MAKALAH DISCOVERY LEARNING 1 KEPERAWATAN MATERNITAS 1
DISUSUN OLEH: 1. Nur Kholifatur Rosyidah (11161040000004) 2. Ikhsanul Amal R (11161040000019) 3. Tika Rahmawati (11161040000024) 4. Monalisa Putri (11161040000028) 5. Titania Nanda Safitri (11161040000030) 6. Tsana Hanifah N (11161040000032) 7. Mutiara Eka Rahmanda (11161040000035) 8. Dawda Kairaba Kijera (11161040000089)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA JUNI 2018
DAFTAR ISI Daftar Isi ...................................................................................... 1 Kata Pengantar ............................................................................. 2 BAB 1 PENDAHULUAN
......................................................... ................................................ ......... 3
Latar Belakang ................................................................ 3 Rumusan Masalah ........................................................... 4 Tujuan Penelitian ............................................................ 4 .............................................................. ......... 5 BAB 2 PEMBAHASAN ..................................................... Falsafah Keperawatan Maternitas .................................... 5 Praktik Keperawatan Maternitas di Indonesia yang Berkaitan dengan Transkultural Nursing……………….6 Fiqih Kebiasaan ................................................................ 11 Asuhan Keperawatan tentang Pengaruh Budaya dan Agama dalam Praktik Kesehatan Maternal Terkait dengan Transkultural Nursing dan Antropkes…………...23 BAB 3 KESIMPULAN ..............................................................
36
Daftar Pustaka ............................................................................
37
1
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah DL 1. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Serta keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami.Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.Akhir kata kami berharap semoga makalah DL 1 yang kami buat ini dapat
memberikan
manfaat
maupun
inspirasi
untuk
para
pembaca.
Tangerang, Juni 2018
2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kualitas kesehatan suatu masyarakat dapat dilihat melalui indikator kesehatannya. Indikator kesehatan dihasilkan oleh empat unsur interaksi yaitu lingkungan, faktor keturunan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Salah satu indikator umum ini dapat dilihat melalui angka-angka kematian bayi. Indikator angka kematian bayi ini tidak hanya menjelaskan tingkat kesehatan bayi tetapi juga tingkat kesejahteraan seluruh masyarakat serta kondisi sosial-ekonomi bangsa. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator derajat kesehatan. Namun masalah kematian dan kesakitan ibu di Indonesia masih merupakan masalah besar. Dengan demikian, pelayanan kesehatan ibu dan anak menjadi prioritas utama dalam pembangunan kesehatan di Indonesia. Beberapa masalah dan tantangan di antaranya adalah masih masih tingginya disparitas tingkat sosial ekonomi – golongan golongan kaya dan miskin, antar kawasan dan antar perkotaan dan pedesaan. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) mengindikasikan tingkat kesejahteraan penduduk masih rendah. Baik masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka berada. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan, misalnya, pacta dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu.
3
1.2Rumusan 1.2Rumusan Masalah
1. Bagaimana falsafah keperawatan maternitas ? 2. Bagaimana praktik keperawatan maternitas di Indonesia yang berkaitan dengan Transkultural Nursing dan Antropkes? 3. Bagaimana fiqih kebiasaan tentang sistem reproduksi wanita ? 4. Apa saja Asuhan Keperawatan tentang Pengaruh Budaya dan Agama dalam Praktik Kesehatan Maternal Terkait dengan Transkultural Nursing dan Antropkes ? 1.3 Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami falsafah keperawatan maternitas. 2. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami praktik keperawatan maternitas di Indonesia yang berkaitan dengan Transkultural Nursing dan Antropkes. 3. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami fiqih kebiasaan tentang sistem reproduksi wanita. 4. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Asuhan Keperawatan tentang Pengaruh Budaya dan Agama dalam Praktik Kesehatan Maternal Terkait dengan Transkultural Nursing dan Antropkes.
4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Falsafah Keperawatan Maternitas
1. Keperawatan maternitas dipusatkan pada: a. Keluarga dan masyarakat askep yang holistic ho listic b. Menghargai klien dan keluarga c. Klien, keluarga, masyarakat berhak keperawatan yang sesuai 2. Setiap individu berhak lahir sehat-optimal a. Wanita hamil dan bayi yang di kandungnya b. Wanita pasca persalinan beserta bayinya 3. Pengalaman: kehamilan, persalinan, gangguan kesehatan merupakan tugas perkembangan keluarga dan dapat menjadi krisis situasi. 4. Yakin bahwa kehamilan dan persalinan adalah peristiwa yang normal, alamiah, partisipasi aktif keluarga dibutuhkan untuk kepentingan kesehatan ibu dan bayi. 5. .Awal kehamilan awal bentuk interaksi keluarga. 6. Sikap, nilai, dan perilaku sehat setiap individu dipengaruhi latar belakang, agama dan kepercayaan 7. Keperawatan maternitas berfungsi sebagai advocat/ pembela untuk melindungi hak klien 8. Mempromosikan kesehatan merupakan tugas penting bagi keperawatan maternitas generasi penerus 9. Keperawatan maternitas memberi tantangan bagi peran perawat dan merupakan masyarakat. 10. Yakin bahwa penelitian keperawatan dapat menambah pengetahuan dalam menigkatkan mutu pelayanan maternitas.
5
2.2 Praktik Keperawatan Maternitas di Indonesia yang Berkaitan dengan Transkultural Nursing
1. Pendahuluan Tujuan pembangunan Indonesia adalah meningkatkan derajat kesehatan bangsa. Dalam D alam tujuan ini sangat penting pelibatan seluruh komponen kompon en masyarakat m asyarakat Indonesia, lebih pada tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan. Keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan di Indonesia sudah selayaknya berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan masalah kesehatan bangsa. Kesehatan perempuan merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian dari keperawatan, khususnya keperawatan maternitas. Kesejahteraan dan kesehatan perempuan di Indonesia saat ini masih perlu ditingkatkan, terlihat dari angka kematian ibu dan bayi yang merupakan indikator derajat kesehatan masih relatif tinggi dibandingkan dengan angka kematian ibu dan bayi di negaranegara ASEAN lainnya.
Sebagai tenaga professional keperawatan maternitas harus didasari konsep keilmuan yang jelas, yang menuntun untuk berpikir kritis-logis-analitis; bertindak secara rasional – – etis; etis; serta kematangan untuk bersikap tanggap terhadap kebutuhan masyarakat akan pelayanan keperawatan. Keperawatan sebagai direct human care harus dapat menjawab mengapa seseorang membutuhkan pelayanan keperawatan; domain keperawatan dan keterbatasan lingkup pengetahuan serta bidang garapan praktek keperawatan, berbasis konsep, teori dan struktur substantif dari ilmu keperawatan sehingga dapat menjadi acuan untuk melihat segala permasalahan pada situasi kehidupan manusia, lingkungan sosial dan budayanya. Kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan alam, social dan budaya. Ini berarti lingkungan alam, social dan budaya merupakan sumber yang dapat mendukung kehidupan manusia itu sendiri, khusunya dalam mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Perlu dikaji dan diidentifikasi sumber-sumber yang berasal dari lingkungan alam, social dan budaya yang telah menjadi bagian 6
dari kehidupan manusia dengan pendekatan yang sesuai dalam memecahkan masalah, khusunya masalah kesehatan.
Saat ini di masyarakat pada umumnya semakin sadar akan pentingnya kembali ke alam untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Alam dari dulu sebenarnya telah menyediakan berbagai macam obat yang selama ribuan tahun yang lalu, dimana oleh nenek moyang dimanfaatkan manusia secara turun-temurun.
Semakin meningkatnya kesadaran tersebut, riset-riset ilmiah pun kini semakin banyak diarahkan pada bahan-bahan alami. Obat-obatan dari tanaman disebut dengan herbal atau jamu yang diproses secara modern dan didukung hasil riset semakin banyak tersedia. Salah satu tujuan dari pengobatan herbal adalah membantu tubuh mengembalikan keharmonisan atau keseimbangan tubuh. Pada kesehatan reproduksi perempuan herbal juga sudah digunakan sebagai salah satu baik sebagai pencegahan maupun pengobatan penyakit misalnya pada penyakit kanker reproduksi, masalah menstruasi, menyusui dan lain sebagainya. seba gainya. Keperawatan maternitas melihat penggunaan herbal sebagai alternative dalam tindakan keperawatan Kaena herbal merupakan hasil kekayaan alam dan biasanya dalam penggunaanya berkaitan dengan budaya/kultur setempat maka dapat dilakukan dengan pendekatan transkultural. Kombinasi pengetahuan tentang praktik transkultural dengan kemajuan teknologi dapat menyebabkan makin sempurnanya pelayanan perawatan dan kesehatan orang banyak dan berbagai b erbagai kultur. Trunskultural merupakan salah satu teori keperawatan yang dipakai sebagai pendekatan dalam d alam menyelesaikan men yelesaikan masalah yang menggunakan men ggunakan sumber-sumber dari lingkungan, social dan budaya masyarakat.
Keperawatan Maternitas merupakan subsistem dari pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan, dimana perawat berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dalam membantu klien (perempuan) dan keluarga dalam masalah 7
kesehatan reproduksinya dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap masalah kesehatan yang timbul baik pada diri perempuan itusendiri dan keluarganya, ternasuk kesehatan anak yang secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan perempuan dalam melaksanakan perannya dalam keluarga.
Masalah kesehatan perempuan dan anak yang semakin kompleks menuntut penyelesaian yang komprehensif komp rehensif dan da n membutuhkan penatalaksanaan perawat yang berpengalaman dan kompeten sehingga mampu berespons dengan tepat terhadap permasalahan kesehatan yang ada. Implementasi keperawatan maternitas yang profesional memerlukan dasar yang kokoh dalam aplikasinya. Pelayanan ini akan kokoh apabila didasari konsep kuat dan relevan sehingga pelayanan yang diberikan dapat menyelesaikan masalah dan berkualitas. Salah satu Konsep yang dapat dipakai dalam mendasari pelayanan keperawatan maternitas profesional sesuai dengan kompetensi adalah : Caring,Family Centered Care, konsep adaptasi, bonding attatchmen, ekslusif breast feading, self care, hospitalisasi, konsep kehilangan, safety and injury prevention dan trunscultur dalam praktik keperawatan. 2.
Transcultural dalam Praktik Keperawatan Maternitas
Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan. Ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger,2002).
Asumsi mendasari dari teori adalah perilaku Caring. Caring adalah esensi dari keperawatan,
membedakan,
mendominasi
serta
mempersatukan
tindakan
keperawatan. Tindakan Caring dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan dalam memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku Caring semestinya 8
diberikan kepada manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan, masa pertahanan sampai dikala manusia itu meninggal. Human caring secara umum dikatakan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan dukungan dan bimbingan pada manusia yang utuh. Human caring merupakan fenomena yang universal dimana ekspresi, struktur dan polanya bervariasi diantara kultur satutempat dengan tempat lainnya.
3. Konsep dalam Transcultural Nursing
1. Kultur/Budaya adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari, dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil keputusan. 2. Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi tindakan dan keputusan. 3. Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal dari pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang dan individu yang mungkin kembali lagi (Leininger, 1985). 4. Etnosentris
adalah
persepsi
yang
dimiliki
oleh
individu
yang
menganggapbahwa budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain. 5. Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim. 6. Ras
adalah
perbedaan
macam-macam
manusia
didasarkan
pada
mendiskreditkan asal muasal manusia 7. Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologipada penelitian etnografi memungkinkan mem ungkinkan perawat untuk mengembangkank sadaran yang tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskandasar 9
observasi
untuk
mempelajari
lingkungan
dan
orang-orang,
dan
salingmemberikan timbal balik diantara keduanya. 8. Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadianuntuk memenuhi kebutuhan baik aktual maupun potensial untuk meningkatkankondisi dan kualitas kehidupan manusia. 9. Caring
adalah
tindakan
membimbing,mendukung
dan
langsung mengarahkan
yang
diarahkan
individu,
keluarga
untuk atau
kelompok pada keadaanyang nyata atau antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan manusia. 10. Cultural Care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai, kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing, mendukung atau memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup dalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai. 11. Culturtal imposition berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan untuk memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lainkarena percaya bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi daripada kelompok lain. 4. Transcultural Nursing Proces Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit (Sunrise Model) menyatakan bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew and Boyle, 1995). Pengelolaan asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
10
2.3 Fiqih Kebiasaan
1. Pandangan Islam Mengenai Sistem Reproduksi Pandangan Islam tentang kesehatan reproduksi tercermin pada ajarannya tentang manusia yang dijadikannya sebagai makhluk Allah yang diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya (Q.S. At-Tin ayat: 4). Dalam hal ini manusia dibekali keutamaan dibanding makhluk lain. Keutamaan tersebut adalah akal, nafsu dan agama. Akal membedakan manusia dari binatang, nafsu membedakan manusia dengan benda dan agama membedakan manusia sebagai insan mulia. Apresiasi Islam pada seks salah satunya terdapat pada Q.S. Ar-Rum: 21, yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan untuk kemudian terjalin dalam ikatan pernikahan. Pernikahan mempunyai tujuan sebagai proses kelangsungan generasi umat manusia di dunia. Allah SWT menciptakan hasrat seksual (syahwat) pada manusia. Hasrat seksual adalah fitrah manusia. Namun dalam Islam hubungan seks bukan sekedar sarana untuk melampiaskan hawa nafsu. Salah satu tujuan pernikahan itu sendiri adalah untuk melestarikan keturunan. Dan jima’ (hubungan seks) merupakan bentuk usaha untuk mewujudkan
tujuan memperoleh anak tersebut. (Hawa, 2007: 105) Di samping Islam mengharamkan untuk memuaskan hasrat seksual di luar ikatan perkawinan, Islam juga melarang keras hubungan sesama jenis, sebagaimana diriwayatakan oleh Ibnu Abbas (Syekh Ali al-Birgawi, 2008: 414), bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila kalian menemukan orang yang melakukan
tindakan kaum Nabi Luth, usirlah ia dan asingkanlah dari tengah-tengah kalian”. (H.R. Al-Tirmidzi). Berdasarkan penjelasan di atas, Islam memberikan perhatian besar terhadap kelangsungan hidup manusia, yang mengarahkan manusia kepada jalan yang 11
diridhai-Nya, serta menjadikannya manusia sebagai mahluk sempurna yang diberi bekal potensi untuk mengembangkan generasi melalui proses reproduksi. Pendidikan Islam (khususnya pesantren), telah banyak mengembangkan mengenai ilmu fiqh yang berkaitan dengan konsep pendidikan seks dan reproduksi sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh. Ini menunjukkan bahwa secara normatif wacana tentang seks dan reproduksi bukan barang yang baru dan tabu dalam kitab-kitab fiqh. Hal ini terlihat jelas ketika melihat dan mencermati isi kitab-kitab fiqih seperti ,Risalah Al-Mahidh (masalah haid), al-Haidh Wa an-Nifas (kitab haid dan nifas). Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa kitab-kitab ini membahas tentang haid, Isthihadhah, kehamilan, persalinan, nifas, hal-hal yang diharamkan bagi perempuan haid dan nifas, cara-cara bersuci dan shalat bagi mereka. (Nuruzzaman, 2005: 144). Selain kitab di atas ada beberapa kitab klasik fiqh keluarga yang diajarkan di pesantren seperti, Qurrotul ‘Uyun dan Uqu Dulljain. Kitab ini memang
sederhana tetapi ustadzlah yang akan mengupas tuntas serumit apa pun pertanyaan santri seputar seksologi. (Subakti dan Anggarani, 2008: 72). Menurut Fatima Mernissi, sebagaimana dikutip Syafiq Hasyim, setidaknya ada dua misi tatkala kitab-kitab fiqh pesantren berbicara tentang seks dan reproduksi. Pertama, kitab-kitab fiqh berbicara tentang seks dan reproduksi dengan tujuan mengcounter budaya seks dan reproduksi masa lalu (pra-Islam). Di mana fenomena seksualitas dan reproduksi sebelum Islam masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan tidak beradab. Misi kedua, adalah membuat aturan-aturan dari pola seksualitas dan reproduksi yang tidak selaras dengan syariat Islam menuju pola seksualitas dan reproduksi yang sehat dan beradab (Hasyim, 2002: 205). Karena itu, pada dasarnya norma-norma seksualitas dan reproduksi dalam kitab-kitab fiqh dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan syariat Islam yakni memelihara kehormatan dan harga diri dan memelihara kesucian keturunan dan hak reproduksi. Ini menunjukkan bahwa Islam senantiasa mengutamakan aspek perilaku dan gaya hidup untuk mewujudkan kesehatan reproduksi manusia.
12
Berdasarkan pemahaman di atas, menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi mendapat pijakan dari ajaran-ajaran fiqh yang cukup kukuh (legitimate). Perhatian kitab-kitab fiqh akan aspek kesehatan organ-organ reproduksi tidak lepas dari fungsi fiqh sebagai penjabaran dari al-Qur’an dan al-Hadits demi upaya mewujudkan kemaslahatan manusia. Dalam konteks ini, fiqh kesehatan reproduksi manusia bukan semata-mata proses biologis, lebih dari itu, secara teologis-normatif reproduksi merupakan perbuatan mulia atau ibadah. Konsep pendidikan fiqh kesehatan alat-alat reproduksi adalah memberikan tekanan pada pentingnya pen tingnya menjaga menja ga alat-alat reproduksi dari berbagai macam penyakit - baik penyakit fisik - biologis maupun psikis-mental. Selain itu, fiqh juga memberikan petunjuk, bimbingan, tuntunan, pengetahuan, dan nilai bagaimana seorang muslim harus bersikap dan mengambil keputusan berkaitan dengan kesehatan organ-organ reproduksinya. Tujuan dari pada itu adalaah mampu melakukan proses-proses reproduksi secara sehat dan akan lahir generasi-generasi yang sehat pula.
2. Fiqih kebiasaan tentang sistem reproduksi wanita Dalam fiqh, hukum yang berkaitan dengan wanita, bagaikan lautan luas tidak bertepi, karena itu, banyak fuqahâ' yang membahas secara khusus tentang hukum yang berkaitan dengan masalah kewanitaan di dalam kajian fiqh wanita yang disebut “fiqh al-mar'ah” atau “fiqh al-nisâ”. Dalam pembahasan fiqh wanita,
banyak dijumpai permasalahan yang hukumnya diperselisihkan oleh fuqahâ, di antaranya adalah masalah perdarahan pervaginam. Masalah perdarahan pervaginam yang mencakup haid, nifas, dan istihadhah dalam fiqh memperoleh perhatian yang luar biasa dari para fuqahâ. Fuqahâ berusaha mendefinisikan dan menjelaskan hukum tentang perdarahan pervaginam, namun terkadang masih dijumpai kebingungan di antara para wanita yang mengalaminya, terutama yang tidak bisa membedakan jenis darahnya. Tanpa mengurangi penghargaan terhadap hasil ijtihad fuqahâ, yang telah demikian serius mencurahkan perhatiannya dalam masalah ini, dapat dikatakan bahwa sebagian
13
besar hukum tentang perdarahan pervaginam sulit diterima mengingat ijtihad tersebut belum sepenuhnya mengakomodir kemampuan wanita dalam menerapkan hukumnya. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan rumitnya penjelasan fuqahâ tentang hukum perdarahan pervaginam, di antaranya adalah : 1. Karena keuniversalan teks al-Qur'an dan Hadits yang menjelaskan tentang hukum perdarahan pervaginam ; 2. Adanya dalil yang bertentangan yang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan fuqahâ ; 3. dan sejarah pertumbuhan dan perkembangan wacana fiqh (yakni abad kedua Hijriyah) memang sangat jauh dari campur tangan wanita. Hampir sebagian besar teks keagamaan, khususnya literatur fiqh, banyak didominasi oleh pihak lelaki, sehingga terdapat beberapa produk fiqh wanita yang kurang menampung aspirasi wanita. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi berpengaruh kepada perkembangan medis serta berimplikasi pada produk fiqh wanita, di antaranya fiqh perdarahan pervaginam. Kemajuan dalam bidang endokrinologi bertambah pesat setelah diketahuinya poros hipotalamus-hipofisis-ovarium, seperti ditemukannya pengobatan hormonal yang berpengaruh pada siklus haid.
Kitab fiqh perdarahan pervaginam yang ditulis fuqahâ belakangan, banyak yang merujuk kepada kitab fiqh klasik, tanpa diimbangi analisis kritis terhadap pemahaman di dalamnya. Padahal setelah Islam berkembang luas dan melampaui kurun waktu tertentu, masyarakat sudah berubah dan dengan demikian, terdapat beberapa ajaran fiqh yang dianggap kurang relevan untuk dipraktikkan. dip raktikkan. Seperti cara membedakan antara darah istihadhah dan darah haid adalah dengan melihat warna darah, jika darahnya hitam berarti itu darah haid.
14
Penjelasan darah haid dengan melihat warna darah, kurang relevan secara medis, karena darah yang keluar dari vagina kemungkinan sudah tercampur dengan cairan dari vagina atau serviks, atau darah tersebut tidak berasal dari uterus (rahim). Perdarahan pervaginam perlu dikaji lebih komprehensif, baik dalam perspektif medis maupun fiqh.
Pendekatan medis dalam menjelaskan sebab terjadinya perdarahan pervaginam sangat diperlukan, untuk mengetahui jenis darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita, sedangkan fiqh merupakan sekumpulan hukum shar‘î
yang berhubungan dengan amaliah yang dihasilkan dari istinbât hukum melalui ijtihad. Selama ini, kajian tentang ilmu medis dan fiqh tentang perdarahan pervaginam seperti tersekat oleh suatu penghalang, padahal keduanya pernah berkembang pesat pada awal perkembangan agama Islam, yang melahirkan penemuan besar yang bermanfaat bagi peradaban manusia. Dalam sejarah Islam, ilmu medis pernah mengalami zaman keemasannya di antara perkembangan berbagai macam keilmuan lainnya, seperti ilmu agama, bahasa, fisika, ilmu alam, arsitektur, dan geografi. Kitab tentang medis dari Arab, merupakan salah satu bahan yang banyak diterjemahkan dan dijadikan rujukan dalam dunia medis di Eropa. Perkembangan ilmu medis dalam Islam mencapai masa puncaknya pada zaman Hârûn al-Rashîd (685 M) yang di eranya memerintahkan untuk menerjemahkan kitab medis dari Yunani, di antaranya kitab karya Galenus, Hipokrates, dan lain sebagainya. Dari proses terjemahan tersebut, muncul pakar medis dari kalangan Muslim, di antaranya al-Râzî (850-932M) Ibn Sînâ (980-1037M) ,Abû al-Qâsim al-Zahrâwî (936-1013), dan Ibn Rushd (11261198). Perkembangan medis dalam Islam juga berpengaruh pada ilmu fiqh. Dalam beberapa kitab fiqh, terdapat beberapa fuqahâ yang tidak segan mengutip men gutip pendapat pakar medis untuk melengkapi argumen mereka, sebagaimana yang dilakukan Ibn Rushd, ia mengutip pendapat Galenus dan Hiprokrates dalam men-tarjîh hukum tentang wanita yang mengalami perdarahan waktu hamil, apakah itu termasuk darah 15
haid atau istihadhah. Menurut Ibn Rushd, ada dua hal yang memengaruhi darah wanita hamil: 1. pertama, darah yang dilihat wanita hamil adalah darah haid, jika kondisi wanita tersebut kuat dan janinnya kecil, sebagaimana pendapat Hipokrates dan Galenus. 2. Kedua, bisa jadi darah yang keluar dari wanita hamil adalah darah istihadhah, jika janin lemah karena mengikuti kondisi ibunya yang lemah dan sakit. Selain itu, terdapat pendapat dalam mazhab Hambali bahwa wanita hamil tidak haid, hal tersebut dikarenakan darah tersebut tidak keluar, karena menjadi makanan bayi dan ketika melahirkan darah tersebut berubah menjadi susu. Penjelasan fiqh tersebut kurang relevan dengan penemuan medis yang terakhir, meskipun demikian banyak fuqahâ belakangan yang masih mengutip penjelasan tersebut dalam karya fiqh mereka, di antaranya; al-Uthaymin, Abd alWahhâb al-Sharânî dan Abd al-Azîz Muhammad al-Salmân. Hal tersebut menunjukkan perlu ada penelitian lebih lanjut tentang fiqh perdarahan pervaginam dengan pendekatan medis yang aktual, tidak hanya mengutip pada karya fuqahâ terdahulu, tetapi juga diimbangi dengan hasil penelitian pakar medis masa kini. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas tentang rekonstruksi fiqh perdarahan pervaginam dengan pendekatan medis.
3. Pendekatan Medis dalam Fiqh Perdarahan Pervaginam Perdarahan pervaginam dalam perspektif medis dibahas dalam ilmu obstetri dan ginekologi. Perkataan obstetric berasal dari obsto (Bahasa Latin) yang berarti mendampingi. Dalam bahasa Inggris, obstetrix, diartikan sebagai midwife. Kalimat tersebut berasal dari kata mid yang berarti with (bersama) dan kata wife yang berarti woman (wanita). Menurut Sarwono Prawirohardjo, kata “obstetric” atau “obstetrix” dalam bahasa Latin berkaitan dengan “obstare”, yang berarti berdiri di
sampingnya, dalam hal ini berdiri di samping wanita yang sedang bersalin, tetapi keterangan ini tidak diterima oleh semua pihak. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata aslinya adalah “abstetrix” yang berarti membantu seseorang yang sedang 16
bersalin. Dari beberapa arti kata tersebut, Sarwono mendefinisikan obstetri sebagai ilmu kedokteran yang khusus mempelajari segala soal yang bersangkutan dengan lahirnya bayi. Dalam kamus Oxford, dijelaskan bahwa obstetri adalah cabang dari ilmu kedokteran yang berkaitan dengan kelahiran bayi, perawatan dan pengobatan ibu, sebelum dan sesudah melahirkan. Dalam Kamus Kebidanan, disebutkan bahwa obstetri adalah cabang ilmu kedokteran yang membahas mengenai perawatan wanita selama kehamilan, kelahiran, dan puerperium (nifas). Dengan demikian, yang menjadi objek ilmu ini adalah kehamilan, persalinan, nifas, dan bayi yang baru dilahirkan. Ginekologi berasal dari kata Yunani gynecos, yang berarti wanita. Ginekologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mengobati penyakit pada wanita, khususnya kondisi organ reproduksi dan genitalia. Pengetahuan tentang ginekologi meliputi gangguan haid, perdarahan uterus abnormal, keputihan, endometriosis, penyakit radang panggul, bartolinitis, mioma uteri, tumor ovarium neoplastik jinak, infertilitas, menopause, dan berbagai penyakit kandungan lainnya.
Menurut Petraglia, praktik kebidanan telah ada pada zaman Mesir kuno dan kerajaan Romawi. Dari catatan kertas papirus (1900-1550 SM) yang ditemukan, diketahui bahwa praktik kebidanan telah dikenal di Mesir sebagai pekerjaan wanita yang menangani masalah obstetri dan ginekologi, khususnya dalam menangani proses kelahiran. Lebih lanjut Petraglia menjelaskan bahwa pelayanan kebidanan telah ada semenjak abad pertengahan hingga abad ke 18 Masehi, ketika tugas ahli bedah mulai digantikan oleh bidan. Hal tersebut menandakan bahwa pada waktu itu proses pengobatan modern yang ilmiah mulai dianggap lebih baik bagi kesehatan ibu dan anak dibandingkan pengobatan tradisional. Menurut M. Jusuf Hanafiah, ginekologi mengalami perkembangan yang sangat pesat, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam tiga dasawarsa terakhir, telah terjadi perkembangan yang pesat, antara lain oleh kemajuan endokrinologi reproduksi, pemeriksaan ultrasonografi, teknologi reproduksi buatan, dan lainnya. 17
Aspek etik, hukum, agama, dan sosial perlu mendapat perhatian dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran mutakhir, sehingga benar benar berlandaskan iman, takwa, etikolegal, serta falsafah dan budaya bangsa.
4. Konstruksi Fiqh Perdarahan Pervaginam Fiqh perdarahan pervaginam berkaitan erat dengan pembahasan tentang haid, nifas, dan istihadhah. Dalam pembahasan perdarahan pervaginam, fuqahâ sering berbeda pendapat tentang warna dan bentuk darah haid, usia menarke, usia menopause, siklus haid (masa suci dan masa haid), masa nifas (masa minimal nifas dan masa maksimal nifas), bentuk darah istihadhah, masa istihadhah, dan implikasi hukum dari perdarahan pervaginam. 1. Warna dan bentuk darah haid : a) Dalam mazhab Haanafî dikatakan bahwa warna darah haid ada enam, yaitu: hitam, merah, keruh, hijau, dan turbîyah (seperti warna debu), dan kuning. b) Mazhab al-Shâfi'i menglasifikasikan warna darah haid berdasarkan urutan kekuatannya, yaitu: hitam, merah, oranye, kuning, dan keruh. Selain warna, mazhab Shâfi'i mencirikan darah haid dengan kental, berbau, kental sekaligus berbau, tidak kental, dan tidak berbau. c) Menurut mazhab Hambalî, warna darah haid adalah hitam, merah, dan keruh atau kuning. d) Menurut mazhab Mâlikî, warna darah haid ada tiga, yaitu: merah, kuning, dan keruh (antara hitam dan putih) 2. Usia menarke a) Usia manarke dalam Mazhab Hanafî adalah sembilan tahun, karena Nabi menikahi Âishah ketika usianya sembilan tahun, dan didapati riwayat bahwa terdapat seorang perempuan, putri dari Abî Muti. yang telah memiliki cucu pada usia 19 tahun.
18
b) Di riwayat Hanafî yang lain, usia menarke dibatasi tujuh tahun, didasarkan pada hadîts Nabi murûhum bi al-salâh idhâ balaghû sab‘an. Darah yang keluar sebelum usia menarke me narke disebut darah fasâd (rusak). c) Menurut mazhab Hanafî, Ash-Shâfi'i, dan Mâlikî, usia menarke adalah 9 tahun Hijriyah. Mazhab Haanafî didasarkan pada Hadîts Âishah yang diriwayatkan oleh Ibn Umar idhâ balaghat al- jâriyah jâriyah tis‘a sinîn fahiya imra’ah. Pendapat Ash-Shâfi'i didasarkan pada hasil penemuan Ash-
Shâfi'i bahwa perempuan Tihâmah telah mengalami haid pada usia 9 tahun. Hal tersebut berdasarkan penemuan al-Shâfi'i terhadap seorang perempuan Sanâ Yaman yang sudah memiliki cucu pada usia 21 tahun. 3. Usia Menopause a) Mazhab Shâfi'i dan Hambalî menyatakan bahwa tidak ada batas usia menopause. b) Menurut mazhab Mâlikî, usia menopause adalah 70 tahun. c) Di dalam Mazhab Hambalî terdapat tiga pendapat mengenai usia menopause, yaitu: 1) usia menopause adalah 50 tahun, namun jika setelah usia tersebut terjadi perdarahan yang berulang, maka ia masih dalam masa usia haid, 2) usia menopause adalah 60 tahun, dan 3) usia menopause perempuan Arab 60 tahun, dan perempuan non-Arab 50 tahun. Pandangan Hambalî ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Âishah idhâ balaghat khamsîn sanah kharajtu min had alhayd, dan lan tarâ al-mar’ah fî batnihâ waladan ba‘da al-khamsîn. Lihat Abd al-Rahmân al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madhâhib al-Arba‘ah, Vol. 1 (Beirut: Dâr al-Kutub Al-Ilmîyah, 1990) 4. Siklus haid (masa suci dan masa haid) a) Mazhab Hambalî berpendapat bahwa masa minimal haid adalah satu hari, dan maksimalnya 15 hari. Hal tersebut didasarkan pada pendapat Ali, mâ zâda alâ khamsat ‘ashar istihâdhah wa aqall al-hayd yawm wa
laylah. b) Menurut Abû Hanîfah, hari minimal haid adalah 3 hari, dan maksimal hari haid adalah 10 hari. Hal tersebut didasarkan pada hadîts taq‘ud 19
ihdâhunna shatr umrihâ lâ tasûm wa lâ tusalli. Diqiyaskan perempuan tidak salat, dan puasa separuh umurnya, namun dikurangi masa sebelum haid, dan menopause, maka dalam satu bulan dibagi 3, 1/3 bulan = 10 hari masa haid, dan 2/3 bulan = 20 hari adalah masa suci. c) Menurut mazhab Mâlikî, masa haid paling lama adalah 15 hari, dan tidak ada batas minimal hari haid meskipun hanya keluar sebercak darah. d) Menurut mazhab ash-Shâfi'î, hari maksimal haid satu hari satu malam, dan hari maksimal haid adalah 15 hari. Hal tersebut didasarkan pada hadîts taq‘ud ihdâhunna shatr umrihâ lâ tasûm wa lâ tusalli, maka satu
bulan dibagi dua yaitu 15 hari masa suci dan 15 hari masa haid. 5. Masa nifas (masa minimal nifas dan masa maksimal nifas), a) Menurut mazhab ash-Shâfi'i, Maliki, dan Ibn Taymîyah, tidak ada batas minimal masa nifas. b) Menurut Zayd b. Alî, masa minimal nifas perempuan melahirkan dihitung tiga kali masa haid; jika haidnya lima hari, masa nifasnya adalah lima dikalikan tiga berarti 15 hari. c) Menurut Abû Yûsuf, minimal masa nifas ibu. melahirkan adalah 11 hari sama dengan masa maksimal waktu haid (10 hari) kemudian ditambah satu hari untuk membedakannya. d) Menurut Abû Hanîfah, 25 hari, menurut al-Haasan al-Basrî, 20 hari, dan menurut al-Thawrî, minimal nifas tiga hari. e) Fuqahâ berselisih tentang masa maksimal nifas. Menurut mazhab Imâm Mâlik, Ahmad b. Hanbal, Uthaymin, dan al-Sharâwî, masa nifas maksimal adalah 40 hari. f) Menurut mazhab al-Shâfi'î, dalam salah satu riwayatnya, masa maksimal nifas adalah 70 hari. g) Menurut Abû Hanîfah, dan dalam salah satu riwayat al-Shâfi'î, dan Imam Mâlik, masa maksimal nifas adalah 60 hari. h) Menurut Hasan al-Basrî, masa nifas adalah 50 hari. Lihat al-Shawkânî, Nayl al-Awt}âr, Vol. 3, 358; dan al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh, Vol. 1, 107. 20
6. Bentuk darah istihadhah, masa istihadhah a. Menurut Imâm Mâlik, secara umum, perempuan istihadhah tidak haid kecuali dengan tiga syarat: 1) perempuan itu bisa membedakan jenis darahnya, 2) darah istihadhah berubah sifatnya ke darah haid, dan 3) darah istihadhah berubah menjadi darah haid setelah melampaui masa minimal suci, yaitu 15 hari. b. Dalam mazhab Imâm Ahmad terdapat empat riwayat tentang hitungan haid pada masa istihadhah: 1) haidnya dihitung masa minimal haid, 2) haidnya dihitung enam sampai tujuh hari karena itu merupakan kebiasaan mayoritas perempuan, 3) haidnya dihitung pada masa maksimal haid, 4) haidnya dihitung sesuai kebiasaan perempuan tersebut. Lihat al-Shaybânî, Ikhtilâf al-Aimmah.
5. Dekonstruksi Fiqh Perdarahan Pervaginam Pembahasan perdarahan pervaginam dalam perspektif medis bersifat empiris dan berimplikasi pada wilayah sosial, sehingga ia berbeda dengan pembahasan fiqh perdarahan pervaginam yang bersifat normatif dan berimplikasi pada wilayah hukum ibadah. Pendekatan medis yang empiris tersebut bisa mendekonstruksi perumusan fiqh perdarahan pervaginam yang bersifat normatif. Pembahasan perdarahan pervaginam dalam perspektif medis di antaranya berkaitan dengan fisiologi, patologi, dan etiologi. Dalam penelitian medis yang bersifat empiris, cara menentukan perdarahan pervaginam adalah dengan diadakan pemeriksaan, baik dengan cara manual atau lainnya, untuk mengetahui jenis perdarahan tersebut. Dalam pemeriksaan terhadap pasien, dilakukan dengan beberapa diagnosis, di antaranya melalui pertanyaan riwayat haid pasien, laboratorium, pemeriksaan dengan USG (ultra sonografi), baik melalui uterus maupun vagina, vaginal toucher, atau spekulum. Di antara pendekatan medis dalam penentuan darah yang mendekonstruksi fiqh perdarahan pervaginam adalah penentuan perdarahan pervaginam yang ditinjau dari warna dan bentuknya. 21
Penentuan tersebut dianggap kurang objektif, karena keakuratannya diragukan. Hal tersebut disebabkan darah yang keluar dari vagina kemungkinan sudah tercampur oleh cairan dari serviks atau vagina, atau darah tersebut tidak berasal dari luruhnya endometrium, karena itu penentuan perdarahan pervaginam tidak bisa hanya dilihat melalui warna dan bentuk darah, tetapi untuk memastikannya diperlukan pemeriksaan. Penentuan usia menarke dalam mazhab fiqh adalah sembilan tahun Hijriyah, penentuan tersebut tidak bisa dijadikan landasan secara umum, karena wanita kemungkinan bisa mengalami menarke pada usia delapan tahun. Untuk menentukan perdarahan haid, harus dilakukan pemeriksaan, begitu juga dalam penentuan usia menopause. Fuqahâ berselisih dalam menentukan siklus haid, yang terdiri dari masa suci dan masa haid. Secara medis, siklus haid dilihat dari siklus endometrium dan ovarium, yang keduanya memiliki beberapa fase. Siklus ovarium terdiri dari fase folikuler, ovulasi, dan luteal. Siklus endometrium terdiri dari fase proliferasi, sekresi, implantasi, dan menstruasi. Kedua siklus tersebut memiliki ciri khas tersendiri. Pendekatan medis juga mendekonstruksi pemahaman fuqahâ tentang perdarahan pada masa kehamilan. Dari pendekatan medis diketahui bahwa wanita hamil tidak haid, jika terjadi perdarahan, menandakan adanya gangguan dalam kehamilan tersebut, yaitu bisa dikarenakan adanya tanda abortus, kehamilan ektopik, atau kelainan letak plasenta. Dari pendekatan medis bisa diketahui sebagian besar penyakit yang mengganggu organ genital wanita, sehingga bisa menyebabkan terjadinya perdarahan. Pembagian fuqahâ mengenai wanita istihadah bisa dijelaskan dengan sebab terjadinya perdarahan abnormal dalam perspektif medis, di antaranya perdarahan abnormal yang disebabkan kelainan hormonal maupun non-hormonal. Dalam penjelasan mengenai hukum yang ditimbulkan dari perdarahan pervaginam, pendekatan pendekat an medis lebih berorientasi kepada kesehatan k esehatan wanita. Selama perbuatan tersebut tidak membahayakan kesehatan keseh atan wanita, tidak ada larangan untuk 22
melakukannya. Hal tersebut berbeda dengan perdarahan pervaginam dalam perspektif fiqh yang berimplikasi kepada beberapa larangan dalam beribadah.
2.4 Asuhan Keperawatan tentang Pengaruh Budaya dan Agama dalam Praktik Kesehatan Maternal Terkait dengan Transkultural Nursing dan Antropkes
1. Transkultural Nursing A. Teori Transkultural (Transcultural Nursing ) adalah
suatu su atu area/wilayah keilmuwan budaya bud aya
pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger, 2002). Tujuan dari keperawatan transkultural adalah untuk mengidentifikasi, menguji, mengerti dan menggunakan pemahaman keperawatan transkultural untuk meningkatkan kebudayaan yang spesifik dalam pemberian asuhan keperawatan. Asumsi mendasar dari teori adalah perilaku Caring. Caring adalah esensi dari keperawatan, membedakan, mendominasi serta mempersatukan tindakan keperawatan. Tindakan Caring dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan dalam memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku Caring semestinya diberikan kepada manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan, masa pertahanan sampai dikala manusia itu meninggal.
B. Konsep dalam Transcultural Nursing
23
Budaya adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari, dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil keputusan. Budaya
adalah
sesuatu
yang
kompleks
yang
mengandung
pengetahuan,keyakinan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan kecakapan lain yang merupakan kebiasaan manusia sebagai anggota kemunitas setempat. Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keselurahan hasil budi dan karyanya dan sebuah rencana untuk melakukan kegiatan tertentu (Leininger, 1991). Menurut konsep budaya Leininger (1978, 1984), karakteristik budaya dapat digambarkan sebagai berikut :
Budaya adalah pengalaman yang bersifat universal sehingga tidak ada dua budaya yang sama persis,
budaya yang bersifat stabil, tetapi juga dinamis karena budaya tersebut diturunkan kepada generasi berikutnya sehingga mengalami perubahan,
budaya diisi dan ditentukan oleh kehidupan manusianya sendiri tanpa disadari.
Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi tindakan dan keputusan.
Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal dari pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang dan individu yang mungkin kembali lagi (Leininger, 1985).
Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain.
24
Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim. Etnik adalah seperangkat kondisi spesifik yang dimiliki oleh kelompok tertentu (kelompok etnik). Sekelompok etnik adalah sekumpulan individu yang mempunyai budaya dan sosial yang unik serta menurunkannya ke generasi berikutnya (Handerson, 1981).
Ras
adalah
perbedaan
macam-macam
manusia
didasarkan
pada
mendiskreditkan asal muasal manusia. Ras merupakan sistem pengklasifikasian manusia berdasarkan karakteristik fisik pigmentasi, bentuk tubuh, bentuk wajah, bulu pada tubuh dan bentuk kepala. Ada tiga jenis ras yang umumnya dikenal,
yaitu
Kaukasoid,
Negroid,
Mongoloid.
Budaya adalah keyakinan dan perilaku yang diturunkan atau diajarkan manusia kepada generasi berikutnya (Taylor, 1989).
Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi pada penelitian etnografi etno grafi memungkinkan perawat untuk mengembangkan kesadaran yang tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan dasar observasi untuk mempelajari lingkungan dan orang-orang, dan saling memberikan timbal balik diantara keduanya.
Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian untuk memenuhi kebutuhan baik aktual maupun potensial untuk meningkatkan kondisi dan kualitas kehidupan manusia.
Caring adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing, mendukung dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada keadaan yang nyata atau antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan manusia.
Cultural Care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai, kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing, mendukung atau memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk
25
mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup dalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai.
Culturtal imposition berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan untuk memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain karena percaya bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih le bih tinggi daripada kelompok lain.
C. Paradigma Transcultural Nursing
Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transcultural sebagai cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep sentral keperawatan yaitu : manusia, sehat, lingkungan dan keperawatan (Andrew and Boyle, 1995).
Manusia
Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan melakukan
pilihan.
Menurut
Leininger
(1984)
manusia
memiliki
kecenderungan untuk mempertahankan budayanya pada setiap saat dimanapun dia berada (Geiger and Davidhizar, 1995).
Sehat
Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam mengisi kehidupannya, terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan merupakan suatu keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untuk menjaga dan memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi dalam aktivitas sehari-hari. Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat-sakit yang adaptif (Andrew and Boyle, 1995).
Lingkungan
Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang mempengaruhi perkembangan, kepercayaan dan perilaku klien. Lingkungan dipandang dipandan g sebagai suatu totalitas kehidupan dimana klien dengan budayanya saling berinteraksi. 26
Terdapat tiga bentuk lingkungan yaitu : fisik, sosial dan simbolik. Lingkungan fisik adalah lingkungan alam atau diciptakan oleh manusia seperti daerah katulistiwa, pegunungan, pemukiman padat dan iklim seperti rumah di daerah Eskimo yang hampir tertutup rapat karena tidak pernah ada matahari sepanjang tahun. Lingkungan sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang berhubungan dengan sosialisasi individu, keluarga atau kelompok ke dalam masyarakat yang lebih luas. Di dalam lingkungan sosial individu harus mengikuti struktur dan aturan-aturan
yang
berlaku
di
lingkungan
tersebut.
Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk dan simbol yang menyebabkan individu atau kelompok merasa bersatu seperti musik, seni, riwayat hidup, bahasa dan atribut yang digunakan.
Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang budayanya. Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai dengan budaya klien. D. Proses keperawatan Transcultural Nursing
Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit (Sunrise Model). Geisser (1991) menyatakan bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew and Boyle, 1995). Pengelolaan asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. 1.Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada “Sunrise Model” yaitu :
tecnologgi cal cal f acto actorr s) Faktor teknologi ( tecnolo 27
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu mengkaji : persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat ini.
Faktor agama dan falsafah hidup ( religious and philosophical
fact facto ors)
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus h arus dikaji oleh perawat adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan.
Faktor sosial dan keterikatan keluarga ( ki nship nshi p and and soci socia al fa f actors ctors)
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga.
Nilai-nilai budaya dan gaya hidup ( cultural value and life ways )
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah k aidah yang mempunyai mempun yai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya bud aya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah adal ah : posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi
28
sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri.
Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku ( po political litical and and lega legall
fact facto ors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat.
Faktor ekonomi ( economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga.
Faktor pendidikan ( educati ducational onal factors )
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh bukti bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi
terhadap
budaya
yang
sesuai
dengan
kondisi
kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan klien, k lien, jenis pendidikan serta kemampuannya kemampuann ya untuk belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali. Prinsip-prinsip pengkajian budaya:
jangan menggunakan asumsi 29
jangan membuat streotip bisa terjadi konflik misal: orang padang pelit, orang jawa halus
menerima dan memahami metode komunikasi
menghargai perbedaan individual
mengahargai kebutuhan personal dari setiap individu
tidak beleh membeda-bedakan keyakinan klien
menyediakn privacy terkait kebutuhan pribadi
2. Antropkes
Menurut asal kata anthropologi berasal dari kata Yunani (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau "orang", dan logosyang berarti "wacana" (dalam pengertian "bernalar", "berakal"). Anthropologi mempelajari m empelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Solita Sarwono: Antropologi kesehatan adalah studi tentang pengaruh unsur-unsur budaya terhadap penghayatan masyarakat tentang penyakit dan kesehatan.
Menurut Weaver : Antropologi Kesehatan adalah cabang dari antropologi terapan yang menangani berbagai aspek dari kesehatan dan penyakit.
Menurut Hasan dan Prasad : Antropologi Kesehatan adalah cabang dari ilmu mengenai manusia yang mempelajari aspek-aspek biologi dan kebudayaan manusia (termasuk sejarahnya) dari titik tolak pandangan untuk memahami kedokteran (medical), sejarah kedokteran (medicohistorical), hukum kedokteran (medico-legal), aspek sosial kedokteran (medico-social) dan masalahmasalah kesehatan manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Antropologi adalah: Ilmu yang mempelajari tentang manusia baik deri segi kebudayaan, peran, tingkahlaku, aspek biologi dan kesehatan Kita mengenal tiga cabang besar antropologi, yang setiap cabang berkembang
sendiri 30
seolah
menjadi
di
siplin
tersendiri,
yakni:antropologi biologi, antropologi arkeologi, dan antropologi sosial budaya. 1.Antropologi biologi “mempelajari manusia sebagai makhluk biologi, anatomi, dan susunan genetik,yang seluruhnya berfungsi untuk menjelaskan proses evolusi manusia, yakni rangkaian tahap demi tahap perkembangan manusia hingga bentuknya yang sekarang”
2. antropologi arkeologi juga memusatkan perhatian proses evolusi, pembentukan manusia, khususnya k hususnya evolusi masyarakat dan kebudayaan. k ebudayaan. Antropolog arkeolog membangun hipotesa-hipotesa tentang asal-usul suatu masyarakat kuno berdasarkan artefak dan fosil yang di temukan di situs-situs penggalian 3. Antropologi sosial budaya “mempelajari pengetahuan, gagasan,
keyakinan, nilai-nilai warga suatu masyarakat dan menjadikannya sebagai pedoman bagi mewujudkannya perilaku sosial dalam menghadapi kehidupan,”
Antropologi kesehatan adalah ilmu yang mempelajari aspek biologi dan kebudayan manusia untuk mengetahui sejarah pengobatan, sistem pengobatan, masalah-masalah sosial, dalam pengobatan, dan masalah kesehatan masyarakat. Ruang lingkup antropologi kesehatan adalah ekologi dan epidimiologi penyakit, etnomedis, sistem sosial dan sistem medis, dan perubahan kebudayaan. Berikut beberapa manfaat dari antropologi :
Antropologi sangat dibutuhkan dalam merancang sistem pelayanan kesehatan modern yang bisa diterima masyarakat tradisional
Program Perilaku Sehat dan Pemberdayaan Masyarakat
Penanganan kebiasaan buruk yang menyebabkan sakit
Memberikan masukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pembangunan kesehatan, mendukung perumusan kebijakan masalah kesehatan, dan mengatasi kendala dalam 31
pelaksanaan
program
kesehatan
melalui
pendekatan
kebudayaan
Memberikan suatu cara untuk memandang masyarakat secara keseluruhan termasuk individualnya. Dimana cara pandang yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan suatu masyarakat dengan tetap bertumpu pada akar kepribadian masyarakat yang membangun.
Memberikan suatu model yang secara operasional berguna untuk menguraikan proses social budaya bidang kesehatan.
Sumbangan terhadap metode penelitian dan hasil penelitian. Baik dalam merumuskan suatu pendekatan yang tepat maupun membantu analisis dan interprestasi hasil tentang suatu kondisi yang ada di masyarakat
Dari beberapa manfaat di atas dapat disimpulkan bahwa manfaat ilmu antropologi bagi dunia kesehatan adalah sebagai sarana untuk berkomunikasi dan berinteraksi baik petugas kesehatan dengan pasien, atau dengan keluarga pasien dan dengan sesama profesi kesehatan dengan memperhatikan aspek tingkah laku, kebudayaan dan sifat masing-masing individu, keluarga dan masyarakat 3. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi keperawatan. (Giger and Davidhizar, 1995). Terdapat tiga diagnosa keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan transkultural yaitu : gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan Hambatan lingkungan
(ketidakcukupan
informasi,
ketiadaan
orang
terdekat,
ketidaksesuaian budaya, bahasa asing) gangguan interaksi sosial berhubungan dengan ketiadaan orang terdekat, disfungsi sistem keluarga dan ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan ketidakadekuatan pemahaman (kurang motivasi) 32
No
Diagnosa
1
gangguan verbal dengan
NOC
NIC
komunikasi Setelah dilakukan tindakan 1. Perekatan budaya berhubungan keperawatan selama 3x 24 -Tingkatkan diskusi terbuka Hambatan jam diharapkan pasien terkait persamaan dan
lingkungan
1.
(ketidakcukupan
Penerimaan dengan KH
informasi, ketiadaan orang terdekat, ketidaksesuaian budaya, bahasa asing)
Komunikasi
: perbedaan budaya -Identifikasi bersama pasien,
-Dapat menginterprestasi praktik kebudayaan bahasa tertulis
yang
mungkin memiliki efek negatif
kesehatan -Dapat menginterprestasi pada pasien membuat bahasa lisan -Dapat Mengenali pesan
sehingga keputusan
yang tepat -Tunjukkan sikap rileks dan
yang diterima
tidak terburu- buru ketika berinteraksi dengan pasien -Fasilitasi komunikasi antar budaya
(penggunaan
penerjemah) 2
gangguan interaksi sosial Setelah dilakukan tindakan 1. berhubungan
Manajemen
keluarga:
dengan keperawatan selama 3x 24 kurang perhatian
ketiadaan orang terdekat, jam diharapkan pasien disfungsi sistem keluarga
-Gunakan
pendekatan
yang
1. Keterlibatan sosial baik tenang dan sesuai fakta dengan KH -Berinteraksi teman dekat -
Berinteraksi
tetangga -
-puji perilaku yang diinginkan dengan dan usaha untuk mengontrol diri dengan -Peroleh
perhatian
klien
(memanggil nama)
Berinteraksi
dengan -Dorong
klien
mengekspresikan 33
untuk perasaan
anggota keluarga
dengan cara yang baik
-Berpartisipasi
dalam
aktivitas
luang
waktu
dengan orang lain
3
ketidakpatuhan
dalam Setelah dilakukan tindakan 1.
Peningkatan
sistem
pengobatan berhubungan keperawatan selama 3x 24 dukungan dengan ketidakadekuatan jam diharapkan pasien pemahaman
(kurang 1.
motivasi)
Perilaku
-identifikasi tingkat dukungan
Patuh: keluarga, keuangan dll
Pengobatan
yang -Anjurkan pasien untuk disarankan dengan KH berpartisipasi dalam kegiatan - Memperoleh obat yang sosial dan masyarakat digunakan
-Sediakan
-Minum obat sesuai dosis
sikap peduli dan mendukung
-Mengikuti
layanan
dengan
tindakan -Jelaskan pihak penting lain
kehatia-hatian terkait obat- bagaiamana obatan
mereka
dapat
membantu
-Melaporkan respon terapi kepada
profesional
kesehatan
4. Evaluasi Evaluasi
asuhan
keperawatan
transkultural
dilakukan
terhadap
keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan atau beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat bertentangan dengan 34
budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.
35
BAB III KESIMPULAN
3.1Kesimpulan 3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari makalah ini adalah, bahwa praktik keperawatan maternitas di Indonesia sangat dipengaruhi oleh budaya dan juga agama karena masyarakat Indonesia sendiri masih berpegang teguh terhadap budaya yang ada di daerah masing-masing dan juga mengikuti apa yang di bolehkan dan di larang oleh agamanya. Dimulai dari proses hamil hingga melahirkan terdapat kaitannya dengan budaya dan agama seperti pada pemilihan makanan dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan saat seorang ibu sedang hamil dan atau melahirkan. Terdapat tiga diagnosa keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan transkultural yaitu : gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan Hambatan lingkungan (ketidakcukupan informasi, ketiadaan orang terdekat, ketidaksesuaian budaya, bahasa asing) gangguan interaksi sosial berhubungan dengan ketiadaan orang terdekat, disfungsi sistem keluarga dan ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan ketidakadekuatan pemahaman (kurang motivasi)
36
DAFTAR PUSTAKA 1. Gloria,Etc. 2016. Nursing Intervention Clarification. Singapore: Elseiver 2. Morhead,Etc. 2016. Nursing Outcomes Clarification. Singapore: Elseiver 3. PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia 4. Nasih, Ahmad Munjin dan Lilik Nur Kholidah. 2009. Metode dan Teknik Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Bandung: Refika Adimata. 5. Hadijanto, Bantuk. 2009. “Perdarahan pada Kehamilan Muda”, dalam Abdul Bari Saifuddin, Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 6. Hadijono, R. Soerja. 2009. “Asuhan Nifas Normal”, dalam Abdul Bari Saifuddin. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 7. Hanifiah, Muhammad Yusuf. 2007. “Haid, dan Siklusnya”, dalam Hanifa Wiknjosastr o (ed.), Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 8. Wahyudi, Muhammad Isna. 2009. Fiqh ‘Iddah Klasik, dan Kontemporer. Yogyakarta: LkiS 9. Wijayanti, Daru. 2009. Fakta Penting Seputar Kesehatan Reproduksi Wanita. Yogyakarta: Book Marks 10. Leininger. M dan McFarland. M.R, (2006), Transcultural Nursing : Concepts,Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw HillCompanies
37