BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara berkembang, hal ini ditunjukan dengan banyaknya pembangunan yang sedang dilakukan di Indonesia. Dewasa ini kita melihat bahwa pertumbuhan industri, perkantoran, teknologi dan perdagangan di Indonesia semakin meningkat. Salah satu tolok ukur peningkatannya adalah perekonomian Indonesia yang saat ini semakin meningkat. Peningkatan perekonomian di Indonesia tidak lepas dari keterlibatan tenaga kerja. Namun dalam pelaksanaannya seringkali terjadi kecelakaan yang menimpa tenaga kerja. Hal ini tidak lepas dari buruknya penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja(K3). Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perusahaan di Indonesia secara umum diperkirakan termasuk rendah. Pada tahun 2005 Indonesia menempati posisi yang buruk jauh di bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Kondisi tersebut mencerminkan kesiapan daya saing perusahaan Indonesia di dunia internasional masih sangat rendah. Indonesia akan sulit menghadapi pasar global karena mengalami ketidakefisienan pemanfaatan tenaga kerja (produktivitas kerja yang rendah). Padahal kemajuan perusahaan sangat ditentukan peranan mutu tenaga kerjanya. Karena itu disamping perhatian perusahaan, pemerintah juga perlu memfasilitasi dengan peraturan atau aturan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Nuansanya harus bersifat manusiawi atau bermartabat. Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah dan bisnis sejak lama. Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan kinerja
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
1
karyawan dan pada gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja. Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun 2020 mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara yang harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk bangsa Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja Indonesia; telah ditetapkan Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas. Jenis kecelakaan kerja sendiri banyak sekali, antara lain kecelakaan kerja industri, kecelakaan kerja listrik, kecelakaan kerja lingkungan hidup dan sebagainya. Untuk mengantisipasi kecelakaan kerja tersebut kita harus menerapkan K3 yang terkait dengan kecelakaan tersebut. Salah satunya adalah K3 listrik untuk menghindari kecelakaan kerja listrik.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
2
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja? 2. Bagaimana cara mencegah terjadinya kecelakaan kerja? 3. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja listrik? Dan bagaimana cara mencegahnya? 4. Perundangan apa saja yang terkait dengan K3 umum dan K3 listrik?
1.3 Batasan Masalah Dalam makalah ini penulis hanya akan membahas sejarah, pengertian dan tujuan K3, peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan K3 bidang kelistrikan, faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja, cara mencegah terjadinya kecelakaan kerja, faktor terjadinya kecelakaan kerja listrik dan cara mencegahnya.
1.4 Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang K3 pada bidang kelistrikan dan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sertifikasi : Keselamatan dan Kesehatan Kerja(K3).
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
3
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sejarah, pengertian dan tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) 2.1.1 Sejarah Keselamatan dan Kesehatan Kerja(K3) 1. Keselamatan Kerja Keselamatan kerja sebenarnya jauh sebelum ulmu pengetahuan berkembang telah mulai dikanal dan dibutuhkan oleh semua orang, terbukuti dengan adanya kebiasanaan dan sudah menjadi budaya dibeberapa masyarakat.Bukti ini dapat ditemui sejak zaman dahulu hingga sekarang masih ada sebahagian masyarakat yang mempercayainya, sebagai contoh dalam pelaksanaan suatu kegiatan dalam mengharapkan keselamatan pada pembangunan atau pembuatan suatu bangunan atau proyek, sebelum kegiatan tersebut dilakukan terlebih dahulu diadakan seperti upara pemotongan hewan seperti kerbau, sapi, kambung . Hewan tersebut dipotong dan kepalanya ditanam pada lokasi proyek tersebut, sedangkan daging dimassak dan dimakan bersama sekelaigus upara do.a selamatan. Budaya dipulau Jawa misalnya dapat dijumpai adanya pemotongan nasi tumpen,. melakukan persembahan dilaut dan lain sebagainya ini tidak lain untuk maksud mengharapakan keselamatan dalam melakukan kegiatan, pembangunan rumah tempat tinggal misalnya juga ada suatu upacara seperti sebelum kuda-kuda rumah dipasang atau sebelum pemasangan atap dilakukang pemotongan ayam warna hitam, menggantungkan berupa bibit kelapa, pisang, tebu, memasang bendera, kain warna warni dan mungkin banyak lagi upacara-upacara yang dilakukan masyarakat untuk keselamatan, baik keselamatan para pekerja yang melakukan pembangunan tersebut maupun keselamatan pemilik bangunan tersebut. Kira-kira 180 tahun yang lalu (1829) permulaan revolusi dalam tahnik perlindungan yang dimulai dengan membuat produksi mekanis dalam ukuran besar dengan pabrik-pabrik
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
4
sebagai unit produksi. Dalam revolusi tehnik perlindungan tersebut merupakan pangkal terjadinya kecelakaan dengan jumlah yang besar. Munculnya revolusi industri di Inggris berjalan sebagai orang yang memperoleh kemenangan tanpa adanya belas kasihan, sehingga menimbulkan akibat-akibat yang mengerikan serta menyebar luasnya rasa takut. Hal ini menghendaki adanya pembaharuan-pembaharuan dan penyempurnaan dalam tehnologi. Kemudian gerakan pembaharuan dan penyempurnaan tehnologi itu dilakukan oleh orangorang yang merasa bertanggung jawab moral terhadap perbaikan untuk kepentingan sesamanya dengan memperhatikan usaha pencegahan kecelakaan. Tujuan dari perubahan-perubahan dan penyempurnaan ini adalah untuk meyakinkan pemerintah agar melindungi pekerja-pekerja pabrik (termasuk pekerja anak-anak) yang sering kali hidup dan bekerja dengan rasa takut terhadap bahaya. Dengan usaha perlindungan tersebut dinilai akan dapat menurunkan tingkat kecelakaan. Pada abad ke 18 ini, sebagai hasil penemuan-penemuan baru yang menarik perhatian antara lain terciptanya mesin seperti mesin-mesin tenun pintal, menyebabkan industri tekstil berkembang pesat. Timbullah permintaan akan mendapatkan tenaga kerja dengan upah yang rendah dan sesuai dengan keperluan industri. Untuk itu pada umumnya dipekerjakan tenaga kerja anak dibawah umur dari kalangan keluarga miskin, mereka bekerja secara sembunyisembunyi dan tidak diberikan jaminan perlindungan. Mereka bekerja dengan tidak disediakan seperti sarana, sanitasi yang tidak memenuhi syarat dan bahkan mereka bekerja antara 14 atau 15 jam sehari. Lebih-lebih lagi setelah adanya peningkata akan kebutuhan tenaga kerja dibarengi dengan kecepatan perkembangan mekanisasi yang mengakibatkan pabrik dan industri lebih berbahaya lagi. Perkembanagan usaha Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia belum begitu banyak dikenal oleh masyarakat. Memang disadari bahwa Indonesia sebagai salah satu
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
5
negara yang baru berkembang belum mempunyai kemampuan yang cukup untuk melakukan kegiatan secara luas dibidang keselamatan dan kesehatan kerja seperti di beberapa negara telah maju. Namun demikian kegiatan tersebut di Indonesia sebenarnya telah dimulai dari sebelum perang dunia pertama pada saat itu Indonesia masih dibawah jajahan Belanda, masalah keselamatan kerja telah dilaksanakan oleh Pemerintahan Hindia Belanda.. Pemerintah Indonesia saat ini sedang berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkan program-program keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Gagasan untuk usaha Keselamatan dan Kesehatan Kerja telah dimulai pada kira-kira tahun 1847, sejalan dengan dimulainya pemakaian mesin-mesin uap untuk keperluan industri di Indonesia oleh Pemerintah Hindia Belanda. Usaha tersebut pada dasarnya bukanlah ditujukan untk perlindungan tenaga kerja, tetapi hanya ditujukan terhadap pengawasan pemakaian pesawat-pesawat uap yang pada waktu itu baru dikenal. Orang baru menyadari pada waktu itu akibat-akibat aoa yang mungkin terjadi dengan pemakaian pesawat-pesawat uap tersebut. Sesuai dengan pesatnya pertumbuhan pabrik-pabrik yang menggunakan ketel-ketel uap, Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 28 Pebruari 1852 dengan Staatsblad Nomor 20 mengeluarkan peraturan tentang penjagaan keselamatan kerja pada pemakaian pesawatpesawat uap. Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan ini diserahkan kepadainstansi yang dibentuk dalam waktu yang bersamaan yaitu instansi ” Diens van het stoomwezen” Dengan adanya Dinas Stoomwezen ini, maka untuk pertama sekali di Indonesia, Pemerintah secara nyata mengadakan usaha perlindungan tenaga kerja darai bahaya kecelakaan kerja, walaupun baru sebatas pada para operator atau pelayan pesawat-pesawat uap saja, perlindungan itu belumlah dianggap penting. Hal ini sangat dimengerti karena pada waktu itu perlindungan tenaga kerja hanya ditujukan terhadap tenaga kerja terdiri dari orang-orang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
6
yang dijajah dan belum dianggap sebagai suatu kepentingan masyarakat oleh pihak pemerintah yang menjajah. Pada tahun 1888 karena pengawasan atas kereta api swasta sangat dibuthkan, maka Dinas Stoomwezen itu digabungkan dengan Dinas Kereta Api Pemerintah yang pada waktu itu dinamakan Staats Spoorwagen. Penggabungan ini ternyata tidak dapat berjalan baik, karena para insinyur harus bekerja untuk dua instansi yaitu untuk Dinas Kereta Api dan Dinas Stoomwezen, sehingga mereka tidak dapat menangani masalah yang timbul pada kedua instansi tersebut secara bersamaan, sehingga hal ini banyak membuat kesukaran. Oleh sebab itu pada tahun 1909 didirikan Dinas Stoomwezen sebagai dinas sendiri mempunyai perwakilan di Belanda. Untuk membantu kelancaran tugas pengawasan ketel-ketel uap, dirasakan perlu pada waktu itu adanya suatu unit penyelidikan bahan-bahan dan didirikan pula satu unit Laboratorium Penyelidikan Bahan yang merupakan bagian dari Dinas Stoomwezen, untuk keperluan pendidikan kira-kira tahun 1912 Laboratorium tersebut diserahkan kepada Sekolah Tehnik Tinggi di Bandung dan sekarang menjadi bagian dari Kementrian Perindustrian dengan nama Balai Penelitian Bahan-bahan. Pada akhir abad ke 19 pemakaian pesawat-pesawat berjalan sangat pesat dan disusul pula pemakaian mesin-mesin diesel, listrik di pabrik-pabrik dan industri, akan menimbulkan pula bahaya baru bagi pada tenaga kerja dan banyak terjadi kecelakaan kerja pada waktu itu. Pada tahn 1901 Pemerintah mulai memikirkan perlunya memperluas usaha pencegahan kecelakaan kerja. Pada tahun 1905 sebagai kelanjutan usaha ini dengan Staatsblad Nomor 521 oleh Pemerintah mengelarkan suatu Peraturan tentang Keselamatan Kerja dengan nama ” Veiligheids Reglement ” sering disingkat V.R kemudian diperbaharui pada Tahun 1910 dengan Staatsblad
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
7
Nomor 406 yaitu Pengawasan terhadap Pelaksanaan peraturan ini diserahkan tanggung jawabnya kepada Dinas Stoomwezen. Sesudah Perang Dunia I proses mekanisasi dan elektrifikasi berjalan lebih pesat sekali. Mesin-mesin Diesel dan listrik mulai memegang peranan, jumlah kecelakan yang terjadi semakin meningkat, sehingga pengawasan terhadap pabrik-pabrik dan bengkel harus lebih ditingkatkan lagi. Pada Tahun 1925 nama Dienst Van Het Stoomwezen diganti dengan nama yaitu “ Dienst Van Het Veiligheids Toezicht” disingkat V.T ( Pengawasan Keselamatan Kerja) untuk lebih mempunyai kewibawaan dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan agar lebih sesuai dengan tugas perlindungan tenaga kerja, maka Dinas V.T masuk kedalam bagian Kantor Perburuhan dibawah Departemen Van Justitie (sekarang Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia). Perkembangan perlindungan atas Keselamatan Kerja terus meningkat seiring dengan perkembangan penggunaan Ketel-ketel uap dengan type dan jenis bermacam-macam dan mempunyai tekanan yang semakin tinggi, sehingga pengawasan harus ditingkatkan lagi. Pada Tahun 1930 Pemerintah mengeluarkan Stoomordonantie dan Stoomverordening dengan Staatsblad Nomor 225 dan Staatsblad Nomor 339 sampai sekarang peraturan ini masih tetap berlaku dan belum ada pengganti ataupun belum dicabut keberlakuannya. Pada Tahun 1970 Peraturan Keselamatan Kerja yang lama yaitu Veilegheids Reglement 1910 diganti dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Republik Indonesia dengan Undang-Undang Keselamatan Kerja Nomor 1 Tahun 1970. Undang-Undang Keselamatan Kerja ini sangat berbeda dengan VR 1910 yang bersifat pengawasan represif polisionil, sedangkan UU Nomor 1 Tahun 1870 bersifat Pengawasan Preventif, edukatif dan represif pro justisia, Undang-Undang ini berlaku terhadap semua tempat kerja, bukan hanya pabrik dan perbengkelan saja, yaitu disemua tempat kerja yang mempunyai sumber-sumber bahaya, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
8
air maupun di udara yang berada dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Didalam Undang-Undang Nomor 1 than 1970 telah mengamanatkan bahwa pengawasan terhadap keselamatan kerja ini telah jelas diserahkan tanggung jawabnya kepada pemerintah dan secara operasionalnya berada dibawah tanggung jawab pegawai pengawas keselamatan kerja. Sejak pemerintahan orde baru hingga saat ini pengawasan keselamatan kerja ini berada dalam Direktorat Pembinaan Pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja & Hyperkes dibawah Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan pada kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Unit kerja pengawasan keselamatan kerja ditingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota pada saat ini berada pada seksi pembinaan Keselamatan kerja setingkat esselon IV. 2. HIPERKES Berangkat dari buku yang berjudul ” De Morbis Articum Diatriba ” yang ditulis oleh Barnardin Ramazzini (1633-1714) yaitu dapat jugalah disebut sebagai Bapak Kesehatan Kerja dan Higene Persahaan. Didalam bukunya itu diuraikan tentang berbagai-bagai penyakit dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja, dialah yang telah membuat semakin jelasnya persoalan, bahwa pekerjaan dapat menimbulkan penyakit, yaitu penyakit akibat kerja, dia jugalah yang menambahkan cara diagnosa Hippocrates dengan satu hal, meminta sisakit untuk menceritakan apa pekerjaannya. Di Indonesia sebenarnya sangat sulit menentukan sejak kapan dimulainya Hiperkes ini, berkembangnya dan adanya Hiperkes ini bermula dengan adanya pekerjaan dalam hubungan keja dan hubungan pengupahan atau penggajian. Kapan dimulainya ada pekerjaan atas dasar pengupahan atau penggajian itu tidaklah dapat diketahui mulainya. Namun dapatlah dianggap mulai adanya tentara pada zaman dahulu, permulaan adanya pekerjaan dengan sistim adanya upah atau gaji yang diterima oleh tentara
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
9
itu dan peperangan dapat pulalah dianggap pekerjaan yang menimbulkan korban-korban atau kecelakaan-kecelakaan akibat perang tersebut, Oleh sebab itu Hiperkes mulai berlembaga pada waktu itu. Selain dari itu pekerjaan atas dasar paksaan atau kerja paksa dan hukuman juga menjadi sebab berkembangnya Hiperkes. Pekerja-pekerja yang melakukan pekerjaan didalam tambang pada waktu itu adalah para tawanan perang dan pesakitan, yang akhirnya mereka meninggal oleh karena melakukan pekerjaan itu sendiri. Bapak ilmu kedokteran terkenal yaitu Hippocrates rupanya pada saat itu belum menaruh perhatian, ini dapat dibuktikan dari buku-bukunya, sebab mendasarkan teorinya kepada keseimbangan makanan dan latihan (exercise), tetapi latihan yang dimaksudkannya sama sekali tidak ditujukan kepada pekerja, begitu pula Hippocrates tidak memperhatikan pula penyakit kaum pekerja. Kira-kira abad ke 16 baru adanya gambaran tentang penyakit-penyakit akibat kerja tambang dan pekerja-pekerja lainnya menurut Agricola dan Paracelcus. Agricola dengan bukunya ” De Re Metalica ” (1556) sedangkan Paracelcus menulis dalam bukunya ” Von der Bergscht und Anderen Bergkrankheiten ” (1569), keduanya menulis dan menggambarkan pekerjaan-pekerjaan dalam tambang, cara mengolah biji tambang dan penyakit-penyakit yang diderita oleh para pekerja, bukan itu saja akan tetapi mereka telah mempelopori dengan gagasan bagaimana pencegahan terhadap timbulnya kecelakaan dan penyakit akibat kerja, dengan menganjurkan untuk membuat ventilasi, pemakaian tutup muka dengan daun-daunan pada saat pekerja melakukan pengecatan sebagai alat pelindung diri (APD), Paracelcus menguraikan dengan panjang lebar tentang bahan-bahan kimia, sehingga dia dapat dianggap telah memulai toksikologi moderen. namun orang yang disebut sebagai Bapak Hiperkes sebenarnya adalah Bernardine Ramazzini (1633-1714) dengan anjuranya
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
10
pula yang sangat penting, mustahil belaka mendiagnosa penyakit akibat kerja tanpa mengetahui jenis pekerjaan sisakit. Perkembangan Hiperkes di Indonesia sejak zaman penjajahan hanya ditujukan untuk memberikan kesehatan sekedarnya saja kepada para pekerja-pekerja agar mereka cukup sehat sehingga mampu untuk memproduksi bahan-bahan yang diperlukan oleh negara penjajah seperti Belanda, cara pengorganisasinya pun sangat sederhana tanpa adanya aturan-aturan yang jelas. Baru pabad 20 mulai dibuat aturan mengenai kebersihan, keselamatan, kesehatan yang sangat sederhana sekali sesuai dengan keperluan pada saat itu. Pada zaman penjajahan Jepang sama sekali Hiperkes tidak ada perkembangan dan begitu juga tidak ada dorongan kearah itu. Perkembangan Hiperkes sesungguhnya baru dimulai setelah Indonesia merdeka dengan adanya Undang-Undang Kecelakaan Kerja Nomor 2 Tahun 1947 dan Undang-Undang Kerja Nomor 12 Tahun 1948 yang dirobah menjadi undang-undang Kerja Nomor 1 Tahun 1951 telah memuat pokok-pokok yang berkaitan dengan kesehatan dan hygiene persahaan yang dilaksanakan oleh Departemn Perburuhan waktu itu. Dengan didirikannya Lembaga Kesehatan Buruh pada tahun 1957 yang hanya berfungsi sebagai penasehat dan alat untuk meningkatkan mutu ilmiah kesehatan. Pada tahun 1965 lembaga ini dirubah menjadi Lembaga Keselamatan dan Kesehatan Buruh dengan fungsinya adalah : 1) pusat pendidikan yang ditujukan kepada calon-calon dokter atau dokter yang akan bekerja diperusahaan, pengawas-pengawas perburuhan, 2) untuk memberikan jasa dan nasehat kepada buruh/pekerja, 3) pusat riset dan penelitian untuk meningkatkan mutu keilmuan kesehatan dan keselamatan kerja, 4) pusat publikasi, baik majalah maupun bukubuku pedoman tentang keselamatan dan kesehatan kerja dan 5) penghubung dan kerjasama internasional dalam keselamatan dan kesehatan kerja.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
11
Tahun 1966 pada saat Kabinet Ampera dibentuklah secara resmi Lembaga Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja dibawah Departemen Tenaga Kerja dan terakhir dirobah menjadi Pusat Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja hingga saat ini untuk tingkat pusat, sedangkan untuk tingkat daerah Provisi ada Balai Hiperkes. 2.1.2 Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Menurut Mangkunegara (2002, p.163) Keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya, dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan makmur. Menurut Suma’mur (2001, p.104), keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Menurut Simanjuntak (1994), Keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan yang bebas dari resiko kecelakaan dan kerusakan dimana kita bekerja yang mencakup tentang kondisi bangunan, kondisi mesin, peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja . Mathis dan Jackson (2002, p. 245), menyatakan bahwa Keselamatan adalah merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang terhadap cedera yang terkait dengan pekerjaan. Kesehatan adalah merujuk pada kondisi umum fisik, mental dan stabilitas emosi secara umum. Menurut Ridley, John (1983) yang dikutip oleh Boby Shiantosia (2000, p.6), mengartikan Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu kondisi dalam pekerjaan yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
12
Jackson (1999, p. 222), menjelaskan bahwa Kesehatan dan Keselamatan Kerja menunjukkan kepada kondisi-kondisi fisiologis-fisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh lingkungan kerja yang disediakan oleh perusahaan. 2.1.3 Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Tujuan Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja : Secara umum, kecelakaan selalu diartikan sebagai kejadian yang tidak dapat diduga. Kecelakaan kerja dapat terjadi karena kondisi yang tidak membawa keselamatan kerja, atau perbuatan yang tidak selamat. Kecelakaan kerja dapat didefinisikan sebagai setiap perbuatan atau kondisi tidak selamat yang dapat mengakibatkan kecelakaan. Berdasarkan definisi kecelakaan kerja maka lahirlah keselamatan dan kesehatan kerja yang mengatakan bahwa cara menanggulangi kecelakaan kerja adalah dengan meniadakan unsur penyebab kecelakaan dan atau mengadakan pengawasan yang ketat. (Silalahi, 1995) Keselamatan dan kesehatan kerja pada dasarnya mencari dan mengungkapkan kelemahan yang memungkinkan terjadinya kecelakaan. Fungsi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mengungkapkan sebab-akibat suatu kecelakaan dan meneliti apakah pengendalian secara cermat dilakukan atau tidak. Menurut Mangkunegara (2002) bahwa tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut: a. Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara fisik, sosial, dan psikologis. b. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya selektif mungkin. c. Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya. d. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai. e. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja. f. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
13
kerja. g. Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja
2.2 Kecelakaan Kerja 2.2.1 Pengertian Kecelakaan Kerja Dalam kerja bengkel, kita pastinya akan menjumpai alat-alat berat yang sistem kerjanya juga mengikuti postur atau fungsi alat tersebut. Seringkali alat yang kita gunakan dalam kerja praktek tersebut tidak berfungsi secara maksimal, atau adanya human error yang menyebabkan terhambatnya kerja bengkel. Hal ini sering kali di sebut sebagai kecelakaan kerja. Kecelakaan ialah suatu kejadian yang tak terduga dan yang tidak diharapkan ,karena dalam peristiwa tesebut tidak terdapat unsur kesengajaan, lebih- lebih dalam bentuk perencanaan. Dalam Permenaker no. Per 03/Men/1994 mengenai Program JAMSOSTEK, pengertian kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja daan pulang kerumah melalui jalan biasa atau wajar dilalui. ( Bab I pasal 1 butir 7 ). Kecelakaan menurut M. Sulaksmono (1997), adalah suatu kejadian yang tak terduga dan yang tidak dikehendaki yang mengacaukan suatu proses aktivitas yang telah diatur. Kecelakaan terjadi tanpa disangka – sangka dalam sekejap mata , dan setiap kejadian tersebut terdapat empat faktor bergerak dalam satu kesatuan berantai yakni: lingkungan ,bahaya, peralatan, dan manusia. Program kesehatan kerja menunjukkan pada kondisi yang bebas dari gangguan fisik, mental, emosi atau rasa sakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Resiko kesehatan merupakan faktor-faktor dalam lingkungan kerja yang bekerja melebihi periode waktu Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
14
yang ditentukan, lingkungan yang dapat membuat stress emosi atau gangguan fisik (Mangkunegara, 2000:161). 2.2.2 Penyebab Kecelakaan Kerja Kecelakaan kerja bersifat tidak menguntungkan, tidak dapat diramal, tidak dapat dihindari sehingga tidak dapat diantisipasi dan interaksinya tidak disengaja. Berdasarkan penyebabnya, terjadinya kecelakaan kerja dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu langsung dan tidak langsung. Adapun sebab kecelakaan tidak langsung terdiri dari faktor lingkungan(zat kimia yang tidak aman, kondisi fisik dan mekanik) dan faktor manusia (lebih dari 80%). Pada umumnya kecelakaan terjadi karena kurangnya pengetahuan dan pelatihan, kurangnya pengawasan, kompleksitas dan keanekaragaman ukuran organisasi, yang kesemuanya mempengaruhi kinerja keselamatan di tempat kerja. Para pekerja akan tertekan dalam bekerja apabila waktu yang disediakan untuk merencanakan, melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan terbatas. Manusia dan beban kerja serta faktor-faktor dalam lingkungan kerja merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yang disebut roda keseimbangan dinamis. Terjadinya kecelakaan kerja di bengkel listrik yang diakibatkan oleh faktor manusia, diakibatkan antara lain dari faktor heriditas (keturunan), misalnya keras kepala, pengetahuan lingkungan jelek. Di samping itu, kecelakaan dapat diakibatkan oleh kesalahan manusia itu sendiri. Misalnya kurangnya pendidikan, angkuh, cacat fisik atau mental. Karena sifat di atas ,timbul kecendrungan kesalahan dalam kerja yang akhirnya mengakibatkan kecelakaan. Perbuatan salah karena kondisi bahaya (tak aman), bisa diakibatkan oleh beberapa hal, misalnya secara fisik mekanik meninggalkan alat
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
15
pengaman, pencahayaan tidak memadai, mesin sudah tua, dan mesin tak ada pelindungnya. Ditinjau dari faktor fisik manusia, misalnya dari ketidak seimbangan fisik /kemampuan fisik tenaga kerja,, misalnya : tidak sesuai berat badan , kekuatan dan jangkauan, Posisi tubuh yang menyebabkan lebih lemah, kepekaan tubuh, kepekaan panca indra terhadap bunyi, cacat fisik, cacat sementara. Di samping itu kecelakaan bisa terjadi diakibatkan oleh ketidak seimbangan kemampuan psikologis pekerja. Misalnya adanya rasa takut / phobia, karena gangguan emosional, sakit jiwa, tingkat kecakapan, tidak mampu memahami, gerakannya lamban, keterampilan kurang. Kecelakaan juga bisa terjadi diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan tentang tidakan K3, misalnya : kurang pengalaaman, kurang orientasi, kurang latihan memahami tombol – tombol (petunjuk lain), kurang latihan memahami data, salah pengertian terhadap suatu perintah. Kecelakaan yang diakibatkan oleh kurangnya skill atau keterampilan kerja, misalnya : kurang mengadakan latihan praktik, penampilan kurang, kurang kreatif, salah pengertian. Kemudia hal lian yang sering terjadi akibat ada gangguan mental, misalnya emosi berlebihan, beban mental berlebihan, pendiam dan tertutup, problem dengan suatu yang tidak dipahami, frustasi dan sakit mental.
Akibat stres fisik, antara lain : badan sakit
(tidak sehat badan), beban tugas berlebihan, kurang istirahat, kelelahan sensori, kekurangan oksigen, gerakan terganggu, gula darah menurun. 2.2.3 Akibat / dampak kecelakaan kerja Dalam kecelakaan kerja, dampak terbesar dialami oleh korban atau pelaku praktek kerja. Kerugian paling fatal bagi korban adalah jika kecelakaan itu sampai mengakibatkan ia sampai cacat tetap atau bahkan meninggal dunia. Akibat atau dampak lain dari terjadinya kecelakaan adalah dapat merugikan secara finansial, baik langsung maupun tak langsung.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
16
Misalnya saja merugikan terhadap investasi atau modal kerja, peralatan, bahan baku, dan lingkungan kerja setempat. 2.2.3 Pencegahan Kecelakaan Kerja Untuk mencegah kecelakaan kerja sangatlah penting diperhatikannya “Keselamatan Kerja”. Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berhubungan dengan peralatan, tempat kerja, lingkungan kerja,serta tata cara dalam melakukan pekerjaan yang bertujuan untuk menjamin keadaan, keutuhan dan kesempurnaan,baik jasmaniah maupun rohaniah manusia,yang tertuju pada kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan pekerja pada khususnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa keselamatan kerja pada hakekatnya adalah usaha manusia dalam melindungi hidupnya dan yang berhubungan dengan itu,dengan melakukan tindakan preventif dan pengamanan terhadap terjadinya kecelakaan kerja ketika kita sedang bekerja. Kita harus melaksanakan keselamatan kerja ,karena dimana saja,kapan saja, dan siapa saja manusia normal,tidak menginginkan terjadinya kecelakaan terhadap dirinya yang dapat berakibat fatal. Berdasarkan uraian tersebut di atas, pada dasarnya usaha untuk memberikan perlindungan keselamatan kerja pada pekerja atau karyawan dapat dilakukan dengan dua cara: (Soeprihanto,1996:48) yaitu: Pertama, melalui usaha preventif atau mencegah. Preventif atau mencegah berarti mengendalikan atau menghambat sumber-sumber bahaya yang terdapat di tempat kerja sehingga dapat mengurangi atau tidak menimbulkan bahaya bagi para karyawan. Adapun langkah-langkah pencegahan itu dapat dibedakan, yaitu : •
Subsitusi (mengganti alat/sarana yang kurang/tidak berbahaya)
•
Isolasi (memberi isolasi/alat pemisah terhadap sumber bahaya)
•
Pengendalian secara teknis terhadap sumber-sumber bahaya.
•
Pemakaian alat pelindung perorangan (eye protection, safety hat and
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
17
•
cap, gas respirator, dust respirator, dan lain-lain).
•
Petunjuk dan peringatan ditempat kerja.
•
Latihan dan pendidikan keselamatan dan kesehatan kerja.
Kedua, usaha represif atau kuratif. Artinya, kegiatan untuk mengatasi kejadian atau kecelakaan yang disebabkan oleh sumber-sumber bahaya yang terdapat ditempat kerja. Pada saat terjadi kecelakaan atau kejadian lainnya sangat dirasakan arti pentingnya persiapan baik fisik maupun mental para karyawan sebagai suatu kesatuan atau team kerja sama dalam rangka mengatasi dan menghadapinya. Selain itu terutama persiapan alat atau sarana lainnya yang secara langsung didukung oleh pimpinan bengkel. 2.2.4 Macam dan Jenis Kecelakaan Kerja Hal yang harus diwaspadai adanya kecelakaan di bengkel listrik antara lain akibat adanya kebakaran . Jika terjadi kebakaran, api berkobar, segera periksa kejadian yang memberi kesempatan yang terbaik dari jalan keluarnya yang cepat, mengurangi bahaya hidup,dan menjaga kerusakan seminimum mungkin. Jika terjadi kebakaran,ingatlah beberapa langkah penyelamatan : (1) umumkan tanda bahaya kebakaran segera, (2) beritahukan pasukan pemadam kebakaran, (3) padamkan api dengan peralatan yang tersedia, (4) ungsikan peralatan jika perlu, (5) beritahukan setiap orang untuk mendapatkan penjelasan cara mengatasinya bisa dengan menggunakan air, api, pemadam kebakaran berisi CO2. Kecelakaan lain yang mungkin terjadi di bengkel listrik oleh adanya gangguan arus listrik. Arus listrik selalu dapat dialirkan kesegala arah melalui benda – benda yang konduktif, misalnya logam dan zat cair.Aliran tersebut tidak dapat kita lihat seperti halnya air yang mengalir sehingga hal ini sangat berbahaya dan bisa mematikan. Setiap peralatan yang menggunakan aliran listrik sangat perlu dilengkapi dengan perlengkapan yang berguna jika terjadi kebocoran arus listrik tidak mengalir ke orang melainkan langsung ke bumi.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
18
Tempat yang beraliran listrik harus kering dan tidak menghantarkan listrik, tangan yang basah dan berkeringat dapat dengan mudah terkena aliran listrik bila menggunakan jenis peralatan yang bocor. • Berilah tanda bahaya pada aliran listrik yang berbahaya, misal di beri pagar atau tanda peringatan • Gunakan bahan- bahan yang tidak menghantarkan aliran listrik seperti sarung karet, sepatu karet, landasan atau peralatan • Keringkan tangan sebelum menggunakan peralatan yang beraliran listrik 2.2.5 Tindakan Penyelamatan Matikan tombol utama atau pisahkan si penderita dengan bantuan sebatang kayu panjang yang kering, jika si penderita pingsan lakukan tindakan penyelamatan berikutnya. Seandainya pernafasan berhenti,maka bersihkan sesuatu yang merintangi mulut. 2.2.6 Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K) Letak ruang Pertolongan Pertama (P3K) harus pada tempat yang strategis, di dekat bengkel atau laboratorium.Ruang ini harus diberi tanda yang jelas dan setiap pengawas, instruktur, dan pekerja harus mengetahui jalan tercepat menuju ketempat tersebut. Kotak P3K harus berisi segala peralatan yang penting seperti : kain pembalut dan obat – obatan, supaya tindakan pertolongan pertama berjalan efektif. Persediaan obat harus selalu diperbaharui secara teratur dan di cek tanggal berlakunya obat apakah masih aktif dan efektif. Obat yang kadaluwarsa segera diganti yang baru. Kain penbalut harus mudah dibuka dan siap pakai. Plester dalam berbagai bentk dan ukuran dapat dipakai dengan cepat untuk mengatasi luka ringan. Ada tiga hal yang terpenting bila hendak menolong seorang yang mengalami kecelakaan berat, yakni berikut ini: (1) Jalan pernapasan, periksalah apakah jalan pernapasan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
19
tersumbat lidah atau benda- benda asing lainnya. (2) Pernapasan,periksalah apakah orang itu bernafas, bila tidak usahakanlah diberikan
pertolongan napas buatan. (3) Peredaran darah,
periksalah apakah terdapat denyut jantung pada penderita, bila tidak, berilah pertolongan peredaran darah buatan, selama melakukan hal ini periksalah apakah ada pendarahan. • Untuk mencegah gangguan daya kerja, ada beberapa usaha yang dapat dilakukan agar para buruh tetap produktif dan mendapatkan jaminan perlindungan keselamatan kerja, yaitu: • Pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja (calon pekerja) untuk mengetahui apakah calon pekerja tersebut serasi dengan pekerjaan barunya, baik secara fisik maupun mental. • Pemeriksaan kesehatan berkala/ulangan, yaitu untuk mengevaluasi apakah faktor-faktor penyebab itu telah menimbulkan gangguan pada pekerja • Pendidikan tentang kesehatan dan keselamatan kerja diberikan kepada para buruh secara kontinu agar mereka tetap waspada dalam menjalankan pekerjaannya. • Pemberian informasi tentang peraturan-peraturan yang berlaku di tempat kerja sebelum mereka memulai tugasnya, tujuannya agar mereka mentaatinya. • Penggunaan pakaian pelindung • Isolasi terhadap operasi atau proses yang membahayakan, misalnya proses pencampuran bahan kimia berbahaya, dan pengoperasian mesin yang sangat bising. • Pengaturan ventilasi setempat/lokal, agar bahan-bahan/gas sisa dapat dihisap dan dialirkan keluar. • Substitusi bahan yang lebih berbahaya dengan bahan yang kurang berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali. • Pengadaan ventilasi umum untuk mengalirkan udara ke dalam ruang kerja sesuai dengan kebutuhan.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
20
2.2.7 Beberapa Kasus Kecelakaan dan Penanggulangannya Berikut diberikan beberapa kasus kecelakaan yang sering terjadi, dan diberikan pertolongan pertama. Misalnya Pertolongan karena terkena benda tajam sehingga mengakibatkan luka. Luka adalah terputusnya hubungan jaringan oleh sesuatu sebab. Penyebab luka biasanya adanya persentuhan dengan benda tumpul (lecet, memar, robek). Persentuhan denganbenda tajam (tusuk iris, bacok), atau luka baker yang disebabkan oleh api, uap panas, cairan panas, zat kimia, sinar, arus listrik. Adapun cara menolong akibat luka, bahwa agar supaya luka dapat sembuh dengan sempurna maka harus dijaga jangan sampai luka itu menjadi kotor dan anggota badan yang terluka jangan digerakkan. Pertolongan pada luka bakar, dilakukan : Jika kulit hanya merah dan belum melepuh maka bagian badan yang kena itu dituangi air yang dingin. Kulit yang keriput tidak boleh digunting. Kalau ada luka ,maka ini harus dibalut longgar- longgar saja. Selimuti dia dengan selimut tebal dan beri minum sebanyak – banyaknya. Kecelakaan lain yang sangat mungkin terjadi misalnya karena keracunan akibat gas beracun yang bocor di suatu tempat (bengkel). Misalnya keracunan asap batu bara (COkarbonmonoksida) dan keracunan gas asap batu bara Gas. Hal ini berakibat dapat menghalangi daya arah untuk menyerap oksigen. Gejala- gejala yang dapat dilihat akibat keracunan gas, antara lain sakit kepala, kelemahan otot, kejang muka merah dan akhirnya jatuh pingsan. Adapun cara memberikan pertolongannya sebagai berikut: angkut si Penderita dari lingkungan yang beracun itudan rebahkan ia didekat jendela yang terbuka supaya mendapat udara yang segar, jika ia pingsan dan kelihatan tidak bernafas lagiharus dilakukan pernafasan buatan Keracunan obat bius dan obat tidur. Panggil dokter secepatnya, harus di ikhtiarkan supaya si sakit memuntahkan racun itu dengan memasukkan jari kedalam kerongkongannya (tenggorokan) si sakit diberi obat norit dan minum susu sebanyak
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
21
banyaknya. Berikan juga minum kopi panas atau brendi. Jika si sakit telah pingsan jangan dicoba memakssa ia muntah tunggu saja sampai dokter datang.
2.3 Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik 2.3.1 Dasar-Dasar Instalasi Listrik Standarisasi dan Persyaratan Tujuan standarisasi ialah mencapai keseragaman antara lain mengenai 1. Ukuran , bentuk dan mutu barang. 2. Cara menggambar dan cara kerja Dengan makin rumitnya konstruksi dan makin meningkatnya jumlah dan jenis barang yang dihasilkan, standarisasi menjadi suatu keharusan. - Standarisasi juga mengurangi pekerjaan tangan maupun pekerjaan otak. Dengan tercapainya standarisasi, mesin-mesin dn alat-alat dapat dipergunakan secara lebih baik dan lebih efisien, sehingga dapat menurunkan harga pokok dan meningkatkan mutu. - Standarisasi membatasi jumlah jenis bahan dan barang, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan. Peraturan umum untuk instalasi cahaya dan tenaga. 1. Semua alat hubung dan perlangkapan pembagi pesawat listrik, motor listrik, hantaran dari alat-alat harus memenuhi peraturan dan pemeriksaan yang berlaku untuk itu. 2. Hal tersebut di atas tidak berlaku untuk tegangan yang lebih dari pada yang ditetapkan. 3. Tegangan untuk instalasi penerangan arus bolak-balik tidak boleh lebih tinggi dari 300 volt terhadap tanah. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
22
4. Instalasi harus terdiri dari paling sedikit dua golongan. Terkecuali jika instalasi tersebut tidak lebih dari 6 titik hubung. Tiap golongan tidak lebih dari 12 titik hubung, untuk pemasangan yang baru tidak lebih dari 10 titik. Ketentuan di atas tidak berlaku untuk penerangan reklame, pesta dan yang bersifat istimewa seperti pada toko. 5. Setiap golongan penerangan, pembagian arusnya harus sama rata pada bagian fasenya. Instalasi Rumah Tinggal Untuk pemasangan suatu instalasi listrik lebih dahulu harus dibuat gambar-gambar rencananya berdasarkan denah bangunan, dimana instalasinya akan dipasang jika spesifikasinya dan syarat-syarat pekerjaan yang diterima dari pihak bangunan / pemesan. Harus diperhatikan spesifikasi dan syarat pekerjaan ini menguraikan syarat yang harus dipenuhi pihak pemborong, antara lain mengenai pelaksanaannya material yang digunakan, waktu penyerahannya dan sebagainya. Gambar-gambarnya harus jelas, mudah dibaca dan dimengerti. Gambar denah bangunannya biasanya disederhanakan. Dinding-dindingnya digambar dengan garis tunggal agar tipis, saluran-saluran listriknya karena lebih penting maka digambar lebih tebal. Supaya gambarnya rapi harus dipilih tebal garis yang tepat. Menurut ayat 401B3, gambar-gambar yang diperlukan yaitu : Gambar situasi, untuk menyatakan letak bangunan dimana sintalasinya akan dipasang, serta rencana penyambungan dengan jaringan PLN. A) Gambar Instalasinya meliputi : - Rencana penempatan semua peralatan listrik yang akan dipasang dan sarana peralatan, misalnya titik lampu, sakelar, kontak-kontak, perlengkapan hubung bagi.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
23
- Rencana penyambungan peralatan listrik dengan alat pelayanannya misalnya antara lampu dengan sakelarnya, motor dan pengasutnya dan sebagainya. - Hubungan antara peralatan listrik dan sarana pelayanannya dengan perlengkapan hubung bagi yang bersangkutan. - Data teknis penting dari setiap peralatan listrik yang akan dipasang
perencanaan letak saklar,lampu dan stop kontak B) Diagram instalasi garis tunggal meliputi :
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
24
- Diagram perlengkapan hubung bagi dengan keterangan mengenai ukuran/daya nominal setiap komponen. - Keterangan mengenai beban yang terpasang dan pembaginya. - Ukuran dan jenis hantaran yang akan digunakan. - System pentanahannya.
diagram garis tunggal C) Gambar perincian atau keterangan yang diperlukan misalnya : - Perkiraan ukuran fisik perlengkapan hubung bagi. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
25
- Cara pemasangan alat-alat listriknya - Cara pemasangan kabelnya. - Cara kerja instalasi kontrolnya kalau ada.
Pengawasan dan tanggung jawab. Pengawasan pemasangan instalasi listrik dan tanggung jawab pelaksana dan pelaksanaan pekerjaan diatur dalam pasal 910 antara lain ditentukan sebagai berikut.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
26
1. Setiap pemasangan listrik harus mendapat ijin dari instansi yang berwenang, umumnya dari cabang PLN setempat. 2. Penaggung jawab pekerjaan instalasi harus seorang yang ahli berilmu pengetahuan dalam pekerjaan instalasi listrik danmemiliki ijin dari instansi yang berwenang. 3. Pekerjaan pemasangan instalasi listrik harus diawasi oleh seorang pengawas yang ahli dan berpengetahuan tentang listrik, menguasai pengaturan perlistrikan, berpengalaman dlaam pemasangan instalasi listrik dan bertanggung jawab atas keselamatan para pekerjanya. 4. Pekerjaan pemasangan instalasi listrik harus dilaksanakan oleh orang-orang yang berpengalaman tentang listrik. 5. Pemasangan instalasi listrik yang selesai dikerjakan harus dilaporkan secara tertulis kepada bagan pemeriksa (umumnya PLN setempat) untuk diperiksa dan diuji. 6. Setelah dinyatakan baik secara tertulis oleh bagan pemeriksa dan sebelum diserahkan kepada pemilik, instalasinya harus dicoba dengan tegangan dan arus kerja penuh selama waktu yang cukup lama, semua peralatan yang dipasang harus dicoba. 7. Perencana suatu instalasi listrik bertanggung jawab atas rencana yang telah dibuatnya. 8. Pelaksana pekerjaan instalasi listrik bertanggung jawab atas pekerjaannya selama batas waktu tertentu. Jika terjadi suatu kecelakaan karena kesalahan pemasangan ia bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut. Pemeriksaan dan pengujian instalasi listrik meliputi : 1. Tanda-tanda. 2. Peralatan listrik yang dipasang. 3. Cara pemasangannya. 4. Polaritasnya. 5. Pentanahannya.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
27
6. Tahanan isolasi. 7. Continuenitas rangkaian.
Alat-alat dan bahan yang umum dalam pembuatan instalasi listrik rumah tinggal. - Penghantar / kabel.
- Pipa PVC untuk pengkabelan yang di tanam di dalam tembok dengan ukuran standart.
- Kotak cabang(T-Dos / Cross-Dos).
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
28
- L-bo untuk tikungan pada pipa.
- Rol isolator bila digunakan. - Klem pipa.
- Sekrup ukuran yang sama dengan klem pipa.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
29
- Saklar (sakelar tunggal, sakelar ganda, sakelar seri, sakelar tukar/sakelar hotel dsb) apa yang diperlukan.
- Stop kontak.
- Lampu (tergantung lampu apa yang perlu digunakan).
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
30
- Kotak Hubung Bagi (digunakan jika instalasi lebih dari 12 titik). - Sekring / MCB.
- Obeng + dan obeng -.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
31
- Tang kombinasi, tang potong, tang cucut dsb.
- Palu.
Yang terpenting dalam pekerjaan instalatir adalah TESTPEN
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
32
2.3.2 Tujuan Instalasi Listrik Tujuan khusus K3 bidang listrik antara lain adalah: a. Menjamin kehandalan instalasi listrik sesuai penggunaannya Dalam peraturan instalasi listrik dikenal 3 prisip dasar instalasi listrik yaitu handal, aman, dan ekonomis. Handal artinya sistem instalasi dirancang dengan baik, sehingga jarang terdapat gangguan; atau saat ada gangguan dari luar, sistem dapat mengatasinya dengan baik. Aman artinya tidak membahayakan bagi manusia, instalasi itu sendiri, dan lingkungan sekitar. Dengan menerapkan keamanan dan keselamatan kerja tanpa mengabaikan nilai ekonomis suatu instalasi listrik, maka ketiga prinsip tadi akan terpenuhi. b. Mencegah timbulnya bahaya akibat listrik: · Bahaya sentuhan langsung yaitu bahaya sentuhan pada bagian konduktif yang secara normal bertegangan. · Bahaya sentuhan tidak langsung yaitu bahaya akibat sentuhan pada bagian konduktif yang secara normal tidak bertegangan, menjadi bertegangan karena kegagalan isolasi. · Bahaya kebakaran biasanya terjadi akibat adanya percikan api dari hubung singkat. Namun dalam beberapa kasus, kebakaran juga timbul akibat efek thermal dari sebuah penghantar dengan tingkat resistansi tinggi yang dialiri arus dalam waktu yang cukup lama.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
33
2.4 Peraturan Perundang-undangan Terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja(K3) 2.4.1 Peraturan Perundang-undangan Terkait K3 Secara Umum Berikut adalah beberapa Peraturan Perundang-undangan Terkait K3 Secara umum: UU No. 1 Tahun 1970 Tentang: Keselamatan Kerja Pasal 3. (1)
Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk : a.
mencegah dan mengurangi kecelakaan;
b.
mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran;
c.
mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
d.
memberi
kesempatan
atau
jalan
menyelamatkan
diri
pada waktu
kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya; e.
memberi pertolongan pada kecelakaan;
f.
memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;
g.
mencegah
dan
mengendalikan timbul
atau
menyebarluasnya suhu,
kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran; h.
mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physik maupun psychis, peracunan, infeksi dan penularan;
i.
memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;
j.
menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik;
k.
menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;
l.
memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;
m.
memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya;
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
34
n.
mengamankan
dan
memperlancar
pengangkutan
orang, binatang,
tanaman atau barang; o. p.
mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan; mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar-muat, perlakuan dan penyimpanan barang;
q. r.
mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya; menyesuaikan
dan
menyempurnakan
pengamanan
pada pekerjaan
yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi. (2)
Dengan
peraturan
perundangan
dapat
dirubah
perincian
seperti tersebut
dalam ayat (1) sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan teknologi serta pendapatan-pendapatan baru di kemudian hari.
Pasal 9. (3)
Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja yang
berada
di
bawah
pimpinannya,
dalam
pencegahankecelakaan dan
pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja, pula dalam pemberian pertolongan pertama pada kecelakaan.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
35
Permennakertrans No.Per.03/Men/1982 Tentang: Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja Pasal 2 Tugas pokok pelayanan Kesehatan Kerja meliputi: a. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemeriksaan berkala dan pemeriksaan khusus. b. Pembinaan dan pengawasan atas penyesuaian pekerjaan terhadap tenaga kerja. c. Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja. d. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan sanitair. e. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan untuk kesehatan tenaga kerja. f. Pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit umum dan penyakit akibat kerja. g. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan. h. Pendidikan Kesehatan untuk tenaga kerja dan latihan untuk petugas Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan. i. Memberikan nasehat mengenai perencanaan dan pembuatan tempat kerja, pemilihan alat pelindung diri yang diperlukan dan gizi serta penyelenggaraan makanan di tempat kerja. j. Membantu usaha rehabilitasi akibat kecelakaan atau penyakit akibat kerja. k.
Pembinaan dan pengawasan terhadap tenaga kerja yang mempunyai kelainan tertentu dalam kesehatannya.
l. Memberikan laporan berkala tentang Pelayanan Kesehatan Kerja kepada pengurus. Undang-undang No. 3 Tahun 1969 Pasal 19 : Setiap badan , lembaga atau dinas pemberi jasa, atau bagiannya yang tunduk kepada konvensi ini, dengan memperhatikan besarnya dan kemungkinan bahaya harus :
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
36
Menyediakan Apotik atau pos P3K sendiri atau Memelihara apotik atau pos P3K bersamasama dengan badan, lembaga atau kantor pemberi jasa atau bagiannya.Mempunyai satu atau lebih lemari, kotak atau perlengkapan P3K Permennakertrans No.Per.15/Men/1982 Tentang: Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan di Tempat Kerja Pasal 2 (1) Pengusaha wajib menyediakan petugas P3K dan fasilitas P3K di tempat kerja. (2) Pengurus wajib melaksanakan P3K di tempat kerja. Pasal 3 (1) Petugas P3K di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus memiliki lisensi dan buku kegiatan P3K dari Kepala Instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat. (2) Untuk mendapatkan lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut : a. Bekerja pada perusahaan yang bersangkutan; b. Sehat jasmani dan rohani; c. Bersedia ditunjuk menjadi petugas P3K; d. memiliki pengetahuan dan ketrampilan dasar di bidang P3K di tempat kerja yang dibuktikan dengan sertifikat pelatihan. (3) Pemberian lisensi dan buku kegiatan P3K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan biaya. (4) Pedoman tentang pelatihan dan pemberian lisensi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
37
Pasal 4 Petugas P3K dalam melaksanakan tugasnya dapat meninggalkan pekerjaan utamanya untuk memberikan pertolongan bagi pekerja/buruh dan/atau orang lain yang mengalami sakit atau cidera di tempat kerja. Pasal 5 (1) Petugas P3K di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ditentukan berdasarkan jumlah pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja, dengan rasio sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini. (2) Pengurus wajib mengatur tersedianya Petugas P3K pada : a. Tempat kerja dengan unit kerja berjarak 500 meter lebih sesuai jumlah pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja; b. Tempat kerja di setiap lantai yang berbeda di gedung bertingkat sesuai jumlah pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja; c. Tempat kerja dengan jadwal kerja shift sesuai jumlah pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja. Pasal 8 (1) Fasilitas P3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi : a. Ruang P3K; b. Kotak P3K dan isi; c. Alat evakuasi dan alat transportasi; dan d. Fasilitas tambahan berupa alat pelindung diri dan/atau peralatan khusus di tempat kerja yang memiliki potensi bahaya yang bersifat khusus.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
38
(2) Alat pelindung diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan peralatan yang disesuaikan dengan potensi bahaya yang ada di tempat kerja yang digunakan dalam keadaan darurat. (3) Peralatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa alat untuk pembasahan tubuh cepat (shower) dan pembilasan/pencucian mata.
Pasal 9 (1) Pengusaha wajib menyediakan ruang P3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dalam hal : a. Mempekerjakan pekerja/buruh 100 orang atau lebih; b. Mempekerjakan pekerja/buruh kurang dari 100 orang dengan potensi bahaya tinggi. (2) Persyaratan ruang P3K sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a. Lokasi ruang P3K : 1. Dekat dengan toilet/kamar mandi; 2. Dekat jalan keluar; 3. Mudah dijangkau dari area kerja; dan 4. Dekat dengan tempat parkir kendaraan. b. Mempunyai luas minimal cukup unruk menampung satu tempat tidur pasien dan masih terdapat ruang gerak bagi seorang petugas P3K serta penempatan fasilitas P3K lainnya; c. Bersih dan terang, ventilasi baik, memiliki pintu dan jalan yang cukup lebar untuk memindahkan korban; d. Diberi tanda dengan papan nama yang jelas dan mudah Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
39
dilihat; e. Sekurang-kurangnya dilengkapi dengan : 1. Wastafel dengan air mengalir; 2. Kertas tissue/lap; 3. Usungan/tandu; 4. Bidai/spalk; 5. Kotak P3K dan isi; 6. Tempat tidur dengan bantal dan selimut; 7. Tempat untuk menyimpan alat-alat, seperti : tandu dan/atau kursi roda; 8. Sabun dan sikat; 9. Pakaian bersih untuk penolong; 10. Tempat sampah; 11. Kursi tunggu bila diperlukan.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
40
2.4.2 Peraturan Perundang-undangan Terkait K3 Listrik Berikut adalah Peraturan perundang-undangan terkait K3 Listrik: - PERMENAKERTRANS No Kep 75/Men/2002 Tentang Pemberlakuan PUIL 2000 - PERMENAKER No. PER 02/MEN/1989 Tentang Instalasi Penyalur Petir
Dari dua peraturan di atas, penulis hanya akan membahas PERMENAKER No. PER 02/MEN/1989 Tentang Instalasi Penyalur Petir. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : a.Direktur ialah Pejabat sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja; b.Pegawai Pengawas ialah Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja; c. Ahti Keselamatan Kerja ialah Tenaga Tehnis berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya Undangundang No. l Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja; d.Pengurus ialah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab penuh terhadap tempat kerja atau bagiannya,yang berdiri sendiri; e.Pengusaha ialah orang atau badan hukum seperti yang dimaksud pasal 1 ayat (3) Undangundang No. I Tahun 1970; f. Tempat kerja ialah tempat sebagaimana dimaksud pasal 1 ayat (1) Undang undang No. 1 Tahun 1970;
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
41
g.Pemasang instalasi penyalur petir yang selanjutnya disebut Instalasi ialah badan hukum yang melaksanakan pemasangan instalasi penyalur petir; h.Instalasi penyalur petir ialah seluruh susunan sarana penyalur petir terdiri atas penerima (Air Terminal/Rod), Penghantar penurunan (Down Conductor), Elektroda Bumi (Earth Electrode) termasuk perlengkapan lainnya yang merupakan satu kesatuan berfungsi untuk menangkap muatan petir dan menyalurkannya kebumi; i.Penerima ialah peralatan dan atau penghantar dari logam yang menonjol lurus keatas dan atau mendatar guna menerima petir; j.Penghantar penurunan ialah penghantar yang menghubungkan penerima dengan elektroda bumi; k.Elektroda bumi ialah bagian dari instalasi penyalur petir yang ditanam dan kontak langsung dengan bumi; l.Elektroda kelompok ialah beberapa elektroda bumi yang dihubungkan satu dengan lain sehingga merupakan satu kesatuan yang hanya disambung dengan satu penghantar penurunan; m.Daerah perlindungan ialah daerah dengan radius tertentu yang termasuk dalam perlindungan instalasi penyalur petir; n.Sambungan ialah suatu kontruksi guna menghubungkan secara listrik antara penerima dengan penghantar penurunan, penghantar penurunan dengan penghantar penurunan dan penghantar penurunan dengan elektroda bumi, yang dapat berupa las, klem atan kopeling; o.Sambungan ukur ialah sambungan yang terdapat pada penghantar penurunan dengan sistem pembumian yang dapat dilepas untuk memudahkan pengukuran tahanan pembumian; p.Tahanan pembumian ialah tahanan bumi yang harus dilalui oleh arus listrik yang berasal dari petir pada waktu peralihan, dan yang mengalir dari elektroda bumi kebumi dan pada penyebarannya didalam bumi;
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
42
q.Massa logam ialah massa logam dalam maupun massa logam luar yang merupakaa satu kesatuan yang berada didalam atau pada bangunan, misalnya perancah-perancah baja, lift, tangki penimbun, mesin, gas dan pemanasan dari logam dan penghantar penghantar listrik. Pasal 2 (1) Instalasi penyalur petir harus direncanakan, dibuat, dipasang dan dipelihara sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dan atau standart yang diakui; (2) Instalasi penyalur petir secara umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut a.kemampuan perlindungan secara tehnis; b.ketahanan mekanis; c.ketahanan terhadap korosi; (3) Bahan dan konstruksi instalasi penyalur petir harus kuat dan memenuhi syarat, (4) Bagian-bagian instalasi penyalur petir harus memiliki tanda hasil pengujian dam atau sertifikat yang diakui.
Pasal 3 Sambungan-sambungan harus merupakan suatu sambungan elektris, tidak ada kemungkinan terbuka dan dapat menahan kekuatan tarik sama dengaa sepuluh kali berat penghantar yang menggantung pada sambungan itu. Pasal 4 (1) Penyambungan dilakukan dengan cara: a. dilas. b.diklem (plat k1em, bus kontak klem) dengan panjang sekurang-kurangnya 5 cm; c.disolder dengan panjang sekurang-kurangnya 10 cm dan khusus untuk peng-hantar penurunan dari pita harus dikeling.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
43
(2) Sambungan harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak berkarat; (3) Sambungan-sambungan harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat diperiksa dengan mudah. Pasal 5 Semua penghantar penurunan petir harus dilengkapi dengan sambungan pada tempat yang mudah dicapai. Pasal 6 (1) Pemasangan instalasi penyalur petir harus dilakukan oleh Instalatir yang telah mendapat pengesahan dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya; (2) Tata cara untuk mendapat pengesahan sebagaimana dimaksud ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 7 Dalam hal pengaruh elektrolisa dan korosi tidak dapat dicegah maka semua bagian instalasi harus dibalut dengan timah atau cara lain yang sama atau memperbaharui bagiau-bagiannya dalam waktu tertentu.
BAB II RUANG LINGKUP Pasal 8 Yang diatur oleh Peraturan Menteri ini adalah Instalasi Penyalur Petir non radioaktip di tempat kerja. Pasal 9 (1)Tempat kerja sebagaimana dimaksud pasal 8 yang perlu dipasang instalasi penyalur petir antara lain:
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
44
a. Bangunan yang terpencil atau tinggi dan lebih tinggi dari pada hangunan sekitarnya seperti: menara-menara, cerobong, silo, antena pemancar, monumen dan lain-lain; b.Bangunan dimana disimpan, diolah atau digunakan bahan yang mudah meledak atau terbakar seperti pabrik-pabrik amunisi, gudang penyimpanan bahan peledak dan lain-lain; c. Bangunan untuk kepentingan umum seperti: tempat ibadah, rumah sakit, sekolah, gedung pertunjukan, hotel, pasar, stasiun, candi dan lain-lain; d.Bangunan untuk menyimpan barang barang yang sukar diganti seperti: museum, perpustakaan, tempat penyimpanan arsip dan lain-lain; e. Daerah-daerah terbuka seperti: daerah perkebunan, Padang Golf, Stadion Olah Raga dan tempat-tempat lainnya. (2)Penetapan pemasangan instalasi pcnyalur petir pada tempat kerja sebagaimana dimaksud ayat (1) dengan memperhitungkan angka index seperti tercantum dalam lampiran 1 Peraturan Menteri ini. BAB III PENERIMA (AIR TERMINAL) Pasal 10 (1) Penerima harus dipasang ditempat atau bagian yang diperkirakan dapat tersambar petir dimana jika bangunan yang terdiri dari bagian-bagian seperti bangunan yang mempunyai menara, antena, papan reklame atau suatu blok bangunan harus dipandang sebagai suatu kesatuan; (2) Pemasangan penerima pada atap yang mendatar harus benar-benar menjamin bahwa seluruh luas atap yang bersangkutan termasuk dalam daerah perlindungan; (3) Penerima yang dipasang diatas atap yang datar sekurang-kurangnya lebih tinggi 15 cm dari pada sekitarnya;
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
45
(4) Jumlah dan jarak antara masing-masing penerima harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat menjamin bangunan itu termasuk dalam daerah perlindungan. Pasal 11 Sebagai penerima dapat digunakan: a.logam bulat panjang yang terbuat dari tembaga; b.hiasan-hiasan pada atap, tiang-tiang, cerobong-cerobong dari logam yang disambung baik dengan instalasi penyatur petir; c. atap-atap dari logam yang disambung secara elektris dengan baik. Pasal 12 Semua bagian bangunan yang terbuat dari bukan logam yang dipasang menjulang ke atas dengan tinggi lebih dari 1 (satu) meter dari atap harus dipasang penerima tersendiri. Pasal 13 Pilar beton bertulang yang dirancangkan sebagai penghantar penurunann untuk suatu instalasi penyalur petir, pilar beton tersebut harus dipasang menonjol di atas atap dengan mengingat ketentuan-ketentuan penerima, syarat-syarat sambungan dan elektroda bumi. Pasal 14 (1) Untuk menentukan daerah perlindungan bagi penerima dengan jenis Franklin dan sangkar Faraday yang berhentuk runcing adalah suatu kerucut yang mempunyai sudut puncak 112° (seratus dua belas); (3) Untuk menentukan daerah perlindungan bagi penerima yang berbentuk penghantar mendatar adalah dua bidang yang saling memotong pada kawat itu dalam sudut 112° (seratus dua belas); (3) Untuk menentukan daerah perlindungan bagi penerima jenis lain adalah sesuai dengan ketentuan tehnis dari masing-masing penerima;
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
46
BAB IV PENGHANTAR PENURUNAN Pasal 15 (1) Penghantar penurunan harus dipasang sepanjang bubungan (nok) dan atau sudut-sudut bangunan ke tanah sehingga penghantar penurunan merupakan suatu sangkar dari bangunan yang akan dilindungi. (2) Penghantar penurunan harus dipasang secara sempuma dan harus diperhitungkan pemuaian dan penyusutannya akibat perubahan suhu; (3)Jarak antara alat-alat pemegang penghantar penurunan satu dengan yang lainnya tidak boleh lebih dari 1,5 meter; (4) Penghantar penurunan harus dipasang lurus kebawah dan jika terpaksa dapat mendatar atau melampaui penghalang; (5) Penghantar penurunan harus dipasang dengan jarak tidak kurang 15 cm dari atap yang dapat terbakar kecuali atap dari logam, genteng atau batu; (6) Dilarang memasang penghantar penurunan di bawah atap dalam bangunan.
Pasal 16 Semua bubungan (nok) harus dilengkapi dengan penghantar penurunan, dan untuk atap yang datar harus dilengkapi dengan penghantar penurunan pada sekeliling pinggirnya, kecuali persyaratan daerah perlindungan terpenuhi. Pasal 17
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
47
(1) Untuk mengamankan bangunan terhadap loncatan petir dari pohon yang letaknya dekat bangunan dan yang diperkirakan dapat tersambar petir, bagian bangunan yang terdekat dengan pohon tesebut harus dipasang penghantar penurunan; (2) Penghantar penurunan harus selalu dipasang pada bagian-bagian yang menonjol yang diperkirakan dapat tersambar petir; (3) Penghantar penurunan harus dipasang sedemikian rupa, sehingga pemeriksaan dapat dilakukan dengan mudah dan tidak mudah rusak. Pasal 18 (1) Penghantar penurunan harus dilindungi terhadap kerusakan-kerusakan mekanik, pengaruh cuaca, kimia (elektrolisa) dan sebagainya. (2) Jika untuk melindungi penghantar penurunan itu dipergunakan pipa logam, pipa tersebut pada kedua ujungnya harus disambungkan secara sempurna baik elektris maupun mekanis kepada penghantar untuk mengurangi tahanan induksi. Pasal 19 (1) Instalasi penyalur petir dari suatu bangunan paling sedikit harus mempunyai 2 (dua) buah penghantar penurunan; (2) Instalasi penyalur petir yang mempunyai lebih dari satu penerima, dari penerima tersebut harus ada paling sedikit 2 (dua) buah penghantar penurunan; (3) Jarak antara kaki penerima dan titik pencabangan penghantar penurunan paling besar 5 (lima) meter. Pasal 20 Bahan penghantar penurunan yang dipasang khusus harus digunakan kawat tembaga atau bahan yang sederajat dengan ketentuan : a.penampang sekurang-kurangnya 50 mm’.; b.setiap bentuk penampang dapat dipakai dengan tebal serendah-rendahnya 2 mm.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
48
Pasal 21 (1) Sebagai penghantar penurunan petir dapat digunakan bagian-bagian dari atap, pilar-pilar, dinding-dinding, atau tulang-tulang baja yang mempunyai massa logam yang baik; (2) Khusus tulang-tulang baja dari kolom beton harus memenuhi syarat, kecuali; a. Sudah direncanakan sebagai penghantar penurunan dengan memperhatikan syarat-syarat sambungan yang baik dan syarat-syarat lainnya; b.Ujung-ujung tulang baja mencapai garis permukaan air dibawah tanah sepanjang waktu. (3) Kolom beton yang bertulang baja yang dipakai sebagai penghantar penurunan harus digunakan kolom beton bagian luar. Pasal 22 Penghantar penurunan dapat digunakan pipa penyalur air hujan dari logam yang dipasang tegak dengan jumlah paling banyak separuh dari jumlah penghantar penurunan yang diisyaratkan dengan sekurang-kurangnya dua buah merupakan penghantar penurunan khusus. Pasal 23 (1)Jarak minimum antara penghantar penurunan yang satu dengan yang lain diukur sebagai berikut; a.pada bangunan yang tingginya kurang dari 25 meter maximum 20 meter; b.pada bangunan yang tingginya antara 25 – 50 meter maka jaraknya {30 – (0,4 x tinggi bangunan) } c.pada bangunan yang tingginya lebih dari 50 meter maximum 10 meter. (2) Pengukuran jarak dimaksud ayat (I) dilakukan dengan menyusuri keliling bangunan. Pasal 24 Untuk bangunan-bangunan yang terdiri dari bagian-bagian yang tidak sama tingginya, tiaptiap bagian harus ditinjau secara tersendiri sesuai pasa1 23 kecuali bagian banguna yang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
49
tingginya kurang dari seperempat tinggi bangunan yang tertinggi, tingginya kurang dari 5 meter dan mempunyai luas dasar kurang dari 50 meter persegi. Pasal 25 (1) Pada bangunan yang tingginya kurang dari 25 meter dan mempunyai bagian-bagian yang menonjol kesamping harus dipasang beberapa penghantar penurunan dan tidak menurut ketentuan pasal 23; (2) Pada bangunan yang tingginya lebih dari 25 meter, semua bagian-bagian yang menonjol ke atas harus dilengkapi dengan penghantar penurunan kecuali untuk menara-menara. Pasal 26 Ruang antara bangunan-bangunan yang menonjol kesamping yang merupakan ruangan yang sempit tidak perlu dipasang penghantar penurunan jika penghantar penurunan yang dipasang pada pinggir atap tidak terputus.
Pasal 27 (1)Untuk pemasangan instalasi penyalur petir jenis Franklin dan sangkar Faraday, jenis-jenis bahan untuk penghantar dan pembumian dipilih sesuai dengan daftar pada lampiran II Peraturan Menteri ini; (2)Untuk pemasangan instalasi penyalur petir jenis Elektrostatic dan atau jenis lainnya, jenisjenis bahan untuk penghantar dan pembumian dapat menggunakan bahan sesuai dengan daftar pada lampiran II Peraturan Menteri ini dan atau jenis lainnya sesuai dengan standard yang diakui; (3)Penentuan bahan dan ukurannya dari ayat (l) dan ayat (2) pasal ini, ditentukan berdasarkan beberapa faktor yaitu ketahanan mekanis, ketahanan terhadap pengaruh kimia terutama korosi dan ketahanan terhadap pengaruh lingkungan lain dalam batas standard yang diakui;
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
50
(4) Semua penghantar dan pengebumian yang digunakan harus dibuat dari bahan yang memenuhi syarat, sesuai dengan standard yang diakui. BAB V PEMBUMIAN Pasal 28 (1) Elektroda bumi harus dibuat dan dipasang sedemikian rupa sehingga tahanan pembumian sekecil mungkin; (2) Sebagai elektroda bumi dapat digunakan: a.tulang-tulang baja dari lantai-lantai kamar dibawah bumi dan tiang pancang yang sesuai dengan keperluan pembumian; b.pipa-pipa logam yang dipasang dalam bumi secara tegak; c. pipa-pipa atau penghantar lingkar yang dipasang dalam bumi secara mendatar, d.pelat logam yang ditanam; e.bahan logam lainnya dan atau bahan-bahan yang cara pemakaian menurut ketentuan pabrik pembuatnya. (3) Elektroda bumi tersebut dalam ayat (2) harus dipasang sampai mencapai air dalam bumi. Pasal 29 (1) Elektroda bumi dapat dibuat dari: a.Pipa baja yang disepuh dengan Zn (Zincum) dan garis tengah sekurang-kurangnya 25 mm dan tebal sekurang-kurangnya 3,25 mm; b.Batang baja yang disepuh dengan Zn dan garis tengah sekurang-kurangnya 19 mm; c.Pita baja yang disepuh dengan Zn yang tebalnya sekurang-kurangnya 3 mm dan lebar sekurang-kurangnya 25 mm; (2) Untuk daerah-daerah yang sifat korosipnya lebih besar, elektroda bumi harus dibuat dari:
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
51
a.Pipa baja yang disepuh dengan Zn dan garis tengah dalam sekurang-kurangnya 50 mm dan tebal sekurang-kurangnya 3,5 mm; b.Pipa dari tembaga atau bahan yang sederajat atau pipa yang disepuh dengan tembaga atau bahan yang sederajat dengan garis tengah daIam sekurang-kurangnya 16 mm dan tebal sekurang-kurangnya 3 mm; c.Batang baja yang disepuh dengan Zn dengan garis tengah sekurang-kurangnya 25 mm; d.Batang tembaga atau bahan yang sederajat atau batang baja yang disalur dengan tembaga atau yang sederajat dengan garis tengah sekurang-kurangnya 16 mm; e.Pita baja yang disepuh dengan Zn dan tebal sekurang-kurangnya 4 mm dan lebar sekurangkurangnya 25 mm. Pasal 30 (1)Masing-masing penghantar penurunan dari suatu instalasi penyalur petir yang mempunyai beberapa penghantar penurunan harus disambungkan dengan elektroda kelompok; (2) Panjang suatu elektroda bumi yang dipasang tegak dalam bumi tidak boleh kurang dari 4 meter, kecuali jika sebahagian dari elektroda bumi itu sekurang-kurangnya 2 meter dibawah batas minimum permukaan air dalam bumi; (3)Tulang-tulang besi dari lantai beton dan gudang dibawah bumi dan tiang pancang dapat digunakan sebagai elektroda bumi yang memenuhi syarat apabila sebahagian dari tulangtulang besi ini berada sekurang-kurangnya l (satu) meter dibawah permukaan air dalam bumi; (4)Elektroda bumi mendatar atau penghantar lingkar harus ditanam sekurang-kurangnya 50 cm didalam tanah. Pasal 31 Elektroda bumi dan elektroda kelompok harus dapat diukur tahanan pembumiannya secara tersendiri maupun kelompok dan pengukuran dilakukan pada musim kemarau. Pasal 32
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
52
Jika keadaan alam sedemikian rupa sehingga tahanan pembumian tidak dapat tercapai secara tehnis, dapat dilakukan cara sebagai berikut: a.masing-masing penghantar penurunan harus disambung dengan penghantar lingkar yang ditanam lengkap dengan beberapa elektroda tegak atau mendatar sehingga jumlah tahanan pembumian bersama memenuhi syarat; b.membuat suatu bahan lain (bahan kimia dan sebagainya) yang ditanam bersama dengan elektroda sehingga tahanan pembumian memenuhi syarat. Pasal 33 Elektroda bumi yang digunakan untuk pembumian instalasi listrik tidak boleh digunakan untuk pembumian instalasi penyalur petir. Pasal 34 (1) Elektroda bumi mendatar atau penghantar lingkar dapat dibuat dari pita baja yang disepuh Zn dengan tebal sekurang-kurangnya 3 mm dan lebar sekurang-kurangnya 25 mm atau dari bahan yang sederajat; (2) Untuk daerah yang sifat korosipnya lehih besar, elektroda burni mendatar atau penghantar lingkar harus dibuat dari: a.Pita baja yang disepuh Zn dengan ukuran lebar sekurang-kurangnya 25 mm dan tebal sekurang-kurangnya 4 mm atau dari bahan yang sederajat; b. Tembaga atau bahan yang sederajat, bahan yang disepuh dengan tembaga atau bahan yang sederajat, dengan luas penampang sekurang-kurangnya 50 mm dan bila bahan itu berbentuk pita harus mempunyai tebal sekurang-kurangnya 2 mm; c.Elektroda pelat yang terbuat dari tembaga atau hahan yang sederajat dengan luas satu sisi permukaan sekurang-kurangnya 0,5 m dan tebal sekurang-kurangnya 1 mm. jika berbentuk silinder maka luas dinding silinder tersebut harus sekurang-kurangnya 1 m2.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
53
BAB VI MENARA Pasal 35 (1) Instalasi Penyalur Petir pada bangunan yang menyerupai menara seperti menara air, silo, masjid, gereja, dan lain-lain harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a.Bahaya meloncatnya petir; b.Hantaran listrik; c.Penempatan penghantar; d.Daya tahan terhadap gaya mekanik; e.Sambungan-sambungan antara massa logam dari suatu bangunan. (2) Instalasi penyalur petir dari menara tidak boleh dianggap dapat melindungi bangunan bangunan yang berada disekitarnya. Pasal 36 (l) Jumlah dan penempatan dari penghantar penurunan pada bagian luar dari menara harus diselenggarakan menurut pasal 23 ayat (1); (2) Didalam menara dapat pula dipasang suatu penghantar penurunan untuk memudahkan penyambungan-penyambungan dari bagian-bagian logam menara itu.
Pasal 37
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
54
Menara yang seluruhnya terbuat dari logam dan dipasang pada pondasi yang tidak dapat menghantar, harus dibumikan sekurang-kurangnya pada dua tempat dan pada jarak yang sama diukur menyusuri keliling menara tersebut. Pasal 38 Sambungan-sambungan pada instalasi penyalur petir untuk menara harus betul-betul diperhatikan terhadap sifat korosip dan elektrolisa dan harus secara dilas karena kesukaran pemeriksaan dan pemeliharaannya. BAB VII BANGUNAN YANG MEMPUNYAI ANTENA Pasal 39 (1)Antena harus dihubungkan dengan instalasi penyalur petir dengan menggunakan penyalur tegangan lebih, kecuali jika antena tersebut berada dalam daerah yang dilindungi dan penempatan antena itu tidak akan menimbulkan loncatan bunga api; (2)Jika antena sudah dibumikan secara tersendiri, maka tidak perlu dipasang penyalur tegangan lebih; (3)Jika antena dipasang pada bangunan yang tidak mempunyai instalasi penyalur petir, antena harus dihubungkan kebumi melalui penyalur tegangan lebih. Pasa1 40 (1) Pemasangan penghantar antara antena dan instalasi penyalur petir atau dengan bumi harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga bunga api yang timbul karena aliran besar tidak dapat menimbulkan kerusakan; (2) Besar penampang dari penghantar antara antena dengan penyalur tegangan lebih, penghantar antara tegangan lebih dengan instalasi penyalur petir atau dengan elektroda bumi harus sekurang-kurangnya 2,5 mm”;
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
55
(3) Pemasangan penghantar antara antena dengan instalasi penyalur petir atau dengan elektroda bumi harus dipasang selurus mungkin dan penghantar tersebut dianggap sebagai penghantar penurunan petir. Pasa1 41 (1) Pada bangunan yang mempunyai instalasi penyalur petir, pemasangan penyalur tegangan lebih antara antena dengan instalasi penyalur petir harus pada tempat yang tertinggi; (2) Jika suatu antena dipasang pada tiang logam, tiang tersebut harus dihubungkan dengan instalasi penyalur petir; Pasa1 42 (1) Pada bangunan yang tidak mempunyai instalasi penyalur petir, pemasangan penyalur tegangan lebih antara antena dengan elektroda bumi harus dipasang diluar bangunan; (2) Jika antena dipasang secara tersekat pada suatu tiang besi, tiang besi ini harus dihubungkan dengan bumi.
BAB VIII CEROBONG YANG LEBIH TINGGI DARI 10 M Pasal 43 (1) Pemasangan instalasi penyalur petir pada cerobong asap pabrik dan lain-lain yang mempunyai ketinggian lebih dari 10 meter harus diperhatikan keadaan seperti dibawah ini : a.Timbulnya karat akibat adanya gas atau asap terutama untuk bagian atas dari instalasi; b.Banyaknya penghantar penurunan petir; c.Kekuatan gaya mekanik. (2) Akibat kesukaran yang timbul pada pemeriksaan dan pemeliharaan, pelaksanaan pemasangan dari instalasi penyalur petir pada cerobong asap pabrik dan lain-lainnya harus diperhitungkan juga terhadap korosi dan elektrolisa yang mungkin terjadi.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
56
Pasa1 44 Instaiasi penyalur petir yang terpasang dicerobong tidak boleh dianggap dapat bangunan yang berada disekitarnya. Pasa1 45 (1)Penerima petir harus dipasang menjulang sekurang-kurangnya 50 cm diatas pinggir cerobong; (2) Alat penangkap bunga api dan cincin penutup pinggir bagian puncak cerobong dapat digunakan sebagai penerima petir; (3)Penerima harus disambung satu dengan lainnya dengan penghantar lingkar yang dipasang pada pinggir atas dari cerobong atau sekeliling pinggir bagian luar, dengan jarak tidak lebih dari 50 cm dibawah puncak cerobong; (4) Jarak antara penerima satu dengan lainnya diukur sepanjang keliling cerobong paling besar 5 meter. Penerima itu harus dipasang dengan jarak sama satu dengan lainnya pada sekelilingnya; (5)Batang besi, pipa besi dan cincin besi yang digunakan sebagai penerima harus dilapisi dengan timah atau bahan yang sederajat untuk mencegah korosi. Pasal 46 (1) Pada tempat-tempat yang terkena bahaya termakan asap, uap atau gas sedapat mungkin dihindarkan adanya sambungan; (2) Sambungan-sambungan yang terpaksa dilakukan pada tempat-tempat ini, harus dilindungi secara baik terhadap bahaya korosi; (3)Sambungan antara penerima yang dipasang secara khusus dan penghantar penurunan harus dilakukan sekurang-kurangnya 2 meter dibawah pinggir puncak dari cerobong.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
57
Pasal 47 (1)Instalasi penyalur petir dari cerobong sekurang-kurangnya harus mempunyai 2 (dua) penghantar penurunan petir yang dipasang dengan jarak yang sama satu dengan yang lain; (2)Tiap-tiap penghantar penurunan harus disambungkan langsung dengan penerima.
Pasal 48 (1)Cerobong dari logam yang berdiri tersendiri dan ditempatkan pada suatu pondasi yang tidak dapat menghantar harus dihubungkan dengan tanah; (2)Sabuk penguat dari cerobong yang terbuat dari logam harus di sambung secara kuat dengan penghantar penurunan. Pasal 49 (1)Kawat penopang atau penarik untuk cerobong harus ditanamkan ditempat pengikat pada alat penahan ditanah dengan menggunakan elektroda bumi sepanjang 2meter; (2)Kawat penopang atau penarik yang dipasang pada bangunan yang dilindungi harus disambungkan dengan instalasi penyalur petir bangunan itu. BAB IX PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN Pasal 50 (I)Setiap instalasi penyalur petir dan bagian-bagiannya harus dipelihara agar selalu bekerja dengan tepat, aman dan memenuhi syarat; (2)Instalasi penyalur petir harus diperiksa dan diuji: a.Sebelum penyerahan instalasi penyalur petir dari instalatir kepada pemakai; b.Setelah ada perubahan atau perbaikan suatu bangunan dan atau instalasi penyalur petir; c.Secara berkala setiap dua tahun sekali;
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
58
d.Setelah ada kerusakan akibat sambaran petir;
Pasal 51 (1)Pemeriksaan dan pengujian instalasi penyalur petir dilakukan oleh pegawai pengawas, ahli keselamatan kerja dan atau jasa inspeksi yang ditunjuk; (2)Pengurus atau pemilik instalasi penyalur petir berkewajiban membantu pelaksanaan pemeriksaan dan pengujian yang dilakukan oleh pegawai pengawas, ahli keselamatan kerja dan atau jasa inspeksi yang ditunjuk termasuk penyedian alat-alat bantu. Pasa1 52 Dalam pemeriksaan berkala harus diperhatikan tentang hal-hal sebagai berikut: a.elektroda bumi, terutama pada jenis tanah yang dapat menimbulkan karat; b.kerusakan-kerusakan dan karat dari penerima, penghantar dan sebagainya; c. sambungan-sarnbungan; d.tahanan pembumian dari masing-masing elektroda maupun elektroda kelompok. Pasa1 53 (1) Setiap diadakan pemeriksaan dan pengukuran tahanan pembumian harus dicatat dalam buku khusus tentang hari dan tanggal hasil pemeriksaan; (2) Kerusakan-kerusakan yang didapati harus segara diperbaiki. Pasa1 54 (1) Tahanan pembumian dari seluruh sistem pembumian tidak boleh lebih dari 5 ohm (2) Pengukuran tahanan pembumian dari elektroda bumi harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kesalahan-kesalahan yang timbul disebabkan kesalahan polarisasi bisa dihindarkan; Pemeriksaan pada bagian-bagian dari instalasi yang tidak dapat dilihat atau diperiksa, dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran secara listrik.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
59
BAB X PENGESAHAN Pasal 55 (1) Setiap perencanaan instalasi penyalur petir harus dilengkapi dengan gambar rencana instalasi; (2) Gambar rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menunjukan: gambar bagian tampak atas dan tampak samping yang mencakup gambar detail dari bagian-bagaian instalasi beserta keterangan terinci termasuk jenis air terminal, jenis dari atap bangunan, bagianbagian lain peralatan yang ada diatas atap dan bagian-bagian logam pada atau diatas atap. Pasal 56 (1) Gambar rencana instalasi sebagaimana dimaksud pada pasal 55 harus mendapa pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuknya; (2) Tata cara untuk mendapat pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 57 (1) Setiap instalasi penyalur petir harus mendapat sertifikat dari Menteri atau pejabat yang ditunjuknya; (2) Setiap penerima khusus seperti elektrostatic dan lainnya harus mendapat sertifikat dari Menteri atau pejabat yang ditunjuknya; (3) Tata cara untuk mendapat sertifikat sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 58 Dalam hal terdapat perubahan instalasi penyalur petir, maka pengurus atau pemilik harus mengajukan permohonan perubahan instalasi kepada Menteri cq. Kepala Kantor Wilayah yang ditunjuknya dengan melampiri gambar rencana perubahan.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
60
Pasal 59 Pengurus atau pemilik wajib mentaati dan melaksanakan semua ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasa1 60 pengurus atau pemilik yang melanggar ketentuan pasal 2, pasal 6 ayat (1), pasal 55 ayat (1), pasal 56 ayat (1), pasal 57 ayat (1) dan (2), pasal 58 dan pasat 59 diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,-(seratus ribu rupiah) sebagaimana dimaksud pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. BAB XII ATURAN PERALIHAN Pasal 61 Instalasi penyalur petir yang sudah digunakan sebelum Peraturan Menteri ini ditetapkan, Pengurus atau Pemilik wajib menyesuaikan dengan Peraturan ini dalam waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 62 Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
61
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut: a. Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara fisik, sosial, dan psikologis. b. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya selektif mungkin. c. Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya. d. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai. e. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja. f. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi kerja. g. Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja
kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja daan pulang kerumah melalui jalan biasa atau wajar dilalui.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
62
3.2 Saran Penerapan K3 akan berjalan dengan baik apabila pemilik usaha dan pekerja menerapkan dasar-dasar K3 dan prinsip-prinsip K3, namun dalam kenyataannya seringkali kita temui pemilik usaha dan pekerja yang tidak menerapkan dasar-dasar K3 dan prinsip-prisip K3. Oleh karena itu diperlukan peran pemerintah untuk menindak tegas perihal tersebut.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
63