Leukemia Limfoid Kronik Oleh Ria Mayasari, 0104001827
Beberapa penyakit termasuk dalam kelompok ini, ditandai oleh adanya proliferasi limfosit jenis sel B atau T yang tampak matur. Terdapat cukup banyak tumpang tindih dengan limfoma. Pada banyak kasus limfoma non-Hodgkin, sel limfoma ditemukan dalam darah dan pada beberapa kasus, pembedaan antara leukemia dan limfoma bersifat semena-mena, bergantung pada proporsi relatif peny penyaki akitt dalam dalam massa jaringan lunak dibandingkan dengan yang terdapat dalam darah dan sumsum tulang. Secara umum, penyakit-penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan, tetapi perjalanan penyakit cenderung bersifat kronik kronik dan berfluktuasi. berfluktuasi.
Diagnosis Kelompok ini dicirikan dengan adanya limfositosis kronik persisten dan subtipenya dapat dibedakan berdasarkan morfologi, imunofenotipe, dan sitogenetika. DNA mungkin bermanfaat untuk memperlihatkan penataan ulang monoklonal pada imunoglobulin atau gen reseptor sel T.
1. Leukemia Limfositik Kronik Hingga saat ini, leukemia limfositik kronik (CLL) adalah leukemia limfoid kronik yang paling sering dijumpai dan insidensi puncak terdapat pada usia antara 60-80 tahun. Etiologinya belum diketahui, tetapi terdapat variasi geografik dalam insidensinya. CLL merupakan leukemia yang paling banyak ditemukan di negara Barat, tetapi jarang di Timur Jauh. Insidensi tidak meningkat pada orang yang sebelumnya menjalani pengobatan radioterapi radiotera pi atau kemoterapi. kemoterapi. Sel tumor tampak sebagai sebagai suatu sel B yang yang relatif matur dengan ekspresi imunoglobulin M (IgM) atau IgD permukaan yang lemah. Sel-sel ini berakumulasi dalam darah, sumsum tulang, hati, limpa, dan kelenjar getah bening akibat lama hidup yang memanjang disertai terganggunya apoptosis normal.
1.1 Gambaran Klinis 1. Penyakit ini mengenai orang berusia tua dan jarang mengenai orang berusia kurang dari 40 tahun. Rasio pria terhadap wanita adalah 2:1. 2. Banyak kasus (biasanya stadium 0) didiagnosis pada saat dilakukan pemeriksaan darah rutin. Dengan meningkatnya pemeriksaan medis rutin, proporsinya meningkat.
3. Pembesaran simetris kelenjar getah bening permukaan adalah tanda klinis yang paling sering dijumpai. Kelenjar biasanya berbatas tegas dan tidak nyeri tekan. Salah satu gambaran yang dijumpai dapat berupa pembesaran tonsil. 4. Gambaran anemia mungkin ada. 5. Splenomegali clan hepatomegali biasa ditemukan pada stadium lebih lanjut. 6. Infeksi bakteri dan jamur sering ditemukan pada stadium lanjut karena terjadi defisiensi imun dan netropenia (akibat infiltrasi sumsum tulang, kemoterapi, atau hipersplenisme). Juga terdapat kaitan dengan herpes zoster. 7. Penderita trombositopenia mungkin memper lihatkan adanya memar atau purpura.
1.2 Temuan Laboratorium 9
9
a. Limfositosis. Jumlah limfosit absolut adalah >5 x 10 /l dan dapat mencapai hingga 300 x 10 /l atau lebih. Antara 70 dan 99% leukosit dalam sediaan apus darah tampak sebagai limfosit kecil. Smudge cell atau smear cell juga ada.
b. Penentuan imunofenotipe limfosit menunjukkan bahwa limfosit tersebut adalah sel B (CD19 permukaan positif), yang mengekspresikan immunoglobulin permukaan (IgM atau IgD) secara lemah. Imunoglobulin ini terbukti bersifat monoklonal karena ekspresi satu bentuk rantai ringan (hanya
κ
atau λ ). Secara karakteristik, sel-sel tersebut juga positif CD5 dan CD23 permukaan tetapi CD79b dan FMC7 negatif. c. Anemia normositik normokrom terdapat pada stadium lanjut akibat infiltrasi sumsum atau hipersplenisme. Hemolisis autoimun juga dapat terjadi. d. Trombositopenia terjadi pada banyak pasien. e. Aspirasi sumsum tulang m emperlihatkan adanya penggantian elemen sumsum tulang oleh limfosit. Limfosit mencakup 25-95% dari semua sel. Biopsi trephin menunjukkan adanya keterlibatan limfosit nodular, difus, atau interstisial. f. Ditemukan kadar imunoglobulin serum yang menurun dan ini makin jelas dengan memburuknya penyakit. Terkadang, ditemukan paraprotein. g. Empat kelainan kromosom yang paling lazim dijumpai adalah delesi 13q14, trisomi 12, delesi pada 11q23, dan kelainan struktural 17p yang melibatkan gen p53. Kelainan-kelainan ini mempunyai makna prognostik. h. Gen VH sel B mengalami hipermutasi somatik di pusat-pusat germinal. Pada CLL, gen VH mengalami hipermutasi pada sekitar 50% kasus, mengesankan berasal dari sel-sel pusat folikel
postgerminal; pada 50% sisa nya gen VH tidak mengalami mutasi, mengesankan berasal dari selsel pusat pregerminal. Kelompok yang terakhir in i mempuny ai progno sis yang lebih buruk.
1.3 Penentuan stadium Penentuan stadium pasien pada saat berobat sangat bermanfaat karena informasi ini penting baik untuk perkiraan prognosis maupun penentuan terapi. Terdapat sistem penentuan stadium menurut Rai dan Binet. Harapan hidup umumnya berkisar dari 12 tahun untuk stadium Rai 0 sampai kurang dari 3 tahun untuk stadium IV.
1.4 Pengobatan Kesembuhan jarang terjadi pada CLL, sehingga pendekatan terhadap terapi bersifat konservatif, ditujukan pada pengendalian gejala dan bukan hitung darah normal. Sebenarnya, kemoterapi pada penyakit yang diberikan terlalu dini dapat memperpendek harapan hidup dan bukannya mempe rpanjang . Pengobatan diberikan bila terdapat organomegali yang bermasalah, episode hemolitik, clan supresi sumsum tulang. Hitung limfosit saja bukan merupakan petunjuk yang baik untuk pengobatan. Biasanya pasien dalam stadium Binet C akan memerlukan pengobatan, seperti juga beberapa pasien dalam stadium B.
1.5 Kemoterapi 1.5.1 Klorambusil
Pengobatan tradisional untuk CLL adalah dengan zat pengalkil oral klorambusil. Obat ini 2
digunakan sebagai pengobatan harian (misal 4-6 mg/hari) atau 6 mg/m per hari selama 10 hari. Obat ini efektif dalam mengurangi beratnya penyakit pada sebagian besar kasus. Biasanya obat perlu diberikan selarna 2-4 bulan, dan setelah itu akan dicapai remisi dengan durasi yang bervariasi. Klorambusil dapat diberikan kembali jika diper lukan, walaupun dapat timbul resistensi. 1.5.2 Analog purin
Obat-obat ini efektif untuk pengobatan leukemia limfoid kronik dan limfoma. Obat yang paling efektif untuk pengobatan CLL tampaknya adalah fludarabin, dan bukti-bukti awal menunjukkan bahwa obat ini lebih efektif diberikan sebagai obat tunggal dibandingkan dengan klorambusil. Tempat fludarabin dalam penatalaksanaan CLL secara keseluruhan masih diteliti hingga saaat ini. Obat ini mungkin merupakan obat pilihan pertama dan juga berguna untuk pasien-pasien yang resisten terhadap klorambusil. Formulasi obat intravena maupun oral dapat digunakan secara
bulanan. Mielosupresi dan reduksi limfosit T CD4 (helper) yang berkepanjangan menyebabkan terjadinya peningkatan risiko infeksi dan profilaksis terhadap infeksi Pneumocystis carinii dengan kotrimoksazol yang diberikan sampai jumlah CD4 pulih. Apabila pasien resisten terhadap salah satu analog purin sebaiknya dicoba obat lain dari kelompok ini, misalnya 2-klorodeoksiadenosin. Kombinasi fludarabin dengan misalnya siklofos fami d (FC), atau metotreksat dan deksametason (FMD) mungkin lebih efektif dibandingkan pemberian fludarabin saja. 1.5.3 Kortikosteroid
Pasien yang menderita kegagalan sumsum tulang harus diobati sejak awal dengan prednisolon saja, sampai terdapat pemulihan jumlah trombosit, netrofil, dan hemoglobin yang bermakna. Jumlah limfosit darah tepi mula-mula meningkat sejalan dengan pengerutan organ yang terinfiltrasi tetapi jumlahnya kemudian menurun. Kortikosteroid juga diindikasikan bila terdapat anemia hemolitik autoimun atau trombositopenia.
1.6 Bentuk pengobatan lain
Radioterapi Ini bermanfaat untuk mengurangi ukuran gugus kelenjar getah beni ng besa r yang tida k
responsif terhadap kemoterapi.
Kemoterapi kombinasi Misalnya dengan siklofosfamid hidroksidaunorubisin, Oncovin (vinkristin)
prednison (CHOP ) kadang-kadang efektif untuk kasus-kasus stadium lanjut dan pasien refrakter terhadap klorambusil.
Siklosporin Aplasia eritrosit mungkin berespons terhadap siklosporin. Antibodi monoklonal Campath IH (anti CD52) dan Rituximab (anti CD20) menghasilkan respons
pada sebagian pasien. Campath-1H khususnya efektif terhadap penyakit sumsum tulang.
Splenektomi Ini biasanya disimpan untuk pasien-pasien dengan sitopenia imun yang tidak
berespons terhadap steroid jangka pendek atau pasien dengan pembesaran limpa yang besar dan nyeri.
Penggantian imunoglobulin Penggantian immunoglobulin (misal 250 mg/kg/bulan melalui infus
intravena) berguna untuk pasien-pasien denga gamaglobulinemia dan infeksi rekuren.
Transplantasi sel induk (SCT) Pada saat ini, SCT merupakan suatu pendekatan eksperimental pada
pasien-pasien berusia muda. SCT alogenik mungkin bersifat kuratif tetapi mempunyai tingkat mortalitas yang tinggi. SCT autolog yang dilakukan setelah sebelumnya menjalani terapi dengan fludarabin dan obat-obat lain saat ini sedang dalam uji klinis.
1.7 Perjalanan Penyakit Banyak pasien dalam stadium Binet A atau Rai 0 atau 1 yang tidak pernah memerlukan terapi. Sebenarnya, wanita usia 60 tahun atau lebih yang menderita stadium Rai 0 mempunyai harapan hidup yang sama dengan populasi kontrol. Bagi pasien yang memerlukan terapi, suatu pola yang lazim adalah pola penyakit yang responsif terha dap beberapa ke moterapi sebelum aw itan ber tahap da ri infiltrasi sumsum tulang luas, penyakit berat, dan infeksi rekuren. Penyakit ini dapat bertransformasi menjadi limfoma derajat tinggi yang terlokalisir (transformasi Richter) atau mungkin terda pat pe ningkat an jumlah prolimfosit yang resisten terhadap pengobatan.
2. LEUKEMIA PROLIMFOSITIK Walaupun leukemia prolimfositik (Prolymphocytic leukemia, PLL) pada mulanya dapat menyerupai CLL Sel B (CLL-B), diagnosis ditegakan berdasarkan penampakan mayoritas prolimfosit dalam darah. Prolimfosit berukuran sekitar dua kali limfosit CLL dan mempunyai anak inti sentral yang berukuran besar. PLL sel B (B-PLL) tiga kali lebih sering dijumpai dibandingkan dengan PLL sel T . Gambaran klinis PLL dan CLL juga berbeda. Penderita PLL biasanya datang dengan splenomegali tanpa limfadenopati dan dengan jumlah limfosit yang tinggi dan meningkat cepat. Anemia merupakan suatu gambaran prognostik yang buruk. PLL sulit diobati. Splenektomi biasanya berguna dan analog nukleosida purin mungkin membantu.
3. LIMFOMA LIMPA DENGAN LIMFOSIT VILOSA Limfoma limpa dengan limfosit vilosa (SLVL) (limfoma zona marginal limpa) ditandai oleh splenomegali yang masif dan populasi sel B monoklonal dengan tampilan berambut (vilosa) dalam darah. Ini adalah penyakit yang terdapat pada orang tua dengan perjalanan penyakit yang jinak. Walaupun banyak pasien yang tidak akan memerlukan pengobatan, splenektomi berguna dan analog nukleosida purin juga efektif.
4. LEUKEMIA SEL PLASMA Penyakit yang jarang dijumpai ini ditandai oleh tingginya jumlah sel plasma dalam darah. Gambaran klinisnya cenderung merupakan suatu gambaran klinis yang ditemukan pada leukemia akut (pansitopenia) dengan gambaran mieloma (hiperkalsemia, keterlibatan ginjal dan penyakit tulang). Pengobatannya adalah dengan perawatan suportif dan kemoterapi sistemik, misalnya dengan
CHOP, siklofosf amid-VA MP (vink ristin, Adriamyc in, dan m etilprednisolon), atau ABCM seperti pada mieloma multipel.
5. LEUKEMIA LIMFOSITIK GRANULAR BESAR Leukemia limfositik granular besar (L-LGB) dicirikan dengan adanya limfosit dalam darah dengan sitoplasma yang banyak dan granula azurofilik yang besar. Sel-sel seperti itu mungkin adalah sel T atau sel pembunuh alami (NK) dan memperlihatkan ekspresi CD16, CD56, dan CD57 yang bervariasi. Sitopenia, terutama netropenia, adalah masalah klinis utama walaupun juga sering ditemukan anemia, splenomegali, dan artropati dengan serologi yang positif untuk artritis rematoid. Usia ratarata adalah 50 tahun. Pengobatan mungkin tidak diperlukan, tetapi jika dibutuhkan, steroid, siklofosfamid, siklosporin, atau metotreksat dapat memperbaiki netropenia. G-CSF dan GM-CSF (factor pertumbuhan koloni granulosit-makrofag) telah digunakan dalam kasus-kasus yang disertai netropenia.
6. LEUKEMIA/LIMFOMA SEL T DEWASA Leukemia/limfoma sel T dewasa (adult T -cell lymphoma/leukemia, ATLL) adalah keganasan pertama yang dihubungkan dengan suatu retrovirus manusia, yaitu human T-cell leukemia lymphoma virus type 1 (HTLV-1). Virus ini bersifat endemik di beberapa bagian di Jepang dan Karibia dan penyakit ini
sangat jarang dijumpai pada orang-orang yang tidak pernah tinggal di daerah-daerah tersebut. Limfosit ATLL mempunyai morfologi yang aneh dengan inti bergelung "berbentuk daun semanggi" dan fenotipe CD4+ yang konsisten. Banyak orang yang terinfeksi virus tersebut dan secara serologik positif, tidak menderita penyakit ini.
Penampilan
klinisnya
seringkali
akut
dan
didominasi
oleh
hiperkalsemia,
lesi
kulit,
hepatosplenomegali, dan limfadenopati. Penegakan diagnosisnya berdasarkan pada morfologi dan serologi, dan walaupun dapat dicoba pemberian kemoterapi kombinasi, prognosisnya buruk. Obat antiretrovirus terbukti berperan penting.
7. SINDROM SEZARY Penderita sindrom Sezary datang berobat dengan penyakit kulit, biasanya eritroderma gatal dan mengelupas yang mengenai telapak tangan, telapak kaki, dan wajah ("sindrom manusia merah"). Biopsi kulit memperlihatkan adanya infiltrasi limfosit, dan sel-sel Sezary dalam darah tepi mempunyai morfologi yang khas dengan sumbing inti yang dalam, mirip dengan sel-sel ATLL. Tersedia berbagai pengobatan
termasuk kemoterapi, radioterapi, dan obat yang fotoaktif (psoralens) dikombinasikan dengan sinar ultraviolet A (PUVA).
8. SINDROM LIMFOMA/ LEUKEMIA Sel-sel limfoid ganas dalam darah ditemukan pada berbagai sindrom yang terkait dengan kasuskasus limfoma non-Hodgkin yang tipikal, seperti limfoma sel selubung. Sindrom ini paling sering ditemukan pada tumor sel B tipe sel pusat folikel (dengan inti berlekuk atau berbelah dalam darah) dan perjalanan penyakitnya seperti perjalanan penyakit limfoma non-Hodgkin. Limfoma tipe lain juga dapat memperlihatkan adanya sel-sel tumor dalam darah tepi dan sumsum tulang, dan dalam beberapa kasus, sulit untuk mendefinisikan penyakit ini sebagai limfoma (dengan sebagian besar massa jaringan lunak) atau leukemia.
Daftar Pustaka 1.
Binet J.L., Auquier A., Dighiero G. et al. (1981) A new prognostic classification of chronic lymphocytic leukemia derived from a mult ivariate s urvival analysis. Cancer 48, 198-206.
2.
Caligaris-Cappio F (2000) Biology of chronic lymphocytic leukemia. Rev. Clin. Exp. Hematol. 4 , 5-21.
3.
Esteve J. and, Montserrat E. (2000) Hematopoietic stem-cell transplantation for B-cell chronic lymphocytic leukemia: current status. Rev. Clin. Exp. Hematol. 4, 167-78.
4.
Hallek M. (2000) New concepts in pathogenesis, diagnosis, prognostic factors and clinical presentation of chronic lymphocytic leukemia. Rev. Clin. Exp. Hematol. 4, 103-17.
5.
Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita Selekta Hematologi. Edisi ke 4. Jakarta: EGC. 2005
6.
Keating M.J. and O'Brien S. (2000) Conventional management of chronic lymphocytic leukemia. Rev. Clin.Hematol. 4, 118-33.
7.
Kipps T.J. (2000) Chronic lymphocytic leukemia. Curr. Opin. Hematol. 7, 223-34.
8.
Matutes E. and Polliack A. (2000) Morphological and immunophenotypic features of chronic lymphocytic leukemia. Rev. Clin. Exp. Hematol. 4, 22-47.
9.
Mehta A, Hoffbrand, Victor. (2008) At a Glance Hematologi. Edisi kedua. Jakarta: Erlangga
10. Permono, Bambang H, dkk. (2006) Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 11. Rai K.R., Sawitsky A., Cronkite E.P., Chanana A.D., R.N. and Pasternack B.S. (1975) Clinical staging of
chronic lymphocytic leukemia. Blood 46, 219-34. 12. Wierda W.g. and Kipps T.J. (1999) Chronic lymphocytic leukemia. Curr. Opin. Hematol. 6, 253-61.