LAPORAN PENDAHULUAN APPENDISITIS AKUT
A. DEFINISI Apendisitis Apendisitis ialah suatu peradangan peradangan dari apendiks vermi vormis dan merupakan penyebab terjadinya penyakit abdomen akut yg paling sering (Mansjoer Arif, 2010). Apendisitis Apendisitis merupakan inflamasi apendiks apendiks yaitu suatu bagian seperti kantung yang non fungsional dan terletak di bagian inferior caecum. atau peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing. Apendisitis akut merupakan penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen (Smeltzer, 2012).
B. KLASIFIKASI 1.
Apendisitis akut Apendisitis Apendisitis akut merupakan radang pada jaringan apendiks. apendiks. Apendisitis Apendisitis akut pada umumnya obstruksi lumen yg selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks. Penyebab terjanya obstruksi bisa berupa hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks, fekalit, benda asing, tumor. Adanya suatu obstruksi mengakibatkan cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini membuat semakin meningkatkan tekanan pada intra luminer sehingga membuat terjadinya tekanan intra mukosa juga semakin tinggi. Tekanan yg tinggi dapat menyebabkan terjadinya infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga dapat menyebabkan suatu peradangan supuratif yang menghasilkan adanya pus/nanah pada dinding apendiks. Selain obstruksi, apendisitis juga bisa disebabkan disebabkan oleh penyebaran penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
2.
Apendisitis Purulenta Umumnya karena adanya tekanan dalam lumen yg terus bertambah disertai adanya edema menyebabkan terbendungnya aliran alir an pembuluh
vena pada dinding appendiks dan menimbulkan terjadinya trombosis. Kondisi ini memperberat adanya iskemia dan edema yang ada pada apendiks. Mikroorganisme yg terdapat pada usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks dan menimbulkan adanya sebuah infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram lantaran dilapisi eksudat & fibrin. Pada appendiks & mesoappendiks terjadi sebuah edema, hiperemia, & di dalam lumen
terdapat
eksudat
fibrinopurulen.
Ditandai
dengan
sebuah
rangsangan peritoneum lokal seperti adanya nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, & rasa nyeri pada saat melakukan gerak aktif dan pasif. Nyeri & defans muskuler dapat terjadi pada seluruh bagian perut disertai dengan adanya tanda peritonitis umum. 3.
Apendisitis kronik Diagnosis
apendisitis
kronik
ini
baru
bisa
ditegakkan
apabila
memenuhi semua syarat, yaitu riwayat nyeri perut sebelah kanan bawah dengan waktu lebih dari dua minggu, adanya radang kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik dan adanya keluhan menghilang satelah apendektomi. Kriteria mikroskopik
apendiksitis
kronik ialah
adanya fibrosis menyeluruh pada dinding apendiks, sumbatan parsial/total lumen apendiks, adanya jaringan parut & ulkus lama dimukosa, dan adanya infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 15%. 4.
Apendissitis rekurens Diagnosis rekuren baru bisa dipikirkan jika adanya riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yg mendorong dilakukan apendektomi & hasil patologi menunjukan adanya peradangan akut. Kelainan ini terjadi apabila serangan apendisitis akut pertama kali dapat sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak bisa kembali ke bentuk aslinya lantaran terjadi fribosis & jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangan kembali sekitar 50%. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yg diperiksa secara patologik.
5.
Tumor Apendiks Penyakit tumor ini jarang sekali ditemukan, namun biasanya ditemukan secara kebetulan sewaktu dilakukan apendektomi atas indikasi apendisitis
akut.lantaran
bisa
metastasis
ke
limfonodi
regional,
dianjurkan hemikolektomi kanan yg dapat memberi suatu harapan hidup yg jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi (Corwin, 2011).
C. ETIOLOGI Apendisitis belum diketahui penyebab yg pasti atau spesifik tetapi ada faktor prediposisi yakni: 1.
Faktor yg sering muncul ialah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini dapat terjadi lantaran: a.
Hiperplasia yang berasal dari folikel limfoid, ini merupakan faktor penyebab terbanyak
b.
Adanya suatu faekolit dalam lumen appendiks
c.
Adanya suatu benda asing seperti biji-bijian
d.
Striktura
lumen
lantaran
fibrosa
akibat
adanya
peradangan
Infeksi kuman dari colon yg paling sering ialah pada
E. Coli dan
sebelumnya. 2.
Streptococcus 3.
Kasus apendiksitis lebih banyak pada laki-laki dibanding wanita. Biasanya sering terjadi pada umur 15-30 tahun (remaja dewasa). Ini karena adanya peningkatan jaringan limpoid pada periode masa tersebut.
4.
Tergantung dari bentuk apendiks: a.
Appendik yg terlalu panjang
b.
Massa appendiks yang pendek
c.
Adanya penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
d.
Adanya Kelainan katup di pangkal appendiks (Wong, 2010).
D. EPIDEMIOLOGI Resiko seseorang terkena apendisitis akut sepanjang hidupnya sekitar 6-9% dimana di negara barat 7% dari penduduknya menderita apendisitis akut dan memerlukan intervensi bedah. Kasus apendisitis akut paling banyak dijumpai di Amerika Utara, Inggris, Australia, dan lebih jarang ditemui di Asia, Afrika Tengah dan masyarakat Eskimo. Jika penduduk dari negara-negara ini
bermigrasi ke negara barat atau merubah pola diet seperti masyarakat barat, kejadian apendisitis akan meningkat, oleh karena diperkirakan distribusi penyakit ini dipengaruhi oleh lingkungan dan bukan genetik. Apendisitis akut lebih banyak ditemukan pada mereka yang lebih banyak mengkonsumsi daging dibandingkan dengan masyarakat yang mengkonsumsi tinggi serat. Di Amerika Serikat kasus apendisitis meliputi 11 per 10.000 populasi dan perbandingan insiden pada laki-laki dan wanita 3:1. Sekitar 7% penduduk Amerika menjalani apendektomi dengan insidens 1,1/1000 penduduk per tahun (Syamsuhidayat, 2011). Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus abdomen lainnya. Di Indonesia sendiri apendisitis merupakan penyakit urutan ke empat terbanyak. Satu dari 15 orang menderita apendisitis dalam hidupnya (KEMENKES RI, 2017).
E. FAKTOR RESIKO a. Peranan lingkungan Peran kebiasaan makan makanan rendah serat mempengaruhi keadaann konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora kolon. b. Peranan obstruksi Obstruksi lumen merupakan penyebab faktor dominan dala apendisitis akut. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen pada 20% anak-anak dengan apendisitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan intake rendah serat. c. Peranan flora bakterial Flora bacterial pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam bakteri aerobic dan anaerobic sehingga bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya. Pada tahan apendisitis supurativa, bakteri aerobic terutama e.coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat, banyak organisme termasuk proteus, klebsiella, streptococcus, dan pseudomonas dapat ditemukan. Sebagian
besar apendisitis gangrenosa atau perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobic terutama bakteroides fragilis (Rothrock, 2010).
F. PATOFISIOLOGI Terlampir
G. MANIFESTASI KLINIS 1.
Adanya nyeri pada kuadran bawah terasa & umumnya disertai dengan demam ringan, mual, muntah & hilangnya sebuah nafsu makan
2.
Adanya nyeri tekan local pada titik McBurney apabila dilakukan suatu tekanan
3.
Adanya nyeri tekan lepas
4.
Adanya gangguan konstipasi atau diare
5.
Adanya nyeri lumbal, apabila appendiks melingkar di belakang sekum
6.
Adanya nyeri defekasi, apabila appendiks berada dekat rectal
7.
Adanya nyeri kemih, apabila ujung appendiks berada didekat kandung kemih/ureter
8.
Pemeriksaan rektal positif apabila ujung appendiks berada di ujung pelvis
9.
Adanya tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah dengan secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan
10. Jika appendiks sudah ruptur, rasa nyeri menjadi menyebar, disertai
abdomen terjadi akibat ileus paralitik 11. Pada pasien dengan lanjut usia tanda & gejala appendiks sangat
bervariasi. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks. Nama pemeriksaan
Tanda dan gejala
Rovsing’s sign
Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi kanan.
Ps oas s ig n atau
Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian dilakukan
Obraztsova’s sign
ekstensi dari panggul kanan. Positif jika timbul nyeri pada kanan bawah.
Obturator s ig n
Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina.
Dunphy’s sign
Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah dengan batuk
Ten Horn sig n
Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s
Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau
s ig n
sekitar pusat, kemudian berpindah ke kuadran kanan bawah.
S itk ovs kiy (Rosenstein)’s sign
A ure-Rozanova’s sign
Nyeri yang semakin bertambah pada perut kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan pada sisi kiri Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit triangle kanan (akan positif Shchetkin- Bloomberg’s sign)
B lumberg sig n
Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan tiba-tiba
(Mansjoer Arif, 2010). H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1.
Laboratorium Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
2.
Radiologi Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning
(CT-scan).
Pada
pemeriksaan
USG
ditemukan
bagian
memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi
serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CTScan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%. 3. Analisa urin Bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah. 4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pancreas. 5.
Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.
6.
Pemeriksaan
barium
enema
untuk
menentukan
lokasi
sekum.
Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon. 7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan (Smeltzer, 2012).
I.
PENATALAKSANAAN a. Non bedah dan konservatif Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit serta pemberian antibiotik sistemik. 1. Batasi diet dengan makan sedikit dan sering 4-6 kali per hari 2. Minum cairan yang adekuat pada saat makan untuk membantu proses pencernaan makanan 3. Makan perlahan dan mengunyah sempurna 4. Menghindari makanan dan minuman bersuhu ekstrem, pedas, berlemak, beralkohol, asam tinggi 5. Menurunkan berat badan bila kegemukan untuk menurunkn tekanan gastro esophagus
b. Bedah Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi
dengan
pemberian
antibiotik
dapat
mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage
(mengeluarkan
nanah).
Pasca
appendektomi
diperlukan
perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen (Wong, 2010).
J. KOMPLIKASI Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya: 1. Abses Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum 2. Perforasi Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul
lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5 0C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis . Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis. 3. Peritononitis Peritonitis
adalah
peradangan
peritoneum,
merupakan
komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis (Masjoer Arif, 2010).
K. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL Pre operasi 1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis (distensi jaringan intestinal oleh inflamasi) 2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif 3. konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik. Post operasi 1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (luka insisi post operasi appendiktomi) 2. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (insisi post operasi)
DAFTAR PUSTAKA
Arief Mansjoer. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4 , Jakarta: Media Aesculapius. Corwin, Elizabeth J. 2011. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga Indonesia.
Rothrock, J.C. 2010. Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. Jakarta: EGC
Smeltzer, Bare. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & Suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC
Syamsuhidayat. 2011. Buku Ajar Ilmu bedah. Jakarta: EGC
Wong D. L., Whaly. 2010. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik . Edisi 6 Volume 1. Jakarta :EGC.