MAKALAH “ATONIA UTERI”
Pembimbing : Dr. Melyana Nurul W, S.SiT, M.Kes
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Berpikir Kritis dalam Kebidanan Anggota Kelompok : 1.
Intan Novitasari
(P1337424417069) (P1337424417069)
2.
Magdalena Ana Djawa
(P1337424417072) (P1337424417072)
3. Ni Made Ary K. D.
(P1337424417081) (P1337424417081)
4.
Olivia Nur Alifah
(P1337424417085) (P1337424417085)
5.
Ratri Karmilasari
(P1337424417089) (P1337424417089)
6.
Tesa Yulike
(P1337424417096) (P1337424417096)
7.
Ursula Orcena
(P1337424417099) (P1337424417099)
8.
Wahyu Karyaningtyas
(P1337424417101) (P1337424417101)
9.
Yenni Fialmars
(P1337424417105) (P1337424417105)
10. Zahidah Amir
(P1337424417106) (P1337424417106)
PRODI PROFESI KEBIDANAN SEMARANG JURUSAN KEBIDANAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG TAHUN 2018
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur senantiasa penulis panjatka kehadirat Allah SWT karena
atas
limpahan
rahmat,
karunia
dan
hidayah-Nya
penulis
dapat
menyelesaikan makalah yang membahas tentang “ATONIA UTERI”. Penulisan makalah dapat terselesaikan atas bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Ida Ariyanti, S,SiT. M.Kes sebagai ketua prodi Profesi Kebidanan Semarang. 2. Ibu Dr. Melyana Nurul, S.SiT. M.Kes sebagai pembimbing mata kuliah Berpikir Kritis dalam Kebidanan 3. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan laporan ilmiah ini Kritik dan saran penulis harapkan demi penyempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca dan dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Semarang, Juli 2018 Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................... ................................................................ ............................................ ........................ i KATA PENGANTAR ................................. ....................................................... ............................................ ............................. ....... ii DAFTAR ISI ............................................ .................................................................. ............................................ ................................ .......... iii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................. ................................................................... .........................................1 ...................1 B. Rumusan Masalah ........................................... ................................................................. ......................................3 ................3 C. Tujuan Penulisan ........................................................ .............................................................................. ...........................3 .....3 BAB II ISI A. Tinjauan Teori
1.
Pengertian Atonia Uteri ........................................... .................................................................. .......................4 4
2.
Etiologi Atonia Uteri .................................... .......................................................... ..................................5 ............5
3.
Patofisiologi Atonia Uteri ...................................................... ..............................................................6 ........6
4.
Faktor Predisposisi Atonia Uteri ......................... ............................................... ...........................6 .....6
5.
Diagnosis Atonia Uteri ................................. ....................................................... ................................16 ..........16
6.
Tanda dan Gejala Atonia Uteri........................................... .....................................................16 ..........16
7.
Gambaran Klinis Atonia Uteri ........................................... .....................................................17 ..........17
8.
Komplikasi Atonia Uteri ............................................. ..............................................................18 .................18
9.
Tindakan Pencegahan Atonia Uteri............................. Uteri..............................................23 .................23
10. Tindakan Penanganan Atonia Uteri .............................................25 .............................................25 B. Kerangka Teori / Bagan
1. Bagan Patofiologi Atonia Uteri........................................... .....................................................32 ..........32
iii
2. Bagan Faktor Predisposisi Atonia Uteri ........................................3 ........................................33 3 3. Bagan Penanganan Atonia Uteri ..................................... ...................................................36 ..............36 BAB III PENUTUP
A. Simpulan .......................................... ................................................................. ............................................. ............................39 ......39 B. Saran .......................................... ................................................................ ............................................ ....................................39 ..............39 DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberhasilan peningkatan kesehatan ibu, salah satunya dapat dilihat dari indikator Angka Kematian Ibu (AKI). AKI menggambarkan jumlah wanita yang meninggal per 100.000 kelahiran hidup, dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa memperhitungkan lama kehamilan. Angka kematian ibu di Indonesia pada tahun 2015 sebesar 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Menurun dibandingkan sebelumnya di tahun 2012 yang mengalami kenaikan sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Meskipun mengalami penurunan, hal ini masih jauh dari yang diharapkan. Suitainable Development Goals (SDG’s) merupakan kelanjutan dari program global Milenium Development Goals (MDG’s) yang berakhir di tahun 2015, dimana target globaladalah menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 70 per 100.000 KH (Kemenkes, 2016). Jumlah kasus kematian ibu di Jawa Tengah pada tahun 2015 sebanyak 111,16 per 100.000 KH dan khusus untuk Kota Semarang, Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 2016 sebanyak 32 kasus dari 26. 337 KH atau sekitar 121,5 per 100.000 KH. AKI mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya yaitu 128,05 per 100.000 KH pada tahun 2015 dan 122,25 per 100.000 KH pada tahun 2014. Penyebab kematian ibu di Kota Semarang diantaranya karena penyakit (51%), antara lain: tumor otak, kanker tulang, kanker getah bening,
1
penyakit jantung bawaan, Tuberculosis, kanker mamae dan AIDS. Penyebab lainnya adalah karena pre-eklamsi berat (21%), perdarahan (12%), lain-lain (9,4%) dan sepsis (6%). Sedangkan kondisi meninggal terbanyak terjadi pada masa nifas sebanyak 74,29% (Kemenkes, 2016). Perdarahan pasca persalinan dalam waktu kurang dari satu jam bisa menyebabkan kematian pada ibu. Salah satu penyebab perdarahan pasca persalinan yaitu karena atonia uteri dimana tidak terjadinya kontraksi pada uterus setelah kala III atau dimana tidak adanya kontraksi setelah plasenta lahir. Akibat dari itu dapat menyebabkan perdarahan pada ibu pasca persalinan (Anik dan Yulianingsih, 2009). Dampak dari atonia uteri dapat terjadi perdarahan pada ibu pasca persalinan dan dampak yang di timbulkan oleh
perdarahan postpartum adalah syok hemoragik, anemia dan sindrom
Sheehan (Bobak, 2010). Upaya atau deteksi dini perdarahan postpartum dapat dilakukan
penatalaksanaan
persalinan
kala
III
sesuai
standar
dan penerapkan MAK III (Manajemen Aktif Kala III) (JNPK-KR, 2008) Frekuensi perdarahan post partum yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%. Dari angka tersebut, diperoleh sebaran etiologi antara lain: atonia uteri (50 – 60 %), sisa plasenta (23 – 24 %), retensio plasenta (16 – 17 %), laserasi jalan lahir (4 – 5 %), kelainan darah (0,5 – 0,8 %). %). Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi peripartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk
2
mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme (Admin, 2009). Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik menyusun makalah yang berjudul “Atonia Uteri”. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis mengambil rumusan masalah yaitu “Bagaimana mekanisme terjadinya atonia uteri selama proses persalinan?” C. Tujuan
1. Tujuan Umum Berdasarkan rumusan masalah dapat diperoleh tujuan umum yaitu untuk mengetahui mekanisme terjadinya atonia uteri selama proses persalinan. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui pengertian perdarahan pasca persalinan. b. Mengetahui fisiologi dari atonia uteri. c. Mengetahui patofisiologi dari atonia uteri d. Mengetahui etiologi dari atonia uteri. e. Mengetahui faktor predisposisi dari atonia uteri. f. Mengetahui tanda dan gejala dari atonia uteri. g. Mengetahui manifestasi dari atonia uteri. h. Mengetahui penatalaksanaan dari atonia uteri i. Mengetahui pencegahan dari atonia uteri
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Pengertian Atonia Uteri Atonia uteri adalah pendarahan obstetri yang disebabkan oleh kegagalan uterus untuk berkontraksi secara memadai setelah kelahiran (Cunningham, 2012). Menurut JNPK-KR (2008), Definisi atonia uteri adalah suatu kondisi dimana myometrium tidak dapat berkontraksi dan keluarnya darah dari tempat implantasi plasenta dan menjadi tidak terkendali. Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir (Prawirohardjo, 2010 ). Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot myometrium uterus untuk berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan postpartum yang paling penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir hingga 4 jam setelah persalinan. Atonia iteri dapat menyeabkan perdarahn hebat dan dapat mengarah pada terjadinya syok hipovolemik (Rukiyah, 2010). Atonia uteri merupakan suatu keadaan ketika uterus tidak dapat berkontraksi dengan baik sehingga dapat menyebabkan perdarahan apda masa postpartum. Atonia uteri terjadi jika uteri tidak berkontraksi dalam 15
4
detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir) (Runjati, dkk, 2017). 2. Etiologi Atonia Uteri Menurut Rukiyah (2010), Penyebab tersering kejadian pada ibu dengan atonia uteri antara lain : a. Overdistension uterus seperti : gemelli, makrosomia, polihidramnion, paritas tinggi; umur yang terlalu muda/terlalu tua; multipara dengan jarak kehamilan pendek; partus lama/partus terlantar; malnutrisi; dapat juga karena salah penanganan dalam usaha melahirkan plasenta, sedangkan sebenarnya belum terlepas dari uterus. b. Grandemultipara; uterus yang terlalu regang (hidramnion, hamil ganda, anak besar/ BB>4000 gr c. Kelainan uterus (Uterus bicornis, mioma uteri, bekas operasi) d. Partus lama, partus presipitatus, hipertensi dalam kehamilan e. Infeksi uterus f. Anemia berat g. Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi partus); riwayat perdarahan pasca persalinan sebelumnya atau riwayat manual plasenta; pimpinan kala III yang salah, dengan memijat-mijat dan mendorong-dorong uterus sebelum plasenta terlepas; IUFD yang sudah lama, penyakit hati, emboli air ketuban (koagulopati); tindakan operatif dengan anastesi umum yang terlalu dalam.
5
3. Patofisiologi Atonia Uteri Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasikan daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabt-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi. Miometrium terdiri dari 3 lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan pasca persalinan. Miometrium lapisan tengah tersusun sebagai anyaman dan ditembus oleh pembuluh darah. Masing – masing serabut mempunyai dua buah lengkungan sehingga tiap – tiap dua buah serabut berbentuk angka delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot seperti tersebut diatas, jika otot berkontraksi akan menjepit pembuluh darah. Ketidak mampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya atonia uteri (Manuaba, 2010). 4. Faktor Predisposisi Atonia Uteri Menurut Prawirohardjo (2010), faktor predisposisi atonia uteri terdiri dari: a. Regangan rahim berlebihan karena gemeli, polihidramnion, atau anak terlalu besar. Uterus yang mengalami overdistensi besar kemungkinan besar mengalami hipotonia setelah persalinan. Keadaan distensi uterus berlebih ini dapat terjadi pada kehamilan gemelli, polihidramnion, dan janin besar (makrosomi). Dengan demikian, wanita dengan janin besar, janin
6
multipel, atau hidramnion rentan terhadap perdarahan akibat atonia uteri. Ukuran uterus pada kehamilan ini akan lebih besar dan lebih meregang, sehingga menyebabkan lemahnya kontraksi dan berisiko terjadi atonia uteri (Cunningham, 2010). Peregangan uterus yang berlebihan akibat keadaan-keadaan seperti bayi besar (makrosomia), kehamilan gemelli dan hidramnion akan mengakibatkan uterus overdistensi dan otot-otot uterus pun menjadi lemah sehingga tidak mampu berkontraksi segera setelah plasenta lahir. Kehamilan gemelli adalah satu kehamilan dengan dua janin atau lebih. Diagnosis kehamilan gemelli yaitu besar uterus melebihi usia kehamilan, hasil
palpasi
abdomen
mengarah
ke
kehamilan
ganda.
Faktor
predisposisinya antara lain usia ibu > 30 tahun, konsumsi obat kesuburan, fertilisasi invitro dan faktor keturunan. Kehilangan darah pada persalinan kembar, sebagai contoh, rata-rata hampir 1000 ml dan mungkin jauh lebih banyak. Wanita yang persalinannya ditandai dengan his yang terlalu kuat atau tidak efektif juga dengan kemuungkinan mengalami perdarahan berlebihan akibat atonia uteri setelah melahirkan. Kehamilan ganda dapat menyebabkan uterus terlalu meregang, dengan overdistensi tersebut dapat menyebabkan uterus atonik atau perdarahan yang berasal dari letak plasenta akibat ketidakmampuan uterus berkontraksi dengan baik. Polihidramnion adalah terdapatnya cairan amnion dalam jumlah berlebihan. Diagnosis ditegakkan apabila jumlah cairan amnion lebah dari 2000ml, ukuran uterus yang besar dan tegang, bagian atau denyut
7
jantung janin sulit dideteksi. Faktor predisposisi antara lain riwayat diabetes melitus dan riwayat hidramnion. Makrosomia adalah bayi baru lahir dengan berat badan >4000 gram. Diagnosis tidak dapat ditegakkan sebelum dilahirkan dan ditimbang berat badannya.
Faktor
predisposisi
makrosomia
antara
lain
riwayat
melahirkan bayi besar, obesitas pada ibu, multiparitas, kehamilan lewat waktu, usia ibu sudah tua, janin laki-laki serta ras dan suku. Kesukaran yang ditimbulkan dalam persalinan adalah karena besarnya kepala atau besarnya bahu. Karena regangan dinding rahim oleh anak yang sangat besar dapat menimbulkan inertia dan kemungkinan perdarahan post partum lebih besar. Tetapi berdasarkan hasil penelitian Purwanti dan Trisnawati (2015) di RSUD Margono, ditemukan tidak adanya hubungan antara pembesaran uterus dengan perdarahan post partum karena atonia uteri, hal ini kemungkinan karena dari 160 responden yang mengalami pembesaran uterus hanya 12,5% saja. b. Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep Menurut Varney (2007) bahwa partus lama dapat menyebabkan terjadinya inersia uterus karena kelelahan pada otot – otot uterus sehingga rahim berkontraksi lemah setelah bayi lahir dan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan post partum. Menurut Fraser (2009) dan Oxorn (2012), saat memasuki kala III persalinan (persalinan yang fase aktifnya lebih dari 12 jam) otot rahim mengalami kelelahan atau inersia yang mengakibatkan tidak terjadinya
8
retraksi dan konstriksi serat otot miometrium sehingga menimbulkan kegagalan kompresi pembuluh darah pada tempat implantasi placenta yang dapat menyebabkan perdarahan post partum karena atonia uteri. Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pada partus lama, ibu yang bersalin akan kelelahan. Hal tersebut akan mempengaruhi kontraksi uterus. Adanya gangguan retraksi dan kontraksi otot uterus akan menghambat proses pelepasan dan pengeluaran plasenta sehingga dapat terjadi retensio plasenta. Selain itu, kelelahan akibat partus lama juga dapat menyebabkan uterus benar-benar kehilangan tonus otot karena miometrium gagal berkontraksi dan beretraksi saat atau setelah plasenta lepas. Dalam kondisi normal, pelepasan plasenta selalu diikuti dengan perdarahan karena sinus-sinus maternalis ditempat insersinya pada dinding uterus terbuka. Biasanya perdarahan itu tidak banyak, sebab kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menekan pembuluh-pembuluh darah yang terbuka sehingga lumennya tertutup. Kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah. Apabila uterus tidak berkontaksi dan beretraksi maka akan menghambat penutupan pembuluh darah
yang
terbuka ketika pelepasan plasenta dan menyebabkan perdarahan yang
9
banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama penyebab perdarahan postpartum dini. Oleh karena itu semakin lama proses persalinan maka kemungkinan untuk terjadinya perdarahan postpartum dini semakin besar (Baktiyani, Meirani dan Khasanah, 2016). c. Partus Precipitatus Persalinan cepat mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi. Kerja uterus yang berlebihan pada kala I dan kala II persalinan dapat mengakibatkan kegagalan retraksi otot uterus pada kala III sehingga terjadi hemoragic postpartum.
Selain itu jalannya janin yang terlalu
cepat pada jalan lahir dapat menghalangi regangan jaringan yang berangsur-angsur dan perlahan, yang dapat mengakibatkan laserasi serviks, vagina dan atau perineum sehingga meningkatkan kehilangan darah (Boyle, 2007). d. Umur Umur berkaitan dengan organ dan hormon yang berperan saat persalinan, jika umur terlalu muda, organ dan hormon belum siap dalam proses persalinan namun jika terlalu tua fungsi organ dan hormon mengalami kemunduran. Oleh karena itu, ibu bersalin hendaknya merencanakan persalinan dengan baik, yaitu usia 20 – 35 tahun. Semakin tua umur ibu maka akan terjadi kemunduran yang progresif dari endometrium, hal ini akan berpengaruh terhadap kekuatan kontraksi pada saat persalinan dan setelah persalinan (Manuaba, 2010).
10
Berdasarkan hasil penelitian Purwanti dan Trisnawati (2015) di RSUD Margono, ditemukan ada hubungan antara umur dengan perdarahan post partum karena atonia uteri. Risiko ibu yag memiliki umur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun 2,1 lebih besar mengalami perdarahan post partum dibandingkan dengan ibu yang berumur 20 – 30 tahun. e. Kehamilan multipara Setiap kehamilan rahim mengalami pembesaran, terjadi peregangan otot-otot rahim selama 9 bulan kehamilan. Akibat renggangan tersebut elastisitas otot-otot rahim tidak kembali seperti sebelum hamil setelah persalinan. Semakin sering ibu hamil melahirkan, semakin dekat jarak kehamilan dan kelahiran, elastisitas uterus semakin terganggu akibatnya uterus
tidak
berkontraksi
secara
sempurna
dan
mengakibatkan
perdarahan pasca kehamilan (Saifuddin, 2009). Hal ini berkaitan dengan kemampuan otot – otot rahim, jika terlalu sering melahirkan dan jarak kelahiran terlalu dekat maka serabut otot miometrium akan mengalami penurunan fungsi dalam berkontraksi sehingga menyebabkan terjadi perdarahan. Paritas tinggi mempengaruhi keadaan uterus ibu karena semakin sering ibu melahirkan maka uterus cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan sehingga menimbulkan kegagalan kompresi pada tempat implementasi plasenta, akibatnya
terjadi
perdarahan
postpartum
primer
(Purwanti
dan
Trisnawati, 2015). Seseorang dengan multiparitas mempunyai keadaan uterus yang cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala, dalam arti mengalami
11
penurunan dalam kemampuan berkontraksi untuk melakukan penekanan pada pembuluh-pembuluh darah yang terbuka setelah terlepasnya plasenta,
sehingga
dengan
hal
tersebut
menyebabkan
terjadinya
perdarahan postpartum (Mochtar, 2011). Kehamilan seorang ibu yang berulang kali, maka uterus juga akan berulang
kali
teregang.
Hal
ini
akan
menurunkan
kemampuan
berkontraksi dari uterus segera setelah plasenta lahir. f. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun Teori yang dikemukakan oleh Frazer (2011), bahwa Anemia berkaitan dengan disebilitas uterus yang merupakan penyebab langsung terjadinya atonia uteri, yang berakibat pada perdarahan post partum. Hal tersebut juga di dukung oleh pendapat Manuaba (2010) bahwa salah satu penyebab dari perdarahan post partum pada kala IV adalah atonia uteri, hal
ini
terjadi
karena
kekurangan
haemoglobin
dalam
darah
mengakibatkan kurangnya oksigen yang dibawa ke sel tubuh maupun otak, begitu juga ke uterus jumlah oksigen yang kurang dalam darah menyebabkan otot
otot uterus tidak berkontraksi dengan adekuat
sehingga uterus tidak dapat menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi lahir sehingga timbullah atonia uteri yang mengakibatkan perdarahan banyak. Pendapat lain menurut Manuaba (2010), seseorang yang menderita anemia maka ia memiliki sel darah merah yang lebih sedikit dari yang dibutuhkan atau jumlah efektif sel darah merah berkurang. Tanpa sel
12
darah merah yang cukup, darah tidak akan menggumpal (membeku). Ibu yang memasuki persalinan dengan konsentrasi Haemoglobin (Hb) yang rendah dapat mengalami penurunan haemoglobin yang lebih cepat lagi jika terjadi perdarahan (Wardani, 2017). g. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim Wanita dengan mioma uteri akan mengalami atonia uteri karena terjadi karena gangguan kontraksi dan retraksi dari miometrium uteri (Manuaba, 2010). Sifat jaringan miom berbeda dengan jaringan miometrium normal yang mempunyai sifat yang kontraktil, terlebih jika ukuran miom berdiameter 7 atau lebih mempunyai komponen jaringan ikat lebih banyak berdampak pada sifat kontraktilnya (Saifuddin, 2009). Mioma yang paling sering menjadi penyebab perdarahan post partum adalah mioma intra mular, dimana mioma berada di dalam myometrium sehingga akan menghalangi uterus berkontraksi. h. Infeksi intrauterine (korioamnionitis) Korioamnionitis merupakan infeksi intrauterin pada selaput korion dan amnion yang disebabkan oleh bakteri (Kemenkes RI, 2013). Sekitar 25% infeksi intrauterine disebabkan oleh ketuban pecah dini. Semakin lama jarak antara pecah ketuban dengan persalinan, maka makin tinggi resiko morbiditas dan mortalitas ibu dan janin (Saifuddin, 2009). Korioamnionitis terjadi pada pasien dengan ketuban pecah dini dimana terjadi invasi mikroorganisme ke dalam cairan ketuban, janin akan terinfeksi karena janin menelan atau teraspirasi air ketuban, ditandai dengan terjadinya takhikardia (denyut jantung bayi >160 kali permenit)
13
(Saifuddin, 2009). Infeksi intrauterine berpotensi menjalar pada otot uterus sehingga menjadi infeksi dan menyebabkan gangguan untuk melakukan kontraksi, sehingga terjadi kegagalan kompresi pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya perdarahan karena atonia uteri. i. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya Menurut
Saifuddin (2009), riwayat obstetri yang buruk pada
persalinan sebelumnya bisa menyebabkan penyulit pada persalinan selanjutnya. Pada kasus atonia uteri kondisi otot miometrium sudah tidak baik pada persalinan sebelumnya, sehingga memungkinkan terjadinya atonia uteri pada persalinan berikutnya. j. Preeklamsia (Magnesium Sulfat) Preeklamsia akan menimbulkan hipofibrenemia dengan demikian akan berakibat pada trombosit yaitu akan mengalami trombositopenia sehingga timbul pembekuan yang memanjang akhirnya akan mengalami perdarahan karena zat pembekuannya tidak berfungsi maksimal. Salah satu dampak dari preeklamsia adalah hemoragic post partum/ perdarahan pasca salin. preeklamsia yang gejala salah satunya adalah hipertensi maka akan menimbulkan waktu perdarahan dan waktu
pembekuan
memanjang, trombositopenia, terjadi hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (Fibrin Degradation Product) serta perpanjangan tes protombin dan PTT (Partial Tromboplastin Time) (Mochtar, 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wulandari dan Aisyah (2015) menyatakan ada hubungan antara preeklamsia dengan kejadian
14
perdarahan post partum dengan sebagian besar ibu (36 responden) mengalami haemoragic post partum. Obat anti kejang yang banyak dipakai di indonesia adalah magnesium sulfat. Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan
serat
saraf
dengan
menghambat
transmisi
neuromuskuler. Transmisi neuromuskuler membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat (Prawirohardjo, 2010). Hipermagnesemia akan menekan aktivitas semua jaringan yang dapat eksetasi oleh : penurunan masuknya kalsium, sehingga ion – ion magnesium akan bersaing dengan ion – ion kalsium dalam memasuki ujung terminalnpresinaptik saraf. Persaingan ini akan mengurangi pelepasan
neurotransmiter
pada
sinaps.
Berkurangnya
pelepasan
asetilkolin pada sambungan mioneural meyebabkan relasksasi otot skeletal (Jordan, 2003). Magnesium sulfat akan menurunkan amplitudo serta frekuensi kontraksi rahim, karena itu preparat ini digunakan sebagai tokolitik di negara AS. Magnesium merupakan antagonis dan membuat kelahiran bayi pervaginam lebih sukar terjadi. Ibu hamil yang mendapatkan magnesium memerlukan oksitocin dengan dosis yang lebih tinggi (Jordan, 2003).
15
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wetta, Szychowski, Seals dkk (2013) menyatakan faktor resiko terjadinya atonia uteri atau perdarahan postpartum antara lain BMI, ras/etnik, induksi persalinan, gemelli, preeklamsia, menyusui, anemia, kala II memanjang dan korioamnionitis. 5. Diagnosis Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi lahir dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti (Prawirohardjo, 2010). 6. Tanda dan Gejala Menurut Nugroho (2012) dan Runjati (2017), Tanda dan gejala yang selalu ada pada atonia uteri yaitu: a. Tanda dan Gejala yang selalu ada : 1) Perdarahan segera setelah anak lahir (postpartum primer) 2) Uterus tidak berkontraksi dan lembek b. Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada : syok (tekanan darah rendah,denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual,dan lain-lain).
16
7. Gambaran Klinis Menurut Cuningham (2012), Perdarahan postpartum sebelum plasenta lahir disebut perdarahan kala III. Berbeda dengan pendapat umum, apabila perdarahan dimulai sebelum atau setelah pelahiran plasenta, atau pada keduanya, mungkin tidak akan terjadi perdarahan massif, tetapi terjadi perdarahn terus menerus yang tampaknya sedang tetapi menetap sampai timbul hipovolemi serius. Perembesan yang terus menerus ini, terutama pada perdarahan setelah plasenta lahir, dapat menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar. Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah sebelum hamil, derajat hypovolemia terinduksi kehamilan, dan derajat anemia saat
pelahiran.
Gambaran
perdarahn
postpartum
yang
dapat
mengecohkan adalah kegagalan nadi dan tekanan darah untuk mengalami perubahan besar sampai terjadi kehliangan darah sangat besar. Wanita hormotensi mungkin sebenarnya mengalami hipertensi sebagai respon terhadap perdarahan, paling tidak pada awalnya. Selain itu, wanita yang sudah mengalami hipertensi mungkin diangggap normotensive walaupun sebenarnya mengalami hypovolemia berat. Yang tragis, hypovolemia ini belum diketahui sampai tahap sangat lanjut (Cuningham, 2012). Wanita
dengan
preeklamsia
berat
biasanya
tidak
mengalami
hypervolemia terinduksi kehamilannya. Karena itu, ia sering sangat peka atau bahkan tidak toleran terhadap apa yang sebenarnya merupakan perdarahan normal. Karena itu, apabila dicurigai perdarahan berlebihan pada wanita dengan hipertensi kehamilan yang berat, harus dilakukan
17
upaya-upaya untuk segera mengidentifikasi berbagai gambaran klinis dan laboratorium yang megharuskan pemberian larutan kristaloid dan darah dalam jumlah besar. Apabila fundus kurang terpantau setelah melahirkan, darah mungkin tidak keluar dari vagina, tetapi tertimbun di dalam uterus. Dalam hal ini, rongga uterus dapat teregang oleh 1000 ml atau lebih darah sementara sementara petugas kesehatan yang membantu lalai mengidentifikasi uterus yang besar atau, setelah mengidentifikasinya, secara salah memijat gumpalan lemak abdomen. Karena itu perawatan uterus postpartum jangan diserahkan pada petugas yang kurang pengalamannya. 8. Komplikasi Atonia Uteri Komplikasi dari atonia uteri dapat mengakibatkan syok hipovolemik, infeksi, bahkan kematian. Selain itu, kehilangan darah yang banyak dapat mengakibatkan suatu sindrom yang disebut “Sindroma sheehan”, yaitu terjadi atrofi dan nekrosis dari master of gland, kelenjar hipofisis dari berbagai tingkatannya; amenore, gagal memberikan laktasi karena payudara atrofi, hilangnya bulu sebagai tanda seksual sekunder (pada pubis dan ketiak),
hipotiroidisme/hipertiroidisme,
dan
anemia
berkepanjangan
trauma
biasanya
(Manuaba, 2010). Komplikasi atonia uteri dapat mengakibatkan: a. Syok Hipovolemik Syok
hipovolemik
adalah
Syok
setelah
jenis
hipovolemik yang disebabkan oleh perdarahan (internal atau eksternal).
18
Menurut Manuaba, dkk (2007), Patofisiologi Syok pada Perdarahan bisa dikemukan sebagai berikut: 1) Turunnya tekanan darah menimbulkan rangsangan pada baroreseptor yang terletak pada arkus aorta dan arteri karotis. 2) Rangsangan penurunan tekanan darah diteruskan melalui nervus IX dan X, serabut saraf sentral ke pusat fase vasomotor di medulla oblongata. 3) Pusat vasomotor meneruskan rangsangan menuju dua jalan yaitu : a) Menuju dan melalui serabut saraf simpatis sehingga hormon lokal, katekolamin dikeluarkan. b) Melalui rangsangan hormonal dalam 2 bentuk: (1) Kelenjar hipofisis mengeluarkan antideuretik. (2) Korteks ardenal mengeluarkan aldosteron. c) Peningkatan aktivitas simpatis dengan mengeluarkan katekolamin akan menyebabkan reaksi kompensasi hemodinamik sebagai berikut: (1) Terjadi takikardi untuk meningkatkan curah jantung guna mengatasi hipovolume darah. (2) Terjadi vasekontriksi arterial dan vena perifer sehingga terjadi peningkatan volume darah pada vaskular bad yang beredar. (3) Terjadi autotransfusi internal dengan mengarahkan aliran darah ke pusat-pusat vital: (a) Jantung sehingga tetap berfungsi
19
(b) Sistem
saraf
pusat-otak
sehingga
kesadaran
tetap
terpelihara (4) Bagian organ yang mengalami iskemia (a) Organ splanknikus (b) Uterus (c) Muskulus dan kulit dapat menjadi dingin (d) Ginjal mengalami perubahan produksi urin atau oligouria (5) Dampak vasokonstriksi pada miksosirkulasi, yaitu: (a) Muskulus prekapiler terangsang sehingga darah dalam capilar bed, berkurang dengan akibat volume darah untuk sirkulasi umum menjadi makin efisien dan efektif, sehingga mempertahankan tekanan darah. (b) Terjadi redistribusi aliran darah menuju alat organ vital (c) Terjadi mekanisme transcapillary reffil, yaitu masuknya cairan
ekstravaskular
ke
vaskular
sehingga
dapat
menambah volume darah efektif yang beredar untuk mengalirkan nutrisi dan oksigen. (d) Transcapillary
reffil
terjadi
akibat
vasokonstriksi
prekapiler sehingga tekanan pada kapiler mengalami penurunan. (e) Jumlah transcapillary reffil pada kehilangan darah sekitar 15% berlangsung secara bertahap: (1)) 2cc/menit dalam 2 jam pertama (2)) 50cc/jam pada 6-10 jam berikutnya.
20
(6) Rangsangan hormonal dalam bentuk: (a) Kelenjar hipofisis mengelurkan antidiuretik dari pars posterior sehingga terjadi peningkatan resorbsi air dan garam pada ginjal. (b) Kelenjar korteks ardenal mengeluarkan
aldosteron
sehingga lebih mempertahankan retensi air dan garam serta menimbulkan rasa dahaga. b. Anemia Anemia akibat perdarahan yang baru terjadi lebih mungkin bermanifestasi pada masa nifas. Atonia uteri dapat menjadi sumber pedarahan serius setelah persalinan. Pada awal kehamilan anemia akibat perdarahan sering terjadi pada kasus-kasus abortus, kehamilan ektopik dan molahidatidosa. Walaupun jumlah darah yang diganti umumnya tidak mengatasi defisit hemoglobin akibat perdarahan secara tuntas, secara umum apabila hipovolemik yang berbahaya telah teratasi dan hemostasis tercapai, anemi yang tersisa biasannya diterapi dengan zat besi (Cunningham, Gary, dkk. 2005).
21
Patofisiologi Anemia Perdarahan masif
Kurang bahan baku pembuatan sel darah
Penghancuran eritrosit yang berlebihan
Terhentinya pembuatan sel darah oleh sumsum tulang
Anemia
1. Anoreksia
Kadar hb turun
2. Lemas
Komparten sel penghantar oksigen/zat nutrisi ke sel <
3. Cepat lelah Gangguan Perfusi Jaringan 4. Intoleransi Aktifitas c. Infeksi Menurut Wiknjosastro, Hanifa (2005) Jenis bakteri penyebab infeksi antara lain oleh: 1) Streptococcus haemolyticus aerobicus. Streptokokkus ini merupakan sebab infeksi yang berat, khusunya golongan A. Infeksi ini biasanya eksogen (dari penderita lain, alat atau kain yang tidak steril) 2) Escherichia coli. Kuman ini umumnya berasal dari kandung kencing atau rektum dan dapat menyebabkan infeksi terbatas pada perineum, vulva, dan endometrium. Kuman ini merupakan sebab penting dari infeksi traktus urinarius. Patofisologi terjadinya infeksi : Setelah kala III daerah bekas insersio plasenta merupakan sebuah luka dengan diameter kira-kira 4 cm. Permukaannya tidak rata, berbenjol benjol karena banyaknya vena yang
22
ditutupi trombus. Daerah ini merupakan tempat yang baik untuk tumbuhnya kuman-kuman dan masuknya jenis-jenis yang patogen dalam tubuh wanita. Serviks sering mengalami perlukaan pada persalinan, demikian juga vulva, vagina, perineum yang merupakan tempat masuknya kuman-kuman patogen. Proses radang dapat terbatas pada luka-luka tersebut atau padat menyebar pada luka-luka asaln ya. 9. Tindakan Pencegahan a. Antenatal Care Pencegahan anemia dengan pemberian suplementasi FE selama hamil minimal 90 tablet selama hamil. Pemberian nutrisi penting diperhatikan selama hamil terutama protein. Pemeriksaan Hb pada ibu hamil saat trimester awal dan pengulangan pemeriksaan pada minggu ke 30 kehamilan untuk mengantisipasi terjadinya anemia pada kehamilan dan perencanaan serta pencegahan komplikasi (Rahmawati, Martini dan Wahyuni, 2014). b. Ketahui dengan pasti kondisi pasien sejak awal (saat masuk persalinan) (Rahmawati, Martini dan Wahyuni, 2014). c. Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman (termasuk upaya pencegahan perdarahan pasca persalinan) (Rahmawati, Martini dan Wahyuni, 2014). d. Pemberian Oksitosin Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat
23
mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah. Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam. Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai
uterotonika
untuk
mencegah
dan
mengatasi
perdarahan
pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin. e. Melakukan observasi melekat pada 2 jam pascapersalinan (di ruang persalinan) dan dilanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya (di ruang rawat gabung). f. Selalu siapkan keperluan tindakan gawatdarurat.
24
10. Tindakan Penanganan Manajemen Atonia Uteri terdiri dari manajemen standar dan manajemen bedah antara lain sebagai berikut: a. Manajemen Standar 1) Masase Uterus Masase uterus dilakukan dengan membuat gerakan meremas yang lembut berulang-ulang dengan satu tangan pada perut bagian bawah untuk merangsang uterus berkontraksi. Hal ini diyakini bahwa gerakan
berulang
seperti
ini
akan
merangsang
produksi
prostaglandin dan menyebabkan kontraksi uterus dan mengurangi kehilangan
darah,
meskipun
hal
ini
akan
mengakibatkan
ketidaknyaman atau bahkan menyakitkan (Hofmeyer, 2008) . 2) Kompresi Uterus Bimanual; a) Kompresi bimanual interna Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang keluar, bila perdarahan berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi bimanual internal (Hofmeyer, 2008). b) Kompresi bimanual eksterna Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam miometrium (sebagai pengganti mekanisme kontraksi).
25
Perhatikan perdarahan yang terjadi. Pertahankan kondisi ini bila perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap terjadi, coba kompresi aorta abdominalis (Hofmeyer, 2008). 3) Pemberian Uterotonika. a) Oksitosin Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara im atau iv, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal. Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan (Oxorn dan Forte, 2010). Dengan menggunakan terapi uterotonika yang sesuai dan tepat waktu, mayoritas wanita dengan atonia uterus dapat menghindari intervensi bedah. Stimulasi kontraksi uterus biasanya dicapai dengan pemijatan uterus bimanual dan injeksi oksitosin (baik secara
intramuskuler
atau
intravena),
dengan
atau
tanpa
ergometrine. oksitosin melibatkan stimulasidari segmen uterus
26
bagian atas untuk
kontraksi secara ritmik. Karena oksitosin
mempunyai half-life dalam plasma pendek (rata-rata 3 menit), infus intravena secara kontinu diperlukan untuk menjaga uterus berkontraksi . Dosis biasa adalah 20 IU dalam 500 ml larutan kristaloid, dengan tingkat dosis disesuaikan dengan respon (250 ml / jam). Ketika diberikan secara intravena, puncak konsentrasi dicapai setelah 30 menit. Sebaliknya, jika diberikan secara intramuskular mempunyai onset yang lebih lambat (3-7 menit) tetapi efek klinis berlangsung lama (hingga 60 menit) (Oxorn dan Forte, 2010). b) Methyl Ergometrine Berbeda
dengan
oksitosin,
ergometrine
menyebabkan
kontraksi tonik yang terus menerus melalui stimulasi reseptor αadrenergik miometrium terhadap kedua segmen bagian atas dan bawah uterus dengan demikian dirangsang untuk berkontraksi secara tetanik. Suntikan intramuskular dosis standar 0,25 mg dalam permulaan aksi 2-5 menit. Metabolismenya melalui rute hepar dan half-life nya dalam plasma adalah 30 menit. Meskipun demikian, dampak klinis dari ergometrine berlangsung selama sekitar 3 jam. Respon oksitosin segera dan ergometrine lebih berkelanjutan (Oxorn dan Forte, 2010). c) Misoprostol Misoprostol adalah suatu analog sintetik prostaglandin E1 yang mengikat secara selektif untuk reseptor prostanoid EP-2/EP-
27
3 miometrium, sehingga meningkatkan kontraktilitas uterus. Hal ini dimetabolisme melalui jalur hepar. Ini dapat diberikan secara oral,
sublingual,
vagina,
dubur
atau
melalui
penempatan
intrauterin langsung. Pemberian melalui rektal terkait dengan tindakan awal, tingkat puncak yang lebih rendah dan profil efek samping yang lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan rute oral atau sublingual. Misoprostol oral sebagai agent profilaksis untuk partus kala III menunjukkan kurang efektif untuk mencegah perdarahan postpartum dibandingkan pemberian oksitosin parenteral. Namun, karena kenyataan bahwa interval waktu Misoprostol lebih lama yang diperlukan untuk mencapai kadar puncak serum dapat membuatnya menjadi agen lebih cocok untuk perdarahan uterus yang berkepanjangan, dan dalam perannya sebagai terapi bukan agen profilaksis (Oxorn dan Forte, 2010). Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh Ngwenya (2016) menyatakan manajemen aktif kala III dengan uterotonika mengurangi
resiko
perdarahan
postpartum.
Oksitosin
dan
Ergometrin merupakan obat yang digunakan untuk mengurangi perdarahan post partum. Saat ini, penggunaan tablet misoprostol dikaitkan dengan penurunan yang signifikan kejadian perdarahan post partum dan rata-rata kehilangan darah.
28
b. Manajemen Bedah 1) Tampon Uterus Internal Alternatif dari pemberian tampon selain dengan kassa juga dipakai beberapa cara yaitu dengan menggunakan : Sengstaken-Blakemore tube, Rusch urologic hydrostatic ballon chateter (Folley Catheter) atau SOS Bakri tamponade ballon catheter. Pada tahun 2003 Sayeba Akhter, dkk mengajukan alternative baru dengan pemasangan kondon yang diikatkan pada kateter. Dari penelitiannya disebutkan angka keberhasilannya 100%, kondom dilepas 24-48 jam kemudian dan tidak didapatkan komplikasi yang berat. Cara ini kemudian disebut dengan Metode Sayeba. Cara pemasangannya adalah secara aseptik kondom yang telah diikatkan pada kateter dimasukkan ke dalam kavum uteri. Kondom diisi dengan cairan garam fisiologis sebanyak 250-500 cc sesuai kebutuhan. Dilakukan observasi perdarahan dan pengisian kondom dihentikan ketika perdarahan sudah berkurang. Untuk menjaga kondom tetap berada didalam kavum uteri, dipasang kasa tampon gulung di vagina. Bila perdarahan berlanjut tampon kassa akan basah dan darah keluar dari introitus vagina. Kontraktilitas uterus dijaga dengan pemberian drip oksitosin paling tidak sampai dengan 6 jam kemudian. Diberikan antibiotic tripel, Amoksisilin, Metronidazol, dan Gentamisin. Kondom kateter dilepas 24-48 jam kemudian, pada kasus dengn perdarahan berat, kondom dapat dipertahankan lebih lama (Danso D and Reginald PW, 2006). Bermacam-macam balon (mulai dari yang termahal sampai yang termurah) : Sengstaken
29
Blakemore, Balon Bakri, Balon Rusch, Kateter Foley, Kateter Kondom. 2) Pelvic Pressure Pack; 3) Embolisasi; 4) Jahitan Compression; 5) Ligasi Arteri Iliaka Interna (Hipogastrika); 6) Histerektomi Peripartum. Penatalaksanaan atonia uteri dengan pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (maksimum 15 menit) a. Jika uterus berkontraksi : evaluasi jika uterus berkontraksi tetapi perdarahan uterus berlangsung; periksa apakah perineum/ vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera b. Jika uterus tidak berkontraksi maka : Bersihkan bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina dan lubang serviks. c. Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong d. Lakukan kompresi bimanual interna (KBI) selama 5 menit. Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan perlahan dan pantau kala empat dengan ketat. Jika uterus tidak berkontraksi, maka : 1) Lakukan kompresi bimanual eksterna. Setelah itu, keluarkan tangan penolong secara perlahan. 2) Berikan Ergometrin 0,2 mg intramuskular (jangan diberikan jika hipertensi) atau misoprostol 500-1000 mcg/rektal
30
3) Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin 4) Ulangi KBI : a) Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat b) Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera (hal ini bukan atonia
uteri
sederhana,
ibu
membutuhkan
tindakan
kegawatdaruratan di fasilitas kesehatan rujukan yang mampu melakukan tindakan operasi dan transfusi darah 5) Lanjutkan pemberian infus hingga ibu tiba di tempat rujukan : a) Berikan tambahan 500 ml/jam hingga tiba di tempat rujukan atau hingga jumlah cairan yang diinfuskan mencapai 1,5 liter dan kemudian dalam jumlah 125 cc/jam b) Jika cairan infus tidak cukup, berikan infus 500 ml (botol berikutnya)
cairan
infus
dengan
tetesan
sedang
dan
ditambahkan pemberian cairan secara oral untuk rehidrasi 6) Jika pada kondisi rujukan sangat jauh atau tidak memungkinkan dan semua upaya menghentikan perdarahan tidak berhasil, alternatif yang mungkin adalah memasang tamponade uterus dengan kondom kateter.
31
B. Kerangka Teori atau Bagan
1. Bagan Patofisiologi Atonia Uteri Persalinan
Plasenta lahir
Luka bekas implnatasi plasenta
Dikontrol oleh serabut-serabut miometrium yang mengelilingi
Miometrium
pembuluh darah dan
terdiri dari 3 lapis
memvaskularisasi darah implantasi plasenta
Lapisan tengah tersusun Lapisan tengah miometrium
sebagai anyaman dimana
yang berperan untuk
masing-masing serabut
terjadinya kontraksi
mempunyai 2 buah lengkungan yang berbentuk angka 8
Kontraksi menyebabkan pembuluh darah terjepit /tertutup
Jika otot-otot miometrium tidak mampu berkontraksi dengan baik
Atonia uteri
32
2. Bagan Faktor Predisposisi Atonia Uteri
Atonia Uteri
Overdistensi Uterus
Prolonged Labor
Paritas
Anemia
kekurangan Hb (Sel -
Gemelli
-
Polihidramnion
-
Makrosomia
Grandemultipara
kelelahan pada otototot uterus
Gangguan kontraksi dan retraksi dari miometrium uteri
O2 dalam tubuh, Otot miometrium mengalami penurunan
Terjadi kegagalan -
Darah Merah)
Mioma Uteri
Miometrium tidak
kontraksi dan retraksi
berkontraksi
otot-otot uterus
otak, uterus berkurang
fungsi
komponen jaringan ikat lebih banyak
otot-otot uterus tidak berkontraksi
Kegagalan kompresi pembuluh darah
Kegagalan kompresi
kontraksi rahim lemah
dengan baik
berdampak pada kontraktil
pembuluh darah pada Uterus tidak dapat menutup
tempat implantasi plasenta
perdarahan terbuka dari Perdarahan Perdarahan
tempat implantasi plasenta
perdarahan post partum Perdarahan 33
Perdarahan
Atonia Uteri
Kompetitif inhibition
MgSO4 Infeksi intrauterin
(Magnesium
Preeklamsia
Hypermagnesemia
Sulfat)
menjalar pada otot uterus
Relaksasi otot
Pelepasan asetilkolin
skeletal
berkurang
gangguan kontraksi Amplitudo dan frekuensi kontraksi kegagalan kompresi
otot rahim meniurun
pembuluh darah
Perdarahan Perdarahan
34
antara ion kalsium dan ion magnesium
Mengurangi pelepasan neurotransmiter pada sinaps
Atonia Uteri
Partus Precipitatus
Umur
Riwayat atonia uteri sebelumnya
Peningkatan amplitudo dan frekuensi otot-otot
Terlalu tua
Terlalu muda
uterus
Kelelahan kontraksi otot-otot uterus
Riwayat kontraksi otototot uterus tidak baik
Ketidaksiapan fungsi
Penurunan fungsi otot-
organ uterus
otot miometrium
Kegagalan kontraksi kontraksi otot-otot miometrium
kegagalan kompresi pembuluh darah
Retraksi dan kontraksi otot rahim lemah
Kegagalan kompresi pembuluh darah pada tempat implantasi plasenta
Perdarahan
kegagalan kompresi pembuluh darah Perdarahan Perdarahan 35
3. Bagan Penanganan Atonia Uteri ATONIA UTERI
1. Massase fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (maksimal 15 detik)
1.
Evaluasi rutin. Jika uterus
berkontraksi tapi perdarahan Uterus Ya
berkontraksi
terus berlangsung, periksa apakah perineum, vagina dan serviks mengalami laserasi. Jahit atau segera rujuk.
Tidak
2. Bersihkan bekuan darah dan atau selaput ketuban dari vagina 2. dan lubang serviks 3. Pastikan bahwa kandung kemih kosong. 3. Jika penuh dan dapat dipalpasi, lakukan kateterisasi menggunakan teknik aseptik 4. Lakukan kompresi bimanual interna4. selama 5 menit
a. Teruskan KBI selama 2 Uterus Ya
berkontraksi
menit b. Keluarkan tangan perlahan c. Pantau kala IV dengan ketat
36
Uterus berkontraksi
Tidak
5. 5. Anjurkan keluarga untuk mulai membentuk KBE 6. Keluarkan tangan perlahan 6. 7. Berikan Ergometrin 0,2 mg IM (kontraindikasi hipertensi) atau misoprostol 600-1000 mcg per rektal 7.ukuran 16 atau 18 dan berikan 8. Pasang infus menggunakan jarum 500 cc RL tambah 20 unit oksitosin. Habiskan 500 cc pertama 8. secepat mungkin 9. Ulangi KBI 9.
Uterus
Pantau ibu dengan seksama
berkontraksi
Ya
selama persalinan kala IV
Tidak
10. Segera rujuk 11. Dampingi ibu ke tempat rujukan. Teruskan melakukan Kompresi Aorta Abdominaslis atau KBE 12. Lanjutkan infus RL + 20 unit oksitosin dalam 500 cc larutan dengan laju 500/jam hingga tiba di tempat rujukan atau hingga menghabiskan 1,5 L infus. Kemudian berikan 125 cc/jam. Jika tidak tersedia cairan yang cukup, berikan 500 cc kedua dengan kecepatan sedang dan berikan minuman untuk rehidrasi
37
Ligasi arteri uteri/hipogastrik
Perdarahan
Tidak
Ya
Histerektomi
38
pertahankan uterus
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/ kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. Atonia uteri dapat disebabkan oleh regangan rahim berlebihan (gemeli, polihibramnion, dan makrosomia), kelelahan karena persalinan lama atau persalina kasep, umur, kehamilan grande-multipara, Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun, mioma uteri yang menggangu kontraksi Rahim, Infeksi intrauterin (korioamnionitis), partus precipitatus, ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya dan preeklamsia (magnesium sulfat). Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan. melakukan antenatal care dengan memberikan tablet FE, melakukan prosedur pertolongan ppersalinan bersih dan aman, secara rutin manajemen aktif kala III dengan pemberian oksitosin, pemantauan 2 jam pascapersalinan dan persiapan tindakan gawatdarurat. Penatalaksanaan atonia uteri dapat dilakukan dengan masase uterus, KBI, pemberian uterotonika dan tindakan pembedahan. B. Saran
Diharapkan bidan serta tenaga kesehatan lainnya mampu meminimalkan faktor risiko dari atonia uteri demi mempertahankan dan meningkatkan status derajat kesehatan ibu dan anak serta memahami prosedur untuk mengatasi perdarahan karena atonia uteri. Selain itu, mahasiswa dengan latar belakang
39
medis sebagai calon tenaga kesehatan mampu menguasai baik secara teori maupun skill untuk dapat diterapkan pada masyarakat secara menyeluruh.
40
DAFTAR PUSTAKA
Admin. 2009. Penilaian klinik Pada Atonia Uteri. http//lh5.ggpht,tom/10UHIGx0P6A/sax/li/AAAvy. Diakses tanggal 24 Juli 2018 Pukul 19.30 WIB Anik, Yulianingsih. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan Dalam Kebidanan. Jakarta : CV. Trans Info Media. Baktiyani SCW, Meirani R dan Khasanah U. Hubungan Antara Partus Lama Dengan Kejadian Perdarahan Postpartum Dini Di Kamar Bersalin Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang. Majalah Kesehatan FKUB Vol 3 No. 4, 2016 Bobak. 2010. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC. Boyle, Maureen. 2007. Kedaruratan dalam Persalinan. Jakarta : EGC. Cunningham FG. 2012. Obstetri Williams. Jakarta: EGC. Cunningham, Gary, dkk. 2005. Obstetri Williams. Jakarta.EGC Fraser DM, Cooper dan Margaret A. 2011. Buku Ajar Bidan Mayles. Diterjemahkan oleh : Pamilih Eko Karyuni. Jakarta: EGC. Fraser DM. 2009. Buku Ajar Bidan Myles. Jakarta: EGC. Hofmeyer GJ, Abdel-Aleem H, Abdel-Aleem MA, 2008.”Uterine massage for preventing postpartum haemorrhage (Review)” In : The Cochrane Library, Issue 3. JNPK-KR. 2008. Pelatihan klinik asuhan persalinan normal . Jakarta: JHPIEGODepkes RI Jordan,Sue. 2003. Farmakologi Kebidanan. Jakarta: EGC. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia. 2013. ______________________. Profil Kesehatan Indonesia. 2016. Manuaba, dkk. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta. ECG _______. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana . Jakarta: EGC. Mochtar R. 2011. Sinopsis Obstetri. Jakarta:EGC. Nugroho T. 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika.
41
Ngwenya S. Postpartum hemorrhage: incidence, risk factors, and outcomes in a low-resource setting . International Journal of Women’s Health, Department of Obstetrics and gynaecology, Mpilo central Hospital, Bulawayo, Zimbabwe, Volume 8, 2016. Oxorn H dan Forte WR. 2010. Ilmu Kebidanan: Patologi dan Fisiologi Persalinan. Yogyakarta: YEM Oxorn. 2012. Patologi dan Fisiologi Persalinan. Jakarta: Yayasan Essentia Medika. Prawirohardjo S. 2010. Ilmu kebidanan. Jakarta: PT. Prawirohardjo.
Bina Pustaka Sarwono
Purwanti S dan Trisnawati Y. Determinan Faktor Penyebab Kejadian Perdarahan Post Partum Karena Atonia Uteri. Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol. 6 No. 1; 2015. Rahmawati P, Martini S dan Wahyuni CU. Analisis Determinan Kematian Maternal Pada Masa Nifas di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2012 . Jurnal Berkala Epidemiologi Vol.2 No. 1, 2014. Rukiyah, Ai Yeyeh, Yulianti Lia. 2010. Asuhan Kebidanan 4 Patologi Kebidanan. Jakarta : Trans Info media Runjati, dkk. 2017. Kebidanan teori dan Asuhan Volume 2. Jakarta : EGC Saifuddin AB. 2009. Buku acuan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal . Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Varney H. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC. Wardani PK. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Perdarahan Pasca Persalinan. Jurnal Ilmu Kesehatan, Vol. 2 No. 1, 2017. Wetta, Szychowski, Seals dkk. Risk Factors for Uterine Atony/Postpartum Hemorrhage Requiring Treatment after Vaginal Delivery. NIH Public Acces, Department of Obstetrics and Gynecology, University of Alabama at Birmingham Vol. 209 No. 1, 2013. Wiknjosastro H. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta.Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Wulandari R dan Asiyah S. The Relation Preeclamsia With Hemorrhagic Post Partum (HPP) At Aura Syifa Hospital Kediri 2015 Years. Jurnal DIV Kebidanan Karya Husada Kediri; 2015.
42