LTM Pemicu 3 Modul Gastrointestinal Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Dispepsia Oleh Wahyu Permatasari, 0906639972 Dispepsia merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut penuh atau begah. Berdasarkan kriterian Rome II tahun 1999-2000 dispepsia adalah suatu rasa nyeri atau tidak nyaman pada bagian tengah atas abdomen. Gejala ini tidak selalu semua ada pada tiap pasien dan bahkan pada satu pasien pun keluhan ini bisa bervariasi. Berdasakan definisi tersebut, dispepsia bukanlah suatu penyakit melainkan suatu gejala penyakit.1 Faktor Defensif2 Pertahanan lambung terdiri atas tiga tingkatan, yaitu: 1. Preepitel a. Terdiri dari mukus (air, lipid, glikoprotein) dan bikarbonat. b. Gel mukus untuk menghalangi difusi ion (H+) dan molekul seperti pepsin. c. Bikarbonat menjadikan pH permukaan lambung 1-2 dan pada permukaan sel epitel 6-72 2. Epitel Pertahanan kedua adalah sel epitel lambung. Sel epitel yang rusak akan digantikan oleh sel normal yang bermigrasi ke tempat terjadinya kerusakan, disebut restitusi. Proses ini dipengaruhi oleh epidermal growth factor (EGF), transforming growth factor (TGF-α), dan basic fibroblast growth factor (FGF). Kerusakan yang lebih besar memerlukan proliferasi sel yang diregulasikan oleh prostaglandin dan GF seperti EGF dan TGF-α. Selain itu dalam angiogenesis juga dibutuhkan FGF dan vascular endothelial growth factor (VEGF).2 3. Subepitel Pada tingkat ini kuncinya adalah mikrovaskular yang menyediakan suplai mikronutrien dan oksigen yang adekuat. 2 Faktor Terkait Dispepsia Genetik 1
Terdapat bukti bahwa peningkatan kerentanan terhadap dispepsia fungsional dipengaruhi oleh faktor keturunan. Namun, dispepsia fungsional dalam hubungannya dengan peran genetika belum dipahami dengan baik. Sebuah penelitian melaporkan adanya hubungan bermakana antara dispepsia fungsional dan G-protein β3 (GNB3) polimorfisme gen subunit C825T. Selain itu hasil penelitian lain menunjukkan menunjukkan GNB3 alel homozigot 825T mempengaruhi kerentanan terhadap nyeri ulu hati. G-protein β3 (GNB3) polimorfisme gen subunit (C825T) terkait dengan aktivitas G-protein. G-protein memainkan peran penting sebagai ligan reseptor GPCR. Kesalahan pada sistem ini mengakibatkan terjadinya disfungsi transduksi sinyal intraseluler.3 GNB3 alel 825T dikaitkan dengan penyempurnaan aktivasi G-protein yang juga berkaitan dengan disfungsi transduksi sinyal. Transduksi sinyal ditingkatkan pada aktivitas GPCR, terlibat dalam motilitas lambung dan dalam pengembangan gejala dispepsia. Selanjutnya, individu dengan genotipe TT dan CT memiliki indeks sistem saraf simpatik yang lebih tinggi dan sistem parasimpatis yang lebih rendah.3 Hasil penelitian penurunan alel pada gen GNB3 mengikuti keseimbangan Hardy-Weinberg. Alel terkait yakni 17 CC (25,0%), 29 CT (42,6%), dan 22 TT (32,4%). 3 Tahara et al. melaporkan bahwa status 825T homozigot GNB3 dikaitkan dengan subyek dispepsia Jepang tanpa infeksi H. pylori, sedangkan van Lelyveld et al. melaporkan bahwa T pembawa alel polimorfisme C825T GNB3 berhubungan dengan dispepsia pada populasi di Belanda.3 Hasil penelitian lain dengan Genomik DNA disolasi dari usap bukal dan genotip dari polimorfisme C825T dilakukan oleh polymerase chain reaction menunjukkan pasien dispepsia fungsional adalah 4 TT, CT 18, dan 34 CC dibandingkan dengan 4 TT, CT 62, dan 46 CC di kontrol. Kesimpulannya status carrier Homozigot GNB3 825C terkait dengan gejala nyeri perut yang tidak jelas.4 Sebagai informasi tambahan bahwa tidak ada hubungan ditemukan antara genotipe C825T GNB3 dan gejala GERD. Selanjutnya, analisis data dalam penelitian ini tidak dipengaruhi oleh gejala GERD bersamaan di beberapa mata pelajaran. 3 Makanan terkait dengan Infeksi H.pylori Infeksi lambung yang disebabkan oleh bakteri H. pylori merupakan penyebab masalah dispepsia, misalnya pada kasus ulkus peptikum. Bakteri ini juga berperan dalam kasus gastric mucosal-associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma dan adenokarsinoma lambung. Faktor yang menyebabkan seseorang rentan terinfeksi H.pylori antara lain tinggal 2
di negara berkembang, lingkungan yang padat, sanitasi yang buruk, makanan atau minuman yang tidak bersih, serta terpapar isi lambung penderita yang terinfeksi.2 Hubungan dengan Dyspepsia Infeksi bakteri ini biasanya berhubungan dengan gastritis kronik aktif, namun hanya 10–15% yang menjadi ulkus. a. Faktor Bakteri Urease membuat bakteri bertahan terhadap asam lambung, dengan menghasilkan NH3 (mampu merusak sel epitel), surface factors (kemotaktik terhadap neutrofil dan monosit) dan protease dan phospholipase (memecah glycoprotein lipid complex pada gel mucus). H. pylori mengekspresikan adhesions sehingga mampu menempel pada epitel.2 b. Faktor Penderita Patogen ini memicu terjadinya kerusakan: 1. Berikatan terhadap class II MHC molecules sehingga apoptosis. 2. Aktivasi neutrophil yang memediasi produksi reactive oxygen atau nitrogen species. 3. Peningkatan produksi asam, peningkatan keasaman lambung, dan kerusakan mukosa. 4. Peningkatan pengeluaran gastrin 5. Penurunan produksi bikarbonat.2 Stres Salah satu faktor resiko terjadinya dispepsia adalah stres. Adanya stress dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang yang sehat. Terdapat laporan bahwa terjadi penurunan kontraktilitas lambung sebelum keluhan mual. Korelasi antara stress dengan fungsi otonom dan motilitas lambung belum dapat dijelaskan dan masih menjadi kontroversi. Pada sebuah penelitian, tidak ditemukan adanya karakter yang khas antara kelompok kasus dispepsia fungsional dengan kelompok kontrol. Namun dalam sebuah studi terbatas ada kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, sexual abuse, atau adanya gangguan psikiatrik.5 Rangsangan psikis secara fisiologis dapat mempengaruhi lambung dengan dua cara yaitu: 1. Jalur neurogen yaitu rangsangan konflik emosi pada korteks serebri mempengaruhi kerja hipotalamus anterior yang akan mempengaruhi nukleus vagus, nervus vagus, dan kemudian ke lambung. 3
2. Jalur neurohumoral yaitu rangsangan pada korteks serebri dilanjutkan ke hipotalamus anterior selanjutnya ke hipofisis anterior yang mengeluarkan kortikotropin. Kortikotropin merangsang korteks adrenal dan kemudian menghasilkan hormon adrenal yang selanjutnya merangsang sekresi asam lambung. Faktor psikis dapat mempengaruhi fungsi saluran cerna dan mengakibatkan perubahan sekresi asam lambung, mempengaruhi motilitas dan vaskulariasi mukosa lambung serta menurunkan ambang rangsang nyeri.6 Gangguan stress yang mengakibatkan kelainan gastrointestinal atau kelainan-kelainan lain yang terjadi di dalam tubuh kita dikenal sebagai gangguan psikosomatik. Secara umum, gangguan ini digambarkan sebagai satu atau lebih faktor psikologis atau masalah perilaku yang secara jelas memperburuk perjalanan atau hasil kondisi medis umum, atau secara jelas meningkatkan resiko seseorang mengalami hasil yang lebih buruk. Hampir semua sependapat bahwa stress berat mempunyai peranan penyebab timbulnya penyakit somatik, namun beberapa peneliti masih meragukan validitas konsep phsycosomatic medicine.7 Fase stress disebut sebagai general adaptation syndrome yang terdiri atas tiga fase, yaitu fase reaksi alarm, fase pertahanan (pada fase ini seseorang akan beradaptasi dengan masalah yang ada), dan fase kelelahan. Secara umum stress akan menimbulkan reaksi pada sistem organ di tubuh kita. Salah satu sistem yang terganggu adalah sistem endokrin. Sebagai respon terhadap stress, hypothalamus mengeluarkan CRF (Corticotropin-releasing faktor) ke dalam sistem hypophysial-pituitary-portal. CRF akan mencetuskan pelepasan ACTH yang merangsang sintesis dan pengeluaran dari glukokortikoid di korteks adrenal. Efek glukokortikoid di dalam tubuh sangat banyak, diantaranya peningkatan penggunaan tenaga, meningkatkan aktivitas kardio-vaskuler, dan menghambat fungsi seperti pertumbuhan, reproduksi dan imunitas.7 Gangguan gastrointestinal yang dapat timbul akibat psikosomatik antara lain Gastroesophageal reflux disease, Ulkus peptikum, Kolitis Ulserativa, dan Crohn’s disease.7 Satu studi menunjukkan bahwa pasien dengan dispepsia nonulcer dan pasien dengan gangguan lain memiliki jumlah yang sama peristiwa stres dalam kehidupan mereka, tetapi bahwa pasien dengan laporan dispepsia lebih besar yang mengalami stress.8 Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa 42,2% penderita memiliki sebuah temuan patologis menggunakan evaluasi endoskopi, 57,8% tidak ditemukan keadaan patologis. Hal ini menunjukkan bahwa tatalaksana pasien dengan gejala-gejala dispepsia, harus dievaluasi oleh gastroenterologi dan psikiatri.9 4
NSAID Salah satu faktor resiko dispepsia adalah NSAID. Beberapa jenis NSAID: a. Rheumacyl Kandungan : Ibuprofen 200 mg dan paracetamol 350 mg. Ibuprofen mempunyai efek analgesik, kekuatannya sama dengan aspirin, bekerja terhadap COX non selektif sehingga menimbulkan efek samping terhadap saluran cerna, walaupun lebih ringan daripada aspirin. Parasetamol memiliki efek analgesic dan efek antiinflamasi, namun efek antiinflamasinya sangat rendah. Indikasi nya meringankan rasa nyeri atau ngilu yang disertai kebas, kesemutan dan keram.10 b. Aspirin Aspirin memiliki efek anti-trombotik dengan menghambat sintesis TXA2 dan PGI2 dengan menghambat secara reversible enzim COX-non selektif. Aspirin dalam dosis kecil hanya akan menghambat TXA2 saja. Efek samping aspirin diantaranya rasa tidak enak di perut, mual, dan perdarahan saluran cerna, biasanya dapat dihindarkan bila dosis per hari tidak melebihi 325mg. 10 Hubungan dengan Dispepsia Prostaglandin berperan penting dalam menjaga dan memperbaiki integritas mukosa gastroduodenal. Keuntungan dari penggunaan NSAID adalah pada inhibisi terhadap COX-2, sedangkan toksisitas yang terjadi adalah efek inhibisi COX-1. Aspirin dan NSAID lain merupakan asam lemah yang tetap berada dalam bentuk nonionized lipophilic ketika berada dalam lingkungan keasaman lambung. Hal ini membuat NSAID bermigrasi melewati membran lipid dan masuk ke sel epitel, di dalam sel epitel inilah terjadi kerusakan sel akibat ionisasi NSAID. Selain itu NSAID juga menyebabkan difusi balik H+ dan pepsin sehingga terjadi kerusakan yang lebih parah lagi. 2 Faktor Risiko Beberapa faktor risiko lain dispepsia, antara lain:11 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Merokok Obesitas NSAID, bifosfonat, DMARD Terapi hormon pada wanita Pengangguran Makan terlalu banyak Makanan berminyak, tinggi lemak, atau pedas Konsumsi kafein, alkohol, atau soda berlebihan Usia (30-50 tahun) 5
10. Jenis kelamin (perempuan:laki-laki = 2:1)
DAFTAR PUSTAKA 1. Djojoningrat D. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi 5. Jakarta : InternaPublishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2009. Hal 285 2. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th ed. New York:McGraw-Hill Companies; 2008. P 451 3. Oshima1 T, et all. The G-Protein Β3 Subunit 825 TT Genotype is Associated with Epigastric Pain Syndrome-Like Dyspepsia. BMC Medical Genetics 2010, 11:13doi:10.1186/1471-2350-11-13 4. Holtmann G, Siffert W, Haag S, Mueller N, Langkafel M, Senf W, Zotz R, Talley NJ. GProtein Beta 3 Subunit 825 CC Genotype is Associated with Unexplained (Functional) Dyspepsia. Gastroenterology. 2004 Apr;126(4):971-9. 5. Djojoningrat D. Dispepsia Fungsional. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi 5. Jakarta : Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2009. Hal 353 6. Locke GR III, Zinsmeister AR, Talley NJ, Fett SL, Melton LJ III. Familial association in adults with functional gastrointestinal disorders. Mayo Clinic Proceedings. 2000; 75(9): 907-12.
6
7. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri Bab 22 Faktor Psikologik yang Mempengaruhi Kondsi Medis (Gangguan Psikosomatik). Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2010. 287-93 8. Fisher RS, Parkman HP. Management of Nonulcer Dyspepsia. Engl J Med 1998; 339:1376-1381 November 5, 1998 9. Guz H, Sunter AT, Bektas A, Doganay Z. The frequency of the psychiatric symptoms in the patients with dyspepsia at a university hospital. Gen Hosp Psychiatry. 2008 MayJun;30(3):252-6. 10. Departemen Farmakologi dan Teraupetik FKUI. Farmakologi dan terapi. 5th Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. p. 240 11. Wallander M-A, Johansson S, Ruigomez A, Rodriguez LAG, Jones R. Dyspepsia in
general practice : incidence, risk factor, cormobidity and mortality. Family Practice. 2007; 24(5) : 403-11.
7