan (+-) itreo, yang dapat dilihat pada gambar berikut:
Aktifitas presor relative (APR) isomer-isomer efedrin dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel. Hubungan isomer-isomer efedrin dan aktivitas presor relative (APR)
Isomer
APR
D (-) Eferdrin
L (+) Efedrin
D(-) Pseudoefedrin
L(+) Pseudoefedrin
DL(+-) Efedrin
DL(+-) Pseudoefedrin
36
11
7
1
26
4
Dari gambar dan tabel terlihat bahwa aktivitas maksimal dicapai bila pusat Cα berada pada kedudukan (S) dan pusat Cβ pada kedudukan (R). Jadi hanya bentuk D(-) efedrin yang secara nyata dapt memblok reseptor β-adrenergik dan menurunkan tekanan darah.
4. Isomer Optik dan Aktivitas Biologis
Isomer Optik adalah isomer yang disebabkan oleh senyawa yang mempunyai atom C asimetrik. Isomer optic mempunyai sifat kimia Fisika sama dan hanya berbeda pada kemampuan dalam memutar bidang cahaya terpolarisasi atau berbeda rotasi optiknya. Masing-masing isomer hanya dapat memutar bidang cahaya terpolarisasi ke kiri atau ke kanan saja dengan sudut pemutaran yang sama.
Isomer optic kadang-kadang mempunyai aktivitas biologis yang berbeda karena ada perbedaan dalam interaksi isomer-isomer dengan reseptor biologis.
Menurut Beckett, perbedaan interaksi isomer-isomer optic dengan reseptor biologis diilustrasikan seperti pada gambar berikut:
Keterangan :
Nilai koefisien partisi lemak/air dari isomer (-) atau log P (+) = log P(-)
A, B, dan C : gugus-gugus pada isomer
A', B', dan C' : tempat yang sesuai pada reseptor
Contoh obat yang dapat membentuk isomer optic dengan aktivitas biologis berbeda :
(-)- Hiosiamin, aktivasi medriatiknya 15-20 kali lebih besar disbanding isomer (+)
D-(-)adrenalin, aktivitas vasokonsttiktornya 12-15 kali lebih basar disbanding isomer (+)
(-)-Sinefrin, aktivitas presornya 60 kali lebih besar disbanding isomer (+)
(-)-α-Metildopa, mempunyai efek antihipertensi, sedang isomer (+) tidak menimbulkan efek antihipertensi
D-(-)-treo-Kloramfenikol mempunyai efek antibakteri, sedang isomer L (+) eritro efeknya negative
(+)-Norhormoepinefrin, aktivitas presosnya 160 kali lebih besar disbanding isomer (-)
(+)-α-Propoksifen mempunyai efek analgesikm d\sedang isomer (-) mempunyai efek antibatuk
L-(+)-Asam askorbat mempunyai efek antiskorbut, sedang isomer (-) efeknya negarif
S-(+)-Indometasin mempunyai efek antiradang, sedang isomer R(-) efeknya negative
Isomer (-) dan (+)-klorokuin mempunyai efek antimalaria yang sama, hal ini berarti bahwa aspek steriokimia sedikit berpengaruh terhadap aktivitas biologis kliekuin
Perbedaan aktivitas dari isomer-isomer optic dapat dijelaskan dengan beberapa perkiriraan sebagai berikut :
Ada perbedaan distribusi dari isomer-isomer dalam tubuh, tanpa memandang perbedaan kerja pada sisi reseptor. Perbedaan ini disebabkan isomer optic diseleksi terlebih dahulu oleh system biologis sebelum mencapai reseptor spesifiknya.
Contoh :
Isomer optic berinteraksi dengan senyawa aktif optic dalam cairan tubuh, missal protein plasma, membentuk diasterioisomer sehungga terjadi perbedaan absorbs, distribusi dan metabolism isomer-isomer tersebut.
Salah satu isomer optic cenderung dimetabolisis oleh enzim yang bersifat stereospesifik.
Salah satu isomer diabsorbsi secara selektif pada sisi kehilangan yang stereospesifik, missal pengikatan oleh protein plasma tertentu
Menurut Cushny , perbedaan aktivitas tersebut disebabkan karena isomer optic berinteraksi denga sisi reseptor yang aktif optis, menghasilkan diasterioisomer dengan sifat kimia fisika berbeda sehingga terjadi perbedaan dalam distribusi dan interaksi dengan reseptor spesifik.
Menurut Easson dan Stedman, struktur isomer optic secara teoritis dapat menimbulkan efek fisiologis yang berbeda karena ada perbedaan dalam hal pengaturan molekul sehingga salah satu isomer dapat berinteraksi dengan reseptor hipotesis sedang isomer yang lain tidak dapat berinteraksi.
Interaksi reseptor hipotesis dengan isomer optic dapat dijelaskan pada gambar
Easson-Stedman juga memberikan postulat bahwa isomer optic dari epinefrin, suatu obat adenergik, dapat menimbulkan aktivitas presor yang berbeda karena mempunyai perbedaan dalam interaksi dengan permukaan reseptor.
Perbedaaan interaksi isomer-isomer epinefrin dengan permukaan reseptor dijelaskan pada gambar
Dari gambar tersebut, terlihat bahwa pada (-) epinefrin ketiga gugus diikat secara serasi pada permukaan reseptor sehingga menimbulkan aktivitas presor yang jauh lebih besar disbanding (+) epinefrin,karena ada isomer (+) hanya dua gugus yang terikat pada permukaan reseptor. Hilangnya gugus hidroksil pada struktur (-) epinefrin (deoksiepinefrin) menyebabkan senyawa mempunyai aktivitas presor yang serupa dengan (+) epinefrin, karena hanya dua gugus yang mengikat permukaan reseptor.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Stereokimia merupakan salah satu faktor penting dalam aktivitas biologis obat oleh karena itu pengetahuan tentang hubungan aspek stereokimia dengan aktivitas farmakologis obat sangat menarik untuk dipelajari.
Ada dua aspek stereokimia obat yakni
Isosterisme menggambarkan seleksi bagian struktur yang karena karakterisasi sterik, elektronik dan sifat kelarutannya, memungkinkan saling dipergantikan pada modifikasi struktur molekul obat
Isomer yang terdiri dari adalah isomer geometrik, isomer konformasi, diastereoisometri dan isomer optik.
DAFTAR PUSTAKA
Siswandono, 2011, Hubungan Struktur, Aspek Stereokimia dan Aktivitas Biologis Obat, https://id.scribd.com/doc/72541587/4-Stereokimia.
Tristanti, I., 2013, Hubungan Struktur, Aspek Stereokimia dan Aktivitas Biologis Obat http://pharmaciststreet.blogspot.co.id/2013/01/hubungan-struktur-
aspek-stereokimia-dan.html