BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya. Dalam perkembangan kehidupan nasional yang di integrasikan oleh berlakunya hukum perundang-undangan nasional yang tunggal, bagaimanapun peran hukum rakyat yang di indonesia diistilahi hukum adat tidak bisa diabaikan. Hukum adat adalah hukum yang berbasis keyakinan moral cultural dan secara sosial dikatakan signifikan. Ada banyak istilah yang dipakai untuk menamai hukum lokal: hukum tradisional, hukum adat, hukum asli, hukum rakyat, dan khusus di Indonesia dinamakan hukum adat1. Bagaimana tempat dan bagaimana perkembangannya perkembangannya hukum adat dalam masyarakat masyarakat tergantung kesadaran, paradigma paradigma hukum, politik hukum dan pemahaman para pengembannya- politisi, hakim, pengacara, pengacara, birokrat dan masyarakat masyarakat itu sendiri. Hukum ada dan berlakunya berlakunya tergantung kepada dan berada dalam masyarakat. Adat merupakan suatu peraturan, kebiasaankebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat pendukungnya. Di Indonesia aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia tersebut menjadi aturanaturan hukum yang mengikat yang disebut hukum adat. Adat telah melembaga dalam kehidupan masyarakat, baik berupa tradisi, adat upacara dan lain-lain yang mampu mengendalikan perilaku warga masyarakat dengan perasaan senang atau bangga, dan peranan tokoh adat yang menjadi menjadi tokoh masyarakat masyarakat menjadi menjadi cukup penting. penting.
Fakta sejarah telah mencatat, bahwa bangsa Indonesia memiliki khasanah kebudayaan, berupa sistem sosial dan hukum hukum tetang peradilan, hakim dan keadilan. Sekedar sebagai contoh, sejarah kerajaan Mataram sejak abad 17, telah memiliki lembaga peradilan kerajaan yang disebut Peradilan Stinggil Stinggil atau Serambi. Senentara perkara hukum di pedesaan diselesaikan di Peradilan Padu yang dipimpin oleh kepala adat. Peradilan tingkat desa tersebut bertahan 1
Hadikusuma, H. Hilman, Peradilan Adat di Indonesia, CV. Miswas, Jakarta,1989 hlm.43
1
hidup hingga sekarang, dengan mana yang beragam, seperti Pengadilan Adat atau Lembaga Perdamaian Desa. Hingga sekarang lembaga seperti ini tetap hidup dengan fungsi dan kewenangannya, membenahi rusaknya pergaulan sosial, akibat pelanggaran hukum adat yang terjadi di masyarakat dengan menerapkan dan menegakan hukum dan keadilan. Hukum Adat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan menderita, karena sanksi keras yang kadang-kadang sacara tidak langsung dikenakan. Misalnya pada masyarakat yang melarang terjadinya perceraian, maka tidak hanya yang bersangkuatan yang mendapatkan sanksi atau menjadi tercemar, tetapi seluruh keluarga atau bahkan masyarakatnya. Indonesia adalah negara hukum (rechstaat), sudah barang tentu bukan negara undang-undang. Dalam hal ini negara pun seharnya menjamin tegaknya keadilan dengan menerapkan dan menegakan hukum yang ada, termasuk di dalamnya hukum adat2. Hukum diharapkan berfungsi sebagai pengayom kepentingan manusia, agar kepentingan manusia terlindungi hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, tetapi dapat juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan. Penegakan hukum ini seharusnya terkait dengan berbagai asas, seperti kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan ( gerechtigkeit)3. Menurujuk pada kenyataan, bahwa di luar peradilan negara juga terdapat peradilan non formal, yang terpasang dan bekerja, berdasarkan aturan-aturan tingkah laku dalam menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum adat yang hidup dalam masyarakat. Keadilan menjadi landasan utama yang harus diwujudkan melalui hukum yang ada. Aristoteles menegaskan bahwa keadilan sebagai inti dari filsafat hukumnya, baginya keadilan dipahami dalam pengertian kesamaan, antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik 2
Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: Negara Indonesia adalah negara hukum, jadi bukan negara undang- undang . 3 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993. Hal. 1
2
mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dia juga membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana.
B. Rumusam Masalah
Berdasarkan permasalahan yanang telah dikemukakan di atas, maka pembahasan makalah ini adalah menyangkut permasalahan : Bagaimana hubungan dan keterkaitan antara hukum adat dengan keadilan di masyarakat?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan makalah ini adalah untuk mengetahui
bagaimana
hubungan
antara
hukum
adat
dan
keadilan
dimasyarakat.
3
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Hukum Adat
Adat merupakan suatu peraturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat pendukungnya. Di Indonesia aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia tersebut menjadi aturan-aturan hukum yang mengikat yang disebut hukum adat. Adat telah melembaga dalam kehidupan masyarakat, baik berupa tradisi, adat upacara dan lain-lain yang mampu mengendalikan perilaku warga masyarakat dengan perasaan senang atau bangga, dan peranan tokoh adat yang menjadi tokoh masyarakat menjadi cukup penting untuk melaksanakan apa yang yang telah menjadi suatu kebiasaaan dalam masyarakat dalam rangka rangka menciptakan ketertiban. Adat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan menderita, karena sanksi keras yang kadang-kadang sacara tidak langsung dikenakan. Misalnya pada masyarakat yang melarang terjadinya perceraian, maka tidak hanya yang bersangkuatan yang mendapatkan sanksi atau menjadi tercemar, tetapi seluruh keluarga atau bahkan masyarakatnya. Terhadap kebiasan-kebiasan tersebut masyarakat mulai mengenalnya dengan sebutan hukum masyarakat/hukum adat. Hukum adat merupakan istilah tehnis ilmiah, yang menunjukkan aturan-aturan kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak berbentuk peraturan-perundangan yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan. Hukum adat dieksplorasi secara ilmiah pertama kali dilakukan oleh William Marsden (1783), orang Irlandia yang melakukan penelitian di Bengkulu, semasa dikuasai Inggris, kemudian diikuti oleh Muntinghe, Raffles. Namun kajian secara sistimatis dilakukan oleh Snouck Hourgronye, yang pertama kali menggunakan istilah adatrecht (hukum
4
adat), dan iasebagai peletak teori Receptie4. Beberapa definisi hukum adat yang dikemukakan para ahli hukum, antara lain sebagai berikut: 1.
Prof.Van Vallenhoven, yang pertama kali menyebut hukum adat memberikan definisi hukum adat sebagai : “ Himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada satu pihak yang mempunyai sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat ).
2.
Prof. Soepomo, merumuskan Hukum Adat: Hukum adat adalah synomim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative ( statuary law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa5. Selanjutnya dalam memahami perkembangan hukum adat dalam
masyarakat, maka Prof. Van Vallenhoven merumuskan: Jikalau dari atas (penguasa) telah diputuskan untuk mempertahankan Hukum Adat padahal hukum itu sudah mati, maka penetapan itu akan sia-sia belaka. Sebaliknya seandainya telah diputuskan dari atas bahwa Hukum Adat harus diganti, padahal di desa-desa, di ladang-ladang dan di pasar-pasar hukum itu masih kokoh dan kuat, maka hakim-pun akan sia-sia belaka. Dengan kata lain memahami hukum adat harus dilakukan secara dinamik, dan selaras antara atasan yang memutuskan dan bawah yang menggunakan-agar dapat diketahui dan dipahami perkembangannya. Menurut Soepomo, Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat . Dalam berbagai seminar, maka berkembang kemudian hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yang lazim dipergunakan untuk, menunjukkan berbagai macam hukum yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di dalam masyarakat6. Dari uraian diatas maka dapat diambil
4
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di Indonesia, INIS, Jakarta, 1998, 38
5
Majalah Hukum NAsional Departemen Hukum dan HAk Asasi Manusia R.I Vol. IV BPHN Jakarta, 2005,hlm 19 6
Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat , Pradnya Paramita, Jakarta, 1993.
5
pengertian bahwa Hukum Adat sebagai Aspek Kebudayaan adalah Hukum Adat yang dilihat dari sudut pandang nilai, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur sosial religious yang didapat seseorang dengan eksistensinya sebagai anggota masyarakat. Lebih jauh dalam pembahasan tentang Hukum Adat, maka di pahami bahwa suatu adat dikatakan sebagai hukum adat atau singkatnya yang merupakan karakteristik hukum adat adalah hukum yang umumnya tidak ditulis, peraturan-peraturan yang ada kebanyakan merupakan petuah yang memuat asas perikehidupan dalam bermasyarakat serta kepatuhan seseorang terhadap hukum adat akan lebih didasarkan pada rasa harga diri setiap anggota masyarakat. Maka jelas dikatakan bahwa memang hukum adat adalah sebagai aspek kehidupan dan budaya bangsa Indonesia karena struktur kejiwaan dan cara berfikir bangsa Indonesia tercermin lewat hukum adat itu sendiri. B. Karakteristik Hukum Adat
Hukum adat adalah sistem hukum yang sama sekali berbeda dengan Civil Law System atau sistem hukum positif yang berlaku. Hukum adat adalah bersifat hukum non statutair atau hukum tidak tertulis, karena mewujud pada kebiasaan hidup sehari-hari dalam masyarakat. Adanya corak ini disebabkan oleh adanya keyakinan dalam masyarakat kita bahwa apa yang tertulis sebagai suatu bentuk rumusan dapat mudah menimbulkan salah sangka karena masyarakat kita telah lama sadar bahwa apa saja yang dinyatakan dalam kata selalu akan menunjukkan kepada hal-hal yang tidak sepenuhnya tepat mengenai apa yang sebenarnya dikandung dalam intinya.
Dengan adanya
corak hukum adat yang non statutair ini, maka dengan sendirinya dapat tergambar bahwa hukum adat tidak mengenal prinsip legisme maupun filsafat positivisme sebagaimana yang terkandung dalam Civil Law System. Dengan adanya corak non statutair yang merupakan a contrario dari prinsip legisme ini, maka hukum adat justru terbebas dari keterbatasan dan statisme yang menjadi konsekuensi bentuk hukum tertulis, dengan demikian hukum adat dengan sendirinya selalu memiliki sifat dinamis karena hukum adat adalah living law atau hukum yang hidup sehingga ia akan tumbuh dan berkembang
6
seiring dinamisme budaya masyarakat tersebut. Hukum adat justru menghindari sifat kepastian secara sempit sebagaimana yang diutamakan oleh positivisme hukum dalam kultur Civil Law System, karena segala hal menurut hukum adat tidak dapat disama ratakan melainkan harus dikaji dan dipertimbangkan konteksnya menurut tempat, waktu, dan keadaannya.
Dengan adanya fleksibilitas ini, maka kesulitan
untuk selalu dapat terpenuhinya tuntutan keadilan akibat adanya kecenderungan pertentangan antara tujuan keadilan dan kepastian (yang mana di dalam kultur Civil Law System dengan positivisme hukumnya cenderung lebih diutamakan tujuan kepastian) dipastikan tidak akan ditemui, sehingga secara tegas dapat dikatakan bahwa hukum adat akan selalu linier dengan tujuan keadilan. Menurut Kurniawan, hukum
adat memiliki corak, dan karakteristik sebagai berikut: 1. Komunalistik , artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat. 2. Religio-magis, artinya hukum adat selalu berkaitan dengan persoalan magis dan spiritualisme (kepercayaan atas roh-roh nenek moyang, dsb). 3. Konkrit , artinya perhubungan-perhubungan hidup yang ada dalam hukum adat adalah perhubungan-perhubungan yang konkrit atau nyata. Seperti halnya, dalam hukum adat istilah jual-beli hanya dimaknai secara nyata yakni jika telah benar-benar ada pertukaran uang dan barang secara kontan, sehingga dalam hukum adat tidak dikenal sistem jual-beli secara kredit sebagaimana yang dikenal di BW . 4.
Visual , artinya dalam hukum adat perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat 7. Kurniawan juga menjelaskan bahwa karakter-karakter hukum adat
sebagaimana dikemukakan di atas adalah cermin dari karakter masyarakat Indonesia. Sifat komunalistik dapat terlihat dari kebiasaan gotong-royong dan gugur-gunung yang biasa dilakukan dalam menghadapi pekerjaan besar secara bersamasama, ataupun dalam mekanisme musyawarah yang biasa dilakukan masyarakat kita sejak berabad-abad lampau dalam memecahkan suatu 7
Kurniawan, JA., 2008. Hukum Adat dan Problematika Hukum Indonesia, Majalah Hukum “Yuridika”, Fakultas Hukum Universitas Airlanga, (23) 1.
7
permasalahan bersama. Sifat religio-magis terlihat dari kebiasaan masyarakat kita seperti halnya pemberian sesajen, upacara selamatan, sedekah bumi, dan lain-lain. Hal ini dilakukan karena masyarakat kita tidak membedakan dimensi dunia lahir dan gaib. Kedua dimensi tersebut diyakini merupakan satu-kesatuan yang saling berkaitan, sehingga segala macam perbuatan yang akan dilakukan demi kepentingan kehidupan dunia lahir juga selalu memperhatikan aspek kehidupan dunia gaib. Karakteristik-karakteristik masyarakat asli Indonesia yang tercermin dalam corak dan sifat hukum adat di atas itulah yang menjadi filsafat hukum asli bangsa Indonesia, yang dapat dikatakan sebagai penanda jiwa bangsa Indonesia sehingga dengan sendirinya berfungsi sebagai pembeda dengan filsafat dan sistem hukum lain di luarnya seperti halnya sistem hukum barat. Hal ini akan semakin terbukti jika dilakukan perbandingan secara langsung antara sistem hukum adat dengan sistem hukum barat C. Hukum Adat dan Keadilan
Hukum adat adalah hukum yang bersumber pada norma kehidupan sehari-hari yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang Indonesia asli dalam hal ini sebagai pernyataan rasa keadilan dalam hubungan pamrih8, sehingga jelas sekali terlihat bahwa hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia yang dibuat oleh masyarakat Indonesia sendiri secara turuntemurun berdasarkan value consciousness mereka yang termanifestasi dalam kebiasaan-kebiasaan hidup sehari-hari dengan menggunakan ukuran nalar dan rasa keadilan mereka. Dengan demikian jika kembali pada pemikiran Von Savigny bahwa hukum adalah cerminan jiwa rakyat, maka hukum adatlah yang merupakan cerminan jiwa bangsa Indonesia. Hal di atas kiranya akan lebih diperjelas dengan melihat kepada kerakteristik hukum adat. Hukum adat memiliki corak, dan karakteristik berupa . Komunalistik, Konkrit, serta Visual (dalam hukum adat perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat). Karakter-karakter hukum adat sebagaimana dikemukakan di atas adalah cermin dari karakter masyarakat 8
Djojodigoeno dalam: Surojo Wignjodipuro, “Pengantar dan Asas -Asas Hukum Adat,” Alumni, Bandung, 1979, hlm. 7.
8
Indonesia, Bahwa hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya 9. kajian secara yuridis-normatif, filosofis, maupun sosiologis telah menunjukkan posisi sentral Hukum Adat sebagai basis Tata Hukum Indonesia yang berkeadilan sebagai mana dijabarkan di atas, maka apa yang terjadi hingga hari ini sehingga berakibatkan
pada segala problematika kompleks
dalam ruang pengembanan Hukum Indonesia adalah pengabaian terhadap kultur/budaya hukum Indonesia. Hukum Indonesia yang dibangun justru dalam kultur Civil Law System dengan melibatkan segala konsep-konsep hukum yang ada di dalamnya yang kesemuanya itu merupakan pencerminan dan penjabaran filsafat hidup masyarakat barat yang asing dan bertolak belakang dengan filsafat hidup, maupun konsep-konsep hukum asli bangsa Indonesia. Dengan kata lain, segala problematika yang muncul dalam ruang pembangunan dan pengembanan Hukum Indonesia adalah buah dari “keterasingan Hukum Indonesia.” Hukum adat adalah sistem hukum yang sama sekali berbeda dengan Civil Law System. Hukum adat adalah bersifat hukum non statutair atau hukum tidak tertulis, karena mewujud pada kebiasaan hidup sehari-hari dalam masyarakat. Adanya corak ini disebabkan oleh adanya keyakinan dalam masyarakat kita bahwa apa yang tertulis sebagai suatu bentuk rumusan dapat mudah menimbulkan salah sangka karena masyarakat kita telah lama sadar bahwa apa saja yang dinyatakan dalam kata selalu akan menunjukkan kepada hal-hal yang tidak sepenuhnya tepat mengenai apa yang sebenarnya dikandung dalam intinya. Dengan adanya corak hukum adat yang non statutair ini, maka dengan sendirinya dapat tergambar bahwa hukum adat tidak mengenal prinsip legisme maupun filsafat positivism sebagaimana yang terkandung dalam Civil Law System. Dengan adanya corak non statutair yang
9
Van Apeldoorn, “ Inleiding Tot De Studie van Het Nederlandse Recht (terjemahan),” Pradnya Paramita,Jakarta, 1985, h. 23.
9
merupakan a contrario dari prinsip legisme ini, maka hukum adat justru terbebas dari keterbatasan dan statisme yang menjadi konsekuensi bentuk hukum tertulis, dengan demikian hukum adat dengan sendirinya selalu memiliki sifat dinamis karena hukum adat adalah living law atau hukum yang hidup sehingga ia akan tumbuh dan berkembang seiring dinamisme budaya masyarakat tersebut. Dengan demikian, pengembanan dan penegakan hukum tidak hanya sebatas memenuhi tuntutan “keadilan” yang diredusir maknanya menjadi “apa yang telah menurut hukumnya saja, melainkan demi menjaga keseimbangan kosmis berdasarkan rasa keadilan yang berkembang di dalam masyarakat. Hukum adat justru menghindari sifat kepastian secara sempit sebagaimana yang diutamakan oleh positivisme hukum dalam kultur Civil Law System, karena segala hal menurut hukum adat tidak dapat disama ratakan melainkan harus dikaji dan dipertimbangkan konteksnya menurut tempat, waktu, dan keadaannya. Dengan adanya fleksibilitas ini, maka kesulitan untuk selalu dapat terpenuhinya tuntutan keadilan akibat adanya kecenderungan pertentangan antara tujuan keadilan dan kepastian (yang mana di dalam kultur Civil Law System dengan positivisme hukumnya cenderung lebih diutamakan tujuan kepastian) dipastikan tidak akan ditemui, sehingga secara tegas dapat dikatakan bahwa hukum adat akan selalu linier dengan tujuan keadilan. Demikianlah, dari penjabaran di atas menunjukkan bahwa tawaran untuk kembali kepada ontologi hukum Indonesia yakni hukum adat adalah suatu tawaran yang kritis, solutif, dan rasional di tengah-tengah kompleksitas problematika hukum Indonesia yang kian hari kian menjauh dari tujuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat guna memberikan keadilan secara substantif dan nyata. Sehingga, jika arah pembangunan dan pengembanan Hukum Indonesia tetap ditujukan sesuai tujuan filosofis dari hukum itu sendiri, yakni menciptakan keteraturan melalui pemenuhan keadilan bagi seluruh masyarakat, maka harus segera diadakan perubahan secara signifikan dan mendasar dalam paradigma hukum Indonesia agar Hukum Indonesia segera tersadar dari keterasingannya untuk kemudian segera kembali kepada hakekat aslinya, kepada Hukum Adat.
10
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
Berdasarkan
pemaparan
yang
telah
di
sampaikan
diatas,
maka
pembahasan dalam makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya, sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya. 2. Hukum adat dengan kedudukannya sebagai hukum asli bangsa Indonesia yang merupakan perwujudan nilai-nilai hidup yang berkembang di dalam masyarakat Indonesia sendiri sehingga hukum adat seharusnya diletakkan sebagai pondasi dasar struktur hirarki Tata Hukum Indonesia di mana dalam hukum adat itulah segala macam aturan hukum positip Indonesia mendasarkan diri dan mengambil sumber substansinya. B. Saran
Wacana kembali kepada hukum adat adalah suatu tawaram yang logis, solutif, dan rasional di tengah-tengah segala kompleksitas problematika dalam ruang pembangunan dan pengembanan Hukum Indonesia guna terciptanya sebuah Hukum Indonesia yang lebih baik. Yakni Hukum Indonesia yang sesuai dengan rasa keadilan dan berdasarkan nilai-nilai masyarakat Indonesia sendiri, Hukum Indonesia yang berke-Indonesia-an, Hukum Indonesia yang beradatkan Indonesia, Hukum Indonesia yang berdasarkan Hukum Adat Indonesia.
11
DAFTAR PUSTAKA
Djojodigoeno dalam: Surojo Wignjodipuro, “ Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,” Alumni, Bandung, 1979.
Hadikusuma, H. Hilman, Peradilan Adat di Indonesia , CV. Miswas, Jakarta,1989. Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di Indonesia , INIS, Jakarta, 1998, 38 Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum.
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1993. Van Apeldoorn, “ Inleiding Tot De Studie van Het Nederlandse Recht (terjemahan),” Pradnya Paramita,Jakarta, 1985
Majalah Kurniawan, JA., H ukum Adat dan Problematika H ukum I ndonesia, Majalah Hukum “Yuridika”, Fakultas Hukum Universitas Airlanga,2008. Majalah Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAk Asasi Manusia R.I Vol. IV BPHN Jakarta, 2005.
12
Al Yasa Abubakar, Ahli Wari s Sepertalian Darah : Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan Penalaran F iki h Mazhab, INIS, Jakarta, 1998. A. Halim Tosa, Praktik H ukum Kewarisan dalam Masyarakat Gayo, Puslit IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 1996. Abbas, Syahrizal, H ukum Adat dan Hukum I slam di I ndonesia, Nadya Foundation, Lhokseumawe, 2003. Akh. Mukarrom, F iqh Muwari s I I , Biro Penerbitan dan Pengembangan Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 1992. Effendi Perangin, Hukum Wari s, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997. Fatchur Rahman, I lmu Wari s , PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1975. Hazairin, H ukum Kewarisan B ilateral, Tintamas, Jakarta, 1960 ___________, 1975, Bab-bab Tentang H ukum Adat , Pradnya Paramita, Jakarta, ___________, 1976, Hendak K emana H ukum I slam , Cet. 3, Tintamas, Jakarta, Oemarsalim, Dasar-dasar H ukum Waris di I ndonesia , Rineka Cipta, Jakarta, 1991. Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat , Pradnya Paramita, Jakarta, 1993. Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan H ukum Adat , (Terjemahan R. Ng Surbakti Presponoto), Let. N. Voricin Vahveve, Bandung, 1990. Tolib Setiady, I ntisari Hukum Adat I ndonesia, Alfabeta, Bandung, 2009.
13
.
BAB III PENUTUP
14
A. Kesimpulan
Adat merupakan suatu peraturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat pendukungnya. Adat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan menderita, karena sanksi keras yang kadang-kadang sacara tidak langsung dikenakan Istilah lembaga adat merupakan dua rangkaian kata yang terdiri dari kata “lembaga” dan “adat”. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut Institution yang bermakna pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan
[1] Mohammad Daud Ali, HukumIslam (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 216 [2] Hendropuspita, Sosiologi Agama, (Yogyakarta : Kanisius, 1994), hal.114
MAK ALAH H UK UM ADAT I.
PENDAHULUAN A. Latarbelakangmasalah Hukum adat karena sifatnya yang tidak tertulis, majemuk antara lingkungan masyarakat
satu
dengan
lainnya,
maka
perlu
dikaji
perkembangannya.
Pemahaman ini akan diketahui apakah hukum adat masih hidup , apakah sudah berubah, dan ke arah mana perubahan itu.
15
Ada banyak istilah yang dipakai untuk menamai hukum lokal: hukum tradisional, hukum adat, hukum asli, hukum rakyat, dan khusus di Indonesia – hukum “adat“.[1]Bagaimana tempat dan bagaimana perkembangannya hukum adat dalam masyarakat tergantung kesadaran, paradigma hukum, politik hukum dan pemahaman para pengembannya- politisi, hakim, pengacara, birokrat dan masyarakat itu sendiri. Hukum ada dan berlakunya tergantung kepada dan berada dalam masyarakat. Dengan latar belakang hukum adat yang seperti itu, kita dapat menarik garis besar dan membuat sistematika pertanyaan mengenai hukum adat dalam berbagai masanya.
B. RumusanMasalah 1. Bagaimana sejarah penemuan hokum adat ? 2. Bagaimana sejarah politik hoku madat? 3. Sejarah perkembangan hukum adat ?
FILE LENGKAPNYA DISINI,,,
KLIK
C. PEMBAHASAN 1.
Sejarah Penemuan Hukum Adat
Sebelum kita mempelajari lebih jauh tentang sejarah penemuan hukum adat, kita ketahui dulu apa itu hukum adat?
16
Pemahaman mengenai hukum adat selama ini, yang terjadi, bila meminjam istilah Spradley dan McCurdy (1975), ialah adanya sikap legal ethnocentrism, yakni: the tendency to view the law of other cultures through theconcepts and assumptions of Western. Padahal, sikap legal ethnocentrism itu mengundang kritik, antara lain: a) cenderung meniadakan eksistensi dari hukum pada pelbagai masyarakat; dan b) cenderung mengambil bentuk sistem hukum barat sebagai dasar dari penelaahan dan penyusunan kebijakan.[2] Hukum adat dieksplorasi secara ilmiah pertama kali dilakukan oleh William Marsden (1783), orang Irlandia yang melakukan penelitian di Bengkulu, semasa dikuasai Inggris, kemudian diikuti oleh Muntinghe, Raffles. Namun kajian secara sistimatis dilakukan oleh Snouck Hourgronye, yang pertama kali menggunakan istilah adatrecht (hukum adat), dan iasebagai peletak teori Receptie [3] , ia memandang hukum adat identik dengan hukum kebiasaan [4]. Istilah Hukum Adat atau adatrecht pertama kali digunakan pada tahun 1906, ketika Snouck Hurgronye menggunakan istilah ini untuk menunjukkan bentuk bentuk adat yang mempunyai konsekwensi hukum[5]. Kemudian dilanjutkan oleh van Vallenhoven dengan
pendekatan
positivisme sebagai acuan berfikirnya, ia berpendapat ilmu hukum harus
memenuhi tiga prasyarat, yaitu: (1). memperlihatkan keadaan ( gestelheid ), (2) kelanjutan
(veloop),
dan
(3)
menemukan
keajekannya
(regelmaat ),
berdasarkan itu, ia mempetakan Hindia Belanda (Indonesia-sekarang) ke dalam 19 lingkungan hukum adat secara sistematik, berdasarkan itu ia sering disebut Bapak Hukum Adat. Ia mengemukakan konsep hukum adat, seperti: masyarakat hukum atau persekutuan hukum (rechtsgemeenschap), hak ulayat atau pertuanan (beschikings-rechts), lingkaran hukum adat (adatrechtskringen). Untuk memperoleh suatu pengertian tentang hukum adat itu, dapat di kemukakan beberapa pertanyaan seperti di bawah ini. a. sejak kapan di peroleh pengertian yang di kemukakan di atas itu? b. sejak kapan timbul sedikit perhatian atas hukum adat? c. sejak kapan orang mulai meninjau dan memeriksa hukum adat di lapangan?
17
d. sejak kapan hukum adat itu di dapatkan atau di ketemukan orang? Apa gunanya pertanyaan-pertanyaan tersebut? Bukankah kita ini bangsa indonesia yang hidup dalam hukum adat kita sendiri? Apakah hukum adat kita harus di ketemukan? Memang, kita adalah orang indonesia yang hidup dalam suasana adat kita sendiri, akan tetapi adat ini harus di ungkapkan, di ketahui, dan dimengerti untuk menyadari bahwa, hukum adat kita adalah hukum yang tidak dapat di abaikan begitu saja. Hukum ini harus di temukan supaya mendapat penghargaan yang selayaknya, bukan oleh kita sendiriakan tetapi juga oleh bangsa lain.[6] Tokoh-tokoh penemu hukum adat yaitu
Wilken ,wilken adalah pangreh praja belanda, mula-mula ia di buru, kemudia di gorontalodan minahasa barat, selanjutnya di sipirok dan mandailing. Tentang semua daerah ituia membukukan segala sesuatu yang di lihatnya seperti tentang hak hutan di buru, hak tanah hakullah di sipirok, tentang agraria di minahasa.
Liefrinck menjalankan tugasnya di lapangan hukum sebagai pegawai pangreh praja belanda di indonesia. Seperti halnya dengan wilken, ia juga memberi tempat tersendiri kepada hukum adat. Tetapi ia lebih membatasi penyelidikanya hanya hanya pada satu lingkungan hukum adat yaitu bali dan lombok.
Snouck Hurgronje adalah sarjana sastra yang menjadi politikus. Dia mendapat gelar doktor dalam bahasa semit ( rumpun bahasa yang meliputi bahasa yahudi dan arab). Karya utamanya yaitu de atjehers yang terkonsentrasi pada satu lingkungan hukum.[7] 2. Sejarah Politik Hukum Adat
UNDUH FILENYA
DISINIf dd
18
[1]Keebet von Benda-Beckmann: Pluraisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis
dan Perdebatan Teoritis, dalam: Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisipliner , Ford Fondation, Huma, Jakarta, 2006 hal 21
[2]Hukum dan Kemajemukan Budaya: Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Prof.Dr. T.O. IhromiANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
[3]Hukum agama hanya dapat berlaku dan mengikat masyarakat sepanjang tidak
bertentangan dan telah diresepsi ke dalam hukum adat. [4]Otje Salman
[5]Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di Indonesia , INIS,
Jakarta, 1998, 38
[6]Prof
.MR.DR.Soekanto: Meninjau Hukum Adat Indonesoia,CV.Rajawali,
Jakarta,1981, hal 20 [7]Imam
sudiyat: Asas-asas
Hukum
Adat ,
sebagai
Bekal
Pengantar,
Libery,Yogyakarta,1978, hal45-47
19