PASCA SARJANA KAJIAN SASTRA DAN BUDAYA UNAIR
KERAPAN SAPI SEBAGAI SIMBOL BUDAYA MADURA RINA KHARISMA, SS NIM: 121141017 11/4/2011
TUGAS KAJIAN SASTRA DAN BUDAYA TRADISIONAL
1. PENDAHULUAN Kerapan atau karapan sapi adalah satu istilah dalam bahasa Madura yang digunakan untuk menamakan suatu perlombaan pacuan sapi. Ada dua versi mengenai asal usul nama kerapan. Versi pertama mengatakan bahwa istilah “kerapan” berasal dari kata “kerap” atau “kirap” yang artinya “berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong”. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa kata “kerapan” berasal dari bahasa Arab “kirabah” yang berarti “persahabatan”. Namun lepas dari kedua versi itu, dalam pengertiannya yang umum saat ini, kerapan adalah suatu atraksi lomba pacuan khusus bagi binatang sapi. Sebagai catatan, di daerah Madura khususnya di Pulau Kangean terdapat lomba pacuan serupa yang menggunakan kerbau. Pacuan kerbau ini dinamakan mamajir dan bukan kerapan kerbau. Bagi masyarakat Madura, karapan sapi bukan sekadar sebuah pesta rakyat yang perayaannya digelar setiap tahun. Karapan sapi juga bukan hanya sebuah tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karapan sapi adalah sebuah kebanggaan yang akan mengangkat martabat di masyarakat.
1.1
LATAR BELAKANG Sejarah Singkat Kerapan Sapi Asal usul kerapan sapi juga ada beberapa versi. Versi pertama mengatakan
bahwa kerapan sapi telah ada sejak abad ke-14. Waktu itu kerapan sapi digunakan untuk menyebarkan agama Islam oleh seorang kyai yang bernama Pratanu. Versi yang lain lagi mengatakan bahwa kerapan sapi lahir,tumbuh dan berkembang di Pulau Madura pada Kisaran abad ke-14 silam, ketika Pangeran Katandur dari Kraton Sumenep, tepatnya di Pulau Sepudi yang menjadi habitat sapi unggulan di Pulau Madura. Pada masa Pemerintahan Pangeran Katandur itulah, sektor pertanian di kawasan Madura Timur, kini Kabupaten Sumenep mengalami kemajuan cukup
pesat. Berkat keberhasilan itu, setiap kali musim tidak lag tanam tiba, para petani selalu melampiaskan rasa suka cita dan kegembiraan mereka dengan cara mengadakan lomba adu cepat sapi bajak di dalam kubangan lumpur areal persawahan mereka. Kebiasaan petani itupun kemudian mendapat perhatian dari sang Pangeran. Ujung-ujungnya, timbullah gagasan untuk melombakan adu cepat kinerja sapi bajak itu tidak lagi dalam areal persawahan, tetapi dimodifikasi dalam bentuk adu kecepatan lari sapi bajak di tanah lapang, yang kemudian populer dengan istilah kerapan sapi. Pada perkembangan berikutnya, setiap kali musim tanam tiba, Pangeran Katandur kemudian rutin menggelar lomba kerapan sapi dalam wujud pesta pora rakyat Madura Timur.Tradisi Kerapan Sapi ini yang awalnya dihelat di wilayah Madura Timur secara bertahap, kemudian menyebar hingga ke wilayah Madura bagian tengah, yakni Kabupaten Pemekasan dan Sampang bahkan kemudian juga populer di kawasan Madura Barat yakni Kabupaten Bangkalan. Sejak itulah, event kerapan sapi kemudian rutin dihelat sebagai pesta
pora akbar
kebanggaan rakyat di empat Kabupaten Madura. 1.2
RUMUSAN MASALAH Dalam makalah ini penulis akan merumuskan masalah untuk mempersempit ruang
penelitian. Rumusan masalahnya sebagai berikut: -
1.3
Mengapa Kerapan Sapi menjadi simbol budaya di pulau Madura
TUJUAN Tujuan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Kajian Sastra dan
Budaya Lokal. Selain itu untuk mengetahui alasan kerapan sapi menjadi simbol budaya Madura.
1.4
MANFAAT Manfaat makalah ini adalah mengetahui alasan kerapan sapi sebagai simbol budaya
madura, selain itu makalah diharapkan bisa menjadi wacana budaya lokal yang bisa bertahan di era Globalisasi ini bahkan menjadi salah satu daya tarik wisata untuk wisatawan lokal maupun internasional.
1.5
BATASAN MASALAH
Batasan masalah dalam makalah ini adalah Kerapan Sapi yang ada di Pulau madura khususnya di Kabupaten Bangkalan.
2.
PEMBAHASAN
2.1Anatomi Kerapan Perangkat Perlengkapan Sapi Kerap Keunikan, kelangkaan dan daya pikat kerapan sebagai tradisi kebanggaan Rakyat Madura, tidak hanya merujuk pada kecepatan lari dari dua pasang sapi kerap dalam setiap ajang lomba. Lebih dari itu, perangkat pendamping setiap pasang sapi kerap dalam setiap ajang lomba. Lebih dari itu, perangkatpendamping dipakai oleh setiap pasang sapi kerap, menjadi menu daya tarik tersendiri yang tak kalah uniknya. Beberapa perangkat dan perlengkapan sapi kerap yang dipakai antara lain: 1. Pangonong adalah tonggak penghubung untuk menyatukan dua ekor sapi kerap. Tonggak berbentuk bulat berkuran panjang 1 s/d 1,5 meter yang terbuat dari kayu pilihan dengan diameter 15 s/d 20 cm, kedua ujungnya ditempatkan pada celah ponok (tonjolan) antara kepala dan punggung kedua sapi. Pengonong itu memiliki keunikan yang spesifik, lantaran kedua cagak (tiang kecil) yang berfungsi sebagai penyekat pada celah ponok kedua sapi kerap, selalu dibumbui oleh asesoris seni ukir khas Pulau Madura. 2. Kaleles
adalah dua pasang tonggak sepanjang 2 s/d 2,5 meter
(tergantung besarnya pasangan sapi kerap) yang dipasang sejajar diantara dua ekor sapi kerapan dan dihubungkan dengan bagian tengah pangonong. Dibagian tengah kaleles ini, juga ada cagak kecil yang dipasang menyilang untuk menghubungkan dua tonggak kaleles. Diatas cagak inilah, para Bhuto (sebutan dari Jockey) berdiri dan memacu kecepatan sapi kerap tungganganya. 3. Busana Kebesaran adalah Busana kebesaran yang biasa dikalungkan dibagian leher dan berjuntai hingga kebagian dada dua ekor pasang sapi kerap, biasanya didesain dalam bentuk oval atau bulat. Busana kebesaran itu biasanya berwarna gelap, seperti hitam, biru tua, cokelat dan dibuat dari kain blundru atau sutera pilihan. Tatanan busana lengkap semacam ini harganya antara Rp. 10 s/d 15 juta, dan biasa digunakan pasangan sapi kerap saat mengikuti prosesi kirap, sebagai simbol kebanggaan bagi pemiliknya.
Selain peralatan diatas adapula aspek pendukung lainnya yaitu musik pengiring. Setiap pasang sapi kerap biasanya memiliki musik pengiring tradisional. Musik pengiring masing-masing sapi kerap biasanya terdiri dari 8 s/d 10 personel, untuk memainkan seperangkat perkusi musik tradisional khas madura. Hanya saja musik pengiring kerap untuk wilayah Madura Timur dan Barat memiliki kelengkapan musik yang berbeda. Untuk musik pengiring khas Kabupaten Sumenep, disebut musik “Seronen” dengan peralatan musik terdiri dari seronen khas Sumenep, gendang, gong, kempul, kennong tello’ dan kencreng. Sementara musik pengiring sapi di Kabupaten Bangkalan, dikenal dengan sebutan musik “Thuk-thuk” yaitu thukthuk berbagai ukuran seperti thuk-thuk gudhuk, thuk-thuk paneros, thuk-thuk pancer, thuk tak-katek dan thuk-thuk cong kene’, serta dilengkapi pula oleh gendang, gong, kempul, kenong tello’ dan seronen khas Bangkalan. Orang Madura memberi perbedaan antara “kerapan sapi” dan “sapi kerap”. Kerapan sapi adalah sapi yang sedang adu pacu, dalam keadaan bergerak, berlari dan dinamis. Sedang sapi kerap adalah sapi untuk kerapan baik satu maupun lebih. Ini untuk membedakan dengan sapi biasa. Karena sapi pilihan dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya berdada air artinya kecil ke bawah, berpunggung panjang, berkuku rapat, tegar tegak serta kokoh, berekor panjang dan gemuk. Pemeliharaan sapi kerap juga sangat berbeda dengan sapi biasa. Sapi kerap sangat diperhatikan masalah makannya, kesehatannya dan pada saat-saat tertentu diberi jamu. Sering terjadi biaya ini tidak sebanding dengan hadiah yang diperoleh bila menang, tetapi bagi pemiliknya merupakan kebanggaan tersendiri dan harga sapi kerap bisa sangat tinggi. Menu jamunya antara lain minimal telur 20 butir telur ayam kampung, seperempat botol madu asli, setengah botol anggur koleson, parutan aneka rempah-rempah. Selain itu setiap pagi dan malam, masing-masing sapi kerap rutin mendapat terapi pijat oleh para perawat khusus. Sapi kerap ada tiga macam yaitu sapi yang “cepat panas” (hanya dengan diolesi bedak panas dan obat-obatan cepat terangsang), sapi yang “dingin” (apabila akan dikerap harus dicemeti berkali-kali), dan sapi “kowat kaso” (kuat lelah, memerlukan pemanasan terlebih dahulu). Pada waktu akan dilombakan pemilik sapi kerap harus mempersiapkan butho (joki), “tukang tambeng” (bertugas menahan, membuka dan melepaskan rintangan untuk berpacu), “tukang gettak” (penggertak sapi agar sapi berlari cepat), “tukang gubra” (orang-orang yang menggertak sapi dengan bersorak sorai di tepi lapangan),
“tukang ngeba tali” (pembawa tali kendali sapi dari start sampai finish), “tukang nyandak”(orang yang bertugas menghentikan lari sapi setelah sampai garis finish), “tukang tonja” (orang yang bertugas menuntun sapi). Beberapa peralatan yang penting dalam kerapan sapi yaitu kaleles dan pangonong (alat yang dinaiki oleh joki), “pangangguy dan rarenggan” (pakaian dan perhiasan), “rokong” (alat untuk mengejutkan sapi agar berlari cepat). Dalam kerapan sapi tidak ketinggalan adanya “saronen” (perangkat instrumen penggiring kerapan). Perangkatnya terdiri dari saronen, gendang, kenong, kempul, krecek dan gong.
2.2 Pesta Rakyat Umumnya sebuah pesta rakyat, penyelenggaraan Kerapan Sapi juga sangat diminati oleh masyarakat Madura. Setiap kali penyelenggaraan Kerapan Sapi diperkirakan masyarakat yang hadir bisa mencapai 1000-1500 orang. Dalam pesta rakyat itu berabagai kalangan maupun masyarakat Madura berbaur menjadi satu dalam atmosfir sportifitas dan kegembiraan. Sisi lain yang menarik penonton dari karapan sapi adalah kesempatan untuk memasang taruhan antarsesama penonton. Jumlah taruhannya pun bervariasi, mulai dari yang kelas seribu rupiahan sampai puluhan, bahkan ratusan juta rupiah. Biasanya penonton yang berdiri disepanjang arena taruhannya kecil, tidak sampai jutaan. Tetapi, para petaruh besar, sebagian besar duduk di podium atau hanya melihat dari tempat kejauhan. Transaksinya dilakukan di luar arena, dan biasanya berlangsung pada malam hari sebelum karapan sapi dimulai.
2.3 Adu Gengsi Pemilik sapi karapan memperoleh gengsi yang tinggi manakala mampu memenangkan lomba tradisional tersebut. Selain itu, harga pasangan sapi pemenang karapan langsung melambung. Misalnya, harga sapi yang memenangkan lomba Karapan Sapi 2003 melambung menjadi Rp200 juta dari 2 tahun sebelumnya hanya Rp40 juta. Untuk membentuk tubuh pasangan sapi yang sehat membutuhkan biaya hingga Rp4 juta per pasang sapi untuk makanan maupun pemeliharaan lainnya. Maklum, sapi karapan diberikan aneka jamu dan puluhan telur ayam per hari, terlebih-lebih menjelang diadu di arena karapan. Berdasarkan tradisi masyarakat
pemilik sapi karapan, maka hewan tersebut menjelang diterjunkan ke arena dilukai di bagian pantatnya yakni diparut dengan paku hingga kulitnya berdarah agar dapat berlari cepat. Bahkan luka itu diberikan sambal ataupun balsem yang dioles-oleskan di bagian tubuh tertentu antara lain di sekitar mata. Sehari sebelum lomba dilaksanakan, pasangan sapi dan pemilik serta sejumlah kerabatnya menginap di tenda yang dipasang di lapangan. Tidak lupa rombongan itu dimeriahkan oleh kelompok musik tradisional Sronen yang mengarak pasangan sapi menjelang dipertandingkan. Bahkan jasa dukun pun diperlukan dalam kegiatan karapan sapi. Para “penggila” Kerapan Sapi melakukan itu semua demi sebuah gengsi atau prestise yang memang merupakan watak khas orang Madura
2.4 Macam-macam Kerapan Sapi Kerapan sapi yang menjadi ciri khas orang Madura ini sebenarnya terdiri dari beberapa macam, yaitu: 1. Kerap Keni (kerapan kecil) Kerapan jenis ini pesertanya hanya diikuti oleh orang-orang yang berasal dari satu kecamatan atau kewedanaan saja. Dalam kategori ini jarak yang harus ditempuh hanya sepanjang 110 meter dan diikuti oleh sapi-sapi kecil yang belum terlatih. Sedangkan penentu kemenangannya, selain kecepatan, juga lurus atau tidaknya sapi ketika berlari. Bagi sapi-sapi yang dapat memenangkan perlombaan, dapat mengikuti kerapan yang lebih tinggi lagi yaitu kerap raja.
2. Kerap Raja (kerapan besar) Perlombaan yang sering juga disebut kerap negara ini umumnya diadakan di ibukota kabupaten pada hari Minggu. Panjang lintasan balapnya sekitar 120 meter dan pesertanya adalah para juara kerap keni.
3. Kerap Onjangan (kerapan undangan) Kerap onjangan adalah pacuan khusus yang para pesertanya adalah undangan dari suatu kabupaten yang menyelenggarakannya. Kerapan ini biasanya diadakan untuk memperingati hari-hari besar tertentu.
4. Kerap Karesidenen (kerapan tingkat keresidenan)
Kerapan ini adalah kerapan besar yang diikuti oleh juara-juara kerap dari empat kabupaten di Madura. Kerap karesidenan diadakan di Kota Pamekasan pada hari Minggu, yang merupakan acara puncak untuk mengakhiri musim kerapan.
5. Kerap jar-jaran (kerapan latihan) Kerapan jar-jaran adalah kerapan yang dilakukan hanya untuk melatih sapisapi pacuan sebelum diturunkan pada perlombaan yang sebenarnya.
2.5 Pihak-pihak yang Terlibat dalam Permainan Kerapan Sapi Kerapan sapi adalah salah satu jenis permainan rakyat yang banyak melibatkan berbagai pihak, yang diantaranya adalah: (1) pemilik sapi pacuan; (2) tukang butho (orang yang bertugas mengendalikan sapi pacuan di atas kaleles); (3) tukang tambeng (orang yang menahan tali kekang sapi sebelum dilepas); (4) tukang gettak (orang yang menggertak sapi agar pada saat diberi aba-aba dapat melesat dengan cepat); (5) tukang tonja (orang yang bertugas menarik dan menuntun sapi); dan (6) tukang gubra (anggora rombongan yang bertugas bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapi pacuan).
2.6 Jalannya Permainan Sebelum kerapan dimulai semua sapi-kerap diarak memasuki lapangan. Kesempatan ini selain digunakan untuk melemaskan otot-otot sapi, juga merupakan arena pamer keindahan pakaian dan hiasan dari sapi-sapi yang akan dilombakan. Setelah parade selesai, pakaian dan seluruh hiasan itu mulai dibuka. Hanya pakaian yang tidak mengganggu gerak tubuh sapi saja yang masih dibiarkan melekat. Setelah itu, dimulailah lomba pertama untuk menentukan klasemen peserta. Uniknya dari Kerapan Sapi ini adalah adanya kelompok “papan atas” dan “papan bawah”. Papan atas adalah pool untuk golongan menang dan papan bawah adalah pool untuk golongan kalah. Jadi dalam kerapan sapi ada dua pemenang yaitu golongan menang dan golongan kalah. Setelah itu, dimulailah
lomba pertama untuk menentukan klasemen peserta,
apakah masuk papan atas atau papan bawah.
Selanjutnya adalah babak penyisihan pertama, kedua, ketiga dan keempat atau babak final. Dalam babak penyisihan ini, permainan memakai sistem gugur. Dengan perkataan lain, sapi-sapi pacuan yang sudah dinyatakan kalah, tidak berhak
lagi ikut dalam pertandingan babak selanjutnya. Tetapi mereka secara otomatis masuk ke dalam kelompok bawah, nantinya akan berhadapan dengan sapi kerap yang kalah juga. Prosesnya sama seperti sapi yang menang jadi mereka juga mempunyai pemenang. Jadi dalam perlombaan kerapan sapi ini tidak ada yang kalah karena untuk kelompok kalahpun masih ada pemenangnya.
2.7 Nilai sosial dan budaya Dipilihnya kerapan sapi sebagai simbol budaya bagi masyarakat madura tidak hanya kerapan sapi ini berasal dari pulau garam tetapi juga kerapan sapi mengandung nilai-nilai budaya lokal yang harus dilestarikan. Oleh karena itu pada tahun 2011 ini kerapan sapi dipilih sebagi daya tarik wisata oleh Pemerintah Kabupaten Bangkalan dan mejadi daya tarik pada program wisata untuk provinsi Jawa Timur Visit East Java 2011. Permainan kerapan sapi jika dicermati secara mendalam mengandung nilainilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dalam proses pelatihan sapi, sehingga menjadi seekor sapi pacuan yang mengagumkan (kuat dan tangkas). Untuk menjadikan seekor sapi seperti itu tentunya diperlukan kesabaran, ketekunan dan kerja keras. Tanpa itu mustahil seekor sapi aduan dapat menunjukkan kehebatannya di arena kerapan sapi. Nilai kerja sama tercermin dalam proses permainan itu sendiri. Permainan kerapan sapi, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak itu satu dengan lainnya saling membutuhkan. Untuk itu, diperlukan kerja sama sesuai dengan kedudukan dan peranan masing-masing. Tanpa itu mustahil permainan kerapan sapi dapat terselenggara dengan baik. Nilai persaingan tercermin dalam arena kerapan sapi. Persaingan menurut Koentjaraningrat (2003: 187) adalah usaha-usaha yang bertujuan untuk melebihi usaha orang lain dalam masyarakat. Dalam konteks ini para peserta permainan kerapan sapi berusaha sedemikian rupa agar sapi aduannya dapat berlari cepat dan mengalahkan sapi pacuan lawan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu,
masing-masing berusaha agar sapinya dapat melakukan hal itu sebaik-baiknya. Jadi, antarpeserta bersaing dalam hal ini. Nilai ketertiban tercermin dalam proses permainan kerapan sapi itu sendiri. Permainan apa saja, termasuk kerapan sapi, ketertiban selalu diperlukan. Ketertiban ini tidak hanya ditunjukkan oleh para peserta, tetapi juga penonton yang mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat. Dengan sabar para peserta menunggu giliran sapisapi pacuannya untuk diperlagakan. Sementara, penonton juga mematuhi aturanaturan yang berlaku. Mereka tidak membuat keonaran atau perbuatan-perbuatan yang pada gilirannya dapat mengganggu atau menggagalkan jalannya permainan. Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada.
3. 3.1
PENUTUP
KESIMPULAN Kerapan sapi menjadi simbol bagi masyarakat madura karena : 1. Kerapan sapi memiliki nilai sebagai peningkatan derajat sosial bagi pemilik Sapi. 2. Kerapan sapi dapat meningkatkan kelas (strata) bagi sapi sehingga
meningkatkan nilai jual / harga sapi. 3. Kerapan sapi memiliki nilai historis tersendiri bagi masyarakat madura,
yang
menjadikan
masyarakat
madura
memiliki
kebanggaan
bagi
daerahnya. 4. Kerapan sapi memiliki nilai sosial berupa kerja keras, kerja sama,
persaingan, ketertiban dan sportivitas yang dapat dicontoh oleh daerah lain.
3.2
SARAN Dalam hal ini diharapkan Kerapan sapi dapat menjadi contoh salah satu
atraksi budaya lokal yang bisa menjadi global dan dikenal oleh seluruh masyarakat. Selain itu bisa menjadi salah satu warisan budaya yang dilestarikan sampai anak cucu kita nanti.